MEMBACA FENOMENA BUNUH DIRI DI KEBUMEN

1|Opini – Ha r ia n Ba nyuma s, 28 Mei 2016

MEMBACA FENOMENA BUNUH DIRI DI KEBUMEN
Sebuah Perspektif Sosiologis
Teguh Hindarto

Peminat Kajian Sosial dan Sejarah
(Artikel ini di muat di Harian Banyumas, Tgl 28 Mei 2016)

Catatan:

Artikel ini telah diperbarui datanya dikarenakan adanya pertambahan kasus
di tahun 2016 dan diberi sejumlah catatan tambahan untuk memperjelas
gagasan.
Sepanjang tahun 2015 telah terjadi enam kali kasus kematian akibat bunuh
diri di Kebumen (10 Januari, 20 Maret, 10 April, 27 Agustus. Sementara
tahun 2016 sudah mencapai lima kasus bunuh diri. Terakhir (saat artikel ini
dimuat di surat kabar Harmas) menimpa seorang guru di wilayah
Kuwarasan (22 Mei 2016). Sekarang telah bertambah menjadi sepuluh
kasus (saat artikel ini diperbarui jumlah kasusnya, yaitu: 23 Januari, 9
Februari, 24 Maret, 10 April, 30 April, 8 Mei, 9 Mei, 22 Mei, 13 Juni, 23

Juni)
Apa yang terjadi dengan masyarakat kita khususnya di sebuah wilayah
kabupaten yang belum terkategori sebagai wilayah industri dengan
dinamika kehidupan sosial ekonomi yang kompleks? Pada tahun 1897,
seorang sosiolog Prancis bernama Emile Durkheim menuliskan kajiannya
yang mendalam berkaitan dengan fenomena bunuh diri dihampir seluruh
negara di Eropa. Kajiannya diberi judul “Suicide: A Study In Sociology,
London: Routledge Classics 2002 ” dan berisi analisis sosiologis
komprehensif berkaitan dengan variabel-variabel dalam struktur sosial

2|Opini – Ha r ia n Ba nyuma s, 28 Mei 2016

yang dapat menimbulkan terjadinya bunuh diri. Hasil analisis Durkheim
akan kita terapkan dalam kasus yang terjadi di wilayah Kabupaten
Kebumen sepanjang tahun 2015-2016 ini.
Durkheim membuat klasifikasi tipe-tipe bunuh diri menjadi empat yaitu:
Bunuh Diri Egoistik (Egoistic Suicide), Bunuh Diri Altruistik (Altruistic
Suicide), Bunuh Diri Anomik (Anomic Suicide), Bunuh Diri Fatalistik
(Fatalistic Suicide). Sebenarnya masing-masing jenis bunuh diri masih
terbagi dalam beberapa tipologi namun karena sifatnya terlalu teknis maka

dalam artikel ini kita batasi dalam empat tipologi utama saja. Sebelum
menjelaskan makna tipe-tipe bunuh diri di atas, kita lihat terlebih dahulu
analisis akar persoalan penyebab tipe-tipe bunuh diri berkaitan dengan
fakta sosial yang mendasarinya yaitu “Integrasi” dan “Regulasi”. Istilah
“Integrasi”, mengacu pada kekuatan keterikatan yang kita miliki pada
masyarakat. Sementara “Regulasi” mengacu pada derajat paksaan eksternal
pada masyarakat. Menurut Durkheim, tipe-tipe bunuh diri yang telah
disebutkan di atas sangat berkaitan dengan tinggi rendahnya dua variabel
fakta sosial di atas.
Jika Integrasi individu dengan keluarga atau kelompok sosial serta
keagamaan lemah, maka akan menimbulkan tipe Bunuh Diri Egoistik.
Namun jika Integrasi individu terlalu tinggi dengan keluarga dan kelompok
sosial serta keagamaan, maka akan menimbulkan bunuh diri yang bersifat
Altruistik.
Bunuh Diri Egoistik biasanya terjadi di kota-kota besar dimana kohesi
sosial atau kerapatan hubungan renggang akibat individualisme. Lalu
mereka menjadi frustasi terhadap sejumlah kegagalan yang mereka alami
sehingga mendorong mereka melakukan tindakan berdasarkan dorongan
egonya untuk mengakhiri kehidupannya. Sementara Bunuh Diri Altruistik
terjadi karena ikatan dengan kelompok terlalu kuat sehingga mendorong

mereka melakukan bunuh diri sebagai wujud pengabdian maupun
dukungan sebagaimana kasus bom bunuh diri yang dilakukan kelompok

