Peran elite agama dalam pembentukan pola kehidupan keagamaan masyarakat Desa Kranji Paciran Lamongan.

(1)

PERAN ELITE AGAMA DALAM PEMBENTUKAN POLA

KEHIDUPAN KEAGAMAAN MASYARAKAT DESA

KRANJI PACIRAN LAMONGAN

Skripsi:

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

FATIMATUZ ZAHRO NIM: E02213008

PROGRAM STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA 2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Peran elite agama dalam pembentukan pola kehidupan keagamaan masyarakat desa Kranji Paciran Lamongan merupakan judul dari skripsi ini. Kajian ini bertolak dari harmoni sosial keagamaan yang terjadi pada masyarakat desa Kranji Paciran Lamongan. Di desa ini pula hidup dua organisasi keagamaan yang pengaruhnya cukup besar dalam kehidupan masyarakat, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Pola kehidupan keagamaan semacam ini tentu menjadi dambaan setiap umat beragama. Dimana, masing-masing kelompok tetap berpegang teguh pada pemahaman keagamaan yang dianutnya. Sementara di sisi lain, ada semangat kebersamaan yang senantiasa terjalin demi kesejahteraan bersama. Sehubungan dengan itu, kajian ini bertujuan mendeteksi keberadaan elite agama dan peranannya di tengah masyarakat. Selain itu, juga mendeteksi sejauh mana pengaruh peran elite agama terhadap pola kehidupan keagamaan masyarakat yang harmonis itu. Kajian ini didasarkan pada hasil penelitian lapangan dengan jenis penelitian kualitatif dan menggunakan pendekatan sosiologi. Didukung teori actor dalam sistem sosial Talcott Parsons. Sementara hasil dari penelitian ini, penulis menemukan data di lapangan bahwa elite agama di desa Kranji memegang otoritas penuh dalam kehidupan keagamaan maupun sosial masyarakat. Dalam posisinya ini, elite agama di desa Kranji menjalankan berbagai peranan, yakni sebagai penasihat, sebagai penengah, penentu kebijakan, pemelihara dan pengawas kebijakan, pelindung masyarakat, pencipta keadilan serta sebagai penyelamat. Adapun terkait dengan dampak peran yang dijalankannya dalam pembentukan pola kehidupan keagamaan masyarakat, penulis menemukan bahwa elite agama di desa Kranji mampu mengkonstruksi masyarakat. Sehingga terbentuk bangunan masyarakat pluralis dan bebas konflik.


(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL ………... i

ABSTRAK ……… ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ……….. iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ………... iv

PERNYATAAN KEASLIAN ……….. v

MOTTO ………. vi

DAFTAR TRANSLITERASI ……….. vii

KATA PENGANTAR ……….. ix

DAFTAR ISI ……….. xii

BAB I PENDAHULUAN ………. 1

A. LatarBelakang Masalah ……… 1

B. Rumusan Masalah ………. 7

C. Batasan Masalah……… 7

D. Penegasan Judul ………. 8

E. Alasan Memilih Judul……… 9

F. Tujuan Penelitian ………... 10

G. Manfaat Penelitian ………. 10

H. Telaah Pustaka ………... 11

I. Kerangka Teori……….. 13

J. Metode Penelitian ……….. 15

K. SistematikaPembahasan ……… 22

BAB II KONSEP KEAGAMAAN DAN ELITE AGAMA…… 24


(8)

1. Definisi Keagamaan ……… 24

2. PolaKeagamaan ………. 26

B. Elite Agama……….. 32

1. Definisi Elite Agama ……….. 32

2. Peranan Elite Agama……….. 37

C. TeoriSocial ActionTalcott Parsons ………. 40

BAB III GAMBARAN UMUM KEBERADAAN ELITE AGAMA DAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN MASYARAKAT DESAKRANJI ……… 44

A. DeskripsiWilayah Desa Kranji ……… 44

1. Letak Geografis ……….. 44

2. Demografis………. 45

3. Perekonomian ………. 48

4. Lembaga Pemerintahan Desa ………. 50

5. Keadaan Sosial Politik ……… 51

B. Kehidupan Keagamaan Masyarakat Desa Kranji ……. 53

1. Sejarah Perkembangan NU dan Muhammadiyah di Desa Kranji Tahun 1945-2016……… 53

2. Aktivitas Keagamaan Masyarakat……….. 57

C. Elite Agama di Desa Kranji ……….. 61

1. Profil Elite Agama ……….. 62

2. Peranan Elite Agama dalam Masyarakat ………… 72

BAB IV ANALISIS PERAN ELITE AGAMA DALAM PEMBENTUKAN POLA KEHIDUPAN KEAGAMAAN MASYARAKAT DESA KRANJI ……….. 79

A. Elite Agama sebagai Pimpinan dan Anutan Masyarakat ………... 79


(9)

B. Elite Agama danPembentukan Pola Keagamaan …… 86

BAB V PENUTUP ……… 94

A. Kesimpulan ……….. 94

B. Saran ……… 95

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan manusi. Agama merupakan kebutuhan ideal umat manusia. Sekalipun bagi masyarakat yang tidak memiliki komitmen dan pemahaman keagamaan menganggap bahwa agama bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan kehidupan mereka. Namun, bagi masyarakat yang memiliki komitmen terhadap agama, maka agama memiliki peran penting dalam tatanan sosial.

Hal senada juga diungkapkan Emile Durkheim sebagaimana dikutip oleh Bryan S. Turner, “agama merupakan kontrol terhadap manusia dengan cara menetapkan aturan-aturan yang pada akhirnya akan menciptakan keteraturan perekatan hubungan sosial.”1

Dalam perspektif sosiologi, agama dipandang sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam perilaku sosial tertentu. Berkaitan dengan pengalaman manusia, baik sebagai individu maupun kelompok. Oleh karena itu, setiap perilaku yang diperankan akan terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran agama yang dianut. Perilaku individu dan sosial digerakkan oleh kekuatan dari dalam yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran agama yang menginternalisasi sebelumnya. Manusia, masyarakat dan 1


(11)

2

kebudayaan berhubungan secara dialektik. Ketiganya berdampingan dan berhimpit saling menciptakan dan meniadakan.2

Bangsa Indonesia khususnya, adalah bangsa yang mempunyai keanekaragaman agama, aliran kepercayaan, bahasa, adat istiadat serta pemahaman keagamaan yang berbeda-beda. Namun bukan berarti perbedaan tersebut dapat dijadikan sebagai alasan pembenar untuk bermusuhan satu sama lain. Agama Islam adalah agama yang mengajarkan pada pemeluknya untuk menyebarkan benih perdamaian, keamanan dan keselamatan untuk diri sendiri, sesama manusia dan kepada lingkungan sekitarnya sehingga dapat menciptakan suasana yang rukun. Kerukunan berarti satu kesatuan yang terdiri atas berbagai unsur yang berlainan, dimana setiap unsur tersebut saling menguatkan. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat Ali-Imrān (3) ayat 103:

ا َو

ْﻋ

ِﷲ ِﻞ ْﺒَﺤ ِﺑ ا ْﻮُﻤ ِ

ﺼ َﺘ

ا َﻦ ِﻣ ٍة َﺮ ْﻔُﺣ ﺎَﻔَﺷ

َﻓ ِرﺎﱠﻨﻟ

ْﻢُﻛ َﺬ َﻘْﻧَﺄ

Artinya:

Dan berpeganglah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.3

2

Dadang Kahmad,Sosiologi Agama(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), 121.

3

Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 2 (Jakarta: Widya Cahaya, 2011), 13.


(12)

3

Kerukunan sebagaimana konsep tersebut di atas dapat ditemukan di desa Kranji yang terletak di kecamatan Paciran kabupaten Lamongan. Di desa ini, dua kelompok besar yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah hidup berdampingan dalam satu tempat. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah merupakan dua organisasi Islam terbesar yang hidup di Indonesia. Pengaruh dari kedua organisasi ini sangat terasa di tengah masyarakat. Meskipun berbeda masanya, sampai sekarang kedua organisasi keagamaan ini tetap menjadi “tempat bernaung” orang-orang Islam yang ingin terlibat dalam sosial keagamaan sebagai bagian tak terpisahkan dari seluruh aktivitas keagamaan.

Nahdlatul Ulama didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926. Kelahiran NU pada dasarnya merupakan muara perjalanan panjang sejumlah ulama pesantren di awal abad ke-20 yang berusaha mengorganisir diri dan berjuang demi melestarikan budaya keagamaan kaum muslim tradisional, di samping kesadaran untuk ikut mengobarkan semangat nasionalisme. Nahdlatul Ulama menganut Ahlussunnah wal Jamā’ah, yang merujuk pada al-Qur’an, sunnah Nabi Muhammad saw. dan Khulafa’ur Rasyidin yang secara teoritis dan faktual banyak terkait dengan konsep teologis Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Hasan al-Maturidi serta empat madzhab dalam fiqih Islam.4

Sementara itu, Muhammadiyah adalah gerakan Islam dan dakwah

amar ma’ruf nahi munkar berakidah Islam dan bersumber pada al-Qur’an dan

4

Rudi Subiantoro,Profil Lembaga Sosial Keagamaan di Indonesia(Jakarta: Departemen RI, 2002), 6-7.


(13)

4

sunnah. Kata Muhammadiyah berasal dari kata Muhammad saw. yang diberi tambahan ya’ nisbah dan ta’ marbuthah. Artinya bahwa Muhammadiyah merupakan organisasi yang mengikuti jejak perjuangan Nabi Muhammad saw. Muhammadiyah merupakan sebuah organisasi keagamaan yang didirikan untuk menjawab tantangan zaman berkaitan dengan situasi modern di Indonesia. Organisasi ini didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912.5

Sejak kelahiran kedua organisasi keagamaan ini, hal yang sering menjadi perdebatan adalah masalah khilafiyah, yaitu perbedaan faham yang berkaitan dengan masalah bid’ah. Adapun selama ini yang senantiasa dipersoalkan adalah perbedaan cara beribadah. Masing-masing pengikut satu organisasi merasa ajarannya lah yang benar. Kefanatikan inilah yang menjadi boomerang. Orang yang sangat fanatik dengan organisasinya terkadang menjadi tidak realistik dalam menerima ajaran. Pengikut yang fanatik menganggap orang lain yang tidak sealiran adalah musuh dan memandang organisasinya sebagai agama yang benar, sementara yang lain salah.

Berbeda halnya dengan NU dan Muhammadiyah di desa Kranji. Dalam perjalanannya, tidak pernah ada catatan konflik yang terjadi akibat gesekan pemahaman antara kedua pihak. Kerukunan antara NU dan Muhammadiyah cukup terlihat jelas di desa ini. Masyarakat mempunyai toleransi yang tinggi dalam menghormati perbedaan ajaran yang ada. Misalnya, masalah doa qunut waktu shalat shubuh atau jumlah rakaat shalat

5

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942(Jakarta: LP3ES, 1985), 84.


