PEMANFAATAN BATUBARA PADA PEMBANGKIT LIS

PEMANFAATAN BATUBARA PADA
PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP
Disusun Oleh :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

EDRA PRATAMA P
EKA SEPTIANI CAHYA DEWI
FAISAL RIZQI R
GARFIANSYAH RAYES
GDE DANAN
HAFIDH AFIF A

(073001300029)
(073001300030)
(073001300033)
(073001300039)

(073001300040)
(

Program Studi Teknik Pertambangan
Fakultas Teknologi Kebumian Dan Energi
Universitas Trisakti
Jakarta
2016

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga makalah
ini dapat tersusun hingga selesai guna memenuhi tugas mata kuliah teknik pemanfaatan
batubara. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak
yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi
makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik
yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.


Jakarta, Juni 2016

Penyusun

1. PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP
Pembangkit Listrik Tenaga Uap Batubara adalah salah satu jenis instalasi pembangkit tenaga
listrik di mana tenaga listrik didapat dari mesin turbin yang diputar oleh uap yang dihasilkan
melalui pembakaran batubara
Siklus di PLTU dapat dibedakan menjadi
1. Siklus Udara, sebagai campuran bahan bakar
2. Siklus Air, sebagai media untuk menghasilkan uap air (steam)
3. Siklus Batubara, sebagai bahan bakar
Udara sebagai campuran bahan bakar masuk ke dalam Boiler melalui PA Fan, FD Fan dan ID
Fan. PA Fan mengalirkan udara awal masuk boiler dalam kondisi hangat, karena udara di PA Fan
telah dipanaskan dahulu oleh sisa panas pembakaran di Economizer.
PLTU batubara adalah sumber utama dari listrik dunia saat ini. Sekitar 60% listrik dunia
bergantung pada batubara, hal ini dikarenakan PLTU batubara bisa menyediakan listrik dengan
harga yang murah. Kelemahan utama dari PLTU batubara adalah pencemaran emisi
karbonnya sangat tinggi, paling tinggi dibanding bahan bakar lain.
2. PRINSIP KERJA PLTU


Gambar 1. Skema pembangkitan listrik pada PLTU batubara
(Sumber: The Coal Resource, 2004)
Pada PLTU, batubara dibakar di boiler menghasilkan panas yang digunakan untuk mengubah air
dalam pipa yang dilewatkan di boiler tersebut menjadi uap, yang selanjutnya digunakan untuk
menggerakkan turbin dan memutar generator. Kinerja pembangkitan listrik pada PLTU sangat
ditentukan oleh efisiensi panas pada proses pembakaran batubara tersebut, karena selain

berpengaruh pada efisiensi pembangkitan, juga dapat menurunkan biaya pembangkitan.
Kemudian dari segi lingkungan, diketahui bahwa jumlah emisi CO2 per satuan kalori dari
batubara adalah yang terbanyak bila dibandingkan dengan bahan bakar fosil lainnya, dengan
perbandingan untuk batubara, minyak, dan gas adalah 5:4:3. Sehingga berdasarkan uji coba yang
mendapatkan hasil bahwa kenaikan efisiensi panas sebesar 1% akan dapat menurunkan emisi
CO2 sebesar 2,5%, maka efisiensi panas yang meningkat akan dapat mengurangi beban
lingkungan secara signifikan akibat pembakaran batubara. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa teknologi pembakaran (combustion technology) merupakan tema utama pada upaya
peningkatan efisiensi pemanfaatan batubara secara langsung sekaligus upaya antisipasi isu
lingkungan ke depannya.
Pada dasarnya metode pembakaran pada PLTU terbagi 3, yaitu pembakaran lapisan tetap (fixed
bed combustion), pembakaran batubara serbuk (pulverized coal combustion /PCC), dan

pembakaran lapisan mengambang (fluidized bed combustion / FBC). Gambar 3 di bawah ini
menampilkan jenis – jenis boiler yang digunakan untuk masing – masing metode pembakaran.

