Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Tingkat Kreativitas antara Sekolah Nonformal (Qaryah Thayyibah) dan Sekolah Formal (SMP 10 Salatiga) T1 802009031 BAB II

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Kreativitas
1.

Pengertian Kreativitas
Kreativitas didefinisikan berbeda-beda. Sedemikian
beragam

definisi

bagaimana

itu,

orang

sehingga

kreativitas


mendefinisikannya

karena

tergantung
kreativitas

merupakan konsep majemuk dan multidimensional, tidak ada
satu definisi yang dapat mewakili pemahaman yang beragam
tentang kreativitas. Hal ini disebabkan dua alasan. Pertama,
sebagai ‘konstruk hipotesis’, kreativitas merupakan ranah
psikologi

yang

kompleks

dan


multidimensional

yang

mengandung tafsiran yang beragam. Kedua, definisi-definisi
kreatifitas,

memberikan

tekanan

yang

berbeda-beda,

tergantung dasar teori yang menjadi acuan pembuat definisi.
Untuk lebih memahami pengertian kreativitas, maka
peneliti

mengutip


beberapa

pendapat

tentang

definisi

kreativitas, diantaranya adalah:
Solso, Maclin & Maclin (2002) mendefinisikan bahwa
kreativitas adalah suatu aktivitas kognitif yang menghasilkan
suatu pandangan yang baru mengenai bentuk permasalahan
dan tidak dibatasi pada hasil yang selalu dipandang menurut
kegunaannya. Guilford (dalam Ali dan Asrori, 2006)
menyatakan bahwa kreativitas mengacu pada kemampuan

11

12


yang menandai ciri-ciri seorang kreatif. Lebih lanjut ia
mengemukakan dua cara berpikir, yaitu cara berpikir
konvergen dan divergen. Cara berpikir konvergen adalah caracara individu dalam memikirkan sesuatu dengan berpandangan
bahwa hanya ada satu jawaban yang benar. Sedangkan cara
berpikir divergen adalah kemampuan individu untuk mencari
berbagai alternatif jawaban terhadap suatu persoalan. Disini
Guilford (dalam Munandar, 1999) menekankan bahwa
individu yang memiliki kemampuan berpikir kreatif akan lebih
banyak memiliki

cara-cara berpikir divergen daripada

konvergen.
Munandar (1999) mengemukakan bahwa kreativitas
adalah

kemampuan

untuk


membuat

kombinasi

baru,

berdasarkan data, informasi, atau unsur-unsur yang sudah ada
atau sudah dikenal sebelumnya, yaitu semua pengalaman dan
pengetahuan yang telah diperoleh seseorang selama hidupnya
baik itu di lingkungan sekolah, keluarga, maupun dari
lingkungan masyarakat.
Selain itu juga Roger (dalam Munandar, 1998)
mendefinisikan kreativitas sebagai proses munculnya hasilhasil baru ke dalam suatu tindakan. Hasil-hasil baru itu muncul
dari sifat-sifat individu yang unik yang berinteraksi dengan
individu lain, pengalaman, maupun keadaan
Selanjutnya Torrance (dalam
mendefinisikan

kreativitas


hidupnya.

Ali dan Asrori, 2006)

sebagai

proses

kemampuan

memahami kesenjangan-kesenjangan atau hambatan-hambatan
dalam hidupnya merumuskan hipotesis-hipotesis baru, dan

13

mengkomunikasikan hasil-hasilnya serta sedapat mungkin
memodifikasi dan menguji hipotesis-hipotesis yang telah
dirumuskan.
Menurut Rhodes (dalam Munandar, 2009) pengertian

kreativitas dapat ditinjau dari empat aspek atau yang disebut
dengan Four P’s of Creativity, yaitu :
a.

Pribadi: kreativitas mencerminkan keunikan individu
dalam interaksi dengan lingkungannya (Hulbeck dalam
Munandar, 2009).

b.

Pendorong:

kondisi

internal

dan

eksternal


yang

mendorong kepribadian kreatif. Kondisi internal dapat
berupa motivasi internal untuk menghasilkan sesuatu
sedangkan kondisi eksternal berasal dari dorongan serta
dukungan dari lingkungan.
c.

Proses: bersibuk diri secara kreatif yang menunjukkan
kelancaran, kelenturan (fleksibelitas), dan orisinalitas
dalam berpikir dan berperilaku. Adapun langkah-langkah
kreatif menurut Wallas (dalam Munandar, 2009) yaitu
meliputi tahap persiapan, inkubasi, iluminasi, dan
verifikasi.

d.

Produk: suatu karya dapat dikatakan kreatif jika
merupakan suatu ciptaan yang baru atau orisinal dan
bermakna bagi individu dan lingkungannya.

