IMPLEMENTASI PEMIKIRAN AZ ZARNUJI TENTANG AKHLAK PESERTA DIDIK TERHADAP GURU DI MA TARBIYATUT THOLABAH KRANJI PACIRAN LAMONGAN.

(1)

IMPLEMENTASI PEMIKIRAN AZ-ZARNUJI TENTANG AKHLAK PESERTA DIDIK TERHADAP GURU DI MA TARBIYATUT

THOLABAH KRANJI PACIRAN LAMONGAN

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Jurusan Pendidikan Agama Islam

Universitas Negeri Islam Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar

Sarjana Strata Satu Pendidikan Islam Oleh :

SEPTA ANDRIAWAN NIM. D01212095

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

SEPTA ANDRIAWAN.Implementasi Pemikiran Az-Zarnuji Tentang Akhlak Peserta Didik Terhadap Guru di MA TarbiyatutTholabahKranji Paciran Lamongan. Surabaya: Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016.

Latar belakang penelitian ini adalah pentingnya menjaga hubungan antara peserta didik terhadap guru dan menuntut peserta didik agar senantiasa menjaga akhlaknya ketika berhubungan dengan seorang guru. Dengan senantiasa menjaga akhlaknya, peserta didik akan semakin terhindar dari perbuatan yang menimbulkan sakit hati atau marah seorang guru. kemanfaatan ilmu yang diterima peserta didik dari seorang guru juga bergantung dari bagaimana peserta didik itu menjaga hati guru.

Dalam menjaga akhlak peserta didik, Syekh BurhanuddinAz-Zarnuji di dalam karya beliau yang berjudul Ta’lim al-Muta’allim telah memberikan pedoman kepada peserta didik tentang bagaimana seharusnya akhlak peserta didik terhadap guru. Pemikiran Az-Zarnuji tentang akhlak peserta didik terhadap guru ini juga masih banyak diterapkan atau diimplementasikan di beberapa sekolah yang berada di dalam lembaga yayasan pondok pesantren terutama di pondok pesantren salaf, salah satunya adalah sekolah MA TarbiyatutTholabahKranji Paciran Lamongan yang berada di dalam lembaga Yayasan Pondok Pesantren TarbiyatutTholabahKranji Paciran Lamongan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi pemikiran Az-Zarnuji tentang akhlak peserta didik terhadap guru di MA TarbiyatutTholabahKranji ini dilakukan dengan cara mengadopsi pemikiran Az-Zarnuji tentang akhlak peserta didik terhadap guru ke dalam tata tertib dan peraturan sekolah di MA TarbiyatutTholabahKranji Paciran Lamongan.


(7)

ABSTRACT

SEPTA Andriawan. Implementation of Az-Zarnuji Thinking About Moral of Students Against Master in MA TarbiyatutTholabahKranji Paciran Lamongan. Surabaya: Department of Islamic Education and Teacher Training Faculty of MT UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016.

The background of this study is the importance of maintaining the relationship between the teacher and the learner requires learners to always keep her virtues when dealing with a teacher. By continuing to maintain moral, learners will increasingly avoid actions that might provoke or upset the teacher. received benefit science students of a teacher also depend on how learners that keep the heart of teachers.

In keeping with the character of learners, Sheikh BurhanuddinAz-Zarnuji in his work entitled Ta'lim al-Muta'allim has been providing guidance to students on how to morals students against teachers. Thought Az-Zarnuji aboutmoral learners to teachers was also still widely applied or implemented in several schools in the institute foundation boarding school, especially in boarding old schools, one of which is the school MA TarbiyatutTholabahKranji Paciran Lamongan inside the institution Foundation Pondok Pesantren TarbiyatutTholabahKranji Paciran Lamongan.

The results of this study indicate that the implementation of thinking Az-Zarnuji about moral learners to teachers in MA TarbiyatutTholabahKranji is done by adopting the thought Az-Zarnuji about moral learners to teachers into the rules and regulations of the school in MA TarbiyatutTholabahKranji Paciran Lamongan.


(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iii

PERNYATAAN KEABSAHAN ... iv

PERNYATAAN PUBLIKASI ... v

ABSTRAK ... vi

DAFTAR ISI ... viii

BAB I: PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Kegunaan Penelitian ... 9

E. Penelitian Terdahulu ... 10

F. Definisi Operasional ... 12

G. Sistematika Pembahasan ... 20

BAB II: KAJIAN TEORI ... 21

A. Konsep Umum Pemikiran Syekh Az-Zarnuji ... 21

B. Pemikiran Az-Zarnuji Tentang Akhlak Peserta Didik Terhadap Guru ... 28

BAB III: METODOLOGI PENELITIAN ... 36

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 37

B. Jenis dan Sumber Data ... 40

C. Kehadiran Peneliti ... 43

D. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data ... 44

E. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ... 48

F. Teknik Analisis Data ... 51

BAB IV: TEMUAN DAN ANALISIS DATA ... 57

A. Temuan Data ... 57

B. Analisis Data ... 67

BAB V: PENUTUP ... 115

A. Kesimpulan ... 115

B. Saran ... 116

C. Kata Penutup ... 117


(9)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pendidikan secara teori mengandung pengertian “memberi makan” (Opvoending) kepada peserta didik sehingga mendapatkan kepuasan rohaniyah, yang juga diterjemahkan dengan “menumbuhkan” fitrah atau kemampuan dasar manusia.1 Pemberian makan itu yang dimaksudkan adalah pemberian makanan pada akal dan hati peserta didik dengan cara pengajaran yang diberikan oleh seorang pendidik dalam proses belajar mengajar.

Dari konteks di atas, dapat diketahui bahwa dalam dunia pendidikan ada seseorang yang “memberi makan” dan ada yang “diberi makan”. Maksudnya di dalam suatu dunia pendidikan, tidak dapat dihilangkan adanya guru dan adanya peserta didik. Baik yang terjadi di dalam dunia pendidikan yang terjadi pada masa pra modern maupun masa modern saat ini, karena pendidikan itu sendiri merupakan suatu proses antara seorang guru dengan seorang murid.

Pendidikan merupakan kebutuhan manusia yang bersifat universal. Pendidikan merupakan kebutuhan pokok setiap manusia yang tidak dapat diganti dengan yang lain. Oleh karenanya, pendidikan merupakan suatu kegiatan yang menjadi keharusan untuk dilaksanakan oleh pribadi seseorang.

Tujuan pendidikan itu sendiri setidaknya membentuk pribadi seorang peserta didik menjadi pribadi yang berkualitas baik jasmani dan rohani.


(10)

Dengan demikian secara konseptual pendidikan mempunyai peran strategis dalam membentuk anak didik menjadi manusia yang berkualitas, tidak saja berkualitas dari aspek kognitif, tetapi juga aspek spiritual.2 Tujuan pendidikan secara lebih jelasnya adalah membentuk pribadi yang berwatak, bermartabat, beriman, dan bertakwa, serta beretika.3

Kesempurnaan akhlak peserta didik dapat diajarkan melalui pengajaran secara teori di lingkungan pendidikan. Kemudian ditunjang dengan pembiasaan para peserta didiknya untuk melakukan akhlak yang baik di lingkungan pendidikan. Karena keberhasilan pendidikan akhlak peserta didik terhadap masyarakat dimulai dari pendidikan akhlak peserta didik di lingkungan pendidikan.

Untuk mencapai suatu tujuan pendidikan, maka hubungan antara seorang pelajar dengan seorang guru harus terjaga dengan baik. Akhlak seorang pelajar kepada guru harus tertata dengan baik karena guru selain sebagai ahli ilmu, guru juga merupakan sumber ilmu tempat di mana seorang murid memperoleh suatu ilmu dan pengajaran.

Di dalam dunia pendidikan islam, telah banyak diajarkan akhlak seorang murid atau pelajar kepada seorang guru. Karena dunia pendidikan islam sangat mementingkan pendidikan akhlak kepada peserta didiknya. Oleh karena itu, pendidikan islam sangat menekankan peserta didiknya untuk menghormati sumber ilmu. Sedangkan sumber ilmu itu termasuk seorang pendidik atau seorang guru itu sendiri.

2 Istighfarotul Rahmaniyah, Pendidikan Etika, (Malang: Aditya Media, 2010), h. 2 3Ibid., h. 3


(11)

Pendidikan Islam memberikan pengajaran kepada peserta didiknya tidak hanya dalam aspek teori saja, namun juga memberikan pengajaran untuk mengamalkan apa yang telah diketahui oleh peserta didiknya. Tujuan akhir dari pendidikan Islam adalah menjadikan peserta didiknya menjadi Insan Kamil. Keberhasilan pendidikan Islam dapat dilihat dari akhlak keseharian para peserta didiknya. Sebab, Nabi Muhammad SAW diutus di dunia sebagai penyempurna akhlak para manusia.

ميظع قلخ ىلعل كَوِإ َو

Artinya:

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (QS. al-Qalam: 4)

لوسر نأ غلب دق وأ كلام ه ع يىثدح .قاخأا ه سح ممتأ تثعب :لاق ملسو يلع ه ىلص ه

)سوأ ه ع كلام ياور( 4

Artinya:

“menceritakan kepadaku dari Malik bahwasanya benar-benar sampai kepadanya (sebuah riwayat) sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: aku diutus untuk memperbaiki kemuliaan akhlak.” (H.R. Malik bin Anas dari Anas bin Malik).

Seorang Pelajar tidak akan mendapat kesuksesan ilmu pengetahuan dan tidak akan mendapat kemanfaatan dari ilmu pengetahuan yang dimilikinya, selain jika mau mengagungkan ilmu pengetahuan itu sendiri, menghormati ahli ilmu dan mengagungkan guru. Ada diterangkan, bahwa seseorang akan

4 Imam Jalaludin Abdurrahman AS-Suyuti, Kitab Al-Muwaththo’, (Beirut: Dar Al-Fikr), h. 756.


(12)

mencapai sesuatu kesuksesan kalau dia sendiri mau mengagungkan sesuatu yang dicarinya, demikian pula kegagalan seseorang lantaran tidak mau mengagungkan sesuatu yang sedang dicarinya.5

Seorang pelajar atau peserta didik dalam proses pencarian ilmunya, tidak akan pernah bisa dilepaskan dengan adanya guru yang memberikan pengarahan dalam proses pencariannya. Jadi wajiblah bagi para peserta didik menjaga akhlaknya terhadap pengajar atau guru yang telah memberikan bimbingan kepadanya selama proses pencarian ilmunya. Karena ridho seorang guru sangatlah berpengaruh terhadap kemanfaatan ilmu peserta didik.