Gambar 2. Tipikal boiler berdasarkan metode pembakaran
(Sumber: Idemitsu Kosan Co., Ltd)
Pembakaran Lapisan Tetap
Metode lapisan tetap menggunakan stoker boiler untuk proses pembakarannya. Sebagai bahan
bakarnya adalah batubara dengan kadar abu yang tidak terlalu rendah dan berukuran maksimum
sekitar 30mm. Selain itu, karena adanya pembatasan sebaran ukuran butiran batubara yang
digunakan, maka perlu dilakukan pengurangan jumlah fine coal yang ikut tercampur ke dalam
batubara tersebut. Alasan tidak digunakannya batubara dengan kadar abu yang terlalu rendah
adalah karena pada metode pembakaran ini, batubara dibakar di atas lapisan abu tebal yang
terbentuk di atas kisi api (traveling fire grate) padastoker boiler. Bila kadar abunya sangat
sedikit, lapisan abu tidak akan terbentuk di atas kisi tersebut sehingga pembakaran akan langsung

terjadi pada kisi, yang dapat menyebabkan kerusakan yang parah pada bagian tersebut. Oleh
karena itu, kadar abu batubara yang disukai untuk tipe boiler ini adalah sekitar 10 – 15%.
Adapun tebal minimum lapisan abu yang diperlukan untuk pembakaran adalah 5cm.

Gambar 3. Stoker Boiler

(Sumber: Idemitsu Kosan Co., Ltd)
Pada pembakaran dengan stoker ini, abu hasil pembakaran berupa fly ash jumlahnya sedikit,
hanya sekitar 30% dari keseluruhan. Kemudian dengan upaya seperti pembakaran NOx dua
tingkat, kadar NOx dapat diturunkan hingga sekitar 250 – 300 ppm. Sedangkan untuk
menurunkan SOx, masih diperlukan tambahan fasilitas berupa alat desulfurisasi gas buang.
Pembakaran Batubara Serbuk (Pulverized Coal Combustion/PCC)
Saat ini, kebanyakan PLTU terutama yang berkapasitas besar masih menggunakan metode PCC
pada pembakaran bahan bakarnya. Hal ini karena sistem PCC merupakan teknologi yang sudah
terbukti dan memiliki tingkat kehandalan yang tinggi. Upaya perbaikan kinerja PLTU ini
terutama dilakukan dengan meningkatkan suhu dan tekanan dari uap yang dihasilkan selama
proses pembakaran. Perkembangannya dimulai dari sub critical steam, kemudian super critical
steam, serta ultra super critical steam (USC). Sebagai contoh PLTU yang menggunakan
teknologi USC adalah pembangkit no. 1 dan 2 milik J-Power di teluk Tachibana, Jepang, yang
boilernya masing – masing berkapasitas 1050 MW buatan Babcock Hitachi. Tekanan uap yang
dihasilkan adalah sebesar 25 MPa (254.93 kgf/cm2) dan suhunya mencapai 600℃/610℃ (1

stage reheat cycle). Perkembangan kondisi uap dan grafik peningkatan efisiensi pembangkitan
pada PCC ditunjukkan pada gambar 4 di di bawah ini.

Gambar 4. Perkembangan kondisi uap PLTU

(Sumber: Clean Coal Technologies in Japan, 2005)
Pada PCC, batubara diremuk dulu dengan menggunakan coal pulverizer (coal mill) sampai
berukuran 200 mesh (diameter 74μm), kemudian bersama – sama dengan udara pembakaran
disemprotkan ke boiler untuk dibakar. Pembakaran metode ini sensitif terhadap kualitas batubara
yang digunakan, terutama sifat ketergerusan (grindability), sifat slagging, sifat fauling, dan kadar
air (moisture content). Batubara yang disukai untuk boiler PCC adalah yang memiliki sifat
ketergerusan dengan HGI (Hardgrove Grindability Index) di atas 40 dan kadar air kurang dari
30%, serta rasio bahan bakar (fuel ratio) kurang dari 2. Pembakaran dengan metode PCC ini
akan menghasilkan abu yang terdiri diri dari clinker ash sebanyak 15% dan sisanya berupa fly
ash.

