PENDIDIKAN ENTERPRENEURSHIP DAN ETOS KER

PENDIDIKAN ENTERPRENEURSHIP DAN ETOS KERJA UNTUK KESEJAHTERAAN
PEREKONOMIAN INDONESIA

oleh:
1. Achmad Room Fitrianto
2. Fikri Haykal Afandi
3. Zulfikri Fahmi

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA

A. Pengantar
Pertumbuhan ekonomi Indonesia sebelum krisis cenderung tinggi. Pada
era 1976-1981 dimana dikenal sebagai era booming minyak, Indonesia mengalami
pertumbuhan ekonomi sebesar 7-12 % pertahun dan mencapai puncaknya pada
tahun 1982 yang mencapai 13,5%. Akan tetapi pada tahun 1985 turun menjadi 2,5
% dikarenakan harga minyak yang turun tajam saat itu. Dengan beberapa paket
kebijakan ekonomi, perekonomian Indonesia tumbuh 6,8% pertahun secara rata
rata dari tahun 1982-1985. Lebih lanjut pada periode berikutnya 1986-1989 dan
1990-1997 Indonesia juga mengalami pertumbuhan sebesar 6,0 dan 6,9 persen

per tahun secara rata rata. Secara keseluruhan, selama periode 1982-1997 angka
pertumbuhan mencapai 6,7 persen per tahun.
Krisis ekonomi yang berlangsung mulai pertengahan tahun 1997
mengakibatkan perubahan struktural kinerja perekenomian dan pasar kerja di
Indonesia. Pada puncak krisis (1998), perekonomian Indonesia mengalami
kontraksi yang luar biasa sebagaimana ditunjukan oleh pertumbuhan ekonomi
yang mencapai minus 13,1 persen. Terlebih bila pertumbuhan ekonomi itu harus
dikonfersi dengan tingkat pertumbuhan penduduk ataupun dengan tingkat
penggangguran, maka Indonesia akan mengalami kesulitan untuk memajukan
perekonomian.
Berdasarkan hasil sensus penduduk oleh BPS tahun 2010 jumlah
penduduk di Indonesia mencapai 237,6 juta jiwa. (BPS, 2010). Tingginya
pengangguran di Indonesia mencapai angka 10, 93 juta jiwa pada tahun 2006.
Majalah Tempo edisi 20-26 Agustus 2007 menyajikan fakta bahwa pada tahun
2006, terdapat 670.000 sarjana dan lulusan diploma yang mengaggur. (Majalah
Tempo, 2007) Kenyataan ini suatu paradoxial antara tujuan pendidikan tinggi.
Disisi lain, terdapat suatu paradigma lain dimana sebagian besar lulusan
perguruan tinggi lebih bertujuan sebagai ”pengemis” pekerjaan. Hal ini muncul
dikarenakan sistem pembelajaran yang diterapkan di berbagai perguruan tinggi
saat ini lebih terfokus pada bagaimana menyiapkan para mahasiswa yang cepat

lulus dan mendapatkan pekerjaan, lain bukan.

2

Semakin membengkaknya lulusan perguruan tinggi yang menganggur
semakin menunjukkan bahwa ketersediaan lapangan kerja yang sangat terbatas.
Namun hal tersebut bukanlah hal utama yang menjadi penyebab tingginya
pengangguran lulusan perguruan tinggi. Nurul Firdaus (2009) menjelaskan enam
penyebab lulusan perguruan tinggi menganggur.1
Pertama, Lapangan Kerja yang terbatas. Menjadi prioritas utama yang
perlu diperhatikan, bahkan setiap Pemilu, Pilpres, dan Pilkada, lapangan pekerjaan
menjadi prioritas utama dari para calon yang bersaing. Namun tidak satu pun
sampai dengan saat ini mampu memberikan solusi, bahkan semakin
memperparah keadaan. Karena setiap mendekati pemilu, pilpres dan pilkada
investor takut, menjadi korban kegiatan politik tersebut.
Kedua, Mindset yang masih menganggap bahwa setelah lulus mencari
kerja. Setiap lulusan perguruan tinggi memiliki ekspektasi berkerja di tempat yang
bagus, lalu mendapatkan gaji yang besar. Mulailah mereka mengirim surat
lamaran ke banyak tempat, dengan harapan langsung berkerja.
Ketiga, Kompetisi yang sangat tinggi, ikut menyebabkan semakin

sempitnya lulusan perguruan tinggi untuk dapat bersaing. Setiap tahun ratusan
ribu lulusan dihasilkan dari perguruan tinggi dengan latar belakang jurusan ilmu
yang berbeda. Persaingan ini sudah barang tentu akan mengakibatkan porsi
lapangan kerja yang tersedia dengan lulusan yang ada tidak seimbang.
Keempat,

Kurikulum

yang

belum

banyak

memperkenalkan

sisi

entrepreneur. Karena entrepreneur sendiri masih dianggap bukan tujuan utama
dari dunia pendidikan kita. Kesiapan memasuki dunia kerja lebih di kedepankan.

Akibatnya tidak ada link and match antara dunia pendidikan dan dunia
entrepreneur yang paling banyak kesempatannya.
Kelima, Tenaga Pengajar dalam hal ini dosen atau guru, masih
memberikan pola pengajaran problem based learning yang belum menyentuh sisi
entrepreneur.

1

Nurul Firdausi, Ciptakan Jiwa Entrepreneur, Sekarang!

http://www.ciputra.org/node/1055/ciptakan-jiwa-entrepreneur-sekarang.html, 2009

3

Terakhir, Skill yang berbeda dengan kebutuhan dunia kerja. Sekarang ini
lapangan kerja yang tersedia menginginkan setiap pekerja-nya memiliki keahlian
yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Tapi, tidak banyak seseorang lulusan
memiliki keahlian yang dibutuhkan oleh perusahaan.
Untuk mengatasi missmacth antara dunia kerja dan pendidikan tersebut
diatas, maka perlu dilakukan terobosan mengajaran. Salah satu terobosan

tersebut adalah dengan menanamkan semangat kewirausahaan pada kurikulum
pendidikan nasional. Lebih lanjut, pemerintah diharapkan melakukan prioritas
kebijakan seperti melakukan percepatan pemulihan ekonomi dan pemerataan
hasil hasil pembangunan. Untuk mengukur tingkat keberhasilan dari prioritas
tersebut, target pertumbuhan ekonomi harus mencapai 7,6%, tingkat inflasi tidak
boleh lebih dari 3%, penurunan tingkat pengangguran sebesar 5,7% dan yang
utama adalah adanya penurunan jumlah orang miskin menjadi 18,8 juta orang
(sasaran menengah proyeksi ekonomi makro, Bapenas) Dalam konteks ini, tingkat
kemiskinan diharapkan turun dari 16,6% pada tahun 2004 menjadi 8,2% pada
tahun 2009. Sedangkan tingkat pengangguran turun dari 9,7% pada tahun 2004
menjadi 5,1% pada tahun 2009. Pertumbuhan ekonomi diharapkan meningkat,
dari 16% pada tahun 2004 menjadi 24,4% pada tahun 2009.

