PELANGGARAN HAM DALAM HUKUM KEADAAN DARU

PELANGGARAN HAM DALAM HUKUM KEADAAN DRURAT DI INDONESIA
Durotun Nafiah
[email protected]
Judul Buku
: Pelnggaran Ham Dalam Hukum Keadaan Darurat Di
Indonesia
Penulis
: Dr. Binsar Gultom, SH, SE, MH
Penerbit
: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit
: 2014
Kota Terbit
: Jakarta
Bahasa Buku
: Bahasa Indonesia
Jumlah Halaman : 377 hlm
ISBN
: 9789-979-22-6139-4
Buku yang ditulis oleh Dr. Binsar Gultom, SH, SE, MH untuk menulis buku ini
berawal bekerja sebagai hakim di setiap hari-harinya dari kajian hukum tata

negara saudara Binsar Gultom mengplikasikan isu pelanggaran ham itu
kedalam kondisi keadaan darurat yang dilakukan presiden selaku kepala
negara dan kepala pemerintah. Gagasn untuk menulis topik ini pertama kali
muncul di dorong oleh inginan pribadi karena penulis adalah hakim HAM yang
pernah mengadili kasus pelanggaran HAM ad hoc jakarta.
Kemudian setelah penulis berkonstribusi dengan bapak prof.dr. jimly
asshiddiqie,sh, metode penelitin dilakukan dengan pendekatan undang-undng
(statute approch) dan pendekatan kasus (case pproach) dengan titik berat
kepda penelitian “yuridis normatif” krena kedua kasus pelanggaran HAM berat
timor-timur dn pelanggaran HAM berat tnjung priok te.lah mempunyai kekutan
hukum yang pasti ( in crach van gewijsde).
wajar dilakukan penelitian sebagai kajian ilmiah akadmik untuk mengetahui
sejauh mana kebenaran dan efektivitas pemberlkuan status hukum keadaan
darurat di wilayah konflik hingga terjadi pelanggaran HAM .
Ini berarti bahwa keadaan yang tidak normal semua tindakan yang bersifat
luar biasa yang sanggat diperlukan dapat dibenarkan untuk dilakukan untuk
mencegah timbulnya ancaman bahaya atau untuk mengatasi dan
menaggulangi dampak keadaan bahaya itu serta memulihkan kembali keadaan
negara kepada kondisi normal seperti sediakala demi mempertahankan
integritas negara dan melindungi warga negara.

Dalam praktek ketenagakerjaan keadaan negara di bagi menjadi dua yakni
negara dalam keadan normal (ordinary condition ) dan negara dalam keadaan
tidak normal (emergency condition). Pelanggaran HAM bisa saja terjadi pada
saat negara dalam keadaan normal dan keadaan tidak normal atau yang
disebut dengan negara keadaaan darurat( state of emergency
Hukum yang
juga berlaku dalam keadaan darurat itu adalah hukum yang juga bersifat
darurat yang menurut tradisi Anglo-saxon disebut Martial Law, sedangkan
dalam tradisi prancis dan negara-negara kontinental lainya disebut etat de
siege di belanda disebut dengan istilah staatsnoodrecht.

Lewat hukum keadaan darurat yang dapat mengesampingkan hukum
keadaan normal, tanpa harus memengaruhi sistem-sistem pemerintah yang
demokrtis yang dianut berdasarkan konstitusi Carl Schmitt yang tampil sebagai
yuris jerman mengadovasikan pemikiran bahwa hukum yang berlaku dalam
keadaan normal dapat dikesampingkan atau ditunda berlakunya digantikan
dengan keadaan darurat yng diberlakukan oleh presiden.
Para pemegang puncak kekuasaan eksekutif ini dapat disebut sebagai the
Sovereign Executive yang dianggap mempunyai hak prerogatif apabila negara
berada dalam keadaan darurat. Justice Davis mengatakan “ the government,