Ke-empat konsep di atas saling terkait satu sama lain,

sehingga dalam melihat suatu kreativitas tidak dapat
dilepaskan dari satu kesatuan konsep tersebut atau tidak juga

14

dapat dilihat hanya dengan satu ‘P’ saja. Empat faktor atau
konsep ‘P’ tersebut memiliki fokus pembahasan yang berbeda,
namun tetap saling terkait. Selanjutnya Torrence (dalam
Munandar, 2009) menjelaskan hubungan keempat aspek
tersebut, yaitu dengan berfokus pada proses kreatif, maka jenis
pribadi, lingkungan dan produk yang dihasilkan akan sangat
mempengaruhi, seperti rasa percaya diri dan kemandirian
merupakan salah satu jenis pribadi yang akan mendukung pada
proses kreatif, lingkungan yang tidak mengikat pada pemikiran
secara divergen, dan produk baru yang mempunyai nilai guna
baik dalam bentuk penyelesaian masalah maupun dalam
bentuk material.
Munandar (2002) kembali menyatakan bahwa kreativitas

sebagai kemampuan umum untuk menciptakan sesuatu yang
baru, sebagai kemampuan untuk memberi gagasan-gagasan
baru dapat diterapkan dalam pemecahan masalah, atau sebagai
kemampuan untuk melihat hubungan-hubungan baru antara
unsur-unsur yang sudah ada sebelumnya. Hal tersebut
didukung oleh pendapat Baron (dalam Munandar, 2002) yaitu
suatu kemampuan umum untuk menciptakan sesuatu yang
baru, sebagai kemampuan untuk memberikan gagasan gagasan
baru yang dapat diterapkan dalam pemecahan masalah, atau
sebagai kemampuan untuk melihat hubungan hubungan baru
antara unsur-unsur yang sudah ada sebelumnya.
Sementara itu dalam pengertian lain menurut Campbell
(1986) kreativitas adalah kegiatan yang mendatangkan hasil
yang sifatnya :

15

a.

Baru (Novel) : inovatif, belum ada sebelumnya, segar,

menarik, aneh, mengejutkan.

b.

Berguna (Useful) : lebih enak, mendidik, memecahkan
masalah,

mengurai

hambatan,

mengatasi

kesulitan,

mendatangkan hasil lebih baik atau banyak.
c.

Dapat dimengerti (Understanding) : hasil yang amat sama
dan dapat dimengerti.
Berdasarkan pendapat-pendapat para pakar kreativitas di

atas maka dapat disimpulkan bahwa kreativitas adalah
kemampuan

untuk

mengkombinasikan

pengetahuan,

menemukan cara-cara baru, membuat ide-ide yang baru
dengan tujuan untuk memecahkan masalah dan membuat
karya yang dapat bermanfaat.

2.

Aspek-aspek Kreativitas
Guilford (dalam Sternberg, 1999) mengemukakan
beberapa

faktor

penting

yang merupakan

aspek

dari

kemampuan berpikir kreatif, yaitu:
a.

Kelancaran Berpikir (Fluency of Thinking)
Adalah kemampuan untuk menghasilkan banyak ide yang
keluar dari pemikiran seseorang secara cepat. Dalam
kelancaran berpikir yang perlu ditetapkan adalah kuantitas
bukan kualitas. Munandar (1998) mengemukakan bahwa
kelancaran

berpikir

adalah

kemampuan

untuk

mencetuskan banyaknya gagasan, jawaban, penyelesaian
masalah, memberikan banyak cara atau saran untuk

16

melakukan berbagai hal dan selalu memikirkan lebih dari
satu jawaban.
b.

Keluwesan Berpikir (Flexibility)
Adalah kemampuan
jawaban-jawaban

untuk memproduksi sejumlah ide

atau

pertanyaan-pertanyaan

yang

bervariasi, dapat melihat suatu masalah dari sudut
pandang yang berbeda-beda dan mampu menggunakan
bermacam-macam pendekatan atau cara pemikiran. Orang
yang kreatif adalah orang luwes dalam berpikir. Mereka
dengan mudah dapat meninggalkan cara berpikir lama dan
menggantikan dengan cara berpikir yang baru. Munandar
(1998)

mengemukakan

bahwa

keluwesan

berpikir

merupakan kemampuan melihat suatu masalah dari sudut
pandang yang berbeda-beda, mencari alternatif atau cara
yang berbeda-beda, maupun mengubah cara pendekatan
atau cara berpikir.
c.

Elaborasi Pikiran (Elaboration)
Adalah kemampuan dalam mengembangkan gagasan dan
menambahkan atau merinci detil-detil dari suatu objek
gagasan atau situasi sehingga menjadi lebih menarik.
Munandar (1998) mengemukakan bahwa elaborasi pikiran
adalah

kemampuan

untuk

memperkaya

dan

mengembangkan suatu gagasan, mampu menambahkan
atau merinci detil-detil dari suatu objek, gagasan atau
situasi sehingga lebih menarik. Aspek ini juga penting
dalam mengungkapkan kreativitas karena orang yang

17

kreatif adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk
mengembangkan ide-ide sampai ke hal-hal yang kecil.
d.

