PELUANG KAUM PEREMPUAN DALAM POLITIK
PELUANG KAUM PEREMPUAN DALAM POLITIK)*
Oleh: Hartoto)**
Pada Era reformasi sekarang ini, peran, fungsi dan kedudukan perempuan, mendapatkan
peluang yang besar besar untuk dapat berkarya di dalam segala aspek kehidupan. Walaupun
hambatan-hambatan struktural maupun non struktural, masih sering kita jumpai tetapi pada
hakekatnya kesempatan untuk dapat mengaktualisasikan diri secara maksimal semakin terbuka
lebar, termasuk dalam bidang politik. Kiprah perempuan dalam politik di era reformasi mulai
berubah kearah yang positif setelah hadirnya UU No. 12 tahun 2003 tentang partai politik,
dimana partai politik disyaratkan untuk 30 % pengurusnya diisi kaum perempuan dan
mencalonkan 30 % kaum perempuan untuk duduk di kursi legislatif ( DPR, DPRD I dan DPRD
II) sebagai manifestasi peran perempuan dalam politik praktis.
Berdasarkan data BPS tahun 2013, presentase penduduk Indonesia 50,25 % adalah
berjenis kelamin laki-laki dan perempuan sebesar 49,75 %. Atau dengan kata lain presentase
penduduk laki-laki dengan perempuan relatif seimbang. Namun demikian, berdasarkan data
anggota DPR RI dari tahun 1999-2014 didapatkan data sebagai berikut:
Pemilu
Jumla
h anggota DPR
1999
500
2004
550
2009
560
2014
560
Sumber Data: KPU, 2017 (Diolah)
Jumlah anggota
DPR Perempuan
45
61
101
79
Presentase
(%)
09,00
11,09
17,86
14,00
Data di Provinsi Kepulauan Riau, presentase penduduk laki-laki adalah 51,16 % dan
perempuan sebesar 48,84%, Jumlah calon perempuan yang terpilih pada Pileg 2014, dan Pilkada
2015 di Provinsi Kepulauan Riau adalah: DPR RI 1 (satu) orang dari 3 orang (30%) atas nama
Dwi Ria Latifa, DPD RI tidak ada calon perempuan terpilih, DPRD Provinsi 8 (Delapan) orang
dari 45 orang (17,78%), DPRD Kab/Kota 23 (Dua Puluh Tiga) orang dari 195 orang (11,8%).
Pilkada 2015: 1 (Satu) Orang dari 36 orang (Ngesti Yuni Suprapti/Wakil Bupati Natuna).
)*
Catatan Hasil Diskusi Peningkatan Kapasitas Politik Kaum Perempuan Di Provinsi Kepulauan Riau yang
Dilaksanakan Oleh KESBANGPOL Provinsi Kepri Di Tanjungpinang, 18 April 2017
)**
Akedemisi dan Pemerhati masalah ideologi, politik, sosial-ekonomi, budaya, dan pertahanan keamanan,
tinggal di Kepulauan Riau
Rendahnya angka ini tentu tidak terlepas dari peran partai politik sebagai satu-satunya
“kendaraan politik” untuk menjadi anggota parlemen. Kondisi tersebut, tidak hanya menjadi
masalah di DPR RI, namun juga di tingkat DPRD. Hal itu menandakan bahwa situasi politik
secara umum di pusat dan daerah belum berpihak pada kaum perempuan. Angka persentase
tersebut juga menunjukkan adanya trend semakin rendah tingkat keterwakilan kaum perempuan.
Data terakhir pemilihan calon Wakil Gubenur Kepulauan Riau 2017 dari 5 (lima) calon
yang diusulkan oleh partai gabungan Pengusung “SANUR” ada satu diantaranya perempuan
(Rini/putri Alm. HM. Sani). Namun demikian, Gubernur hanya boleh mengusulkan dua calon,
maka perjuangan perempuan untuk diusung dalam pilihan Wakil Gubernur Kepulauan Riau
dirasa sangat berat.
