SUMBANGAN SASTRA TRANSENDENTAL DALAM RAN

SUMBANGAN SASTRA TRANSENDENTAL
DALAM RANAH PENDIDIKAN
Mohammad Kanzunnudin
Dosen dan Ketua Pusat Studi Kebudayaan Universitas Muria Kudus
kini menempuh S3 di Universitas Negeri Semarang
mohammadkanzunnudin@yahoo.com

Transendental dalam leksikal dimaknai “ menonjolkan hal-hal bersifat
kerohanian, sukar dipahami, gaib, abstrak”. Karenanya sastra transendental adalah
karya sastra yang isinya menonjolkan nilai-nilai kerohanian atau keagamaan.
Adapun Kuntowijoyo (1984) mengungkapkan bahwa sastra transendental yang
penting yakni makna, bukan bentuk, bukan konkret, spiritual, bukan empiris; dan
yang di dalam, yang bukan permukaan. Sastra transendental merupakan kesadaran
balik yang melawan arus dehumanisasi atau subhumanisasi.
Kuntowijoyo juga mengungkapkan bahwa sastra transendental merupakan
pernyataan dan perwujudan dari hidup yang lebih dari segalanya dipengaruhi oleh
gerakan roh. Keindahan dan kebenaran menyatu dalam sebuah simbol dengan
ruang gerak yang tidak dibatasi oleh penerapan inderawi semata. Gambaran
inderawi dalam sastra transendental mempunyai makna jauh di luar daya tangkap
inderawi sendiri. Makna sendiri lepas dari kata, mempunyai kehidupan dan
keabadian sendiri, tidak tergantung pada kata. Seni transendental membebaskan

makna dari kata. Bukan kata tetapi makna yang ada di balik kata, menjadi daya
hidup sastra transendental.
Pernyataan Kuntowijoyo tersebut menunjukkan bahwa dalam sastra
transendental mengutamakan makna. Bukan kata, di balik kata itu maknanya
bagaimana? Pernyataan inilah yang menggiring opini bahwa bentuk karya sastra
ini pada umumnya sukar pahami oleh masyarakat awan (bukan berarti semua
karya sastra transendental sulit dipahami oleh pembaca pada umumnya). Bahkan
terkadang juga teramat abstrak karena berupa ide-ide atau gagasan yang dalam
atau suatu konstruksi fenomena sosial budaya yang diinterpretasi dengan balutan
nilai-nilai kehakikian. Sehingga nilai-nilai filosofi religinya sangat tinggi. Sebut
saja”Setangkai Melati Di Sayap Jibril” kumpulan cerpen Danarto dan “Khotbah
Di Atas Bukit” novelnya Kuntowijoyo.
__________________________________________________________________
Makalah ini disajikan pada Seminar Bahasa dan Sastra dalam Pendidikan
Karakter yang diselenggarakan Pusat Studi Kebudayaan Universitas Muria
Kudus, Sabtu 12 Desember 2015.

1

Terkait dengan esensi dan ranah filosofi sastra, memang sudah seharusnya

bahwa karya sastra itu transendental. Sebagaimana diungkapkan YB Mangun
wijaya dalam “Sastra dan Religiositas” bahwa “Pada mulanya, segala sastra
adalah religius”. Pernyataan tersebut diperluas yakni religiositas yang lebih
melihatt aspek yang di dalam hati riak getaran hati nurani pribadi: sikap personal
yang sedikit banyak mesteri bagi orang lain karena menapaskan intimitas jiwa,
yakni cita rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawi)
kedalaman pribadi manusia.
Bahkan dalam kaca mata sastra sebagai karya seni, menurut istilahnya Dick
Hartoko (1986) merupakan aktualisasi pengalaman religius dan pengalaman
estetik. Pengalaman religius yang oleh para filsuf disebut sebagai experience of
god.
Pernyataan ini menurut penulis menandaskan bahwa karya sastra
mengandung nilai-nilai begitu luas dan dalam. Yakni nilai-nilai yang berkaitan
dengan substansi hidup manusia, nilai Ketuhanan, dan nilai lingkungan.
Perluasan pernyataan tersebut menunjukkan bahwa sastra bermula atau
bersumber pada kedalaman jiwa manusia. Kedalaman jiwa manusia yang selalu
berintim dengan nilai-nilai “kekhaliqan”, berupa nur (cahaya) kehidupan, cahaya
kesadaran, cahaya Ketuhanan, cahaya kemanusiaan. Cahaya-cahaya itu melebihi
nilai-nilai substansi individu manusia. Nilai yang menurut Sulaeman (1998)
sebagai suatu yang dipentingkan manusia sebagai subjek, menyangkut segala

