Hubungan Riwayat Merokok dengan Kejadian Karsinoma Nasofaring di Departement SMF Ilmu THT RSUP H Adam Malik Medan

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Anatomi
Nasofaring merupakan suatu ruangan yang terdapat di belakang rongga

hidung. Berbentuk kubus atau cederung trapezius. Dengan ukuran tinggi 4 cm,
lebar 4 cm dengan dimensi anteroposterior 3 cm. Adapun bagian bawah
nasofaring dibentuk oleh palatum molle. Dinding anterior nasofaring dibentuk
oleh koana dan batas posterior dari septum nasi.
Di bagian belakangnya berbatasan dengan ruang retrofaring, fasia
prevertebralis dan otot dinding faring. Sedangankan bagian atapnya dibentuk oleh
tulang sfenoid,basioksiput, dan dua tulang cervikal. Bagian ini merupakan tulang
dasar otak, tempat masuknya saraf dan pembuluh darah. Pada masing-masing
bagian lateral dari nasofaring, terdapat tuba faringotimpanik (tuba Eustachius).
Muara tuba ini terletak sekitar 1 cm dari konka posterior bagian ujung
posteriornya. Bagian posterior dari orifisium tuba ini membentuk ruangan koma
yang disebut tonus tubarius. Dibelakang dan sedikit diatas dari tonus tubarius

terdapat faringeal reses atau fossa rossenmuler (Wei, 2006).
Nasofaring mendapat perdarahan dari cabang - cabang langsung arteri
carotis eksterna yaitu arteri palatina ascendens dan descenden, arteri faringeal
ascendens, dan cabang faringeal arteri sfenopalatina. Sedangkan plexus venanya
berhubungan dengan plexus pterigoid di atas dan vena jugularis interna dibawah.
Daerah nasofaring diinervasi oleh plexus faringeal yang merupakan gabungan dari
nervus glossofaringeus (IX), nervus vagus (X), dan serabut ganglion simpatis dari
sevikalis (Cotrill&Nutting, 2003).

Universitas Sumatera Utara

6

Gambar 2.1. Anatomi Nasofaring (WHO, 2008)
2.2.

Histologi
Epitel permukaan dari nasofaring membentuk tonjolan dan lipatan-lipatan

yang disebut dengan kripta. Sekitar 60% permukaan nasofaring dilapisi epitel

skuamusa berlapis. Disekitar koana dan atap dari nasofaring dilapisi oleh epitel
columnar bersilia. Sedangkan dinding lateral terdiri atas kumpulan epitel
skuamusa berlapis, epitel columnar bersilia dan sedikit epitel transisional.
Dipandang dari sisi onkologi, tempat peralihan antara dua epitel yang berbeda
jenis merupakan tempat yang dibiasa untuk terjadinya karsinoma.
2.3.

Karsinoma Nasofaring

2.3.1. Definisi
Karsinoma nasofaring adalah jenis kanker ganas yang timbul di rongga
belakang hidung (nasofaring) dengan predileksi di fossa Rossenmuller pada
nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah
menjadi epitel skuamusa (National Cancer Institude, 2009).

Universitas Sumatera Utara

7

2.3.2. Epidemiologi

KNF tidak umum terjadi di Amerika Serikat dan dilaporkan bahwa
kejadian tumor ini adlaah kurang dari 1 dalam 100.000. Namun, KNF cukup unik
di beberapa daerah geografis, yaitu Cina Selatan, Suku Eskimo, dan orang- orang
di negara Asia Tenggara lainnya. KNF merupakan penyakit yang relative umum
dalam populasi di Cina Selatan (Nasional Cancer Institute, 2009). Pada tahun 2008
terdapat lebih dari 84.000 kasus baru karsinoma nasofaring degan 80% terjadi di Asia
dan 5% di Eropa (Zhang et al, 2013). Terdapat juga daerah lain yang juga memiliki
angka kejadian tinggi seperti Afrika bagian selatan, polinesia, Afrika bagian utara,
Alaska, Greenland, dan Kanada utara (Jemal et al, 2011).