Peserta didik harus sangatlah berhati-hati dalam menjaga hubungannya dengan gurunya. Baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Hati seorang guru ibarat sebuah rumah yang sangat rapuh dan harus sangat dijaga oleh seorang peserta didik. Ilmu ibarat pedang yang tumpul, sedangkan ridlo guru ibarat alat untuk mempertajam pedang itu. Jika seorang peserta didik tidak mendapatkan ridlo dari gurunya atas ilmu yang telah diajarkannya, maka ilmu itu ibarat pedang yang tumpul dan sangat sukar untuk dimanfaatkan.

Seorang pelajar juga harus menjaga hubungannya dengan gurunya dengan tanpa adanya sebuah kontradiksi dengan gurunya. Dikatakan dalam terjemahan kitab Risalah Qusyairiyah bahwa seorang pelajar tidak boleh ada suatu ganjalan kontradiksi terhadap gurunya. Bila dalam benaknya terdapat persepsi bahwa dirinya lebih baik daripada gurunya baik dari segi dunia

5 A Mudjab Mahali, Pembinaan Moral Di Mata Al-Ghozali, (Yogyakarta: BPFE, 1984), h. 281


(13)

maupun akhirat, maka cita-cita dari seorang pelajar tersebut sudah rusak atau dalam artian seorang pelajar tersebut telah gagal dalam meraih kemanfaatan dari ilmu yang didapatkannya.6

Nabi Muhammad SAW bersabda:7

اور بيطخلا جرخأو ي

يوصعتاو لقاعلا اودشرتسا :)اعوفرم( ه يضر ةرير يبأ ه ع كلام ة

اومدىتف Artinya:

“Al-Khatib mentakhrij Hadits marfu’ dalam periwayatan Malik dari Abu Hurairah R.A: mintalah petunjuk dari cendekiawan yang cerdik, maka kamu akan benar, dan jangan kamu menyelisihi, maka kamu akan menyesal.”

Pendidikan akhlak peserta didik terhadap seorang guru harus benar-benar diajarkan sedetail mungkin. Karena kedudukan seorang guru sama halnya dengan kedudukan orang tua peserta didik. Guru merupakan orang tua kedua setelah orang tua dari peserta didik. Jadi jangan sampai ada kontradiksi hati sedikitpun yang terjadi antara peserta didik dengan seorang guru. Bahkan, sepandai-pandainya peserta didik jangan sampai mempunyai prasangka bahwa dirinya lebih pandai daripada gurunya meskipun secara ukuran dirinya memang kepandaiannya telah melampaui kepandaian gurunya. Karena prasangka itu merupakan sikap yang tidak mencerminkan akhlak yang terpuji terhadap seorang guru.

Oleh sebab itu, pendidikan Islam lebih banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan

6 Muhammad Luqman Hakiem, Terjemahan Risalah Qusyairiyah, (Surabaya: Risalah Gusti, 2006), h. 477

7 Al-Imam Al-Hafidz Zain Al-Din „Abd Al-Rauf Al-Manawi, Tafsir bi Syarkhi

Al-Jami’ al-Shoghir, (Riyadh: Dar al-Nasyr Maktabah Imam al-Syafi‟i, 1988), Juz I h. 293. CD Software Maktabah Syamilah.


(14)

diri sendiri maupun orang lain. di segi lainnya, pendidikan Islam tidak hanya bersifat teoritis saja, tetapi juga praktis. Ajaran Islam tidak memisahkan antara iman dan amal saleh. Oleh karena itu pendidikan Islam merupakan pendidikan iman dan pendidikan amal. Dan karena itu pendidikan Islam berisi tentang pendidikan sikap dan tingkah laku pribadi masyarakat, menuju kesejahteraan kehidupan pribadi dan bersama, maka pendidikan Islam adalah pendidikan individu dan masyarakat. dengan demikian pendidikan Islam itu adalah pembentukan kepribadian Muslim yang intelektual.8

Di era modern sekarang ini, banyak sekali sekolah yang mengedepankan pendidikan intelektual peserta didiknya dan melupakan pendidikan akhlak peserta didiknya. Terlebih lagi pendidikan akhlak peserta didik kepada gurunya sendiri. Sebab guru merupakan subyek pokok dalam mencapai tujuan pendidikan. Jadi akhlak peserta didik kepada gurunya harus selalu terjaga selama pendidikan berlangsung maupun ketika di luar lingkungan pendidikan.

Banyak peserta didik yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi, namun meninggalkan sikap hormatnya kepada guru yang telah memberikan pendidikan kepadanya. Sehingga tujuan dari pendidikan yang telah dicapai oleh lembaga pendidikan tersebut hanya sampai pada tujuan akal atau kecerdasan intelektual peseta didiknya saja.

Dunia pendidikan islam telah mengetahui bahwa akhlak seorang pelajar terhadap seorang guru tidak akan tertata dengan benar tanpa adanya sebuah


(15)

pengajaran yang akan menjadi sebuah pedoman bagi seorang murid agar tetap bisa menjaga akhlak atau adabnya kepada gurunya. Oleh karenanya, para ulama islam yang ahli dalam dunia pendidikan islam maupun pendidikan akhlak telah banyak mengajarkan dan menuliskan pedoman bagi para peserta didik agar senantiasa berpedoman dalam menjaga sikap dan akhlaknya terhadap gurunya. Agar selama jalannya peserta didik mencari ilmu selalu mendapatkan kemanfaatan dari ilmu yang dia dapat dari gurunya. Salah satu ulama‟ yang telah memberikan pengajaran tentang pendidikan akhlak peserta didik kepada gurunya adalah Imam Az-Zarnuji.

Di dalam karangan beliau yang berjudul Ta’lim al-Muta’allim Fashl Fii Ta’dhimil Ilmi wa Ahlihi beliau memberikan kita pengajaran bagaimana mendidik peserta didik agar memiliki akhlak yang baik terhadap guru yang memberikan pendidikan kepadanya. Oleh karena itu, ajaran beliau yang berkenaan dengan pendidikan akhlak seorang peserta didik terhadap pendidiknya banyak sekali diajarkan diberbagai sekolah-sekolah terutama di lingkungan sekolah yang ada di pondok pesantren. Salah satu dari sekolah itu adalah sekolah MA Tarbiyatut Tholabah yang berada di lingkungan pondok pesantren Tarbiyatut Tholabah Kranji Paciran Lamongan.

MA Tarbiyatut Tholabah merupakan sekolah swasta yang berada di lingkungan pondok pesantren Tarbiyatut Tholabah Kranji, menjadikan sekolah ini mempunyai visi dan misi ala pesantren yang mengutamakan pendidikan akhlak yang baik kepada para peserta didiknya serta menjadikan para peserta didiknya memiliki kecerdasan secara intelektual.


(16)

Di dalam penerapan pendidikan akhlak di sekolah ini tidaklah dilakukan dengan tanpa adanya kendala. Status sekolah yang berada di lingkungan pondok pesantren menjadikan mayoritas para peserta didiknya selain menjalani program pendidikan di sekolahan tersebut juga mendalami program pendidikan di lingkungan pondok pesantren. Dengan artian para peserta didiknya mayoritas merupakan para peserta didik dari lingkungan luar yang bermacam-macam keadaannya. Hal itu pula yang menjadikan para peserta didik membutuhkan pembiasaan yang berbeda-beda tingkat kesulitannya untuk membiasakan diri berakhlak dengan baik di lingkungan yang baru bagi mereka. MA Tarbiyatut Tholabah mencoba mendidik akhlak para peserta didiknya dengan berbagai cara dan metode dengan harapan para peserta didiknya tidak hanya mempunyai pengetahuan secara intelektual yang luas namun juga para peserta didiknya mempunyai moral dan akhlak yang mulia di tengah masyarakatnya dan di tengah zaman yang modern ini.

Dari paparan latar belakang diatas, maka dari itu, penulis memberikan judul skripsi ini dengan judul “Implementasi Pemikiran Az-Zarnuji Tentang Akhlak Peserta Didik Terhadap Guru Di MA Tarbiyatut Tholabah Kranji Paciran Lamongan”.


(17)

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pemikiran Imam az-Zarnuji tentang akhlak peserta didik terhadap guru ?

2. Bagaimana implementasi pemikiran Imam az-Zarnuji tentang akhlak peserta didik terhadap gurunya di MA Tarbiyatut Tholabah Kranji Paciran Lamongan dalam mengikuti konsep Imam Az-Zarnuji?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pemikiran Imam Az-Zarnuji tentang akhlak peserta didik terhadap guru.

2. Untuk mengetahui implementasi pemikiran Imam Az-Zarnuji tentang pendidikan akhlak peserta didik terhadap gurunya di MA Tarbiyatut Tholabah Kranji Paciran Lamongan.

D. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat secara teoritis maupun praktis. 1. Secara teoritis

Menambah khazanah ilmu pengetahuan dan memperdalam teori pendidikan Islam yang berhubungan dengan kajian pesantren dalam menanamkan akhlak mulia. Serta sebagai sumber informasi yang dapat digunakan untuk referensi penelitian-penelitian berikutnya yang masih berhubungan dengan topik penelitian ini.


(18)

a. Bagi penulis, diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan menambah wawasan penulis tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan kontribusi pendidikan akhlak peserta didik terhadap gurunya, khususnya dalam menanamkan akhlak mulia peserta didik terhadap gurunya menurut perspektif Imam Az-Zarnuji di MA Tarbiyatut Tholabah Kranji Paciran Lamongan.

b. Bagi lembaga pendidikan, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dan bahan pertimbangan dalam menanamkan akhlak peserta didik terhadap gurunya secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikan yang maksimal demi kemajuan bangsa.

Bagi pihak lain yang membaca tulisan ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan informasi dan pengetahuan mengenai kontribusi pendidikan Islam menurut Imam Az-Zarnuji dalam menanamkan akhlak mulia peserta didik terhadap gurunya, ataupun sebagai bahan kajian lebih lanjut bagi peneliti berikutnya.

E. Penelitian Terdahulu

Pada dasarnya segala sesuatu yang terjadi saat ini bukanlah sesuatu yang baru, melainkan sesuatu yang telah ada sejak dulu. Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan saat ini bukanlah penelitian yang murni baru, melainkan penelitian yang pernah dilakukan oleh orang-orang sebelumnya.