Paradigma lama bahwa perempuan sebagai kaum yang lemah dan terbatas serta hanya
berfungsi sebagai pelengkap kaum adam, masih cukup dominan menghinggapi cara berpikir
mayoritas masyarakat kita. Beberapa jenis hambatan yang masih dialami oleh sebagian besar
perempuan adalah hambatan kultural, hambatan sosial, hambatan ekonomi, dan hambatan
politik. Hambatan tersebut dapat berasal dari internal maupun eksternal. Dari internal, seperti:
ketidaksiapan perempuan untuk memasuki dunia politik, kompetisi internal partai politik, dan
kompetisi di antara perempuan itu sendiri. Sedangkan faktor eksternal seperti: budaya patriakal
yang menempatkan laki-laki pada posisi yang lebih dominan, masih adanya anggapan bahwa
dunia politik adalah hanya cocok untuk laki-laki, dan perempuan juga masih belum dianggap
sebagai kelompok yang berhak memiliki peran independen dalam melakukan aktualisasi diri di
bidang sosial dan politik.
Politik tidak hanya terkait dengan perebutan kekuasaan yang keras dan penuh konflik,
tetapi terkait dengan semua hal yang berhubungan dengan kebijakan publik. Kebijakan publik
yang aspiratif dengan kepentingan perempuan akan lebih terjamin jika diperjuangkan oleh kaum
perempuan sendiri. Untuk itu diperlukan partisipasi perempuan di dunia politik, termasuk
dilembaga legislatif sebagai lembaga yang melahirkan berbagai produk perundang-undangan.
Beberapa alasan perlu peningkatan peran politik kaum perempuan adalah: (1) Persamaan
hak dan kewajiban setiap WNI dalam bidang hukum dan pemerintahan sehingga sama peran
politik perempuan dan laki-laki dalam pembangunan bangsa; (2) Jumlah penduduk perempuan
dan laki-laki seimbang, sehingga perlu juga peningkatan peran sosial yang seimbang dalam
perspektif gender; (3) Banyaknya pelanggaran hak-hak perempuan dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan (KDRT) serta kurangnya perlindungan terhadap perempuan TKI, tentu
memerlukan subjek pembangunan yang konsen dalam pembuatan kebijakan tentang hak-hak
perempuan; dan (4) Pembuatan kebijakan politik juga sangat memerlukan partisipasi politik
perempuan atau keterwakilan perempuan di Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif.
Politik memang bukan satu–satunya solusi dalam memperjuangkan hak–hak perempuan
dan masalah–masalah kaum hawa yang mengalami kekerasan fisik berupa penganiayaan dan
teror. Mereka yang mengalami masalah akan mudah ditolong tatkala politik sebagai salah satu
power dipegang individu yang punya komitmen politik yang kuat pada masalah perempuan.
Karena itu perjuangan ini akan efektif bila sarana politik yang sudah tersedia dalam kuota 30 %
harus direbut oleh perempuan bila masalah–masalah perempuan yang seabrek ingin
diminimalisir melalui kekuatan politik di parlemen mendatang.
Politik yang santun dan dewasa dalam masyarakat kita memang masih sulit diperankan
oleh siapapun. Dewasa ini justru yang menonjol adalah politik yang menghalalkan segala cara
demi mencapai kepentingan dan target yang sifatnya oportunistik dan finansial semata. Politik
yang penuh persaingan inilah yang harus dihadapi jika kaum perempuan akan terjun memilih
politik sebagai pilihan pengabdian dalam membantu merubah wajah politik Indonesia yang
coreng moreng khususnya kaum perempuan agar perubahan bagi perempuan lain yang masih
banyak tertinggal serta banyak pula kaum perempuan sebagai korban kekerasan yang belum
tersentuh oleh kebijakan Negara sampai sekarang ini. Kaum perempuan untuk merebut perannya
dalam politik harus berjuang dengan peningkatan kapasitas, memiliki peran yang menonjol
dalam partai maupun dalam masyarakat dapilnya, serta memiliki strategi yang jitu dalam
memilih dapil.