Dari sini dapat dilihat bila, semangat enterprener saja tanpa didukung oleh kondisi
makro perekonomian, efek yang dirasakan akan lama. Lebih detail lagi kita pahami
bila semangat enterpreneur tidak lepas dari kerja keras, kemandirian, serta
kedisiplinan akan waktu, namun semua itu tidak cukup jika tidak ditunjang dengan
rasa semangat yang tinggi, faktor utama yang harus dikaji ulang akan pentingnya
enterpreneursip didalam negara kita yaitu terhadap masalah etos kerja dari
negara itu sendiri. Jika etos kerja dari suatu negara itu lemah maka yang terjadi

hanyalah pengangguran dimana-mana, dan sebaliknya jika kualitas etos kerjanya
itu baik maka kualitas SDM nya juga akan baik dan hal itu sangat penting untuk
menunjang adanya pendidikan enterpreneurship di indonesia demi mewujudkan
kesejahteraan rakyat.
Nah, hal ini akan menjadi tantangan yang sangat besar, karena pada
akhirnya semuanya membutuhkan kreativitas, dan inovasi, dan ini sangat berguna

4

dalam menciptakan entrepreneur muda dengan gagasan baru yang unik bagi
kemapanan Bangsa Indonesia.
B. Definisi Enterpreneur
Kata entrepreneur berasal dari kata Prancis, entreprendre, yang berarti
berusaha. Dalam konteks bisnis, maksudnya adalah memulai sebuah bisnis. Kamus
Merriam-Webster menggambarkan definisi entrepreneur sebagai seseorang yang
mengorganisir, memenej, dan menanggung risiko sebuah bisnis atau usaha.2
Enterpreneur adalah pelaku bisnis yang menerima golongan antara resiko
dan peluang yang menyangkut dalam menciptakan dan mengoperasikan peluang
usaha baru. Enterpreneur adalah orang yang menanggung resiko dari bisnis
kepemilikan dengan sasaran utama pertumbuhan dan perkembangan. (Ebert,

Griffin, 2003)3
Enterpreneur adalah seseorang yang menciptakan bisnis baru ditengah
banyaknya resiko dan ketidak pastian sebuah tujuan untuk mencapai keuntungan
dan pertumbuhan dengan mengidentifikasi peluang dan mengumpulkan sumber
daya yang penting sebagai modal utama (Zimmer, Scarbourgh, 2002)4
Enterpreneur adalah seseorang yang mempunyai ide yang inovatif, dapat
melihat peluang yang ada di pasar dan merubah mimpi mereka menjadi
kenyataan yang bersinar. (Thornberry, 2006)5
Dari ketiga definisi para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa
enterpreneurship adalah seseorang yang berani mengambil suatu resiko dari
sebuah ide inovatif yang dijalankannya dengan pertimbangan yang matang serta
mempunyai visi dan misi yang jelas untuk mengembangkan ide tersebut agar
terus menjadi ide inovatif agar dapat menarik perhatian pasar.

2

Erwin, Definisi Enterpreneurship, http://www.quickmba.com/entre/definition/, 2007

3


Dikutip dari
http://digilib.petra.ac.id/viewer.php?submit.x=9&submit.y=9&submit=prev&page=13&qua
l=high&submitval=prev&fname=%2Fjiunkpe%2Fs1%2Feman%2F2009%2Fjiunkpe-ns-s12009-31404119-11934-owner_aspect-chapter2.pdf

4

Ibid

5

Ibid

5

Banyak pedagang-pedagang kecil yang merasa bahwa dirinya adalah
seorang enterpreneur tetapi usahanya berjalan stagnan tanpa adanya
perkembangan usaha bagi dirinya maupun orang lain. Seorang enterpreneur sejati
selalu dituntut untuk membuat ide-ide yang inovatif agar produk-produk yang
diciptakannya dapat menarik perhatian konsumen, terobosan-terobosan yang
unik seperti inilah yang memberikan kontribusi yang sangat besar untuk

perkembangan usaha. Oleh karena itu enterpreneur sejati yaitu seseorang yang
selalu mempunyai pandangan kedepan, bagaimana caranya agar usaha mereka
dapat berkembang lebih luas.
Lebih detail, Sulanam (2010) menjabarkan enam karakter seorang
enterprener. Pertama, seorang enterprener harus memiliki disiplin. Dalam
melaksanakan kegiatannya, seorang wirausahawan harus memiliki kedisiplinan
yang tinggi. Arti dari kata disiplin itu sendiri adalah ketepatan komitmen
wirausahawan terhadap tugas dan pekerjaannya. Ketepatan yang dimaksud
bersifat menyeluruh, yaitu ketepatan terhadap waktu, kualitas pekerjaan, sistem
kerja dan sebagainya. Ketepatan terhadap waktu, dapat dibina dalam diri
seseorang dengan berusaha menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan waktu yang
direncanakan. Sifat sering menunda pekerjaan dengan berbagai macam alasan,
adalah kendala yang dapat menghambat seorang wirausahawan meraih
keberhasilan.
Kedisiplinan terhadap komitmen akan kualitas pekerjaan dapat dibina
dengan ketaatan wirausahawan akan komitmen tersebut. Wirausahawan harus
taat azas. Hal tersebut akan dapat tercapai jika wirausahawan memiliki
kedisiplinan yang tinggi terhadap sistem kerja yang telah ditetapkan. Ketaatan
wirausahawan akan kesepakatan-kesepakatan yang dibuatnya adalah contoh dari
kedisiplinan akan kualitas pekerjaan dan sistem kerja.