within the constitution, has all the powers granted to it,which are neccessary to
preserve its existence,( pemerintah,dalam konstitusi memiliki segala kuasa
yang diberikan dan dibutuhkan untuk menjaga eksitensinya).
Pendapat ini dalam buku ini anggatlah menarik menunjukan pada the
Sovereign Executive inilah yang sebenarnya merupakan pemegang kekuasaan
untuk mengeculikan berlakunya hukum yang normal/biasa (ordinary laws)
dengan memberlakukan hukum keadaan darurat. Pelaanggran HAM yang
terjadi saat negara dalam kedaan darurat (state of emergency) dengan syarat
status hukum keadaan darurat itu harus terlebih dahulu dideklarasikan oleh
seorang penguasa atau kepala negara.
Langkah-langkah khusus itu sendiri harus dilakukan dengan cepatdan tepat
tanpa harus mempengaruhi sistem pemerintah yang demokratis yang dianut
berdasarkan konstitusi artinya aparatur penguasa sipil atau penguasa militer
harus tunduk pada prinsip-prinsip dan jaminan instrumen internasional.
Seperti hukum kemanusiaan internasional (interntional humanitarian law)
yang harus dan wajib di hormati dan jalankan dengan sebaik-baiknya yaitu
dengan tetap menjunjung tinggi dan menghormati hak sasi manusia (HAM)
Sebab tujuan pemberlakuan keadaan darurat (apakah keadaan darurat sipil,
keadaan darurat militer atau keadaan darurat perang) bukan untuk
membunuh, tetapi untuk melucuto dan melumpuhkan lawan/musuh sehingga

keaaan menjadi normal kembali Keadaan negara yang bersifat darurat dapat
terjadi karena berbagai faktor, seperti penyebab yang timbul dari luar
(eksternal) atau dari dalam negeri (internal).
Di banyak negara eropa kontinental yang menganut tradisi hukum civil lw,
seperti di pranciss, india, termasuk indonesia, hal-hal pokok mengenai keadaan
darurat secara eksplisit dalam undang-undang mereka, Di indonesia terdapat
cukup banyak norma yang mengatur mengenai keadan darurat. Di indonesiaa
terdapat cukup banyak norma hukum yang mengatur mengenai keadaan
darura, di indonesia pengaturan HAM dalam keadaan darurat yang relavan
dengan buku ini yang telah diatur dalam UUD1945 dan pengaturannya lebih
lanjut dijadikan dalam undang-undang, seperti UU No. 23 Prp 23 Tahun 1959
tentng keadaan Bahaya ,UU No. 27 Tahun 1959 tentang Mobilisasi dan
Demobilisasi.
Sekalipun pengaturan HAM telah diatur dalam keadaan darurat, ternyata
dalam praktik/pelaksanaannya cukup banyak kasus pelanggaran HAM terjadi di
indonesia dalam perjalanan sejarah sejak masa orde baru pemerintah soeharto

sehingga masa reformasi, negara republik indonesia tidak pernah lepas dari
aneka prisrtiwa dan kejadian yang bersifat luar biasa atau keadaan darurat
baik di bidang politik, pertahanan dan keamanan , ekonomi/moeneter, sosial

maupun karena faktor kerusuhan berdarah , teror bom konflik horizontal di
berbagai daerah atau bencana alam pristiwa dan gejolak tersebut datang silihberganti dari kurun waktu yang satu ke kurun waktu yang lain sebab-sebab
timbulnya keadaan luar biasa atau keadaan darurat itu pun beraneka ragam.
Pristiwa-pristiwa itu ada yang terjadi secara tiba-tiba dan ada pula secara tidak
serta-merta.
Diberbagai daerah indonesia cukup banyak pelanggaran HAM terjadi sejak
masa orde baru yaitu pada massa pemerintahan soeharto hingga masa
reformasi di bawah pemerintah Bj.Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur),
kasus pelanggaran HAM berat Tanjung Priok 1984, kasus pelanggaran HAM
berat Timor-Timur 1999, kasus pelanggaran HAM di aceh masa berlakunya
Daerah Operasi Militer (DOM).
Jika suatu negara terancam oleh bahaya perhatikan harus dipusatkn pada
pengaturan yang bersifat tersendiri yaitu mengharuskan dilakukannya pilihan
apakah melakukan tindakan melanggar hukum atau mengubah norma hukum
yng bersangkutan dengan cara biasa atau legislative review agar fungsi-fungsi
negara dapat terus bekerja secara efektif dalam keadaan yang tidak normal/
tidak biasa.
Dari berbagai pengaturan yang ada, jimly asshiddiqie mengemukakan
bahwa state of emergency adalah keadaan bahaya yang tiba-tiba mengancam
tertib umum, yang menuntut negra untuk bertindak dengan cara-cara yang

