INOVASI CARBON FARMING DALAM MENGHADAPI

INOVASI CARBON FARMING DALAM
MENGHADAPI BERBAGAI ANCAMAN &
TANTANGAN GLOBAL
SERTA PEMBANGUNAN KEHUTANAN YANG
LESTARI

OLEH :
GusmaiLina

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HASIL HUTAN
BADAN LITBANG & INOVASI
Jalan Gunung Batu No. 5. Telp/Fax (0251) 8633378; 8633413. Bogor.

2

INOVASI CARBON FARMING DALAM MENGHADAPI BERBAGAI
ANCAMAN & TANTANGAN GLOBAL SERTA PEMBANGUNAN
KEHUTANAN YANG LESTARI
Oleh : Gusmailina
Pusat Litbang Hasil Hutan (P3HH) Badan Litbang Kehutanan
Jalan Gunung Batu No. 5. Telp/Fax (0251) 8633378; 8633413. Bogor.

Email : [email protected]
RINGKASAN
Salah satu cara untuk mendukung tercapainya berbagai tantangan global,
diperlukan inovasi dan pengembangan sistem budidaya (farming) yang berkelanjutan,
ramah lingkungan, dan rendah emisi. Sistem tersebut selain harus mampu mendukung
peningkatan produksi padi, juga bisa memantapkan ketahanan pangan nasional yang
berkelanjutan, yang berujung pada meningkatnya kesejahteraan petani dan kelestarian
sumberdaya, menurunkan emisi GRK (gas rumah kaca) sekaligus mengembangkan
energi terbarukan.
Carbon farming merupakan metode kultivasi atau budidaya
(pertanian, perkebunan atau kehutanan) dengan cara mengurangi atau menangkap
emisi Gas Rumah Kaca, sekaligus menyimpan tanpa melepaskan carbon dari tanaman
dan tanah. Dalam hal ini termasuk pengelolaan air, lahan, tumbuhan dan hewan secara
terpadu untuk menghadapi tantangan restorasi, perubahan iklim dan ketahanan
pangan dalam mengurangi emisi pada proses produksinya, sekaligus meningkatkan
produksi dan produktivitas serta penyerapan karbon dalam sistim lansekap areal
budidaya. Aplikasi biocham (biochar soil amandement) atau biochar pembangun
kesuburan tanah atau juga dengan kata lain arang sebagai pembangun kesuburan
tanah, merupakan cara peningkatan kualitas tanah secara permanen. Banyak studi
yang telah dilakukan baik di dalam maupun di luar negeri menunjukkan bahwa

biochar/arang merupakan aktor penting untuk mengatasi berbagai krisis secara mudah
dan murah. Pustekolah sejak tahun 1998 telah melakukan serangkain penelitian dan
uji coba serta sosialisasi di lapangan baik perorangan maupun secara kelompok
tentang aplikasi arang (karbon) pada berbagai jenis tumbuhan. Hasil yang diperoleh
menyimpulkan bahwa peranan arang dalam rangkaian sistem kultivasi/farming
(budidaya) sangat signifikan dalam meningkatkan produksi dan produktivitas lahan,
baik tanaman pertanian maupun kehutanan. Dalam proses karbonisasi, diterapkan
teknologi tanpa/sedikit asap, sehingga diperoleh asap cair sebagai hasil samping yang
mempunyai nilai dan manfaat multi fungsi. Dalam pengembangan tahap selanjutnya
arang kemudian diperkaya menjadi arang kompos bioaktif, sehingga kandungan nutrisi
hara lebih tinggi.

Kata kunci : karbon, farming, arang kompos, tantangan global, inovasi, pembangunan
kehutanan
====================================================
==========================

3
*)


Disampaikan sebagai makalah pada pertemuan teknis di PT. Inhutani 2, Jl. Tebet Timur Raya No. 7
Jakarta Selatan pada Tanggal 9 Juni 2015.

**) Peneliti pada Pusat Litbang Hasil Hutan (P3HH) Badan
Litbang & Inovasi, KemenLHK, Jalan Gunung
Batu No. 5. Telp/Fax (0251) 8633378; 8633413. Bogor. Email : [email protected]

I. PENDAHULUAN
Komitmen bangsa Indonesia yang disampaikan oleh presiden RI pada acara G-20
Leaders Summit di Pittsburgh (USA), serta saat COP-15 di Copenhagen, Denmark akan
berupaya menurunkan emisi nasional sebesar 26% dengan kemampuan sendiri serta
dengan dukungan dunia internasional maka Indonesia mampu menurunkan 41% emisi
nasional pada tahun 2020 (Sugardiman, 2013).

Lebih lanjut dikemukakan bahwa

ternyata pembangunan Indonesia masih bertumpu pada penggunaan (alih) lahan
dimana mengkonversi tutupan hutan menjadi bukan tutupan hutan. Berbeda dengan
kondisi emisi total dunia yang bersumber dari energi/power sebesar 24%, industri 14%,
transportasi 14%, sedangkan perubahan lahan hanya 14%.


Berdasarkan Peraturan

Presiden RI nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas
Rumah Kaca (RAN-GRK), bahwa target penurunan emisi dari sektor kehutanan dan
lahan gambut sebesar 0,672 gg ton CO 2 atau 87,60%, sementara emisi sektor
kehutanan dan lahan gambut pada Indonesia Second National Communication tahun
2010 hanya 59,60%. Sehingga sesungguhnya besar peran kehutanan untuk nasional
karena

mampu

membantu

menurunkan

emisi

nasional


secara

nyata

melalui

penyerapan atau sink/sequestration (Peraturan Presiden No 61 Tahun 2011).
Carbon farming adalah sistim pengelolaan lahan dan budidaya tanaman berbasis
carbon.

Carbon dalam bentuk arang dihasilkan dari proses karbonisasi yang juga

dikenal dengan istilah biochar atau disebut juga biochar soil amandement (biocham).
Biocham jika diaplikasikan ke dalam tanah mempunyai peran yang sangat besar dalam
membangun kesuburan lahan dan mitigasi emisi. Bahkan di beberapa negara, selain
untuk membangun kesuburan lahan, juga menjadi solusi dalam mengentaskan
kemiskinan dan kesehatan masyarakat, yang berdampak terhadap peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Sistim carbon farming dapat meningkatkan ketersediaan
kation utama dan fosfor, total nitrogen, dan kapasitas tukar kation tanah. Ketersediaan
hara yang cukup bagi tanaman merupakan dampak dari bertambahnya nutrisi secara

langsung dari aplikasi biochar dan meningkatnya retensi hara, di samping perubahan

4
dinamika mikroba tanah. Keuntungan jangka panjang dari carbon farming bagi
ketersediaan hara tanaman berhubungan dengan stabilisasi karbon organik yang lebih
tinggi dibanding bahan organik yang biasa digunakan dalam budi daya tanaman.
Sebagai deposit karbon di tanah, biochar bekerja dengan cara mengikat dan
menyimpan CO2 dari udara agar mencegah terlepas ke atmosfir. Kandungan karbon
yang terikat dalam tanah jumlahnya besar dan tersimpan hingga waktu yang lama,
diperkirakan ratusan hingga ribuan tahun. Para

ilmuwan menyatakan bahwa untuk

area 250 ha mampu mengikat 1900 ton CO 2 dalam setahun (JFE, 2011; Marin Carbon
Project, 2013).