Kedua, seorang wirausahawab harus memiliki Komitmen Tinggi.
Komitmen adalah kesepakatan mengenai sesuatu hal yang dibuat oleh seseorang,
baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Dalam melaksanakan
kegiatannya, seorang wirausahawan harus memiliki komimten yang jelas, terarah
dan bersifat progressif (berorientasi pada kemajuan). Komitmen terhadap dirinya
sendiri dapat dibuat dengan mengidentifikasi cita-cita, harapan dan target-target
yang direncanakan dalam hidupnya. Sedangkan contoh komitmen wirausahawan

6

terhadap orang lain terutama konsumennya adalah pelayanan prima yang
berorientasi pada kepuasan konsumen, kualitas produk yang sesuai dengan harga
produk yang ditawarkan, problem solving bagi masalah konsumen, dan
sebagainya. Seorang wirausahawan yang teguh menjaga komitmennya terhadap
konsumen, akan memiliki nama baik (goodwill) di mata konsumen yang akhirnya
wirausahawan tersebut akan mendapatkan kepercayaan dari konsumen, dengan
dampak pembelian terus meningkat sehingga pada akhirnya tercapai target
perusahaan yaitu memperoleh laba yang diharapkan.
Ketiga, harus memiliki jiwa yang Jujur. Kejujuran merupakan landasan
moral yang terkadang dilupakan oleh seorang wirausahawan. Kejujuran dalam

berperilaku bersifat kompleks. Kejujuran mengenai karakteristik produk (barang
dan jasa) yang ditawarkan, kejujuran mengenai promosi yang dilakukan, kejujuran
mengenai pelayanan purna jual yang dijanjikan dan kejujuran mengenai segala
kegiatan yang terkait dengan penjualan produk yang dilakukan oleh
wirausahawan.
Faktor keempat yang harus dimiliki seorang enterprenuer adalah Kreatif
dan Inovatif. Untuk memenangkan persaingan, maka seorang wirausahawan
harus memiliki daya kreativitas yang tinggi. Daya kreatifitas tersebut sebaiknya
adalah dilAndasi oleh cara berpikir yang maju, penuh dengan gagasan-gagasan
baru yang berbeda dengan produk-produk yang telah ada selama ini di pasar.
Gagasan-gagasan yang kreatif umumnya tidak dapat dibatasi oleh ruang, bentuk
ataupun waktu. Justru seringkali ide-ide jenius yang memberikan terobosanterobosan baru dalam dunia usaha awalnya adalah dilandasi oleh gagasangagasan kreatif yang kelihatannya mustahil. Namun,gagasan-gagasan yang
baikpun, jika tidak diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, hanya akan
menjadi sebuah mimpi. Gagasan-gagasan yang jenius umumnya membutuhkan
daya inovasi yang tinggi dari wirausahawan yang bersangkutan. Kreativitas yang
tinggi tetap membutuhkan sentuhan inovasi agar laku di pasar. Inovasi yang
dibutuhkan adalah kemampuan wirausahawan dalam menambahkan nilai
guna/nilai manfaat terhadap suatu produk dan menjaga mutu produk dengan
memperhatikan “market oriented” atau apa yang sedang laku dipasaran. Dengan
bertambahnya nilai guna atau manfaat pada sebuah produk, maka meningkat

7

pula daya jual produk tersebut di mata konsumen, karena adanya peningkatan
nilai ekonomis bagi produk tersebut bagi konsumen.
Sifat kelima yang harus dimiliki adalah Mandiri. Seseorang dikatakan
“mandiri” apabila orang tersebut dapat melakukan keinginan dengan baik tanpa
adanya ketergantungan pihak lain dalam mengambil keputusan atau bertindak,
termasuk mencukupi kebutuhan hidupnya, tanpa adanya ketergantungan dengan
pihak lain. Kemandirian merupakan sifat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang
wirausahawan. Pada prinsipnya seorang wirausahawan harus memiliki sikap
mandiri dalam memenuhi kegiatan usahanya.
Terakhir, dalam menjalankan usaha dan bisnisnya seorang enterpreneur
haruslah Realistis. Seseorang dikatakan Realistis bila orang tersebut mampu
menggunakan fakta/realita sebagai lAndasan berpikir yang rasionil dalam setiap
pengambilan keputusan maupun tindakan/perbuatannya. Banyak seorang calon
wirausahawan yang berpotensi tinggi, namun pada akhirnya mengalami kegagalan
hanya karena wirausahawan tersebut tidak realistis, obyektif dan rasionil dalam
pengambilan keputusan bisnisnya. Karena itu dibutuhkan kecerdasan dalam
melakukan seleksi terhadap masukan-masukan/sumbang saran yang ada
keterkaitan erat dengan tingkat keberhasilan usaha yang sedang dirintis.

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bila karakteristik enterpreneur
meliputi, mental yang kuat, pantang menyerah, harus dipegang teguh oleh
seorang enterpreneur. Ini dikarenakan ketika berada di tengah jalan pasti
terdapat banyak masalah-masalah yang harus dihadpai. Ketika seorang
enterpreneur sudah memiliki pengalaman dan mental serta kegigihan dalam
meraih prestasi puncak sudah dimiliki berbagai masalah pasti bisa diatasi dengan
mudah karena adanya pengalaman-pengalamn tersebut.
Tanggung jawab yang diemban seorang enterpreneur sangatlah besar,
seorang enterpreneur dituntut untuk berpikir besar, selalu bersikap dan berpikir
optimis serta menjaga kedisiplinan perilaku dan waktu, agar produk-produk yang
dihasilkan dapat mendapat respon yang baik dan layak untuk diperjual belikan.
Selain itu seorang enterpreneur tidak hanya memikirkan dirinya sendiri melainkan
memikirkan

nasib-nasib

karyawannya,

dimana

banyak

karyawan

yang

menggantungkan gajinya pada seorang enterpreneur.

8

Seorang enterpreneur memang mempunyai beban tugas yang sangat
berat tetapi seorang enterpreneur adalah pahlawan bangsa juga karena seorang
enterpreneur memberikan kontribusi yang sangat besar bagi kemajuan ekonomi
suatu negara. Di atas disebutkan bahwa seorang enterpreneur dapat membuka
peluang untuk membantu masyarakat. Maksudnya, dengan adanya enterpreneur
yang muncul maka akan muncul pula peluang pekerjaan yang baru dan ini dapat
menuntaskan masalah pengangguran yang ada di suatu negara.
Namun demikian, semangat enterpreneurship ini tidaklah terlepas dari
etos kerja suatu masyarakat, budaya dan nilai nilai yang dianut oleh masyarakat.
Untuk itu pada bagian berikut ini akan dijabarkan bagaimana etos kerja bangsa
Indonesia dibandingkan dengan beberapa negara lain.

