Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan Pada Rumah Tangga Miskin (Studi Kasus: Desa Sukanalu, Kecamatan Barusjahe, Kabupaten Karo)

7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Ketahanan Pangan
Definisi ketahanan pangan menurut para pimpinan negara anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa (termasuk Indonesia) pada World Food Conference Human Right
1993 dan World Food Summit 1996 adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan gizi
setiap individu dalam jumlah dan mutu agar dapat hidup aktif dan sehat secara
berkesinambungan sesuai budaya setempat. Selain itu, organisasi pertanian dan
pangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (Food and Agriculture Organization)
mendefinisikan ketahanan pangan sebagai sebuah kondisi dimana semua
masyarakat dapat memperoleh pangan yang aman dan bergizi untuk dapat hidup
secara sehat dan aktif. Di satu sisi untuk menikmati ketahanan pangan harus ada
sebuah ketetapan tentang pangan yang aman, bergizi, baik dari segi kuantitatif
maupun kualitatif (Hanafie, 2010).
Ketahanan pangan menurut definisi FAO (1997) merupakan situasi dimana semua
rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh
pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dimana rumah tangga tidak beresiko

mengalami kehilangan kedua akses tersebut. Berdasarkan definisi dapat
disimpulkan bahwa ketahanan pangan memiliki 5 unsur yang harus dipenuhi yaitu
berorientasi pada rumah tangga dan individu, dimensi waktu setiap saat pangan
tersedia dan dapat diakses, menekankan pada akses pangan rumah tangga dan
individu, baik fisik, ekonomi dan social, berorientasi pada pemenuhan gizi serta
ditujukan untuk hidup sehat dan produktif.

7
Universitas Sumatera Utara

8

World Health Organization (WHO) tahun 1947 dalam Keliat (2005) menyatakan
bahwa pengertian sehat adalah suatu keadaan sejahtera yang meliputi fisik, mental
dan sosial yang tidak hanya bebas dari penyakit atau kecacatan. Menurut WHO,
ada tiga komponen penting yang merupakan satu kesatuan dalam defenisi sehat
yaitu: kesehatan tubuh, kesehatan mental, kesehatan spiritual.
Sejahtera secara lahir dapat diartikan sebagai kecukupan makanan dan minuman
yang sudah terpenuhi. Dalam hal ini, pemerintah sudah berusaha mewujudkannya
dengan memberikan beras untuk keluarga miskin (raskin). Pemberian beras

tersebut diberikan langsung kepada masyarakat setiap bulannya. Pemerintah
melakukan program ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga
miskin agar terciptanya kesejahteraan di keluarga. Pemberian raskin dilakukan
sebagai salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk memperkuat
ketahanan pangan rumah tangga miskin.
Bappenas (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi di mana seseorang
atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hakhak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang
bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain, terpenuhinya kebutuhan
pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan,
sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman
tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial-politik, baik
bagi perempuan maupun bagi laki-laki.
Dari berbagai pendekatan tersebut, ditunjukan bahwa indikator kemiskinan yang
digunakan oleh Bappenas adalah (1) Kurangnya sandang, pangan, dan papan yang

Universitas Sumatera Utara

9

layak, (2) tingkat kesehatan yang memprihatinkan, (3) kurangnya pendidikan

yang berkualitas, (4) kurangnya kemampuan membaca dan menulis, (5)
terbatasnya kepemilikan tanah dan faktor produksi, (6) kurangnya jaminan
kesejahteraan hidup, (7) kurangnya rasa aman, (8) kesejahteraan sosial yang
rendah dan lain-lain.
Ketahanan Pangan Rumah Tangga
Menurut International Congress of Nutrition (ICN) di Roma tahun 1992,
ketahanan pangan rumah tangga adalah kemampuan rumah tangga untuk
memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup
sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari. Definisi tersebut diperluas
dengan menambahkan persyaratan “harus diterima oleh budaya setempat”, hal ini
disampaikan dalam sidang Committee on World Food Security tahun 1995
(Adi, 1998).
Terdapat dua tipe ketidaktahanan pangan dalam rumah tangga yaitu kronis dan
transitory.