(19)

Sehingga penelitian terdahulu yang ada kaitannya dengan penelitian yang akan dilakukan, diantaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, penelitian yang berjudul Konsep Pemikiran Burhanuddin Az-Zarnuji dalam Pendidikan Modern, metode yang digunakan Az-Zarnuji ini merupakan jalan yang harus ditempuh dan dilaksanakan bagi setiap orang yang mencari ilmu sehingga dapat sukses dan berhasil dengan baik. Metode yang dikemukakannya ini memang lebih mengedepankan faktor pertimbangan spiritual yang dalam. Konsep Az-Zarnuji tentang etika belajar yang harus dilakukan oleh siswa ini sebenarnya merupakan tuntunan agama, sehingga dalam keterangannya tentang etika belajar ini Az-Zarnuji lebih banyak mengutip hadits Nabi. Aplikasi metode dan etika belajar ini dalam konteks pendidikan modern sangatlah relevan untuk diterapkan seluruhnya apalagi terhadap pendidikan Islam.

Kedua, penelitian skripsi dengan judul “Studi Komparasi Pendidikan Menurut Az Zarnuji dan Paulo Ferre“. Skripsi ini menjelaskan tentang dua konsep pendidikan yang berbeda dari dua tokoh yang berbeda pula Az-Zarnuji dan Paulo Ferre. Menurut Az-Az-Zarnuji unsur pertama yang dimiliki oleh peserta didik yang hendak menuntut ilmu adalah dengan bertujuan mencari ridha Allah SWT, mencari kebahagiaan akhirat, memerangi kebodohan diri sendiri dan kebodohan para kaum yang bodoh, serta mengangkat harkat dan derajat agama. Sedangkan menurut Paulo Ferre pendidikan bertujuan untuk pembebasan manusia dari kebodohan dan situasi ketertindasan, juga penyadaran manusia akan realitas sosialnya. Ferre juga


(20)

berusaha mengarahkan pendidikan sebagai usaha untuk humanisasi diri dan sesama, yaitu melalui tindakan sadar untuk mengubah dunia. Dalam hal ini persamaan diantara keduanya adalah konsep yang ditawarkan oleh Zarnuji dan Ferre bisa dikatakan sebagai representasi pendidikan Islam dan Barat atau pendidikan tradisional dan modern.

Ketiga, skripsi yang berjudul “Syarat Belajar Menurut Shaikh Az-Zarnuji dan Menurut Hadits Nabi Muhammad SAW”. Skripsi ini menjelaskan bahwa peserta didik harus menempuh enam persyaratan dalam mencari ilmu menurut pemikiran Az-Zarnuji dan dan menurut Hadits Nabi Muhammad SAW. yaitu: cerdas, semangat, sabar, biaya, petunjuk guru dan waktu yang lama.

Selain dari ketiga penelitian terdahulu di atas, masih banyak lagi penelitian yang berhubungan dengan skripsi penulis ini. Namun, karena keterbatasan penulis, sehingga penulis hanya mencantumkan sebagian kecil dari jumlah penelitian yang terdahulu.

F. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah hasil dari operasionalisasi. Menurut Black dan Champion untuk membuat definisi operasional adalah dengan memberi makna pada suatu variabel dengan menetapkan “operasi” atau kegiatan yang diperlukan untuk mengukur variabel tersebut.9

9 James A. Black dan Dean J. Champion, Metode dan Masalah Penelitian Sosial, E.Koeswara, dkk, (Penerj.) (Bandung: Refika Aditama, 1999), h. 161.


(21)

Untuk lebih memperjelas dan mempermudah pemahaman dan menghindari kesalahpahaman, maka peneliti akan menegaskan definisi operasional variabel-variabel penelitian ini sebagai berikut:

1. Implementasi

Secara bahasa kata implementasi berarti melaksanakan, menerapkan.10 Maksud dari “implementasi” di dalam judul skripsi ini adalah bagaimana cara menerapkan suatu hal, atau seperti apakah penerapannya atau pelaksanaannya.

2. Akhlak

Secara bahasa akhlak berarti budi pekerti, kelakuan, pendidikan.11 Sedangkan secara definisi kata ”akhlak” berasal dari bahasa Arab, jamak dari kata “khuluqun” yang menurut bahasa berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.12 Sedangkan secara istilah beberapa ilmuwan memberikan berbagai definisi yang berbeda-beda. Namun secara kesimpulan definisi akhlak memiliki pengertian kehendak jiwa yang menimbulkan perbuatan dengan mudah karena kebiasaan, tanpa memerlukan pertimbangan pikiran terlebih dahulu.13 Imam Al-Ghozali memberikan pengertian akhlak dengan suatu ibarat tentang keadaan jiwa yang menetap pada suatu hal yang tidak memerlukan pemikiran atau penelitian.14

10 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 186

11Ibid., h. 20

12 Mushtofa, Akhlak Tashawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), h. 11 13Ibid., h. 14


(22)

Dengan demikian akhlak merupakan jiwa yang menetap pada suatu perbuatan yang tidak perlu lagi memerlukan pemikiran atau pertimbangan untuk melakukan perbuatan itu.

Ada istilah lain yang lazim digunakan di samping kata akhlak ialah apa yang disebut Etika. Etika berasal dari bahasa Yunani “Ethos” yang berarti watak kesusilaan atau adat. Identik dengan perkataan moral yang berasal dari kata latin “Mos” yang dalam bentuk jamaknya “Mores” yang berarti juga adat atau cara hidup.15

Namun kata akhlak ini pengertiannya lebih luas daripada etika dan moral karena akhlak meliputi segi-segi kejiwaan dari batiniah dan lahiriyah seseorang.16

Antara etika dan akhlak sama-sama memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah sama-sama membahas masalah baik dan buruknya tingkah manusia sehingga akhlak sering disebut dengan etika Islam. sedangkan dari segi perbedaannya adalah etika bertitik dari akal pikiran, sedangkan akhlak berdasarkan ajaran Allah dan Rasulnya.17

Akhlak juga dikenal dengan istilah moral yang memiliki pengertian sesuatu yang sesuai dengan ide-ide umum tentang tindakan manusia, yang baik dan wajar, sesuai dengan ukuran tindakan yang diterima umum, meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu. Dengan demikian, jelaslah persamaan antara etika, moral, dan akhlak. Namun, ada pula perbedaan di

15 Akmal Hawi, Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), h. 49

16 A. Zainuddin dan Muhammad Jamhari, Al-Islam 2: Mu'amalah dan Akhlak, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), h. 73.


(23)

antara ketiganya. Yakni, etika merupakan teori yang bertitik dari ide-ide sedangkan akhlak merupakan dari ajaran Allah SWT dan Rasulnya, sedangkan moral lebih bersifat praktis.18

Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan tentang pengertian akhlak, yaitu tindakan yang dilakukan secara spontan dan tidak memerlukan pemikiran lagi dalam melakukan tindakan tersebut, serta tindakan atau perbuatan itu sudah menjadi kebiasaan yang telah menjadi ciri kepribadian seseorang. Dari keterangan di atas dapat kita ketahui bahwa pengertian akhlak dengan budi pekerti merupakan satu pengertian yang sama. Akhlak atau budi pekerti merupakan tingkah laku seseorang yang sudah menjadi ciri khasnya. Sehingga dalam melakukan tingkah laku tersebut, tidak perlu melakukan proses pemikiran lebih.

3. Peserta didik

Dalam proses pendidikan, seseorang atau kelompok yang menjadi obyek dalam proses pendidikan itu disebut dengan peserta didik. Peserta didik secara pengertian bahasa memiliki arti orang yang dididik.19 Jadi peserta didik merupakan seseorang yang diberikan pengajaran dan pelatihan.

Peserta didik merupakan obyek pokok dalam dunia pendidikan, karena sifatnya yang selalu menggantungkan dan membutuhkan orang lain.20 Dengan kata lain peserta didik merupakan obyek pendidikan yang membutuhkan bantuan seorang guru dalam membina keinginannya untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan keterampilan. Oleh karena itu peserta didik bisa disebut

18Ibid., h. 14. 19Ibid, h. 78


(24)

dengan istilah “murid” yang berasal dari bahasa Arab “araada” yang mempunyai pengertian manusia yang menghendaki untuk agar mendapatkan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, dan kepribadian yang baik melalui proses pengajaran dan pendidikan untuk bekal hidupnya di dunia maupun akhirat dengan proses belajar yang bersungguh-sungguh. Peserta didik merupakan orang yang masih memerlukan bimbingan dan bergantung pada guru, belum menggambarkan kemandirian.21

Istilah murid ini sesungguhnya memiliki kedalaman makna. Artinya, dalam proses pendidikan itu terdapat individu yang secara sungguh-sungguh menghendaki dan mencari ilmu pengetahuan dan keterampilan. Hal ini menunjukkan bahwa istilah murid menghendaki adanya keaktifan pada peserta didik dalam proses belajar mengajar, bukan keaktifan pendidik.22

Peserta didik di dalam mencari nilai-nilai hidup, harus dapat bimbingan sepenuhnya dari guru, karena saat peserta didik lahir ke dunia dalam keadaan suci dan fitrah atau dalam keadaan belum mengerti apa-apa.

Di dalam keterangan di atas, sudah dapat disimpulkan bahwa seorang yang wajib dan utama dalam memberikan pendidikan dan bimbingan kepada peserta didik adalah orang tua. Pendidikan pertama kali yang diterima oleh peserta didik adalah pendidikan dari orang tua. Di sini, peran orang tua adalah sebagai guru pertama bagi peserta didik.23

21 Suwito dan Fauzan, Sejarah sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 54-55.

22 Suyanto, ilmu pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 104.

23 Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, ()Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 170-171.


(25)

Peserta didik merupakan individu yang belum dewasa baik dari aspek fisik, psikologis, sosial, dan religius dalam mengarungi kehidupan di dunia dan akhirat kelak. Pendidikan yang diterima oleh peserta didik tidak hanya di lingkungan sekolah atau pun madrasah. Peserta didik memperoleh masa pendidikan dari berbagai lingkungan hidupnya. Oleh karena itu peran orang tua, guru, masyarakat dan livngkungan sangat mempengaruhi proses kedewasaan peserta didik. Istilah-istilah bagi peserta didik dalam memperoleh pendidikan pun berbeda-beda jika dilihat dari segi lingkungan dia mendapatkan pendidikan. Anak kandung adalah peserta didik dalam keluarga, murid adalah peserta didik di sekolah dan madrasah, anak-anak penduduk adalah peserta didik di masyarakat sekitarnya, dan umat beragama adalah peserta didik ruhaniawan dalam suatu agama.24

4. Guru

Guru dalam segi bahasa berarti orang yang pekerjaannya mengajar.25 atau disebut juga dengan pendidik adalah orang yang bertugas dalam memberikan suatu pelatihan dan pengajaran kepada peserta didiknya. Guru juga merupakan pelaku utama selama proses pendidikan berlangsung.