3|Opini – Ha r ia n Ba nyuma s, 28 Mei 2016

teroris ataupun tradisi “Sati” di India kuno, dimana seorang istri mengikuti
kematian suaminya dengan melakukan bunuh diri.
Jika fakta sosial berupa Integrasi menjadi variabel terjadinya Bunuh Diri
Egoistik dan Bunuh Diri Altruistik, maka variabel fakta sosial kedua yaitu
Regulasi menjadi penentu terjadinya Bunuh Diri Anomik dan Bunuh Diri
Fatalistik. Aturan-aturan dalam masyarakat yang “kendhur” (longgar) dan
kehilangan tajinya akibat perubahan sosial yang cepat serta kekacauan
ekonomi, menimbulkan situasi frustasi bagi sejumlah individu tertentu
sehingga dirinya mengalami “Anomie” atau ketiadaan norma dalam
hidupnya. Sementara Regulasi atau aturan yang terlalu ketat dan kaku
dapat memicu terjadinya Bunuh Diri Fatalistik sebagaimana dialami para
budak yang frustasi dengan aturan yang tidak memberi peluang masa
depan atau sikap frustasi sejumlah masyarakat manakala terjadi berbagai
stigma masyarakat terhadap dirinya akibat adanya sebuah aturan atau
larangan yang menghubungkan dirinya dengan organisasi tertentu.

Berkaca dari analisis dan kajian Durkheim mengenai tipe-tipe bunuh diri di
atas dan contoh kasus yang diaktualisasikan dalam konteks kekinian, maka
sejumlah kasus bunuh diri di Kebumen bisa dikategorikan Bunuh Diri
Egoistik dan Bunuh Diri Anomik. Apa alasannya? Bukankah Bunuh Diri
Anomik biasanya terjadi di wilayah-wilayah perkotaan? Kabupaten
Kebumen, sekalipun sebuah wilayah dengan mayoritas penduduk pertanian
namun sedang mengalami pergeseran menuju semi industri sehingga
menimbulkan perubahan-perubahan sosial yang cepat. Perubahan sosial
yang cepat dan tidak diantisipasi dengan kesiapan mental dapat
menimbulkan guncangan psikologis. Bagi mereka yang integrasi sosialnya
lemah dengan keluarga, kelompok sosial dan keagamaan tentu akan
mengakhiri dengan Bunuh Diri Egoistik. Sementara beberapa regulasi atau
aturan-aturan dalam masyarakat terlalu longgar dan tidak berfungsi
membendung arus perubahan sosial dan ekonomi sehingga membuat
beberapa individu di wilayah Kabupaten Kebumen mengalami situasi

4|Opini – Ha r ia n Ba nyuma s, 28 Mei 2016

“Anomie” alias kehilangan norma pengendali sehingga berakhir dengan
bunuh diri.

Lalu apa yang bisa kita antisipasi berkaca dari analisis Durkheim dan
sejumlah kasus bunuh diri yang tinggi di Kebumen? Pertama, rumah harus
menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi anggota keluarga dimana
mereka saling berinteraksi dan membangun integrasi psikologis melalui
keterbukaan dan komunikasi yang dibangun. Integrasi yang sehat dengan
orang-orang terdekat menghindarkan individu mengambil keputusan nekad
di saat kalut oleh tekanan. Kedua, sekolah harus menjadi tempat yang
nyaman dan aman bagi peserta didik untuk membangun interaksi dan
integrasi sosial dengan guru dan sesamannya sehingga mereka memiliki
orang-orang yang dapat dipercaya manakala mereka mengalami persoalan
yang berat dan tidak tergoda untuk mengambil keputusan jalan pintas
melalui bunuh diri.