TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM I (5)

TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS
DALAM PENGGELOAN TERUMBU KARANG

Oleh :

IKHWAN EFENDY, S.Sos
NPM : E2A016016

PROGRAM STUDI PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BENGKULU

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.504
buah pulau besar dan kecil (Akhmad, 2005), dengan panjang garis pantai mencapai
hampir 95.181 km, terpanjang di dunia setelah Kanada, Amerika Serikat dan Rusia

yang dilindungi oleh ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun dan
ekosistem mangrove.Data terbaru tahun 2012 Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengungkap Indonesia merupakan Negara yang
memiliki sebagian besar persebaran terumbu karang di dunia. Laut Indonesia
memiliki terumbu karang terluas di dunia yaitu sebesar 15% dari seluruh lautan di
bumi. LIPI juga mengungkap hanya 5,3% terumbu karang Indonesia yang tergolong
sangat baik. Sementara 27,18%-nya digolongkan dalam kondisi baik, 37,25% dalam
kondisi cukup, dan 30,45% berada dalam kondisi buruk. Bahkan menurut Burke, dkk.
(2002) setengah abad terakhir ini degradasi terumbu karang di Indonesia meningkat
dari 10% menjadi 50%. Menurut data Coralwatch Indonesia tahun 2010, pemutihan
karang massal telah dilaporkan terjadi di Karibia, Maladewa, India, Sri Lanka, Burma,
Thailand, Singapura, Malaysia, dan di berbagai bagian Afrika Timur. Ini menunjukkan
bahwa besaran dan skala terjadinya pemutihan karang pada tahun 2010-2011
merupakan yang paling parah sejak 1997-1998 dimana 16% dari terumbu karang
dunia mati.
Di Indonesia, tingginya suhu permukaan laut di Laut Andaman selama bulan
Mei (2010) telah menyebabkan terjadinya pemutihan karang massal di seluruh
wilayah tersebut. Menurut situs Coral Reef Watch NOAA, suhu permukaan laut
mencapai puncaknya pada 27 Mei 2010 yaitu 34°C, atau 4°C lebih tinggi dari rata-


rata selama ini pada waktu yang sama. Pemutihan massal juga dilaporkan terjadi di
berbagai wilayah di Indonesia, dari Padang, Sumatra, Taman Nasional Kepulauan
Seribu di Jawa, Kupang di Timor Barat, hingga Teluk Tomini di Sulawesi.
1.2

Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pentingnya Sistem Teknologi Penginderaan Jauh Dalam Penggeloan
Terumbu Karang ?
2. Bagaimana Sistem Informasi Geografis Dalam Penggelolaan Terumbu Karang ?
3. Bagaimana Hubungan Antara Sistem Teknologi Penginderaan Jauh Dan Sistem

1.3
1.

Informasi Geogrfis Terhadap Pengelolaan Terumbu Karang ?
Tujuan Penulisan
Untuk Mengetahui Sistem Teknologi Penginderaan Jauh Dalam Pengelolaan Terumbu

2.
3.


Karang.
Untuk Mengetahui Sistem Informasi Geografis Dalam Pengelolaan Terumbu Karang.
Untuk Mengetahui Hubungan Sistem Teknologi Penginderaan Jauh Dan Sistem
Informasi Geografi Terhadap Pengelolaan Terumbu Karang.

PEMBAHASAN

1.

Teknologi Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh (atau disingkat inderaja) adalah pengukuran atau akuisisi
data dari sebuah objek atau fenomena oleh sebuah alat yang tidak secara fisik
melakukan kontak dengan objek tersebut atau pengukuran atau akuisisi data dari
sebuah objek atau fenomena oleh sebuah alat dari jarak jauh, (misalnya dari pesawat,
pesawat luar angkasa, satelit, kapal atau alat lain. Contoh dari penginderaan jauh
antara lain satelit pengamatan bumi, satelit cuaca, memonitor janin dengan ultrasonik
dan wahana luar angkasa yang memantau planet dari orbit. Inderaja berasal dari
bahasa Inggris remote sensing, bahasa Perancis télédétection, bahasa Jerman
fernerkundung, bahasa Portugis sensoriamento remota, bahasa Spanyol percepcion