(14)

5

tarawih. Masyarakat desa Kranji yang mayoritas adalah NU tidak akan mencela orang Muhammadiyah yang tidak menggunakan doa qunut atau hanya mengerjakan shalat tarawih sebanyak delapan rakaat. Mereka tetap menghargai masing-masing dan tidak mempermasalahkan apakah itu orang NU atau orang Muhammadiyah, tetapi yang penting adalah satu yaitu Islam.6

Dari hal yang sederhana, misalnya dalam kegiatan gotong royong, baik pada saat pembangunan masjid desa Kranji “Baitur Rahman” pada tahun 1919 maupun saat pembugaran masjid yang sampai tahun 2017 awal ini masih dilaksanakan. Dua kelompok besar tersebut membaur dan secara bergiliran menyumbangkan, baik materi maupun tenaganya untuk membangun masjid sesuai dengan pembagian masing-masing RT yang ada di desa Kranji.7

Kenyataan yang demikian sejalan dengan konsep pluralisme sebagaimana gagasan Diana L. Eck, yakni:

1) Pluralisme bukan sekadar perbedaan, melainkan adanya keterlibatan dengan keragaman tersebut; 2) Pluralisme bukanlah pemberian, melainkan adalah sebuah prestasi; 3) Pluralisme bukanlah relativisme, melainkan adalah perjumpaan dari komitmen; dan 4) Pluralisme juga menekankan pentingnya dialog yang harus dilakukan secara tulus sehingga menghadirkan komitmen untuk sharing, saling mengkritik dan kesediaan untuk dikritik. Dialog tidak berarti pula bahwa setiap orang yang ada di “meja” harus sepakat terhadap suatu argumentasi. Karena yang dicari dalam dialog itu bisa jadi kesepakatan, bisa juga memahami perbedaan. Dan pluralisme itu sendiri didasarkan pada

komitmen dalam “satu meja”.8

Untuk mencapai dan menjaga keutuhan kerukunan tersebut tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh tangan-tangan tangguh yang

6

Husnul Wafiq,Wawancara, Kranji, 10 April 2017.

7

Ibid.

8

Diana L. Eck, “What is Pluralism?”,

http://pluralism.org/pluralism/what_is_pluralism.php (Minggu, 18 Desember 2016, 12.53).


(15)

6

mampu menguasai kehidupan keagamaan masyarakat setempat sehingga tercipta kerukunan yang senantiasa terjaga. Dalam hal ini, peran seorang elite agama merupakan faktor yang krusial. Elite agama memegang peranan penting sebagai penentu kebijakan serta panutan masyarakat dalam kehidupan keagamaan. Dalam gagasan Suzanne Keller, “Elite secara umum merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan-kedudukan khusus. Elite juga ditunjukkan oleh sekelompok orang terkemuka dalam bidang-bidang tertentu yang memegang otoritas serta lingkungan dimana kekuasaan itu diambil.”9

Pentingnya peran elite agama dalam pembentukan corak keagamaan, maka melakukan penelitian terhadap elite agama menjadi signifikan mengingat dari sisi kesejarahan mereka telah memiliki kontribusi yang besar dalam pengembangan Islam, terlebih di desa Kranji. Di samping itu, banyak orang telah melihat aktivitas elite agama sepanjang sejarah, namun belum ada yang menulis tentang peran yang dilakukan dalam pengembangan sosial keagamaan di desa Kranji. Padahal, tindakan dan pengaruh mereka cukup signifikan, terlebih mereka juga menjadi contoh dan menginspirasi orang Islam dari sisi intelektualitasnya, ide-idenya serta perjuangannya dalam menegakkan ajaran agama.

Berangkat dari hal tersebut di atas, penelitian ini dilakukan guna mengetahui lebih dalam tentang peran elite agama dalam membentuk pola kehidupan keagamaan masyarakat desa Kranji yang harmonis. Peneliti berharap dari penelitian ini akan memberikan hasil yang dapat dijadikan acuan

9

Suzanne Keller, Penguasa dan Kelompok Elite: Peranan Elite Penentu dalam Masyarakat Modern, terj. Zahara D. Noer (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), 3.


(16)

7

guna membangun kerukunan antar umat beragama pada umumnya. Dari uraian penjelasan latar belakang di atas, peneliti merumuskan judul, yakni “Peran Elite Agama dalam Pembentukan Pola Kehidupan Keagamaan Masyarakat Desa Kranji Paciran Lamongan”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uaraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang penulis angkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana peran elite agama di desa Kranji?

2. Bagaimana dampak peran elite agama terhadap pola kehidupan keagamaan masyarakat desa Kranji?

C. Batasan Masalah

Dalam penelitian terkait peran elite agama dalam pembentukan pola kehidupan keagamaan masyarakat ini, agar tidak terjadi pembahasan yang meluas dan tidak sesuai sasaran, maka penulis membatasinya. Adapun batasan masalah yang penulis maksud adalah penulis meneliti elite agama di desa Kranji beserta peranannya. Dari peranan elite agama tersebut penulis meneliti dampaknya dalam pembentukan pola kehidupan keagamaan masyarakat desa Kranji. Dalam hal kehidupan keagamaan masyarakat, peneliti menjelaskan sejarah perkembangan organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah di desa Kranji serta aktivitas keagamaan yang erat kaitannya dengan keberadaan elite agama. Penulis mengambil lokasi penelitian di dusun


(17)

8

Kranji yang merupakan sentral Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah di desa Kranji Paciran Lamongan.

D. Penegasan Judul

Untuk memudahkan para pembaca dalam memahami judul skripsi ini, yaitu “Peran Elite Agama dalam Pembentukan Pola Kehidupan Keagamaan Masyarakat Desa Kranji Paciran Lamongan”. Maka, penulis perlu merumuskan atau mendefinisikan beberapa istilah yang terdapat dalam judul tersebut. Adapun istilah-istilah dari judul diatas dapat diuraikan sebagai berikut:

Peran; yang dimaksud oleh penulis mencerminkan posisi seseorang dalam sistem sosial dengan hak dan kewajiban, kekuasaan dan tanggung jawab yang menyertainya.10

Elite agama; merujuk pada sekelompok kecil orang yang berkuasa. Kelompok kecil ini biasanya dianggap sebagai pemberi legitimasi dan menjadi panutan sikap dan acuan tindakan.11Dengan demikian, yang dimaksud dengan elite agama dalam hal ini adalah orang-orang yang dianggap sebagai pemberi legitimasi dan menjadi panutan sikap serta acuan tindakan dalam beragama.

Pola keagamaan; pola merujuk pada bentuk atau model.12 Sementara keagamaan didefinisikan segenap kepercayaan kepada Tuhan, Dewa, dan

10

Sarwono,Teori-teori Psikologi Sosial(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 13.

11

Keller,Penguasa dan Kelompok Elite, 9.

12


(18)

9

sebagainya, serta ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan kepercayaan atau sifat-sifat yang terdapat pada agama.13

Masyarakat; setiap kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka itu dapat mengorganisasikan dirinya dan berffikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu.14

Jadi, penulis mencoba untuk menguraikan satu persatu dari istilah-istilah yang dipakai dalam judul skripsi ini, untuk menghindari kesalahan persepsi. Untuk lebih jelasnya, kiranya perlu bagi penulis untuk menjelaskan arti dari judul skripsi tersebut sesuai dengan maksud dan pemahaman penulis, yaitu studi tentang elite agama di desa Kranji dan peranannya, dimana peranan tersebut mampu membentuk pola kehidupan keagamaan masyarakat yang harmonis.

E. Alasan Memilih Judul

Adapun yang mendorong penulis untuk mengangkat judul tersebut adalah; pertama, untuk menjelaskan elite agama di desa Kranji beserta peranannya di masyarakat. Bagi penulis persoalan tersebut menarik untuk dikaji lebih dalam karena keberadaan elite agama tidak bisa dilepaskan dari kehidupan umat beragama, terlebih menyangkut peranannya sebagai panutan.

13

Keller,Penguasa dan Kelompok Elite, 18.

14

M. Cholil Mansyur,Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa(Surabaya: Usaha Nasional, 1980), 22.


(19)

10

Kedua, menjelaskan dampak peran elite agama di desa Kranji sehingga terbentuk pola kehidupan keagamaan masyarakat yang harmonis. Hal ini menarik, sebab kehidupan yang harmonis, terlebih dalam hal keagamaan tentu merupakan dambaan setiap manusia.

F. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang dirumuskan di atas, maka tujuan dari penulis di dalam karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui peran elite agama di desa Kranji.

2. Mengetahui dampak peran elite agama terhadap pembentukan pola kehidupan keagamaan masyarakat desa Kranji, dengan komponen masyarakatnya terdiri dari kelompok Nahdlatul Ulama dan masyarakat yang tergabung dalam kelompok Muhammadiyah.

G. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini persoalan yang dikaji adalah perihal peran elite agama dalam pembentukan pola kehidupan keagamaan masyarakat, terlebih juga interaksi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoritis maupun praktis, yakni:

1. Secara Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan khazanah keilmuan mengenai peran elite agama dalam


(20)

11

membentuk pola kehidupan keagamaan yang harmonis, khususnya di Indonesia yang terdiri dari aneka ragam masyarakatnya. Di samping itu, juga diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu agama, khususnya dalam mata kuliah Sosiologi Agama.

2. Secara Praktis

Adapun secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan satu informasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan guna memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S-1) Program Studi Agama-agama Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel Surabaya. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat membuka cara pandang masyarakat bahwa sejatinya setiap individu memiliki cara masing-masing untuk mengekspresikan agamanya. Oleh karena itu, perbedaan cara beragama seharusnya tidak dijadikan sebagai alasan untuk saling bermusuhan.

H. Telaah Pustaka

Berdasarkan penelusuran literatur-literatur yang ada, sepanjang pengetahuan peneliti belum ada satu karya ilmiah yang secara khusus membahas tentang peran elite agama dalam pembentukan pola kehidupan keagamaan masyarakat, yang dalam hal ini merujuk pada kehidupan keagamaan masyarakat desa Kranji kecamatan Paciran kabupaten Lamongan.


(21)

12

Dari beberapa karya ilmiah yang peneliti temukan, terdapat buku karya Suzanne Keller yang berjudul “Penguasa dan Kelompok Elite: Peranan Elite Penentu dalam Masyarakat Modern”. Buku ini merupakan hasil pengamatan atas masyarakat Amerika yang pada waktu itu termasuk masyarakat industri yang paling maju di dunia. Secara umum buku ini memuat perkembangan golongan-golongan yang memegang pimpinan dalam masyarakat.15

Buku karya La Ode Abdul Rauf berjudul “Peranan Elite dalam Proses Modernisasi”. Buku ini berisi kajian tentang peranan elite dalam proses modernisasi di Kabupaten Daerah Tingkat II Muna, Sulawesi Tenggara. Dalam hal ini, elite yang dikaji dikelompokkan atas empat kelompok, yaitu elite adat, elite agama, elite kekuasaan dan elite strategik.16

Disertasi karya Mahsun yang berjudul “Respon Warga Persyarikatan Terhadap Pemikiran Teologis Elit Pimpinan Muhammadiyah: Studi Pada Warga Persyarikatan Muhammadiyah di Paciran Lamongan”.17 Dalam tulisan ini, penulis melakukan penelitian lapangan tentang seberapa jauh warga persyarikatan Muhammadiyah memahami dan merespon pemikiran-pemikiran ideologis para elit pimpinan Muhammadiyah.

Skripsi karya Fathatul Munawaroh yang berjudul “Studi Tentang Interaksi Keagamaan Masyarakat NU dan Muhammadiyah dalam Membina

15

Suzanne Keller, Penguasa dan Kelompok Elite: Peranan Elite Penentu dalam Masyarakat Modern, terj. Zahara D. Noer (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995).