tidk lazim menurut aturan hukum yang biasa berlaku dalam keadaan normal.
Dalam buku ini, Penulis mengungkapkan bagaimana pengaturan HAM dalam
hukum keadaan darurat dan praktiknya di lapangan, yakni pelanggaran HAM
seperti apa yang dibenarkan dalam hukum keadaan darurat dan bagaimana
Pemerintah menyelesaikan pelanggaran HAM dalam keadaan darurat tersebut,
serta hal-hal baru yang ditemukan dalam penulisan buku ini.
Dalam buku ini, Penulis mengungkapkan bagaimana pengaturan HAM dalam
hukum keadaan darurat dan praktiknya di lapangan, yakni pelanggaran HAM
seperti apa yang dibenarkan dalam hukum keadaan darurat dan bagaimana
Pemerintah menyelesaikan pelanggaran HAM dalam keadaan darurat tersebut,
serta hal-hal baru yang ditemukan dalam penulisan buku ini.
Dalam buku ini, Penulis juga memberanikan diri menganalisis putusan bebas
Peninjauan Kembali Mahkamah Agung atas pelanggaran HAM berat Timor-Timur
pascajajak pendapat 1999 dan putusan bebas Kasasi Mahkamah Agung atas
pelanggaran HAM berat Tanjung Priok 1984. Hal ini dilakukan, mengingat kedua
kasus tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in cracht van
gewijsde).
Akhirnya, dari kajian ilmiah penulisan buku ini, Penulis menganjurkan setiap
penyelesaian kasus pelanggaran HAM dalam keadaan darurat, khususnya
darurat militer dan perang, lebih baik ditangani secara khusus melalui

Pengadilan Militer dengan komposisi hakimnya terdiri atas tiga orang hakim

dari peradilan umum dan dua orang dari peradilan militer, ketimbang melalui
UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang memiliki prinsip-prinsip
retroaktif, tidak mengenal kadaluwarsa, dan memerlukan rekomendasi DPR.
Adanya prinsip-prinsip yang dianut oleh UU No. 26 Tahun 2000 tersebut
menjadikan proses penyelesaian kasus pelangaran HAM menjadi panjang dan
penuh ketidakpastian Akibatnya hampir dapat diprediksikan semua kasus
pelanggaran HAM berat masa lalu di-"bebaskan" oleh Pengadilan HAM Ad Hoc
karena barang bukti dan saksi korban/kunci yang diajukan ke persidangan telah
rusak/hilang atau meningal dunia.
HAM dalam negara keadaan darurat di indonesia tidak hanya diatur dalam
UUD 1945 setelah amandemen yaitu pasal 28A sampai dengn pasal 28J tetapi
juga diatur secara khusus dalam pasal 12 mengenai “ kedaan bahaya” dan
pasal 22 mengenai “hal-ikhwal kegentingan yang memaksa”, yang
penjabarannya diwujudkan dalam UU No.23 Prp Tahun 1959 tentang Keadan
Bahaya, UU No.27 Tahun 1997 tentang Mobilisasi dan Demobilissi , UU No. 39
tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang HAM sistem penngaturan dan
penerapan keadaan darurat tetap harus memperhatikan asas-asas hukum
keadaan darurat sesui tingkatn keadaan darurat sipil, keadaan militer dan