Gambar 5. PCC Boiler

(Sumber: Idemitsu Kosan Co., Ltd)
Ketika dilakukan pembakaran, senyawa Nitrogen yang ada di dalam batubara akan beroksidasi
membentuk NOx yang disebut dengan fuel NOx, sedangkan Nitrogen pada udara pembakaran
akan mengalami oksidasi suhu tinggi membentuk NOx pula yang disebut dengan thermal NOx.
Pada total emisi NOx dalam gas buang, kandungan fuel NOx mencapai 80 – 90%. Untuk
mengatasi NOx ini, dilakukan tindakan denitrasi (de-NOx) di boiler saat proses pembakaran
berlangsung, dengan memanfaatkan sifat reduksi NOx dalam batubara.


Gambar 6. Proses denitrasi pada boiler PCC
(Sumber: Coal Science Handbook, 2005)
Pada proses pembakaran tersebut, kecepatan injeksi campuran batubara serbuk dan udara ke
dalam boiler dikurangi sehingga pengapian bahan bakar dan pembakaran juga melambat. Hal ini
dapat menurunkan suhu pembakaran, yang berakibat pada menurunnya kadar thermal NOx.
Selain itu, sebagaimana terlihat pada gambar 6 di atas, bahan bakar tidak semuanya dimasukkan
ke zona pembakaran utama, tapi sebagian dimasukkan ke bagian di sebelah atas burner utama.
NOx yang dihasilkan dari pembakara utama selanjutnya dibakar melalui 2 tingkat. Di zona
reduksi yang merupakan pembakaran tingkat pertama atau disebut pula pembakaran reduksi
(reducing combustion), kandungan Nitrogen dalam bahan bakar akan diubah menjadi N2.
Selanjutnya, dilakukan pembakaran tingkat kedua atau pembakaran oksidasi (oxidizing
combustion), berupa pembakaran sempurna di zona pembakaran sempurna. Dengan tindakan ini,

NOx dalam gas buang dapat ditekan hingga mencapai 150 – 200 ppm. Sedangkan untuk
desulfurisasi masih memerlukan peralatan tambahan yaitu alat desulfurisasi gas buang.
Pembakaran Lapisan Mengambang (Fluidized Bed Combustion/FBC)
Pada pembakaran dengan metode FBC, batubara diremuk terlebih dulu dengan
menggunakan crusher sampai berukuran maksimum 25mm. Tidak seperti pembakaran
menggunakan stoker yang menempatkan batubara di atas kisi api selama pembakaran atau

metode PCC yang menyemprotkan campuran batubara dan udara pada saat pembakaran, butiran
batubara dijaga agar dalam posisi mengambang, dengan cara melewatkan angin berkecepatan
tertentu dari bagian bawah boiler. Keseimbangan antara gaya dorong ke atas dari angin dan gaya
gravitasi akan menjaga butiran batubara tetap dalam posisi mengambang sehingga membentuk
lapisan seperti fluida yang selalu bergerak. Kondisi ini akan menyebabkan pembakaran bahan
bakar yang lebih sempurna karena posisi batubara selalu berubah sehingga sirkulasi udara dapat
berjalan dengan baik dan mencukupi untuk proses pembakaran.
Karena sifat pembakaran yang demikian, maka persyaratan spesifikasi bahan bakar yang akan
digunakan untuk FBC tidaklah seketat pada metode pembakaran yang lain. Secara umum, tidak
ada pembatasan yang khusus untuk kadar zat terbang (volatile matter), rasio bahan bakar (fuel
ratio) dan kadar abu. Bahkan semua jenis batubara termasuk peringkat rendah sekalipun dapat
dibakar dengan baik menggunakan metode FBC ini. Hanya saja ketika batubara akan
dimasukkan ke boiler, kadar air yang menempel di permukaannya (free moisture) diharapkan
tidak lebih dari 4%. Selain kelebihan di atas, nilai tambah dari metode FBC adalah alat peremuk
batubara yang dipakai tidak terlalu rumit, serta ukuran boiler dapat diperkecil dan dibuat
kompak.
Bila suhu pembakaran pada PCC adalah sekitar 1400 – 1500℃, maka pada FBC, suhu
pembakaran berkisar antara 850 – 900℃ saja sehingga kadarthermal NOx yang timbul dapat
ditekan. Selain itu, dengan mekanisme pembakaran 2 tingkat seperti pada PCC, kadar NOx total
dapat lebih dikurangi lagi.