remote dan bahasa Rusia distangtionaya. Di masa modern, istilah penginderaan jauh
mengacu kepada teknik yang melibatkan instrumen di pesawat atau pesawat luar
angkasa dan dibedakan dengan penginderaan lainnya seperti penginderaan medis atau
fotogrametri. Walaupun semua hal yang berhubungan dengan astronomi sebenarnya
adalah penerapan dari penginderaan jauh (faktanya merupakan penginderaan jauh
yang intensif), istilah "penginderaan jauh" umumnya lebih kepada yang berhubungan
dengan teresterial dan pengamatan cuaca.
“American Society of Photogrammetry” Penginderaan jauh merupakan pengukuran
atau perolehan informasi dari beberapa sifat objek atau fenomena, dengan
menggunakan alat perekam yang secara fisik tidak terjadi kontak langsung dengan
objek atau fenomena yang dikaji. “Avery “Penginderaan jauh merupakan upaya untuk
memperoleh, menunjukkan (mengidentifikasi) dan menganalisis objek dengan sensor
pada posisi pengamatan daerah kajian.“Campbell” Penginderaan jauh adalah ilmu

untuk mendapatkan informasi mengenai permukaan bumi seperti lahan dan air dari
citra yang diperoleh dari jarak jauh.“Colwell” Penginderaaan Jauh yaitu suatu
pengukuran atau perolehan data pada objek di permukaan bumi dari satelit atau
instrumen lain di atas atau jauh dari objek yang diindera. “Curran” Penginderaan Jauh
yaitu penggunaan sensor radiasi elektromagnetik untuk merekam gambar lingkungan
bumi yang dapat diinterpretasikan sehingga menghasilkan informasi yang

berguna.“Lillesand dan Kiefer”Penginderaan Jauh adalah ilmu dan seni untuk
memperoleh informasi tentang obyek, wilayah, atau gejala dengan cara menganalisis
data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek,
wilayah, atau gejala yang dikaji. “Lindgren” Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik
yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. “Welson
Dan Bufon” Penginderaan jauh adalah sebagai suatu ilmu, seni dan teknik untuk
memperoleh objek, area dan gejala dengan menggunakan alat dan tanpa kontak
langsung dengan objek, area dan gejala tersebut.
Sistem penginderaan jauh (remote sensing) sudah berkembang dengan pesat
seiring kemajuan teknologi. Penginderaan jauh merupakan akuisisi data sebuah objek
oleh sebuah alat seperti Satelit Landsat yang secara fisik tidak melakukan kontak
dengan objek tersebut. Citra yang dihasilkan dari penginderaan jauh merupakan citra
multispektral. Citra multispektral dapat membedakan karakteristik objek- objek yang
ditangkap berdasarkan spektrum elektromagnetik yang dipantulkan oleh objek- objek
tersebut. Salah satu penggunaan citra multispektral adalah untuk identifikasi terumbu
karang. Terumbu karang merupakan laboratorium alam yang unik untuk berbagai
penelitian yang dapat mengungkapkan penemuan yang berguna bagi kehidupan
manusia. Jumlah terumbu karang mencapai ribuan di seluruh dunia dengan jenis yang
berbeda- beda. Saat ini Sistem Informasi Geografi (SIG) hanya mampu memetakan
hasil alam seperti: padang lamun, kelapa sawit, minyak bumi, dan kontur tanah,


namun masih belum dapat memetakan jenis terumbu karang yang jumlahnya banyak
karena kesulitan dalam mengindentifikasi jenis terumbu karang. Kesulitan dalam
mengidentifikasi disebabkan karena permasalahan tutupan atmosfer sehingga harus
diperbaiki dengan metode koreksi radiometrik yang tepat. Proses identifikasi terumbu
karang merupakan proses dasar yang perlu dilakukan sebelum memetakan terumbu
karang yang dapat dilakukan oleh aplikasi SIG. Melihat pentingnya identifikasi
terumbu karang untuk perkembangan teknologi SIG, maka sangat diperlukan suatu
sistem yang dapat mengidentifikasi terumbu karang. Solusi untuk merancang sistem
tersebut berdasarkan citra hasil penginderaan jauh multispektral hasil gabungan
akuisisi berbagai macam satelit dalam Google Earth. Citra penginderaan jauh terlebih
dahulu dikoreksi radiometrik menggunakan dark channel prior dan dicari parameter
ukuran slide window yang tepat. Dark channel prior dipilih atas dasar kemampuannya
untuk menghilangkan kabut. Pada Sistem, dark channel prior digunakan untuk
memperbaiki nilai piksel pada citra penginderaan jauh multispektral yang terkena
gangguan tutupan atmosfer bumi. Citra hasil pengolahan dark channel prior
kemudian diekstraksi untuk mencari ciri terumbu karang tertentu menggunakan Filter
2D Gabor Wavelet. Penggunaan Filter 2D Gabor Wavelet karena dapat meminimalisir
ciri yang tidak penting. Untuk identifikasi terumbu karang digunakan algoritma KNearest Neighbor (kNN) dengan menggunakan metode pengukuran jarak terdekat
seperti: Euclidean,Correlation, Cosine, dan Cityblock. Hasil keluaran sistem adalah