C. Etos Kerja di Indonesia
Etos kerja merupakan sebuah prinsip dalam bekerja, yang dilakukan
hingga menjadi sebuah kebiasaan. Tiap negara mempunyai etos kerja yang
berbeda-beda, seperti etos keja Jepang dan Jerman.
Jannsen Simano menguraikan etos Samurai yang selama ini diterapkan
oleh Jepang. Terdapat tujuh sikap yang dikembangkan oleh Samurai:6 Pertama,
Selalu bersikap benar dan bertanggungjawab. Kedua, Dalam setiap tindakan dan
perbuatannya selalu berani dan bersikap ksatria. Ketiga, setiap langkah, sikap dan
perbuatan yang dilakukan mencerminkan kemurahhatian dan mencintai.
Keempat, bersikap santun dan hormat dalam tindak tanduknya. Kelima selalu
tulus dan sungguh-sungguh dalam pekerjaan yang dilakukan. Keenam selalu
menjaga dan menjunjung tinggi martabat dan kehormatan, dan terakhir, segala
karya pikiran dan usaha didedikasikan dalam rangka untuk mengabdi pada
bangsa.
Lebih lanjut, Jannsen Simano juga memaparkan etos kerja yang dianut
oleh Jerman7. Pertama, dalam setiap tindakan selalu bertindak rasional. Kedua
memiliki disiplin yang tinggi. Kedua selalu bekerja keras. Ketiga dalam kegiatan

6

Jansen Hulman Sinamo, http://www.tokohIndonesia.com/ensiklopedi/j/jansensinamo/berita/05-06/index.shtml
7

Ibid

9

yang dilakukan selalu berorientasi sukses material. Keempat, ketika sukses sudah
diraih tidak mengumbar kesenangan. Kelima, hemat dan bersahaja, Keenam,
selalu menabung dan berinvestasi.
Lalu bagaimana dengan etos kerja Indonesia. Menurut Muchtar Lubis
dalam bukunya Manusia Indonesia (1977), mengidentifikasi enam etos kerja orang
Indonesia8. Pertama, etos kerja orang Indonesia cenderung Munafik atau hipokrit.
Suka berpura-pura, lain di mulut lain di hati. Kedua, apabila melakukan kesalahan
cenderung enggan bertanggung jawab. Suka mencari kambing hitam. Ketiga,
berjiwa feodal. Gemar upacara, suka dihormati daripada menghormati dan lebih
mementingkan status daripada prestasi. Keempat kadang kala lebih percaya
takhayul. Gemar akan hal-hal keramat, mistis dan gaib. Kelima, berwatak lemah.
Kurang kuat mempertahankan keyakinan, plinplan, dan gampang terintimidasi.
Keenam Artistik atau bisa diartikan dengan dekat dengan alam.
Begitu rendahnya etos kerja bangsa Indonesia dibandingkan dengan
negara Jepang ataupun Jerman. Pantaslah jika Indonesia masih tertinggal jauh
dari negara-negara lain, baik segi ekonomi, pendidikan dan teknologi. Namun
yang perlu diperhatikan disini adalah Indonesia janganlah terpaku melihat
ketertinggalan ini, pemerintah harus memilki cara-cara untuk menajukan bangsa
Indonesia, tentunya dengan etos kerja yang perlu dikembangkan menjadi etos
kerja yang lebih baik, efisien dan efektif. Agar Indonesia bisa muncul sejajar
dengan negara Amerika, Jepang dan negara maju yang lainnya.
Insititute for Management of Development, Swiss, World Competitiveness
Book (2007), memberitakan bahwa pada tahun 2005, peringkat produktivitas
kerja Indonesia berada pada posisi 59 dari 60 negara yang disurvei. Atau semakin
turun ketimbang tahun 2001 yang mencapai urutan 46. Sementara itu negaranegara Asia lainnya berada di atas Indonesia seperti Singapura (peringkat 1),
Thailand (27), Malaysia (28), Korea (29), Cina (31), India (39), dan Filipina (49).
Urutan peringkat ini berkaitan juga dengan kinerja pada dimensi lainnya yakni
pada Economic Performance pada tahun 2005 berada pada urutan buncit yakni ke

8

Jansen Hulman Sinamo, Etos Kerja Indonesia,
http://www.tokohIndonesia.com/ensiklopedi/j/jansen-sinamo/berita/05-06/index.shtml

10

60, Business Efficiency (59), dan Government Efficiency (55). Lagi-lagi diduga kuat
bahwa semuanya itu karena mutu sumberdaya manusia Indonesia yang tidak
mampu bersaing. Juga mungkin karena faktor budaya kerja yang juga masih lemah
dan tidak merata. Bisa dibayangkan dengan kondisi krisis finansial global
belakangan ini bisa-bisa posisi Indonesia akan bertahan kalau tidak ada remedi
yang tepat.9
Produktifitas kerja sangat mempengaruhi tingkat peradaban suatu negara,
suatu negara yang memiliki prinsip etos kerja yang tinggi akan menghasilkan
produktifitas yang tinggi pula. Seperti etos kerja yang dimiliki jerman, konsep etos
kerja yang diterapkan di jerman memiliki sebuah tujuan yaitu, meningkatkan daya
produktifitas, sikap kerja keras, bekerja keras, berorientasi sukses material, tidak
mengumbar

kesenangan,

hemat,menabung

dan

berinvestasi.

Sikap

ini

mencerminkan bagaimana caranya agar dapat menghasilkan output yang
maksimal
Produktifitas dan produktif terkandung aspek sistem nilai. Manusia
produktif menilai produktivitas dan produktif adalah sikap mental. Hari ini harus
lebih baik dari hari kemarin; hari esok harus lebih baik dari hari ini. Jadi kalau
seseorang bekerja, dia akan selalu berorientasi pada produktivitas kerja di atas
atau minimal sama dengan standar kerja dari waktu ke waktu. Bekerja produktif
sudah sebagai panggilan jiwa dan kental dengan amanah. Dengan kata lain sikap
tersebut sudah terinternalisasi. Tanpa diinstruksikan dia akan bertindak produktif.
Itulah yang disebut budaya kerja positif (produktif).10
Menurut Prof. Dr. Ir. H. Sjafri Mangkuprawira budaya bekerja produktif
mengandung lima komponen. Pertama,pemahaman substansi dasar tentang
bekerja. Kedua, sikap terhadap karyawanan. Ketiga, perilaku ketika bekerja,
Keempat, etos kerja dan terakhir sikap terhadap waktu.

Pertanyaannya apakah semua kita sudah berbudaya kerja produktif?