Kemudian, bila alat desulfurisasi masih diperlukan untuk penanganan SOx pada metode
pembakaran tetap dan PCC, maka pada FBC, desulfurisasi dapat terjadi bersamaan dengan
proses pembakaran di boiler. Hal ini dilakukan dengan cara mencampur batu kapur (lime stone,
CaCO3) dan batubara kemudian secara bersamaan dimasukkan ke boiler. SOx yang dihasilkan
selama proses pembakaran, akan bereaksi dengan kapur membentuk gipsum (kalsium sulfat).

Selain untuk proses desulfurisasi, batu kapur juga berfungsi sebagai media untuk fluidized
bed karena sifatnya yang lunak sehingga pipa pemanas (heat exchanger tube) yang terpasang di
dalam boiler tidak mudah aus.

Gambar 7. Tipikal boiler FBC
(Sumber: Coal Science Handbook, 2005)
Berdasarkan mekanisme kerja pembakaran, metode FBC terbagi 2 yaitu Bubbling FBC
dan Circulating FBC (CFBC), seperti ditampilkan pada gambar 7 di atas. Dapat dikatakan
bahwa Bubbling FBC merupakan prinsip dasar FBC, sedangkan CFBC merupakan
pengembangannya.
Pada CFBC, terdapat alat lain yang terpasang pada boiler yaitu cyclone suhu tinggi. Partikel
media fluidized bed yang belum bereaksi dan batubara yang belum terbakar yang ikut terbang
bersama aliran gas buang akan dipisahkan di cyclone ini untuk kemudian dialirkan kembali
ke boiler. Melalui proses sirkulasi ini, ketinggian fluidized bed dapat terjaga, proses denitrasi

dapat berlangsung lebih optimal, dan efisiensi pembakaran yang lebih tinggi dapat tercapai. Oleh
karena itu, selain batubara berkualitas rendah, material seperti biomasa, sludge, plastik bekas,
dan ban bekas dapat pula digunakan sebagai bahan bakar pada CFBC. Adapun abu sisa
pembakaran hampir semuanya berupa fly ash yang mengalir bersama gas buang, dan akan
ditangkap lebih dulu dengan menggunakan Electric Precipitator sebelum gas buang keluar ke
cerobong asap (stack).

Gambar 8. CFBC Boiler
(Sumber: Idemitsu Kosan Co., Ltd)
Pada FBC, bila tekanan di dalam boiler sama dengan tekanan udara luar, disebut
dengan Atmospheric FBC (AFBC), sedangkan bila tekanannya lebih tinggi dari pada tekanan
udara luar, sekitar 1 MPa, disebut dengan Pressurized FBC (PFBC).
Faktor tekanan udara pembakaran memberikan pengaruh terhadap perkembangan teknologi FBC
ini. Untuk Bubbling FBC berkembang dari PFBC menjadiAdvanced PFBC (A-PFBC),
sedangkan untuk CFBC selanjutnya berkembang menjadi Internal CFBC (ICFBC) dan
kemudian Pressurized ICFBC (PICFBC).
PFBC
Pada PFBC, selain dihasilkan panas yang digunakan untuk memanaskan air menjadi uap untuk
memutar turbin uap, dihasilkan pula gas hasil pembakaran yang memiliki tekanan tinggi yang
dapat memutar turbin gas, sehingga PLTU yang menggunakan PFBC memiliki efisiensi

pembangkitan yang lebih baik dibandingkan dengan AFBC karena mekanisme kombinasi
(combined cycle) ini. Nilai efisiensi bruto pembangkitan (gross efficiency) dapat mencapai 43%.
Sesuai dengan prinsip pembakaran pada FBC, SOx yang dihasilkan pada PFBC dapat ditekan
dengan mekanisme desulfurisasi bersamaan dengan pembakaran di dalam boiler, sedangkan
NOx dapat ditekan dengan pembakaran pada suhu relatif rendah (sekitar 860℃) dan pembakaran
2 tingkat. Karena gas hasil pembakaran masih dimanfaatkan lagi dengan mengalirkannya ke
turbin gas, maka abu pembakaran yang ikut mengalir keluar bersama dengan gas tersebut perlu
dihilangkan lebih dulu. Pemakaian CTF (Ceramic Tube Filter) dapat menangkap abu ini secara
efektif. Kondisi bertekanan yang menghasilkan pembakaran yang lebih baik ini secara otomatis
akan menurunkan kadar emisi CO2 sehingga dapat mengurangi beban lingkungan.