Ketidaktahanan

pangan

kronis


sifatnya

menetap,

merupakan

ketidakcukupan pangan secara menetap akibat ketidakmampuan rumah tangga
dalam memperoleh pangan biasanya kondisi ini diakibatkan oleh kemiskinan.
Ketidaktahanan pangan transitory adalah penurunan akses terhadap pangan yang
sifatnya sementara, biasanya disebabkan oleh bencana alam yang berakibat pada
ketidakstabilan

harga

pangan,

produksi,

dan


pendapatan

(Emenda, 2016).

Universitas Sumatera Utara

10

2.1.2 Pengukuran Ketahanan pangan
Pengukuran ketahanan pangan dilakukan di berbagai tingkatan dari tingkat global,
nasional, regional sampai tingkat rumah tangga dan individu. Pada tingkat global,
nasional dan regional indikator ketahanan pangan yang dapat digunakan adalah
tingkat ketersediaan pangan dengan memperhatikan variabel tingkat kerusakan
tanaman/ternak/perikanan, rasio stok dengan konsumsi pangan; skor PPH;
keadaan keamanan pangan; kelembagaan pangan dana pemerintah; dan harga
pangan.
Sementara itu, untuk tingkat rumah tangga dan individu, indikator yang dapat
digunakan adalah pendapatan dan alokasi tenaga kerja, tingkat pengeluaran
pangan terhadap pengeluaran total, perubahan kehidupan sosial, keadaan

konsumsi pangan (jumlah, kualitas, kebiasaan makan), keadaan kesehatan dan
status gizi (Handewi, dkk. 2002).
2.1.3 Pengeluaran Rumah Tangga
Pengeluaran rumah tangga merupakan salah satu indikator yang dapat
memberikan gambaran keadaan kesejahteraan penduduk. Tingkat pengeluaran
terdiri atas dua kelompok, yaitu pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan.
Tingkat kebutuhan/ permintaan (demand) terhadap kedua kelompok tersebut pada
dasarnya berbeda- beda. Dalam kondisi pendapatan terbatas, kebutuhan makanan
didahulukan, sehingga pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah akan
terlihat bahwa sebagian besar pendapatannya digunakan untuk membeli makanan.
Seiring dengan peningkatan pendapatan, maka lambat laun akan terjadi
pergeseran pola pengeluaran, yaitu penurunan porsi pendapatan yang dibelanjakan

Universitas Sumatera Utara

11

untuk makanan dan peningkatan porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk bukan
makanan (Badan Ketahanan Pangan, 2010).
2.1.4 Pangsa atau Persentase Pengeluaran Pangan

Salah satu indikator ketahanan pangan dapat dilihat dari pangsa pengeluaran
pangan. Hukum Working 1943 yang dikutip oleh Pakpahan dkk. (1993)
menyatakan bahwa pangsa pengeluaran pangan mempunyai hubungan negatif
dengan pengeluaran rumah tangga, sedangkan ketahanan pangan mempunyai
hubungan yang negatif dengan pangsa pengeluaran pangan. Hal ini berarti
semakin besar pangsa pengeluaran pangan suatu rumah tangga semakin rendah
ketahanan pangannya.

Pengeluaran pangan adalah rasio pengeluaran untuk belanja
pangan dan pengeluaran total penduduk selama sebulan. Perhitungan pangsa
pengeluaran pangan (PF) pada berbagai kondisi, yaitu agregat, desa-kota, dan
berbagai kelompok pendapatan penduduk menggunakan formula berikut :

Dimana:
PF = Pangsa atau persentase pengeluaran pangan (%)
PP = Pengeluaran untuk belanja pangan (Rp/bulan)
TP = Total pengeluaran (Rp/bulan)
(Ilham dan Bonar, 2007).
Dalam konteks analisis ketahanan pangan, pengetahuan tentang proporsi atau
pangsa pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran pangan rumah tangga


