INFLASI DAN KESEIMBANGAN PASAR BARANG DA

INFLASI DAN KESEIMBANGAN PASAR BARANG DALAM
KONSEP EKONOMI ISLAM
Oleh

Rani Puspitaningrum, NIM. 091514553016
Magister Sains Ekonomi Islam, Sekolah Pascasarjana
Universitas Airlangga
Surabaya

Abstrak
Paper ini menggambarkan keseimbangan pasar barang dalam konsep ekonomi islam
atau kerangka kurva IS yang dapat digunakan sebagai barometer kebijakan moneter dan
fiskal di Indonesia. Agar batasan-batasan sistem perbankan konvensional yang
mempengaruhi proses pembuatan kebijakan pada sistem perbankan islam di Indonesia, maka
paper ini menggunakan metode Toda dan Yamamoto (1995) tes kausalitas untuk melihat
hubungan timbal balik antara Islamic Investment Deposit Rates (IDR) yang menggunakan
imbal hasil bebas dari unsur bunga sebagaimana yang ada dan dipraktekkan pada sistem
perbankan konvensional dengan variabel makro ekonomi inflasi (CPI). Hasil dari uji
kausalitas Toda-Yamamoto model bivariate menunjukkan bahwa Investment Deposit Rates
(IDR) tidak menyebabkan kausalitas Granger searah terhadap inflasi (CPI) yang berarti
bahwa menolak H0 pada nilai probabilitas sebesar 0.376.

Keywords: Inflasi, Pasar Barang, Uji Kausalitas Toda and Yamamoto, Islamic Investment
Deposit Rate

I.

PENDAHULUAN

Keseimbangan pasar barang direpresentasikan melalui kurva IS (Investment-Saving
Curve) dimana pada mulanya kurva ini menggambarkan keseimbangan antara keseimbangan
investasi dan tabungan (investment-saving equilibrium), akan tetapi seiring berjalannya
waktu kurva IS menggambarkan semua keseimbangan total pendapatan (konsumsi +
investasi + belanja pemerintah + net-ekspor) dan total pengeluaran (ekuivalen dengan
pendapatan, Y, atau GDP). Maka dapat dipahami, bahwa investasi dan tabungan atau saving
merupakan komponen pembentuk dari kurva ini dimana investasi disebut juga dengan
penanaman modal, bersama-sama (Rafsanjani dan Sukmana, 2014). Secara pendekatan

1

grafis, keseimbangan pasar barang juga digambarkan akan terjadi ketika penawaran
aggregate (aggregate supply) sama dengan permintaan aggregate (aggregate supply).

Keeratan hubungan antara keseimbangan pasar uang dengan indikator makro ekonomi
yang juga menggambarkan hubungan komponen-komponen pembentuk kurva IS seperti
investasi, tingkat bunga (dalam ekonomi islam diganti dengan profit-loss sharing), dan
pendapatan akan diteliti dalam paper ini dengan menggunakan instrumen kebijakan moneter
pada perbankan islam yaitu Islamic Investment Deposit Rate dengan inflasi (Consumer Price
Index). Adapun paper ini dibuat untuk menjawab berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan
seperti apakah konsep keseimbangan pasar barang dalam ekonomi islam? dan adakah
perbedaan mendasar dengan konsep ekonomi konvensional yang sejauh ini kita kenal.
Kemudian, keterkaitan antara imbal hasil atau pengembalian keuntungan yang berbasis
syariah dengan fluktuasi makro ekonomi yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap
keseimbangan pasar barang secara khusus dan pasar keuangan secara umum nantinya.
Sehingga, dengan adanya paper ini diharapkan dapat membuka wawasan baru yang salah
satunya dapat menjadi dasar sebagai pengambilan keputusan baik dalam pengambilan
keputusan kebijakan fiscal maupun moneter dalam mendorong laju pertumbuhan ekonomi
secara regional.
Penulisan paper ini terbagi atas lima bab yaitu pendahuluan, literature review, data
dan metodologi, hasil dan pembahasan dan kesimpulan. Pada bab literature review akan
dijelaskan secara terperinci mengenai pengertian, penyebab, jenis-jenis dan proses terjadinya
inflasi serta mengenai keseimbangan pasar barang. Pada bab data dan metodologi akan
dijelaskan proses dan cara-cara perolehan serta pengolahan data menggunakan sistem

komputasi dan metode yang relevan yang kemudian hasilnya akan dipresentasikan dan
dibahas secara jelas pada bab hasil dan pembahasan. Bab kesimpulan dan penutup merupakan
bagian akhir dari paper ini yang merangkum intisari dari penulisan paper.

II.