Gambar 9. Prinsip kerja PFBC
(Sumber: Coal Note, 2001)
Untuk lebih meningkatkan efisiensi panas, unit gasifikasi sebagian (partial gasifier) yang
menggunakan teknologi gasifikasi lapisan mengambang (fluidized bed gasification) kemudian
ditambahkan pada unit PFBC. Dengan kombinasi teknologi gasifikasi ini maka upaya
peningkatan suhu gas pada pintu masuk (inlet) turbin gas memungkinkan untuk dilakukan.
Pada proses gasifikasi di partial gasifier tersebut, konversi karbon yang dicapai adalah sekitar
85%. Nilai ini dapat ditingkatkan menjadi 100% melalui kombinasi dengan pengoksidasi
(oxidizer). Pengembangan lebih lanjut dari PFBC ini dinamakan dengan Advanced PFBC (APFBC), yang prinsip kerjanya ditampilkan pada gambar 10 di bawah ini. Efisiensi netto
pembangkitan (net efficiency) yang dihasilkan pada A-PFBC ini sangat tinggi, dapat mencapai
46%.

Gambar 10. Prinsip kerja A-PFBC
(Sumber: Coal Science Handbook, 2005)
ICFBC
Penampang boiler ICFBC ditampilkan pada gambar 11 di bawah ini.

Gambar 11. Penampang boiler ICFBC
(Sumber: Coal Note, 2001)
Seperti terlihat pada gambar, ruang pembakaran utama (primary combustion chamber) dan ruang
pengambilan panas (heat recovery chamber) dipisahkan oleh dinding penghalang yang terpasang
miring. Kemudian, karena pipa pemanas (heat exchange tube) tidak terpasang langsung pada
ruang pembakaran utama, maka tidak ada kekhawatiran terhadap keausan pipa sehingga pasir
silika digunakan sebagai pengganti batu kapur untuk media FBC. Batu kapur masih tetap
digunakan sebagai bahan pereduksi SOx, hanya jumlahnya ditekan sesuai dengan keperluan saja.
Di bagian bawah ruang pembakaran utama terpasang windbox untuk mengalirkan angin
ke boiler, dimana angin bervolume kecil dialirkan melalui bagian tengah untuk menciptakan
lapisan bergerak (moving bed) yang lemah, dan angin bervolume besar dialirkan melewati kedua
sisi windbox tersebut untuk menimbulkan lapisan bergerak yang kuat. Dengan demikian maka
pada bagian tengah ruang pembakaran utama akan terbentuk lapisan bergerak yang turun secara
perlahan, sedangkan pada kedua sisi ruang tersebut, media FBC akan terangkat kuat ke atas
menuju ke bagian tengah ruang pembakaran utama dan kemudian turun perlahan – lahan, dan
kemudian terangkat lagi oleh angin bervolume besar dari windbox. Proses ini akan menciptakan
aliran berbentuk spiral (spiral flow) yang terjadi secara kontinyu pada ruang pembakaran utama.
Mekanisme aliran spiral dari media FBC ini dapat menjaga suhu lapisan mengambang supaya
seragam. Selain itu, karena aliran tersebut bergerak dengan sangat dinamis, maka pembuangan
material yang tidak terbakar juga lebih mudah.
Kemudian, ketika media FBC yang terangkat kuat tersebut sampai di bagian atas dinding
penghalang, sebagian akan berbalik menuju ke ruang pengambilan panas. Karena pada ruang