.
Oleh: Hartoto)**
Pada Era reformasi sekarang ini, peran, fungsi dan kedudukan perempuan, mendapatkan
peluang yang besar besar untuk dapat berkarya di dalam segala aspek kehidupan. Walaupun
hambatan-hambatan struktural maupun non struktural, masih sering kita jumpai tetapi pada
hakekatnya kesempatan untuk dapat mengaktualisasikan diri secara maksimal semakin terbuka
lebar, termasuk dalam bidang politik. Kiprah perempuan dalam politik di era reformasi mulai
berubah kearah yang positif setelah hadirnya UU No. 12 tahun 2003 tentang partai politik,
dimana partai politik disyaratkan untuk 30 % pengurusnya diisi kaum perempuan dan
mencalonkan 30 % kaum perempuan untuk duduk di kursi legislatif ( DPR, DPRD I dan DPRD
II) sebagai manifestasi peran perempuan dalam politik praktis.
Berdasarkan data BPS tahun 2013, presentase penduduk Indonesia 50,25 % adalah
berjenis kelamin laki-laki dan perempuan sebesar 49,75 %. Atau dengan kata lain presentase
penduduk laki-laki dengan perempuan relatif seimbang. Namun demikian, berdasarkan data
anggota DPR RI dari tahun 1999-2014 didapatkan data sebagai berikut:
Pemilu
Jumla
h anggota DPR
1999
500
2004
550
2009
560
2014
560
Sumber Data: KPU, 2017 (Diolah)
Jumlah anggota
DPR Perempuan
45
61
101
79
Presentase
(%)
09,00
11,09
17,86
14,00
Data di Provinsi Kepulauan Riau, presentase penduduk laki-laki adalah 51,16 % dan
perempuan sebesar 48,84%, Jumlah calon perempuan yang terpilih pada Pileg 2014, dan Pilkada
2015 di Provinsi Kepulauan Riau adalah: DPR RI 1 (satu) orang dari 3 orang (30%) atas nama
Dwi Ria Latifa, DPD RI tidak ada calon perempuan terpilih, DPRD Provinsi 8 (Delapan) orang
dari 45 orang (17,78%), DPRD Kab/Kota 23 (Dua Puluh Tiga) orang dari 195 orang (11,8%).
Pilkada 2015: 1 (Satu) Orang dari 36 orang (Ngesti Yuni Suprapti/Wakil Bupati Natuna).
)*
Catatan Hasil Diskusi Peningkatan Kapasitas Politik Kaum Perempuan Di Provinsi Kepulauan Riau yang
Dilaksanakan Oleh KESBANGPOL Provinsi Kepri Di Tanjungpinang, 18 April 2017
)**
Akedemisi dan Pemerhati masalah ideologi, politik, sosial-ekonomi, budaya, dan pertahanan keamanan,
tinggal di Kepulauan Riau
Rendahnya angka ini tentu tidak terlepas dari peran partai politik sebagai satu-satunya
“kendaraan politik” untuk menjadi anggota parlemen. Kondisi tersebut, tidak hanya menjadi
masalah di DPR RI, namun juga di tingkat DPRD. Hal itu menandakan bahwa situasi politik
secara umum di pusat dan daerah belum berpihak pada kaum perempuan. Angka persentase
tersebut juga menunjukkan adanya trend semakin rendah tingkat keterwakilan kaum perempuan.
Data terakhir pemilihan calon Wakil Gubenur Kepulauan Riau 2017 dari 5 (lima) calon
yang diusulkan oleh partai gabungan Pengusung “SANUR” ada satu diantaranya perempuan
(Rini/putri Alm. HM. Sani). Namun demikian, Gubernur hanya boleh mengusulkan dua calon,
maka perjuangan perempuan untuk diusung dalam pilihan Wakil Gubernur Kepulauan Riau
dirasa sangat berat.