Secara umum pengertian guru adalah orang yang memiliki tugas mendidik. Jadi, guru adalah orang yang mengupayakan perkembangan seluruh perkembangan seluruh potensi peserta didik, baik potensi kognitif,

24 Suyanto, ilmu pendidikan Islam, Ibid., h. 105. 25 Ibid, h. 377


(26)

psikomotor, maupun potensi afektif. Potensi peserta didik harus dikembangkan secara seimbang sampai setinggi mungkin.26

Guru merupakan subyek utama dalam proses pendidikan. Oleh sebab itu, seorang guru harus merupakan figur yang bisa ditiru oleh peserta didiknya.27 Dengan demikian guru dapat diartikan sebagai orang yang digugu dan ditiru. Karena guru dalam melaksanakan pendidikan baik di lingkungan formal dan non formal dituntut untuk mendidik dan mengajar. Karena keduanya mempunyai peranan yang penting dalam proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan ideal pendidikan. Mengajar lebih cenderung untuk membina pengetahuan peserta didik dari aspek pengetahuannya saja sedangkan mendidik merupakan pengembangan potensi peserta didik dari aspek nilai dan kejiwaan peserta didik.28

Guru berarti juga orang dewasa yang bertanggung jawab memberi pertolongan pada peserta didiknya dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu berdiri sendiri dan memenuhi tingkat kedewasaannya, mampu mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah SWT. dan mampu melakukan tugas sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk individu yang mandiri.29

Seorang guru harus memahami tentang tujuan pendidikan, agar guru ketika memberikan pengajaran tidak keluar dari tujuan pendidikan yang ada,

26 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), h. 74.

27 Ishom Achmadi, Kaifa Nurobbi, Ibid., h. 21. 28 Akmal Hawi, Kompetensi Guru, Ibid., h. 9.

29 Suryosubrata B, Beberapa Aspek Dasar Kependidikan, (Jakarta: Bina Aksara, 1983), h. 26.


(27)

dan agar tercapai tujuan pendidikan yang ideal. Seorang guru juga hendaknya tidak sekedar orang yang mengerti tentang ilmu pengetahuan saja, karena seorang guru adalah orang menjadi panutan bagi para peserta didiknya. Oleh karena itu seorang guru harus memiliki akhlak dan kepribadian yang mulia, agar para peserta didiknya dapat meniru dalam berperilaku yang baik dan mulia.30 Karena seorang guru merupakan salah satu komponen manusiawi yang memiliki peranan besar dalam membentuk Sumber Daya Manusia, karena berperan sebagai pengajar, pendidik, dan pembimbing yang mengarahkan sekaligus menuntun peserta didiknya selama proses belajar.31

Dengan demikian, guru merupakan fokus kunci dalam mencapai tujuan pendidikan atau bahkan membentuk manusia yang sesuai dengan falsafah dan nilai etis-normatif. Hal ini berarti bahwa guru adalah sebuah profesi yang menuntut keahlian, tanggung jawab, dan kesetiaan. Suatu profesi yang tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang yang tidak dilatih atau dipersiapkan untuk menjadi sosok guru.32

G. Sistematika Pembahasan

Penulis membagi sistematika pembahasan penelitian ini menjadi lima bab dengan rincian tiap bab sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan yang meliputi tentang: latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, kerangka konseptual/kerangka teori, sistematika pembahasan.

30 Abu Fajar Al Qalami, Terjemah Ringkasan Ihya’ Ulumuddin, (Surabaya: Gitamedia Press, 2003), h. 29.

31 A. M. Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar dan Mengajar, (Jakarta: Rajawali, 1996), h. 123.


(28)

Bab II Kajian Teori meliputi tentang: konsep umum pemikiran Az-Zarnuji dan pemikiran Az-Zarnuji tentang akhlak peserta didik terhadap guru menurut pendapat para ahli.

Bab III Metode Penelitian meliputi: pendekatan dan jenis penelitian, jenis dan sumber data, kehadiran peneliti, teknik dan instrumen pengumpulan data, teknik pemeriksaan keabsahan data, dan teknik analisis data.

Bab IV Laporan Hasil Penelitian yang meliputi: temuan data dan analisis data.

Bab V Penutup, berisi tentang kesimpulan dari penelitian, saran-saran, dan kata penutup.


(29)

BAB II KAJIAN TEORI

Salah satu hal yang menarik dalam ajaran Islam adalah penghargaan Islam yang sangat tinggi terhadap guru. Begitu tingginya penghargaan itu sehingga menempatkan kedudukan guru setingkat di bawah kedudukan Nabi, mengapa demikian? Karena guru selalu terkait dengan ilmu pengetahuan, sedangkan Islam amat menghargai ilmu pengetahuan.1

Oleh karena itu, para ahli pendidikan Islam sangat menjunjung tinggi kedudukan guru. Salah satunya adalah Syekh Burhanuddin Az-Zarnuji. Pemikiran Az-Zarnuji tentang masalah pendidikan telah banyak dikaji dan diajarkan secara rutin di berbagai pesantren-pesantren salaf. Pemikirannya juga menimbulkan banyak kontroversi di kalangan para ahli setelahnya. Terutama mengenai pembahasannya tentang akhlak yang harus dijaga oleh peserta didik terhadap guru. Karena banyaknya kritik dan saran yang tertuju kepada pemikirannya, menimbulkan keinginan penulis untuk membahas pemikiran Az-Zarnuji secara umum serta pemikirannya berkenaan tentang akhlak peserta didik terhadap gurunya. Wallahu a’alam...

A. Konsep Umum Pemikiran Syekh Az-Zarnuji

Konsep pemikiran Az-Zarnuji secara monumental telah dituangkan dalam karyanya Ta’lim al-Muta’allim Thuruq al-Ta’allum. Kitab ini banyak diakui


(30)

sebagai karya yang monumental dan sangat diperhitungkan keberadaannya. Kitab ini banyak pula dijadikan bahan penelitian dan rujukan dalam penulisan karya-karya ilmiah, terutama dalam bidang pendidikan. Kitab ini digunakan tidak terbatas pada ilmuwan muslim, tetapi juga oleh para orientalis dan para penulis barat. Diantara tulisan yang menyinggung kitab ini antara lain adalah tulisan G.E. Van Grunebaum dan T.M. Abel yang yang dikutip oleh Abuddin Nata bahwa Ta’lim al-Muta’allim Thuruq al-Ta’allum: Instruction of the Students: The Method of Learning; Carl Brockelmann dengan bukunya GeschicteDerArabschen Litteratur; Mehdi Nakosten dengan tulisannya History of Islamic Origins of Western Education A.D. 80013500, dan lain sebagainya.2

Keistimewaan lainnya dari buku Ta‟lim al-Muta‟allim tersebut pada materi yang dikandungnya. Sekalipun kecil dengan judul yang seakan-akan hanya membicarakan tentang metode belajar, namun sebenarnya membahas tentang tujuan belajar, prinsip belajar, strategi belajar dan lain sebagainya yang secara keseluruhan didasarkan pada moral religius.

Keterkenalan kitab Ta‟lim al-Muta‟allim terlihat dari tersebarnya buku ini hampir ke seluruh penjuru dunia. Kitab ini telah dicetak dan diterjemahkan serta dikaji di berbagai dunia, baik di Timur maupun di Barat. Kitab ini juga menarik beberapa ilmuwan untuk memberikan komentar atau syarah terhadapnya.3

2 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Seri Kajian Filsafat

Pendidikan Islam), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), cet. Ke-2. h. 107.

3 Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,


(31)

Di Indonesia, kitab Ta‟lim al-Muta‟allim dikaji dan dipelajari hampir di setiap lembaga pendidikan Islam, terutama lembaga pendidikan klasik tradisional seperti pesantren, bahkan di pondok pesantren modern sekalipun, seperti halnya di pondok pesantren Gontor Ponorogo, Jawa Timur.4

Dari kitab tersebut dapat diketahui tentang konsep pendidikan Islam yang dikemukakan Az-Zarnuji. Secara umum kitab ini mencakup tiga belas pasal yang disingkat-singkat. Pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan ke dalam tiga bagian besar, yakni mencakup: (1). The Division of Knowledge (pembagian ilmu); (2). The Purpose of Learning (tujuan pendidikan); dan (3). Methode of Study (metode pembelajaran).5 Ketiga bidang ini dapat dikemukakan sebagai

berikut:

1. Pembagian Ilmu

Az-Zarnuji membagi ilmu pengetahuan ke dalam dua kategori. Pertama ilmu fardhu „ain, yaitu ilmu yang setiap muslim secara individual wajib mempelajarinya, seperti ilmu fiqh dan ilmu ushul (dasar-dasar agama). Kedua, ilmu fardhu kifayah, yaitu ilmu di mana setiap umat muslim sebagai suatu komunitas, bukan sebagai individu diharuskan menguasainya, seperti ilmu pengobatan, ilmu astronomi dan lain sebagainya.

2. Tujuan Pendidikan

Mengenai tujuan pendidikan, Az-Zarnuji mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah yang ditunjukkan untuk mencari keridhaan Allah, memperoleh kebahagiaan di akhirat, berusaha memerangi kebodohan pada

4 Ibid., h. 380 5 Ibid., h. 109-110


(32)

diri sendiri dan orang lain, mengembangkan dan melestarikan ajaran Islam, serta mensyukuri nikmat Allah.

Dalam hubungan ini Az-Zarnuji mengingatkan, agar setiap penuntut ilmu jangan sampai keliru dalam menentukan niat dalam belajar, misalnya belajar yang diniatkan untuk mencari pengaruh, mendapatkan kenikmatan duniawi atau kehormatan serta kedudukan tertentu. Jika masalah niat ini sudah benar, maka ia akan merasakan kelezatan ilmu dan amal, serta akan semakin berkuranglah kecintaannya terhadap harta benda dan dunia.

3. Metode Pembelajaran

Dari segi metode pembelajaran yang dimuat Az-Zarnuji dalam kitabnya ini meliputi dua kategori. Pertama, metode yang bersifat etik, dan kedua metode yang bersifat strategi. Metode yang bersifat etik antara lain mencakup niat dalam belajar; sedangkan metode yang bersifat teknik strategi meliputi cara memilih pelajaran, memilih guru, memilih teman dan langkah-langkah dalam belajar.