9

Sjafri Mangkuprawira, Produktifitas Dan Budaya Kerja Indonesia,
http://indosdm.com/produktifitas-dan-budaya-kerja-Indonesia

10

Ibid

11

Masyarakat Indonesia masih memandang kerja hanyalah sebuah rutinitas,
tidak ada suatu motivasi untuk meningkatkan produktifitas bahkan banyak dari
masyarakat memandang pekerjaan sebagai paksaan yang dianggapnya sebagai
beban karena tuntuan dalam bekerja.
Sebenarnya tuntutan pekerjaan itu baik adanya, tuntutan pekerjaan
dilakukan untuk kemajuan perusahaan bahkan kemajuan bangsa. Jika suatu
tuntutan pekerjaan selalu dilakukan dengan senang hati dengan penuh kerja keras
akan memberikan suatu hasil yang maksimal, ketika suatu pekerjaan itu sudah
mencapai titik maksimal maka produktifitas senantiasa meningkat, ini akan
memberikan dampak yang positif, omset perusahaan akan meningkat sebaliknya
komisi-komisi yang didapatkan pekerja akan meingkat pula.
Inilah yang diharapkan oleh bangsa Indonesia, etos kerja yang berprinsip
bekerja keras, kerja cerdas, memilki tujuan. Jika pendapatan perkapita masyarakat
Indonesia meningkat maka pendapatan nasional akan meningkat pula.
Hal ini harus dimiliki oleh seorang enterpreneur dimana etos kerja yang
tinggi akan meningkatkan produktifitas dan pemikiran yang matang. Banyak
pelaku usaha atau enterpreneur belum mengganggap sikap produktif sebagai
suatu sistem nilai. Seolah-olah karyawan tidak memiliki sistem nilai apa yang
harus dipegang dan dilaksanakan. Karena itu tidak jarang prusahaan yang
mengabaikan kesejahteraan karyawan termasuk upah minimunya. Ditambah
dengan rata-rata pendidikan karyawan yang relatif masih rendah maka
produktivitas pun rendah. Karena itu tidak heran produktivitas kerja di Indonesia
termasuk terendah dibanding dengan negara-negara lain di Asia.
Hal demikian bisa dijelaskan lewat formula matematika sederhana.
Produktivitas kerja merupakan rasio dari keluaran/output dengan inputnya.
Bentuk output dapat berupa barang dan jasa. Sementara input berupa jumlah
waktu kerja, kondisi mutu dan fisik karyawan, tingkat upah dan gaji, teknologi
yang dipakai dsb. Jadi output yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh faktor input
yang digunakan. Dengan demikian produktivitas kerja di Indonesia relatif rendah
karena memang rendahnya faktor-faktor kualitas fisik, tingkat pendidikan, etos
kerja, dan tingkat upah dari karyawan. Hal ini ditunjukkan pula oleh angka indeks

12

pembangunan manusia di Indonesia (gizi, pendidikan, kesehatan) yang relatif
lebih rendah dibanding di negara-negara tetangga.11
Etos kerja yang patut ditiru di Indonesia adalah seorang yang berjualan di
pasar tradisional, mereka memiliki etos kerja yang sangat tinggi, sejak jam 1 dini
hari diamana banyak manusia sedang terlelap tidur mereka sudah berbondongbondong pergi ke pasar menyiapkan barang dagangannya untuk dijual, ini
merupakan sikap yang positif. Disamping itu ada hal yang disayangkan dalam etos
kerja yang dimiliki oleh pedagang tradisional yang ada di Indonesia, usaha mereka
selalu hanya seperti itu-itu saja tidak ada perubahan yang signifikan,
perkembangan usaha pun dinilai lamban. Ini dikarenakan pemikiran mereka yang
biasa-biasa aja, tidak ada tujuan untuk menjadi usaha yang besar dan selalu
tumbuh berkembang.
Seharusnya faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut perlu dikuasai
secara seimbang agar para karyawan mampu mencapai produktivitas yang
standar. Pendidikan dan pelatihan perlu terus dikembangkan disamping
penyediaan akses teknologi. Kompetensi (pengetahuan, sikap dan ketrampilan)
karyawan menjadi tuntutan pasar kerja yang semakin mendesak. Dengan kata lain
suasana proses pembelajaran plus dukungan kesejahteraan karyawan perlu terus
dikembangkan.
Secara singkat, etos kerja sangat mempengaruhi produktifitas suatu
bangsa. Etos kerja bisa dibangun melalui pendidikan. Pendidikan akan berjalan
dengan baik, apabila memiliki muatan yang komprehensif dan bisa mengikuti
perkembangan jaman. Salah satu muatan pendidikan yang harus diberikan untuk
membangun etos kerja adalah enterprenership. Dalam bagian berikut akan
diuraikan

bagaimana

dampak

pendidikan

enterprenershi

terjadap

laju

pertumbuhan ekonomi.

D. Meningkatkan Laju Pertumbuhan Ekonomi melalui Pendidikan Enterpreneur
Salah satu alternatif untuk meningkatkan perekonomian di Indonesia yaitu
dengan mengubah pendidikan yang ada di Indonesia melalui pendidikan
enterpreneurship. Seperti yang diimpikan oleh Dr. Ir. Ciputra, beliau memimpikan

11

Ibid

13

25 tahun lagi akan lahir 4 juta enterpreneur baru di Indonesia. Ciputra percaya
bahwa satu-satunya cara agar Indonesia bisa melakukan lompatan kedepan untuk
meninggalkan masalah pengangguran, menghapuskan kemiskinan dari bumi
Indonesia dan menjadi negara yang sejahtera dengan memperlengkapi komponen
masyarakat Indonesia dengan enterpreneurship. Ciputra menyebutnya sebagai
lompatan kuantum atau Quantum Leap. (Agung. Tabloid Business Opportunity.
2010)
Jika 4 juta penduduk Indonesia lahir menjadi enterpreneur maka
presentase untuk dari jumlah penduduk di Indonesia adalah sekitar 2%, ini
merupakan suatu lompatan yang sangat berarti bagi kesejahteraan bangsa
Indonesia, bayangkan jika 4 juta penduduk lahir sebagai seorang enterpreneur
kemudian tiap enterpreneur membutuhkan 10 tenaga kerja, maka total
kesempatan kerja ada sebanyak 40 juta, ini merupakan presentase yang cukup
besar. Lalu bagaimana jika tiap enterpreneur itu membutuhkan tenaga kerja 50
orang, maka total kesempatan kerja akan sampai pada angka 200 juta dan ini bisa
menuntaskan pengangguran yang ada di Indonesia.
Malaysia, yang merupakan negara tetangga kita telah mengadopsi
enterpreneurship sebagai cara untuk melompat menjadi sebuah negara dengan
kekuatan ekonomi yang berbasis pengetahuan. Strategi yang mereka ambil adalah
dengan memusatkan usaha pengembangan ekonomi melalui enterpreneurship.
Jika Indonesia tidak mengikuti langkah ini maka dalam waktu dekat Malaysia akan
melaju pesat meninggalkan kita dan menyamai Singapura. (Agung. Tabloid
Business Opportunity. 2010)
Agar Indonesia tidak terpuruk dalam keadaan ekonomi yang selalu
memburuk, maka jalan yang harus ditempuh khususnya oleh pemerintah yaitu
program pembelajaran enterpreneurship secepatnya segera diwujudkan di setiap
jenjang pendidikan.
Jika sejak SD sampai tingkat perguruan tinggi diajarkan cara berwira usaha,
maka penanaman jiwa enterpreneurship bagi anak bangsa akan mantap,
pemikiran mereka akan berubah, bahwa untuk mencapai suatu kebabasan
finansial yaitu menjadi seorang enterpreneur dan seorang enterpreneur itu
merupakan pahlawan bagi suatu negara, karena negara akan mendapatkan dana

