2 tipus PENGARUH PENAMBAHAN SUKROSA DAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pisang (Musa paradisiaca L.)
Pisang (Musa paradisiaca L.) merupakan tumbuhan asli Asia Tenggara
termasuk banyak terdapat di Indonesia. Tumbuhan pisang banyak disukai oleh
hampir seluruh kalangan masyarakat, baik dikonsumsi secara langsung maupun
diolah. Tumbuhan pisang ini dapat dimanfaatkan mulai dari bunga, buah, daun,
batang sampai bonggol dapat digunakan sebagai sayur. Pisang merupakan
tumbuhan hortikultura yang memiliki potensi cukup besar untuk dijadikan inovasi
produk dan jumlah produksi berlangsung tanpa mengenal musim (Dewati, 2008).
Pisang merupakan salah satu jenis komoditas hortikultura yang memiliki
potensi dan nilai ekonomi yang tinggi baik untuk impor maupun ekspor. Total
produksi pisang di Indonesia pada tahun 2015 adalah 7.299.275 ton, di Jawa
Timur menyumbang 1.628.437 ton, di Kabupaten Malang menyumbang
690.135,7 ton, sedangkan di Kota Malang pada tahun 2014 menyumbang 213,3
ton (Badan Pusat Statistik, 2017).
Menurut jenisnya, tumbuhan pisang yang lebih dikenal oleh masyarakat
dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu Musa acuminata, Musa
balbisiana, dan hasil persilangan alami maupun buatan antara Musa acuminata
dengan Musa balbisiana. Musa acuminata mudah dikenali dengan tidak ada biji
dalam buahnya, contoh yang tergolong dalam kelompok pisang adalah pisang
Ambon, Barangan, dan Mas. Musa balbisiana juga cukup popular dikalangan

masyarakat karena dalam buahnya mengandung biji yang banyak, contoh yang
tergolong dalam kelompok pisang ini adalah pisang Kluthuk Awu dan Kluthuk
Wulung. Sedangkan hasil persilangan alami maupun buatan antara Musa
acuminata dengan Musa balbisiana ini bisa disebut Musa paradisiaca yang
biasanya dimanfaatkan sebagai pisang yang dikonsumsi segar dan olahan, jenis
pisang olahan yang secara internasional dikelompokkan dalam plantain adalah
yang memiliki bentuk buah ramping, tidak beraturan, dan rasanya agak renyah.
Pisang yang termasuk dalam kelompok ini adalah pisang Tanduk atau Candi
(Sutanto dan Edison, 2001).

4

2.2 Pisang Candi (Musa paradisiaca)

Gambar 2.1 Pisang Candi (Anonim, 2017)

Pisang Candi (Musa paradisiaca) merupakan salah satu buah tropis yang
banyak tumbuh di wilayah Asia Tenggara termasuk Indonesia. Pisang candi ini
banyak dijumpai pada daerah jawa, jika pada daerah Sukabumi, Jawa Barat
pisang ini biasa disebut pisang Tanduk dan pada daerah Colo, Jawa Tengah

biasa disebut pisang Byar. Menurut Rukmana (1999), karakteristik morfologi
kelompok pisang Tanduk atau Candi memiliki tinggi pohon 3 m dengan lingkar
batang 63-69 cm, berwarna cokelat muda dengan bagian atas berwarna merah
jambu, daging buah putih atau kekuning-kuningan, rasa tidak manis sampai agak
masam. Kelompok pisang tanduk terdiri dari pisang Agung, Byar, Galek,
Karayunan, Candi, Kapas, dan Nangka. Menurut Murtiningsih dan Pekerti (1988),
pisang candi berukuran besar dan bentuknya menyerupai tanduk. Buah yang
matang memiliki warna kulit buah cokelat kemerahan berbintik-bintik cokelat dan
warna daging buahnya kuning kemerahan. Berat setiap tandan berkisar antara 710 kg yang terdiri atas 3 sisir dan setiap sisirnya berisi paling banyak 10 buah.
Ukuran buah pisang candi termasuk besar, yaitu panjangnya 25,3-30,9 cm,
lingkar buah 13,6-15,2 cm dengan berat buah sebesar 247,4-346,3 gram, daging
buah berkisar 113-119 gram.Persentase daging buah sekitar 73% karena bagian
kulitnya yang cukup tebal. Pisang candi sangat cocok diolah menjadi keripik,
buah dalam sirup, aneka olahan tradisional (pisang goreng, rebus), dan tepung.
Kandungan total gula pada pisang yang sudah tua namun berwarna hijau
adalah 0,1% dan pati sebesar 19,5 – 21,5%. Pada proses pematangan buah
terjadi kenaikan total gula karena sebagian besar pati akan diubah menjadi gula.
Pisang termasuk buah klimaterik, maka setelah dipetik akan mengalami
kemasakan lebih lanjut dan rusak jika ditunda penggunaannya (Wachida, 2013).