keadaan darurat perang.
Pengaturan keadaan darurat itu harus dideklarasikanh secara resmi ( de
jure ) olehy presiden kepda publik untuk menghindari kesewang-wenangan
pemerintah melakukan pelanggaran HAM sebagaimana diatur dalam pasal 28I
Ayat (1) UUD 1945.
Pelnggaran HAMn dibenarkan secara hukum terhadap negara dalam keadan
darurat hanyalah terhadap HAM yang “ secara umum” diatur dalam Deklarasi
Universits Hak Asasi Manusia 1948 (DUHAM) dan diluar kategori HAM
sebagaimana diatur dalam pasal 28 Ayat (1) UUD 1945. Hak Asasi Manusia
(HAM) dimaksud menurut pasal 28 Ayat (1) UUD 1945 tersebut bersifat mutlak,
tidak bisa dilanggar atau dibatsi dalam keadaan apapun (baik dalam keadaan
darurat ipil, kedan darurat militer).
Pelanggaran HAM dalam hukum keadaan darurat diperbolehkan secara
hukum, jika negara sedang menghadapi ancaman serius Pemerintah di negara
itu dapat menggunakan kekerasan berdasarkan prinsip-prinsip atu dasar-dasar
perundng-undngan hukum darurat untuk menyelamatan negara.
Namun
status hukum keadan darurat harus lebih dulu di deklarasikan oleh presiden
( de jure ) kepada publik agar masyarakat dan dunia internasional dapat
mengontrol pemberlakuan keadan darurat itupun dalam pelaksanan di

lapangan harus.
Yang tanggung jawab atas pelaksanaan kekuasan hukum darurat adalah
presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintah, dengan konsenkuensi
penetapan pemberlakuan keadaan drurat tersebut bersifat mengikat secara
hukum ( legally binding) apabila melanggar peraturan yang ditetapkan oleh
penguasa darurat (sipil, militer dan perang) diancam dengan pidana
Upaya
pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM khususnya kasus timor-

timur dan tanjung priok dalah melalui Langkah yuriidis penerapan instrumen
hukum seperti:
1. Membentuk UU No. 23 Prp Tahun 1959 tentang keadaan bahaya.
2. Membentuk UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
(HAM).
3. Membentuk UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi
Manusia (HAM)Langkah secara politis: Pendekartan persuasif/islan terhadap
para korban kasus tanjung priok.Saat itu para wrga yang menjadi korban
pelanggaran HAM Tanjung priok sepakatislan/damai dengan pihak TNI yang
diwakili oleh pngdam V Jaya Try Sutrisno dengan memberi biaya pengobatan,
beasiswa, model kerja, truk , sepeda montor dan memberi bantuan uang tunai

dari hutomo mandala putra (putra mantan presiden soeharto) sebesar Rp
460.000.000. mereka membuat piagam perdamaian bersama tanggal 1 maret
2001 Pendekatan mediasi/ rekonsiliasi, melalui : Pembentukan komisi
kebenaran dan rekonsiliasi (KKR) berdasarkan UU No. 27 Tahun 2004, namun
UU KKR tersebut telah dicabut berdsarkan putusan mahkamah konsitusi
tanggal 07 Desember 2006 krena dianggap bertetangan dengan konstitusi.
Dengan demiikian semua kasus pelanggaran HAM harus diselesaikan melalui
pengdilan HAM yang sebelumnya bisa diselesaikan lewat jalur KKR.14
pembentukan komisi kebenaran dan persahabatan (KKP) tanggal 09 Maret
2005 antara pemerintah indonesia dan pemerintah . HAM ad hoc. Atas
pelanggaran HAM yang terjadi di timor-timur dan tanjung priok, semua
pelakunya didili di pengadilan ad hoc jakarta pusat setelah keadaan darurat
berakhir (keadaan normal/biasa) untuk kasus timor-timur para pelakunya diadili
setelah provinsi itu merdeka menjadi sebuah negara yang disebut timor leste.
Diberbagai daerah di indonesia cukup banyak pelanggaran HAM terjadi
sejak masa orde baru yaitu pada pemerintahan soeharto hingga masa
reformasi di bawah pemerintah BJ.
Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) seperti kasus pelanggaran HAM
berat Timor-Timur 1999, kasus pelanggaran HAM di Aceh masa berlakunya
Daerah Operasi Militer (DOM) tahun 1989, kasus pelanggaran HAM di poso,