sesuatu yang baik atau yang buruk sebagai abstraksi, pandangan, atau maksud
dari berbagai pengalaman dengan seleksi perilaku yang ketat.
Nilai tersebut mnengatasi kepentingan dan batas-batas individu yang lebih
dikuasai emosi dan kebutuhan yang sering tidak mengenal marka sosial, moral,
dan etika. Oleh sebab itu, sastra transendental selalu menyodorkan makna dan
nilai bagi manusia. Hal ini telah disadari oleh para sastrawan Indonesia. Chairil
Anwar yang terkenal dengan penyair jalang, ternyata puisi-puisinya sangat dalam
membicarakan nilai-nilai esensi manusia maupun Ketuhanan. Misalnya sajaknya
“Nisan” /Bukan kematian benar menusuk kalbu/Keridlaanmu menerima segala
tiba/Tak kutahu setinggi itus atas debu/dan duka maha tuan bertakhta/.
Chairil Anwar sebagai penyair penghayati secara mendalam berkaitan
dengan takdir kematian manusia yang tidak bisa dihindari, tidak bisa diajak
komproni, dan tidak bisa ditunda. Penghayatan takdir kematian yang teramat
dalam menunjukkan bahwa siapa pun pembaca sajak tersebut dibawa ke arus
sikap religiositas yang tinggi.

2

Misalnya sajak “Gumamku, ya Allah”-nya Rendra pada bait terakhir /Semua
manusia sama tidak tahu dan sama rindu./Agama adalah kemah para

pengembara./Menggema beragam doa dan puja./Arti yang sama dalam bahasabahasa berbeda./ Sajak ini mengembangkan nilai-nilai religi universal. Sajak
yang sangat mengutamakan nilai-nilai kemanusian universal.
Adapun penyair lain misalnya, Abdul Hadi W.M., Sutardji Calzoum Bachri,
Taufiq Ismail, dan Sapardi Djoko Damono banyak karya yang sangat religius.
Cerpennya A.A. Navis “Robohnya Surau Kami” dan drama-dramanya Arifin C.
Noer juga tidak lepas dari penggalian nilai-nilai religius.
Bentuk karya-karya sastra transendental tersebut memandu pembaca
(manusia) memasuk alam kesadaran terhadap diri sendiri, nilai-nilai keterbatasan
manausia, nilai-nilai Ketuhanan, nilai-nilai manusia universal yang tidak
individual, nilai-nilai penjelajahan tentang hidup dan kehidupan secara hakiki.
Bagaimana benang merah sastra transendental dengan pendidikan?
Pendidikan bertujuan mengembangkan potensi peserta didik (manusia) agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam konteks ini menandaskan bahwa
pendidikan tidak hanya menghasilkan sumber daya manusia yang pandai
(kognitif), tetapi harus memiliki nilai afektif dan psikomotorik yang andal.
Hasil pendidikan berupa insan-insan yang berakhlak mulia. Akhlak mulia
ini yang membimbing manusia ke arah nilai manfaat bagi masyarakat secara luas.
Bukan hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri. Insan-insan yang memilki watak

utuh, yakni nalar, hati, dan tindakan yang menyatu dalam karakter yang paripurna.
Insan-insan yang memiliki watak atau karakter yang pada hakikatnya merupakan
sisi kepribadian yang berkaitan dengan moral, norma, dan etika yang dianut oleh
masyarakat atau bangsa. Pertanyaannya, karakteristik watak yang bagaimana yang
diharapkan sebagai produk pendidikan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita merenungkan dan merefleksi
pendapat Sharon Wisniewski & Keneth Miller dalam jurnal The ASCA Counselor
Vol. 35 No. 2 (1998) yasng menyatakan bahwa watak dipandang sebagai suatu
hubungan timbal balik antara diri (self) dengan tiga hal, yakni lingkungan internal
(diri), lingkungan eksternal (orang lain dan lingkungan fisik), dan lingkungan
spiritual (sesuatu yang lebih besar dan abadi daripada dirinya). Berdasarkan
pandangan ini maka ada empat tingkatan watak, yakni tingkatan nol, tingkatan
satu, dua, dan tiga.

3

Watak tingkatan nol, sebagai watak yang tidak memiliki timbangantimbangan moral dalam perilaku pribadinya. Pribadi berwatak ini disebut
“reactive personality” atau kepribadian reaktif. Kepribadian ini menghasilkan
perilaku spontan tanpa disertai pertimbangan moral. Tersinggung sedikit, langsung
memukul atau mengucapkan kata-kata kotor. Tanpa pertimbangan apa yang