Di Indonesia, karsinoma nasofaring merupakan urutan ke-5 dari 10 besar
tumor ganas yang menyerang seluruh tubuh. Sedangkan di bagian telinga, hidung,
dan tenggorok, karsinoma nasofaring merupakan peringkat pertama.berdasarkan
data Globocan 2008, insidensi karsinoma nasofaring di Indonesia pada pria dan
wanita sebesar 4,9% setelah kanker payudara, paru, kolorektal dan abdomen.
Insidens karsinoma nasofaring di Indonesia terjadi sebanyak 6,5/100.000
penduduk (IARC, 2010).
2.3.3. Etiologi
Etiologi karsinoma nasofaring masih belum diketahui secara pasti. Namun
para ahli percaya bahwa etiologi karsinoma nasofaring ialah multifaktorial

termasuk genetik, virus, dan lingkungan.
a. Faktor genetik.
Faktor genetik diyakini berperan mempengaruhi faktor etiologi karsinoma
nasofaring. Keyakinan bahwa faktor ini berperan berdasarkan fakta-fakta bahwa
secara epidemiologi terdapat frekuensi yang nyata diantara berbagai kelompok
etnik tertentu.. Kerentanan genetik sebagai salah satu faktor pada kejadian
karsinoma nasofaring terlihat pada angka kejadian karsninoma nasofaring yang
tinggi pada etnis Cina di Cina Selatan. Karsinoma nasofaring juga banyak
dijumpai pada ras mongoloid, termasuk bangsa-bangsa di Asia Tenggara. Faktor

Universitas Sumatera Utara

8

genetik yang berperan adalah gen HLA, gen DNA repair serta gen enzim
metabolik seperti CYP2E1 (Yang et al, 2005).

b. Faktor virus
Dari beberapa penelitian in vitro maupun in vivo mendukung peran VEB (virus
Epstein-Barr) sebagai faktor etiologi utama terjadinya karsinoma nasofaring.

Virus Epstein-Barr adalah kelompok herpes virus umum yang merupakan
penyebab infeksi mononukleus akut dan salah satu faktor etiologi karsinoma
nasofaring, karsinoma gaster serta limfoma Burkitt. Virus Epstein-Barr termasuk
famili virus herpes dan subfamili gammaherpesviridae (Munir, 2009).
Virus Epstein-Barr merupakan virus yang terdapat dimana-mana dan menyebar
melalui penularan antar manusia. Pada infeksi laten, Virus Epstein-Barr banyak
dijumpai di saliva, sehingga penularannya terutama terjadi secara langsung
melalui percikan air liur dan juga kontak secara oral ataupun melalui saliva yang
tertinggal di alat makan. Infeksi biasa timbul dimasa kanak-kanak tanpa
menimbulkan gejala atau hanya gejala prodrormal biasa seperti demam dan
umumnya sembuh sendiri. Virus Epstein-Barr menginfeksi epitel nasofaring dan
limfosit B melalui reseptor CR2 atau molekul CD21 (Munir, 2009).
Berdasarkan struktur Virus Epstein-Barr, berbagai antigen yang disandi oleh virus
dapat diidentifikasi dalam nukleus, sitoplasma, dan membran sel yang terinfeksi.
Infeksi laten Virus Epstein-Barr pada limfosit B in vitro, mengekspresikan tiga
membran protein yang disebut latent membrane protein (LMP) dan enam nuclear
antigen yang disebut Epsteinn-Barr nuclear antigen (EBNA). Dengan adanya

antigen permukaan sel, maka sistem imun akan merespon dengan pembentukan
antibodi oleh sel plasma. IgA dan IgG merupakan antibodi yang sering terbentuk

pada KNF (Munir, 2009).
Dari semua antigen laten yang diekspresikan oleh Virus Epstein-Barr, protein
LMP-1 sangat berperan pada patogenesis KNF dan menginduksi pertumbuhan sel
dan menggangu kontrol serta proses mitosis sel. Banyak bukti yang menunjukkan
bahwa LMP-1 berperan dalam proses keganasan. Telah ditemukan hubungan
ekspresi LMP-1 yang sangat signifikan dengan KNF. LMP-1 menstimulasi

Universitas Sumatera Utara

9

ekspresi bcl2 sehingga terjadi penurunan indeks apoptosis, dan menyebabkan
proliferasi tanpa batas. Telah terbukti bahwa, KNF dengan LMP-1 positif akan
lebih cepat tumbuh dan lebih ekspansif dibanding KNF dengan LMP-1 negatif
(Munir, 2009).