LITERATUR REVIEW

2.1 INFLASI
A. Pengertian Inflasi
Salah satu peristiwa moneter yang sangat penting dan yang dijumpai hampir di semua
negara di dunia adalah inflasi. Definisi singkat dari inflasi adalah kecenderungan dari harga2

harga untuk menaik secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua
barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas kepada (atau
mengakibatkan kenaikan) sebagian besar dari harga barang-barang lain (Boediono,
2009:155). Syarat adanya kecenderungan menaik yang terus menerus juga perlu diingat.
Kenaikan harga-harga karena, misalnya, musiman, menjelang hari-hari besar, atau yang
terjadi sekali saja (dan tidak mempunyai pengaruh lanjutan) tidak disebut inflasi. Kenaikan
harga semacam ini tidak dianggap sebagai masalah atau “penyakit” ekonomi dan tidak

memerlukan kebijaksanaan khusus untuk menanggulanginya.
Inflasi merupakan fenomena ekonomi yang selalu menarik untuk dibahas terutama
berkaitan dengan dampaknya yang luas terhadap makroekonomi agregat: pertumbuhan
ekonomi, keseimbangan eksternal, daya saing, tingkat bunga, dan bahkan distribusi
pendapatan. Inflasi juga berperan dalam mempengaruhi mobilisasi dana lewat lembaga
keuangan formal (Huda, et al., 2008:175).
Menurut Adiwarman Karim, secara umum inflasi adalah kenaikan tingkat harga
secara umum dari barang/komoditas dan jasa selama suatu periode waktu tertentu. Inflasi
dapat dianggap sebagai fenomena moneter karena terjadinya penurunan nilai unit
penghitungan moneter terhadap suatu komoditas (Karim, 2008:135). Menurut Sadono
Sukirno, inflasi yaitu sebagai suatu proses kenaikan harga. Harga yang berlaku dalam suatu
perekonomian (Sukirno, 2010:15). Paul A. Samuelson (1999:154) mengatakan:
By inflation we mean a time of generally rising prices for goods and factors of production –
rising prices for bread, cars, haircuts; rising wages, rents, etc. By deflation we mean a time
when most prices and cost are failing.
Jadi dalam perspektif Paul A. Samuelson, inflasi terjadi apabila tingkat harga-harga
dan biayabiaya umum naik; harga beras, bahan bakar, mobil naik; tingkat upah, harga tanah,
sewa barang-barang modal juga naik. Sedangkan deflasi terjadi apabila harga-harga dan
biaya-biaya secara umum turun. Dengan demikian, inflasi adalah suatu proses atau peristiwa
kenaikan tingkat harga umum (Partadiredja, 2006:132). Dengan kata lain, terlalu banyak uang

yang memburu barang yang terlalu sedikit.
Inflasi biasanya menunjuk pada harga-harga konsumen, tapi bisa juga menggunakan
harga-harga lain (harga perdagangan besar, upah, harga, aset dan sebagainya). Biasanya
diekspresikan sebagai persentase perubahan angka indeks. Tingkat harga yang melambung
3

sampai 100% atau lebih dalam setahun (hiperinflasi), menyebabkan hilangnya kepercayaan
masyarakat terhadap mata uang, sehingga masyarakat cenderung menyimpan aktiva mereka
dalam bentuk lain, seperti real estate atau emas, yang biasanya bertahan nilainya di masamasa inflasi. Inflasi tidak terlalu berbahaya apabila bisa diprediksikan, karena setiap orang
akan mempertimbangkan prospek harga yang lebih tinggi di masa yang akan datang dalam
pengambilan keputusan. Di dalam kenyataannya, inflasi tidak bisa diprediksikan, berarti
orang-orang seringkali dikagetkan dengan kenaikan harga. Hal ini mengurangi efisiensi
ekonomi karena orang akan mengambil risiko yang lebih sedikit untuk meminimalkan
peluang kerugian akibat kejutan harga. Semakin cepat kenaikan inflasi, semakin sulit untuk
memprediksikan inflasi di masa yang akan datang.
Kebanyakan ekonom berpendapat bahwa perekonomian akan berjalan efisien apabila
inflasi rendah. Idealnya, kebijakan ekonomi makro harus bertujuan menstabilkan hargaharga. Sejumlah ekonom berpendapat bahwa tingkat inflasi yang rendah merupakan hal yang
baik apabila itu terjadi akibat dari inovasi. Produk-produk baru yang diperkenalkan pada
harga tinggi, akan jatuh dengan cepat karena persaingan (Huda, et.al., 2008:176).
B. Penyebab Inflasi

Studi tentang penyebab inflasi di Indonesia telah banyak dilakukan yang menjelaskan
bahwa penyebab inflasi di Indonesia ada dua macam, yaitu inflasi yang diimpor dan defisit
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Penyebab inflasi lainnya menurut
Sadono Sukirno adalah kenaikan harga-harga barang yang diimpor, penambahan penawaran
uang yang berlebihan tanpa diikuti oleh pertambahan produksi dan penawaran barang, serta
terjadinya kekacauan politik dan ekonomi sebagai akibat pemerintahan yang kurang
bertanggung jawab. Adapun penyebab lain dari inflasi antara lain uang yang beredar lebih
besar daripada jumlah barang yang beredar, sehingga permintaan akan barang mengalami
kenaikan, maka dengan sendirinya produsen akan menaikkan harga barang dan apabila
kondisi seperti ini dibiarkan maka akan terjadi inflasi (Sukirno, 2010:15). Sampai batas
tertentu ahli ekonomi masih bisa menganalisa sebab-sebab timbulnya inflasi khusus dari segi
ekonomi; dan penentuan sebab-sebab "ekonomis obyektif" ini mungkin bukanlah tugas yang
paling sukar. Dalam praktek, untuk mengetahui sebab-musabab timbulnya inflasi (terutama
inflasi yang kronis atau yang telah berjalan lama) dan merumuskan, kemudian melaksanakan
kebijaksanaan untuk menanggulanginya, adalah masalah yang sulit. Biasanya ekonom harus
melampaui batas-batas ilmu ekonomi dan memasuki bidang ilmu sosiologi dan ilmu politik.
Masalah inflasi dalam arti yang lebih luas bukan semata-mata masalah ekonomi, tetapi
4

masalah sosio-ekonomi-politis. Ilmu ekonomi membantu untuk mengidentifikasi sebab-sebab