II. ANCAMAN DAN TANTANGAN GLOBAL

Indonesia sangat rentan terhadap naiknya permukaan air laut dan banjir,
dengan pola cuaca yang tidak menentu tersebut tentu akan berdampak pada

produksi pertanian, perkebunan, perikanan bahkan kehutanan yang menjadi
penopang hidup masyarakat. sementra pada saat yang bersamaan, Indonesia
juga menjadi kontributor emisi global gas rumah kaca yang cukup signifikan.
Di sektor pertanian, Indonesia dihadapkan pada tantangan meningkatkan
produksi,

memantapkan

ketahanan

pangan,

meningkatkan kesejahteraan

petani, keberlanjutan (sustainability), kelestarian sumberdaya, dan tercapainya
MDG’s (penurunan angka kemiskinan, pengangguran dan rawan pangan). Pada
skala global, sektor budidaya (farming) terutama pertanian dituntut untuk
meningkatkan kepedulian terhadap ancaman pemanasan global melalui usaha
adaptasi dan mitigasi penurunan emisi gas rumah kaca (GRK).


Untuk

mendukung tercapainya tantangan tersebut, diperlukan pengembangan sistem
budidaya (farming) yang berkelanjutan, ramah lingkungan, dan rendah emisi.
Sistem tersebut harus mampu mendukung peningkatan produksi padi, dapat
memantapkan ketahanan pangan nasional yang berkelanjutan, yang berujung
pada

meningkatnya

menurunkan

emisi

kesejahteraan
GRK

serta

petani


dan

mengembangkan

kelestarian

sumberdaya,

pengembangan

terbarukan (Climate Change Secretariat/UNFCCC, 2007).

energi

5
A. Ancaman dan Tantangan

Karbon


yang

terlepas

(carbon

emision)

di

udara

bebas

akan

mengakibatkan suhu permukaan laut meningkat. Peningkatan suhu muka air
laut ini akan meningkatkan pencairan es kutub. Pada abad 20 diperkirakan
permukaan air laut naik sebesar 0,17 m, dan pada tahun 2100 diperkirakan
akan naik sebesar 0,18 – 0,59 m. Besarnya kenaikan muka air laut tersebut

tergantung dari kecepatan pencairan es di kutub selatan / utara (Bindoff et al,
2007).

Untuk menanggulangi global warming berdasarkan Protokol Kyoto,

menempatkan beban tanggung jawab paling banyak kepada negara-negara
maju untuk membatasi emisi karbon, dimana golongan tersebut kemudian
disebut sebagai golongan Annex I. Untuk Negara-negara berkembang, yang
selanjutnya di sebut golongan Non Annex I tidak dikenai kewajiban untuk
membatasi emisi karbon, sehingga kebijakan ini diharapkan tetap dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang. Pembatasan
tingkat emisi karbon pada suatu negara kemudian dituangkan dalam bentuk
sertifikat dimana ilustrasi konsepnya, apa bila setiap orang diperbolehkan
maksimal merokok lima batang maka setiap orang mendapatkan sertifikat / ijin
untuk lima batang rokok tersebut. Namun apa bila ada orang yang mau
merokok lebih dari lima batang, maka dia diwajibkan membeli sertifikat dari
pihak lain. Dengan membeli sertifikat tersebut maka pembeli sertifikat dapat
merokok lebih dari lima batang, sedangkan pihak yang telah dibeli sertifikatnya
tidak boleh merokok sebanyak lima batang, atau berkurang sebesar nilai
sertifikat yang dijualnya.0 (Ruddell, 2006).
Jual beli karbon ini juga diperbolehkan untuk kawasan hutan, khususnya
hutan produksi. Suatu negara dapat membeli tegakan hutan (sertifikat karbon
dari hutan) agar tidak ditebang (diambil kayunya), sehingga hutan tersebut
tidak melepaskan karbon ke udara bebas (Rudell, 2006). Kesulitan yang paling
besar adalah penentuan nilai atau harga karbon yang terkandung di dalamnya.
Salah satu cara untuk mengestimasi nilai kandungan karbon adalah dengan

6

melakukan penaksiran terhadap shadow price tegakan hutan apabila dipakai
sebagai penghasil kayu. Hal ini karena apabila hutan produksi tidak ditebang,
maka tidak dapat menghasilkan kayu sehingga pendapatan nasional dari sub
sektor kehutanan akan terhenti, karena semua proses penebangan dan efek
domino dari hasil pengolahan kayu tidak berjalan lagi.
Shadow Price dari hutan produksi yaitu berupa biaya akibat dari
kesempatan yang hilang apabila hutan tersebut digunakan oleh pengusaha
sebagai penghasil kayu hutan. Konsep Shadow Price yang dimaksudkan sama
dengan biaya kesempatan yang hilang (Opportunity Cost), dimana suatu usaha
harus mempertimbangkan pada alternatif peruntukan lain, sebagai nilai biaya
suatu usaha tersebut. Untuk itu, seharusnya nilai / harga karbon yang
dihasilkan dari hutan produksi akan dihargai berbeda dengan nilai / harga
karbon yang berasal dari tempat lain seperti dari hutan desa /hutan adat, atau
dari areal pertanian yang sengaja dibiarkan untuk menyerap karbon. Hal ini
karena adanya perbedaan biaya kesempatan yang hilang dari masing-masing
kondisi wilayah tersebut (Republika, 2007).
Nilai jual karbon di masing-masing wilayah berbeda-beda, tergantung dari
negosiasi antara pembeli dan penjualnya. Sebagai contohnya, studi di Harda,
India, menyebutkan bahwa dalam sebuah desa yang wilayahnya mempunyai
areal hutan kering campur seluas 11.000 Ha, mempunyai potensi penyerapan
karbon sebesar 3,4 ton tiap hektar. Setiap ton karbon dihargai dengan nilai 10
dolar US. Studi lain, menyebutkan sebuah proyek yang terjadi di Mexico. Proyek
tersebut melibatkan 400 petani yang kegiatannya adalah merubah kebun
campur menjadi tanaman kayu yang diperhitungkan mampu menyerap karbon
sebesar 17.000 ton, dengan kisaran harga 10-12 dolar AS per ton (Kompas,
2007).
Peralihan fungsi hutan dari tujuan penghasil kayu menjadi penyerap
karbon akan memberikan beberapa dampak, khususnya kepada pendapatan
yang selama ini diterima oleh pemerintah, berupa pungutan (iuran) hasil hutan,

7

dan sektor swasta khususnya sektor industri kehutanan serta masyarakat yang
terlibat dalam pengelolaan hutan tersebut. Apabila hutan digunakan untuk
penangkap karbon, maka hutan tidak boleh ditebang, atau ada pembatasan
jumlah tebangan sehingga pendapatan sub sektor kehutanan akan terhenti
khususnya dari proses penebangan kayu tersebut sampai dengan industri
hilirnya, yang pada akhirnya dapat dijadikan shadow price dari penjualan
tegakan hutan sebagai areal penyimpan karbon. Permasalahan yang timbul
adalah belum diketahuinya kandungan karbon pada tegakan Hutan Produksi
dan besarnya nilai shadow price/opportunity cost pada tegakan tersebut
(Republika 2007).
B. Indonesian carbon efficient farming (ICEF)
Indonesia perlu mengembangkan sistem Indonesian carbon efficient
farming atau pertanian efisien karbon atau sama juga dengan pertanian hijau
(green farming) yaitu sistem pertanian yang memanfaatkan secara optimal
karbon yang dikandung oleh bahan organik sisa tanaman dan limbah ternak
sehingga

memberikan

nilai

tambah

berupa

peningkatan

produktivitas,

pendapatan, dan efisiensi energi serta penurunan emisi gas rumah kaca serta
perbaikan lingkungan. Komponen utama ICEF adalah pemanfaatan hasil
samping