c. Faktor Lingkungan
Bahan makanan dan zat kimia tertentu dicurigai berperan dalam etiologi
terjadinya karsinoma nasofaring. Makanan yang mengandung nitrosamine yang
dikonsumsi di masa kecil mempunyai risiko untuk terjadinya karsinoma

nasofaring pada usia dewasa. Nitrosamine banyak dijumpai pada bahan makanan
yang diawetkan dengan cara pengasinan dan juga pengasapan seperti ikan asin.
Pada proses pengasinan atau pengeringan ikan dengan pemanasan sinar matahari,
terjadi reaksi biokimia berupa nitrosasi.
Nitrosamine merupakan mediator yang dapat mengaktifkan Virus Epstein-Barr.

Bahan kimia ini merupakan pro-karsinogen serta promoter aktivasi Virus EpsteinBarr (Munir, 2009).
Faktor lingkungan lainnya yang juga dapat meningkatkan resiko karsinoma
nasofaring adalah yang pernah dilaporkan adalah pemakaian obat-obatan
tradisional, dijumpai adanya nikel pada daerah endemik, infeksi jamur pada
kavum nasi dan mengkonsumsi alkohol (Chen et al, 2009). Merokok dan alkohol
juga merupakan faktor resiko karsinoma nasofaring. Penelitian menunjukkan
adanya paparan alkohol dan asap rokok jangka panjang memegan peranan yang
penting untuk terjadinya karsinoma nasofaring (National Cancer, 2009).

2.3.4. Hubungan Merokok dan KNF
Istilah perokok mengacu kepada individu yang secara langsung merokok
yang sampai saat ini mengkonsumsi setidaknya satu rokok sehari (Viegi et al,
2000).


Universitas Sumatera Utara

10

Beberapa dampak negatif dari merokok yang telah terbukti dapat
mempengaruhi kesehatan adalah kanker, serebrovaskular, metabolisme endokrin,
gastrointerstinal, sistem reproduksi dan kehamilan serta kulit (Paul et al, 2004).
Pada tahun 1986, International Agency for Research on Cancer (IARC)
menemukan cukup bukti bahwa merokok dapat menyebabkan kanker pada
manusia, dapat disimpulkan bahwa rokok juga dapat menyebabkan kanker pada
saluran nafas bagian atas termasuk rongga mulut, faring, laring, dan esofagus.
Letak nasofaring pada saluran nafas bagian atas dimana merupakan tempat
lewatnya aliran udara respirasi yang masuk ke dalam tubuh. Oleh sebab itu, lokasi
nasofaring sangat rentan dengan pajanan polusi udara dan asap rokok. Mukosa
nasofaring dapat secara langsung terpapar oleh asap rokok yang dihisap dan
senyawa karsinogen dapat menginduksi mutasi pada level DNA sehingga dapat
menyebabkan kanker (Zhuolin et al, 2005).
Pada saat rokok dibakar, terjadi reaksi kimia dan fisika yang dibagi dalam
2 zona. Zona pertama yaitu combustion zone dan zona kedua disebut
pyrolisis/distillation/pyrosynthesis zone. Hasil reaksi di zona pertama meliputi


karbon dioksida, karbon monoksida dan hidrogen sedangkan di zona kedua
menghasilkan sekitar 4700 senyawa kimia diantaranya polisiklik hidrokarbon
aromatik (PHA), nitrosamin (TSNAs), fitosterol, 1,3-butadien, formaldehid,
asetaldehid, akrolein, benzen, hidrogen sianida dan logam (Thielena et al, 2008).
Sebagian besar komponen yang dihasilkan oleh proses pembakaran rokok,
telah diidentifikasikan oleh International Agency for Research on Cancer (IARC)
sebagai zat yang telah terbukti karsinogen (IARC, 2004).
Komponen asap yang paling luas dikenal adalah tar, nikotin, dan karbon
monoksida (CO). Tar merupakan bagian partikel dalam asap rokok setelah
kandungan nikotin dan uap air dikeluarkan. Pada saat rokok dihisap, tar masuk ke
dalam rongga mulut sebagai uap padat asap rokok. Setelah dingin akan menjadi
padat dan membentuk endapan berwarna coklat pada permukaan gigi, saluran
pernapasan, dan paru. Pengendapan ini bervariasi antara 3-40 mg pr batang rokok,
sementara kadar dalam rokok berkisar 24-45 mg. Sedangkan bagi rokok yang

Universitas Sumatera Utara

11


menggunkan filter dapat mengalami penurunan 5-15 mg. Tar mengandung
kumpulan senyawa PHA yang bersifat karsinogenik (Fowles et al, 2000).