"obyektif" dari inflasi, misalnya saja karena pemerintah mencetak uang terlalu banyak
(Boediono, 2009:102-103).
Kalau mempertanyakan mengapa pemerintah terus mencetak uang, meskipun mereka
tahu bahwa tindakan tersebut mengakibatkan inflasi, maka seringkali jawabannya terletak di
bidang sosial politik, misalnya karena pemerintah membutuhkan uang untuk operasi
keamanan, atau karena adanya pertarungan politik di antara golongan-golongan politik di
dalam negeri, atau karena pemerintah tak berdaya menghadapi tuntutan politik golongangolongan masyarakat tertentu yang menghendaki "bagian" dari anggaran belanja negara yang
lebih banyak dari apa yang bisa disediakan dari sumber-sumber penerimaan negara, atau
karena desakan-desakan golongan masyarakat tertentu untuk memperoleh kredit murah
sehingga jumlah kredit yang harus disediakan melebihi jumlah yang bisa menjamin
kestabilan harga. Untuk bisa menghentikan pertambahan uang yang beredar yang berlebihan,
dalam contoh-contoh ini, perlu dicapai penyelesaian politis lebih dahulu (Boediono,
2009:102-103).
Bentuk dari faktor-faktor sosial politis yang melandasi inflasi bisa berbagai ragam dan
ditentukan oleh tata sosial-politis di masing-masing negara. Ahli ekonomi biasanya lebih suka
memusatkan perhatiannya pada faktor-faktor ekonomis-obyektif karena, selain merasa bahwa
memang ini adalah bidang kompetensinya, faktor-faktor tersebut berlaku umum bagi semua
negara dengan tata sosial-politik yang berbeda. Teori-teori ekonomi mengenai inflasi lebih
memusatkan pada dalil-dalil umum yang diharapkan berlaku secara umum, Ini tidak berarti
bahwa ahli ekonomi seharusnya tidak perlu menyelidiki secara lebih mendalam faktor-faktor

sosiopolitik dari inflasi. Kalau ia ingin berguna, dalam arti bisa menentukan kebijaksanaan
yang tepat untuk menanggulangi masalah inflasi di suatu negara, maka ia harus bisa
mencapai "akar" dari permasalahan tersebut, yang belum tentu bersifat ekonomis-obyektif.
Namun teori-teori ekonomi mengenai inflasi berguna sebagai titik tolak dari setiap analisa
mengenai inflasi (Boediono, 2001:160).
Masih berbicara mengenai penyebab terjadinya inflasi, maka dapat disimpulkan
bahwa inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan jumlah uang beredar. Karena dengan
bertambahnya jumlah uang yang beredar secara terus-menerus, masyarakat akan merasa kaya
sehingga akan menaikkan konsumsinya, dan keadaan ini akan menaikkan harga. Selanjutnya,

5

laju inflasi ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang yang beredar dan oleh harapan
msyarakat mengenai kenaikan harga di masa yang akan datang.
C. Jenis-jenis Inflasi
Terdapat berbagai macam jenis inflasi. Beberapa kelompok besar dari inflasi adalah:
1. Policy induced, disebabkan oleh kebijakan ekspansi moneter yang juga bisa
merefleksikan defisit anggaran yang berlebihan dan cara pembiayaannya.
2. Cost-push inflation, disebabkan oleh kenaikan biaya-biaya yang bisa terjadi walaupun
pada saat tingkat pengangguran tinggi dan tingkat penggunaan kapasitas produksi

rendah.
3. Demand-pull inflation, disebabkan oleh permintaan agregat (keseluruhan) yang
berlebihan yang mendorong kenaikan tingkat harga umum.
4. Inertial inflation, cenderung untuk berlanjut pada tingkat yang sama sampai kejadian
ekonomi yang menyebabkan berubah. Jika inflasi terus bertahan, dan tingkat ini
diantisipasi dalam bentuk kontrak finansial dan upah, kenaikan inflasi akan terus
berlanjut.
Taqiuddin Ahmad bin Ali al-Maqrizi (1364-1441 M) sebagai salah seorang murid
Ibnu Khaldun yang terkemuka membagi inflasi menjadi dua: inflasi akibat berkurangnya
persediaan barang (natural inflation) dan inflasi akibat kesalahan manusia. Inflasi jenis
pertama inilah yang terjadi pada zaman Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin, yaitu karena
kekeringan atau peperangan. Sementara itu, inflasi jenis kedua menurut al-Maqrizi
disebabkan oleh tiga hal. Pertama, korupsi dan administrasi yang buruk. Kedua, pajak
berlebihan yang memberatkan petani. Ketiga, jumlah fulus yang berlebihan atau yang oleh
Milton Friedman disebut “inflation is just monetary phenomenon.”
Menurut Paul A. Samuelson, seperti sebuah penyakit, inflasi dapat digolongkan
menurut tingkat keparahannya, yaitu sebagai berikut:
1. Moderate Inflation: karakteristiknya adalah kenaikan tingkat harga yang lambat.
Umumnya disebut sebagai 'inflasi satu digit'. Pada tingkat inflasi seperti ini orangorang masih mau untuk memegang uang dan menyimpan kekayaannya dalam bentuk
uang daripada dalam bentuk aset riil;