16

La Ode Abdul Rauf, Peranan Elite dalam Proses Modernisasi(Jakarta: Balai Pustaka, 1987).

17

Mahsun, “Respon Warga Persyarikatan Terhadap Pemikiran Teologis Elit Pimpinan Muhammadiyah: Studi Pada Warga Persyarikatan Muhammadiyah di Paciran

Lamongan”, Disertasi tidak diterbitkan, (Surabaya: Program Pascasarjana IAIN Sunan


(22)

13

Ukhuwah Islamiyah di Desa Gumeno Kecamatan Manyar Kabupaten Gresik”.18 Yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah bentuk interaksi keagamaan masyarakat NU dan Muhammadiyah di desa Gumeno serta pengaruh interaksi tersebut dalam membinaukhuwahislamiyah.

Sedangkan dalam penelitian ini yang akan dibahas adalah peran elite agama. Di samping itu juga membahas sejauh mana dampak elite agama dalam pembentukan pola kehidupan keagamaan masyarakat desa Kranji. Penelitian ini adalah baru dan dapat dikatakan berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Perbedaan penelitian-penelitian ini terletak pada permasalahan penelitian, lokasi penelitian dan setting sosial daerah penelitian.

I. Kerangka Teori

Sebagai acuan kolaborasi maupun perbandingan antara data lapangan dan teori yang telah ada terkait peran elit agama dalam pembentukan pola kehidupan keagamaan masyarakat, dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori actor dalam sistem sosial yang digagas oleh Talcott Parsons. Sejak terbitnya The Social System, Parsons telah kian memperhalus analisisnya secara formal mengenai dimensi-dimensi tata sosial dan komponen-komponen tindakan sosial. Beberapa segi dari bagan teoritisnya terutama relevan untuk analisis kaum elite secara formal, yang dalam hal ini adalah teoriactor.

18

Fathatul Munawaroh, “Studi Tentang Interaksi Keagamaan Masyarakat NU dan Muhammadiyah dalam Membina Ukhuwah Islamiyah di Desa Gumeno Kecamatan

Manyar Kabupaten Gresik”, Skripsi tidak diterbitkan, (Surabaya: Fakultas Ushuluddin


(23)

14

Dalam teorinya, Parsons menggunakan status-peran sebagai unit dasar dari suatu sistem. Status, mengacu pada posisi struktural di dalam sistem sosial. Sementara peran adalah apa yang dilakukan actor dalam posisinya itu, dilihat dalam konteks signifikasi fungsionalnya untuk sistem yang lebih luas. Actor tidak dilihat dari sudut pikiran dan tindakan, tetapi dilihat tidak lebih dari sebuah kumpulan beberapa status dan peran (sekurang-kurangnya dilihat dari sudut posisi di dalam sistem sosial).19

Dalam menganalisis sistem sosial ini, Parsons sama sekali tidak mengabaikan masalah hubungan antara actor dan struktur sosial. Ia menganggap integrasi pola nilai dan kecenderungan kebutuhan sebagai dalil dinamis fundamental sosiologi. Menurutnya, persyaratan kunci bagi terpeliharanya integrasi pola nilai di dalam sistem adalah proses internalisasi dan sosialisasi. Parsons tertarik pada cara mengalihkan norma dan nilai sistem sosial kepada actor di dalam sistem sosial itu. Dalam proses sosialisasi yang berhasil, norma dan nilai itu diinternalisasikan. Artinya, norma dan nilai itu menjadi bagian dari “kesadaran” actor. Akibatnya, dalam mengejar kepentingan mereka sendiri itu, actor sebenarnya mengabdi pada kepentingan sistem sebagai satu kesatuan.20 Seperti dinyatakan Parsons, “Kombinasi pola orientasi nilai yang diperoleh oleh actor dalam sosialisasi, pada tingkat yang

19

Talcott Parsons,Societies(New Jersey: Engliwood Cliffs, 1966), 11; George Ritzer dan Douglas Goodman, Teori Sosiologi Modern, terj. Amandan (Jakarta: Kencana, 2003), 124.

20

George Ritzer dan Douglas Goodman,Teori Sosiologi Modern, terj. Amandan (Jakarta: Kencana, 2003), 125.


(24)

15

sangat penting harus menjadi fungsi dan struktur peran fundamental dan nilai dominan sistem sosial.”21

Umumnya Parsons menganggap actor biasanya menjadi penerima pasif dalam proses sosialisasi. Anak-anak tidak hanya mempelajari cara bertindak, tetapi juga mempelajari norma dan nilai masyarakat. Sosialisasi dikonseptualisasikan sebagai konsep konservatif, dimana disposisi-kebutuhan (yang sebagian besar dibentuk oleh masyarakat) mengikatkan anak-anak kepada sistem sosial dan sosialisasi itu menyediakan alat untuk memuaskan disposisi-kebutuhan tersebut. Parsons melihat sosialisasi sebagai pengalaman seumur hidup. Meski ada penyesuaian yang diakibatkan oleh sosialisasi seumur hidup, namun tetap ada sejumlah besar perbedaan individual di dalam sistem.22

J. Metode Penelitian

Dalam melakukan sebuah penelitian, berbagai metode banyak digunakan oleh seorang peneliti, hal ini tentunya sesuai dengan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian itu sendiri. Sehingga penelitian itu menjadi valid dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini memiliki komponen sebagai berikut:

21

Talcott Parsons, The Social System (New York: Free Press, 1951), 42; George Ritzer dan Douglas Goodman,Teori Sosiologi Modern, terj. Amandan (Jakarta: Kencana, 2003), 127.

22


(25)

16

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan sosiologi. Jenis penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang digunakan untuk mendeskripsikan, menggambarkan atau melukiskan secara sistematis, faktual dan akurat tentang fakta-fakta serta sifat hubungan antara fenomena yang diselidiki.23

Lebih lanjut, M. Djunaidi Ghony dan Fauzan Almanshur menjelaskan penelitian kualitatif sebagai penelitian yang khusus dipakai untuk meneliti objek-objek yang tidak bisa diteliti secara kuantitatif (atau secara statistik). Penelitian kualitatif umumnya digunakan untuk meneliti peristiwa sosial, gejala rohani, dan proses tanda (pemaknaan) yang didasarkan pada pendekatan non-positivis, seperti misalnya kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, fungsi organisasi, gerakan sosial, keagamaan ataupun hubungan kekerabatan.24

Menurut mereka pula, penelitian kualitatif akan menghasilkan data yang bersifat deskriptif dalam bentuk ucapan, tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati. Penelitian kualitatif ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi dan pemikiran manusia secara individu maupun kelompok. Mereka melanjutkan, bahwa penelitian kualitatif bersifat induktif, yakni

23

Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), 20.

24

M. Djunaidi Ghony dan Fauzan Almanshur, Metodologi Penelitian Kualitatif


(26)

17

bahwa peneliti membiarkan permasalahan-permasalahan muncul dari data atau dibiarkan terbuka untuk interpretasi.25

Sementara itu, dalam mengkaji fenomena keagamaan berarti mempelajari perilaku manusia dalam kehidupan beragamanya. Fenomena keagamaan itu sendiri adalah perwujudan sikap dan perilaku manusia yang menyangkut hal yang dipandang suci, keramat yang berasal dari hal-hal yang bersifat gaib. Jika kita menggambarkannya dalam pendekatan sosiologi, maka fenomena-fenomena keagamaan itu berakumulasi pada perilaku manusia dalam kaitannya dengan struktur kemasyarakatan dan kebudayaan yang dimiliki, dibagi dan ditunjang bersama. Karena sosiologi merupakan ilmu yang digunakan untuk memahami hakikat masyarakat dalam kehidupan kelompok, baik struktur, dinamika, institusi dan interaksi sosialnya.26

Dari konsep tersebut di atas, maka sudah sesuai dengan konteks permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Jenis peenelitian kualitatif digunakan karena dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui dan menggambarkan secara deskriptif tentang peran elite agama di desa Kranji dan dampak peran tersebut terhadap pembentukan pola kehidupan keagamaan masyarakat. Di samping itu, pendekatan sosiologi dipilih karena penelitian ini berkaitan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan dalam bidang keagamaan.

25

Ghony,Metodologi Penelitian Kualitatif, 14.

26


(27)

18

2. Sumber Data

Sumber data utama yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah sebagai berikut:

a. Kata-kata, merupakan informasi yang diperoleh dari orang yang diwawancarai, tentunya informasi yang sesui dengan masalah yang dikaji dari sebuah penelitian. Lexy J. Moleong, berpendapat bahwa sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan orang yang diamati atau diwawancarai.27 Dalam penelitian ini, sumber data diperoleh langsung dari elite agama di desa Kranji, pemerintah desa serta orang-orang yang tergabung dalam kelompok Nahdlatul Ulama dan kelompok Muhammadiyah desa Kranji.

b. Tindakan, merupakan kegiatan atau perilaku dari subjek yang diteliti. Seperti, kegiatan keagamaaan yang dilakukan sehari-hari oleh masyarakat desa Kranji. Dalam mendapatkan informasi yang diperlukan tentunya didapat melalui pengamatan, yaitu penggabungan antara kegiatan melihat, mendengar dan bertanya yang terarah dan sitematis, sehingga jawaban tidak melebar dari pembahasan.

c. Dokumen, merupakan data yang berupa sumber tertulis maupun dalam bentuk rekaman audio. Dokumen yang digunakan untuk melengkapi data seperti catatan-catatan, buku literatur, hasil rekaman dan lain sebagainya.28

27

Lexy J. Moleong,Metode Penelitian Kualitatif(Jakarta: Bumi Aksara, 1997), 46.

28


(28)

19

3. Teknik Pengumpulan Data

Sesuai dengan bentuk penelitian dan juga jenis sumber data yang dimanfaatkan, maka teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti adalah sebagi berikut:

a. Teknik interview, yaitu suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan mengajukan pertanyaan secara langsung kepada responden.29 Adapun jenis interview yang digunakan adalah jenis interview bebas terpimpin. Penelitian ini menggunakan informan, yakni elite agama di desa Kranji, pemerintah desa Kranji, pasangan suami-istri NU-Muhammadiyah, serta warga yang tergabung dalam kelompok NU dan Muhammadiyah desa Kranji. Informan tersebut memiliki kriteria sebagaimana diungkapkan oleh Spradley, yaitu: “1) Informan mengetahui budayanya dengan baik tanpa harus memikirkannya, sebab dilakukan secara otomatis dari tahun ke tahun; 2) Informan terlibat langsung dalam permasalahan yang diangkat dalam penelitian; 3) Informan memiliki cukup waktu untuk diwawancarai; 4) Informan menggunakan bahasa mereka untuk mendeskripsikan informasi tanpa analisis; dan 5) Informan memberikan informasi dengan interpretasi perspektif penduduk asli.”30

29

Irawan Soehartono, Metodologi Penelitian Sosial (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), 67.