(by

product)

pertanian,

perkebunan

maupun

kehutanan

serta

mengintegrasikan beberapa sub sistem untuk meningkatkan nilai tambah
tersebut menjadi pupuk organik, pembenah tanah (arang atau kompos), pakan
ternak dan bahan bakar terbarukan. Sistem ini perlu dikembangkan lebih jauh
karena saat ini hanya baru mulai dikembangkan pada sistem pertanian, namun
perlu dikembangkan juga pada perkebunan dan kehutanan (Lasco. 2006).
III. INOVASI CARBON FARMING DI INDONESIA
A. Carbon farming
Carbon

farming

merupakan

metode

kultivasi

atau

budidaya

(pertanian,

perkebunan atau kehutanan) berbasis karbon (arang) dengan tujuan untuk mengurangi

8
atau menangkap emisi Gas Rumah Kaca, sekaligus menyimpan tanpa melepaskan
carbon dari tanaman dan tanah. Dalam hal ini termasuk pengelolaan air, lahan,
tumbuhan dan hewan secara terpadu untuk menghadapi tantangan restorasi,
perubahan iklim serta ketahanan pangan dalam mengurangi emisi pada proses
produksinya, sekaligus meningkatkan produksi dan produktivitas serta penyerapan
karbon dalam sistim lansekap areal budidaya.
Aplikasi biocham (biochar soil amandement) atau biochar pembangun kesuburan
tanah merupakan cara peningkatan kualitas tanah secara permanen.

Banyak studi

yang telah dilakukan baik di dalam maupun di luar negeri menunjukkan bahwa
biochar/arang merupakan aktor penting untuk mengatasi berbagai krisis secara mudah
dan murah.
Sesungguhnya Carbon farming itu pertanian simpel, hanya bertani dengan
mengandalkan carbon/arang lalu selanjutnya akan memberikan dampak terhadap
pengurangan emisi atau menangkap GRK kemudian tersimpan pada vegetasi dan
tanah. Sistem ini akan berpengaruh terhadap sistem pengelolaan lahan, air, tumbuhan
dan hewan untuk menjawab 3 tantangan (Triple challenge) yaitu : restorasi lansekap,
perubahan iklim dan ketahanan pangan. Carbon farming Ini berusaha untuk
mengurangi emisi dalam proses produksinya, sekaligus meningkatkan produksi dan
penyerapan karbon dalam lansekap. Merupakan sistem budidaya terpadu yang
menggabungkan praktek memaksimalkan penangkapan karbon sekaligus pengurangan
emisi, hanya dengan satu aksi yaitu menyertakan carbon/arang dalam proses
budidaya/silvikultur atau proses produksi. Aplikasi arang sangat menarik karena arang
mampu meningkatkan kesuburan tanah, karena sebagai produk yang porous (berpori)
akan mampu untuk menahan air dan nutrien tanah dari pencucian. Selain itu arang
mengandung mikroelement sebagai nutrisi yang dibutuhkan tanaman, sehingga
produktivitas lahan dan produktivitas tanaman meningkat berkali lipat. Hal inilah yang
menjadikan carbon sebagai solusi terbaik saat ini sekaligus menjawab berbagai
tantangan masa datang.
Prospek dan manfaat carbon farming diantaranya adalah dapat menekan atau
mereduksi

emisi

karbon

(melalui

pemanfaatan

limbah),

mengurangi

erosi,

memperbaiki struktur, tekstur, fisik, kimia dan biologi tanah, meningkatkan kesuburan
tanah, mengurangi salinitas tanah, tanah sehat dan siap pakai, meyuburkan vegetasi,

9
meningkatkan keanekaragaman hayati, penyangga terhadap kekeringan dan efisiensi
air, serta manfaat lainnya.
B. Potensi biomasa sebagai sumber carbon
Dasar dari carbon farming adalah memanfaatkan limbah biomassa sebagai
sumber carbon. Limbah biomassa jumlahnya sangat melimpah, sehingga kalau tidak
dikelola berpotensi mencemari lingkungan dan belum dimanfaatkan secara optimal.
Luas area hutan Indonesia pada tahun 2011 sebesar 130 juta Ha (MenHut Zulkifli
Hasan, 2011). Dari ekspor kayu gergajian akan menyisakan limbah berupa sawdust
yang sangat besar, dan saat ini banyak dibuang ke sungai sehingga mencemari
lingkungan sekitar. Sedangkan sekam padi yang komposisinya 20-23% dari gabah.
Pada tahun 2009, dengan produksi gabah sekitar 63,84 juta ton menghasilkan sekam
lebih dari 14,6 juta ton. Di Indonesia setiap tahun terdapat ratusan juta ton limbah
produk pertanian, peternakan, perkebunan, dan perhutanan. Sebagai gambaran, dari
50-an juta ton produksi padi setiap tahun dihasilkan sekitar 60 juta ton limbah berupa
jerami dan sekam. Bahan organik ini mengandung karbon yang dapat diproses menjadi
carbon, arang atau biochar (Gani, 2009).
Dari sektor perkebunan, cangkang sawit dan serat pada pabrik pengolahan
kelapa sawit digunakan untuk bahan bakar boiler, tetapi jumlahnya berlebih dan
sisanya menjadi limbah. Indonesia sebagai produsen kelapa sawit nomor satu didunia
pada tahun 2013 tercatat dengan produksi 21,2 juta ton dengan luas lahan 7 juta ha,
dengan produktivitas lahan rata-rata 30 ton TBS/ha. Maka produksi kelapa sawit
diperkirakan 140 juta ton. Dan cangkang sawit dihasilkan sebesar 9,1 juta ton, dengan
sebagian misalnya 50% digunakan sebagai bahan bakar boiler di pabrik, maka limbah
cangkang sawit masih sangat besar yakni 4,55 juta ton.

Selanjutnya Indonesia

memiliki 3,712 juta hektar kelapa (31,4% luas kebun kelapa dunia) dan merupakan
perkebunan kelapa terbesar di dunia. Dengan produksi kelapanya menduduki urutan
no. 2 setelah Filipina, dengan produksi 12,915 milyar butir (24,4% produksi dunia).
Dengan berat sebuah kelapa rata-rata 1,5 kg, maka potensi tempurung kelapa
Indonesia yaitu 2,3 juta ton/tahun. Dan masih banyak limbah biomassa dari
pengolahan limbah agroindustri lainnya yang berpeluang sebagai sumber carbon atau
arang (JFE Project, 2011).
C. Penerapan Carbon Farming

10
Secara sederhana penerapan carbon farming dimulai dengan penyediaan unit
produksi biochar skala kecil yang murah dan mudah untuk dioperasionalkan. Hasil yang
diperoleh selanjutnya digunakan untuk meningkatkan produktivitas perkebunan,
pertanian maupun kehutanan.

Pada proses pembuatan biochar, energi panas yang

dihasilkan dapat digunakan untuk memasak, pengeringan kayu, atau biji-bijian. Jika
memungkinkan dengan penambahan suatu mesin atau turbin, selanjutnya sistem ini
dapat menghasilkan energi kinetik untuk
pembangkit

listrik.