2. Galloping Inflation: inflasi pada tingkat ini terjadi pada tingkatan 20% sampai dengan
200% per tahun. Pada tingkatan inflasi seperti ini orang hanya mau memegang uang
seperlunya saja, sedangkan kekayaan disimpan dalam bentuk aset-aset riil. Orang
6

akan menumpuk barang-barang, membeli rumah dan tanah. Pasar uang akan
mengalami penyusutan dan pendanaan akan dialokasikan melalui cara-cara selain dari
tingkat bunga serta orang tidak akan memberikan pinjaman kecuali dengan tingkat
bunga yang amat tinggi. Banyak perekonomian yang mengalami tingkat inflasi seperti
ini tetap berhasil 'selamat' walaupun sistem harganya berlaku sangat buruk.
Perekonomian seperti ini cenderung mengakibatkan terjadinya gangguan-gangguan
besar pada perekonomian karena orang-orang akan cenderung mengirimkan dananya
untuk berinvestasi di luar negeri daripada berinvestasi di dalam negeri (capital
outflow);
3. Hyper Inflation: inflasi jenis ini terjadi pada tingkatan yang sangat tinggi yaitu jutaan
sampai trilyunan persen per tahun. Walaupun sepertinya banyak pemerintahan yang
perekonomiannya dapat bertahan menghadapi galloping inflation, akan tetapi tidak
pernah ada pemerintahan yang dapat bertahan menghadapi inflasi jenis ketiga yang
amat 'mematikan' ini.
Selain itu, menurut Adiwarman A. Karim inflasi dapat digolongkan karena penyebabpenyebabnya yaitu sebagai berikut:

1. Natural Inflation dan Human Error Inflation: Sesuai dengan namanya Natural
Inflation adalah inflasi yang terjadi karena sebab-sebab alamiah yang manusia tidak
mempunyai kekuasaan dalam mencegahnya. Human Error Inflation adalah inflasi
yang terjadi karena kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh manusia sendiri;
2. Actual/Anticipated/Expected Inflation dan Unanticipated/Unexpected Inflation. Pada
Expected Inflation tingkat suku bunga pinjaman riil akan sama dengan tingkat suku
bunga pinjaman nominal dikurangi inflasi, sedangkan pada Unexpected Inflation
tingkat suku bunga
3. pinjaman nominal belum atau tidak merefleksikan kompensasi terhadap efek inflasi;
4. Demand Pull dan Cost Push Inflation. Demand Pull Inflation diakibatkan oleh
perubahan-perubahan yang terjadi pada sisi Permintaan Agregatif (AD) dari barang
dan jasa pada suatu perekonomian. Cost Push Inflation adalah inflasi yang terjadi
karena adanya perubahan-perubahan pada sisi Penawaran Agregatif (AS) dari barang
dan jasa pada suatu perekonomian;
5. Spiralling Inflation. Inflasi jenis ini adalah inflasi yang diakibatkan oleh inflasi yang
terjadi sebelumnya yang mana inflasi yang sebelumnya itu terjadi sebagai akibat dari
inflasi yang terjadi sebelumnya lagi dan begitu seterusnya;
7

6. Imported Inflation dan Domestic Inflation. Imported Inflation bisa dikatakan adalah
inflasi di negara lain yang ikut dialami oleh suatu negara karena harus menjadi price
taker dalam pasar perdagangan internasional. Domestic Inflation bisa dikatakan inflasi
yang hanya terjadi di dalam negeri suatu negara yang tidak begitu mempengaruhi
negara-negara lainnya.
D. Proses Terjadinya Inflasi
Proses terjadinya inflasi dapat dilihat dari dua sisi kebijakan yaitu kebijakan moneter
dan fiscal. Pada intinya, setiap kebijakan setuju, bahwa penyebab terjadinya inflasi
disebabkan oleh money supply yang tinggi.
Proses terjadinya inflasi pada kebijakan moneter:
Dalam kebijakan moneter, jika money supply bertambah (1x dalam 1 tahun), maka
suku bunga riil akan turun, ketika suku bunga turun masyarakat akan lebih cenderung
berinvestasi, sehingga investasi naik dengan adanya kenaikan investas, maka pendapatan
akan meningkat. Peningkatan pendapatan masyarakat diimbangi oleh peningkatan konsumsi,
konsumsi perkapita naik menyebabkan aggregate demand akan meningkat (dengan asumsi
aggregate supply tetap) maka yang terjadi output akan lebih tinggi dari tingkat output
alamiah. Kenaikan aggregate demand menyebabkan produsen ingin menambah jumlah tenaga
kerja untuk dapat menghasilkan output yang lebih tinggi, maka tingkat pengangguran kurang
dari pengangguran alamiah. Bertambahnya jumlah tenaga kerja menyebabkan upah yang
harus dibayarkan oleh produsen lebih tinggi dari sebelumnya. Sehingga menyebabkan
kenaikan biaya produksi (karena tenaga kerja merupakan input produksi, sehingga ambahan
tenaga kerja sama dengan tambahan upah yang berarti kenaikan biaya produksi bagi
produsen), karena biaya produksi tinggi, sehingga produsen menurunkan tingkat produksi.
Hal tersebut menyebabkan aggregate supply menurun (kurva bergeser kekiri) dengan asumsi
aggregate demand tetap, menuju natural rate level namun pada tingkat harga yang lebih
tinggi. Laju inflasi berhenti ketika ekuilibrium berada pada tingkat natural rate level, dan
selama tidak ada kenaikan money supply.
Proses terjadinya inflasi pada kebijakan fiscal
Proses terjadinya antara kebijakan moneter dan fiscal sebenarnya sama, tidak jauh
berbeda, yaitu kenaikan aggregate supply, namun yang membedakan adalah jika pada
kebijakan fiscal yang menyebabkan terjadinya inflasi adalah kenaikan belanja pemerintah
8