Universitas Sumatera Utara

12

merupakan indikator ketahanan pangan rumah tangga yang sangat penting.
Hubungan antara pangsa pengeluaran pangan dengan total pengeluaran dikenal
sebagai Hukum Working. Dalam hukum working menyatakan bahwa ketahanan
pangan mempunyai hubungan yang negatif dengan pangsa pengeluaran pangan.
Hal ini berarti semakin besar pangsa pengeluaran pangan suatu rumah tangga,
maka semakin rendah tingkat ketahanan pangan rumah tangga tersebut
(Pakpahan, 1993).
Apabila menggunakan indikator ekonomi, dengan kriteria apabila pangsa atau
persentase pengeluaran pangan rendah (≤ 60 % pengeluaran total) maka kelompok
rumah tangga tersebut merupakan rumah tangga tahan pangan. Sementara itu
apabila pangsa atau pengeluaran pangan tinggi (>60 % pengeluaran total) maka
kelompok rumah tangga tersebut merupakan rumah tangga rawan pangan
(Purwantini, 1999).
Rumah tangga tahan pangan adalah rumah tangga yang mempunyai pangsa
pengeluaran rendah dan cukup mengkonsumsi energi. Pangsa pengeluaran pangan

rendah berarti kurang dari 60 % bagian pendapatan dibelanjakan untuk pangan.
Dan ini mengindikasikan bahwa rumah tangga tahan pangan memiliki
kemampuan untuk mencukupi konsumsi energi karena mempunyai akses yang
tinggi secara ekonomi juga memiliki akses yang tinggi secara fisik. Rumah tangga
rawan pangan adalah rumah tangga yang mempunyai pangsa pengeluaran tinggi
dan kurang mengkonsumsi energi. Pangsa pengeluaran pangan tinggi berarti lebih
dari 60 % bagian pendapatan dibelanjakan untuk pangan. Ini mengindikasikan
rendahnya pendapatan yang diterima oleh kelompok rumah tangga tersebut.
Dengan rendahnya pendapatan yang dimiliki, rumah tangga rawan pangan dalam

Universitas Sumatera Utara

13

mengalokasikan pengeluaran pangannya tidak dapat memenuhi kecukupan energi
(Purwaningsih, 2010).
2.1.5 Variabel-Variabel Ketahanan Pangan
2.1.5.1 Pendidikan Ibu Rumah Tangga
Pendidikan memandang manusia sebagai objek. Dikatakan sebagai objek karena
manusia itu menjadi sasaran pendidikan, terutama dalam kapasitasnya sebagai

makhluk yang sedang tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu, ciri dari sifat
pertumbuhan dan perkembangan itu menjadi perhatian pendidikan untuk
dipengaruhi dan diarahkan (Barnadib, 1996).
Pendidikan merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia. Oleh sebab itu
setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang bermutu
sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya. Hak memperoleh pendidikan
bagi setiap warga negara tidak memandang status sosial, status ekonomi, suku,
etnis, agama, dan gender. Hal tersebut sudah tertuang dalam UUD 1945.
Berdasarkan UUD 1945 Pasal 28 C, ayat 1 dinyatakan bahwa setiap orang berhak
mengembangkan

diri

melalui

pemenuhan

kebutuhan

dasarnya,


berhak

mendapatkan pendidikan, memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK), seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidup dan demi
kesejahteraan umat manusia (Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo, 2016).
Tingkat pendidikan juga berkaitan dengan pendapatan dan pengeluaran.
Seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan mempunyai peluang untuk
mendapatkan pekerjaan yang akan memberikan pendapatan relatif lebih tinggi
pula. Oleh karenanya, orang yang berpendidikan tinggi akan mempunyai