Asap

yang

penggilingan bibji-bijian (spt padi) atau

terbentuk

dikondensasikan hingga terbentuk cairan asap.

pada

proses

produksi

biochar,

Cairan asap dapat digunakan untuk

berbagai keperluan, mulai dari rumah tangga hingga menunjang dalam sistim kultivasi,
baik sebagai biopestisida maupun sebagai pemacu pertumbuhan tanaman. Oleh sebab
itu jelas sekali bahwa proses ini dapat mengeliminasi emisi hampir 90 persen.
Pada sektor peternakan, emisi GRK dilepaskan dari limbah yang terbentuk.
Penggunaan biochar/arang selain dapat menekan pelepasan emisi ke udara, juga
membuat lingkungan kandang dan ternak semakin sehat, karena arang yang porous
dapat menyerap emisi, sekaligus memerangkap mikroba patogen penyebab penyakit
pada ternak. Arang juga dapat dicampurkan sbagai campuran makanan ternak. Pada
ternak sapi arang yang mengandung karbon dapat melancarkan proses fermentasi
yang berlangsung dalam rumen ternak, sehingga kotoran yang keluar tidak bau. Pada
ternak unggas campuran arang pada makanan ternak selain membuat ternak makin
sehat juga membuat telur lebih awet, dan tahan pecah. Selain itu penggunaan arang
pada lantai kandang ternak unggas akan membuat lingkungan kandang semakin
hangat dan akan mengurangi bau.

Sewaktu-waktu arang yang bercampur dengan

kotoran ini dapat langsung digunakan sebagai pengganti pupuk kimia yang mulai
mahal dan sulit diperoleh, apalagi untuk daerah yang sulit terjangkau.

Dengan

demikian carbon farming ini merupakan jawaban terhadap berbagai ancaman dan
tantangan bagi pertanian, perkebunan dan kehutanan Indonesia.
IV. PENUTUP
Penelitian dan pengembangan biochar telah menarik banyak komunitas ilmiah
baik dalam maupun luar negeri.

Perspektif menarik tentang pengelolaan limbah

biomassa bagi pembanguan perekonomian dan swasembada pangan. Sistem ini
terIntegrasi dalam pembangunan berkelanjutan dengan pengelolaan limbah ke dalam

11
suatu pendekatan penggunaan biochar ke dalam sistem usaha tani, perkebunan
maupun kehutanan. Sehingga menjadikan usaha pengelolaan limbah menjadi sumber
daya yang memiliki peluang besar. Berbagai literatur, penelitian, seminar, pelatihan
dan ujicoba di seluruh dunia telah membuktikan bahwa biochar atau agrichar yakni
arang yang dihasilkan dari proses pirolisis memberi manfaat yang besar bagi
kesuburan tanah sehingga produktivitas tanaman semakin meningkat. Jepang adalah
salah satu Negara yang dikenal pengguna biochar untuk lahan pertanian selama
puluhan tahun. Hal tersebut membuat sejumlah wilayah Asia Tenggara juga terimbas
untuk menggunakan biochar untuk memperbaiki kualitas tanahnya.

Indonesia,

Malaysia, Thailand, Vietnam, Kamboja, Laos dan Philipina adalah sejumlah negara di
Asia Tenggara yang mencoba mengaplikasikan biochar tersebut.

Aktivitas ini

memberikan hasil yang menggembirakan karena memberi hasil positif dan mengurangi
pencemaran lingkungan karena menggunakan bahan baku berbagai jenis limbah
biomasa. Harapannya aktivitas penggunaan biochar ini terus meningkat dalam skala
lebih besar dan berkelanjutan
Tanaman akan selalu membutuhkan pupuk sebagai nutrisinya dalam jumlah
tertentu untuk pertumbuhan dan produktivitas buahnya. Sehingga menjamin pupuk
sebagai sumber nutrisi yang memadai bagi tanaman tersebut adalah hal prinsip yang
harus diupayakan. Pada kenyataannya untuk menyediakan jumlah yang memadai
tersebut memerlukan biaya yang besar, karena berbagai faktor lingkungan spesifik
lokasi tanaman itu berada. Pupuk pada umumnya akan banyak tercuci / leaching (ratarata 50 persen) sehingga menimbulkan banyak pemborosan yang merugikan. Hal ini
tidak bisa dibiarkan terus menerus dan perlu segera solusi untuk mengatasinya.
Carbon farming melalui aplikasi carbon/biochar adalah salah satu solusi jitu untuk hal
tersebut. Limbah biomasa berlebih akan sangat potensial digunakan untuk bahan baku
biochar. Produksi biochar dengan pirolisis mampu untuk mengolah jumlah limbah
biomasa tersebut. Selain menghasilkan biochar juga akan dihasilkan asap cair yang
bisa digunakan untuk memacu pertumbuhan tanaman, mencegah hama tertentu serta
dapat berfungsi sebagai anti bakteri.
Hasil suatu riset menunjukkan bahwa keberadaan arang di dalam tanah tidak
akan terpengaruh selama 130 tahun lamanya.

Lebih meyakinkan lagi dari temuan

kesuburan tanah hitam di lembah Amazon yang disebut sebagai Terra Preta. Para
ilmuwan dunia menemukan unsur arang dalam kandungan tanah hitam tersebut yang

12
diperkirakan merupakan hasil pengelolaan bangsa Amerindian sejak 500 tahun hingga
2.500 tahun silam.

Dari buku kuno di Jepang juga diketahui istilah pupuk-api ( fire-

manure) sebagai penyubur pertanian pada tahun 1697 adalah arang. Demikian juga
tradisi di China menyuburkan lahan sejak lama dikembangkan melalui pembakaran
biomassa, yang diikuti oleh penelitian ilmiah terhadap peran arang terhadap
pertumbuhan bibit padi ternyata sudah dikembangkan sejak tahun 1915.
Carbon farming dengan produk arang/biochar akan memiliki peran yang besar
untuk meningkatkan kesuburan tanah termasuk mereduksi kebutuhan pupuk kimia
pada perkebunan/ hutan tanaman dan dengan biochar ini ibarat sekali merengkuh
dayung dua tiga pula terlampaui, masalah limbah padat kehutanan atau perkebunan
seperti sawit bisa diatasi, mendapat sumber energi dan perbaikan kesuburan tanah.
Arang selain mampu menyuburkan tanah juga mampu menangkap gas karbondioksida
dari atmosfer sehingga merupakan mekanisme carbon negative,

Dengan demikian

carbon farming merupakan sistem budidaya yang dapat menjawab berbagai tantangan
global Indonesia di masa mendatang.

VII. DAFTAR BACAAN
Center for International Forestry Research. (2003). Perdagangan Karbon, Berita Warta Kebijakan
No.8 Pebruari, Bogor
Climate Change Secretariat (UNFCCC). (2007). Climate Change: Impacts, Vurnerabilities and
Adaptation in Developing Countries. Martin-Luther-ing-Strasse 8,53175 Bonn, Germany.
Gani, A. (2009). Aplikasi Sistem Biochar di Pedesaan dan Negara Berkembang. Balai Besar
Penelitian Tanaman Padi Warta Penelitian Dan Pengembangan Pertanian, vol 31 no 6.
JFE. (2011). Pengolahan Limbah Biomassa Menjadi Produk-Produk Bermanfaat Bernilai Ekonomi
Tinggi . 11th November 2011.
Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change. (1997). United
Nations, Tokyo, Japan.
Kompas. (2007). Perdagangan Karbon Makin Menarik. Kompas, 23 Agustus, Jakarta.
Lasco, R.D. dkk., (2006). Carbon Stocks Assessment on a Selectively Logged Dipterocarp Forest
and Wood Processing Mill in The Philippines. Journal of Tropical Forest Science 18(4):
166-172
Marin Carbon Project (MCP). (2013). Carbon farming. Consortium of the leading agricultural
institutions and producers in Marin County, university researchers, county and federal

13
agencies, and nonprofit organizations seeking to understand and demonstrate the
potential of enhanced carbon sequestration in Marin’s agricultural and rangelands soils.
US Department of Agriculture/Natural Resource Conservation Service.
Nugroho, N., P., (2006). Estimate Carbon Sequestration in Tropical Rainforest Using Integrated
Remote Sensing and Ecosystem Productivity Modelling, International Institute for GeoInformation Science and Earth Observation Enschede, Netherlands.
Peraturan Presiden No 61 Tahun 2011.
Kaca (Perpres RAN – GRK)

Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah

Republika. (2007). Era Perdagangan Karbon Dimulai. Republika, 1 Desember, Jakarta.
Ruddell, S., Walsh, M.J., Kanakasabai.
United States. United States.