Keaslian Berpikir (Originality)
Adalah kemampuan untuk mencetuskan gagasan unik
(Unusual) atau kemampuan untuk mencetuskan gagasan
asli. Munandar (1998), mengemukakan bahwa keaslian
berpikir adalah kemampuan untuk memikirkan ide-ide
baru dan unik, memikirkan cara yang tidak lazim untuk
mengungkapkan diri, mampu membuat kombinasi yang
tidak lazim dari bagian-bagian atau unsur-unsur.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa

ada empat aspek-aspek penting pada kreativitas yaitu (1).
kelancaran berpikir (fluency of thinking) berupa kemampuan
memberikan banyak gagasan dalam waktu yang relatif singkat,
(2). keluwesan berpikir (flexibility) berupa kemampuan
melihat berbagai macam kemungkinan penggunaan suatu
benda, berbagai macam sudut pandang dan jawaban dari suatu
masalah,

(3).

elaborasi

pikiran

berupa

kemampuan

memperkaya dan mengembangkan ide-ide sampai hal-hal yang
sekecil-kecilnya. dan (4). keaslian berpikir (origanility) yang
berupa kemampuan memberikan jawaban yang tak terduga
dan tak terpikirkan oleh orang pada umumnya
Dalam penelitian ini untuk mengukur kreativitas pada
siswa Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah dan Sekolah
Menengah Pertama 10 Salatiga, peneliti menggunakan dua

18

skala, yaitu TKF (Tes Kreativitas Figural) yang diadaptasi
oleh Munandar (1977) dari Torrance Test of Creative Thinking
(Circle Test) dan TKV (Tes Kreativitas Verbal) yang dibuat
oleh Munandar (1977) yang berlandaskan model struktur
intelek Guildford.

3.

Proses dan Tahap Kreativitas.
Pada dasarnya proses kreatif berlangsung sangat
subyektif, misterius, dan personal. Meskipun proses kreatif
mempunyai

tahap-tahap

tertentu,

tidaklah

mudah

mengidentifikasi secara persis pada tahap manakah suatu
proses kreatif seseorang sedang berada. Guilford (dalam
Munandar, 1985) mengajukan model struktur intelektual yang
mengacu pada proses kreatif. Teori ini menjelaskan tentang
tugas-tugas yang melibatkan produksi yang divergen. Produksi
divergen ini merupakan kemampuan dalam menemukan
banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah. Wallas
(Munandar 2009), mengemukakan pendapatnya tentang proses
kreatif bahwa proses kreatif terjadi melalui empat tahap,
yakni:
a.

Preparation / persiapan : persiapan dengan menyelidiki
persoalan yang akan dipecahkan.

b.

Incubation / inkubasi : pengeraman terhadap persoalan itu
untuk suatu jangka waktu.

c.

Illumination / iluminasi : penyinaran dengan lahirnya
gagasan baru sebagai pemecahan persoalan.

19

d.

Verification / verifikasi : pengujian atau pengembangan
terhadap

gagasan

baru

itu

sehingga

benar-benar

terlaksana.
Selanjutnya Walgito (2004) mengemukakan bahwa
dalam berpikir kreatif ada beberapa tingkatan sampai
seseorang memperoleh sesuatu hal yang baru atau pemecahan
masalah. Tingkatan-tingkatan tersebut adalah:
a. Persiapan: tingkatan seseorang memformulasikan masalah
dan mengumpulkan fakta-fakta atau materi yang dipandang
berguna dalam memperoleh pemecahan baru.
b. Inkubasi: merupakan tahap berlangsungnya masalah dalam
jiwa seseorang karena belum menemukan pemecahan
terhadap permasalahan.
c. Pemecahan / iluminasi: tahap mendapatkan pemecahan
masalah.
d. Evaluasi: tahap pengecekan apakah pemecahan yang
diperoleh sudah sesuai atau tidak.
e. Revisi: tahap revisi terhadap pemecahan yang diperoleh.
Sedangkan Timpe (1992) mengemukakan ada empat
sifat utama yang membuat seseorang anak menjadi kreatif,
yaitu: kepekaan terhadap masalah, aliran gagasan, keaslian dan
fleksibilitas.

20

a.

Kepekaan terhadap masalah
Kepekaan terhadap masalah merupakan kemampuan anak
mengenali sebuah masalah yang ada, ataupun dapat
menghapuskan

kesalahpahaman, kesalahan konsepsi,

kekurangan fakta, dan penghalang lain sehingga anak
mampu mengenali masalah yang sesungguhnya, faktorfaktor penyebabnya dan memahami akibat-akibat yang
akan dirasakan.
b.

Aliran gagasan
Anak dapat mengumpulkan sejumlah besar pemecahan
alternatif terhadap suatu masalah tertentu dalam waktu
tertentu . Makin banyak gagasan yang anak miliki, maka
semakin

memungkinkan

anak

menemukan

suatu

pemecahan terhadap masalah yang sedang dihadapinya.
c.