Universitas Sumatera Utara

14

kemampuan untuk memiliki pangan lebih banyak dan lebih bermutu
(Roedjito, dkk, 1988).
Tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi melalui pemilihan bahan
pangan. Orang yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih makanan yang
lebih baik dalam jumlah dan mutunya dibanding mereka yang mempunyai
pendidikan lebih rendah (Sayogyo, 1986).
Seorang ibu memiliki peranan besar dalam keluarga, dialah yang berbelanja
pangan, mengatur menu keluarga, mendistribusikan makanan, dan lain- lain.
Pendidikan ibu rumah tangga berkaitan dengan pengasuhan dan kesadaran dalam
pemberian pangan kepada anak. Pendidikan yang tinggi akan meningkatkan
kesadaran seorang ibu rumah tangga untuk mencari informasi sebanyak
banyaknya dalam usaha mensejahterakan keluarganya, termasuk informasi
tentang pangan dan pengetahuan gizi. Sebaliknya, ibu rumah tangga dengan
pendidikan rendah, maka rata- rata pengetahuan gizi ibu rumah tangga ini pun
rendah. Semakin tinggi pendidikan seorang ibu rumah tangga, maka semakin kecil
persentase pengeluaran untuk pangan (Fatimah, 1995).
2.1.5.2 Pekerjaan
Pekerjaan

adalah

mata

pencaharian

seseorang

untuk

mempertahankan

kelangsungan hidupnya. Raymond (2004) menyatakan bahwa

“ Job description

is a list of the tasks, duties, and responsibilities that a particular jobentails.”
Yang berarti deskripsi pekerjaan adalah sebuah daftar tugas, kewajiban dan
tanggungjawab yang diperlukan oleh pekerjaan tertentu.

Universitas Sumatera Utara

15

Pekerjaan adalah mata pencaharian seseorang untuk menghasilkan pendapatan
demi mencukupi kebutuhannya. Jenis pekerjaan juga bervariasi. Jenis pekerjaan
yang bervariasi tersebut dapat menentukan besar kecilnya pendapatan
(Susilowati, 2014).
2.1.5.3 Pendapatan Rumah Tangga
Pada rumah tangga miskin hampir seluruh pendapatannya dibelanjakan untuk
konsumsi pangan. Sayogyo (1994) dalam Hariyani (2016) menyatakan bahwa
pendapatan keluarga mepunyai peranan penting dalam memberikan efek terhadap
taraf hidup mereka. Efek disini lebih berorientasi pada kesejahteraan dan
kesehatan, dimana perbaikan pendapatan akan meningkatkan tingkat gizi
masyarakat. Pendapatan akan menentukan daya beli terhadap pangan dan fasilitas
lain.
Rendahnya pendapatan merupakan rintangan yang menyebabkan orang-orang
tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan. Rendahnya
pendapatan itu mungkin disebabkan menganggur atau setengah menganggur
karenan susahnya memperoleh lapangan kerja tetap sesuai dengan yang
diinginkan (Sajogyo, dkk. 1994).
Adanya sifat keterbatasan sumberdaya keluarga atau pendapatan yang tersedia
akan mempengaruhi adanya prioritas alokasi pengeluaran keluarga. Keluarga yang
berpenghasilan

rendah,

sebagian besar pendapatannya digunakan

untuk

mencukupi kebutuhan pangan, sehingga persentase pengeluaran untuk pangan
akan relatif besar. Akan tetapi karena kebutuhan pangan relatif terbatas, maka
mulai pada tingkat

pendapatan tertentu pertambahan pendapatan akan

Universitas Sumatera Utara

16

dialokasikan lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan nonpangan, sehingga pada
kondisi tersebut persentase pengeluaran untuk pangan akan menurun. Peningkatan
pendapatan menyebabkan timbulnya kebutuhan- kebutuhan lain selain pangan,
sementara pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam peningkatannya
tidak sebesar pengeluaran nonpangan (Fatimah,1995).
Hasil penelitian Oktavionita, 1989 menunjukkan bahwa tingkat pendapatan yang
berbeda akan menyebabkan alokasi pengeluaran yang berbeda, karena tingkat
pengeluaran

merupakan

fungsi

dari

total

pendapatan.