pengambilan panas tersebut juga dialirkan angin dari bagian bawah, maka pada ruang tersebut
akan terbentuk lapisan bergerak yang turun perlahan juga. Akibatnya, media FBC akan mengalir
dari ruang pembakaran utama menuju ke ruang pengambilan panas kemudian kembali lagi ke
ruang pembakaran utama, membentuk aliran sirkulasi (circulating flow) di antara kedua ruang
tersebut. Menggunakan pipa pemanas yang terpasang pada ruang pengambilan panas, panas dari
ruang pembakaran utama diambil melalui mekanisme aliran sirkulasi tadi.
Secara umum, perubahan volume angin yang dialirkan ke ruang pengambilan panas berbanding
lurus dengan koefisien hantar panas secara keseluruhan. Dengan demikian maka hanya dengan
mengatur volume angin tersebut, tingkat keterambilan panas serta suhu pada lapisan
mengambang dapat dikontrol dengan baik, sehingga pengaturan beban dapat dilakukan dengan
mudah pula.
Untuk lebih meningkatkan kinerja pembangkitan, proses pada ICFBC kemudian diberi tekanan
dengan cara memasukkan unit ICFBC ke dalam wadah bertekanan (pressurized vessel), yang
selanjutnya disebut dengan Pressurized ICFBC (PICFBC). Dengan mekanisme ini maka selain
uap air, akan dihasilkan pula gas hasil pembakaran bertekanan tinggi yang dapat digunakan
untuk memutar turbin gas sehingga pembangkitan secara kombinasi (combined cycle) dapat
diwujudkan.
3. JENIS BATUBARA YANG DIGUNAKAN PADA PLTU
Klasifikasi kualitas batubara secara umum terbagi 2, yaitu pembagian secara ilmiah dalam hal ini
berdasarkan tingkat pembatubaraaan, dan pembagian berdasarkan tujuan penggunaannya.
Berdasarkan urutan pembatubaraannya, batubara terbagi menjadi batubara muda (brown
coal atau lignite), sub bituminus, bituminus, dan antrasit. Sedangkan berdasarkan tujuan
penggunaannya, batubara terbagi menjadi batubara uap (steam coal), batubara kokas (coking
coal atau metallurgical coal), dan antrasit.
Batubara uap merupakan batubara yang skala penggunaannya paling luas. Berdasarkan
metodenya, pemanfataan batubara uap terdiri dari pemanfaatan secara langsung yaitu batubara
yang telah memenuhi spesifikasi tertentu langsung digunakan setelah melalui proses peremukan
(crushing/milling) terlebih dulu seperti pada PLTU batubara, kemudian pemanfaatan dengan
memproses terlebih dulu untuk memudahkan penanganan (handling) seperti CWM (Coal Water

Slurry), COM (Coal Oil Mixture), dan CCS (Coal Cartridge System), dan selanjutnya
pemanfataan melalui proses konversi seperti gasifikasi dan pencairan batubara
Pada PLTU batubara, bahan bakar yang digunakan adalah batubara uap yang terdiri dari kelas
sub bituminus dan bituminus. Lignit juga mulai mendapat tempat sebagai bahan bakar pada
PLTU belakangan ini, seiring dengan perkembangan teknologi pembangkitan yang mampu
mengakomodasi batubara berkualitas rendah.
4. KARAKTERISTIK BATUBARA UNTUK PLTU
Karakteristik pembakaran batubara dalam sebuah pembangkit listrik terutama dipengaruhi oleh :

Gambar 12 Pembakaran Batubara
1. Kualitas atau karakteristik batubara.
2. Batasan yang ditentukan oleh desain boiler.
3.Posisi burner, konfigurasi fisik dan luas perpindahan panas dalam ketel uap (boiler).
4. Kondisi operasional.
Mengingat hal tersebut di atas, maka idealnya desain suatu pembangkit listrik berbahan bakar
batubara dibuat berdasarkan kualitas batubara yang akan digunakan. Atau sebaliknya, batubara
yang dipasok untuk sebuah pembangkit listrik seharusnya sesuai dengan spesifikasi yang
dipersyaratkan. Sering terjadi, keterlambatan pasokan batubara sesuai spesifikasi menyebabkan
digunakannya batubara lain yang kualitasnya tidak memenuhi spesifikasi. Hal ini dapat
mengganggu kelancaran pengoperasian pembangkit listrik.
Beberapa pengaruh yang dapat terjadi jika menggunakan batubara di luar spesifikasi (off
design) pada pembangkit yang telah ada (existing) diantaranya adalah kinerja penggerus,
pengendapan abu (slagging dan fouling), dan karakteristik serta efisiensi pembakaran.