Menurut penelitian Grunebaum dan Abel, pemikiran Az-Zarnuji dapat diklasifikasikan kedalam dua kategori utama. Pertama, yang berhubungan etik religi, dan kedua yang berhubungan dengan aspek teknik pembelajaran. Termasuk ke dalam kategori pertama adalah pemikirannya yang mengharuskan para pelajar mempraktekkan beberapa jenis amalan agama tertentu. Kategori ini dikatakannya sebagai allogical, dalam arti kita tidak dapat mendiskusikannya secara rasional. Sebagai contoh Az-Zarnuji mengatakan bahwa untuk dapat diberikan rizki, hendaknya setiap pelajar


(33)

dianjurkan untuk membaca Subhanallah al’azim, subhanallah wa bihamdih sebanyak seratus kali.

Mengenai kategori kedua, yakni aspek teknik pembelajaran, Muhammad Iqbal mengambil pendapat Von Grunebaum dan Abel terhadap enam hal yang menjadi sorotan Az-Zarnuji, yaitu (1). The curriculum and the subject matter (kurikulum dan materi pelajaran), (2). The choise of setting and teacher (pilihan pengaturan dan guru), (3). The time for study (waktu pembelajaran), (4). Techniques for learning and manner for study (teknik untuk belajar dan cara untuk belajar), (5). Dynamics of learning(dinamika belajar), and (6). The students relationsship to others (hubungan siswa dengan orang lain).6

Mengenai keenam aspek tersebut, Sudarnoto dkk menulis dengan rinci penjelasannya sebagai berikut: 7

1. Aspek Kurikulum dan mata pelajaran

Az-Zarnuji mengutamakan dua mata pelajaran: yakni fiqih dan kedokteran. Pelajaran seperti astronomi, di luar batas yang dibutuhkan untuk kepentingan ibadah termasuk dalam kategori subjek yang dilarang untuk dipelajari. Alasannya, pelajaran seperti ini hanya akan menjauhkan peserta didik dari ajaran-ajaran keagamaan yang mereka anut. Tentu saja Az-Zarnuji sangat mengutamakan pelajaran fiqh yang dalam perspektif pendidikan modern dikategorikan sebagai mata pelajaran pokok. Adapun materi pelajaran kedokteran dikategorikan bersifat minor

6Ibid., h. 109-110

7 Sudarnoto Abdul Hakim, Hasan Asari, Yudian W. Asmin, Islam Berbagai Perspektif,

Didedikasikan Untuk 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sadzali MA, (Yogyakarta: LPMI, 1995), h. 27-29


(34)

2. Aspek penemuan lingkungan dan guru

Dengan tepat Az-Zarnuji menegaskan perlunya melakukan perjalanan bagi para peserta didik yang menempuh pendidikan tingkat tinggi, ini nampaknya mencerminkan situasi pada zamannya Az-Zarnuji di mana pusat belajar, baik lembaga umum maupun pribadi, sudah tumbuh dan berkembang luas. Namun demikian, Az-Zarnuji menyarankan seorang peserta didik hendaknya mencari informasi yang tuntas tentang guru yang akan dituju-nya. Di dalam menentukan guru ini, Az-Zarnuji menentukan tiga kriteria: kepandaian, keberhasilan, dan pengalaman guru tersebut.

3. Aspek waktu belajar

Menurut ajaran Islam manusia harus belajar sepanjang usia hidupnya. Az-Zarnuji berpendapat bahwa permulaan usia muda adalah saat yang paling baik untuk belajar. Namun demikian, Az-Zarnuji menekankan agar penggunaan waktu diatur dengan normal, jangan berlebihan atau memaksakan diri.

4. Aspek teknik dan proses belajar

Dalam hal ini, Az-Zarnuji mempertimbangkan proses perkembangan jiwa seseorang. Pada masa kanak-kanak, aktivitas belajar dengan menghafal dengan cara pengulangan harus ditempuh dengan tekun. Setelah itu, memasuki pendidikan lebih tinggi, penekanan pada aspek pemahaman mulai dilakukan. Hal-hal yang dipelajari tidak saja harus dikuasai secara material, tetapi juga difahami maknanya. Tetapi dengan kemampuannya menghafal dan memahami pelajaran, pada tahap berikutnya, seorang peserta didik harus aktif


(35)

dalam merefleksikan pengertiannya sekaligus kreatif dalam bertanya. Dikatakan bahwa bertanya itu lebih baik daripada menghafal selama satu bulan. Dalam prosesnya, Az-Zarnuji juga menekankan pentingnya mencatat dan menulis apa yang diingat dan dipahaminya.

5. Aspek dinamika belajar

Ide Az-Zarnuji pada prinsipnya didasarkan pada dua aspek. Aspek pertama berhubungan dengan ketentuan-ketentuan teknis sedang aspek yang kedua berkenaan dengan kepentingan etis. Dengan kata lain bahwa untuk mencapai keberhasilan belajar, peserta didik harus menunjukkan kemauan yang keras dan berusaha yang serius. Kemauan saja tanpa kerja keras akan gagal. Begitupun sebaliknya, kerja keras dengan tidak disertai dengan semangat dan kemauan membaja tidak akan mencapai hasil yang optimal. Kedua aspek itu tidak dapat dipisahkan. Namun demikian, hendaknya juga dipelihara semangat belajar secara konstan, tapi tidak menjemukan. Disinilah perlunya variasi mata pelajaran yang ditempuhnya.

6. Aspek hubungan guru-peserta didik dan lingkungannya

Az-Zarnuji menyatakan bahwa lingkungan pergaulan baik dalam hubungannya dengan guru, teman, maupun masyarakat pada umumnya, sangat mempengaruhi pola belajar dan berpikir seseorang. Karena itulah disarankan agar seseorang pelajar membangun hubungan seluas mungkin dengan kalangan cerdik dan pandai. Belajar sama sekali tidak hanya bergantung pada buku atau seseorang guru. Dimanapun berada, seseorang peserta didik harus memanfaatkan waktunya untuk belajar pada


(36)

lingkungannya. Dengan kata lain, belajar tidak cukup hanya dengan aktivitas formal, melainkan juga harus berlangsung dalam proses pergaulan yang saling menerima dan memberi.

Jadi, pemikiran Az-Zarnuji yang telah tertuang dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim ini dapat dijadikan pedoman dan bimbingan para peserta didik untuk mencapai ilmu yang bermanfaat dengan cara atau metode belajar dan etika yang dapat diamalkan secara konsisten.

B. Pemikiran Az-Zarnuji Tentang Akhlak Peserta Didik Terhadap Guru

Perhatian Az-Zarnuji terhadap eksistensi diri manusia lebih nampak ketika ia menghubungkan ilmu dengan etika kehidupan. Menurut Az-Zarnuji, ilmu sangat penting untuk bisa menumbuhkan akhlak yang terpuji sekaligus bisa menghindarkan dari akhlak tercela. Sejalan dengan kewajiban memelihara tingkah laku hidup, Az-Zarnuji menekankan untuk mempelajari ilmu akhlak sehingga bisa membedakan antara perilaku yang baik dan yang buruk, kemudian mengaplikasikannya secara tepat, merupakan kewajiban setiap pribadi Muslim.8

Akhlak sendiri merupakan sasaran pokok pendidikan Islam. Oleh karena itu, Islam menuntut seorang guru tidak hanya mengajar peserta didiknya, namun juga mendidik para peserta didiknya.

Secara definisi kata ”akhlak” berasal dari bahasa Arab, jamak dari kata “khuluqun” yang menurut bahasa berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku


(37)

atau tabiat.9 Sedangkan secara istilah beberapa ilmuwan memberikan

berbagai definisi yang berbeda-beda. Namun secara kesimpulan definisi akhlak memiliki pengertian kehendak jiwa yang menimbulkan perbuatan dengan mudah karena kebiasaan, tanpa memerlukan pertimbangan pikiran terlebih dahulu.10 Dengan demikian akhlak merupakan jiwa yang menetap

pada suatu perbuatan yang tidak perlu lagi memerlukan pemikiran atau pertimbangan untuk melakukan perbuatan itu.

Ada istilah lain yang lazim digunakan di samping kata akhlak ialah apa yang disebut Etika. Etika berasal dari bahasa Yunani “Ethos” yang berarti watak kesusilaan atau adat. Identik dengan perkataan moral yang berasal dari kata latin “Mos” yang dalam bentuk jamaknya “Mores” yang berarti juga adat atau cara hidup.11

Tentang individu peserta didik, Az-Zarnuji tidak banyak membahasnya dalam segi fitrahnya maupun perkembangannya, tetapi lebih cenderung membicarakan partner dalam studi. Pandangan tentang fitrah manusia cenderung kepada teori tabularasa, bahwa individu itu seperti kertas putih, pengaruh luarlah yang menghitam putihkan perkembangan. Az-Zarnuji juga memberikan gambaran tentang akhlak yang harus dimiliki oleh peserta didik, salah satu dari akhlak itu adalah hormat kepada guru dan kerabat guru.12

Penghormatan terhadap guru bertujuan untuk menjaga hubungan antara peserta didik dan guru. Karena hasil dan kemajuan belajar yang dicapai oleh

9 Mushtofa, Akhlak Tashawuf,Ibid., h. 11 10 Ibid., h. 14

11 Akmal Hawi, Kompetensi Guru, Ibid., h.49

12 Busyairi Madjidi, Konsep Pendidikan Para Filosof Muslim, (Yogyakarta: al-Amin


(38)

siswa ditentukan juga oleh bentuk hubungan antara peserta didik dan guru. Hubungan peserta didik dan guru menjadi syarat mutlak bukan hanya sebagai pembimbing dan yang dibimbing tetapi juga sebagai mitra belajar. Maka dari itu guru harus memahami peserta didik yang dibimbingnya dan sebaliknya peserta didik harus mengakui kewibawaan pembimbingnya.13 Bentuk

pengakuan kewibawaan tidak lain adalah dengan bentuk penghormatan dan memuliakan guru.