2.3.5. Histopatologi
Klasifikasi WHO membagi karsinoma nasofaring atas tipe karsinoma sel
skuamosa berkeratinisasi (WHO Tipe 1) ditandai dengan adanya keratin atau
intercellular bridge atau keduanya, karsinoma tidak berkeratinisasi (WHO Tipe 2)
ditandai dengan batas sel yang jelas, dan karsinoma tidak berdiferensiasi (WHO
tipe 3) ditandai oleh pola pertumbahan syntisial, sel-sel poligonal ukuran besar,
anak inti yang menonjol dengan adanya tampilan sel radang (Tabuchi et al, 2011).
Pada penelitian yang dilakukan di Medan, dijumpai jenis histopatologi
yang paling banyak adalah WHO Tipe 3 (55%), sedangkan WHO Tipe 1 (29%)
dan WHO Tipe 2 (16%). Pada penelitian ini dijumpai stadium lanjut (III dan IV)
cenderung lebih banyak ditemukan dibanding dengan stadium dini. Stadium lanjut
ditemukan 93% dan stadium dini 7%. Stadium III paling banyak yaitu 68% dan
stadium IV sebesar 25%. Satdium II hanya 7%, sedengkan stadium I tidak
ditemukan. WHO Tipe 3 merupakan tipe histopatologi yang paling sering dan
endemik terutama di Asia Tenggara (Munir, 2009).

2.3.6. Stadium

Klasifikasi karsinoma nasofaring menurut American Joint Committee on
Cancer (AJCC) 2010.

Tumor Primer (T)
o TX : Tumor primer tidak dapat ditentukan
o T0 : Tidak ditemukan adanya tumor primer
o Tis : Karsinoma in situ

Universitas Sumatera Utara

12

Nasofaring
o T1 : Tumor terbatas pada daerah nasofaring (lateral/poster osuperior/atap)
o T2 : Tumor meluas sampai pada jaringan lunak orofaring atau kavum nasi

tanpa penyebaran

ke daerah parafaringeal

o T3 : Tumor melibatkan struktur tulang dasar tengkorak dan /atau sinus paranasal
o T4 : Tumor dengan perluasan intrakranial dan /atau terlibatnya saraf kranial
,hipofaring, orbita atau dengan perluasan ke fossa infratemporal/ ruang
mastikator.

Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) regional (N):
o Nx : KGB regional tidak dapat ditentukan
o No : Tidak ada pembesaran KGB regional
o N1 : Metastasis unilateral KGB dengan ukuran terbesar < 6 cm, terletak di atas
fossa supraklavikular
o N2 : Metastasis bilateral KGB dengan ukuran terbesar < 6 cm di atas fossa
supraklavikular
o N3 : Metastasis pada KGB

•Metastasis jauh (M)
o M0 : Tanpa metastasis jauh
o M1 : Metastasis jauh

Universitas Sumatera Utara

13

Tabel 2.3.6.

Stadium KNF (IARC, 2004)

Stadium

T

N

M

Stadium 0

Tis

N0

M0

Stadium I

T1

N0

M0

Stadium IIA

T2A

N0

M0

Stadium IIB

T1

N1

M0

T2

N1

M0

T2a

N1

M0

T2b

N1

M0

T1

N2

M0

T2a

N2

M0

T2b

N2

M0

T3

N0

M0

T4

N0

M0

T4

N1

M0

T4

N2

M0

Stadium IVB

Semua T

N3

M0

Stadium IVC

Semua T

Semua N

M1

Stadium III

Stadium IVA

2.3.7. Gejala Klinis
Diagnosis karsinoma nasofaring sering terlambat ditegakkan, karena letak
anatomis nasofaring itu sendiri tersembunyi dibelakang rongga hidung. Akibatnya
diagnosis ditegakkan setelah tumor berada dalam stadium lanjut. Pada tahun 1859
Czermak memperkenalkan penggunaan kaca nasofaring untuk mendeteksi
kelainan di bagian nasofairing. Namun diperlukan ketrampilan khusus bagi
pemeriksa dan juga masih sering terjadi salah interpretasi dari pemeriksaan
histopatologi (Munir, 2009).