14

yang cukup besar dari hasil pajak yang mereka bayar, dengan demikian
pembangunan nasional akan terwujud secara sempurna.
Dalam pengajaran pendidikan enterpreneurship tidak akan efektif jika
sistem

pembelajaran

yang

diberlakukan

itu

seperti

pendidikan

klasik,

sebagaimana pembelajaran yangi kita dapatkan di bangku sekolah ataupun kuliah,
jika sistem ini yang diberlakukan di dalam pendidikan enterpreneurship maka
kemungkinan besar lulusannya akan seekedar tahu tentang enterpreneurship
namun jauh dari melakukan. Agar pembelajaran enterpreneur menjadi efektif
maka metode yang digunakan yaitu dengan pembelajaran melalui pengalaman
atau experiential learning agar lulusan tidak hanya sekedar tahu tentang
enterpreneurship melainkan tumbuh hasrat-hasrat untuk menjadi seorang
enterpreneur. (Agung. Tabloid Business Opportunity. 2010)
Sistem pembelajaran seperti ini yang bisa menularkan virus-virus
enterpreneurship, sistem pembelajaran seperti ini akan memberikan dampak
yangbbesar bagi para lulusan, ketika sedang mengenyam pendidikan para lulusan
akan diberikan suatu tugas untuk menjalankan suatu usaha. Setelah dilakukan
pembelajaran seperti ini maka pengalaman-pengalamn berbisnis akan didapatkan.
Para lulusan akan mendapatkan pengalaman bagaimana caranya memasarkan
sebuah produk secara nyata dan pengalaman menyelesaikan permasalahan ketika
mereka dihadapkan suatu permasalahan bisnis.
Sistem pembelajaran ini telah diterapkan di beberapa perguruan tinggi di
Indonesia, seperti Universitas Ciputra (UC) dan Universitas Gajah Mada (UGM),
dan terbukti mereka telah menghasilkan lulusan-lulusan seorang enterpreneur
sejati bahkan beberapa diantara mereka sudah menjadi milyarder dan telah
menghidupi banyak karyawannya.12
Memperbanyak pelaku bisnis yang sering disebut enterpreneur atau
pengusaha di Indonesia merupakan suatu keharusan agar lapangan pekerjaan di
Indonesia semakin terbuka lebar.
Dalam konsep teori makro ekonomi berlaku jika pendapatan perkapita
meningkat maka total GNP suatu negara akan meningkat juga. Ketika GNP itu
meningkat ini membuktikan bahwa perekonomian juga meningkat.

12

Pendidikan Entrepreneurship di UGM, http://pasca.ugm.ac.id/id/news.php?news_id=1

15

Jumlah penduduk, tingkat pertumbuhan, serta struktur umur dan jenis
kelamin sangat berpengaruh pada perkembangan ekonomi. Banyaknya penduduk
dan tingkat pertumbuhannya yang tinggi sangat menentukan jumlah angkatan
kerja, yang disamping faktor-faktor lain, secara dominan menentukan besarnya
output ekonomi. Walaupun demikian banyaknya angkatan kerja dalam ekonomi
surplus tenaga kerja, seperti ekonomi Indonesia, menimbulkan beban berat untuk
dapat menciptakan kesempatan kerja yang produktif dan renumeratif.
Permasalahnnya menjadi lebih berat jika produktivitas tenaga kerja rendah,
karena pendidikan yang rendah, tingkat kesehatan yang belum memuaskan
sedangkan juga etos kerja juga lemah sehingga kurang ada motivasi untuk
menimbulkan kegairahan kerja. Dengan demikian output akan rendah dan
seterusnya dengan rendahnya produk nasional akan makin berat usaha
pengadaan kesempatan kerja bagi jumlah angkatan kerja yang lebih besar
tersebut. (Hendra. 1987)
Selain memberikan pendidikan enterpreneur, mutu pendidikan yang bagus
disertai dengan jenjang sampai perguruan tinggi merupakan satu hal yang harus
diperhatikan agar produktivitas pekerja semakin meningkat.
Seorang enterpreneur pastilah membutuhkan tenaga kerja jika mereka
menginginkan usahanya lebih maju. Produktivitas seorang pekerja sangat
diperlukan agar menghasilkan suatu inovasi-inovasi untuk memunculkan sebuah
terobosan baru dalam dunia bisnis.
Untuk meningkatkan produktivitas sendiri selain diperlukan jenjang
pendidikan yang setinggi mungkin, seorang enterpreneur harus bisa memberikan
suatu motivasi kepada pekerjanya agar mereka bisa produktif.
Dalam teori Kaizen yang berasal dari jepang yang artinya sistem perbaikan
terus-menerus

dalam

kualitas,

teknologi,

proses,

budaya

perusahaan,

produktivitas, keamanan dan kepemimpinan.(Majalah Luar biasa. 2010)
Di perusahaan, kaizen melibatkan setiap karyawan untuk melakukan
perubahan-perubahan kecil secara bertahap. Biasanya difokuskan untuk
mengidentifikasi sumber masalah, memecahkan sumber-sumber masalah, dan
meningkatkan standar untuk memastikan masalah terrsebut tetap diselesaikan.
Sistem kaizen dapat menghasilkan 25 sampai 30 saran perkaryawan/tahun, yang
lebih dari 90% diantaranya benar-benar diterapkan. Sebagai contoh, Toyota

