PERLINDUNGAN ANAK DI PONDOK PESANTREN (1)

PERLINDUNGAN ANAK DI PONDOK PESANTREN1
Oleh : Chairul Lutfi2

PENDAHULUAN
Istilah pondok pesantren tidak asing bagi masyarakat Indonesia. Apalagi di tahun ini,
semarak disyi‟arkan “Gerakan Ayo Mondok” oleh salah satu Ormas terbesar di Indonesia,
Nahdlatul Ulama melalui Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).3 Pesan tersebut
bertebaran di media sosial, maupun pemberitaan di media cetak. Bulan Oktober ini, Ormas
NU dan beberapa Ormas yang lain mendesak kepada Presiden RI untuk segera
mengesahkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional.4
Pondok Pesantren5, yang kemudian biasa disingkat Ponpes, menurut istilah, kata pondok
berasal dari pengertian asrama-asrama para santri yang disebut pondok atau tempat tinggal
yang terbuat dari bambu. Kata pondok juga berasal dari bahasa Arab “funduq” yang
artinya hotel atau asrama.6 Kemudian istilah pesantren, berasal dari kata santri dengan
awalan “pe” dan akhiran “an”, yang berarti tempat tinggal para santri. Sedangkan kata
“santri”, menurut Profesor Jhon berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa
Tamil, yang berarti Guru Mengaji. C.C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal
dari istilah “shastri” yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci
Agama Hindu. Sedangkan M. Chatuverdi dan Tiwari berpendapat bahwa santri berasal
dari kata “shastra” yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku
tentang ilmu pengetahuan.7

Ponpes sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia adalah basis terpenting dalam
pembangunan karakter, pendidikan moral, dan pendidikan Agama, menjadi mata rantai
yang sangat vital. Hal tersebut tidaklah mengherankan, sejarah kemunculan pesantren yang
sepuh juga karena peran pesantren telah signifikan ikut andil dalam mencerdaskan

1

Disampaikan pada Diskusi P3DI DPR RI tanggal 13 Oktober 2015
Pengurus Lembaga Pendidikan, Pelatihan dan Kaderisasi Majelis Pemuda Islam Indonesia (MPII), badan
otonom kepemudaan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Staf Ahli Anggota Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia (DPD RI) 2014 – 2019, Alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafi‟iyah Sukorejo
Situbondo Jawa Timur
3
Gerakan Nasioanal “Ayo Mondok Pesantrenku Keren” merupakan program yang dicanangkan oleh PBNU
melalui Rabithah Ma‟ahid Islamiyah (RMI) diketuai oleh KH. Lukman Harits Dimyati, yang telah
diluncurkan pada tanggal 1 Juni 2015 di Aula Gedung PBNU
4
Istilah Peringatan “Hari Santri Nasional” merupakan aspirasi sebagian besar umat Islam khususnya NU
serta beberapa Ormas yang lain untuk mengingatkan momentum perjuangan kaum santri yang terlibat
dalam perjuangan mempertahankan NKRI, yang dicetuskan “Resolusi Jihad” oleh KH. Hasyim Asy‟ari

pendiri NU, untuk melawan kolonialisme pada waktu itu
5
Di Indonesia, Pondok Pesantren terbagi menjadi dua model, yang pertama Pondok pesantren tradisional,
yaitu ponpes yang hanya mengajarkan kitab kuning secara sorogan dengan pengajian, Kyai membacakan
kitab dan santri mendengar dan menyimak penjelasan Kyai. Ponpes Tradisional/Salafiyah seperti Ponpes
Sidogiri, Lirboyo, Ploso, dsb. Sedangkan Ponpes modern yaitu pondok pesantren yang menggunakan
pendekatan pendidikan kelembagaan formal, sebagaimana pendidikan formal pada umumnya. Namun,
akhir-akhir ini sudah banyak ponpes tradisional yang berkembang (modernisasi) menuju ponpes semimodern maupun modern sepenuhnya.
6
Hanun Asrohah, Pelembagaan Pesantren, Asal-Usul Dan Perkembangan Pesantren Di Jawa, (Jakarta :
Depag RI, 2004), hlm. 32
7
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta: LP3ES, 1985),
hlm. 18.
2

kehidupan bangsa.8 Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam
untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam
dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman prilaku sehari-hari.9
Salah satu dari ciri Ponpes adalah adanya kepatuhan santri terhadap Kyai, sehingga tidak

