HIJRAH DALAM novel PARADIGMA MENGAJAR

HIJRAH DALAM PARADIGMA MENGAJAR
Oleh : Muqorobin
(Guru SMA Avicenna Jagakarsa, Jakarta Selatan)
Saat ini isu-isu aktual yang terkait dengan dunia pendidikan adalah perubahan dunia yang
bersifat kompleks dan persaingan sumber daya manusia yang kompetitif. Siswa hidup berada
dalam suatu abad yang penuh dengan perubahan yang cepat, penemuan-penumuan baru yang
mengundang sikap konsumtif, kemudahan akses dunia maya yang dapat berpengaruh pada
perilaku asusila dan adiksi game online, dan lunturnya nilai-nilai budaya bangsa yang
berpengaruh pada sikap permisif siswa. Karena itu, agar siswa dapat melakukan adapatasi proses
perubahan tersebut dengan positif maka dibutuhkan langkah kongkrit dari guru yakni dengan
melakukan hijrah dalam paradigma mengajar siswanya.
Makna hijrah diartikan sebagai proses meninggalkan, menjauhi dan melakukan
perubahan dari hal yang negatif menuju ke positif. Secara eksplisit rasulullah mencontohkan
bahwa hijrah merupakan sebagai perilaku yang didasarkan pada niat dan itikad diri yang tulus
dari hati nurani seseorang untuk melakukan perubahan yang lebih baik. Paradigma merupakan
sebagai konsep cara pandang atau persepsi seseorang dalam menerima informasi dan mengambil
tindakan sebagai suatu keputusan. Sedangkan mengajar merupakan suatu aktifitas penyampaian
ilmu pengetahuan dari guru ke siswa dengan cara mengorganisasi atau mengatur lingkungan
pembelajaran dengan sebaik-baiknya. Melalui mengajar guru mengeksperikan segala potensi dan
kepribadian yang melekat dalam dirinya dan para siswa sebagai hasil karya ekspresi diri dalam
pengajaran.

Hijrah dalam konteks mengajar memiliki makna sebagai upaya perubahan guru dalam
melakukan perbaikan tugas pengajaran yang dilakukan selama ini, sehingga pengajaran dapat
berdampak positif pada siswa yang diajarnya. Tanpa ada upaya sadar diri dari seorang guru untuk
melakukan hijrah dalam mengajar, maka sulit rasanya pendidikan akan dapat berdampak positif
bagi perkembangan siswa apalagi sampai pada perbaikan kondisi bangsa.
Tentang hijrah dalam makna perubahan secara tegas peringatan Allah SWT Al-Qur’an
difirmankan : Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu
sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka (QS. Ar Ra’d :11). Berdasarkan ayat
tersebut jelaslah bahwa guru sebagai agen perubahan (agent of change) dalam pendidikan
memiliki peran utama dalam melakukan perubahan dari diri sendiri lalu ditularkan pada siswa
dan lingkungan sekitarnya. Hijrah dalam paradigma mengajar bagi guru meliputi beberapa aspek
seperti meluruskan niat, memperbaiki kebiasaan dalam tugas mengajar dan meningkatkan
kualitas diri melalui kesadaran untuk selalu belajar.
Niat merupakan keinginan dan maksud yang dihasilkan oleh kondisi hati nurani
seseorang pada saat akan menjalankan tugas atau pekerjaan. Peran niat seorang guru dalam
mengajar sangat menentukan dari proses dan hasil pengajaran yang dilakukannya. Kalau guru
mendasarkan niat mengajarnya karena ibadah, maka segala perilaku pengajaran yang
dilakukannya pun akan benar begitu juga dampaknya pada siswa adalah ilmu yang bermanfaat
dan akhlak mulia. Sebagaimana dikatakan Imam An Nawawi bahwa niat adalah ukuran dalam