Keaslian
Anak selalu terdorong untuk menemukan cara-cara baru
yang lebih efektif dalam segala hal dan menemukan
konsep-konsep baru untuk belajar setelah mengevaluasi
konsep-konsep lama yang sudah terlihat usang dan tidak
lagi efektif.

d.

Fleksibilitas
Kesediaan anak untuk menggunakan berbagai macam
sudut pandang, perspektif, pendekatan atau paradigma
dalam memecahkan suatu masalah. Artinya anak tidak
hanya terpaksa pada satu metode saja, tetapi anak
mencoba

melihat

dan

memecahkan

pendekatan-pendekatan lain.

masalah

dari

21

4.

Faktor-Faktor yang memengaruhi kreativitas
Kreativitas adalah hasil dari proses interaksi antara
individu dan lingkungannya. Seseorang memengaruhi dan
dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia berada, dengan
demikian baik perubahan di dalam individu maupun di dalam
lingkungan dapat menunjang atau menghambat upaya kreatif
(Munandar, 2009). Hurlock (1993) menegaskan bahwa semua
anak mempunyai potensi untuk kreatif. Kreativitas tersebut
berbeda pada setiap individu, hal ini menunjukkan bahwa
untuk mengembangkan pemikiran kreatif perlu rangsangan
dan kesempatan dari lingkungan. Dimana lingkungan yang
mengandung keamanan dan kebebasan psikologis, maka
kreativitas akan muncul dari kualitas dan keunikan individu
yang memungkinkan terciptanya hal-hal yang baru.
Menurut Guilford (dalam Munandar, 2009) bahwa
faktor yang mempengaruhi pemikiran kreatif pada individu
adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan aptitude dan
non-aptitude traits. Secara aptitude berpikir kreatif meliputi
kelancaran, kelenturan dan orisinalitas. Ini ditunjukkan dengan
kemampuan berpikir secara divergen. Sedangkan secara nonaptitude atau afektif meliputi kepercayaan diri, keuletan,
kemandirian, dan lain sebagainya.
Selanjutnya, Munandar (dalam Ali dan Asrori, 2006)
mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
kreativitas adalah usia, tingkat pendidikan orang tua,
tersedianya fasilitas dan penggunaan waktu luang terhadap
kegiatan kreatif, dan lain sebagainya.

22

Rogers (dalam Munandar, 1999) menyatakan bahwa
ada beberapa faktor yang memengaruhi kreativitas siswa,
yaitu:
a. Faktor Internal
Yaitu berasal dari individu itu sendiri, yang meliputi
keterbukaan terhadap pengalaman, terhadap rangsanganrangsangan dari luar atau rangsangan dari dalam,
kemampuan untuk menilai diri produk-produk ciptaannya,
keterbukaan terhadap kritik dari orang lain, kemampuan
untuk bermain atau bereksplorasi dengan unsur-unsur,
bentuk-bentuk,

konsep-konsep

serta

membentuk

kombinasi-kombinasi baru berdasarkan hal-hal yang sudah
ada sebelumnya.
b. Faktor eksternal
Yaitu berasal dari luar individu yang bersangkutan, yang
meliputi keamanan dan kebebasan psikologis, sarana atau
fasilitas, toleransi terhadap pandangan bagi orang kreatif,
adanya waktu bebas yang cukup dan kesempatan untuk
menyendiri, dorongan-dorongan untuk mengembangkan
fantasi, kognisi dan inisiatif serta penerimaan dan
penghargaan terhadap individu.
Munandar (2009) mengemukakan bahwa lingkungan
yang dapat memengaruhi kreativitas individu dapat berupa
lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.

23

B. Jalur Pendidikan
1.

Pengertian Jalur Pendidikan
Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta
didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses
pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Sistem
Pendidikan Nasional Indonesia mengakui ada 3 jalur
pendidikan dan mengacu pada definisi yang dikemukanan oleh
Coombs (dalam Abdulhak, 2012), yaitu:
a.

Formal
Adalah

sistem

pendidikan

yang

berstruktur,

bertingkat, berjenjang, dimulai dari sekolah dasar sampai
universitas dan yang setaraf, termasuk kegiatan belajar
yang berorientasi akademik dan umum, macam-macam
spesialisasi dan latihan tehnik serta latihan profesional.
b.

Informal
Adalah proses yang berlangsung seumur hidup,
yang dalam proses itu setiap orang memperoleh nilai,
sikap, ketrampilan, dan pengetahuan yang berasal dari
pengalaman hidup sehari-hari dan pengaruh sumbersumber pendidikan dalam lingkungan hidupnya, seperti
keluarga,

teman

sepermainan,

tetangga,

pekerjaan,

perpustakaan, pasar, media massa, dan sebagainya..
c.

Nonformal
Adalah

setiap

kegiatan

pendidikan

yang

diorganisasikan diluar sistem persekolahan yang mapan,
dilakukan secara sengaja untuk melayani peserta didik
tertentu guna mencapai tujuan belajarnya.