(2006).

Forest Carbon Trading and Marketing in the

Rebecca Ryals and Whendee L. Silver 2013. Effects of organic matter amendments on net
primary productivity and greenhouse gas emissions in annual grasslands. University of
California, Berkeley, Department of Environmental Science, Policy, and Management.
Ecological Applications 23:46–59
Danilo I. de Urzedo, Mariana Pires Franco, Leonardo Machado Pitombo, Janaina Braga do Carmo.
(2013) Effects of organic and inorganic fertilizers on greenhouse gas (GHG) emissions in
tropical forestry. Forest Ecology and Management 310, 37-44.

ARANG KOMPOS BIOAKTIF (ARKOBA):
TEKNIK PEMBUATAN DAN APLIKASINYA PADA TANAMAN

Oleh : Gusmailina, Sri Komarayati & Gustan Pari **)

I.

PENDAHULUAN
Arang kompos bioaktif (Arkoba) adalah produk lanjutan dari arang, merupakan

campuran arang dan kompos hasil proses pengomposan dengan bantuan mikroba
lignoselulotik yang tetap hidup di dalam kompos. Mikroba tersebut mempunyai
kemampuan sebagai biofungisida, yaitu melindungi tanaman dari serangan penyakit

14
akar sehingga disebut bioaktif.

Penambahan arang pada proses pengomposan

bertujuan selain meningkatkan kualitas dari kompos tersebut, juga akan meningkatkan
jumlah dan aktivitas mikroorganisme yang berperan, sehingga proses dekomposisi
dapat berlangsung lebih cepat.
Arkoba

lebih

unggul

dibanding

dengan

kompos

yang

dihasilkan

secara

konvensional, karena arang yang menyatu dalam kompos mampu meningkatkan pH
tanah

sekaligus memperbaiki sirkulasi air dan udara di dalam tanah serta menjadi

agent pembangun kesuburan tanah. Oleh sebab itu Arkoba cocok dan tepat
dikembangkan secara luas di Indonesia mengingat 2/3 dari lahan pertanian maupun
kehutanan berada dalam kondisi masam (pH rendah), kritis dan marjinal akibat
menurunnya kandungan bahan organik tanah.
Arkoba

dibuat

melalui

proses

pengomposan

dengan

menggunakan

mikroorganisme terseleksi sebagai bioaktivator yang terdiri dari bakteri Cytophaga dan
fungi Trichoderma sehingga proses pengomposan berlangsung secara terkendali dan
menghasilkan produk yang kualitasnya terjamin. Hasil penelitian maupun uji coba di
lapangan

oleh

masyarakat,

menunjukkan

kalau

penggunaan

arkoba

dapat

meningkatkan produktivitas lahan dan hasil secara signifikan.
A. ARANG SEBAGAI PEMBANGUN KESUBURAN TANAH (PKT)
1. Penemuan Terra Preta
Pada tahun 2007 International Rice Research Institute (IRRI) menguji pemberian
arang pada produksi padi gogo di Laos bagian utara. Hasil pengamatan terbukti bahwa
aplikasi arang dapat meningkatkan konduktivitas hidrolik top soil atau lapisan
permukaan tanah dan meningkatkan hasil gabah pada kandungan tanah yang rendah
fosfor (P). Hasil suatu riset menunjukkan bahwa keberadaan arang di dalam tanah
tidak akan terpengaruh selama 130 tahun lamanya.

Lebih meyakinkan lagi dari

temuan kesuburan tanah hitam di lembah Amazon yang disebut sebagai Terra Preta.
Para ilmuwan dunia menemukan unsur arang dalam kandungan tanah hitam tersebut
yang diperkirakan merupakan hasil pengelolaan bangsa Amerindian sejak 500 tahun
hingga 2.500 tahun silam. Dari buku kuno di Jepang juga diketahui istilah pupuk-api
(fire-manure) sebagai penyubur pertanian pada tahun 1697 adalah arang. Demikian
juga

tradisi

di

China

menyuburkan

lahan

sejak

lama

dikembangkan

melalui

15
pembakaran biomassa, yang diikuti oleh penelitian ilmiah terhadap peran arang
terhadap pertumbuhan bibit padi ternyata sudah dikembangkan sejak tahun 1915.

Gambar 1. Temuan tanah hitam atau Terra Preta di lembah Amazon
(Sumber : Glaser dkk., 2001)
Penemuan terbaru tentang tanah Terra Preta di Malinau, Provinsi Kalimantan
Timur oleh peneliti Cifor yang dipublikasi pada tahun 2012,
terhadap

aplikasi

arang/biochar.

Diharapkan

temuan

ini

memberi perhatian

dapat

mengakselerasi

implementasi dan aplikasi arang/biochar secara nasional serta menumbuhkan berbagai
industri arang di berbagai daerah di Indonesia dan Asia Tenggara. Penemuan ini
diperkirakan dilakukan oleh masyarakat lokal yang hidup nomaden di pedalaman
Kalimantan sejak berabad silam.

Hidup berpindah dari satu tempat ke tempat lain

dengan membakar secukupnya untuk budidaya tanaman demi memenuhi kebutuhan
hidup, secara tidak sengaja meninggalkan bekas berupa tanah hitam layaknya seperti
Terra preta di lembah Amazon. Ketidak sengajaan ini akibat faktor lingkungan dimana
sewaktu proses slash-burn atau tebang bakar, terjadi hujan sehingga hasil pembakaran
tidak berlanjut menjadi abu.

Sehingga istilah bukan lagi “slash and burn” tetapi

menjadi “slash and char” tebang dan arang.

2. Fungsi dan manfaat arang
Arang bukan pupuk, walaupun pada arang terkandung beberapa unsur makro
dan mikro element tetapi dalam jumlah yang sangat kecil. Arang memiliki pori pada
permukaannya, sehingga jika arang digunakan sebagai campuran media tanam dapat

16
memperbaiki sirkulasi air dan udara di dalam tanah.
meningkatkan

pH

tanah

sehingga

kondisi

ini

akan

Selain itu arang dapat
memberikan

ruang

bagi

perkembangan mikroba tanah yang berfungsi dalam penyediaan unsur hara dalam
tanah yang nantinya akan di serap tanaman. Oleh sebab itu arang disebut sebagai
pembangun kesuburan tanah.

Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa

penambhan arang pada media tumbuh dapat meningkatkan pertumbuhan spora ekto
dan endo mikoriza pada tanaman. Sehingga dapat mempercepat pertumbuhan
tanaman baik di persemaian maupun di lahan. Lehmann, Professor dan Peneliti dari
Cornell University dan berbagai tempat didunia telah membuktikan secara ilmiah
pengaruh arang terhadap kesuburan tanah. Efek lain penggunaan arang ke dalam
tanah adalah untuk mereduksi pemanasan global (global warming), yakni dengan cara
mengikat gas rumah kaca dari atmosfer seperti CO 2. Pengikatan CO2 ke dalam tanah
juga berakibat baik bagi pertumbuhan tanaman. Teknologi untuk mereduksi global
warming sedang dikembangkan saat ini dan belum ditemukan teknologi yang efektif
dan bisa diaplikasikan secara masal selain menanam arang ke tanah.
3. Meningkatkan aktivitas mikrorganisme tanah dan pH tanah
Walaupun bukan sebagai pupuk, arang dapat membangun kualitas kondisi tanah
baik secara fisik, kimia dan biologi tanah.