30


(29)

20

b. Teknik observasi, yaitu memperhatikan sesuatu dengan menggunakan mata.31Dalam observasi ini peneliti menggunakan observasi partisipan dengan pengamatan dan pendengaran secara langsung tentang perilaku keagamaan masyarakat desa Kranji dalam kehidupan sehari-hari. c. Teknik dokumentasi, yang dalam penelitian ini peneliti menggunakan

dokumentasi baik berupa rekaman, foto, tulisan atau yang lain, yang mana data tersebut dianggap penting dalam penelitian.32 Dokumentasi bisa diambil ketika berlangsungnya wawancara ataupun juga saat berlangsungnya aktivitas keagamaan yang melibatkan elite agama di dalamnya.

4. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Pemeriksaan keabsahan sebuah data sangat diperlukan dalam penelitian kualitatif demi keaslian dan tingkat kepercayaan data yang telah terkumpul. Dalam tekhnik keabsahan data, penulis menggunakan teknik trianggulasi, hal ini merupakan salah satu teknik pemeriksaan dari keabsahan sebuah data yang memanfaatkan suatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut.33

Melalui metode pemeriksaan ini, penulis menggunakan teknik trianggulasi data dan trianggulasi teori. Dimana data yang telah

31

Arikunto,Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, 146.

32

Ibid., 234.

33


(30)

21

dikumpulkan kemudian dikaitkan dengan teori-teori mengenai peran elite agama dan dampaknya terhadap pembentukan pola kehidupan keagamaan masyarakat, yang diyakini fakta, data dan informasinya dapat dipertanggungjawabkan. Kemudian pemeriksaan melalui sumber data dengan cara membandingkan data hasil pengamatan dan wawancara dengan informan. Artinya, bahwa peneliti melakukan perpaduan dari data yang dimiliki dari elite agama dengan kondisi kehidupan keagamaan masyarakat desa Kranji.

5. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milah menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskan, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.34

Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagi sumber, yaitu wawancara, observasi dan dokumentasi. Setelah dibaca, dipelajari dan ditelaah, selanjutnya adalah mereduksi (pemotongan) data, tentunya dalam hal ini adalah data inti. Kegiatan mereduksi data tersebut dilakukan dengan cara mengabstraksi data. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses

34


(31)

22

dan pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya.35

Metode pembatasan atau metode berfikir yang penulis gunakan dalam menyusun skripsi ini adalah metode deskriptif eksploratif, yaitu menggambarkan keadaan atau status fenomena yang berkembang di masyarakat dengan mengkaji lebih dalam masalah yang terjadi.36 Artinya penulis memberikan gambaran elite agama di desa Kranji dan peranannya dalam kehidupan keagamaan masyarakat. Di samping itu, juga dampak peran elite agama dalam pembentukan pola kehidupan keagamaan yang harmonis.

K. Sistematika Pembahasan

Untuk memberikan gambaran umum tentang pembahasan penelitian ini, penyusun membagi pembahasan ke dalam lima bab, yaitu:

Bab I (satu) merupakan pendahuluan sebagai pengantar pembahasan secara keseluruhan. Pendahuluan ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, penegasan judul, alasan memilih judul, tujuan penelitian, manfaat penelitian, telaah pustaka, kerangka teori, metode penelitian dan sitematika pembahasan.

Bab II (dua) berisi paparan tentang konsep keagamaan dan elite agama yang di dalamnya menguraikan secara teoritis definisi keagamaan dan pola keagamaan maupun elite agama beserta peranannya. Di samping itu juga

35

Moleong,Metode Penelitian Kualitatif, 248.

36


(32)

23

menjelaskan teori tindakan sosial (social action) yang dikembangkan Talcott Parsons.

Bab III (tiga) memuat gambaran umum tentang keberadaan elite agama dan kehidupan keagamaan masyarakat desa Kranji, yang meliputi deskripsi wilayah desa Kranji, kehidupan keagamaan masyarakat dan elite agama di desa Kranji.

Bab IV (empat) merupakan analisis peran elite agama dalam pembentukan pola kehidupan keagamaan masyarakat desa Kranji, meliputi elite agama sebagai pimpinan dan anutan masyarakat, serta elite agama dan pembentukan pola kehidupan keagamaan.

Bab V (lima) berisi penutup, meliputi kesimpulan berdasarkan hasil jawaban rumusan masalah serta saran untuk pengembangan keilmuan dari hasil penelitian.


(33)

BAB II

KONSEP KEAGAMAAN DAN ELITE AGAMA

A. Konsep Keagamaan

Sebelum membahas lebih jauh, perlu kiranya bagi penulis untuk menguraikan secara detail mengenai hal-hal yang bersangkutan dengan konsep keagamaan. Seperti apa definisi dari keagamaan itu sendiri, kemudian disusul dengan pola keagamaan. Hal ini menjadi perlu karena ini adalah acuan mendasar. Berikut penjelasannya:

1. Definisi Keagamaan

Secara etimologi, keagamaan berasal dari kata “agama” yang mendapat awalan “ke” dan akhiran “an” sehingga menjadi keagamaan. Dari sini, keagamaan berarti sifat-sifat yang terdapat dalam agama atau segala sesuatu mengenai agama, misalnya perasaan keagamaan atau soal-soal keagamaan.37

Kata beragama dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah menganut atau memeluk agama, beribadah atau taat kepada agama atau lebih konkretnya kata beragama diartikan sebagai memeluk atau taat menjalankan ajaran agama yang dianut. Jadi, dapat diketahui bahwa keagamaan merupakan suatu sikap yang kuat dalam memeluk dan

37

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Masyarakat Indonesia: Majalah Ilmu-ilmu Sosial(Jakarta: LIPI Press, 2008), 119.


(34)

25

menjalankan ajaran agama serta cerminan dirinya atas ketaatannya terhadap ajaran agama yang dianutnya.38

Wacana keagamaan yang dimaksudkan di sini adalah ungkapan-ungkapan yang muncul di masyarakat, sebagai cerminan dari pengetahuan keyakinan agama. Wacana keagamaan lokal yang berkembang pada masyarakat menyiratkan adanya pola pemahaman keagamaan yang mereka sebut sebagi salaf (tradisional). Masyarakat Jawa sendiri misalnya, mereka dikenal sebagai masyarakat yang kaya akan tradisi sosial. Setiap masyarakat memiliki nilai-nilai lokal yang menerapkan tata nilai sosial hidup rukun atau tepo seliro dan tolong menolong atau guyub dalam kehidupan sosial sehari-harinya. Bagi masyarakat Jawa secara umum, agama merupakan kekuatan dominan di dalam ritus-ritus, kepercayaan-kepercayaan yang turut serta membentuk karakter interaksi sosial dan kehidupan sehari-hari bagi kebanyakan masyarakat.39

Atas dasar budaya dan tradisi yang dianut dan dijaga masyarakat, hal ini berdampak pada pola keagamaan masyarakat. Dari sejarahnya, agama mendekatkan diri terhadap masyarakat melalui budaya-budaya yang telah mereka miliki, sehingga paradigma keagamaan mereka masih terikat kuat dengan budaya yang mereka miliki. Paradigma spiritualitas di sini diartikan sebagai cara pandang yang bersumber dari spirit keagamaan

38

W. J. S. Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), 18.

39

Zaenal Arifin, “Keagamaan Masyarakat Pedesaan”,

http://arifin-zaenalarifin.blogspot.co.id/2013/06/keagamaan-masyarakat-pedesaan.html?m=1 (Minggu, 18 Desember 2016, 12.53).


(35)

26

seseorang akan menjadi keyakinan dan dasar dari seluruh aktivitas atau realita sosial dalam suatu masyarakat.40

2. Pola Keagamaan

Berdasarkan cara beragamanya, pola keagamaan masyarakat memiliki suatu perbedaan. Elizabeth K. Nottingham mengemukakan tiga model masyarakat. Masyarakat pertama, adalah tipe masyarakat yang di dalamnya nilai-nilai agama sangat berpengaruh. Model kedua, merupakan kombinasi antara nilai religius dan sekuler. Sementara model ketiga, adalah tipe masyarakat yang didominasi oleh nilai-nilai sekuler. Ketiga model tersebut tidak menggambarkan tahapan perkembangan sejarahnya, meskipun banyak masyarakat telah atau sedang menjalani tahapan-tahapan yang seperti itu.41

Model pertama, menggambarkan masyarakat kecil terpencil dan terbelakang. Tingkat perkembangan teknologinya rendah, hanya sedikit terdapat pembagian kerja dan pembagian kelas sosialnya sederhana. Keluarga merupakan lembaga terpenting. Spesialisasi organisassi pemerintahan dan kehidupan ekonomi sederhana, laju perubahan sosial lamban. Sistem intelektual kepercayaan dan mitos agak kompak dan relatif

40

Zaenal Arifin, “Keagamaan Masyarakat Pedesaan”,

http://arifin-zaenalarifin.blogspot.co.id/2013/06/keagamaan-masyarakat-pedesaan.html?m=1 (Minggu, 18 Desember 2016, 12.53).

41

Elizabeth K. Nottingham, Religion and Types of Society (Chicago: Rand McNally College Publishing Company, 1974), 80-99; Djamari,Agama dalam Perspektif Sosiologi


(36)

27

homogen, demikian pula agamanya. Orang-orang belum menggambarkan objek yang dipujanya sebagai sesuatu yang berbeda dengan dirinya.42

Simbol agama yang sangat potensial adalah gambaran mitos nenek moyang dan pahlawan-pahlawan yang disimbolkan dalam berbagai bentuk. Individu dan masyarakatnya dianggap lahir dari Tuhan alam. Sistem perilaku religiusnya biasanya langsung merupakan identifikasi antar kelompok pemuja dengan yang dipujanya, seperti tampak dalam pesta totem, dimana binatang totem dipotong, dimakan sebagai partisipasi mistik dan perilaku keagamaan. Organisasi keagamaan tidak terpisah dari keseluruhan kegiatan masyarakat lainnya, terjalin dalam aktivitas ekonomi, politik, keluarga, rekreasi dan sebagainya.43

Agama dan magic penting dan berpengaruh dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam menghadapi stress. Karena lembaga lain relatif belum berkembang, kecuali keluarga. Agama menyajikan sarana dalam pengintegrasian dan kesatuan masyarakat secara menyeluruh. Nilai-nilai keagamaan sering meningkatkan konservatisme dan menghambat perubahan. Hal ini merupakan alasan mengapa peranan tradisi sangat penting dalam masyarakat semacam ini.44

Selain itu, karena tidak adanya kepentingan yang kontradiktif dan menyatu-padunya agama dalam hampir semua aspek kehidupan sosial, memberi pengaruh kuat untuk menyatukan dan menstabilkan masyarakat.

42

Djamari,Agama dalam Perspektif Sosiologi(Bandung: ALFABETA, 1993), 128.

43

Ibid.