16

dikenal sebagai perusahaan raksasa yang menerapkan Kaizen. Di ttahun 1999
disalah satu pabriknya yang berada di Amerika Serikat, sedikitnya 7.000 karyawan
Toyota telah mengajukan lebih dari 75.000 saran, dimana 99% dari saran tersebut
benar-benar dilaksanakan. Hasilnya benar-benar luar biasa. Mereka berhasil
meningkatkan produktivitas serta kualitas. Keamanan menjadi lebih baik,
pengiriman lebih cepat, biaya menjadi rendah, dan kepuasan pelanggan menjadi
lebih besar. Di atas itu semua, perusahaan memperoleh manfaat besar, karena
karyawan yang bekerja di perusahaan berbasis kaizen umumnya merasa bahwa
pekerjaannya menjadi lebih mudah dan menyenangkan, serta seluruh karyawan
memiliki moral dan kepuasan kerja yang jauh lebih tinggi, di samping jumlah turn
over karyawan menjadi sangat rendah. (Majalah Luar biasa. 2010)
Dengan memberikan perbaikan terus-menerus yang ada pada konsep
kaizen, perusahaan akan menjadi makmur, dampaknya pun sangat besar bagi
suatu negara. Jika setiap seorang enterpreneur di Indonesia menerapkan konsep
Kaizen maka kemakmuran akan didapat, bukan pemiliknya yang menjadi
sejahtera, rakyat pun akan menjadi sejahtera dan bangsa Indonesia sendiri akan
menjadi negara yang maju yang selalu mau untuk membenahi diri secara kontinu
demi kesejahteraan yang sempurna.
Konsep kaizen ini memberikan suatu gambaran bahwa dalam melakukan
suatu pekrjaan agar menjadi lebih maju maka diperlukan adanya sikap untuk mau
berbenah diri secara terus menerus. Seperti halnya sistem yang digunakan untuk
menularkan ilmu enterpreneur, maka diperlukan suatu usaha yang konsisten
untuk selalu memperbaiki diri.
Contoh, Pelatihan yang dilakukan bagi 29 alumni UGM di akhir tahun 1997.
Setelah diadakan pelatihan selama 3 bulan intensif sekitar 60% dari lulusan
pelatihan ini telah memiliki usaha yang berkelanjutan. Bahkan beberapa
diantaranya telah mencapai sebagai miliyader. (Agung, Majalah Business
Opportunity, 2010)
Pelatiha selama 3 bulan saja tidak cukup untuk mengemban ilmu
enterpreneur, melainkan terus belajar mau memperbaiki diri dari setiap kesalahan
yang telah diperbuat. ini sangat perlu karena ini yang akan menjadi pengalamanpengalaman yang berharga untuk seorang enterpreneur.

17

Ir. Ciputra memaparkan bahwa setidaknya terdapat 5 alasan penting
mengapa mengapa entrepreneurship sangat penting diajarkan di bangku sekolah.
Pertama, kebanyakan generasi muda tidak dibesarkan dalam budaya wirausaha.
Inspirasi dan latihan usaha tidak banyak diajarkan di bangku sekolah. Kedua,
Tingginya pengangguran di Indonesia mencapai angka 10, 93 juta jiwa pada tahun
2006. Majalah Tempo edisi 20-26 Agustus 2007 menyajikan fakta bahwa pada
tahun 2006, terdapat 670.000 sarjana dan lulusan diploma yang mengaggur.
Ketiga, lapangan kerja sangat terbatas, tidak sebanding dengan jumlah pencari
kerja. Keempat, pertumbuhan interpreneur selain dapat menampung tenaga
kerja, juga dapat menciptakan kesejahteraan masyarakat secara luas. Menurut
David McClelland, seorang sosiolog terkemuka, suatu negara akan maju jika
terdapat entrepreneur sedikitnya sebanyak 2% dari jumlah penduduk. Menurut
laporan yang dilansir Global Entrepreneurship Monitor, pada tahun 2005, Negara
Singapura memiliki entrepreneur sebanyak 7,2% dari jumlah penduduk.
Sedangkan Indonesia hanya memiliki entrepreneur 0,18% dari jumlah penduduk.
Tidak heran jika pendapatan perkapita negara singa tersebut puluhan kali lebih
tinggi dari Indonesia. Menurut Prof. Lester C Thurow dalam bukunya Building
Wealth: “ tidak ada isntitusi yang dapat menggantikan peran individu para
entrepreneur sebagai agen-agen perubahan. Untuk itu menurut Ir. Ciputra,
mereka yang paling siap dan paling mudah untuk dididik dan dilatih kecakapan
wirausaha adalah mereka yang sekarang berada di bangku sekolah. Kelima,
Indonesia sangat kaya dengan sumberdaya alam, akan tetapi sumber daya alam
tersebut tidak bisa dikelola dengan baik karena Indonesia kekurangan SDM
entrepreneur yang mampu mengubah “kotoran dan rongsokan menjadi emas”.13
Pendapat Ir. Ciputra ini memang benar adanya banyak lulusan-lulusan
SMA, diploma bahkan sarjana menjadi pengangguran ketika setelah lulus studi,
hal ini dilatarbelakangi oleh kurangnya pemahaman terhadap jiwa akan
kewirausahaannya yang di ajarkan di bangku sekolah ataupun kuliah.
Namun pada kenyataannya banyak pengusaha yang muncul karena
keterbatasan-keterbatasan seperti keterbatasan ekonomi dan keterbatasan
pendidikan, justru dari keterbatasan inilah para pengusaha tersebut dapat bangkit

13

Pendidikan Entrepreneurship di UGM, http://pasca.ugm.ac.id/id/news.php?news_id=1

18

karena keterdesakan-keterdesakan tersebut. Bandingkan dengan mahasiswamahasiswa yang ada di jaman sekarang yang kebanyakan gaya hidupnya hedonis
dan menggantungkan nasib kepada orang lain (menjadi karyawan) bukan
memikirkan bagaimana kedepannya supaya dapat mandiri dan menciptakan
lapangan pekerjaan yang baru buat masyarakat.
Enterpreneurship bukan membentuk seseorang sebagai mesin melainkan
enterpreneurship membentuk jiwa-jiwa yang mandiri dalam mengupayakan
kesejahteraan ekonomi bagi dirinya sendiri khususnya dan bagi negara Indonesia
umumnya.