jenis terumbu karang berdasarkan posisi geografi yang terdiri dari: terumbu karang
tepi (Fringing Reefs), terumbu karang penghalang (Barrier Reefs), dan terumbu
karang cincin (Atoll). Perkembangan teknologi satelit penginderaan jauh meningkat
seiring dengan kemajuan teknologi saat ini. sensor dan wahana satelit yang membawa
sensor mencapai orbit sehingga dapat mendeteksi obyek yang berada di permukaan

bumi. Data yang dihasilkan juga mengalami peningkatan resolusi meliputi resolusi
spasial, resolusi temporal, resolusi spektral, dan resolusi radiometrik. Kemajuan
teknologi ini menuntut para praktisi bidang penginderaan jauh melakukan
pengembangan metode-metode ekstraksi citra dengan metode klasifikasi untuk
mendapatkan informasi yang tepat dan akurat. Klasifikasi citra meliputi klasifikasi
secara manual mengunakan citra dan klasifikasi multispektral secara digital
menggunakan komputer. Klasifikasi multispektral merupakan salah satu bagian dari
pengolahan citra penginderaan jauh untuk menghasilkan peta tematik dan dijadikan
masukan pada permodelan spasial dalam lingkungan sistem informasi geografis/ GIS
(Danoedoro 2012). Metode klasifikasi multispektral sebagian besar bertumpu pada
satu kriteria yang digunakan yaitu nilai spektral (band). Metode klasifikasi diterapkan
untuk mengekstrak informasi berdasarkan kebutuhan pengguna seperti pemetaan
sumberdaya yang berada di daratan (teresterial) dan perairan (aquatic). Telah banyak
penelitian menggunakan citra satelit untuk pemetaan habitat bentik, antara lain

klasifikasi multispektral dari citra Quickbird di wilayah perairan laut telah mampu
memetakan habitat bentik (Siregar 2010). Pemetaan habitat dasar dan estimasi stok
ikan terumbu dengan citra Worldview-2 (Siregar et al. 2013). Pemantauan status
lingkungan terumbu karang (Green et al. 2000). Evaluasi beberapa lokasi untuk
klasifikasi terumbu karang di wilayah tropis (Andrefouet et al. 2003). Pemetaan
geomorfologi dan ekologi terumbu karang (Phinn et al. 2011). Namun, dalam
pemanfaatan teknologi ini terdapat kesulitan dan permasalahan khusus yaitu pengaruh
permukaan perairan dan kedalaman perairan terhadap reflektansi dasar perairan
(Lyzenga 1981, Mumby et al. 1999). Permasalahan yang lain adalah penentuan
metode klasifikasi citra dengan tingkat akurasi yang baik dari peta yang dihasilkan
(Green et al. 2000, Congalton dan Green 2009). Klasifikasi citra merupakan proses

mengelompokkan piksel ke dalam kelas-kelas tertentu berdasarkan nilai kecerahan
piksel (brightness value/BV/ digital number) pada citra (Danoedoro 2012). Klasifikasi
citra pada perkembangannya dibagi menjadi dua basis yaitu klasifikasi citra berbasis
piksel (pixel base) dan berbasis obyek (object base image analysis/OBIA) (Navulur
2007, Blaschke 2010). Penerapan metode klasifikasi berbasis piksel menggunakan
algoritma maximum likelihood dari citra IKONOS dan Landsat 7 (Andrefouet et al.
2003). Penerapan metode klasifikasi berbasis piksel telah menghasilkan peta zona
geomorfologi dengan akurasi yang berbeda-beda. Penerapan beberapa metode