24

2.

Pengertian Sekolah Menengah Pertama
Sekolah Menengah Pertama adalah jenjang pendidikan
dasar pada pendidikan formal maupun nonformal setelah lulus
dari sekolah dasar.
a.

Jalur Pendidikan Nonformal (Qaryah Thayyibah)
Sekolah Nonformal adalah jalur pendidikan diluar
pendidikan

formal

yang

bisa

dilaksanakan

secara

terstruktur dan berjenjang.
b.

Jalur Pendidikan Formal (SMP 10 Salatiga)
Sekolah Formal adalah jalur pendidikan pendidikan yang
terstruktur

dan

berjenjang

yang

terdiri

dari

atas

pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan
tinggi.
3.

Kondisi Sekolah
a.

Sekolah Nonformal (Qaryah Thayyibah)
Menurut Abhiyoga (2011) dalam penelitiannya
menjelaskan bahwa metode pembelajaran komunitas ini
adalah :
1) Sebagai sebuah kelompok belajar yang menitikberatkan sistem pembelajaran pada minat anak,
proses pembelajaran yang ada pastinya akan jauh dari
istilah “paksaan”.
2) Sistem pembelajaran akan terjadi secara alami sesuai
keinginan dari sang anak yang telah disepakati
bersama, yang terbentuk dalam forum-forum.
3) Kegiatan belajar KB QT juga tak berlangsung formal,
dalam belajar, jika anggota kelompok belajar merasa

25

bosan atau jenuh dengan suasana yang ada dalam
ruangan, mereka dapat mengusulkan untuk belajar di
alam terbuka, tergantung kesepakatan bersama.
4) Tidak seperti sekolah pada umumnya, KB QT kurang
setuju dengan istilah “guru”, yang seakan-akan
menjadi sumber utama proses belajar. Guru di KB QT
umum disebut sebagai pendamping yang memiliki
kapasitas selevel dengan anggota belajar yang lain.
Tidak ada anggota komunitas yang menjadi pusat
sumber pengetahuan dan disebut “guru”. Semuanya
sama-sama belajar satu sama lain sesuai dengan
konsep “long life education”
5) Dalam proses belajarnya, KB QT tak memiliki system
ranking atau sistem sejenis yang dapat menimbulkan
“gab” antara satu anak dengan anak yang lain. KB QT
akan

menganggap

bahwa

semua

anak

adalah

unggulan dan semua anak rangking 1. Dengan begitu
tak ada “gab” atau level-level artifisial yang
terkadang justru kurang berkenan atau bahkan
menjadi sebuah permasalahan baru yang muncul
dalam hubungan atau interaksi antara anggota belajar.
6) Sistem Evaluasi Berpusat pada Subjek Didik yaitu
puncak keberhasilan pembelajaran adalah ketika si
subjek didik menemukan dirinya, berkemampuan
mengevaluasi diri sehingga tahu persis potensi yang
dimilikinya,

dan

berikut

mengembangkannya

sehingga bermanfaat bagi yang lain

26

Menurut
kelompok

Abhiyoga

belajar

(2011)

yang

Sebagai

sebuah

menitikberatkan

sistem

pembelajaran pada minat anak, proses pembelajaran yang
ada pastinya akan jauh dari istilah “paksaan”. Bukan oleh
guru, sistem pembelajaran akan terjadi secara alami sesuai
keinginan dari sang anak yang telah disepakati bersama,
yang terbentuk dalam forum-forum. Kegiatan belajar KB
QT juga tak berlangsung formal. Dalam belajar, jika
anggota kelompok belajar merasa bosan atau jenuh
dengan suasana yang ada dalam ruangan, mereka dapat
mengusulkan untuk belajar di alam terbuka, tergantung
kesepakatan bersama.
Tak

seperti

sekolah

regular

lain

yang

menggunakan seragam sebagai identitas seorang pelajar,
KB QT tidak memberlakukannya. Seragam dipandang
sebagai sebuah penyeragaman yang menjemukan. Dengan
duduk melingkar tanpa seragam, keadaan belajar akan
terasa lebih santai dan memposisikan anggota belajar
lebih nyaman berinteraksi satu sama lain.
Pada proses pembelajaran yang ada, KB QT lebih
mengedepankan proses produksi daripada konsumsi
pengetahuan. Anggota komunitas belajar QT sebisa
mungkin dimotivasi untuk menghasilkan karya-karya
yang

mereka

produksi,

berbekal

landasan-landasan

mendasar yang muncul atau pernah mereka bahas dan
pelajari dalam forum-forum
Disinilah

professional

skill

yang telah terbentuk.
setiap

individu

akan

27

digembleng. Telah disepakati bahwa karya-karya yang
telah terwujud nyata ini akan mendapatkan point plus
yang lebih ketimbang

jawaban-jawaban hafalan yang

diisikan pada lembar jawab tes, yang nantinya bermuara
pada selembar kertas ijazah Negara.
b.