5

2.3 Kulit Pisang
Kulit pisang banyak ditemui pada pedagang olahan pisang dan industriindustri pengolahan buah pisang. Menurut Susanti (2006) pada umumnya kulit
pisang belum dimanfaatkan secara maksimal, biasanya hanya digunakan untuk
pakan ternak dan hanya dibuang sebagai limbah organik saja. Jumlah kulit
pisang yang cukup banyak kira-kira 1/3 dari buah pisang yang belum dikupas
dan memiliki nilai jual yang menguntungkan jika dimanfaatkan sebagai bahan
baku makanan. Dari potensi yang ada perlu dimanfaatkan dan dikembangkan
lagi menjadi produk inovasi dan dapat dikonsumsi oleh masyarakat seperti selai.
Tabel 2.1 Komposisi Zat Gizi Kulit Pisang per 100 g Bahan
No

Komponen

Kadar

1

Air (g)


68,9

2

Protein (g)

0,32

a

3

Lemak (g)

2,11

a

4


Karbohidrat (g)

18,50

a

Vitamin C (mg)

17,50

a

Vitamin B (mg)

0,12

Ca (mg)

7,5


Fe (mg)

1,60

a

P (mg)

117

a

5

6

a

Vitamin

a

a

7

Total Pektin

16,21%

b

8

Total Gula

46,95%

b


a

b

Sumber : Munadjim, 1984 dan Erawati, 2009

Komponen kulit pisang terbesar adalah air dan karbohidrat. Karbohidrat
dalam limbah kulit pisang biasanya dimanfaatkan sebagai nutrisi pakan ternak.
Komposisi zat gizi diatas dapat digunakan sebagai sumber energi dan antibodi
bagi tubuh manusia. Selain itu kulit pisang memiliki senyawa alami berupa pektin.
Pektin merupakan senyawa hidrokoloid karbohidrat yang terdapat pada
jaringan tanaman muda dan buah (Tajoda, 2013). Pektin pada kulit pisang
terdistribusi secara luas dalam jaringan tanaman, terdapat di dalam dinding sel
primer, khususnya di sela-sela antara selulosa dan hemiselulosa (Hanum, dkk,
2012). Kandungan pektin dalam tanaman sangat bervariasi baik berdasarkan
jenis tanamannya maupun bagian dari jaringannya, kandungan pektin pada kulit
pisang adalah 3,53 – 5,35%, sedangkan pada daging buah pisang sekitar 0,93%.

6


Komposisi kandungan protopektin, pektin, dan asam pektat didalam buah sangat
bervariasi dan tergantung pada derajat kematangan buah (Erawati, 2009).
Adapun persentase komposisi pektin dari berbagai jenis kulit pisang dapat dilihat
pada Tabel 2.2 sebagai berikut:
Tabel 2.2 Komposisi Pektin Pada Berbagai Jenis Kulit Pisang Matang
Kandungan Pektin

Jenis Bahan

(%)

Kulit Pisang Raja

9,22

Kulit Pisang Tanduk

13,3

Kulit Pisang Uli


11,2

Kulit Pisang Kepok

22,4

Sumber : Tuhuloula (2013)

Menurut Hanum (2012) kulit pisang kepok yang banyak mengandung
pektin terdapat pada buah yang sudah matang, jika pada pisang dengan warna
kulit yang hijau pektin yang terbentuk masih belum sempurna. Kulit pisang selain
memiliki serat yang lebih banyak dibandingkan daging buahnya, juga
mengandung pektin empat kali lebih banyak dibanding daging buah pisang.
Selain itu kulit pisang bila dilihat dengan mikroskop, maka akan terlihat diselimuti
oleh dinding sel yang kokoh. Kulit pisang yang diamati dengan menggungakan
scanning electron microscope (SEM) dengan perbesaran 2000x akan memiliki
kenampakan permukaan yang rapi dan teratur karena dilindungi oleh dinding sel
yang berbentuk seperti sarangmadu (Ibrahim, et al., 2014).
Menurut Akili (2014) kulit buah pisang yang berwarna hijau memiliki

rendemen pektin cukup tinggi, pada waktu mencapai tingkat kematangan kuning
rendemen pektin menurun jumlahnya karena proses degradasi pektin oleh
enzim. Menurut Winarno (2002) bahwa proses degradasi pektin terdapat banyak
enzim yang dapat aktif, yaitu PE (pectin methyl esterase) yang aktif dalam
pemecahan metil dari metil ester, PG (poly galacturonase) yang membantu
memecahkan ikatan 1,4 dan PTE (pectin trans eliminase) yaitu enzim yang
bekerja pada ikatan 1,4 sama dengan PG tapi PTE bekerja pada hasil
hidrolisisnya. Hal ini juga didukung oleh penelitian Loesecke (1950) yang
menemukan jumlah pektin di dalam kulit pisang hijau, kuning dan coklat berturutturut 1.28%, 1.02% dan 0.81%.