klasifikasi citra diharapkan menghasilkan akurasi pemetaan yang baik. Metode yang
menjadi pilihan pada klasifikasi citra selain metode berbasis piksel adalah dengan
metode klasifikasi berbasis obyek/OBIA. OBIA adalah paradigma baru dalam
klasifikasi citra dan merupakan salah satu sub-kajian dari GIS science yang fokus
pada pengembangan metode analisis citra penginderaan jauh berbasis obyek sehingga
menjadi beberapa obyek yang memiliki makna tertentu (Navulur 2007). OBIA
mampu mendefinisikan kelas-kelas obyek berdasarkan aspek spektral dan aspek
spasial secara sekaligus (Danoedoro 2012). Tahapan OBIA dilakukan proses
segmentasi citra (pixel level) menjadi segmen/obyek (object level) yang homogen
sesuai dengan parameternya. Segmentasi satu level biasanya tidak efisien dalam
merepresentasikan satu kajian dalam sebuah scene citra karena dalam satu scene citra
terdapat sebuah hirarki pola dan informasi pada skala yang berbeda dan secara
simultan bisa ditampilkan melalui segmentasi multiskala (Meinel dan Neubert 2004).
Klasifikasi menggunakan metode OBIA terbukti mampu meningkatkan akurasi pada
pemetaan geomorfologi dan ekologi ekosistem terumbu karang di tiga perairan yang
berbeda wilayah Australia (Phinn et al. 2011). Berdasarkan hal di atas, penggunaan
metode OBIA perlu dicobakan pada wilayah perairan dengan memperhatikan

beberapa faktor yang mempengaruhi hasil akurasi. Penerapan metode OBIA dengan
klasifikasi multiskala diharapkan mampu meningkatkan akurasi. Penginderaan jauh,

citra foto, citra satelit dapat dimanfaatkan sebagai sumberdata lingkungan abiotik
(sumberdaya alam), lingkungan biotik (flora dan fauna), serta lingkungan budaya
(bentuk penggunaan lahan).
Penginderaan Jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang
obyek, daerah, atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan
menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek, daerah, atau gejala yang
dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1979). Sedangkan Sistem Informasi Geografi (SIG),
adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang
bereferensi spasial atau berkoordinat geografi atau dengan kata lain suatu SIG adalah
suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk menangani data yang
bereferensi keruangan (spasial) bersamaan dengan seperangkat operasi kerja (Barus
dan Wiradisastra, 2000) Dalam citra penginderaan jauh terdapat banyak informasi
yang dapat direkam antara lain untuk pendekatan ekologikal, pendekatan spasial, serta
pendekatan kompleksitas kewilayahan.Pemanfaatan data penginderaan jauh untuk
perencanaan wilayah dapat melengkapi informasi peta yang sudah ada dan untuk
menambahkan informasi terbaru, mengingat perkembangan suatu wilayah relatif
berlangsung cepat sehingga sangat memerlukan data untuk monitoring dan evaluasi
terhadap implementasi rencana tata ruang.
Penggunaan data penginderaan jauh dalam pengelolaan pesisir :
1. Mengindentifikasi berbagai macam objek di wilayah pesisir seperti rumput laut,

terumbu karang, keadaan pasir, padang lamun, keberadaan mangrove, penggunaan
lahan, serta sebaran vegetasi lainnya yang merupakan suatu ekosistem wilayah pesisir.

2. Mengidentifikasi dan memetakan tumpahan minyak serta pencemaran di wilayah
pesisir.
3. Memetakan perubahan garis pantai.
4. Deteksi daerah potensial penangkapan ikan.
5. Identifikasi kelayakan lokasi untuk pengembangan, misalnya pariwisata dan budidaya
perikanan.
Penggunaan PJ memiliki beberapa kelebihan (+) dan kekurangan (-) :
Kelebihan Penginderaan Jauh
a. Citra menggambarkan obyek, daerah dan gejala di permukaan bumi dengan wujud
dan letak obyek yang mirip dengan wujud dan letaknya di permukaan bumi, relatif
lengkap, permanen dan meliputi daerah yang sangat luas.
b. Karakteristik obyek yang tidak tampak dapat diwujudkan dalam bentuk citra,
sehingga dimungkinkan pengenalan obyeknya.
c. Pengambilan data di wilayah yang sama dapat dilakukan berulang-ulang sehingga
analisis data dapat dilakukan tidak saja berdasarkan variasi spasial tetapi juga
berdasarkan variasi temporal.
d. Citra dapat dibuat secara tepat, meskipun untuk daerah yang sulit dijelajahi secara
teresterial.
Kelemahan Penginderaan Jauh

a. Tidak semua parameter kelautan dan wilayah pesisir dapat dideteksi dengan
teknologi

penginderaan

jauh.

Hal

ini

disebabkan

karena

gelombang

elektromagnetik mempunyai keterbatasan dalam membedakan benda yang satu
dengan benda yang lain, tidak dapat menembus benda padat yang tidak
transparan, daya tembus terhadap air yang terbatas.
b. Akurasi data lebih rendah dibandingkan dengan metode pendataan lapangan yang
disebabkan karena keterbatasan sifat gelombang elektromagnetik dan jarak yang
jauh antara sensor dengan benda yang diamati.