Pemikiran Az-Zarnuji mengenai kedudukan seorang guru bagi murid sangatlah agung, seperti kedudukan seorang hamba dan tuannya. Hal ini telah dipahami dengan olehnya mengutip perkataan sahabat Ali bin Abi Thalib di dalam kitabnya Az-Zarnuji yang berjudul Ta’lim al-Muta’allim, kutipan itu berbunyi: “sahabat Ali karramallahu wajhah berkata: saya adalah budak seseorang yang telah mengajarkanku ilmu meskipun hanya satu huruf....”.14

Para ahli pendidikan Islam juga sepakat dalam menetapkan prinsip dasar edukatif yang sangat penting, bahwa kedudukan kitab atau buku tidak dapat menggantikan posisi guru dalam pengajaran.15

Pemikiran Az-Zarnuji dalam memposisikan guru bagi peserta didik ini didukung oleh Ahmad Tafsir. Beliau berpendapat bahwa tingginya penghargaan guru itu adalah dengan menempatkan kedudukan guru setingkat

13 Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori Dan Praktek, (Bandung:

Remaja Rosdakarya, 1997), h. 196.

14 Az-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim, (Surabaya: al-Hidayah), h. 18.

15 Moch. Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam,(Yogyakarta: PT.


(39)

di bawah kedudukan Nabi dan Rasul karena guru selalu terkait dengan ilmu pengetahuan.16

Untuk memahami deskripsi akhlak seorang murid terhadap gurunya dalam konteks pemikiran Az-Zarnuji, menurut Awaluddin dalam tesisnya dapat dipahami dari pernyataannya yang mengandung tuntutan peserta didik untuk berlaku tertentu dalam berhubungan dengan guru. Tuntutan tersebut direkomendasikan dalam kontek pelaksanaan akhlak peserta didik untuk menghormati ilmu dan menjunjung tinggi nilai-nilai ilmu. Penghormatan dan penghargaan yang tertinggi terhadap martabat guru digambarkan secara ilmu dan menonjolkan nilai-nilai pentingnya.17

Berdasarkan pada tinjauan etika-etika sebagaimana dianjurkan oleh Az-Zarnuji, merupakan upaya pembiasaan bagi terbentuknya akhlak mulia peserta didik, sebab dengan memegang etika menjadikan peserta didik berakhlak dan beradab. Sehingga dengan keluhuran akhlak, harkat dan martabatnya terangkat. Melalui pembiasaan diri dengan melaksanakan etika, jiwa peserta didik akan selalu dibimbing dengan budi pekerti yang luhur. Oleh sebab itu, latihan jiwa sangat perlu sekali, guna memperteguh dan melatih diri peserta didik supaya mempunyai budi pekerti yang baik.18

Akhlak peserta didik terhadap guru dalam pemikiran Az-Zarnuji, menurut Maemonah, adalah mengindikasikan adanya nilai kepercayaan antara peserta

16 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan, Ibid., h. 76

17 Awaluddin Pimay, Konsep Pendidik Dalam Islam, (Studi Komparatif Atas Pandangan

al-Ghozali dan al-Zarnuji), (Semarang: Tesis Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo, 1999), h. 81

18 Fachrudin HS, Membentuk Moral Bimbingan Al-Qur'an, (Jakarta: Bima Aksara, 1985),


(40)

didik dan guru. Lebih lanjut Maemonah berpendapat bahwa nilai kepercayaan peserta didik terhadap guru seperti halnya kepercayaan seorang pasien terhadap dokter. Seorang guru lebih tahu disebabkan pengalaman yang lebih dibandingkan dengan peserta didik. Sedangkan seorang dokter memang memiliki keahlian dalam mendiagnosa untuk menyembuhkan berbagai penyakit dari pasien.

Di sini fungsi hubungan guru dan peserta didik sebagai hubungan antara dokter dengan pasien adalah adanya kepercayaan dan kepatuhan peserta didik terhadap guru dalam persoalan pendidikannya, dengan mengutamakan petunjuk dan nasehat sebagai kepentingan utama. Hubungan ini mengisyaratkan adanya penghormatan peserta didik terhadap ketinggian nilai ilmu yang dimiliki oleh guru.19

Pemikiran Az-Zarnuji dalam hal ini, selain mendapatkan apresiasi yang tinggi juga tidak dapat dipungkiri ada beberapa kritik dan saran yang diajukan kepada pemikirannya, mereka yang mengkritik pemikirannya berpendapat bahwa pemikiran Az-Zarnuji kurang menumbuhkan minat dan gairah belajar serta tidak memberikan ruang bagi perbedaan pendapat antara peserta didik dan guru karena menjaga akhlak terhadap guru. Dalam pemikiran Az-Zarnuji, sepertinya harus ikut kepada guru dan tidak boleh memberikan kritik kepadanya.20

19 Muchtar Affandi dalam Maemonah, Reward And Punishment Sebagai Metode

Pendidikan Anak Menurut Ulama' Klasik (Studi Pemikiran Ibnu Maskawaih, al-Ghozali, Dan Az-Zarnuji), (Semarang: Tesis Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo: 2001), h. 76-77.


(41)

Namun berbeda pendapat dengan itu, KH. M. Kholil Bisri memberikan pendapat bahwa “seseorang yang belum mengenal tradisi pesantren”, tentu melontarkan kritik tajam terhadap pemikiran Az-Zarnuji, terutama yang berkaitan dengan pemikiran Az-Zarnuji tentang akhlak peserta didik terhadap guru dengan menganggapnya penuh kontroversi dan berisikan teror sadis bagi para peserta didik yang menuntut ilmu. Menurut KH. M. Kholil Bisri, kemanfaatan ilmu yang diperoleh peserta didik itu didasari oleh 3 faktor, dan itu sudah termuat dalam pemikiran Az-Zarnuji, Pertama, mencari fadhol dari Allah SWT dengan berdo‟a. Kedua, Belajar sungguh-sungguh. Ketiga, menyadong pertularan. Faktor yang ketiga ini berdasarkan watak atau karakter dasar manusia yang cenderung “mencuri” watak atau karakter orang lain.21

Akhlak peserta didik terhadap guru sebenarnya memiliki maksud sebagai bentuk akhlak peserta didik terhadap suatu ilmu yang dimiliki oleh gurunya, serta sebagai akhlak yang harus dijaga antara pengajar ilmu dan yang diajarkan ilmu. Sebab, dalam ajaran agama Islam sangat menjunjung tinggi eksistensi ilmu sendiri.

Kehormatan dan kemuliaan seseorang juga dikarenakan oleh seberapa dalam dia memiliki ilmu. Bahkan Allah SWT mengangkat derajat seseorang menuju kedudukan yang sangat tinggi karena ilmunya. Jika dihubungkan, bahwasanya Allah sang Maha Pencipta telah memberikan penghormatan kepada hambanya yang berilmu, jika demikian, maka sudah sepatutnya bagi

21 Kholil Bisri, Konsep Pendidikan Dalam Kitab Ta’lim al-Muta’allim dan Relevansinya

Dengan Dunia Pendidikan Dewasa Ini, artikel diakses pada 27 April 2016 dari sumber http://www.hadibinmalich.heck.in/konsep-pendidikan-dalam-kitab-talim-muta.xhtml


(42)

peserta didik yang menimba ilmu untuk berakhlak yang mulia terhadap seorang guru yang mengajarakannya ilmu dengan memberikan penghormatan kepadanya serta menjaga hati seorang guru.

Penghormatan peserta didik terhadap guru tidak hanya diterapkan ketika masa Az-Zarnuji, namun sudah dilakukan oleh para malaikat-malaikat Allah dengan memberikan penghormatan kepada Nabi Adam AS karena ilmu yang dimiliki oleh Nabi Adam AS yang tidak dimiliki oleh para malaikat dan setelah Nabi Adam AS memberikan pengajaran ilmu kepada para malaikat itu.

Jika peserta didik terlalu memegang kreativitasnya dan melupakan penghormatan terhadap guru, itu akan menjadi boomerang bagi peserta didik tersebut. Sebab, peserta didik ibarat seseorang musafir yang berada di hutan dan hendak mencari bekal makanan guna perjalanannya kembali. Sedangkan posisi seorang guru adalah seorang yang telah berpengalaman dan mengetahui sebagian dari wilayah hutan tersebut. Jika musafir tersebut tidak menunjukkan penghormatan kepada orang berpengalaman tersebut, maka ia akan enggan untuk membimbing musafir tersebut mencari bekal makanan di hutan. Jika musafir mengandalkan instingnya, maka kemungkinan besar dia akan tersesat. Begitupun dengan peserta didik dan guru, jika seorang peserta didik mengandalkan kreativitasnya dan meninggalkan penghormatan bimbingan seorang guru, maka kemungkinan peserta didik tersebut akan salah pemahaman akan suatu ilmu atau ilmu yang dia peroleh tidak memiliki kemanfaatan.


(43)

Realita ketidak-manfaatan ilmu orang yang berilmu telah kita lihat di zaman modern ini. Kenyataannya banyak sekali orang yang berilmu, yang seharusnya dengan ilmu tersebut orang itu bisa menjaga dirinya agar tidak melakukan perbuatan yang keluar dari ajaran agama maupun norma-norma umum, tapi malah melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji yang keluar dari ajaran-ajaran agama serta norma-norma umum.

Oleh karena itu, peserta didik patut mempelajari dan menerapkan pemikiran dari Az-Zarnuji untuk menjadikan pedoman baginya selama menuntut dan menimba ilmu serta agar peserta didik bisa menghindari melakukan hal-hal yang bisa menimbulkan kurangnya kemanfaatan ilmu yang diperolehnya, terutama tentang pemikiran Az-Zarnuji mengenai akhlak peserta didik terhadap guru.


(44)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Perkembangan kemauan manusia menggunakan nalar sehat mereka banyak mendorong lahirnya ilmuwan-ilmuwan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Manusia akhirnya menyadari betapa luar biasanya kemampuan nalar kemampuan yang dimilikinya sehingga pada batas ekstrim negatif pada penggunaan nalar ini seorang Nietzche berani menyatakan Tuhan telah mati. Bagi penganut paham kebebasan, hal ini sah-sah saja karena tidak ada batas bagi manusia untuk menggunakan nalar atau akal yang dimilikinya. Karena hal itu harus ada kesepakatan penggunaan nalar dan ilmu pengetahuan. Karena ada batas ruang yang tidak mampu dicapai oleh nalar manusia.1

Perkembangan ilmu pengetahuan terjadi antara lain karena disebabkan

fitrah manusia sebagai makhluk yang memiliki rasa ingin tahu, mencari dan berpihak kepada kebenaran. Didukung oleh nalar manusia, manusia senantiasa menuntut untuk memperoleh pengetahuan baru secara sistematis. Upaya pencarian kebenaran dan pengetahuan baru manusia dilakukan dengan cara ilmiah dan non-ilmiah. Pencarian kebenaran ilmiah inilah yang disebut dengan penelitian.2

Oleh karena penelitian dilakukan manusia untuk memperoleh pengetahuan baru serta untuk memperoleh kebenaran serta pemecahan masalah dari teori

1Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial, (Jakarta: Erlangga, 2009), h. 3. 2Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Bandung: Remaja Rosdakarya,


(45)

yang sudah dipelajarinya. Penelitian yang dilakukan manusia tidaklah dilakukan dengan cara asal-asal tanpa sistematis yang dirancang. Dalam melakukan penelitian, langkah-langkah yang harus dilakukan ada beberapa macam dan harus dilalui secara bertahap untuk memperoleh hasil yang maksimal dari hasil penelitiannya dan memperoleh kebenaran darinya.