“Kinerja mesin penggerus (pulverizer) biasanya berhubungan dengan nilai kalor dan sifat
ketergerusan (HGI, hardgrove grindability index)” (Savage, 1974). Apabila digunakan batubara
dengan kalori lebih rendah dari spesifikasi, maka diperlukan jumlah batubara yang lebih banyak,
sehingga penggerus kemungkinan perlu ditambah atau penggerus cadangan perlu dioperasikan.
Operasi PLTU tanpa penggerus cadangan ini sangat riskan dan dapat mengganggu kelangsungan
operasi PLTU. HGI menentukan cocok tidaknya batubara dengan penggerus yang ada. Batubara
keras atau dengan HGI rendah tidak cocok digerus pada penggerus yang dirancang untuk
batubara lunak (HGI tinggi).
“Pengendapan (deposisi) abu pada permukaan area perpindahan panas pada sebuah ketel uap
adalah salah satu masalah yang paling serius yang dapat terjadi jika menggunakan batubara
diluar spesifikasi. Kecenderungan pembentukan endapan abu tergantung komposisi dan titik
leleh abu batubaranya. Selain kinerja mesin penggerus dan pengendapan abu, penggunaan
batubara diluar spesifikasi juga dapat mengganggu karakteristik dan efisiensi pembakaran. Jika
pembakaran tidak sempurna, maka efisiensi menurun dan kadar karbon dalam abu meningkat.
Hal ini dapat mengganggu kinerja electrostatic precipitator yang berfungsi menangkap abu
terbang (fly ash) dan selanjutnya juga mempersulit pemanfaatan abu” (Slamet Suprapto, 2009).
Tabel berikut ini adalah contoh dari spesifikasi batubara yang dipergunakan untuk PLTU
Bukit Asam di Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Data yang diperoleh adalah berdasarkan nilai
kontrak pada tahun 2008.
Spesifikasi Batubara untuk Pembangkit Listrik
ANALYSIS

RANGE

TYPICAL

- Volatile Matter

33,47 – 43,22

40,00

- Fixed Carbon

32,10 – 43,50

37,00

- Total Moisture

17,38 – 32,23

28,00

- Ash Content

2,27 – 19,72

8,00

Hardgrove Grindability Index (HGI)

41,00 – 60,00

48,00

Proximat Analysis (ar, % by wt) :

Heating Value (ar, Kcal/kg) :
- Net Calorific Value

3681 – 4967

4620

- Gross Calorific Value

4047 – 5309

5000

- Carbon

52,94 – 80,57

56,23

- Hydrogen

3,54 – 8,99

5,31

- Nitrogen

0,41 – 1,37

0,75

- Oxygen

9,37 – 24,63

13,78

- Sulfur

0,07 -2,49

1,00

- Silica

37,10 – 67,40

54,62

- Iron

2,50 – 10,78

5,40

- Alluminium Dioxide (Al2O3)

7,40 – 34,50

22,54

- Calsium Oxide (CaO)

1,50 – 8,40

2,40

- Magnesium Oxide (MgO)

1,40 – 4,40

2,40

- Sodium Oxide (Na2O)

1,80 – 6,60

4,10

- Potasium Oxide (K2O)

0,20 – 0,70

0,30

:

782 – 1500

1250 Appr

- Initial Deformation

896 – 1580

1350+

Ultimate Analysis (ar, % by wt) :

Ash Analysis (ar, % by wt) :

Fusion Point of Ash (in reducing atmosphere, o C)

- Fluid
Ukuran butiran :
- Lolos ayakan 50 mm, 95 %
- Lolos ayakan > 50 mm, 5 %
Sumber : PLTU Bukit Asam, 2008

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

KEPEKAAN ESCHERICHIA COLI UROPATOGENIK TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG (PERIODE JANUARI-DESEMBER 2008)

2 106 1

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

PENGARUH BIG FIVE PERSONALITY TERHADAP SIKAP TENTANG KORUPSI PADA MAHASISWA

11 131 124