1.2

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS
SIG untuk pengelolaan sumberdaya kelautan berkembang dengan pesat
(Maeden, and DoChi, 1996). Hal ini disebabkan kemampuan SIG dalam memberikan
kemudahan untuk (1) mengintegrasikan data dari berbagai format data (grafik, teks,
dan data digital); (2) memiliki kemampuan baik dalam pertukaran data; (3) mampu
melakukan proses dan analisis data secara cepat; dan (4) mampu dalam pemodelan.
Di Indonesia boleh dikatakan masih dalam tahap awal. Pada tahun 2000-an Indonesia
mendapat pinjaman dana dari ADB untuk pengelolaan ekosistem terumbu karang
melalui proyek CORMAP (Gambar 5) yang didanai dari ADB. Yang dimaksud
dengan data dan informasi mengenai luas dan sebaran terumbu karang dalam
pemetaan ini mencakup luas dan sebaran pasir karang, rataan terumbu tengah, tubir
dan lereng terumbu. Dengan kata lain dalam kegiatan ini terumbu karang terdiri dari
binatang karang, derivatnya dan habitat yang ada di dalamnya. Pemetaan terumbu
karang menggunakan teknologi inderaja Landsat-TM ini dilakukan sampai batas
kedalaman yang dapat dideteksi oleh sensor satelit. Untuk daerah yang datar atau
agak landai, penghitungan luas dilakukan secara langsung berdasarkan jumlah piksel.
Untuk daerah dengan sudut kemiringan yang agak besar, perhitungan luas terumbu
karang dibantu dengan suatu transformasi yang memasukan komponen batimetri.
Sedangkan untuk daerah yang sangat curam atau yang berbentuk dinding terjal,
penentuan luas terumbu karang dilakukan secara visual dan dengan bantuan
echosounder. Adapun batasan-batasan mengenai peristilahan yang digunakan dalam
kegiatan ini adalah:
a. Luas terumbu karang: di ukur mulai dari garis pantai dengan dasar pasir karang,
rataan terumbu, tubir dan lereng terumbu sampai kedalaman di mana karang masih
hidup dan membentuk terumbu;

b. Takat (patch reef); diukur sesuai dengan kondisi yang terekam oleh citra Landsat -TM
c. Karang tepi (fringing reef ); diukur mulai dari garis pantai sampai batas kedalaman di
mana karang masih hidup dan membentuk terumbu.
d. Karang penghalang (barrier); di ukur luasnya di kedua sisi, baik yang menghadap ke
laut lepas maupun yang menghadap ke pulau utama;
e. Atol; diukur di kedua sisi, baik yang menghadap ke laut lepas maupun ke lagoon
(goba). Goba yang kedalamannya kurang dari 10 meter dianggap sebagai satu
kesatuan luas karang di atol tersebut.
Panjang garis pantai, diukur mengikuti garis pantai yang ada pada citra
Landsat-TM Pengembangan basisdata spasial terumbu karang dengan web-based GIS
dapat dilakukan melalui lima tahapan berikut, yaitu:
1.

Tahap Konseptual
Sebagian besar aktivitas dititikberatkan pada identifikasi pengorganisasian
data spasial terumbu karang yang sudah ada beserta analisis kebutuhan di
masa mendatang. Selain itu juga dilakukan evaluasi kelayakan berupa estimasi
biaya dan potensi keuntungan yang bakal diperoleh.

2.

Tahap Perancangan
Pada tahap ini dipersiapkan secara detil rencana implementasi, rancangan
sistem, dan rancangan basisdata spasial terumbu karang yang akan dibangun.
Rencana implementasi berisi deskripsi tugas, alokasi sumberdaya, identifikasi
rencana hasil akhir, dan time schedule. Perancangan sistem menyangkut

pemilihan perangkat keras dan lunak. Perancangan basisdata tabuler terumbu
sebaiknya menggunakan model ER (entity relationship). Basisdata terumbu
disusun dalam tabel data lokasi sampel, parameter ambien, transek, lifeform,
dan taksonomi berdasarkan standar dari US Fish & Wildlife Service Division
of Law Enforcement dan Australian Institute of Marine Science (1994).
3.