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh kebenaran pengetahuan yang bersifat ilmiah melalui prosedur yang telah ditentukan. Untuk mencapai kebenaran secara sistematis dengan menggunakan metode ilmiah diperlukan suatu desain atau rancangan penelitian.3 Jadi, penelitian pada hakikatnya adalah suatu kegiatan untuk memperoleh kebenaran mengenai suatu masalah dengan menggunakan metode ilmiah.4

Secara umum tujuan dari penelitian adalah untuk memperoleh pemecahan masalah dari kebenaran ilmu pengetahuan yang sudah ada atau untuk memperoleh ilmu pengetahuan baru. Namun, secara spesifik, tujuan penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut: 5

1. Mendeskripsikan fenomena 2. Menjelaskan hubungan

3. Meramalkan fenomena yang akan terjadi

3 Taufiqul Hakim, Amtsilati Program Pemula Kitab Kuning, (Jepara: Al-Falah Offset,

2004), h. 40-41.

4 Moh. Kasiram, Metodologi Penelitian, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), h. 4 5Ibid., h. 9.


(46)

4. Mengendalikan fenomena.

Dalam mencapai tujuan penelitian, penelitian juga memiliki banyak variasi jenis penelitian. Jenis penelitian dapat dikategorikan sebagai berikut: 6

1. Menurut penggunaan jenis penelitian: a) Penelitian Murni

b) Penelitian Terapan

2. Menurut pengukuran dan analisis data penelitian: a) Penelitian Kuantitatif

b) Penelitian Kualitatif

3. Menurut penggunaan sampel dan populasi: a) Penelitian Sensus

b) Penelitian Sampel

4. Menurut tingkat kedalaman analisis data: a) Penelitian Deskriptif

b) Penelitian Eksplanation (analisis hubungan antar variabel) 5. Menurut desain (rancangan) penelitian yang digunakan:

a) Desain Deskriptif b) Desain Historis c) Desain Korelasi d) Desain Studi Kasus

e) Desain Pengembangan

f) Desain Eksperimen

6Ibid., h. 10-11.


(47)

g) Desain Tindakan

6. Menurut intensitas penelitian: a) Riset

b) Survey 7. Menurut tempat:

a) Library Research

b) Field Research

c) Laboratorium

8. Menurut bidang yang diteliti:

Jenis penelitian sebanyak bidang yang disebut: ekonomi, pendidikan, teknik, perdagangan, politik, dan sebagainya.

Dalam tulisan skripsi ini, peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif, yaitu suatu metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.7

Sementara itu, dilihat dari teknik penyajian datanya, penelitian menggunakan pola deskriptif. Yang dimaksud pola deskriptif menurut Best sebagaimana dikutip oleh Sukardi, adalah:

“Metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya”.8

7 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung,: Remaja Rosdakarya,

2004), h. 9

8 Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan: Kompetensi dan Prakteknya,(Jakarta: PT.


(48)

Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa metode penelitian kualitatif dengan pola deskriptif yang dilakukan bermaksud menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek atau subjek yang diteliti secara tepat.

Peneliti disini bertindak sebagai pengamat, peneliti hanya membuat kategori perilaku, mengamati gejala, dan mencatat dalam buku observasinya. Peneliti tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi.9

Karena demikian, Penelitian yang berjudul “implementasi pemikiran Imam Az-Zarnuji tentang akhlak peserta didik terhadap pendidiknya di MA Tarbiyatut Tholabah Kranji Paciran Lamongan ini termasuk kategori penelitian deskriptif kualitatif.

B. Jenis dan Sumber Data 1. Jenis Data

Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Data kualitatif yaitu data yang tidak berupa angka-angka,10 melainkan diuraikan dalam bentuk kalimat.11 Adapun data kualitatif meliputi:

1) Data tentang gambaran umum mengenai objek penelitian 2) Data lain yang tidak berupa angka.

9Jalaludin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung : PT.Remaja Rosdakarya,

2004), h. 4.

10 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1987), h.

66.

11 Burhan Bungin, Metode Penelitian Sosial-Format-Format Kuantitatif dan Kualitatif, (Surabaya: Airlangga University Press, 2001), h.124.


(49)

2. Sumber Data

Menurut Suharsmi Arikunto mengemukakan bahwa Sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh.12 Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua macam, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder.

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber asli (tidak memakai perantara), data primer secara khusus dikumpulkan oleh peneliti untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan peneliti.13

Dalam hal ini data primer yang digunakan menjadi data primer dalam penelitian adalah:

a) Pemikiran pendidikan Islam, yang ditulis Abu Muhammad Iqbal, diterbitkan di Yogyakarta, penerbit pustaka belajar, cetakan pertama, pada bulan Februari tahun 2015.

b) Ta’lim al-muta’allim, al-Hidayah, Surabaya.

c) Syarkhu ta’lim al-muta’allim, al-Haramain, Surabaya, cetakan pertama pada bulan Januari tahun 2006.

d) Kuliah akhlak tasawuf, yang ditulis oleh Mahjuddin, diterbitkan di Jakarta, penerbit Kalam Mulia, cetakan ketiga pada bulan Agustus tahun 1999.

12 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta : Rineka

Cipta, 2006), h. 129.

13 Nur Indriantoro dan Bambang Supomo, Metodologi Penelitian Bisnis untuk Akuntansi


(50)

e) Ilmu pendidikan Islam, yang ditulis oleh Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, diterbitkan di Jakarta oleh penerbit Kencana, cetakan keempat, pada bulan Februari tahun 2014.

f) Filsafat pendidikan Islam, yang ditulis oleh Ahmad Tafsir, diterbitkan di Bandung, penerbit PT Remaja Rosdakarya, cetakan kelima pada bulan September tahun 2012.

g) Pendidikan moral dan budi pekerti dalam perspektif perubahan, yang ditulis oleh Nurul Zuriah, diterbitkan di Jakarta, penerbit Bumi Aksara, cetakan ketiga pada bulan September tahun 2011.

h) Etika dan moralitas pendidikan, yang ditulis oleh Syaiful Sagala, diterbitkan di Jakarta oleh penerbit Kencana, cetakan pertama pada bulan November pada tahun 2013.

i) Metodologi penelitian kualitatif, yang ditulis oleh Lexy J Moleong, diterbitkan di Bandung oleh penerbit PT Remaja Rosdakarya, cetakan ketujuh belas, pada bulan September tahun 2002.

j) Buku pribadi siswa, diterbitkan oleh MA Tarbiyatut Tholabah Kranji Paciran Lamongan, cetakan kedua pada tahun 2014.

b. Data Sekunder

Data Sekunder adalah data yang diperoleh oleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara. Data sekunder disini diperoleh oleh peneliti dari literatur-literatur, kepustakaan dan sumber-sumber tertulis lainnya. Sugiyono berpendapat bahwa sumber sekunder adalah Sumber yang


(51)

tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau dokumen.14

Dalam penelitian ini sumber data sekunder yang digunakan adalah Kaifa

Nurobbi Abnaa’ana yang ditulis Moch. Ishom Achmadi, ilmu pendidikan Islam karya Sri Minarti, dan Asas-asas pendidikan Islam karya Hasan Langgulung, dan buku-buku serta referensi-referensi lain yang masih berkaitan.

C. Kehadiran Peneliti

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yaitu penelitian yagng bermaksud untuk mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan sekarang, dan interaksi suatu sosial, individu, kelompok, lembaga, dan masyarakat.15

Dalam penelitian kualitatif, kehadiran peneliti bertindak sebagai instrumen

sekaligus pengumpul data. Kehadiran peneliti mutlak diperlukan, karena di samping itu kehadiran peneliti juga sebagai pengumpul data. Sebagaimana salah satu ciri penelitian kualitatif dalam hal mengumpulkan data dilakukan sendiri oleh peneliti. Sedangkan kehadiran peneliti dalam penelitian ini sebagai pengamat partisipan/berperan serta, artinya dalam proses pengumpulan data peneliti mengadakan pengamatan dan mendengarkan secermat mungkin sampai pada yang sekecil-kecilnya sekalipun.16

14 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2010), h. 193.

15 Husaini Usman, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 5. 16 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Ibid., h. 117.


(52)

Peneliti hadir langsung dalam rangka menghimpun data, peneliti menemui secara langsung pihak-pihak yang mungkin bisa memberikan informasi atau data seperti halnya Kepala Sekolah, guru BP, guru-guru yang memegang mata pelajaran agama dan beberapa siswa MA Tarbiyatut Tholabah Kranji Paciran Lamongan sebagai sampel untuk keadaan siswa dan peraturan yang berlaku di sekolah. Dalam melakukan penelitian peneliti bertindak sebagai pengamat penuh dan keadaan atau status peneliti diketahui oleh informan.

Kesimpulannya, kehadiran peneliti di sini yaitu sebagai pengamat total, dalam artian peneliti masuk ke suatu tempat atau kelompok tertentu dan

melakukan pengamatan sebagai seorang peneliti. Peneliti melihat dan

mengamati tetapi tidak mencoba untuk memberi pengaruh apapun atau pun melibatkan dirinya dalam kelompok yang diamati. Peneliti hanya sekedar mengamati dan mencatat atau mengambil data untuk keperluan penelitiannya.17

D. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data

Untuk menggali data yang ada, peneliti menggunakan beberapa metode pengambilan data, yaitu:

1. Metode observasi

Observasi merupakan metode atau cara-cara menganalisis dan mengadakan pencatatan secara sistematis mengenai tingkah laku dengan


(53)

melihat atau mengamati individu atau kelompok secara langsung.18 Atas dasar pengertian di atas dapat dipahami bahwa observasi merupakan salah satu metode pengumpulan data di mana peneliti melihat, mengamati secara visual sehingga validitas data sangat tergantung pada kemampuan observer.