Dari beberapa pengamatan ternyata

penambahan arang dapat meningkatkan aktivitas mikroba perombak bahan organik
tanah. Selain itu juga dapat meningkatkan populasi bakteri pengikat N dalam tanah.
Aplikasi arang pada tanah yang berasal dari limbah sangat sesuai dengan pola
pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, karena dapat menbantu
menyelesaikan masalah limbah sekaligus memperbaiki lahan-lahan masam dan kritis,
serta membuat tanah dalam keadaan stabil.

Karakteristik arang berguna sebagai

agent bagi pembangun, penyubur sekaligus menjaga stabilitas tanah, sehingga arang
mempunyai peran sebagai pemberi kehidupan berjangka panjang pada tanah dan
tanaman yang tumbuh di atasnya.
Arang yang bersifat alkalis dapat meningkatkan pH tanah yang masam,
sehingga sangat baik digunakan sebagai pengganti kapur pada lahan-lahan masam
yang perluasannya semakin bertambah di Indonesia.

Arang mempunyai daya serap

yang tinggi terhadap residu pestisida dan sisa pupuk kimia yang berada di dalam
tanah, mengandung mineral yang berguna bagi pertumbuhan tanaman, serta

17
mempunyai pori-pori yang luas, sehingga memberikan kondisi yang baik bagi
perkembangan mikroorganisme tanah yang diperlukan oleh tanaman. Aplikasi arang
pada tanah sangat diperlukan di masa datang, mengingat sifat dan perannya yang
cukup penting. Oleh sebab itu arang jangan dipandang sebagai komoditi energi dan
ekonomi saja, namun memiliki nilai ekologis yang tinggi, sehingga perlu dikembangkan
model pertanian/ peternakan dan kehutanan berbasis teknologi arang secara terpadu.

A

B

Gambar 2. Pengaruh aplikasi arang terhadap kondisi ph tanah (A), dan Pengaruh
penambahan arang terhadap perkembangan mikroorganisme tanah (B) (Sumber
Gusmailina, dkk. 1999; 2004)
Pemberian arang pada media tanam memberikan hasil yang nyata terhadap
peningkatan jumlah mikroorganisme tanah, diantaranya bakteri tanah dan bakteri yang
berfungsi sebagai pengikat N bebas (soil bacteria dan nitrogen fixation bacteria)
(Gambar 3).

Gambar 3 . Manfaat arang (Sumber Ogawa, 2001)

18

Sudah dapat dipastikan bahwa keberadaan arang di dalam tanah dapat
digunakan sebagai habitat fungi dan mikroba tanah lainnya. Sebagaimana dilaporkan
oleh Saito & Marumoto (2002) bahwa fungi dapat bersporulasi di dalam pori mikro
arang karena di dalam pori tersebut kompetisi yang terjadi dengan saprofit lainnya
cukup rendah. Oleh karena itu pemanfaatan arang sebagai bahan pembawa
bioamelioran dengan bahan aktif hayati/bakteri merupakan peluang baru yang dapat
menghasilkan sebuah penemuan inovasi.
II. ARANG KOMPOS BIOAKTIF (ARKOBA)
Arang kompos bioaktif (Arkoba) merupakan produk lanjutan dari arang, yang
dikembangkan berdasarkan hasil penelitian dan uji coba penggunaan arang pada
berbagai jenis tanaman, dengan perolehan hasil yang sangat baik.
selanjutnya arang digunakan pada proses pengomposan

Sehingga

dengan menggunakan

mikroorganisme terseleksi sebagai bioaktivator yang terdiri dari bakteri Cytophaga dan
fungi Trichoderma sehingga proses pengomposan berlangsung secara terkendali dan
menghasilkan produk yang kualitasnya terjamin. Hasil penelitian maupun uji coba di
lapangan

oleh

masyarakat,

menunjukkan

kalau

penggunaan

arkoba

dapat

meningkatkan produktivitas lahan dan hasil secara signifikan.
Arang kompos bioaktif mempunyai sifat yang lebih baik dari kompos konvensional
karena keberadaan arang yang menyatu dalam kompos.

Morfologi arang yang

mempunyai pori sangat efektif untuk mengikat dan menyimpan hara. Hara tersebut
dilepaskan secara perlahan sesuai dengan konsumsi dan kebutuhan tanaman (efek
slow release). Karenanya hara tersebut tidak mudah tercuci, lahan akan selalu berada
dalam kondisi siap pakai.

Dari beberapa aplikasi arang kompos yang telah diuji

cobakan, baik di laboratorium, maupun di lapangan menunjukkan bahwa pertumbuhan
tanaman yang diberi arang kompos bioaktif meningkat hingga 2 kali lipat dibanding
dengan yang tidak diberi arang kompos.
C. PEMBUATAN ARKOBA
1. Bahan dan peralatan yang dibutuhkan antara lain :

19
a. Bahan baku yang dibutuhkan untuk membuat arkoba cukup sederhana, dengan
memanfaatkan limbah yang ada disekitar kita, antara lain limbah organik rumah
tangga, limbah pertanian, seperti limbah sayuran, jerami, kulit atau tongkol jagung,
kotoran hewan, bahkan sampah organik dari perkotaan juga dapat dijadikan bahan
baku. Limbah asal industri yang dapat dijadikan arkoba antara lain seperti: serbuk
gergaji dibuat arang sebagai pencampur dalam proses pengomposan, limbah
penyulingan seperti minyak kayu putih dan minyak nilam. Pangkasan pohon dari
tanaman perkotaan juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku, gulma dan
serasah daun yang ada disekitar perumahan dan perkantoran juga juga baik
dimanfaatkan sebagai bahan baku.

Gambar 4. Contoh bahan baku limbah organik

b. Tempat pengomposan.
Beberapa tempat atau wadah dapat digunakan sebagai tempat atau wadah dimana
proses pengomposan berlangsung seperti dapat dilihat pada Gambar

6.

Diantaranya (1) kotak yang terbuat dari kayu bekas yang bisa dipindah sesuai
keinginan. (2) Kotak semi permanen terbuat dari semen dan penutupnya terbuat
dari papan bekas yang bisa dibuka sewaktu pengisian bahan. (3) Bak permanent
yang terbuat dari semen. (4) terbuat dari plastik terpal yang bisa ditempatkan
sesuai keinginan

20

Gambar 5. Tempat atau wadah pembuatan arkoba
c. Aktivator
Berguna

untuk

mikroorganisme.

mempercepat

proses

pengomposan

dengan

bahan

aktif

Jenis aktivator yang digunakan disesuaikan dengan jenis

bahan baku yang akan dikomposkan. Untuk limbah yang sulit hancur (serbuk
gergaji, serasah tusam dan serasah mangium) harus menggunakan aktivator
yang mengandung bahan aktif khusus mikroorganisme pengurai lignoselulosa
diantaranya bahan aktiv yang mengandung mikroorganisme

Trichoderma

pseudokoningii dan Cytophaga sp (Away, 2003 dan Goenadi & Away, 1997).

Gambar 6. Aktivator pengomposan
2. Pembuatan arang dengan tungku/kiln semi kontinyu
Tungku semikontinyu dirancang khusus untuk membuat arang dari serbuk
gergaji atau sekam padi. Terbuat dari besi siku 4x5 cm yang ditutup dengan plat
seng atau bata merah kemudian diplester, serta dilengkapi dengan cerobong
yang terbuat dari drum bekas.