Universitas Sumatera Utara

14

Gejala awal karsinoma nasofaring sering minimal dan tidak khas. Ini
disebabkan gejala awal bergantung kepada lokasi tumor di nasofaring, sehingga
tidak jarang terjadi kesalahan mendiagnosis. Secara garis besar penderita
karsinoma nasfaring akan memiliki empat gejala yaitu gejala hidung, gejala
telinga, gejala neurologis, dan pembesaran kelenjar limfe servikal.
a. Gejala Hidung.
Gejala epistaksis dan ingus berdarah merupakan gejala tersering yang terjadi pada
hidung. Keluarnya darah ini biasanya sedikit, berulang-ulang disebabkan oleh
adanya iritasi ringan pada mukosa tumor yang rapuh. Sputum yang bercampur
darah juga sering dijumpai karena adanya mukosa yang mengalami ulserasi
(Hidayat, 2009).
Sumbatan hidung menetap biasanya dijumpai pada kasus KNF yang masa
tumornya telah menyumbat koana. Gejala berupa pilek kronis kadang disertai
gangguan penciuman.

b. Gejala Telinga
Gejala pada telinga yang paling sering muncul adalah gangguan pendengaran
disertai rasa penuh pada telinga dan rasa berdengung. Biasanya hanya mengenai
satu telinga. Hal ini disebabkan adanya penyumbatan pada tuba eustaskhius oleh
masa tumor. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini dan perlu diperhatikan
apakah gejala menetap atau tidak. Hal ini sering berlanjut pada ditemukannya
otitis media serosa sampai dengan terjadi perforasi membran timpani (Hidayat,
2009).

c. Gejala Neurologis
Gejala neurologis biasa yang biasa ditemukan pada pasien KNF ialah sakit kepala
atau gejala saraf kranial, yang menandakan telah terjadi penjalaran lokal dari
tumor. Sakit kepala merupakan gejala yang paling sering muncul pada pasien
KNF. Sakit kepala persisten unilateral merupakan salah satu gejala yang khas
pada pasien KNF. Hal ini disebabkan oleh erosi basis kranii atau iritasi nervus

Universitas Sumatera Utara

15

kranialis. Saraf kranialis VI merupakan yang paling sering terkena sehingga akan
menyebabkan diplopia. Gejala lanjutan dari saraf ini adalah ptosis. Kombinasi
kelainan neurologis kranial yang sering tejadi adalah N II sampai N VI (Jacod’s
syndrome) serta kelainan N IX sampai N XII (Villaret’s syndrome) (Hidayat,
2009).
Gejala neurologis lain ialah sindroma parafaring. Keadaan ini timbul jika telah
terjadi penjalaran tumor hingga masuk kedalam foramen jugularis dan infiltrasi
tumor pada kanalis nervus hipoglossus. Keluhan yang timbul dapat berupa nyeri
pada telinga atau otalgia. (Hidayat, 2009)
d. Limfadenopati Servikal
Kelenjar limfe leher merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk kasus
karsinoma nasofaring agar sel-sel kanker tidak langsung bermetastasis ke bagian
tubuh lain yang lebih jauh. Namun di dalam kelenjar ini sel-sel tumor dapat
berkembang biak sehingga akan menimbulkan pembengkakan. Sebagian besar
pasien datang dengan pembesaran kelenjar limfe leher yang biasanya unilateral
sesuai daerah tumor. Kondisi ini biasanya tidak disertai rasa nyeri sehingga sering
diabaikan pasien (Ahmad, 2002).

e. Gejala Tambahan dan Gejala Metastasis Jauh
Trismus merupakan gejala tambahan yang dapat terjadi pada kasus KNF. Hal ini
disebabkan infiltrasi tumor pada muskulus pterigoideus sehingga menyebabkan
kekauan untuk membuka mulut ( Munir, 2009).
Gejala metastasis jauh apabila sel-sel kanker telah menyebar ke bagian-bagian
tubuh lain yang letaknya jauh dari nasofaring. Ini disebabkan sel-sel kanker ikut
mengalir bersama aliran limfa atau darah. Gejala metastasis biasanya dijumpai
pada pasien stadium lanjut. Organ yang sering terkena ialah paru, tulang, hepar
dan otak. Hal ini tentunya akan berakibat fatal dan meningkatkan angka mortalitas
dari penyakit ini (Munir, 2009).