7

2.3 Selai
Selai merupakan produk pangan yang memiliki tekstur semi padat atau
kental. Menurut Food and Agriculture Organization (FAO) of the United Nations
(2016) selai merupakan produk pangan yang memiliki gel padat yang terbuat dari
bahan dasar bubur buah dari satu jenis buah maupun campuran beberapa buah
dengan komposisi tidak kurang dari 40%. Jika menggunakan beberapa jenis
buah maka komposisinya tidak kurang dari 50% dari jumlah buah yang
digunakan. Pada selai juga digunakan sukrosa atau yang biasa disebut gula, jika
menggunakan jenis buah iklim tropis maka 70% gula merupakan komposisi yang
tepat. Menurut SNI (2008), selai didefinisikan sebagai produk pangan semi
basah yang dapat dioleskan yang terbuat dari olahan buah-buahan, gula, dengan
atau tanpa penambahan bahan lain seperti pektin komersial, dan bahan
tambahan makanan yang diizinkan.
Menurut Codex STAN 296 (2009), selai adalah produk yang memiliki
konsistensi gel yang baik yang terbuat dari buah utuh, potongan buah,
konsentrat pulp atau puree buah dari satu jenis atau lebih buah, yang dicampur
dengan pemanis, dengan tambahan air maupun tanpa air. Konsistensi gel atau
semi padat pada selai diperoleh dari senyawa pektin yang berawal dari buah itu
sendiri atau pektin yang ditambahkan dari luar (pektin komersil), sukrosa, dan
asam. Interaksi ini terjadi pada suhu tinggi dan bersifat menetap setelah suhu
diturunkan. Kekerasan gel tergantung pada konsentrasi sukrosa, pektin, dan
asam dalam bubur buah (Hasbullah, 2001).
Proses pembuatan selai yaitu dengan pemasakan antara bubur buah
dengan gula hingga menjadi kental. Jumlah penambahan gula yang tepat pada
pembuatan selai tergantung dari beberapa faktor, antara lain tingkat keasaman
buah yang digunakan, kandungan gula dalam buah, dan tingkat kematangan
buah yang digunakan. Buah yang ideal untuk pembuatan gel harus mengandung
pektin dan asam yang cukup untuk menghasilkan selai yang baik (Desrosier,
1988). Menurut Fachruddin (1997) dalam Yulistiani, dkk (2014) kondisi optimum
dalam pembentukan gel pada selai dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
kadar gula yang tinggi ± 40%, total padatan terlarut antara 65-73%, pH 3,1-3,5,
dan konsentrasi pektin 0,75-1,5%.
Selai merupakan produk pangan yang cukup dikenali masyarakat dan
sudah banyak diproduksi dalam skala perusahaan. Adapun untuk produk pangan
hendaknya para produsen berusaha untuk memenuhi kriteria mutu yang telah

8

ditetapkan oleh pemerintah. Standar mutu selai di Indonesia terdiri dari dua yaitu
SII (Standar Industri Indonesia) dapat dilihat pada Tabel 2.3 dan SNI (Standar
Nasional Indonesia) dapat dilihat pada Tabel 2.4
Tabel 2.3 Kriteria Mutu Selai Buah
Syarat Mutu

Standar

Kadar air maksimum

35%

Kadar gula minimum

55%

Kadar pektin maksimum

0,7%

Padatan tak terlarut

0,5%

Serat buah

Positif

Kadar bahan pengawet

50 mg/kg

Asam asetat

Negatif

Logam berbahaya (Hg, Pb, As)

Negatif

Rasa

Normal

Bau

Normal

Sumber : SII, No. 173 Tahun 1978
Tabel 2.4 Syarat Mutu Selai Buah
No.

Kriteria Uji

Satuan

Persyaratan

1

Keadaan

1.1

Aroma

-

Normal

1.2

Warna

-

Normal

1.3

Rasa

-

Normal

2

Serat buah

-

Positif

3

Padatan terlarut

% fraksi massa

Min. 65

4

Cemaran logam

4.1

Timah (Sn)*

mg/kg

Maks. 250,0*

5

Cemaran Arsen (As)

mg/kg

Maks. 1,0

6

Cemaran mikroba

6.1

Angka lempeng total

Koloni/g

Maks. 1 x 10

6.2

Bakteri coliform

APM/g