(G), sehingga menyebabkan aggregate demand meningkat. Dan kebijakan fiscal berpendapat
bahwa, jika ada kenaikan 1x dalam tingkat harga yang disebabkan oleh penurunan pajak
maka kenaikan laju inflasi hanya bersifat sementara. Dari pernyataan tersebut dapat
disimpulkan bahwa kenaikan laju inflasi yang tinggi bukan semata-mata disebabkan oleh
kebijakan fiscal itu sendiri.
Analisis permintaan dan penawaran aggregate menunjukkan bahwa inflasi yang tinggi
dapat terjadi jika terdapat tingkat pertumbuhan uang beredar yang tinggi. Selama inflasi
mengacu pada kenaikan tingkat harga yang terus menerus pada tingkat yang cepat maka hal
ini membenarkan pendapat ahli ekonomi Millton Friedman tentang “inflasi akan selalu ada
dan dimanapun merupakan fenomena moneter.”
2.2 KESEIMBANGAN PASAR BARANG
Sistem ekonomi konvensional menyatakan bahwa kurva IS (investment-saving curve)
menyatakan hubungan antara tingkat bunga dan tingkat pendapatan yang muncul di pasar
barang dan jasa. Kurva IS juga menyatakan “investasi” dan “tabungan”. Sementara dalam
perspektif ekonomi islam disebutkan dalam beberapa pendapat ahli yang akan dijelaskan
selanjutnya. Menurut Khan (1996) keseimbangan pada pasar barang didapatkan dengan
menentukan konsumsi aggregate sebagai fungsi disposable income setelah pajak. Tidak ada
penambahan variabel zakat pada model kurva IS menurut Khan, hal ini mungkin disebabkan
karena Khan lebih berfokus pada ekonomi bebas bunga sebagaimana yang tertuang dalam
tulisannya. Selanjutnya, dia berpendapat bahwa investasi memiliki hubungan yang negatif
dengan rasio profit sharing. Dengan memasukkan kedua variabel tersebut ke dalam
persamaan pendapatan nasional, maka terbentuklah kurva IS.
Keseimbangan pasar barang terjadi ketika supply aggregate sama dengan pengeluaran
aggregate. Pendekatan keseimbangan pasar barang menurut Yussof (2006) yang kemudian
diolah lagi di dalam tulisan Yussof (2010) menggambarkan bahwa dalam sistem
perekonomian islam tertutup, keseimbangan antara supply aggregate dan pengeluaran
aggregate ditulis dalam persamaan sebagai berikut:
………………………………………………………………….(1)

Dimana, Y adalah output aggregate, C adalah konsumsi aggregate, I adalah investasi private
(gross private domestic), GZ adalah zakat yang dibayarkan oleh pemerintah untuk
9

meningkatkan aktivitas perekonomian, dan G adalah pengeluaran pemerintah yang
menggunakan dana non-zakat seperti contohnya dana dari penerimaan pajak.
………………………………………………………….(2)

Dimana, C01 adalah konsumsi autonomous (autonomous consumption) dari pembayar zakat,
c1 adalah konsumsi marginal (marginal propensity to consume), Y1 adalah pendapatan
pembayar zakat, Z adalah zakat, dan T adalah pajak. Sehingga, (Y1-Z-T) adalah pendapatan
disposable setelah dikurangi zakat dan pajak.
………………………………………………………..(3)

Dimana, Cz adalah konsumsi yang diharapkan dari penerima zakat, C0z adalah konsumsi
autonomous, cz adalah konsumsi marginal penerima zakat dari dana zakat, GH adalah jumlah
zakat yang diberikan oleh pemerintah secara langsung kepada sector-sektor rumah tangga, c2
adalah konsumsi marginal penerima zakat dari dana non-zakat Y2, 0 < cz < 1, 0 < c2 < 1
Sehingga total konsumsi aggregate yang diharapkan adalah:
……………………………………………………………………………(4)

Kemudian merubah persamaan (2) dan (3) ke dalam persamaan (4), sehingga menjadi:
…………………………………(5)

…………………………………………(6)

Sekarang kita akan menentukan persamaan dari zakat yang dikumpulkan dari wajib zakat
yaitu:
…………………………………………………………………..(7)