Sekolah Formal (SMP 10 Salatiga)
Sekolah Formal memakai jalur pendidikan formal
dalam sistem dan kondisi sekolahnya yang diuraikan oleh
Joesoef (2008) bahwa :
1) Selalu dibagi atas jenjang yang memiliki hierarkis
2) Waktu penyampaian diprogram lebih panjang atau
lebih lama.
3) Usia siswa disesuatu jenjang relatif homogen,
khususnya jenjang - jenjang permulaan
4) Para siswa umumnya berorientasi studi untuk jangka
waktu yang relatif lama, kurang berorientasi pada
materi program yang bersifat praktis, dan kurang
berorientasi ke arah cepat kerja.
5) Materi pelajaran pada umumnya lebih banyak bersifat
akademis, dan umum.
6) Merupakan response dari kebutuhan umum dan relatif
jangka panjang.
Menurut buku Rancangan Proses Pembelajaran
tahun 2011/2012 kelas 7 yang diambil satu kali pertemuan
dalam 13 mata pelajaran dapat dilihat bahwa metode
pembelajaran yang dipakai meliputi :

28

No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Metode Pembelajaran
Tanya Jawab
Ceramah
CTL
Pemodelan
Demonstrasi
Diskusi
Pemberian Tugas
Inkuiri
Unjuk Kerja
Three Pass Technique
Observasi
Life Skill
Inklusive
Part and Whole
Reciprocal
Cooperative Learning

Prosentase
19,07%
14,31%
9,52%
9,52%
9,52%
7,14%
7,14%
4,76%
2,38%
2,38%
2,38%
2,38%
2,38%
2,38%
2,38%
2,38%

Dari beberapa metode pembelajaran yang dipakai
oleh sekolah menengah pertama 10 Salatiga, dapat dilihat
bahwa prosentase terbesar yang dipakai pada setiap mata
pelajaran adalah dengan cara ceramah dan tanya jawab.
Yamin (2012) memberikan pandangan tentang
kondisi sekolah formal bahwa sekolah tersebut memiliki
regulasi yang padat seperti seragam, sepatu, buku dan
segala macam yang sudah ditentukan setiap hari tertentu
kemudian juga harus dibawa dan jangan sampai ada yang
tertinggal. Masuk sekolah harus tertib. Dalam sekolah,
jangan ada yang membuat kegaduhan atau apa pun yang
dapat menciptakan hiruk pikuk sebab ini tidak akan
menjadikan

proses

pembelajaran

berjalan

dengan

sedemikian baik. Yang lebih penting lagi, ketika jam

29

terakhir sudah selesai, sekolah atau jam sekolah sudah
bubar, maka semua siswa harus segera pulang ke rumah
masing-masing. Jangan ada yang masih keluyuran dalam
sekolah dan begitu seterusnya. Persoalannya adalah terkait
aturan yang dibuat sekolah juga semakin rumit dan
bertambah rumit.
4.

Siswa
a.

Pengertian Siswa
Siswa adalah peserta didik pada satuan pendidikan
jenjang pendidikan dasar dan menengah. Pada tahap ini,
menurut Erickson (dakam Hanum, 2000) siswa memasuki
tahap awal dari perkembangan remaja. Siswa adalah
subjek atau pribadi yang unik (khas untuk dirinya)
sehingga perlu adanya peraturan program belajar yang
selaras dengan kemampuan dasar sikap siswa (Samana,
1992).
Menurut Monks (dalam Hanum, 2000), pada
umumnya siswa adalah remaja masih belajar di sekolah
menengah atau perguruan tinggi. Rata-rata remaja
menyelesaikan sekolah lanjutan pada usia kurang lebih 18
tahun.

b.

Pengertian Siswa Sekolah Menengah Pertama
Siswa sekolah menengah pertama adalah individu
yang sedang menjalani pendidikan di sekolah menengah
pertama. Menurut Sulaeman (1995), siswa SMP secara
kronologis berusia antara 12-15 tahun. Batasan usia
remaja menurut Monks (dalam Hanum, 2000) adalah

30

antara 12-21 tahun, dengan perincian 12-15 tahun
merupakan masa remaja awal, 15-18 tahun merupakan
masa remaja pertengahan, 18-21 tahun merupakan masa
remaja akhir.

C. Perbedaan Tingkat Kreativitas antara pendidikan nonformal
(Qaryah Thayyibah) dan pendidikan formal (SMP 10 Salatiga)
Program pendidikan di Qaryah Thayyibah sudah semakin
meluas dan cukup dikenal, termasuk di lingkungan lokal maupun
interlokal.