Universitas Sumatera Utara

16

2.3.8. Diagnosis
a. Anamnesis
Diagnosis karsinoma nasofaring dapat ditegakkan dengan anamnesis yang terarah
dan teliti. Gejala yang timbul sangat bervariasi antara tiap individu. Namun
biasanya pada stadium awal gejala yang akan timbul adalah yang berhubungan
dengan gejala hidung, gejala telinga, dan gejala neurologis serta limfadenopati
leher. Gejala karsinoma nasofaring dapat berupa gangguan pendengaran, telinga
terasa penuh dan berdenging, hidung tersumbat serta ditemukannya pendarahan
dari hidung ataupun bercak pada ingus dan sputum. Gejala tersebut dicurigai
terutama bila tidak jelas penyebabnya dan bersifat unilateral. Pada kasus lanjut
maka gejala diatas akan semakin jelas terlihat ditambah adanya pembesaran
kelenjar limfe leher dan gangguan saraf kranialis bergantung kepada saraf
kranialis yang teriritasi. Pada stadium yang lebih lanjut akan ditemukan tandatanda metastasis ke organ lain (Munir, 2009).
b. Pemeriksaan Nasofaring
Pemeriksaan ini harus dilakukan apabila dicurigai pada anamnesis adanya suatu
karsinoma nasofaring.
1. Rinoskopi Posterior
Pemeriksaan nasofaring secara konvensional dengan menggunakan kaca rinoskopi
posterior. Namun pada pemeriksaan ini sering ditemukan kesulitan terutama pada
pasien dengan variasi anatomi atau yang tidak kooperatif (Hidayat, 2009).

2. Nasofaringoskop
a. Nasofaringoskop rigid
Nasofaringoskop dapat dilakukan dengan dua cara yaitu transnasal (teleskop
dimasukkan melalui hidung), transoral (teleskop dimasukkan melalui mulut).

Universitas Sumatera Utara

17

b. Nasofaringosop lentur
Flexibible fibrescope merupakan alat yang bersifat lentur dengan dilengkapi alat

biopsi pada ujungnya. Dengan alat ini dapat melihat nasofaring secara langsung
(Munir, 2009).

c. Pemeriksaan Penunjang
1.

Biopsi nasofaring

Merupakan pemeriksaan utama dan prosedur tetap terhadap pasien yang
menderita karsinoma nasofaring. Agar biopsi dapat dilakukan dengan tepat
sasaran, sebaiknya biopsi dilakukan di bawah kontrol endoskopi dan dengan
bantuan anastesi. Obat anastesi lokal dapat disemprotkan ke daerah nasofaring dan
orofaring. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan posisi duduk atau telentang
(Hidayat, 2009).
2.

Pemeriksaan plain x-ray

Pemeriksaan plain x-ray nasofaring dan dasar tulang tengkorak dapat mendeteksi
tumor di nasofaring, erosi tulang pada dasar tengkorak dan metastasis di tulang
belakang (Munir, 2009).
3.

CT-Scan Nasofaring

Pemeriksaan ini memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan plain x-ray
terutama pada stadium kanker dini. Pemeriksaan ini dapat juga mendeteksi
penyebaran tumor kejaringan sekitar yang belum terlalu luas, dan juga dapat
mendeteksi erosi dari tulang dasar tengkorak dan penjalaran tumor ke intrakranial.
Selain itu, dapat juga menilai kekambuhan tumor setelah pengobatan dan juga
komplikasi paska pengobatan seperti atrofi kelenjar hipofise (Hidayat, 2009).
4.

Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI nasofaring lebih akurat dibandingkan dengan CT-Scan nasofaring dalam
mendeteksi dan menetapkan stadium dari karsinoma nasofaring. Tetapi seperti
sifat MRI yaitu kurang baik dalam mendeteksi kelainan pada tulang. Pemeriksaan
ini khusus untuk mendeteksi perluasan tumor pada perineural dan intrakranial.
Selain itu, MRI juga dapat membedakan densitas jaringan lunak yang tidak

Universitas Sumatera Utara

18

normal seperti tumor dengan radanga atau jaringan parut setelah radioterapi
(Munir, 2009).
5.