44


(37)

28

Bagi individu, agama banyak berpengaruh dalam keseluruhan proses sosialisasi. Sosialisasi ditandai oleh upacara-upacara keagamaan dalam peristiwa kelahiran, pubertas, perkawinan dan dalam fase-fase peralihan penting lainnya di dalam siklus kehidupan individu. Organisasi kepribadian individu erat hubungannya dengan nilai-nilai keagamaan yang langsung diwariskan oleh keluarga dan masyarakat kepada individu-individu yang sedang berkembang. Karena tidak adanya saingan variasi model kepribadian yang lain, yang berupa model sekuler, maka agama berperan tanpa tandingan sebagai pusat pemersatu dalam pengelolaan kepribadian individu dalam masyarakat tipe ini.45

Kedua, merupakan masyarakat praindustri yang sedang berkembang. Masyarakat ini tidak begitu terpencil, perubahan lebih cepat dibanding dengan model pertama, daerahnya lebih luas, penduduknya lebih banyak, tingkat perkembangan teknologi lebih tinggi dibandingkan dengan model pertama, pembagian kerja dan kelas sosial beraneka ragam serta tingkat kemampuan tulis-baca sudah memadai. Pertanian dan industri tangan penting dalam perekonomian desa dengan beberapa pusat perdagangan kota. Lembaga pemerintahan dan kehidupan ekonomi sedang menuju spesialisasi.46

Fungsi agama di dalam masyarakat model kedua ini lebih kompleks dibandingkan dengan masyarakat model pertama. Agama masih memberikan makna penting kepada sistem niai masyarakat, tetapi

kadang-45

Djamari,Agama dalam Perspektif Sosiologi, 129.

46


(38)

29

kadang mendorong ke arah terjadinya konflik sosial dalam masyarakat. Pada masyarakat ini, meskipun suasana keagamaan dan sekuler terus bertumpang tindih pada aspek-aspek tertentu, tetapi pada sisi lain terus berkembang ke arah berbeda.47

Dalam masyarakat model kedua ini juga tidak bisa dihindarkan timbulnya perbenturan kepentingan antara organisasi keagamaan dengan organisasi politik. Karena organisasi keagamaan selain memiliki nilai acuan ukhrawi yang sifatnya transendental juga memiliki orientasi duniawi, termasuk bidang sosial, ekonomi, politik, sehingga memungkinkan terjadinya bentrokan kepentingan dan disintegrasi.48

Dan Ketiga, adalah masyarakat industri sekuler. Masyarakat ini sangat dinamik, pengaruh ilmu dan teknologi menembus berbagai bidang kehidupan, termasuk ke dalamnya bidang agama. Meluasnya sekularisasi sering mempersempit ruang gerak lingkungan sakral dan kepercayaan keagamaan. Akibatnya organisasi keagamaan terpecah-pecah dan lepas dari ikatan pemerintahan duniawi. Agama dan negara berjalan berdampingan secara terpisah.49

Pertumbuhan sekularisasi sangat melemahkan fungsi agama, baik sebagai pengintegrasi maupun sebagai sumber keresahan. Sebaliknya, tatanan ekonomi dan negara telah mengambil alih fungsi penting yang dulunya diperankan oleh agama, seperti pada masyarakat model pertama

47

Djamari,Agama dalam Perspektif Sosiologi, 130.

48

Ibid.

49


(39)

30

dan kedua. Karena adanya sikap ketidakacuhan terhadap sistem nilai sekuler yang semakin berkembang, menimbulkan toleransi terhadap perbedaan agama. Namun, persamaan akidah dan ibadat di kalangan berbagai organisasi keagamaan, secara internal meningkatkan fungsi agama sebagai unsur pemersatu. Terutama jika kelompok itu merupakan kelompok minoritas.50

Meskipun pengaruh organisasi keagamaan melemah, namun nilai-nilai keagamaan yang mendasar dan universal tetap bertahan dan memberikan sumbangan terhadap keterpaduan masyarakat. Hal ini tampak pada saat-saat terjadinya ketegangan, dimana himbauan untuk kembali kepada nilai religius tradisional terus muncul. Misalnya, pada masa perang atau bahaya nasional, bencana alam dan lain sebagainya, pertolongan Tuhan dimohon secara hidmat bersama-sama. Demikian pula pada upacara-upacara penting, misalnya pelantikan presiden, pembukaan sidang juga sering disertai doa dengan harapan karunia Tuhan.51

Sementara itu, dari sisi yang berbeda Komaruddin Hidayat membedakan lima sikap keberagamaan, yaitu eksklusifisme, inklusifisme, pluralisme, eklektivisme dan universalisme. Kelima tipologi ini tidak berarti masing-masing lepas dan terputus dari yang lain dan tidak pula permanen, tetapi lebih tepat dikatakan sebagai sebuah kecenderungan

50

Djamari,Agama dalam Perspektif Sosiologi, 132.

51


(40)

31

menonjol, mengingat setiap agama maupun sikap keberagamaan senantiasa memiliki potensi untuk melahirkan kelima sikap di atas.52

Pertama, sikap eksklusifisme akan melahirkan pandangan bahwa ajaran yang yang paling benar hanyalah agama yang dipeluknya. Agama lain sesat dan wajib dikikis, atau pemeluknya dikonversi karena baik agama maupun pemeluknya terkutuk dalam pandangan Tuhan. Baik karena dorongan psikologis maupun faktor teologis, eksklusifisme beragama selalu ditemukan dalam setiap masyarakat. Sikap eksklusif berarti bahwa seeorang merasa dirinya yang paling baik dan paling benar, sementara yang lainnya tidak masuk hitungan.

Kedua, sikap inklusifisme berpandangan bahwa di luar agama yang dipeluknya juga terdapat kebenaran, meskipun tidak seutuh dan sesempurna agama yang dianutnya. Dalam paham inklusifisme seseorang masih tetap meyakini bahwa agamanya yang paling baik dan benar. Namun, dalam waktu yang sama mereka memiliki sikap toleran dan bersahabat dengan pemeluk agama lain.

Ketiga, pluralisme, lebih konkret lagi berpandangan bahwa secara teologis pluralitas agama dipandang sebagai suatu realitas niscaya yang masing-masing berdiri sejajar sehingga semangat misionaris atau dakwah dianggap tidak relevan.

Keempat, eklektivisme adalah suatu sikap keberagamaan yang berusaha memilih dan mempertemukan beberapa segi ajaran agama yang

52

Komaruddin Hidayat, “Ragam Beragama”, dalamAtas Nama Agama: Wacana Agama


(41)

32

dipandang baik dan cocok untuk dirinya, sehingga format akhir dari sebuah agama menjadi semacam mozaik yang bersifat eklektik.

Dan Kelima, universalisme beranggapan bahwa pada dasarnya semua agama adalah satu dan sama. Hanya saja, karena faktor historis-antropologis, agama kemudian tampil dalam format plural.53

B. Elite Agama

Membicarakan konteks sosiologis mengenai suatu daerah di tanah air dalam kaitannya dengan norma dan nilai agama, berarti akan membahas pula aspek historis yang melatarbelakanginya, mulai dari tradisi masyarakatnya hingga corak kepemimpinan wilayahnya. Dalam wacana ini, peran elite agama menjadi sangat strategis. Ia memiliki kapasitas keteladanan yang dapat menjadi contoh bagi masyarakat. Oleh karena itu, dalam kajian ini penulis memfokuskan pada elite agama dan peranannya dalam masyarakat:

1. Definisi Elite Agama

Konsep elite pertamakali digunakan untuk menyatakan “bagian yang menjadi pilihan atau bunga” dari barang-barang yang ditawarkan untuk dijual sebagai tanda obyek-obyek yang dijual tersebut mempunyai nilai pilihan.54 Istilah elite berasal dari kata eligere, yang berarti memilih. Dalam perkataan biasa, kata eligere berarti bagian yang menjadi pilihan atau bunga suatu bangsa, budaya, kelompok usia dan juga orang-orang yang menduduki posisi sosial yang tinggi. Dalam ilmu-ilmu sosial,

53

Hidayat, “Ragam Beragama”,120-121.

54


(42)

33

tekanan telah bergeser dari pilihan menjadi terkemuka. Istilah ini digunakan secara luas pada tahun 1930-an di Inggris dan Amerika Serikat melalui teori-teori sosiologi tentang elite. Dalam sejarahnya, jumlah elite cenderung lebih sedikit akibat legitimasi dari masyarakat demikian berat.55 Dalam arti yang paling umum, elite menunjuk pada sekelompok orang yang di dalam masyarakat menempati kedudukan-kedudukan tinggi.56 Hampir sama dengan pengertian tersebut, elite dirumuskan sebagai kelompok warga masyarakat yang memiliki kelebihan daripada warga masyarakat lainnya sehingga menempati kedudukan sosial di atas para warga masyarakat lainnya.57

Lebih jauh, dalam membahas persoalan elite, maka harus dibedakan dengan kelas penguasa. Perbedaan antara kelas penguasa dan elite adalah sebagai berikut:58

Kriteria komparatif Kelas Penguasa Elite Jumlah

Ukuran

Tenggang waktu Cara masuk Cara keluar

Ruang lingkup otoritas

Satu Besar

Lebih lama hidupnya Kelahiran dan kekayaan Hilangnya kekayaan Menyebar dan luas

Beberapa Kecil, berpusat Tidak lama Keahlian

Ketidakmampuan Khusus dan terbatas

55

Keller,Penguasa dan Kelompok Elite, 3.

56

J. W. Schoorl, Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negara Sedang Berkembang(Jakarta: Gramedia, 1980), 128.

57

La Ode Abdul Rauf, Peranan Elite dalam Proses Modernisasi(Jakarta: Balai Pustaka, 1987), 14.

58


(43)

34

Ikatan kebudayaan pendidikan sekolah Kesempatan

Latar belakang

Relatif tertutup

Tidak dikhususkan

Relatif terbuka

Dari bagan di atas dapat diketahui bahwa jumlah kelas penguasa hanya satu, sementara jumlah elite lebih dari satu, sebab elite bukanlah suatu kelas yang homogen. Akan tetapi, suatu aliansi heterogenitas yang diikat oleh suatu kepentingan. Kelas penguasa merupakan suatu kelas tersendiri sehingga ukurannya relatif besar. Sementara itu, ukuran elite adalah kecil dan berpusat.59

Dilihat dari tenggang waktunya, kelas penguasa lebih lama keberadaannya. Hal ini disebabkan kelas penguasa merupakan agregasi dari segala aspek kepentingan, baik sosial, ekonomi, politik, kebudayaan dan seterusnya, sehingga relatif mandiri dan berlangsung terus-menerus. Sedangkan keberadaan elite tidak berlangsung lama. Hal ini karena yang mendorong faktor munculnya elite adalah faktor yang temporal. Cara masuk ke dalam kelas penguasa adalah genealogi dan kekayaan. Tanpa punya dua syarat tersebut sulit untuk bisa masuk ke dalam lingkaran kelas penguasa. Sementara untuk masuk ke dalam elite adalah atas dasar keahlian. Tanpa ada keahlian seseorang akan sulit menembus ke dalam elite.60

59

Keller,Penguasa dan Kelompok Elite, 83.

60

Yusron,Elite Lokal dan Civil Society: Kediri di tengah Demokratisasi(Jakarta: LP3ES, 2009), 67.