ada istilah menentang, santri kepada kyai nya. Hubungan yang akrab antara santri dan
Kyai, Kemandirian dan kedisiplinan serta kesederhanaan.10
PEMBAHASAN
Kekerasan di Pondok Pesantren
Masih segar diingatan kita, beberapa pemberitaan media pada tahun 2014 memunculkan
pondok pesantren melakukan kekerasan terhadap santrinya. Baik dilakukan oleh Kiai
sebagai pengasuh ponpes, maupun para pengurus dan santri senior. Salah satunya, Pondok
Pesantren Al Urwatul Wustqo yang berlokasi di Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang
Jawa Timur. Ponpes tersebut melakukan hukuman cambuk menggunakan rotan kepada
santrinya.11
Bentuk-bentuk kekerasan meliputi beberapa teknik penghukuman, seperti bentakan, push
up, ro‟an, dan pemukulan. Selain terjadi di unit pesantren, kekerasan juga terjadi di unit
sekolah formal di mana guru menjadi pelakunya. Sedangkan pelaku pada unit pesantren
terdiri dari Kyai, ustadz, dan santri senior. Hal tersebut dipicu oleh kekuasaan atas dasar
senioritas yang terselubung atas nama pendisiplinan santri. Dari berbagai bentuk kekerasan
meliputi tiga teknik penghukuman, yaitu teknik verbal, teknik fisik tanpa kontak fisik, dan
teknik dengan kontak fisik disebabkan oleh pelaku santri yang abnormal, lokasi pesantren
yang tersiolasi, dan adanya hierarkhi kekuasaan yang terbentuk atas dasar kuasa
pengetahuan. Dampak kekerasan di Pondok Pesantren Majlissut Ta‟allum berupa kerugian
fisik dan kerugian psikis pada korban kekerasan. Kekerasa juga berdampak pada

kemungkinan munculnya pelaku-pelaku kekerasan baru yang terinspirasi dari kekerasan
yang pernah dialaminya. Selain itu, kekerasan juga berdampak pada terciptanya ketertiban,
muncul dan menguatnya hierarki kekuasaan yang kuat, dan pelembagaan kekerasan seolah
menjadi tradisi yang turun temurun terus terjadi.12
Walaupun dengan dalih mendidik dan mendisiplinkan anak, hukuman dengan cara-cara
kekerasan, tidak dibenarkan oleh Agama maupun Negara, dalam hal ini undang-undang
yang mengatur tentang perlindungan anak. Alasan untuk menerapan syariat Islam
misalnya, dengan menghukum anak yang tidak mengerjakan sholat dengan memukul

8

Abdul Hady Mukti, et al., Pengembangan Metodologi Pembelajaran di Salafiyah (Jakarta: Departemen
Agama RI, 2002), hlm. 1.
9
Jamaluddin Malik, Pemberdayaan Pesantren, Menuju Kemandirian Dan Profesionalisme Santri,
(Yogyakarta
10
M. Sulthon dan Moh. Khusnuridlo, Manajemen Pondok Pesantren Dalam Perspektif Global, (Yogyakarta:
LB. Pressindo, 2006), Hlm. 12
11

Hukuman cambuk yang dilakukan di Ponpes Al Urwatul Wustqo yang dipimpin oleh KH. Muhammad
Qoyyim Yakub didirkan pada tahun 1990, diketahui setelah tersebarnya video berdurasi 5 menit 21 detik,
tentang pencambukan santri oleh pengurus pesantren pada tahun 2009. Pencambukan tersebut dilakukan di
halaman pesantren dengan disaksikan oleh para santri yang lain. Atas beredarnya video tersebut, pada
tahun 2014 kemudian ditindak lanjuti oleh MUI Kabupaten Jombang, Polres Jombang, Pemekab Jombang,
DPRD Kabupaten Jombang, KPAI, dan Komnas PA.
12
Takziran dan Relasi Kuasa di Pondok Pesantren (Studi tentang Fenomena Kekerasan di Pondok Pesantren
Majlissut Ta‟allum Kota Semarang) Skripsi, M. Ghufron, 2012, Jurusan Sosiologi dan Antropologi,
Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang

dipahami keliru oleh sebagian besar orang tua dan ustadz di Ponpes.13 Tentunya reaksi
pemukulan tersebut, masih diperlukan penafsiran yang lebih tepat. Ulama bersepakat
bahwa memukul itu adalah alternatif paling akhir, itupun tidak dengan cara sampai
melukai apalagi sampai cacat fisik.
Perlindungan Anak di Pondok Pesantren
Hak anak merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia seperti tercantum dalam UndangUndang Dasar 1945 dan Konvensi Hak-Hak Anak (HKA) atau convention on the rights of
childs (CRC) yang disetujui oleh Majelis Umum PBB tanggal 20 November 1989 dan
telah terbitnya Undang-Undang 35 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Peraturan tersebut mencerminkan bahwa dalam

diri setiap anak sudah melekat harkat dan martabat sebagai seorang manusia yang harus
dijunjung tinggi, dijaga, dan dipelihara.
Namun, tidak selamanya anak mendapatkan pengasuhan dan perlindungan dalam
lingkungan yang aman dan nyaman bagi tumbuh dan kembang anak. Keluarga sebagai
lembaga pengasuhan terbaik bagi anak tidak selamanya selalu memberikan kehidupan
yang nyaman bagi anak. Untuk itu, anak membutuhkan lembaga pengasuhan alternatif
salah satunya melalui pondok pesantren. Berdasarkan hasil penelitian, pola pengasuhan di
pondok pesantren tidak selalu sama bahkan tidak memberikan kenyamanan bagi anak
karena rentan dengan terjadinya kekerasan. Seperti misalnya, pemberian hukuman push
up, scot jump, lari mengelilingi ponpes, maupun membersihkan kamar mandi dalam
jangka waktu tertentu. Meskipun sebagian besar anak menerima dengan ikhlas perlakuan
tersebut tetapi perlakuan tersebut akan terus membekas dalam diri si anak yang dapat
mempengaruhi kondisi kejiwaannya.14
Mayoritas anak-anak ditempatkan di panti asuhan atau pondok pesantren oleh keluarga
yang mengalami kesulitan ekonomi dengan tujuan untuk memastikan anak-anak mereka
mendapatkan pendidikan. Fakta di lapangan, mayoritas panti asuhan dan ponpes tidak
memberikan „pengasuhan‟ sama sekali, melainkan hanya menyediakan akses pendidikan.
Secara eksplisit, hal ini tertera dalam pendekatan pengasuhan, pelayanan yang diberikan,
dan sumberdaya yang diberikan oleh panti asuhan dan ponpes. Hal ini mengindikasikan
rendahnya standart minimum pengasuhan sehingga sulit untuk menghasilkan pengasuhan

yang professional dan berkualitas.15
Peran pondok pesantren dalam mendidik anak (santri) harus kaffah menyeluruh, dalam
aspek pendidikan dan pengajaran materi keagamaan maupun dalam hal bimbingan
Hadist itu berbunyi “Perintahkan anak-anakmu untuk shalat pada usia 7 tahun. Dan pukullah pada usia 10
tahun. Dan pisahkan mereka (anak laki dan perempuan) pada tempat tidurnya." (HR Abu Daud). Padahal
Rasulullah sendiri tidak pernah menggunakan tangannya untuk memukul anak atau istri beliau.
Sebagaimana disabdakan “Rasulullah tidak pernah memukul dengan tangannya, baik terhadap isteri
maupun terhadap pelayannya, kecuali dia berjihad di jalan Allah.” (HR Muslim No 4296) serta hadist lain
“Dari Anas yang berkata: “Aku telah melayani Rasulullah selama sepuluh tahun. Demi Allah, beliau tidak
pernah mengeluarkan kata-kata hardikan kepadaku, tidak pernah menanyakan 'Mengapa engkau lakukan?'
dan pula tidak pernah mengatakan 'Mengapa kau tidak mengerjakannya?'” (HR Bukhari, No 5578). Hal ini
menjadi catatan penting khususnya bagi orang tua dan para pendidik, guru maupun ustadz di Ponpes agar
tidak melakukan kekerasan dalam mendidik anak atau santri
14
Hasil penelitian Pusat Penelitian Kependudukan, LPPM UNS dengan UNICEF pada tahun 2009, dengan
judul Pola Pengasuhan Anak Di Panti Asuhan Dan Pondok Pesantren Kota Solo Dan Kabupaten Klaten
15
Penelitian ini menemukan bahwa „pengasuhan‟ dimengerti dalam konteks merespon masalah dan
cenderung berhubungan dengan isu-isu disiplin, melatih kemandirian dan tanggung jawab anak sehingga
panti asuhan membuat peraturan yang cukup ketat dan hukuman fisik dan pelecehan banyak ditemukan.