Tahap Pengembangan
Pada

tahapan

ini

dilakukan

akuisisi

sistem,

akuisisi

basisdata,

pengorganisasian sistem, persiapan prosedur operasi, dan persiapan lokasi.
Melalui akuisisi sistem diharapkan dapat dipilih perangkat keras dan lunak
pendukung web-based GIS yang paling efektif dengan biaya serendah
mungkin. Di dalam pengorganisasian sistem, kendala yang seringkali dihadapi
adalah kebutuhan personel pendukung dan skill. Berkaitan dengan hal ini,
sebenarnya kita tidak akan mengalami kesulitan karena banyaknya peneliti
terumbu karang yang tersebar di lembaga penelitian, PT, LSM, maupun diving
club. Tinggal memberikan sedikit pelatihan tentang konsep pengembangan
basisdata ini. Persiapan prosedur operasi menyangkut penentuan prosedur
manajemen sistem, seperti: operasi harian, pemeliharaan peralatan, serta
pengalokasian wewenang penggunaan perangkat sistem dan akses data.
4.

Tahap Operasional
Tahap operasional meliputi instalasi sistem dan pembuatan pilot project.
Instalasi sistem mencakup pemasangan dan pengujian sistem, baik secara
terpisah maupun terhubung dalam jaringan internet. Proyek percontohan perlu

diujicobakan pada beberapa lembaga penelitian, PT, dan LSM yang ikut
bergabung; karena proyek ini tergolong besar.
5.

Tahap audit
Pada setiap periode tertentu, keberadaan sistem sebaiknya ditinjau kembali
untuk memonitor relevansi sistem. Jika hasil review menunjukkan adanya
pergeseran sistem dari tujuan semula, maka diperlukan perbaikan dan atau
perluasan sistem (system expansion).

6.

Akuisisi Basisdata
Akuisisi basisdata merupakan aktivitas pengkonversian data spasial (peta) dan
data atribut terumbu yang masih berupa data analog ke dalam format dijital.
Kegiatan yang dilakukan berupa pembuatan peta digital batas kawasan,
pemetaan terumbu karang, penyusunan basisdata tabuler terumbu, dan
integrasi data atribut terumbu ke dalam data spasial. Pembuatan peta digital
batas kawasan (termasuk informasi batimetri) dilakukan melalui proses
digitasi, editing, transformasi koordinat, pengolahan data atribut, dan layout
peta. Pemetaan terumbu karang dan kegiatan monitoringnya dilakukan dengan
pemrosesan citra digital Landsat TM berdasarkan penerapan algoritma
Lyzenga dan proses contextual editing. Sebagian besar data atribut terumbu
merupakan hasil pengukuran lifeform dengan metode line intercept transect
(LIT). Sayangnya, metode konvensional ini tidak mampu menyajikan
informasi luas dan sebaran terumbu. Untuk mengatasinya, pengukuran
lifeform dilakukan pada transek sampel yang dipilih berdasarkan metode LIT
untuk penginderaan jauh. Data atribut terumbu kemudian diklasifikasi, diolah,

dan diotomasi dengan pemberian identitas (ID) menggunakan SQL.
Selanjutnya dilakukan pengintegrasian data atribut ke dalam peta dijital
dengan bantuan perangkat lunak pengolah data spasial yang mempunyai
fasilitas pertukaran data secara dinamis melalui container OLE maupun driver
ODBC, misalnya: ArcView, AutoCAD Map, dan MapInfo.

1.3

Hubungan Antara Sistem Teknologi Penginderaan Jauh Dan Sistem Informasi
Geogrfis Terhadap Pengelolaan Terumbu Karang
Penginderaan jauh merupakan akuisisi data sebuah objek oleh sebuah alat
seperti Satelit Landsat yang secara fisik tidak melakukan kontak dengan objek
tersebut. Citra yang dihasilkan dari penginderaan jauh merupakan citra
multispektral. Citra multispektral dapat membedakan karakteristik objek- objek yang
ditangkap berdasarkan spektrum elektromagnetik yang dipantulkan oleh objekobjek tersebut. Salah satu penggunaan citra multispektral adalah untuk identifikasi
terumbu karang. Terumbu karang merupakan laboratorium alam yang unik untuk
berbagai penelitian yang dapat mengungkapkan penemuan yang berguna bagi
kehidupan manusia. Jumlah terumbu karang mencapai ribuan di seluruh dunia
dengan jenis yang berbeda- beda. Sedangkan Sistem Informasi Geografi (SIG)
hanya mampu memetakan hasil alam seperti: padang lamun, kelapa sawit, minyak
bumi, dan kontur tanah, namun masih belum dapat memetakan jenis terumbu karang
yang jumlahnya banyak karena kesulitan dalam mengindentifikasi jenis terumbu
karang. Kesulitan dalam mengidentifikasi disebabkan karena permasalahan tutupan
atmosfer sehingga harus diperbaiki dengan metode koreksi radiometrik yang tepat.
Proses identifikasi terumbu karang merupakan proses dasar yang perlu dilakukan