Banyak

para

pendidik

dan

tokoh

masyarakat

menyambut positif kebijakan ini, karena program ini adalah
menurut Bahruddin (2006) Qaryah Thayyibah dapat membebaskan
siswa untuk belajar apa saja sesuai minat dan hal-hal yang
disukainya terlebih dahulu dalam mereka melakukan proses
belajar. Sesekali mereka berkunjung ke berbagai tempat yang bisa
menjadi objek pelajaran, seperti persawahan, taman burung,
perkebunan yang berisi beraneka ragam makhluk hidup, seperti
persawahan, pasar, dan tempat tempat lain yang dapat dijadikan
sebagai sarana belajar, menurut Rogers (dalam Munandar,1999)
sarana dan fasilitas belajar yang begitu nyata akan mempengaruhi
kreativitas seorang siswa.
Feldhusen dan Treffinger (dalam Fasko, 2001) juga
menyatakan bahwa menyediakan sarana untuk bereksplorasi
merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kreativitas. Hal ini
berbeda dengan konsep sekolah formal seperti yang sangat
komplek. Belajar mengajar di sekolah formal seperti SMP 10
Salatiga berlangsung dalam lingkungan pendidikan di mana guru

31

harus mendampingi siswa dalam perkembangannya menuju
kedewasaan, melalui proses belajar mengajar di dalam kelas
melalui ceramah ataupun tanya jawab. Proses belajar mengajar
dengan tanya jawab dan ceramah menurut Hisyam (2001) dan
Sugandi (2006) dapat menekan kreativitas siswa. Selain itu, siswa
yang belajar di sekolah formal memiliki kondisi psikologis yang
berbeda-beda dan harus mengikuti aturan-aturan yang telah
ditetapkan pihak sekolah sehingga menyebabkan keterbatasan bagi
ruang gerak siswa (Suryadi dan Hartilaar,1993). Keterbatasan
tersebut akan membuat kreativitas anak tidak berkembang
(Munandar, 1999).
Dalam mendidik, baik Qaryah Thayyibah maupun sekolah
formal seperti SMP 10 Salatiga, sama-sama sebagai sebuah sarana
untuk menghantarkan anak-anak mencapai tujuan pendidikan
seperti yang diharapkan. Pengelolaan di sekolah formal seperti
pengaturan dan penentuan kurikulum serta materi ajarnya, dan
kemudian di dalam sekolah formal juga telah mengatur jadwal
belajar dan menentukan seragam untuk seluruh siswa. Menurut
Feldhusen dan Treffinger (dalam Fasko, 2001) dalam pengaturan
dan penentuan materi ajar serta jadwal yang ketat tidak akan
memberikan kesempatan pada anak untuk mengembangkan sifat
eksploratif yang cenderung berpengaruh pada kreativitas siswa.
Sementara pengelolaan pada Qaryah Thayyibah diarahkan pada
keinginan siswa, kurikulum dan materi ajar dipilih dan ditentukan
oleh siswa (Bahruddin, 2006). Pemberian kebebasan tersebut akan
mempengaruhi sisi psikologis siswa dan merupakan salah satu
faktor yang dapat meningkatkan kreativitas (Munandar, 1999).

32

Qaryah Thayyibah juga memiliki jadwal belajar yang fleksibel,
tergantung pada kesepakatan antara anak dan pendamping,
menyediakan pendampingan oleh guru dalam
menguatkan

sebuah

ide/gagasan

adalah

membangun dan
salah

satu

cara

meningkatkan kreativitas (Treffinger dalam Fasko, 2001).
Menurut Mulyasa (dalam Rusman, 2011), pembelajaran
menyenangkan merupakan suatu proses pembelajaran yang
didalamnya terdapat suatu hubungan yang kuat antara guru dan
siswa, tanpa ada perasaan terpaksa atau tertekan. Pembelajaran
menyenangkan adalah adanya pola hubungan baik antara guru
dengan siswa dalam proses pembelajaran. Guru memosisikan diri
sebagai mitra belajar siswa, bahkan dalam hal tertentu tidak
menutup kemungkinan guru belajar dari siswanya, kondisi seperti
ini juga terjadi di Qaryah Thayyibah. Dalam hal ini perlu
diciptakan suasana yang demokratis dan tidak ada beban, baik guru
maupun siswa dalam melakukan proses pembelajaran. Jadwal
belajar yang ketat seperti halnya di sekolah formal, kurang mampu
mengoptimalkan kepentingan ini. Kemungkinan, pada saat
pembelajaran berlangsung, siswa dan juga gurunya belum
memiliki minat untuk belajar, efeknya proses belajar mengajar
menjadi tidak efektif. Makna dari pelajarannya pun kemungkinan
tidak dapat diserap, sehingga proses kreativitas akan terhambat.
Namun, di Qaryah Thayyibah dengan membebaskan maka siswa
ketika belajar tidak adanya unsur paksaan atau tertekan sehingga
memberikan kebebasan untuk bereksplorasi dan merangsang
kreativitas siswa (Munandar, 1999) serta pendamping juga ingin
belajar dari siswanya ketika proses belajar mengajar berlangsung.