(44)

35

Seseorang akan terlempar dari lingkaran kelas penguasa manakala ia tidak lagi mempunyai kekayaan. Sebaliknya, seseorang akan keluar dari elite manakala sudah tidak mampu lagi atau tidak lagi mempunyai kapabilitas. Otoritas yang dipunyai kelas penguasa sangat luas dan menyebar, sebab merupakan sebuah kelas yang menguasai banyak aspek kehidupan sehingga secara struktural kelas penguasa sangat kuat kedudukannya. Sebaliknya, elite hanya mempunyai otoritas dalam hal tertentu atau bersifat khusus dan terbatas dalam satu hal saja.61

Kelas penguasa sebagai sebuah kelas yang secara struktural sangat berkuasa, wajar apabila mempunyai sebuah standar khusus yang harus dipunyai oleh anggota kelasnya. Hal itu misalnya soal pendidikan sekolah. Biasanya kelas penguasa menjadikan latar belakang pendidikan sekolah sebagai lambang keistimewaannya, yang dapat digunakan untuk membedakan dengan kelas lainnya. Karena kelas penguasa memang mempunyai akses ke sana. Hal tersebut tidak dapat dijumpai di elite yang menjadi penentu. Sebagai sebuah agregasi yang terbentuk karena suatu hal, maka latar belakang pendidikan tidak dikhususkan. Dalam hal latar belakang pendidikan sekolah, elite lebih longgar dibandingkan dengan kelas penguasa. Oleh sebab itu, kesempatan untuk masuk ke dalam kelas penguasa relatif tertutup untuk publik karena adanya beberapa kualifikasi seperti tersebut. Akan tetapi, kesempatan untuk masuk ke dalam elite

61


(45)

36

relatif lebih terbuka karena persyaratan yang ditetapkan tidak seketat kelas penguasa.62

Di samping itu, kelompok elite biasanya juga didefinisikan sebagai anggota-anggota kelompok kecil dari suatu masyarakat, yang dihormati, disegani, kaya dan mempunyai kekuasaan. Mereka adalah kelompok minoritas superior pada tingkat atas dari susunan masyarakat, yang memiliki kemampuan untuk mengontrol kegiatan ekonomi dan dalam beberapa hal mempunyai pengaruh dalam proses pengambilan keputusan.63

Maka, mudah untuk memahami bahwa di dalam beberapa hal kelompok ini tidak hanya ditempatkan sebagai orang yang memberikan legitimasi, tapi lebih dari itu mereka orang yang berkarakter moral mampu bertindak secara menentukan dan selalu diharapkan bisa mengambil tindakan yang tepat demi kemaslahatan umum. Sementara itu, kelompok mayoritas diatur dan dikuasai oleh elite serta dipandang sebagai massa. Mereka adalah kelompok yang posisinya lemah. Mereka tidak mampu mengontrol, baik kegiatan ekonomi maupun kegiatan publik, dan tidak diperhitungkan dalam proses pengambilan keputusan.64

Berbagai rumusan seperti diuraikan di atas, pada prinsipnya sejalan, yakni pengertian elite menunjuk pada sejumlah orang dalam masyarakat yang menempati kedudukan-kedudukan sosial yang lebih

62

Yusron,Elite Lokal dan Civil Society, 68.

63

Ibid., 69.

64


(46)

37

tinggi. Adapun dalam tulisan ini, pengertian elite agama sebagaimana gagasan La Ode Abdul Rauf, menunjuk pada sejumlah orang yang pengaruh, prestise dan peranannya dalam hal sosial keagamaan melebihi warga masyarakat lainnya. Sehingga menempati kedudukan-kedudukan yang lebih tinggi.65

Keller, menyatakan bahwa elite agama pada suatu waktu merupakan pengadil tertinggi dari pikiran dan perbuatan manusia. Malah sampai kini pengaruh elite agama, walau tak langsung, tidak berhenti. Elite agama termasuk elite penentu karena mereka sama-sama bertanggung jawab untuk dapat bertahan bersama-sama.66

2. Peranan Elite Agama

Ulasan mengenai peranan tidak dapat dipisahkan dengan uraian mengenai kedudukan (status). Karena peranan merupakan aspek dinamis dari kedudukan dan tidak ada peranan tanpa kedudukan. Sebaliknya, tidak ada kedudukan tanpa peranan.

Kedudukan seseorang dalam suatu sistem sosial merupakan unsur yang statis, yang menunjukkan tempat seseorang dalam sistem itu. Sedangkan peranan menunjuk pada fungsi penyesuaian diri dalam suatu proses. Contoh, pimpinan dilihat dari tempatnya dalam struktur organisasi merupakan kedudukan. Akan tetapi, jika dilihat dari segi fungsinya dalam suatu jaringan interaksi dengan kedudukan-kedudukan lain dalam struktur

65

Rauf,Peranan Elite dalam Proses Modernisasi, 11.

66


(47)

38

itu, ia merupakan peranan. Contoh lain, si A telah mempunyai anak, berarti ia telah memperoleh kedudukan sebagai ayah. Sementara dalam hal si ayah menjalankan tugas dan kewajibannya selaku kepala rumah tangga, berarti ia melakukan peranan yang bersumber dari status ayah.67

Kedudukan dalam suatu sistem sosial dapat diperoleh melalui empat cara, yakni 1) kedudukan diperoleh karena kelahiran (ascribed status), misalnya seseorang memperoleh kedudukan sebagai bangsawan karena ayahnya bangsawan; 2) kedudukan diperoleh karena memiliki kemampuan dan kelebihan-kelebihan khusus (achieved status), misalnya seseorang memperoleh kedudukan sebagai pemimpin karena memiliki kemampuan dan seni memimpin; 3) kedudukan yang diperoleh karena pemberian yang bersifat pribadi (assigned status), misalnya seorang kepala kantor memberikan kedudukan kepada salah seorang bawahannya sebagai kepala bagian karena pernah berutang budi pada ayahnya; dan 4) kedudukan yang diperoleh secara alamiah (natural status), misalnya kedudukan sebagai ayah, ibu, kakak, adik.68

Menurut Hare, peranan menunjuk pada seperangkat harapan dalam suatu interaksi antara seseorang yang menduduki suatu posisi dalam suatu kelompok dan orang-orang lain yang menduduki posisi yang saling berkaitan. Rumusan ini menunjukkan bahwa tak akan ada peranan

67

Rauf,Peranan Elite dalam Proses Modernisasi, 16.

68


(48)

39

seseorang tanpa diikuti oleh peranan orang lain yang berkaitan dengan peranan itu.69

Berbagai peranan elite secara umum dapat dirumuskan, yakni sebagai pemikir, penginisiatif, perumus kebijakan dan perencana, pengarah, serta pengawas bagi masyarakat:70

Pertama, peranan elite sebagai pemikir berwujud sebagai kegiatan memikirkan bagaimana menciptakan kesejahteraan masyarakat, baik fisik maupun mental spiritual.

Kedua, peranan sebagai penginisiatif, seperti menciptakan gagasan baru, memberikan motivasi, baik melalui keteladanan maupun usaha menciptakan iklim bagi terwujudnya perubahan yang dikehendaki. Keteladanannya biasanya merupakan cara yang efektif dalam merangsang keinginan warga masyarakat untuk menerima gagasan baru dan akan lebih efektif lagi jika berlangsung dalam suasana aman, bebas dari tekanan dan rasa takut.

Ketiga, peranan elite sebagai perumus kebijakan dan perencana dapat berupa penciptaan nilai dan norma-norma yang mendasari dan mengatur perilaku sosial masyarakat.

Keempat, peranan elite dalam memberikan arah, dimaksudkan juga sebagai usaha preventif guna mencegah penyimpangan dari nilai dan

69

Hare,Role Structure(New York: Free Press, 1972), 283; La Ode Abdul Rauf,Peranan Elite dalam Proses Modernisasi(Jakarta: Balai Pustaka, 1987), 18.

70


(49)

40

norma-norma yang berlaku. Pemberian arah dapat berupa bimbingan dan petunjuk sehingga interaksi dapat berlangsung wajar.

DanKelima, peranan elite sebagai pengawas lebih bersifat represif untuk memberi ganjaran kepada warga masyarakat yang menunjukkan perilaku menyimpang.71

Di negara-negara demokrasi, legitimasi peranan justru bersumber dari rakyat. Peranan elite sesungguhnya, baik langsung maupun tidak langsung mendapat dukungan rakyat yang merupakan penunjang bagi keberhasilan peranan. Namun, masih diperlukan kemampuan elite, baik fisik maupun mental untuk dapat memanfaatkan dukungan itu dengan sebaik-baiknya.72

C. TeoriSocial ActionTalcott Parsons

Terkait dengan teori actor dalam sistem sosial Talcott Parsons, secara garis besar Parsons mendesain dalam bahasan tentang empat sistem tindakan sosial, yakni sistem budaya, sistem sosial, sistem kepribadian dan sistem perilaku. Selanjutnya Ritzer dan Goodman secara lebih rinci menjelaskan keempat sistem tindakan tersebut sebagai berikut:

1. Sistem Budaya

Sistem budaya adalah sistem yang melaksanakan fungsi pemeliharaan pola dengan menyediakanactorseperangkat norma dan nilai yang memotivasi mereka untuk bertindak. Di mata Parsons, budaya adalah

71

Rauf,Peranan Elite dalam Proses Modernisasi, 21-22.

72


(50)

41

kekuatan utama yang mengikat sistem tindakan. Budaya menengahi interaksi antar actor, menginteraksikan kepribadian dan menyatukan sistem sosial. Budaya mempunyai kapasitas khusus untuk menjadi komponen sistem yang lain. Jadi, di dalam sistem sosial, sistem diwujudkan dalam norma dan nilai. Dan dalam sistem kepribadian, ia diinternalisasikan oleh actor. Namun, sistem budaya tidak semata-mata menjadi bagian sistem yang lain. Ia juga mempunyai eksistensi yang terpisah dalam bentuk pengetahuan, simbol-simbol dan gagasan-gagasan. Aspek-aspek sistem budaya ini tersedia untuk sistem sosial dan sistem kepribadian, tetapi tidak menjadi bagian dari kedua sistem itu.73

2. Sistem Sosial

Sistem sosial adalah sistem yang menanggulangi fungsi integrasi dengan mengendalikan bagian-bagian yang menjadi bagian komponen-komponennya. Konsep Parsons tentang sistem sosial berawal dari interaksi tingkat mikro antara ego dan alter-ego, yang didefinisikan sebagai bentuk sistem sosial paling mendasar. Ia sedikit sekali mencurahkan perhatian untuk menganalisis tingkat mikro ini, meski ia menyatakan bahwa gambaran sistem interaksi ini tercermin dalam bentuk-bentuk yang lebih kompleks, yang dilakukan oleh sistem sosial. Parsons, dengan demikian mendefinisikan sistem sosial dengan mengatakan, sistem sosial terdiri dari sejumlah actor individual yang saling berinteraksi dalam situasi yang sekurang-kurangnya

73


(51)

42

mempunyai aspek lingkungan fisik, aktor-aktor yang mempunyai motivasi dalam arti mempunyai kecenderungan untuk “mengoptimalkan kepuasan”, yang hubungannya dengan situasi mereka didefinisikan dan dimediasi dalam term sistem simbol bersama yang terstruktur secara kultural.74

3. Sistem Kepribadian

Sistem kepribadian adalah sistem yang melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan menetapkan tujuan sistem dan memobilisasi sumber daya yang ada untuk mencapainya. Kepribadian tidak hanya dikontrol oleh sistem budaya, tetapi juga oleh sistem sosial. Menurut Parsons, meskipun kandungan utama struktur kepribadian berasal dari sistem sosial dan budaya melalui proses sosialisasi, namun kepribadian menjadi satu sistem yang independen melalui hubungannya dengan dirinya sendiri dan melalui keunikan pengalaman hidupnya sendiri. Kepribadian didefinisikan sebagai sistem orientasi dan motivasi tindakan actor individual yang terorganisir. Komponen dasarnya adalah disposisi kebutuhan, yakni unit-unit kebutuhan yang paling penting yang merupakan dorongan hati yang dibentuk oleh lingkungan sosial.75

4. Sistem Perilaku

Sistem perilaku adalah sistem tindakan yang melaksanakan fungsi adaptasi dengan menyesuaikan diri dan mengubah lingkungan eksternal.