D. Kesimpulan
Tingginya angka pengangguran di Indonesia yang tiap tahunnya pasti
bertambah, menjadikan negara Indonesia semakin hari semakin jauh dari
kesejahteraan. Hal ini membuat perlunya kemunculan baru seorang enterpreneur
atau pengusaha yang diharapkan akan memberikan tempat lapangan kerja yang
seluas-luasnya untuk rakyat Indonesia.
Untuk menumbuhkan jiwa-jiwa enterpreneurship, diharapkan pemerintah
segera melaksanakan program pendidikan enterpreneur baik di sekolah-sekolah
menengah atas sampai tingkat perguruan tinggi yang nantinya akan menjadi
calon-calon enterpreneur yang bisa mengangkat harta dan martabat bangsa
Indonesia.
Seperti yang telah dilakukan oleh Universitas Ciputra yang digalakkan
seorang pengusaha real estate terkemuka di Indonesia yang sudah menjamah
sampai internasional yaitu Ir. Ciputra.
Ir. Ciputra mempunyai sebuah mimpi yang dimulainya dari sekarang,
Ciputra, beliau mempimpikan bangsa Indonesia ini secepatnya memiliki minimal
2% dari jumlah penduduk di Indonesia yang menjadi enterpreneur baru. Bagi Ir.
Ciputra, kemunculan para calon enterpreneur baru ini diharapkan akan bisa
membuat bangsa Indonesia menjadi maju dan sejahtera seperti negara singapura
yang merupakan negara kecil tetapi memiliki tingkat perekonomian yang jauh
lebih maju dibanding di Indonesia.

19

Aplikasi dari impian seorang Ir. Ciputra yang menginginkan tumbuhnya
jiwa enterpreneurship di Indonesia sudah dapat dibuktikan melalui dunia
pendidikan yang didirikannya yang sangat kental akan basis kewirausahaannya.
Terbukti banyak lulusan-lulusan dari Universitas Ciputra telah memiliki usaha
sendiri setelah mereka lulus, walaupun tidak semuanya.
Pendidikan di Indonesia semestinya diubah pola pikirnya, terutama
dosen/guru yang mengajar anak-anak didik Indonesia, pola pikir yang selalu
menjadikan anak didik setelah lulus akan mencari suatu pekerjaan yang tidak
selalu didapatkannya. Mulailah para dosen atau guru pendidikan di Indonesia
mengajarkan pentingnya pendidikan enterpreneurship yang bisa memberikan
gambaran akan masa depan mereka melalui kewirausahaan. Di dalam dunia
wirausaha tidak perlu susah-susah mencari pekerjaan kesana-kemari untuk
mendapatkan suatu penghasilan, melainkan yang dibutuhkan yaitu hanya jiwa
seorang enterprenurshiplah yang harus ditanamkan sejak usia masih dini.
Penciptaan Ide yang menarik, mental yang kuat, tidak mudah menyerah serta
mempunyai visi dan misi kedepanlah yang harus benar-benar diberikan terhadap
anak bangsa Indonesia ini.
Selain pendidikan enterpreneurship, pengembangan etos kerja di
Indonesia harus segera dirubah. Ini karena rakyat Indonesia yang masih
mempunyai pikiran yang terlalu kolot dan monoton. Pikiran-pikran yang seperti
inilah yang membuat daya saing SDM yang dimiliki oleh Indonesia kalah dengan
yang lain.
Sebenarnya rakyat Indonesia banyak yang pintar-pintar, terbukti
seringkali anak bangsa Indonesia menjadi juara ketika mereka mengikuti lomba
olimpiade di tingkat nasional, entah itu olimpiade fisika, matematika atau sains.
Tetapi mengapa perkembangan teknologi yang ada di Indonesia cenderung
berjalan lambat?
Keterpurukan teknologi di indoesia salah satunya disebabkan oleh faktor
SDM yang mempunyai etos kerja yang lemah dan juga peran pemerintah
terhadap orang-orang jenius yang ada di Indonesia.
Konsep etos kerja yang diusung oleh negara jepang ataupun jerman patut
untuk dicontoh, mereka memiliki kedisiplinan yang tinggi, kemauan yang keras

20

untuk maju serta fokus pada suatu hasil. Etos kerja yang seperti inilah yang perlu
diterapkan oleh Indonesia.
Jika kita melihat sosok pemimpin yang ada di Indonesia, seperi dewan
DPR, seringkali media masa meliput bagaimana mereka bekerja. Wakil rakyat
tersebut seringkali tertangkap kamera dengan keadaan tertidur ketika rapat. Ini
menandakan SDM yang dimiliki oleh Indonesia sangat lemah, motivasi yang
rendah, pemikiran yang amburadul, pekerjaan yang selalu ditunda-tunda serta
suka berfoya-foya untuk kepentingan kelompok, memberikan dampak yang
sangat buruk untuk pencitraan nama baik negara Indonesia.
Maka dari itu jiwa-jiwa enterpreneurship yang memiliki etos kerja yang
tinggi diharapkan dapat mengangkat negara ini menjadi lebih sejahtera, ekonomi
tumbuh, daya produktifitas yang tinggi.
Jika hal ini telah siap untuk dipraktekkan, maka negara ini akan hanya
menunggu hasil yang sempurna, menjadi negara indonesia yang sejahtera, sesuai
dengan isi yang terkandung dalam pembukaan UUD serta pancasila.

21

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik (BPS). 2010. Hasil Sensus Penduduk 2010. Jakarta.
Nurul Firdausi, Ciptakan Jiwa Entrepreneur, Sekarang!,
http://www.ciputra.org/node/1055/ciptakan-jiwa-entrepreneur-sekarang.html,
2009
Erwin, Definisi Enterpreneurship,

http://www.quickmba.com/entre/definition/,

2007
Waluyo, Agung. Tabloid Business Opportunity. Edisi Oktober 2010
Pendidikan Entrepreneurship di UGM,
http://pasca.ugm.ac.id/id/news.php?news_id=1
Wongso, Andrie. Majalah Luar biasa. Agustus 2010
Jansen Hulman Sinamo, Etos Kerja Indonesia.
http://www.tokohIndonesia.com/ensiklopedi/j/jansen-sinamo/berita/0506/index.shtml. 24/10/2010
Sjafri

Mangkuprawira,

Produktifitas

Dan

Budaya

Kerja

Indonesia,

http://indosdm.com/produktifitas-dan-budaya-kerja-Indonesia
Sulanam, 2010. Etika Usaha. Dalam Achmad Room Fitrianto, dkk. Modul
Kewirausahaan Untuk Perguruan Tinggi Agama Islam. IAIN Sunan Ampel
Pers, Surabaya
Majalah Tempo edisi 20-26 Agustus 2007
Esmara, Hendra. 1987, Teori Ekonomi Dan Kebijaksanaan Pembangunan, Jakarta:
PT. Gramedia.

22