Tungku ini terdiri dari 4 bagian utama, yaitu:

bahagian bawah (dasar) tempat pengarangan,

bahagian tengah (ram besi)

21
tempat pembakaran,

leher cerobong dan cerobong.

Spesifikasi tungku semi

kontinyu ini dapat dilihat pada gambar 8.

Gambar 7. Tungku semi kontinyu dan spesifikasi
Langkah-langkah membuat arang dengan tungku semi kontinyu:


Masukkan serpihan kayu sebanyak 5-10 kg sebagai umpan bakar di bahagian



pengarangan kemudian biarkan terbakar sampai panas dan membara;
Masukkan serbuk gergaji atau sekam padi ke bagian pembakaran sebanyak 3 kg



(sekitar 35-40 kg) melalui pintu bagian belakang tungku;
Biarkan sampai membara sambil sesekali diaduk, sehingga serbuk yang terbakar



akan jatuh ke bagian tempat pengarangan;
Biarkan terbakar sampai warna menjadi hitam, lalu ditarik ke bagian penampungan



yang berisi air. Jika masih terlihat warna serbuk yang coklat, aduk sampai semua
berubah menjadi arang;
Setiap 30 menit lakukan penambahan bahan baku sebanyak 1 karung (10-15 kg);



Proses selanjutnya sama , dilakukan berulang-ulang secara kontinyu sampai



didapatkan arang sesuai dengan kebutuhan;
Biarkan arang terendam sesaat di dalam bak penampungan, kemudian dikeringkan.
Setelah kering arang siap untuk dikemas atau digunakan.

3. Langkah-langkah pembuatan Arang kompos bioaktif


Bahan baku yang sudah dicacah ditambah arang sebanyak 10-30 % dari berat
volume bahan yang akan dikomposkan;

22















Tambahkan aktivator sebanyak 0,5-10 % tergantung jenis bahan yang akan
dikomposkan, 0.5% (b/b) atau 5 kg dalam 1 ton, untuk bahan organik lunak
(daun-daunan, jerami, bagas tebu, dan lain-lain); 1.25% (b/b) atau 12.5 kg per 1
ton bahan baku, untuk bahan organik berkayu ( TKKS, sisa pangkasan the/ranting
pohon dan sebagainya). Penggunaan aktivator 10 % diperuntukkan bagi bahan
baku yang sulit hancur atau terurai seperti serbuk gergaji.
Aduk campuran hingga rata; lalu tambahkan air hingga kondisi kadar air campuran
bahan berkisar antara 20%-30 %;
Masukkan ke dalam bak-bak pengomposan yang dipilih sesuai dengan keinginan,
lalu ditutup dengan plastik hitam ;
Khusus untuk bahan yang sulit hancur seperti limbah kehutanan, sebaiknya pada
minggu ke dua, ke tiga dan ke empat dibalik dan di aduk ulang hingga tercampur
rata, apabila kondisi bahan agak kering dapat ditambahkan air secukupnya;
Proses berjalan dengan sempurna apabila pada minggu pertama dan ke dua suhu
meningkat hingga mencapai 55 o C - 60 oC, lalu menurun pada minggu-minggu
berikutnya. Apabila kondisi suhu sudah stabil berarti proses pengomposan sudah
selesai dan kompos dapat dibongkar;
Proses pengomposan berlangsung antara 2 minggu sampai 10 minggu tergantung
bahan baku yang digunakan. Limbah sayuran/dedaunan segar pengomposan
berlangsung
selama 2 minggu, pengomposan serasah dedaunan kering
berlangsung selama 1 bulan, sedangkan serbuk gergaji selama 2-3 bulan;
Secara visual kompos yang sudah matang akan mengalami perubahan warna,
sedangkan indikator kompos yang siap pakai yaitu mempunyai nisbah C/N di bawah
atau sama dengan 20;
Untuk menambah daya tarik penampilan, kompos digiling hingga halus kemudian
dikemas lalu disimpan ditempat yang kering dan teduh;
Arang kompos siap digunakan atau dipasarkan.

Gambar 8. Bentuk arkoba selesai proses komposting

4. Pembuatan arang kompos di antara tegakan hutan tanaman

Pembuatan arang kompos juga dapat dilakukan di areal tegakan hutan. Bahan baku
yang dapat digunakan berupa limbah pemanenan hutan. Ranting dan cabang yang

23
tertinggal dijadikan arang kemudian sebagai bahan untuk kompos adalah dedaunan
segar atau serasah.

Proses pengomposan dapat dilakukan dengan jalan membuat

lobang persegi atau lobang sepanjang larikan sedalam 0,5 m. Lobang ini sebelumnya
dialas dengan plastik agar proses pengomposan tidak ada kontak langsung dengan
tanah, kemudian semua bahan yang akan dikomposkan dimasukkan ke dalam lobang
lalu ditutup lagi dengan plastik, kemudian biarkan sampai kompos terbentuk. Kompos
yang terbentuk kemudian dapat dibongkar lalu dipindahkan, atau dibiarkan sebagai
pengganti pupuk pada penanaman berikutnya.

A

B

Gambar 9. Membuat Arkoba diantara tegakan mangium (A) dan Pinus (foto dok :
gsmlina & Sri K)

24

D. APLIKASI ARKOBA
Dari beberapa aplikasi Arkoba yang telah diuji cobakan, baik di laboratorium,
maupun di lapangan menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman yang diberi
Arkoba meningkat hingga 2 kali lipat dibanding dengan yang tidak diberi Arkoba.
Aplikasi Arkoba di Ciloto (KPH Cianjur), pada tanaman pak choi, brokoli, dan
wortel.

Hasil yang diperoleh dalam satuan luas 400 m persegi, produksi

meningkat 1, 5 kwintal, jika dibandingkan dengan pupuk yang yang biasa
digunakan oleh petani seperti bokasi, selain itu juga mengurangi penggunaan
pestisida dan pupuk kimia sebesar 40%.

Gambar 10. Aplikasi Arkoba pada beberapa jenis tanaman pertanian (Cabai gendot, brokoli
dibawah tegakan Pinus, dan salderi) (foto dok. Gusmailina)

25

Aplikasi Arkoba pada tanaman Jati umur 5 tahun di hutan tanaman JIFPRO,
Sekaroh, Mataram, Lombok memberikan hasil yang baik dan signifikan (Gambar 29).

Gambar 11. Aplikasi Arkoba pada tanaman kehutanan jati (foto dok. Gusmailina)

Pembuatan Arkoba cukup mudah untuk diterapkan pada masyarakat pedesaan
dan sekitar hutan, dengan menggunakan bahan baku yang terdapat di sekitarnya.
Puslitbang Hasil Hutan, sejak tahun 2000 telah melaksanakan sosialisasi/diseminasi
sekaligus peragaan pembuatan Arkoba di beberapa daerah di Jawa dan Sumatera
antara lain di Kabupaten Serang; Ciamis; Tasikmalaya; Garut; Pandeglang; Lw Liang;
Ciloto (KPH Cianjur); KRPH Jembolo Utara, Kota Semarang; dan Kabupaten Muaro Jambi,
Propinsi Jambi.

Pada tahun 2006 kegiatan ini juga dilakukan di desa Karyasari,

Kabupaten Lw Liang, Bogor.

Produksi Arkoba lebih difokuskan untuk memacu

produktivitas daun murbei untuk budidaya ulat sutera.