dilakuan itu jelek atau baik, sopan atau tidak. Perilakunya berdasarkan emosi
untuk kepuasan diri sendiri tanpa adanya pertimbangan nilai. Misalnya tawuran
antarpelajar, perkelaian, perampokan, pembunuhan, dan semacamnya.
Karakteristik pribadi yakni bersifat pasif, kurang inisiatif, bersifat menunggu,
pasrah, menanti belas kasihan, ingin diperhatikan, emosional, dan tidak peduli
dengan resiko, serta berpandangan pendek.
Watak tingkatan satu, merupakan watak yang mampu melakukan hubungan
timbal balik dengan berbagai aspek dalam dirinya sendiri dengan kendali emosi
yang mantap. Tingkatan ini disebut proactive personality atau kepribadian
proaktif. Kepribadian yang mempunyai mampu mewujudkan perilaku aktif dan
terarah sesuai dengan tuntutan dirinya sendiri dan lingkungan. Sebagai watak
yang dilandasi emostional intelligence atau kecerdasan emosional. Kecerdasan
emosional ini didukung lima kemampuan, yakni (1) mengenali emosi diri, (2)
mengelola emosi, (3) memotivasi diri, (4) mengenali emosi orang lain, dan (5)
membina hubungan dengan orang lain.
Watak tingkat dua, watak yang mempunyai kemampuan melakukan
hubungan timbal balik secara sehat antara dirinya dengan orang lain serta
lingkungan yang lebih luas. Stephen Covey menyebut “interdependent
personality”. Kepribadian yang mampu melakukan hubungan timbal balik dengan
pihak-pihak di luar dirinya. Seluruh perilaku kepribadian ini berdasarkan moral.

Karena disebut juga watak “moral intelligence atau kecerdasan moral. Manusia
yang berwatak ini mampu melaksanakan nilai-nilai moral secara utuh dalam
perilakunya. Sehingga ia sebagai manusia yang baik. Mamnusia watak ini dapat
bertindak dengan cermat, tenang, berkepala dingin, penuh keyakinan, dan
optimisme. Karenanya apa yang lakukan bermakna bagi dirinya maupun orang
lain.
Watak tingkatan tiga, ditandai dengan kemampuan menjalin hubungan
dengan lingkungan yang paling besar di luar diri, yakni “Tuhan”. Tentu watak ini
juga mampu berhubungan timbal balik dengan orang lain dan lingkungannya.
Watak ini berlandaskan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Watak ini namakan spiritual intelligence atau kecerdasan spiritual. Seluruh
perilaku berdasarkan pertimbangan spiritual yang berakar pada keimanan dan
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pikiran, sikap, dan perilakunya
merupakan aktualisasi keperibadian yang sehat dan utuh. Sehingga menebarkan
makna yang sangat luas bagi dirinya maupun masyarakat di sekitarnya.

4

Tentu watak spiritual intelligence yang menjadi tujuan pendidikan
Indonesia, sebagaimana diamanahkan oleh Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20

Tahun 2003 Pasal 3; sebagaimana telah dijelaskan di atas. Hal ini sejalan dengan
nilai-nilai yang dikembangkan oleh sastra transendental.
Sastra transendental, sastra yang bermuara pada nilai-nilai religi. Sastra
yang mengungkapkan nilai-nilai kemanusiaan, keuniversalan, dan kereligian.
Sastra sebagai aktualisasi pengalaman nilai-nilai estetika dan nilai-nilai
Ketuhanan. Sehingga mengantarkan pembaca atau penikmat untuk melakukan
kontemplasi dan refleksi diri terhadap nilai-nilai esensi dan hakiki yang berkaitan
dengan hidup dan kehidupan yang berada dalam ranah diri sendiri, sosial, budaya,
lingkungan, dan Ketuhanan. Sastra yang bermuara pada manusia agar mampu
mengaktualisasikan nilai-nilai kemanusiaannya.
Nilai-nilai yang diungkap oleh sastra transendental sangat selaras dengan
tujuan pendidikan nasional. Oleh sebab itu, sastra transendental dapat dijadikan
landas tumpu pendidikan yang bermuara pada pembentukan manusia yang
memiliki kecerdasan spiritual. Manusia yang bermakna secara indivual, sosial,
kultural, dan spiritual.

REFERENSI
Anwar, Chairil. 1987. Aku Ini Binatang Jalang. Jakarta: Gramedia.
Bachri, Sutardji Calzoum. 1981. O Amuk Kapak. Jakarta: Sinar Harapan.
Danarto. 2001. Setangkai Melati di Sayap Jibril: Kumpulan Cerpen. Yogyakarta:

Bentang Budaya.
Hartoko, Dick. 1986. Manusia dan Seni. Yogyakarta: Kanisius.
Kuntowijoyo. 1984. “Saya Kira Kita Memerlukan Juga sebuah Sastra
Transendental” dalam Dewan Kesenian Jakarta Dua Puluh Sastrawan
Bicara. Jakarta: Sinar Harapan.
Mangunwijaya, Y.B. 1992. Sastra dan Religiositas. Yogyakarta: Kanisius.
Navis, A.A. 2010. Robohnya Surau Kami. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Rendra, W.S. 2013. Doa Untuk Anak Cucu. Yogyakarta: Bentang.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. 2006: Diperbanyak oleh Sinar Grafika.

5

6