10

Dimana, Z adalah total zakat, Z0 adalah total zakat yang dikumpulkan dari sumber-sumber
non-pendapatan, η adalah tingkat zakat, dan CTE adalah dispensasi zakat.
.......................................................................................................................(8)

Dimana, T adalah total pajak yang dikumpulkan, τ adalah tingkat pajak, T0 adalah pajak
autonomous, dan Y adalah pendapatan (GDP).
Selanjutnya, kami memindahkan persamaan (7) dan (8) ke dalam persamaan konsumsi,
sehingga didapatkan hasil sebagai berikut:
…………………………….(9)

Dimana, α0 = C0 – c1Z0 + ηCTE + c1T0
Persamaan investasi aggregate ditulis dibawah ini:
……………………………………………………………(10)

Dimana, φ1 < 0 dan φ2 > 0
……………………………………………………………………………(11)

Dari persamaan-persamaan yang telah dijelaskan diatas, maka akan dapat ditentukan fungsi
persamaan keseimbangan pasar barang ketika pendapatan aggregate sama dengan
pengeluaran aggregate yaitu sebagai berikut:
…………………………………...(12)

…………….(13)

11

Dimana,

adalah persamaan-IS yang

menunjukkan hubungan antara output Y dan Islamic rate, i. Adapun kemiringan kurva IS
adalah:

Karena Φ1 < 0 maka kemiringan kurva IS akan negative jika:

Penentu dari kurva IS menurut Yussoff (2013) adalah pengeluaran zakat dan pengeluaran
pemerintah yang mana ketika peningkatan

akan menggeser kurva IS ke

kanan.

III.

DATA DAN METODOLOGI

3.1 DATA
Data yang digunakan dalam paper yang berjudul “Inflasi dan Keseimbangan Pasar
Barang Dalam Konsep Ekonomi Islam” diambil dari berbagai sumber yang relevan yaitu
situs Bank Indonesia dan Worldbank yang berupa data statistik keuangan bulanan dari
rentang waktu Januari 2008 sampai dengan Desember 2015 untuk diteliti dengan
menggunakan metode Toda dan Yamamoto (1995) test kausalitas. Variabel-variabel yang
diuji antara lain variabel makro ekonomi inflasi yang disimbolkan dengan CPI sedangkan
variabel imbal hasil perbankan Islam adalah Islamic Investment Deposit Rate yang
disimbolkan dengan IDR.
3.2 METODOLOGI
Penelitian ini berdasarkan pada metode Toda-Yamamoto (1995) untuk menganalisa
hubungan kausalitas antara indikator kebijakan ekonomi dan variabel makro ekonomi berupa
inflasi. Keuntungan menggunakan metode dalam pengujian penelitian ini adalah
kesederhanaannya dan kemampuannya untuk mengatasi berbagai masalah yang timbul dalam

12

tes kausalitas Granger (1969). Prosedur dalam metode Toda-Yamamoto (1995) merupakan
metode dengan prosedur yang sederhana yang membutuhkan estimasi “Augmented VAR
(Vector Auto Regressive)” untuk mendapatkan selang waktu (lag) optimum (k) yang
digunakan dalam uji-uji selanjutnya. Persamaan umum model VAR bi-variate dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:

Dimana: t menunjukkan time series data; k adalah selang waktu optimum sistem VAR
yang ditentukan berdasarkan test akar unit yang kemudian lag optimum k dipilih berdasarkan
criteria Akaike Information Criterion (AIC), kemudian kami menghitung p = k + dmax; Xi
merupakan IDR pada waktu dimana i=1; Xj adalah variabel makro ekonomi dimana j=1
adalah CPI; bi0 adalah konstanta; bik, bk adalah koefisien; Ɛit adalah whithe noise
disturbance term; dimana E (Ɛit)=0, (i=1,2), E (Ɛ1t, Ɛ2t)=0. Test kausalitas ini merupakan
penggambaran dari parameter restrictions dari lag baru yang terbentuk menggunakan
statistika Wald yang telah dimodifikasi.

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebelum masuk kepada pembahasan mengenai uji kausalitas Toda-Yamamoto (1995)
perlu diketahui mengenai karakteristik data masing-masing variabel yang diuji dalam
penelitian. Dengan menggunakan statistika deskriptif dapat diketahui, secara rerata
perbankan islam menawarkan tingkat pengembalian (Islamic Investment Deposit Rate) tiap
tahunnya senilai 6.302 % seperti yang ditunjukkan pada tabel 1. Sedangkan untuk tingkat
inflasi setiap tahunnya di Indonesia adalah 110 %.

13

Tabel 1. Hasil Statistika Deskriptif Masing-Masing Variabel
Mean
Median
Maxim um
Minim um
Std. Dev.
Skewnes s
Kurtos is

CPI
109.8985
109.4683
127.4600
93.43833
11.72300
0.099827
1.823394

IDR
6.301979
6.419583
6.892500
5.494167
0.564640
-0.294493
1.445952

Jarque-Bera
Probability

0.474755
0.788694

0.920656
0.631077

Sum
Sum Sq. Dev.