74

Ritzer,Teori Sosiologi Modern, 124. 75


(52)

43

Meskipun ia memasukkan sistem perilaku sebagai salah satu di antara empat sistem tindakan, Parsons sangat sedikit membicarakannya. Walaupun sistem perilaku itu didasarkan atas konstitusi genetik, organisasinya dipengaruhi oleh proses pengondisian dan pembelajaran yang terjadi selama hidup actor individual. Parsons mengingatkan, bahwa empat sistem tindakan itu tidak muncul dalam kehidupan nyata, tetapi lebih merupakan peralatan analisis untuk menganalisis kehidupan nyata.76

76


(53)

BAB III

GAMBARAN UMUM KEHIDUPAN KEAGAMAAN

MASYARAKAT DAN KEBERADAAN ELITE AGAMA DI

DESA KRANJI

A. Deskripsi Wilayah Desa Kranji

Desa Kranji adalah salah satu desa di kecamatan Paciran kabupaten Lamongan, yang terletak di pantai utara (pantura). Desa kranji merupakan daerah yang cukup kondusif dengan mayoritas penduduk beragama Islam dan mata pencaharian sebagian besar adalah nelayan. Adapun terkait dengan hal ini, berikut penulis paparkan deskripsi wilayah desa Kranji:

1. Letak Geografis

Desa Kranji terletak di wilayah kecamatan Paciran kabupaten Lamongan propinsi Jawa Timur. Wilayah desa Kranji ini termasuk dalam kawasan daerah pesisir atau pantura. Desa Kranji terdiri dari 3 (tiga) dusun, yaitu dusun Kranji, dusun Tepanas dan dusun Sidodadi. Luas wilayah desa Kranji yaitu 484,107 Ha, meliputi pemukiman umum 40,407 Ha, pertanian/sawah 15 Ha dan ladang/tegalan 330,126 Ha.77

Jarak desa ke kecamatan adalah kurang lebih 5 kilometer dengan waktu tempuh 45 menit. Jarak dari desa Kranji ke ibu kota kabupaten Lamongan sekitar 47 kilometer dengan waktu tempuh 1 jam, sedangkan

77

Aly Fatah, Data Potensi Desa/Kelurahan Kranji Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur Tahun 2016(Lamongan: Pemkab. Lamongan, 2016), 1.


(54)

45

jarak ke ibu kota Propinsi sekitar 87 kilometer dengan waktu tempuh kurang lebih 2 jam.78

Desa Kranji sangat mudah untuk dijangkau, karena desa ini satu jalur dengan jalan raya menuju kecamatan Paciran. Desa Kranji terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian lautan dan bagian pemukiman. Kedua bagian ini dibatasi oleh jalan raya. Adapun batas-batas wilayah desa Kranji, meliputi:

Utara : Laut Jawa

Selatan : Desa Dagan, desa Payaman kecamatan Solokuro Barat : Desa Tunggul, desa Sendangaagung kecamatan

Paciran

Timur : Desa Banjarwati, desa Drajat kecamatan Paciran79

2. Demografis

Desa Kranji didiami kurang lebih 1.936 Kepala Keluarga (KK) dengan jumlah penduduk 6.610 orang. Jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari pada jumlah penduduk perempuan. Jumlah penduduk laki-laki di desa Kranji sebanyak 3.310 orang, sedangkan jumlah penduduk perempuan di desa Kranji ada 3.300 orang.80Pertumbuhan penduduk desa Kranji dinilai cukup sedang atau standar. Hal ini bisa dilihat dari

78

Fatah,Data Potensi Desa/Kelurahan Kranji, 3.

79

Ibid., 1.

80

Aly Fatah, Data Tingkat Perkembangan Desa/Kelurahan Kranji Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur Tahun 2016 (Lamongan: Pemkab. Lamongan, 2016), 1.


(55)

46

perubahan jumlah penduduk dari tahun 2015 yang berjumlah 6.585 orang ke tahun 2016 yang berjumlah 6.610 orang.81

Mayoritas warga yang berdomisili di desa Kranji adalah warga asli yang sudah menetap bertahun-tahun bahkan mulai dari kecil. Disamping itu, seringkali warga yang sudah menikah dengan orang dari luar desa Kranji mengajak suami atau istrinya untuk menetap di lokasi ini. Karena menurut mereka lebih mudah memenuhi sebagian kebutuhan hidup jika mereka berdomisili di desa Kranji. Demikian, karena murahnya dan mudah didapatnya sebagian bahan makanan seperti kebutuhan pokok misalnya beras, ikan, sayur dan lain sebagainya.82

Penduduk desa Kranji Paciran Lamongan ini dapat dikatakan sangat memperhatikan pendidikan. Karena dari sekian banyak penduduk, keseluruhan pernah mengenyam pendidikan. Sebagaimana tercermin dalam tabel berikut:

No Uraian Keterangan

1. Usia 3-6 tahun yang belum masuk TK 125 Orang 2. Usia 3-6 tahun yang sedang TK/Play group 385 Orang 3. Usia 7-18 tahun tidak pernah sekolah

-4. Usia 7-18 tahun yang sedang sekolah 1.323 Orang 5. Usia 18-56 tahun tidak pernah sekolah

-6. Usia 18-56 tahun tidak tamat SD 127 Orang 7. Penduduk tamat SD/sederajat 738 Orang

81

Fatah,Data Tingkat Perkembangan Desa/Kelurahan Kranji, 1.

82


(56)

47

8. Usia 12-56 tahun tidak tamat SLTP 261 Orang 9. Usia 18-56 tahun tidak tamat SLTA 208 Orang 10. Penduduk tamat SMP/sederajat 534 Orang 11. Penduduk tamat SMA/sederajat 491 Orang 12. Penduduk tamat D-1/sederajat 26 Orang 13. Penduduk tamat D-2/sederajat 8 Orang 14. Penduduk tamat D-3/sederajat 11 Orang 15. Penduduk tamat S-1/sederajat 34 Orang 16. Penduduk tamat S-2/sederajat 14 Orang 17. Penduduk tamat S-3/sederajat 1 Orang

Dari data di atas dapat diketahui bahwa penduduk dengan tamatan SD adalah paling banyak yaitu 738 orang, dan yang paling sedikit adalah lulusan S-3 yaitu 1 orang.83

Sementara lembaga pendidikan di desa Kranji terdiri dari lembaga pendidikan formal dan lembaga pendidikan Islam. Berikut perinciannya:84 a. Pendidikan Formal

Jenis Sekolah

Kepemilikan

Jumlah Jumlah Siswa Negeri Swasta

TK - 3 3 115 Orang

SD 3 - 3 203 Orang

SMA - 2 2 164 Orang

83

Fatah,Data Potensi Desa/Kelurahan Kranji, 14-15.

84


(57)

48

b. Pendidikan Islam

Jenis Sekolah

Kepemilikan

Jumlah

Jumlah Siswa/Mahasiswa Negeri Swasta

Raudhatul Athfal - 4 4 287 Orang Ibtidaiyah - 4 4 444 Orang Tsanawiyah - 2 2 467 Orang

Aliyah - 2 2 341 Orang

Perguruan Tinggi - 1 1 349 Orang Ponpes - 2 2 1.582 Orang

3. Perekonomian

Masyarakat desa Kranji memiliki banyak mata pencaharian karena memiliki potensi sumber daya alam (SDA) yang melimpah dan diimbangi dengan banyaknya angka sumber daya manusia (SDM) untuk memajukan perekonomian desa Kranji. Mata pencaharian terbesar masyarakat adalah sebagai nelayan, sehingga muncul tempat pelelangan ikan (TPI) sebagai tempat jual-beli ikan yang menjadi pusat penyetoran ikan hasil tangkapan nelayan masyarakat desa Kranji maupun desa sekitar. Potensi laut ini menjadi salah satu sumber perekonomian di kabupaten Lamongan.85

Selain itu, terdapat pusat pasar tradisional baru yang telah direnovasi pada tahun 2006 lalu. Biasanya, pasar tradisional ini ramai menjadi tempat perilaku ekonomi. Banyak masyarakat Kranji

85


(58)

49

memanfaatkan pasar tradisional ini dengan menjadi pedagang maupun pembeli, bahkan pelaku ekonomi datang dari berbagai desa.86

Keadaan topografi yang mayoritas daratan di sebelah selatan desa juga sangat cocok dijadikan lahan pertanian, sehingga dengan adanya perubahan sosial menghasilkan peningkatan di bidang teknologi dan menggerakkan sumber daya manusia desa Kranji untuk berinovasi memanfaatkan lahan perkebunan dengan menanam jagung, cabe, singkong dan tanaman pokok lainnya. Di samping itu, ada pula sektor usaha tambak di sebelah barat desa.

Jika di uraikan mata pencaharian serta profesi masyarakat desa Kranji adalah sebagai berikut:

1. Nelayan, baik nelayan tradisional maupun nelayan modern 2. Petani

3. Pegawai negeri sipil (PNS) 4. Pegawai swasta

5. Guru atau dosen 6. Pengusaha 7. Dokter 8. Bidan 9. Buruh tani

10. Pembantu rumah tangga 11. Perawat

86


(59)

50

12. Peternak

13. Penjahit, tukang cukur dan service elektronik serta masih banyak lagi yang lainnya.87

4. Lembaga Pemerintahan Desa

Secara garis organisasi desa Kranji dipimpin oleh Kepala Desa (Kades) yang dibantu oleh Sekretaris Desa (Sekdes), dua Kepala Urusan (Kaur) dan tiga Kepala Dusun (Kasun). Adapun nama-nama pejabat desa Kranji adalah sebagai berikut:88

Kepala Desa : Husnul Wafiq, S.T

Sekretaris Desa : Drs. Aly Fatah Kaur Pemerintahan : Moh. Said Kaur Pembangunan : Moh. Sabiq Kasun 1 (Dsn. Kranji) : Samirin Kasun 2 (Dsn. Tepanas) : Ahmad Tasrun Kasun 3 (Dsn. Sidodadi) : Kusnan

Komposisi para pejabat pemerintah desa Kranji yang mempunyai latar belakang organisasi keagamaan yang berbeda (NU/Muhammadiyah) ternyata tidak mengakibatkan retaknya upaya membangun sinergi di antara mereka. Bahkan, sikap yang ditunjukkan oleh para para pejabat pemerintah desa Kranji tersebut dapat menjadi semacam acuan bagi warga

87

Fatah,Data Potensi Desa/Kelurahan Kranji, 15.

88


(60)

51

masyarakat dalam membangun hubungan harmonis sesama pemeluk agama.89

5. Keadaan Sosial Politik

Dengan adanya perubahan dinamika politik dan sistem politik di Indonesia yang lebih demokratis, memberikan pengaruh kepada masyarakat untuk menerapkan suatu mekanisme politik yang dipandang lebih demokratis. Dalam konteks politik lokal desa Kranji tergambar dalam pemilihan kepala desa dan pemilihan-pemilihan lain (pileg, pilpres, pemilukada dan pilgub) yang juga melibatkan warga masyarakat sekitar secara umum.