Positron Emission Tomography (PET)

Merupakan pemeriksaan yang paling sensitif untuk mendeteksi adanya tumor
residual atau rekuren pada nasofaring (Wei & Sham, 2005).

d. Pemeriksaan Patologi Anatomi
1.

Sitologi

Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menegakkan diagnosa karsinoma
nasofaring. Bahan yang akan digunakan untuk pemeriksaan dapat diambil dari
permukaan nasofaring dengan menggunakan brush, swab atau alat khusus yang
mempunyai penghisap. Fine Needle Aspiration (FNA) pada kelenjar limfe leher
untuk pemeriksaan sitologi sangat membantu terutama jika tumor primer tidak
terdeteksi. Pemeriksaan sitologi dapat diwarnai untuk mendeteksi EBNA dengan
menggunakan antibodi monoklonal spesifik. Jika ditemukannya EBNA maka
keberadaan KNF sangat dicurgai (Munir, 2009).
2.

Imunohistokimia

Pemeriksaan imunohistokimia adalah pemeriksaan dengan teknik deteksi antigen
dalam jaringan yang melibatkan deteksi subtansi kimia spesifik dalam jaringan
dengan menggunakan derivat antibodi terhadap substans. Antibodi digunakan
terhadap potongan jaringan dan dibiarkan berikatan dengan antigen yang sesuai.
Deteksi antibodi ini dihubungkan dengan molekul pertanda seperti zat fluorescent
(Hidayat, 2009).
3.

Histopatologi

Histopatologi adalah pemeriksaan pasti untuk penegakan diagnosa karsinoma
nasofaring. Merupakan lanjutan dari pemeriksaan biopsi jaringan. Sediaan yang
telah diambil dari nasofaring dengan teknik biopsi selanjutnnya akan diberi
pewarna dan diamati dengan bantuan mikroskop. Selain itu, pemeriksaan ini dapat
juga menilai subtype KNF (Hidayat, 2009).

Universitas Sumatera Utara

19

4. Pemeriksaan Serologi
Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus E-B
telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Tetapi
hanya digunakan untuk menentukan prognosis pengobatan (Hidayat, 2009).

2.3.9. Pengobatan
a. Radioterapi
Radioterapi merupakan pilihan utama pada karsinoma nasofaring. Karsinoma
nasofaring sangat radio sensitif dengan angka harapan hidup 5 tahun sekitar 84%
pada stadium I dan 68% pada stadium II. Namun angkanya berukuran pada pasien
dengan stadium yang lebih lanjut. Pasien yang mengalami rekuren lokal, radiasi
ulang juga dapat menyelamatkan 30% penderita. Radioterapi juga sangat efektif
sebagai terapi paliatif pada kasus yang telah bermatastasis jauh. Radioterapi
terbagi atas dua tipe yaitu radioterapi eksternal dan brakhiterapi. Mekanisme kerja
dari radioterapi adalah dengan cara mematikan sel dengan cara merusak DNA dan
mengakibatkan destruksi sel tumor. Dan juga radioterapi memiliki kemampuan
untuk mempercepat proses apopotosis sel tumor. Radioterapi juga dapat
mengurangi keluhan nyeri dan keluhan klinis lainnya karena dapat mengecilkan
ukuran tumor sehingga mengurangi pendesakan di daerah sekitarnya. Dosis
radioterapi untuk KNF adalah 1,8-2 Gy setiap pemberian, sebanyak lima kali
pemberian setiap minggu selama 7 minggu, dengan dosis total 60-70 Gy. Khusus
untuk keratinizing well-differentiating squamous cell carcinoma (WHO tipe 1)
dibutuhkan total radiasi yang lebih tinggi. Radioterapi booster diberikan kepada
penderita dengan KNF yang telah meluas ke parafaring dengan dosis 20 Gy
sebagai tambahan dosis biasa. Apabila tumor primer masih ada setelah diberi
radioterapi eksternal, dapat diberikan brakhiterapi dengan dosis 45-50 Gy
kemudian diberikan tambahan 20 Gy. Brakhiterapi telah menunjukkan hasil yang
sangat baik dan diprediksi merupakan terapi pilihan di masa mendatang.
Pemberian brakhiterapi digunakan dengan menggunakan alat bantu endotracheal