879.1883
962.0010

50.41583
2.231725

Obs ervations

8

8

Sumber: Eviews 9.5
Test kausalitas Toda-Yamamoto (1995) dimulai dengan uji stasionaritas data untuk
menentukan integrasi order data time series agar stasioner. Berdasarkan hasil uji akar unit
(unit root test) ini, nila dmax merupakan komponen penting dalam penentuan time interval
pada metode Toda-Yamamoto. Dalam penelitian ini, uji stasionaritas dilakukan dengan
menggunakan metode “Augmented Dickey-Fuller (ADF Test)” (Yussof, 2013).
Berdasarkan hasil uji akar unit menggunakan ADF test ditemukan bahwa semua
variabel dalam penelitian yaitu inflasi (CPI) dan Islamic investment deposit rate (IDR) ini
tidak stasioner pada tingkat level, namun menjadi stasioner pada tingkat diferensiasi pertama
(first differencing) sebagaimana yang ditunjukkan pada tabel 2. Hal ini berarti, maksimal
integrasi order (dmax) adalah 1 yang akan digunakan pada penentuan lag optimum untuk ujiuji selanjutnya. Langkah selanjutnya adalah estimasi lag optimum pada Vector Auto
Regressive (VAR) menggunakan criteria Akaike Information Criterion (AIC) dan didapatkan
hasil pada sistem bivariate VAR yang menguji hubungan IDR dengan CPI adalah k = 3
Tabel 2. Hasil ADF Test
Variabel
CPI/tahun
IDR/tahun

Level
1.724
-2.351

First Diff.
-5.344
-1.967

Sumber: Eviews 9.5
Setelah integrasi order maksimal (dmax) dan lag optimum (k) tiap-tiap hubungan
antara variabel IDR dengan variabel makro ekonomi inflasi (CPI) ditentukan, langkah

14

selanjutnya adalah melakukan uji bivariate VAR pada model baru (p = dmax + k)
menggunakan metode Least Square (LS) untuk melihat hubungan kausalitas antara variabel
IDR dengan variabel makro ekonomi inflasi (CPI). H0 (Null Hypothesis) menyatakan bahwa
IDR tidak menyebabkan kausalitas Granger terhadap variabel makro ekonomi inflasi (CPI).
Adapun syarat untuk menolak H0 adalah menggunakan statistika Wald yang telah
dimodifikasi. Sehingga hasil dari uji kausalitas bivariate Toda-Yamamoto akan ditunjukkan
pada tabel 3 dibawah ini.
Tabel 3. Hasil Analisa Uji Kausalitas Bivariate Toda-Yamamoto (1995) Antara Islamic
Investment Deposit Rate (IDR) dengan Inflasi (CPI)

Sumber: Eviews 9.5
Dilihat dari hasil uji kausalitas Toda-Yamamoto pada tabel 3 diatas maka dapat
digambarkan, untuk uji kausalitas antara IDR dengan CPI didapatkan nilai probabilitas 0.376
yang lebih besar dari taraf signifikan 10, 5, atau bahkan 1 % yang berarti bahwa IDR tidak
menyebabkan kausalitas Granger searah dengan CPI dan menolak H0 yang ditunjukkan oleh
hasil uji statistika Wald yang dimodifikasi. Sependapat dengan hal tersebut juga diungkapkan
dalam hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wahyudi dan Anwar Sani (2014)
dalam model bivariate uji kausalitas Toda-Yamamoto menunjukkan variabel rate return dari
sertifikat bank indonesia syariah (SBIS) tidak signifikan terhadap variabel makro ekonomi
inflasi (INF) ataupun sebaliknya dalam kasus negara Indonesia.
Dalam literature review yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa perubahan inflasi
akan mengakibatkan perubahan tingkat suku bunga (interest rate) yang berlaku pada sistem
15

keuangan konvensional yang mempunyai hubungan positif dengan tingkat inflasi dengan
asumsi bahwa kenaikan tingkat suku bunga akan menaikkan inflasi yang pada akhirnya dapat
menurunkan tingkat investasi yang ada di Indonesia karena ketika tingkat suku bunga tinggi
maka masyarakat akan cenderung untuk menginvestasikan dana tunainya dengan
mengharapkan pengembalian yang lebih besar suatu hari nanti. Begitupun sebaliknya, apabila
tingkat suku bunga menurun maka akan menurunkan tingkat inflasi dan menaikkan tingkat
investasi yang ada. Sehingga ketika tingkat suku bunga re ndah masyarakat lebih cenderung
memegang uang dalam bentuk tunai. Sebagaimana Mankiw (2007) juga menyatakan bahwa
tingkat bunga bisa berubah karena dua alasan yaitu karena tingkat bunga riil berubah atau
karena tingkat inflasi berubah. Dalam pengertian ini, tingkat bunga riil (real interest rate)
adalah tingkat bunga karena kenaikan daya beli masyarakat yang ditulis dengan persamaan r
= i – π (i adalah tingkat bunga nominal, r adalah tingkat bunga riil, dan π adalah tingkat
inflasi). Pernyataan tersebut juga didukung oleh Herianingrum dan Syapriatama (2016) dalam
penelitiannya yang menguji hubungan antara dua instrument kebijakan moneter yaitu
instrumen-instrumen keuangan konvensional dan islam dengan indikator makroekonomi yang
dinamakan Industrial Production Index (IPI) dan Consumer Price Index atau inflasi (CPI).
Dalam tulisan mereka, menyatakan bahwa peningkatan tingkat suku bunga merupakan
gambaran dari kebijakan moneter yang ketat yang menjadikan biaya modal menjadi lebih
mahal, dan merupakan signal tingginya harga, yang kemudian akan mempercepat tingginya
inflasi.
Akan tetapi, berbeda dengan sistem ekonomi islam yang melarang adanya bunga
dalam pengembalian baik dalam instrumen-instrumen pembiayaan maupun investasi. Hal ini
karena