menilai benarnya suatu perbuatan, oleh karenanya, ketika niatnya benar, maka perbuatan itu
benar, dan jika niatnya buruk, maka perbuatan itu buruk. Dalam kenyataannya, guru pada saat
menjalankan tugas mengajar terkadang mengalami dan menemukan hambatan dalam hati nurani
yakni niat yang tidak tulus. Bercabangnya niat yang bercampur aduk dalam diri guru saat
menjalankan tugas mengajar dapat berdampak pada tidak fokusnya guru untuk menjalankan
tugasnya secara profesional. Walhasil dampaknya pun tidak optimal dalam pengajaran semua
serasa sia-sia tanpa makna. Oleh karena itu, hijrah untuk selalu meluruskan niat adalah sebagai
suatu keniscayaan bagi guru pada saat akan keluar rumah sebelum menjalanlan tugas mengajar.
Guru harus mampu merefleksikan niatnya bahwa mengajar bukan sekedar pekerjaan materialduniawi tetapi mengajar juga memiliki nilai yang lebih besar yakni spiritual untuk ibadah.
Hijrah dalam paradigma mengajar selanjutnya adalah memperbaiki kebiasaan kurang
baik dalam mengajar. Pada saat guru menjalankan tugas mengajar selama berpuluh-puluh tahun
terkadang dapat memunculkan sikap antipati terhadap perubahan dan menguatkan suatu
kebiasaan bagi guru yang sulit diubah. Padahal kebiasaan yang melekat pada guru belum tentu
baik bagi diri dan siswanya terlebih dalam kondisi saat ini, karena itu guru harus mau dan berani
menghilangkan kebiasaan-kebiasaan negatif dalam pengajaran sebelum ia memerintahkan
siswanya untuk berubah. Perubahan kebiasaan dalam mengajar bagi diri guru yang dapat
dilakukan seperti cara perpakaian, kerapihan penampilan, komunikasi yang efektif, berhenti
untuk merokok, pandai menempatkan diri sebagai tauladan, tidak emosional dan berpikir
progresif untuk kemajuan siswanya, disamping juga merubah cara pembelajaran yang dilakukan
untuk lebih kreatif.

Terakhir hijrah yang perlu dilakukan guru adalah merubah sikap merasa puas diri dengan
apa yang dimiliki dalam hal keilmuan. Guru merupakan profesi yang tidak statis tetapi bersifat
konstan dan dinamis mengingat medium yang dihadapinya adalah manusia sebagai makhluk
hidup. Bertolak dari hal itu, guru harus bersikap adaptif dan inovatif sebagai upaya kreasi untuk
mengolah siswanya menjadi manusia yang ada sesuai dengan fitrah dan potensinya. Disitulah
guru dituntut untuk mau melakukan proses belajar sebagai bentuk pengembangan diri dan sikap
responsif guru terhadap dinamisasi perubahan pada siswanya. Tanpa melakukan upaya hijrah
untuk pengembangan diri melalui belajar secara terus menerus, maka guru akan menuai
kegagalan alias “mati kutu” pada saat menjalankan tugas pengajaran.
Guru dalam menjalankan tugas mengajar selama berpuluh-puluh tahun, tentu sebagai
akibatnya adalah menguatnya tradisi kebiasaan dan pola pikir dalam diri guru. Hal itu terjadi,
karena pengaruh lingkungan sosial-budaya guru, sistem yang sudah berada dalam kondisi yang
dianggap “nyaman”, godaan materi yang serba instant dan sikap malas guru untuk melakukan
pengembangan diri. Kalau hal itu terjadi secara berulang-ulang pada mayoritas setiap guru, maka
tunggulah kehancuran dunia pendidikan dinegeri tercinta ini. Oleh karena itu, upaya hijrah dalam
paradigma pendidikan harus dilakukan oleh setiap guru apabila menginginkan suatu perubahan
yang lebih baik bagi generasi bangsa yang akan datang. Terakhir penulis ingin mengutip
pendapat Stephen R Covey dalam bukunya 7 Habits sebagai bahan refleksi, yang menyatakan :
“Jika Anda menginginkan perubahan kecil garaplah perilaku Anda; jika Anda menginginkan
perubahan besar dan mendasar, garaplah paradigma.” Wallahu a’alam bish shawab.