Universitas Sumatera Utara

20

tube. Radioterapi memiliki banyak efek samping. Efek samping dari radioterapi

ialah radiomukositis, stomatitis, hilangnya indra pengecapan, trismus, pigmentasi
kulit, osteoradionekrosis, dan sindroma Lhermitte (Munir, 2009).
b. Kemoterapi
Kemoterapi merupakan alternatif lain untuk karsinoma nasofaring yang telat jatuh
pada stadium lanjut. Kombinasi radioterapi dan kemoterapi telah diterima
kebanyakan ahli onkologi sebagai standart terapi untuk KNF stadium lanjut.
Penelitian dalam dua dekade terakhir ini menunjukkan keberhasilan terapi
kombinasi ini untuk kasus KNF stadium lanjut locoregional (Wei dan Sham,
2005).
Kemoterapi memiliki mekanisme kerja sebagai antimetabolit, menggangu struktur
dan fungsi DNA serta inhibitor mitosis. Antimetabolit bekerja dengan cara
menghambat biosintesis purin dan pirimidin, sehingga dapat mengubah struktur
DNA dan menahan replikasi sel. Dactinomycin dan doxorubicin dapat mengikat
dan menyelip diantara rangkaian nukleotida molekul DNA, sehingga menghambat
produksi mRNA. Alkaloid vinka seperti vincristine dan vinblastine, menyebabkan
inhibitor mitosis dengan mekansime kerja menahan pembelahan sel dan
menggangu filamen mikro pada kumparan mitosis (Munir, 2009).
c. Pembedahan
Terapi bedah tidak banyak mendapat peran dalam penganggulangan karsinoma
nasofaring. Tindakan bedah terbatas hanya untuk reseksi sisa masa tumor pasca
radioterapi. Tindakan ini biasa dilakukan apabila tumor primer sudah menghilang
namun masih tersisa nodul pada kelenjar leher dan belum terjadi metastasis jauh
(Nasution, 2008).

Universitas Sumatera Utara

21

2.3.10.

Komplikasi

Komplikasi umunya terjadi akibat dari metastasis sel kanker ke organ-organ
penting seperti paru-paru, tulang, hati,dan otak. Hal ini merupakan keadaan yang
sangat buruk dan dapat mengakibatkan mortilitas. Komplikasi dapat juga terjadi
akibat dari pengobatan karena obat yang diberikan tidak hanya menyerang sel
tumor namun juga sel normal yang membelah secara cepat seperti sel rambut, sel
sumsum tulang, dan sel pada traktus gastrointestinal. Dapat terjadi mual dan
muntah, ulserasi saluran cerna, anoreksia, mudah terkena infeksi, kerusakan saraf,
dan yang paling nyata terlihat adalah rambut rontok. Komplikasi yang umum
terjadi pada pembedahan kepala dan leher adalah gangguan pada telinga,
gangguan motorik pada otot-otot wajah dan lengan atas. Hal ini dikarenakan
adanya saraf yang terganggu pada saat tindakan pembedahan (American Cancer
Society, 2013).

2.3.11. Prognosis
Prognosis karsinoma nasofaring cukup baik pada stadium I. Namun menurut
beberapa penelitian sebelumnya, dilaporkan pasien yang datang pada stadium I
hanya sekitar 10% dari semua kasus. Hal ini mungkin dikarenakan pada stadium I
pasien belum merasakan gejala yang serius dari manifestasi klinis karsinoma
nasofaring itu sendiri sehingga menyebabkan pasien mengacuhkan dan enggan
untuk memeriksakan diri secara dini. Adapun angka harapan hidup penderita
karsinoma nasofaring dalam waktu 5 tahun (five year survival rate) menurut
American Joint Commitee on Cancer (AMJC) Cancer Staging Manual edisi ke-7:

Universitas Sumatera Utara

22

Stadium

Angka Harapan Hidup

I

72%

II

64%

III

62%

IV

38%

Tabel 2.3.11.

Prognosis KNF (IARC, 2004)

Universitas Sumatera Utara