sebelum memetakan terumbu karang yang dapat dilakukan oleh aplikasi SIG.
Melihat pentingnya identifikasi terumbu karang untuk perkembangan teknologi SIG,
maka sangat diperlukan suatu sistem yang dapat mengidentifikasi terumbu karang.
Solusi untuk merancang sistem tersebut berdasarkan citra hasil penginderaan jauh
multispektral hasil gabungan akuisisi berbagai macam satelit dalam Google Earth.
Citra penginderaan jauh terlebih dahulu dikoreksi radiometrik menggunakan dark
channel prior dan dicari parameter ukuran slide window yang tepat. Dark channel
prior dipilih atas dasar kemampuannya untuk menghilangkan kabut. Pada Sistem,
dark channel prior digunakan untuk memperbaiki nilai piksel pada citra
penginderaan jauh multispektral yang terkena gangguan tutupan atmosfer bumi.
Citra hasil pengolahan dark channel prior kemudian diekstraksi untuk mencari ciri
terumbu karang tertentu menggunakan Filter 2D Gabor Wavelet. Penggunaan Filter
2D Gabor Wavelet karena dapat meminimalisir ciri yang tidak penting. Untuk
identifikasi terumbu karang digunakan algoritma K- Nearest Neighbor (K NN)
dengan menggunakan metode pengukuran jarak terdekat seperti: Euclidean,
Correlation, Cosine, dan Cityblock. Hasil keluaran sistem adalah jenis terumbu
karang berdasarkan posisi geografi yang terdiri dari: terumbu karang tepi (Fringing
Reefs), terumbu karang penghalang (Barrier Reefs), dan terumbu karang cincin
(Atoll). Perkembangan teknologi satelit penginderaan jauh meningkat seiring dengan
kemajuan teknologi saat ini. sensor dan wahana satelit yang membawa sensor
mencapai orbit sehingga dapat mendeteksi obyek yang berada di permukaan bumi.
Data yang dihasilkan juga mengalami peningkatan resolusi meliputi resolusi spasial,
resolusi temporal, resolusi spektral, dan resolusi radiometrik. Kemajuan teknologi
ini menuntut para praktisi bidang penginderaan jauh melakukan pengembangan
metode-metode ekstraksi citra dengan metode klasifikasi untuk mendapatkan

informasi yang tepat dan akurat. Klasifikasi citra meliputi klasifikasi secara manual
mengunakan citra dan klasifikasi multispektral secara digital menggunakan
komputer. Klasifikasi multispektral merupakan salah satu bagian dari pengolahan
citra penginderaan jauh untuk menghasilkan peta tematik dan dijadikan masukan
pada permodelan spasial dalam lingkungan sistem informasi geografis/ GIS
(Danoedoro 2012). Metode klasifikasi multispektral sebagian besar bertumpu pada
satu kriteria yang digunakan yaitu nilai spektral (band). Metode klasifikasi
diterapkan untuk mengekstrak informasi berdasarkan kebutuhan pengguna seperti
pemetaan sumberdaya yang berada di daratan (teresterial) dan perairan (aquatic).
Telah banyak penelitian menggunakan citra satelit untuk pemetaan habitat bentik,
antara lain klasifikasi multispektral dari citra Quickbird di wilayah perairan laut
telah mampu memetakan habitat bentik (Siregar 2010). Pemetaan habitat dasar dan
estimasi stok ikan terumbu dengan citra Worldview-2 (Siregar et al. 2013).
Pemantauan status lingkungan terumbu karang (Green et al. 2000). Evaluasi
beberapa lokasi untuk klasifikasi terumbu karang di wilayah tropis (Andrefouet et
al. 2003). Pemetaan geomorfologi dan ekologi terumbu karang (Phinn et al. 2011).
Namun, dalam pemanfaatan teknologi ini terdapat kesulitan dan permasalahan
khusus yaitu pengaruh permukaan perairan dan kedalaman perairan terhadap
reflektansi dasar perairan (Lyzenga 1981, Mumby et al. 1999). Permasalahan yang
lain adalah penentuan metode klasifikasi citra dengan tingkat akurasi yang baik dari
peta yang dihasilkan (Green et al. 2000, Congalton dan Green 2009). Klasifikasi
citra merupakan proses mengelompokkan piksel ke dalam kelas-kelas tertentu
berdasarkan nilai kecerahan piksel (brightness value/BV/ digital number) pada citra
(Danoedoro 2012). Klasifikasi citra pada perkembangannya dibagi menjadi dua
basis yaitu klasifikasi citra berbasis piksel (pixel base) dan berbasis obyek (object