Pada

golongan

berpendapatan rendah, persentase pengeluaran untuk pangan lebih besar
dibandingkan pengeluaran lainnya, sedangkan pada golongan berpendapatan
tinggi, persentase pengeluaran pangan lebih kecil dibandingkan dengan
pengeluaran lainnya. Pada rumah tangga dengan pendapatan rendah, 60 - 80 %
dari pendapatannya dibelanjakan untuk makanan. Elastisitas pendapatan untuk
makanan yang digambarkan dari persentase perubahan kebutuhan akan makanan
untuk tiap 1% perubahan pendapatan, lebih besar pada rumah tangga yang miskin
dibandingkan pada rumah tangga kaya (Soekirman, 2000).
Untuk komoditas pangan, peningkatan pendapatan tidak diikuti dengan
peningkatan permintaan yang progresif. Hal ini sesuai dengan Hukum Engel, yang
menyatakan bahwa semakin rendah pendapatan keluarga, maka semakin besar
proporsi

dari

pendapatan

tersebut

yang

dibelanjakan

untuk

makanan.

(Ilham dan Bonar, 2007).

Universitas Sumatera Utara

17

2.1.5.4 Jumlah Anggota Keluarga
Keluarga adalah orang yang tinggal dalam satu rumah dan memiliki hubungan
darah. Orang yang tinggal dalam satu rumah ini menjadi tanggungan rumah
tangga tersebut (Susilowati, 2014).
Hubungan antara besar rumah tangga dengan konsumsi pangan,dimana diketahui
bahwa rumah tangga miskin dengan jumlah anak lebih banyak akan lebih sulit
untuk memenuhi kebutuhan pangannya jika dibandingkan dengan keluarga
dengan jumlah anggota lebih sedikit. Semakin besar ukuran keluarga, maka
semakin sedikit pangan tersedia yang dapat didistribusikan pada anggota-anggota
keluarga sehingga semakin sedikit pangan yang dikonsumsi (Hariyani, 2016).
2.2 Landasan Teori
Teori Konsumsi
Keynes dalam bukunya yang berjudul The General Theory of Employment,
Interest and Money memberikan perhatian besar terhadap hubungan antara
konsumsi dan pendapatan. Lebih lanjut Keynes mengatakan bahwa ada
pengeluaran konsumsi minimum yang harus dilakukan oleh masyarakat
(outonomous consumption) dan pengeluaran konsumsi akan meningkat dengan
bertambahnya penghasilan (Waluyo, 2002).
Konsumsi itu merupakan fungsi dari pendapatan yang dapat dibelanjakan.
Penghasilan keluarga atau uang masuk sebagian besar dibelanjakan lagi, untuk
membeli yang diperlukan untuk hidup. Dalam ilmu ekonomi dikatakan:
dibelanjakan untuk dikonsumsi. Konsumsi tidak hanya mengenai makanan, tetapi

Universitas Sumatera Utara

18

mencakup pemakaian barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup
(Gilarso, 1992).
Teori konsumsi dengan menggunakan hipotesis pendapatan relatif dikemukakan
oleh James Duesenberry dengan bukunya Income, Saving, and the Theory of
Consummer