Khusus di desa Kranji jabatan kepala desa merupakan jabatan yang tidak serta merta dapat diwariskan kepada anak cucu ataupun karena seseorang tersebut dari kalangan yang berada. Namun, dipilih karena kecerdasan, etos kerja, kejujuran dan kedekatannya dengan warga desa. Jabatan kepala desa bisa dicabut sewaktu-waktu jika seseorang tersebut melanggar peraturan maupun melanggar norma-norma yang berlaku.90

Dengan demikian, maka setiap orang yang dapat memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan yang berlaku dapat mendaftarkan diri menjadi kandidat kepala desa. Fenomena ini umumnya terjadi pada setiap pemilihan kepala desa Kranji, yang terakhir dilaksanakan tahun 2016 lalu. Pada pemilihan kepala desa waktu itu, partisipasi masyarakat

89

Husnul Wafiq,Wawancara, Kranji, 10 April 2017.

90


(61)

52

sangat tinggi yakni hampir 85% dari jumlah penduduk yang ada. Pada waktu itu ada 2 kandidat kepala desa yang mengikuti pemilihan.91

Setelah proses pemilihan kepala desa berakhir, situasi desa kembali berjalan normal. Hiruk pikuk warga dalam pesta demokrasi desa berakhir dengan kembalinya kehidupan sebagaimana mulanya. Walaupun pola kepemimpinan di tangan kepala desa, namun mekanisme pengambilan keputusan selalu ada keterlibatan masyarakat baik melalui lembaga resmi desa seperti Badan Perwakilan Desa maupun langsung bermusyawarah dengan masyarakat. Dengan demikian, terlihat bahwa pola kepemimpinan di wilayah desa Kranji mengedepankan pola kepemimpinan demokratis.92

Berdasarkan beberapa fakta di atas, desa Kranji mempunyai dinamika politik lokal yang bagus. Hal ini terlihat dari segi pola kepemimpinan, mekanisme pemilihan kepemimpinan, hingga partisipasi masyarakat dalam menerapkan sistem politik demokratis ke dalam kehidupan politik lokal. Akan tetapi, masyarakat desa Kranji masih kurang antusias dalam hal politik daerah dan nasional. Hal ini dikarenakan dinamika politik nasional belum menyentuh secara total dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, terutama yang berkaitan dengan permasalahan, kebutuhan dan kepentingan desa Kranji secara langsung.

Dalam catatan sejarah, sejauh ini belum pernah terjadi bencana alam dan bencana sosial yang cukup besar di desa Kranji. Isu-isu terkait hal tersebut, seperti kemiskinan dan bencana alam tidak sampai pada titik

91

Aly Fatah,Wawancara, Kranji, 10 April 2017.

92


(62)

53

kronis yang membahayakan masyarakat dan sosial.93 Kondisi sosial masyarakat desa Kranji yang cenderung dinamis dan agamis menciptakan kerukunan antar masyarakat. Kultur yang kuat serta usaha masyarakat dalam pelestarian adat dan budaya desa dipertahankan sebagai warisan nenek moyang mereka. Maka, tak jarang ritual-ritual khusus keagamaan yang sifatnya“kejawen” masih sering dilakukan.

B. Kehidupan Keagamaan Masyarakat Desa Kranji

Masyarakat desa Kranji 100% beragama Islam. Terdapat sebuah masjid sebagai sarana keagamaan di desa ini, yaitu masjid Baitur Rahman dengan ukuran 60x80 meter yang bertempat di pinggir jalan raya desa Kranji. Selain masjid, di desa Kranji juga terdapat kurang lebih 35 musholla sebagai tempat beribadah masyarakat setempat.94 Adapun dari segi kehidupan keagamaan, masyarakat desa Kranji tidak bisa dilepaskan dari dua organisasi Islam yang pengaruhnya mewarnai hampir seluruh nafas kehidupan keagamaan di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Berikut pemaparannya:

1. Sejarah Perkembangan NU dan Muhammadiyah di Desa Kranji Tahun 1945-2016

Sejarah keberadaan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah di desa Kranji sejauh ini bisa dilacak sejak terbentuknya partai Masyumi pada 07 November 1945. Karena sejatinya, tokoh kunci Nahdlatul Ulama dan

93

Husnul Wafiq,Wawancara, Kranji, 10 April 2017.

94


(1)

93

mereka menyambut dengan begitu hangatnya. Karena kita adalah saudara. Dan semoga tidak akan pernah ada yang mengusik persaudaraan kita.”142

Sikap saling menghormati tersebut juga terlihat, misalnya ketika ada acara undangan khitanan, pernikahan, takziyah orang meninggal, menjenguk orang sakit dan berbagai macam hajatan lainnya. Warga masyarakat saling mengundang satu dengan lainnya.

Pengalaman historis interaksi masyarakat di desa Kranji memunculkan local wisdomuntuk mewujudkan pluralitas bersendikan tradisi. Kearifan budaya interaksi komunal ini telah melahirkan adat istiadat yang dilestarikan oleh masyarakat secara turun temurun. Mereka mampu belajar dari sejarah interaksi sosial para pendahulunya dengan tidak menyentuh hal-hal sensitif yang bisa “mengoyak” sendi

-sendi dasar kerukunan yang telah terbangun selama ini. Hasil nyata yang bisa dinikmati sekarang adalah masing-masing kultur dan ekspresi religiusitas yang dikembangkan oleh masing-masing kelompok dapat sama-sama hidup dan berkembang. Dengan demikian, perbedaan-perbedaan antar kelompok yang dapat memicu konflik dapat diminimalisir semaksimal mungkin, sehingga pada gilirannya dapat menumbuhkan konsistensi ke arah saling memahami dan menghargai.

142


(2)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari seluruh pemaparan yang dituangkan pada bab-bab sebelumnya, maka pada bagian ini penulis memberikan kesimpulan sebagai inti dari seluruh uraian penelitian tentang peran elite agama dalam pembentukan pola kehidupan keagamaan masyarakat desa Kranji Paciran Lamongan. Adapun penjelasannya sebagai berikut:

1. Dengan statusnya sebagai pimpinan dan anutan masyarakat, elite agama di desa Kranji menjalankan berbagai peranan, yakni: sebagai sebagai penasihat, sebagai penengah, penentu kebijakan, pemelihara dan pengawas kebijakan, pelindung masyarakat, pencipta keadilan serta sebagai penyelamat.

2. Dampak dari peran elite agama di desa Kranji, utamanya dalam hal sosial keagamaan mampu mengkonstruk pola kehidupan keagamaan masyarakat yang harmonis-pluralis. Konstruksi elite agama yang demikian ini terlihat dari: a) adanya toleransi masyarakat terhadap pemahaman keagamaan yang berbeda pada masing-masing kelompok; b) adanya rasa saling memiliki yang terwujud dalam jalinan silaturrahim dan saling bekerja sama; serta c) balasan kebaikan bagi siapapun yang berbuat jahat.


(3)

B. Saran

Kesadaran akan pentingnya memahami perbedaan yang ada sehingga senantiasa tercipta keharmonisan dalam hidup bermasyarakat dan bebas konflik, maka penulis menyarankan:

1. Bagi para pembaca dan masyarakat pada umumnya agar selalu berfikir positif terhadap orang lain, terutama yang berbeda dengan kita. Adanya perbedaan adalah suatu yang niscaya bagi manusia. Oleh karena itu, jadikan perbedaan sebagai suatu kekayaan, dan bukan suatu kenistaan yang harus dimusnahkan. Dengan demikian, hidup damai dan sejahtera akan dengan mudah tercapai.

2. Bagi peneliti selanjutnya, dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan. Hal tersebut dikarenakan penelitian hanya terbatas pada kalangan elite agama saja. Maka dari itu, penulis menyarankan untuk mengembangkannya dengan temuan-temuan baru.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsini. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 1996.

Diana L. Eck, http://pluralism.org/pluralism/what_is_pluralism.php. “What is Pluralism?” (Minggu, 18 Desember 2016, 12.53)

Djamari.Agama dalam Perspektif Sosiologi. Bandung: ALFABETA, 1993. Fatah, Aly. Data Potensi Desa/Kelurahan Kranji Kecamatan Paciran Kabupaten

Lamongan Provinsi Jawa Timur Tahun 2016. Lamongan: Pemkab. Lamongan, 2016.

_________. Data Tingkat Perkembangan Desa/Kelurahan Kranji Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur Tahun 2016. Lamongan: Pemkab. Lamongan, 2016.

Ghony, M. Djunaidi dan Fauzan Almanshur. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jogjakarta: AR-RUZZ Media, 2012.

Haekal, Muhammad Husain.Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah. Jakarta: Mitra Kerjaya Indonesia, 2010.

Hidayat, Komaruddin. “Ragam Beragama”, dalam Atas Nama Agama: Wacana

Agama dalam Dialog “Bebas” Konflik, ed. Andito. Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.

Kahmad, Dadang.Sosiologi Agama. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.

Keller, Suzanne. Penguasa dan Kelompok Elite: Peranan Elite Penentu dalam Masyarakat Modern, terj. Zahara D. Noer. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.

Kementrian Agama RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya,Jilid 2. Jakarta: Widya Cahaya, 2011.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.Masyarakat Indonesia: Majalah Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: LIPI Press, 2008.

Mansyur, M. Cholil. Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa. Surabaya: Usaha Nasional, 1980.


(5)

Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES, 1985.

__________.Partai-partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965. Jakarta: Graffiti Press, 1987.

Poerwadarminto, W. J. S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1986.

Rachman, Budhy Munawar.Argumen Islam untuk Pluralisme. Jakarta: Gramedia, 2010.

Rauf, La Ode Abdul. Peranan Elite dalam Proses Modernisasi. Jakarta: Balai Pustaka, 1987.

Ritzer, George dan Douglas Goodman. Teori Sosiologi Modern, terj. Amandan. Jakarta: Kencana, 2003.

Saletore. “Ulama”, dalam Sartono Kartodirdjo, Elite dalam Perspektif Sejarah.

Jakarta: LP3ES, 1983.

Sarwono.Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. Schoorl, J. W. Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negara

Sedang Berkembang. Jakarta: Gramedia, 1980.

Soehartono, Irawan.Metodologi Penelitian Sosial. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.

Sou’yb, Joesoef.Agama-agama Besar Dunia. Jakarta: Al-Husna Zikra, 1983.

Spradley, James.Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997.

Subiantoro, Rudi. Profil Lembaga Sosial Keagamaan di Indonesia. Jakarta: Departemen RI, 2002.

Suyanto, Bagong. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana, 2007.

Turner, Bryan S.Agama dan Teori Sosial. Yogyakarta: IRCisoD, 2003.

Wikipedia, http://id.m.wikipedia.org/wiki/pola. “Pola” (Selasa, 20 Desember 2016)


(6)

Yusron. Elite Lokal dan Civil Society: Kediri di tengah Demokratisasi. Jakarta: LP3ES, 2009.

Zaenal Arifin, http://arifin-zaenalarifin.blogspot.co.id/2013/06/keagamaan-masyarakat-pedesaan.html?m=1. “Keagamaan Masyarakat Pedesaan” (Minggu, 18 Desember 2016, 12.53)