Paradigma lama bahwa perempuan sebagai kaum yang lemah dan terbatas serta hanya
berfungsi sebagai pelengkap kaum adam, masih cukup dominan menghinggapi cara berpikir
mayoritas masyarakat kita. Beberapa jenis hambatan yang masih dialami oleh sebagian besar
perempuan adalah hambatan kultural, hambatan sosial, hambatan ekonomi, dan hambatan
politik. Hambatan tersebut dapat berasal dari internal maupun eksternal. Dari internal, seperti:
ketidaksiapan perempuan untuk memasuki dunia politik, kompetisi internal partai politik, dan
kompetisi di antara perempuan itu sendiri. Sedangkan faktor eksternal seperti: budaya patriakal
yang menempatkan laki-laki pada posisi yang lebih dominan, masih adanya anggapan bahwa
dunia politik adalah hanya cocok untuk laki-laki, dan perempuan juga masih belum dianggap
sebagai kelompok yang berhak memiliki peran independen dalam melakukan aktualisasi diri di
bidang sosial dan politik.
Politik tidak hanya terkait dengan perebutan kekuasaan yang keras dan penuh konflik,
tetapi terkait dengan semua hal yang berhubungan dengan kebijakan publik. Kebijakan publik
yang aspiratif dengan kepentingan perempuan akan lebih terjamin jika diperjuangkan oleh kaum
perempuan sendiri. Untuk itu diperlukan partisipasi perempuan di dunia politik, termasuk
dilembaga legislatif sebagai lembaga yang melahirkan berbagai produk perundang-undangan.
Beberapa alasan perlu peningkatan peran politik kaum perempuan adalah: (1) Persamaan
hak dan kewajiban setiap WNI dalam bidang hukum dan pemerintahan sehingga sama peran
politik perempuan dan laki-laki dalam pembangunan bangsa; (2) Jumlah penduduk perempuan
dan laki-laki seimbang, sehingga perlu juga peningkatan peran sosial yang seimbang dalam
perspektif gender; (3) Banyaknya pelanggaran hak-hak perempuan dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan (KDRT) serta kurangnya perlindungan terhadap perempuan TKI, tentu
memerlukan subjek pembangunan yang konsen dalam pembuatan kebijakan tentang hak-hak
perempuan; dan (4) Pembuatan kebijakan politik juga sangat memerlukan partisipasi politik
perempuan atau keterwakilan perempuan di Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif.
Politik memang bukan satu–satunya solusi dalam memperjuangkan hak–hak perempuan
dan masalah–masalah kaum hawa yang mengalami kekerasan fisik berupa penganiayaan dan
teror. Mereka yang mengalami masalah akan mudah ditolong tatkala politik sebagai salah satu
power dipegang individu yang punya komitmen politik yang kuat pada masalah perempuan.
Karena itu perjuangan ini akan efektif bila sarana politik yang sudah tersedia dalam kuota 30 %
harus direbut oleh perempuan bila masalah–masalah perempuan yang seabrek ingin
diminimalisir melalui kekuatan politik di parlemen mendatang.
Politik yang santun dan dewasa dalam masyarakat kita memang masih sulit diperankan
oleh siapapun. Dewasa ini justru yang menonjol adalah politik yang menghalalkan segala cara
demi mencapai kepentingan dan target yang sifatnya oportunistik dan finansial semata. Politik
yang penuh persaingan inilah yang harus dihadapi jika kaum perempuan akan terjun memilih
politik sebagai pilihan pengabdian dalam membantu merubah wajah politik Indonesia yang
coreng moreng khususnya kaum perempuan agar perubahan bagi perempuan lain yang masih
banyak tertinggal serta banyak pula kaum perempuan sebagai korban kekerasan yang belum
tersentuh oleh kebijakan Negara sampai sekarang ini. Kaum perempuan untuk merebut perannya
dalam politik harus berjuang dengan peningkatan kapasitas, memiliki peran yang menonjol
dalam partai maupun dalam masyarakat dapilnya, serta memiliki strategi yang jitu dalam
memilih dapil.
.