Behavior,

bermaksud

merekonsiliasi

hubungan

yang

tidak

proporsional dan yang proporsional antara konsumsi dengan pendapatan dengan
maksud agar diperoleh gambaran mengenai alasan sebab- sebab timbulnya
perbedaan tersebut.
Di dalam teorinya, Duesenberry menggunakan dua asumsi yang digunakan untuk
mengamati faktor- faktor yang dapat berpengaruh terhadap pengeluaran konsumsi
seseorang, yaitu:
a. Selera rumah tangga atas barang konsumsi adalah Interdependen. Artinya,
pengeluaran konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh pengeluaran konsumsi
yang dilakukan oleh masyarakat sekitarnya (tetangga). Jadi faktor lingkungan
dapat berpengaruh terhadap pengeluaran konsumsi.
b. Pengeluaran konsumsi adalah Irreversible. Artinya, pola pengeluaran pada saat
penghasilan naik berbeda dengan pola pengeluaran pada saat penghasilan
mengalami penurunan. Di dalam hal ini dikatakan bahwa pengeluaran
konsumsi seseorang dalam jangka pendek dapat dipengaruhi oleh besarnya
pendapatan relatif. Pendapatan relatif disini adalah merupakan pendapatan
tertinggi yang pernah dicapai oleh seseorang. Sebagai misal, apabila
pendapatan seseorang mengalami kenaikan maka secara otomatis konsumsi
juga mengalami kenaikan dengan proporsi tertentu, dan sebaliknya bila
pendapatan mengalami penurunan maka akan diikuti juga oleh penurunan

Universitas Sumatera Utara

19

konsumsinya. Akan tetapi, proporsi penurunannya lebih kecil dibandingkan
proporsi akibat kenaikan pendapatan tadi.
(Waluyo, D. E., 2002).
2.3 Penelitian Sebelumnya
1. Sherly Emenda Febriana Sitepu (2016). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Ketahanan Pangan Rumah Tangga Miskin di Medan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pekerjaan dan pendidikan tidak berpengaruh signifikan
terhadap ketahanan pangan, sementara pendapatan berpengaruh signifikan
terhadap ketahanan pangan. Secara simultan (bersama-sama) pekerjaan,
pendidikan dan pendapatan berpengaruh positif dan signifikan terhadap
ketahanan pangan pada kota Medan.
2. Heni Susilowati (2014). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketahanan
Pangan Rumah Tangga Miskin di Kecamatan Srandakan Bantul. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa 4 variabel dari 6 variabel yang ditelaah
berpengaruh dan signifikan terhadap ketahanan pangan rumah tangga miskin
di Kecamatan Srandakan Bantul. Variabel tersebut adalah pendapatan rumah
tangga, jumlah anggota keluarga, status perkawinan dan umur kepala rumah
tangga.
3. Friska Juliana Simbolon (2011) Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi
pengeluaran pangan rumah tangga miskin di Kecamatan Medan Tuntungan.
Dari hasil penelitian, diperoleh bahwa rumah tangga miskin yang ada di
Kecamatan Medan Tuntungan termasuk rumah tangga rawan pangan karena
sebanyak 77,5% sampel rumah tangga miskin memiliki besar pangsa atau
persentase pengeluaran pangan yang tinggi.

Universitas Sumatera Utara

20

2.4 Kerangka Pemikiran
Penelitian dilakukan di Desa Sukanalu Kecamatan Barusjahe Kabupaten Karo
dengan responden rumah tangga miskin. Indikator rumah tangga miskin dalam
penelitian ini merupakan rumah tangga yang menerima raskin.
Variabel terikat pada penelitian ini yaitu ketahanan pangan rumah tangga miskin
dengan pendekatan pangsa pengeluaran pangan. Dan variabel bebas dalam
penelitian ini yaitu pendidikan ibu rumah tangga, pekerjaan, pendapatan rumah
tangga dan jumlah anggota keluarga.
Dari uraian di atas dapat diuraikan skema kerangka pemikiran pada gambar 1.

Pendidikan Ibu
Rumah Tangga

Ketahanan Pangan Pada
Rumah Tangga Miskin

Pekerjaan

Pendapatan
Rumah Tangga
Jumlah Anggota
Keluarga

Pangsa (Persentase)
Pengeluaran Pangan

Tahan
Pangan

Tidak Tahan
Pangan

Keterangan :
= adanya hubungan
= pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran

Universitas Sumatera Utara

21

2.5 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan identifikasi masalah, maka hipotesis penelitian adalah:
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan di Desa Sukanalu,
Kecamatan Barusjahe, Kabupaten Karo berpengaruh nyata terhadap ketahanan
pangan dengan pendekatan pengeluaran pangan rumah tangga miskin.

Universitas Sumatera Utara