13

spiritual. Metode ketauladanan dengan contoh kedisiplinan, sopan santun (akhlaqul
karimah), pekerjaan sehari-hari yang menekankan pada aspek kemandirian dan
kesederhanaan dipadukan dengan pembiasaan yang teratur. Tentunya dalam hal
penanaman nilai tersebut, mengalami kendala penerapannya oleh para santri.
Tata tertib atau peraturan Pondok Pesantren harus dipatuhi, Oleh karena itu, harus
diterapkan metode pengganjaran (rewarding) yang meliputi penghargaan dan hukuman.
Penghargaan berupa pemberian hadiah kepada santri yang berprestasi, rajin, atau aktif
dalam pembelajaran berupa pemberian kitab, beasiswa, atau lainnya. Sedangkan hukuman
lebih mengarah pada perhatian dan bimbingan khusus para Kiai, pengurus ponpes, atau
senior untuk mengarahkan agar santri yang mengalami ketertinggalan pelajaran atau
melakukan pelanggaran di disiplinkan dengan cara-cara yang lebih kreatif, tanpa ada
kekerasan.
Keaktifan pengurus pondok pesantren dibutuhkan guna melakukan pendidikan dan
pengawasan kepada tiap santri. Jumlah santri yang banyak dan aktivitas yang padat
terkadang menjadi sebab lalainya pengurus melakukan pengawasan. Kyai sebagai sentral
kontrol di ponpes tidak bisa mengakses secara penuh bagaimana pendidikan, pengawasan
mapun perlindungan kepada para santri. Peran segitiga, antara Kyai, Pengurus maupun

senior dan orang tua, membantu dalam menjaga perlindungan anak di pondok pesantren.
Orang tua aktif memberikan masukan dan kritikan kepada pengurus, pengurus mampu
menjaga tanggung jawab Kyai dan kyai menjadi publik figur oleh para santrinya.
Dalam perkembangannya, tentu pondok pesantren perlu mendapatkan perhatian oleh
Pemerintah. Penggunaan kurikulum yang diakui oleh Pemerintah, model pengembangan
keilmuan serta penataan manajemen kepesantrenan yang baik. Perlu adanya standarisasi,
dimana penggunaan SDM yang handal dan professional dibutuhkan untuk memelihara dan
mengembangkan pendidikan pondok pesantren kedepannya.
Kesimpulan
Dalam tradisi pensatren, kritik untuk kemaslahatan dan kebaikan sangat dianjurkan.
Selaras dengan Fastabiqul Khairat berlomba-lomba menuju kebaikan. Dalam salah satu
kaedah Fiqh misalnya, “Al Mukhafadah „alal Qadim as Shalih, wal Akhdu bi al Jadid al
Asla h” yang artinya, memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang
lebih baik. Kaitannya dengan pendidikan dan perlindungan anak di pesantren, para
pendidik tentunya menerima usulan dan masukan dari manapun untuk memperbaiki
kesalahan atau kehilafan yang terjadi. Khususnya pada persoalan kekerasan yang terjadi di
pondok pesantren. Tentu semua aktifitas di ponpes merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dalam upaya mendidik anak atau santri sebagaimana tujuan ponpes, namun
tetap langkah-langkah untuk memberikan edukasi terhadap penjatuhan hukuman berupa
kekerasan perlu dihindari. Sehingga tidak terjadi lagi pemberlakuan kekerasan di dunia

pesantren.
Pendekatan persuasif dan komunikasi aktif kepada para pengasuh pondok pesantren, dirasa
penting untuk memberikan masukan terhadap pola pendidikan anak (santri) yang sesuai
dengan syariat Agama dan konstitusi di Negara ini. Dengan cara mengundang para Kiai
untuk mendapatkan pengetahuan tentang hal perlindungan dan pengasuhan anak, menjadi
keharusan dari stakeholder dan kita semua sebagai kepedulian terhadap perlindungan anak
di Indonesia.