Observasi sebagai teknik pengumpulan data yang mempunyai ciri yang spesifik bila dibandingkan dengan teknik yang lain yaitu wawancara dan kuisioner.19 Sutrisno Hadi mengemukakan bahwa observasi merupakan proses yang komplek, suatu proses yang tersusun dari berbagai proses biologis dan psikologis. Dua diantara yang terpenting adalah pengamatan dan ingatan.

Teknik pengumpulan data dengan observasi digunakan bila penelitian berkenaan dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam dan bila responden tidak terlalu besar. Peneliti menggunakan metode observasi untuk mencari data mengenai implementasi pemikiran Imam Az-Zarnuji tentang akhlak peserta didik terhadap gurunya di MA Tarbiyatut Tholabah Kranji Paciran Lamongan.

Sedangkan jenis observasi yang dipakai oleh peneliti adalah observasi non-partisipatif, jadi peneliti dalam melakukan kegiatan observasi tidak melibatkan diri ke dalam observe hanya pengamatan dilakukan secara sepintas pada saat tertentu kegiatan observenya.20

2. Metode Dokumentasi

18 Gorys Keraf, Komposisi Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa, (Ende: Nusa Indah,

1980), h 162. Lihat juga Husami Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 54.

19 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan,Ibid h.120.


(54)

Dokumentasi adalah pengumpulan melalui peninggalan tertulis, seperti arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori dalil-dalil atau hukum-hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian.21

Pemeriksaan Dokumentasi (Studi dokumen) dilakukan dengan penelitian bahan dokumentasi yang ada dan mempunyai relevansi dengan tujuan penelitian.22 Jadi metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal variabel yang berupa catatan, transkip, buku, agenda dan sebagainya. Yang diamati bukan benda hidup tetapi benda mati.

Penggunaan dokumen ini adalah untuk mendukung dan menambah bukti dari sumber-sumber lain. Pertama, dokumen membantu menverikasikan ejaan dan judul atau nama yang benar dari organisasi-organisasi yang telah disinggung dalam wawancara. Kedua, dokumen dapat menambah rincian spesifik lainnya guna mendukung informasi dari sumber-sumber lain. jika bukti dokumenter bertentangan dan bukannya mendukung peneliti mempunyai alasan untuk meneliti lebih jauh topik yang bersangkutan. Ketiga, inferensi dapat dibuat dari dokumen-dokumen, sebagai contoh, dengan mengobservasi pola tembusan karbon dari dokumen tertentu, seseorang peneliti dapat mulai mengajukan pertanyaan baru tentang komunikasi dan jaringan kerja suatu organisasi. Namun, inferensi-inferensi ini harus diberlakukan hanya sebagai rambu-rambu bagi penelitian selanjutnya dan

21 Margono, Metode Penelitian Pendidikan, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1997), h. 181. 22 Anas Sudijono, Pengatar Statistik Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

2008), h 30. Lihat juga Nana Syaodih Sukmadinata, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), h. 221.


(1)

dilaksanakan dalam wujud tata tertib sekolah yang terdiri dari peraturan tertulis tentang keharusan seluruh peserta didik untuk taat, hormat, sopan, dan menghargai seorang guru. Selain peraturan tertulis, tata tertib madrasah juga terdiri dari larangan tertulis yang melarang peserta didiknya untuk bertindak tidak sopan kepada guru serta tidak menghargai atau tidak menghormati seorang guru.

B. Saran

Setelah menyelesaikan karya tulis ini, penulis mencoba memberikan saran yang diharapkan oleh penulis dapat berguna atau bermanfaat bagi seluruh pembaca dan pihak yang berkaitan dengan karya tulis ini terlebih lagi bagi warga MA Tarbiyatut Tholabah Kranji Paciran Lamongan. Saran-saran dari penulis adalah sebagai berikut:

1. Peserta didik haruslah sadar akan pentingnya menjaga akhlak terhadap guru. Karena ridho dari seorang guru sangat mempengaruhi kemanfaatan ilmu yang diperolehnya.

2. Seorang guru haruslah memberikan contoh akhlak yang baik kepada peserta didiknya. Karena seorang guru sebelum menata akhlak peserta didiknya seharusnya menjaga akhlak sendiri terlebih dahulu dan bertata karma yang baik kepada sesama guru agar dicontoh langsung oleh peserta didik.

3. MA Tarbiyatut Tholabah Kranji Paciran Lamongan Seharusnya lebih mengedepankan nilai-nilai pendidikan dan pengajaran akhlak peserta


(2)

117

didiknya serta tidak terlalu terpaku pada kelulusan peserta didiknya dalam menghadapi ujian akhir negara (UN) karena menyebabkan para peserta didiknya tidak begitu mementingkan pendidikan dan pengajaran akhlaknya. Mereka beranggapan bahwa lulus ujian akhir negara adalah target mati dalam program pendidikan mereka selama di MA Tarbiyatut Tholabah Kranji Paciran Lamongan.

C. Kata Penutup

Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan kasih sayang-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar tanpa ada halangan yang berarti. Namun walaupun demikian penulis menyadari bahwa manusia merupakan tempat lupa dan salah, sehingga dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini kemungkinan banyak kekurangannya. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca mengenai penulisan dan penyusunan skripsi ini.

Semoga skripsi yang ditulis dan disusun oleh penulis ini bermanfaat bagi para pembaca, khususnya bagi para guru dan peserta didik di sekolah ber-basic agama maupun di sekolah negeri. Amin.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Moch Ishom. 2009. Kaifa Nurobbi Abna’ana. Yogyakarta: SJ Press. Affandi, Muchtar. 2001. Reward And Punishment Sebagai Metode Pendidikan Anak Menurut Ulama' Klasik. Semarang: Tesis Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo.

Arifin, Muzayyin. 2008. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.

Jakarta: Rineka Cipta.

Az-Zarnuji. Ta’lim al-Muta’allim. Surabaya: al-Hidayah.

Bisri, Kholil. 2012. Konsep Pendidikan Dalam Kitab Ta’lim al-Muta’allim dan Relevansinya Dengan Dunia Pendidikan Dewasa Ini,

http://www.hadibinmalich.heck.in/konsep-pendidikan-dalam-kitab-talim-diakses pada 27 April 2016.

muta.xhtml,

Black, J.A. dan Dean J. Champion. 1999. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. Trans. E, Koeswara, dkk. Bandung: Refika Aditama.

Bungin, Burhan. 2001. Metode Penelitian Sosial-Format-Format Kuantitatif dan Kualitatif. Surabaya: Airlangga University Press. --. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Daradjat, Zakiah. 2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. Edi, Toto, Dkk. 2007. Ensiklopedi Kitab Kuning. Jakarta: Aulia Press.

Fachrudin. 1985. Membentuk Moral Bimbingan Al-Qur'an. Jakarta: Bima Aksara. Fajar al-Qalami, Abu. 2003. Terjemah Ringkasan Ihya’ Ulumuddin. Surabaya:

Gitamedia Press.


(4)

119

Hakim, S.A. Dkk. 1995. Islam Berbagai Perspektif, Didedikasikan Untuk 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sadzali MA. Yogyakarta: LPMI.

Hakim, Taufiqul. 2004. Amtsilati Program Pemula Kitab Kuning. Jepara: Al Falah Offset.

Hawi, Akmal. 2013. Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Ibrahim. t.th. Syarah Ta’lim al-Muta’allim. Indonesia: Karya Insan.

Idrus, Muhammad. 2009. Metode Penelitian Ilmu Sosial. Jakarta: Erlangga. Indriantoro, Nur, dan Bambang Supomo. 2002. Metodologi Penelitian Bisnis

untuk Akuntansi dan. Manajemen. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta. Iqbal, A.M. 2015. Pemikiran Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ja’cub, Hamzah. 1978. Etika Islam. Jakarta: Publicita.

Kasiram, M. 2010. Metodologi Penelitian. Malang: UIN Maliki Press. Keraf, Gorys. 1980. Komposisi Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa. Ende:

Nusa Indah.

Kuntjara, Eshter. 2006. Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Madjidi, Busyairi. 1997. Konsep Pendidikan Para Filosof Muslim. Yogyakarta:

al-Amin Press.

Mahali, A.M. 1984. Pembinaan Moral Di Mata Al-Ghozal. Yogyakarta: BPFE. Margono. 1997. Metode Penelitian Pendidikan. Jakarta : PT Rineka Cipta. Minarti, Sri. 2013. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah.

Moleong, L.J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung,: Remaja Rosdakarya.


(5)

Nata, Abuddin. 2001. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam). Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Nawawi, Hadari. 1996. Penelitian Terapan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pimay, Awaluddin. 1999. Konsep Pendidik Dalam Islam. Semarang: Tesis Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo.

Prayitno, Dkk. 2004. Pedoman Khusus Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Depdiknas.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Rahmaniyah, Istighfarotul. 2010. Pendidikan Etika. Malang: Aditya Media Rakhmat, Jalaludin. 2004. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung : PT.Remaja

`Rosdakarya.

Ridla, M.J. 2002. Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.

Said, I.G. 1997. Ta’limul Muta’allim Thariqut Ta’allim. Surabaya: Diyantama. Sardiman, A.M. 1996. Interaksi dan Motivasi Belajar dan Mengajar. Jakarta:

Rajawali.

Subagyo, P.J. 2004. Metode Penelitian. Jakarta: Rineka Tirta.

Subrata B, Suryo. 1983. Beberapa Aspek Dasar Kependidikan. Jakarta: Bina Aksara.

Sudijono, Anas. 2008. Pengatar Statistik Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.


(6)

121

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif,

Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.--. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta : CV Alfabeta.

Sujono, dan H. Abdurrahman. 2005. Metode Penelitian (Suatu Pemikiran Dan Penerapan). Jakarta: Rineka Cipta.

Sukardi. 2009. Metodologi Penelitian Pendidikan: Kompetensi dan Prakteknya. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Sukmadinata, N.S. 1997. Pengembangan Kurikulum Teori Dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Suprayogo, Imam. 2001. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Suwito dan Fauzan. 2008. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. Suyanto. 2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.

Tafsir, Ahmad. 2011. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Usman, Husaini. 1996. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara. Wirartha, I Made. 2006. Metodologi Penelitian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: CV

Andi Offset.

Yin, Robert K. 2006. Studi Kasus Desain Dan Metode. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Zainuddin, A. dan Muhammad Jamhari. 1999. Al-Islam 2: Mu'amalah dan Akhlak. Bandung: CV Pustaka Setia.