Selain itu juga diaplikasikan

pada budidaya nilam, pepaya, dan tanaman Melaleuca bracteata.
1. Produksi dan Aplikasi Arkoba di Desa Karyasari
Di desa Karyasari, Kabupaten Bogor, produksi Arkoba lebih difokuskan untuk memacu
produktivitas daun murbei untuk budidaya ulat sutera.

Selain itu juga diaplikasikan

pada budidaya nilam, pepaya, dan tanaman Melaleuca bracteata. Hasil yang diperoleh
sangat meyakinkan, karena hanya dengan memberi Arkoba

0,5 kg/rumpun pada

tanaman murbei yang berumur sekitar 10 bulan, meningkatkan jumlah daun murbei
sebesar lima kali lipat, selain itu ternyata juga dapat meningkatkan kualitas benang
sutera yang dihasilkan.

26

A

B

Gambar 12. Transfer teknologi Arang Kompos Bioaktif (Arkoba) kepada Kelompok Tani
Rimba Sejahtera di Desa Karyasari, Lw. Liang, Kab Bogor, serta aplikasi pada tanaman
murbey (A), palawija, nilam dan tanaman Kehutanan (B) foto dok gusmailina

2. Produksi dan Aplikasi Arkoba dari Garut
Salah satu daerah binaan yang telah memproduksi dan mengaplikasikan Arkoba
adalah Kabupaten Garut.

Terdapat 12 kelompok tani binaan Dinas Kehutanan yang

terlibat dalam kegiatan produksi Arkoba, namun baru tujuh kelompok yang aktif
sebagai produsen. Kelompok tersebut dikoordinasi oleh LSM Gepak dan Arkoba yang
dihasilkan langsung digunakan pada persemaian dan penanaman di lapangan. Aplikasi
Arkoba pada tanaman kol sangat baik dengan produksi kol yang lebih besar dan lebih
padat dengan kisaran berat 3-5 kg/buah. Padahal biasanya maksimum hanya 2kg/buah
(Gambar 13).

27

Gambar 13. Aplikasi Arkoba pada tanaman sayuran kol (foto dok. Gusmailina)
Demikian juga aplikasi arkoba pada tanaman hias (bunga ros/mawar dan
algebra) sangat bagus. Efek yang ditunjukkan adalah selain warna bunga dan daun
lebih cerah dan tajam, juga lebih tahan (tidak mudah gugur), bahkan jika dibiarkan
kelopak bunga sama sekali tidak rontok sampai kering (Gambar 14).

Gambar 14. Aplikasi Arkoba pada tanaman bunga (foto dok. Gusmailina)
Salah satu daerah yang menggunakan Arkoba untuk menunjang program
GERHAN 2003-2004 adalah Kabupaten Garut, yang telah mengembangkan arang
kompos sebanyak 360 ton sampai dengan bulan April 2004, dan hingga tahun 2008
kelompok ini telah melakukan produksi secara besar-besaran untuk memenuhi
kebutuhan sendiri. Aplikasi Arkoba di lokasi Gerhan pada tanaman Suren, tahun tanam
2004.

Rata-rata tinggi tanaman yang ditanam pakai Arkoba sekitar 6 m dengan

diameter kl 15-20 cm, sedangkan yang ditanam tanpa Arkoba hanya 3m. Pola tanam
adalah tumpang sari dengan tanaman pepaya dipinggir lahan, di tengah dengan
jagung, kopi, temu-temuan, pisang, dengan konsep penghasilan mulai dari bulanan
hingga tahunan.

28

Gambar 15. Aplikasi Arkoba pada lahan Gerhan di lokasi Ranca Salak, Kab. Garut (foto
dok. Gusmailina)

Kualitas Arkoba yang diproduksi oleh beberapa kelompok yang dikoordinir oleh Lsm
Gepak di Garut bervariasi setiap kali produksi.

Pada tahun 2008 Arkoba yang

dihasilkan 80% diserap oleh kegiatan Gerhan, sisanya dipakai sendiri oleh anggota
kelompok untuk budidaya, dijual ke pedagang atau ada pesanan khusus, seperti ke
Bekasi, Lampung, Bogor, dan Cianjur. Kandungan unsur hara makro yang dikandung
oleh arkoba produksi Garut antara lain: C organik = 30-35 %; N total = 1,4 – 1,8 %; P
total = 0,3 – 1,2 %; K = 0,5 – 1,0 5; Ca = 1,0 – 1,2 %; dan Mg = 0,4 – 1 %.

Gambar 16. Arang kompos produksi Garut
Dibandingkan dengan Pedoman Pengharkatan hara kompos (Anonimus, 2000)
dan SNI (Anonimus, 2004), maka rata-rata kualitas arkoba produksi Garut sudah
termasuk ke dalam kriteria sedang sampai tinggi.
dengan

SNI (Anonimus, 2004).

Demikian juga bila dibandingkan

Sehingga Arkoba produksi

Garut layak

untuk

dikembangkan dan di pasarkan secara nasional.
Tabel 1 Perbandingan kualitas arang kompos bioaktif Garut dengan standar yang yang
diakui
Parameter

Arkoba
produksi

PPHK *
renda

sedan

SNI **
tinggi

Min

Ma

29

pH (1 : 1)

organik,

8.20

6.8

29,98

24.90

35.90

52.60

-

30 - 35

14.50

19.60

27.10

9.8

0.60

1.10

2.10

0.4

20

10

1.80

0.1

6.20

-

1.60

-

1.40

0.20

1,4 – 1,8
19 - 20
0,3 – 1,2

P 2O 5
%

total,

CaO
%

total,

MgO
%

total,

x

7.30

N total, %
C/N ratio

g

6.60

Moisture
content, %
C
%

h

Garut
7.25 – 7,30

0.30

1,0 – 1,2

2.70

0,4 - 1

0.30

0,5 – 1,05

0.20

0.90
4.90
0.70
0.60

7.4
9
50
32
20
*

K2O total, %
Keterangan : *) PPHK (Anonim, 2000); **) Anonimus (2004)

Penggunaan Arkoba pada tanaman tembakau hasilnya sangat bagus. Tembakau
yang ditanam dengan Arkoba menghasilkan daun rajangan seberat 7,5 ons, sedangkan
yang tidak menggunakan Arkoba hanya mempunyai berat 3 ons. Dengan demikian
daun tembakau yang ditanam dengan Arkoba memberikan hasil daun 2 kali lebih
banyak dibanding daun tembakau yang tidak menggunakan Arkoba.

Pengeringan

daun tembakau yang ditanam dengan menggunakan Arkoba juga lebih efisien, hanya
membutuhkan waktu 3-4 hari pengeringan, sedangkan yang tidak menggunakan
Arkoba memerlukan waktu lebih lama. Demikian juga aroma rajangan daun tembakau
yang ditanam dengan Arkoba lebih tajam dibanding dengan aroma rajangan daun yang
tidak pakai Arkoba. Pada Tabel... dapat dilihat perbandingan efek penggunaan Arkoba
pada

tanaman

tembakau

menggunakan Arkoba.
hanya 24 karung.

dibanding

dengan

tembakau

1

Lebar daun

tanpa

Sedangkan tembakau yg ditanam memakai pupuk yang bukan

Tabel 2 Efek penggunaan Arkoba pada tanaman tembakau
Parameter

ditanam

Selain itu penggunaan pupuk dengan Arkoba lebih efisien,

Arkoba mencapai 40 karung.

No

yang

Pakai Arkoba
60 x 80 cm

Tanpa Arkoba
20 – 30 cm

30

2

Berat
daun
rajangan

7,5 ons/3 pohon

3 ons/3 pohon

3