kasus Talangsari di Lampung, kasus Trisakti Semanggi I dan II, penculikan
aktivis 1997/1998, dalam buku sanggat menarik menjelaskan dua macam
kasus dalam buku ini yaitu kasus Tanhjung Priok Tahun 1984 yang terjadi pada
orde baru dan kasus pelanggaran HAM timor-timur tahun 1999 yang terjadi
pada msa reformasi yang dimana mempuyai hukum tetap ( in crach van
gewijsde).
Adanya Praktik-praktik mengenai pemberlakuan state of emergency secara
de facto ini akan menyulitkn sistem pemantauan dunia internasional terhadap
prktik-praktik yang dapat dibenarkan menurut hukum internasionl sehingga
berbgai tindakan yang dilakukan oleh aparat keamananpun akan dituduh
sebagai pelanggaran HAM.
Secara praktis, buku ini di maksudkn untuk memberikan kontribusi dan
mangfaat bagi pemerintah indonesia dewan perwakilan rakyat republik

indonesia ketentuan hukum dan ham dan mahkamah agung kejaksaan agung
serta kepolisian negara republik indonesia dan komnas ham serta masyarakat
luas mengeni buku ini yang saanggat luas dalam pelaksanaan yang tetap
menjunjung tinggi , menghormati, dan menghrgai serta melindungi HAM
seperti diatur dalam pasal
28 I UUD 1945 yang telah di tuangkan di
international covenant on civil political rights (ICCPR).
Di indonesia setiap kali diberlakukan status hukum kedaan darurat biasanya
terjadi pelanggaran HAM, pemerintah indonesia menyelesaikan berbagai kasus
pelanggaran HAM dalam hukum kedaan darurat melalui berbagai pendekatan
seperti pembentukan berbagai instrumen undang-undang baik secara
preventif, politis, maupun secara represif melalui pengadilan HAM berdsarkan
Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Sedangkan para pelaku kasus tanjung priok diadili setelah lewat kurang
lebih 19 tahun dari terjadinya pristiwa. Menurut ketentuan hukum keadaan
darurat nasional dan internasional mestinya pra terdakwa yang di duga
melakukan pelanggaran HAM pada saat terjadi keadaan darurat harus diadili di
perdilan militer, bukan di pengadilan HAM ad hoc. Sekalipun norma hukum
keadaan darurat sudgh diatur secara eksplisit dalam UU No. 23 Prp Tahun 1959
tentang keadaan bahaya, namun dalam praktinya di lapangan penguasa
darurat tersebut sulit mengaktualisasikan peraturn tersebut justru sering
terjadi pelanggaran HAM ketika penerapan keadaan darurat di berlakukan.
Bagian akhir buku ini disertakan
lampiran-lapiran dari proses perkara yang dijelaskan,agar dapat diketahui
contoh format-format yang ada dalam praktik hukum bagi mahasiswa serta
sebagai ruju setiap orang hakim untuk membuat keputusan hakim tentang
pelanggaran HAM Buku ini sangat berguna bagi Mahasiswa ataupun aparat
dalam Pertimbangan hukm daloam menyelesikan kasus permaslahan hak asasi
manusia karena buku ini sudah bagus dan baik dengan secara detail dan
lengkap membahas tentang Kepaniteraan Agama, dan dijadikan dasar sebagai
susunan organisasi dalam Kepaniteraan pada massanya Namun dalam poinpoin pembahasanya hanya dijelaskan secara umumnya saja tidak dijabarkan
sampai akar-akarnya, dan bila dijadikan bahan atau dasar dalam membuat
makalah atau apapun karena buku ini sebagai edisi pertama buku ini tentunya
sudah kalah dari edisi yang baru yang pembahasanya tentang Kepaniteraan
masa sekarang yang tentu sudah mengalami perubahan seiring
perkembangannya Peradilan di Indonesia.