bunga

adalah

riba

yang

diharamkan

oleh

syariah

yang mendzalimi harta dan jiwa orang lain. Bunga dalam sistem ekonomi islam diganti
dengan sistem profit-loss sharing sebagai pengembalian baik dalam instrumen-instrumen
pembiayaan maupun investasi. Ketiadaan bunga inilah maka perubahan tingkat inflasi tidak
mempengaruhi investasi yang dalam hal ini tidak akan berpengaruh kepada tingkat
pengembalian investasi yang dikenal dengan Islamic Investment Deposit Rate (IDR).

V.

KESIMPULAN DAN PENUTUP

Paper yang berjudul “Inflasi dan Keseimbangan Pasar Barang dalam Konsep
Ekonomi Islam ditulis selain sebagai pemenuhan tugas ujian akhir semester juga bertujuan
16

menambah wawasan pembaca dalam memahami dan menjelaskan seperti apakah
keseimbangan yang terjadi pada pasar barang dan juga kaitan inflasi dengan pasar barang
yang dibuktikan secara empiris melalui uji kausalitas Toda-Yamamoto (1995) antara variabel
yang erat kaitannya sebagai pembentuk dari pasar barang itu sendiri yaitu Islamic Investment
Deposit Rate (IDR) yang merupakan pengganti bunga dalam sistem ekonomi konvensional
dengan indikator makro ekonomi yang disebut dengan inflasi (CPI)
Hasil dari penelitian dapat disimpulkan bahwa IDR tidak memiliki hubungan atau
tidak menyebabkan hubungan kausalitas searah dengan CPI yang ditunjukkan dengan nilai
probabilitasnya lebih besar dari taraf signifikan 10 %, 5 % dan 1 %. Senada dengan hal ini,
penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Wahyudi dan Anwar Sani juga mendukung hasil
penelitian ini. Karena tidak seperti dalam sistem ekonomi konvensional yang berbasis bunga
pada pengembalian investasinya, maka dalam sistem ekonomi islam penggunaan bunga
dalam tujuan apapun sangat dilarang oleh syariah dan kemudian menggantinya dengan sistem
profit-loss sharing.

DAFTAR PUSTAKA
Boediono. (2001). Ekonomi Makro. BPFE, Yogyakarta.
Boediono. (2009). Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No. 5: Teori Moneter. BPFE,
Yogyakarta.
Granger, C. W. J. (1969). Investigating Causal Relations by Econometric Models and CrossSpectral Methods. Econometrica, Vol. 37, No. 3, pp. 424-38.
Herianingrum, Sri. dan Syapriatama, Imron. (2016). Dual Monetary System and
Macroeconomic Performance in Indonesia. Al-Iqtishad: Jurnal Ilmu Ekonomi
Syariah, Vol. 8 (1), hal. 65-80.
Huda, Nurul. et al., (2008). Ekonomi Makro Islam. PT. Kencana Prenada Media, Jakarta.
Karim, Adiwarman. (2008). Ekonomi Makro Islami. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Khan, M.F. (1996). A Simple Model of Income Determination and Economic Development in
the Perspective of Interest-Free Economy In Financing Development In Islam, edited
by M.A. Mannan. Islamic Research and Training Institute, Islamic Development
Bank, Jeddah. Saudi Arabia.
Partadiredja, Ace. (2006). Pengantar Ekonomika. BPFE, Yogyakarta.
Paul A. Samuelson, Paul A. (1999). Economics, tenth edition. McGraw-Hill Book Co. New
York.
17

Rafsanjani, Haqiqi. dan Sukmana, Raditya. (2014). Pengaruh Perbankan Atas Pertumbuhan
Ekonomi: Studi Kasus Bank Konvensional dan Bank Syariah di Indonesia. Jurnal
Aplikasi Manajemen, Vol. 12, No.3, hal. 492-502.
Sukirno, Sadono. Pengantar Teori Makro Ekonomi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010.
Toda, H.Y. and Yamamoto, T. (1995). Statistical Inference In Vector Auto Regressions with
Possibly Integrated Processes, Journal of Econometrics, Vol. 66, pp. 225-50.
Yusoff, Mohammed B. Fiscal Policy in an Islamic Economy and the Role of Zakat. IIUM
Journal of Economic and Management 14, no. 2 (2006): 117-45.
Yusoff, Mohammed B. An Analysis of Zakat Expenditure and Real Output: Theory and
Empirical Evidence. IIUM Journal of Economics and Management 18, no. 2 (2010):
139-60.
Yusoff, Mohammed B. (2013). Riba, Profit Rate, Islamic Rate, and Market Equilibrium.
International Journal of Economics Management and Accounting 21, No. 1 (2013):
33-63
http://www.bi.go.id/id/statistik/seki/bulanan/Default.aspx
http://www.bi.go.id/id/statistik/perbankan/syariah/Default.aspx
http://data.worldbank.org/data-catalog/global-economic-monitor

18