33

Sementara itu, hal yang dapat menunjang kreativitas
menurut Munandar (1985) adalah menciptakan iklim yang
menunjang pengembangan kreativitas dan mendorong anak merasa
tertarik dan tertantang untuk bersibuk diri secara kreatif. Blair,
Jones, Simpson (1975) mengatakan bahwa anak akan kreatif bila
diberi kesempatan untuk menyentuh, menggunakan peralatanperalatan, dan mengubah-ubah bentuk objek. Setiap sekolah baik
sekolah formal seperti SMP 10 Salatiga maupun sekolah
nonformal seperti Qaryah Thayyibah pasti pernah memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk menyentuh, menggunakan
peralatan, dan mengubah-ubah bentuk objek dalam setiap
pelajarannya, tetapi hal yang membedakan dari keduanya adalah
frekuensi/seberapa sering dimana mereka selaku sekolah yang
memfasilitasi peserta didik untuk melakukan kegiatan tersebut.
Hal ini memberi implikasi bahwa apa pun jenis kegiatan belajar
hendaknya menyediakan lingkungan dan sarana yang dapat
mengembangkan sifat eksploratif dan rasa ingin tahu dari peserta
didiknya. Kesempatan yang luas untuk berinteraksi dengan
lingkungan

sekitar

akan

lebih

mendorong

perkembangan

kreativitas. Siswa-siswa yang mengikuti di komunitas belajar
Qaryah Thayyibah diperkirakan memiliki kreativitas yang berbeda
dibandingkan dengan siswa-siswa yang belajar di sekolah formal
seperti SMP 10 Salatiga. Siswa di Qaryah Thayyibah lebih
fleksibel dalam menerima maupun mengikuti pendidikan, tidak
kaku dan tidak terlalu berstruktur sebagaimana sekolah formal.
Pendidikan Qaryah Thayyibah lebih kepada upaya pengembangan
kreatif anak-anak itu sendiri, sehingga tercipta anak-anak yang
senang belajar, menjalankan aktivitas

pembelajaran dengan

34

motivasi internal yang mandiri, kreatif, serta mampu menguasai
materi pelajaran secara lebih efektif.
Dengan

melihat

adanya

perbedaan

dalam

sistem

pembelajaran dan kondisi sekolah maka jika diberikan alat tes
berupa tes kreativitas figural dan kreativitas verbal akan
menghasilkan skor yang berbeda. Dengan demikian, kreativitas
siswa Qaryah Thayyibah belum tentu sama dengan kreativitas yang
dimiliki oleh siswa di sekolah formal.
D. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian teoritik yang dikemukan di atas, maka
dalam penelitian ini diajukan sebuah hipotesis sebagai jawaban
sementara terhadap permasalahan yang telah dikemukakan.
Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: “Ada
perbedaan kreativitas antara siswa jalur pendidikan nonformal
(Qaryah Thayyibah) dan siswa jalur pendidikan formal (SMP 10
Salatiga) dengan rata-rata tingkat kreativitas lebih tinggi pada jalur
pendidikan nonformal (Qaryah Thayyibah)”.
E. Hipotesis Statistik
Hipotesis statistik dalam penelitian ini antara lain :
Ho : µ 1 = µ 2

Tidak ada perbedaan yang signifikan antara
antara siswa jalur pendidikan nonformal Qaryah
Thayyibah dan siswa jalur pendidikan formal
SMP 10 Salatiga

H1 : µ 1 ≠ µ2

Ada perbedaan yang signifikan antara antara
siswa jalur pendidikan nonformal Qaryah
Thayyibah dan siswa jalur pendidikan formal
SMP 10 Salatiga.

Dokumen yang terkait

PERILAKU BELAJAR MATEMATIKA SISWA SEKOLAH ALTERNATIF QARYAH THAYYIBAH SALATIGA PERILAKU BELAJAR MATEMATIKA SISWA SEKOLAH ALTERNATIF QARYAH THAYYIBAH SALATIGA.

0 1 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Manajemen Kurikulum Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Manajemen Kurikulum Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah T2 942012002 BAB II

0 0 42

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Sekolah Guru B di Salatiga T1 152008006 BAB II

0 0 20

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Tingkat Kreativitas antara Sekolah Nonformal (Qaryah Thayyibah) dan Sekolah Formal (SMP 10 Salatiga)

0 0 39

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Tingkat Kreativitas antara Sekolah Nonformal (Qaryah Thayyibah) dan Sekolah Formal (SMP 10 Salatiga) T1 802009031 BAB I

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Tingkat Kreativitas antara Sekolah Nonformal (Qaryah Thayyibah) dan Sekolah Formal (SMP 10 Salatiga) T1 802009031 BAB IV

0 0 20

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Tingkat Kreativitas antara Sekolah Nonformal (Qaryah Thayyibah) dan Sekolah Formal (SMP 10 Salatiga) T1 802009031 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Tingkat Kreativitas antara Sekolah Nonformal (Qaryah Thayyibah) dan Sekolah Formal (SMP 10 Salatiga)

0 0 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pola Komunikasi Kelompok dalam Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah Salatiga

0 0 18