base image analysis/OBIA) (Navulur 2007, Blaschke 2010). Penerapan metode
klasifikasi berbasis piksel menggunakan algoritma maximum likelihood dari citra
IKONOS dan Landsat 7 (Andrefouet et al. 2003). Penerapan metode klasifikasi
berbasis piksel telah menghasilkan peta zona geomorfologi dengan akurasi yang
berbeda-beda. Penerapan beberapa metode klasifikasi citra diharapkan menghasilkan
akurasi pemetaan yang baik.

KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan mengenai teknologi penginderaan jauh dan
sistem informasi geografis dalam pengelolaan terumbu karang sangat membantu
mempermudah dalam mekanisme maupun teknis struktur biota/ekosisten laut.
Adapun kesimpulan yang bisa diperoleh, antara lain :
1. Dapat Mengindentifikasi berbagai macam objek di wilayah pesisir seperti rumput
laut, terumbu karang, keadaan pasir, padang lamun, keberadaan mangrove,
penggunaan lahan, serta sebaran vegetasi lainnya yang merupakan suatu
ekosistem wilayah pesisir.
2. Dapat Mengidentifikasi dan memetakan tumpahan minyak serta pencemaran di
wilayah pesisir.
3. Bermanfaat dalamMemetakan perubahan garis pantai.
4. Mampu mendeteksi daerah potensial penangkapan ikan.
5. Mampu Identifikasi kelayakan lokasi untuk pengembangan, misalnya pariwisata
dan budidaya perikanan.

6. Keterkaitan SIG dan penginderaan jauh adalah sebagai berikut, informasi yang
diturunkan dari analisis citra penginderaan jauh dilakukan untuk diintegrasikan
dengan data yang disimpan dalam bank data SIG. Tujuan utama integrasi
penginderaan jauh dan SIG berasal dari ahli penginderaan jauh.

DAFTAR PUSTAKA

Arsana, I. M. A. 2007. The Delineation Of Indonesia’s Outer Limits Of Its
Extended Continental Shelf And Preparation For Its Submission:
Status And Problems.Division For Ocean Affairs And The Law Of The
Sea Office Of Legal Affairs, The United Nations.New York.
Bambang Sulistyo, Uji ketelitian indentifikasi penyebaran terumbu karang berdasarkan
landsat tm (studi kasus di pulau enggano, kabupaten bengkulu utara)
Burke L , E . S elig, and M. Spalding., 2002.Reefs at Risk in Southeast Asia.72 pp. World
Resources Institute, Washington, D.C. Coralwatch.“Sebuah Perspektif tentang
Kejadian Pemutihan Tahun 2010”. 2014. http://id.coralwatch.org (29Okt. 2014).
Felde GW, Anderson GP, Cooley TW, Matthew MW, Adler-Golden SM, Berk A, Lee J. 2003.
Analysis of Hyperion Data with the FLAASH Atmospheric Correction Algorithm.
2003 IEEE IGARSS: Learning from Earth's Shapes and Colours; Toulouse.p 90-92.
Green EP, Mumby PJ, Edwards AJ, Clark CD. 2000. Remote Sensing Handbook for Tropical
Coastal Management. Paris [FR]: UNESCO.
http://id.wikipedia.org/wiki/Penginderaan_jauh, diakses tanggal 18 Oktober 2013
http://id.wikipedia.org/wiki/Sedimentasi, diakses tanggal 18 Oktober 2013
http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_informasi_geografis, diakses tanggal 21 Oktober 2013
https://mbojo.wordpress.com/2008/12/24/perencanaan-pengelolaan-wilayah-pesisir-dengan
memanfaatkan-sistem-informasi-geografi-dan-data-penginderaan-jauh/

Phinn SR, Roelfsema CM, Mumby PJ. 2011. Multi-scale, Object-based Image Analysis for
Mapping Geomorphic and Ecological Zones on Coral Reefs, Int J Remote Sens
33:3768-3797.
Stumpf, R.P., K. Holderied. 2003. Determination of Water Depth with High-Resolution
Satellite Imagery Over Variable Bottom Types, Liminology and Oceanography,
48(1):547-556.