METODE DIALOG DALAM AL QURAN

LANDASAN DIALOG AL-QUR’AN
Adapun landasan awal dialog al-Qur’an yaitu selalu berpegang pada pertimbangan
logika dan ilmu.
Ilmu dalam istilah al-Qur’an dan filsafat islam sesuai dengan apa yang didefinisikan
oleh para ilmuan bahwasanya ilmu adalah “mengetahui sesuatu secara pasti dengan dalil-dalil
yang kuat disertai dengan kaidah-kaidah dan dasar-dasar logika.”
Dan ini dinamakan dalam istilah al-Qur’an : Pengetahuan dan Ilmu.
Oleh karena itu, ilmu mencakup aturan-aturan ilmiah yang berkaitan dengan materi,
sebagaimana orang-orang barat menamakannya dengan “science” termasuk juga apa yang
mereka ungkapakan dengan "knowledge".
Sebenarnya, perpaduan makna antara apa yang dinamakan "pengetahuan" pada hari
ini dan apa yang dinamakan dengan "sains" dalam istilah barat, sesuai dengan apa yang
dikemukakan oleh ilmuan islam tentang ilmu, yaitu: “mengetahui sesuatu secara pasti dengan
dalil-dalil yang kuat disertai dengan kaidah-kaidah logika”.
Definisi ini mengkolaborasikan antara apa yang mereka kemukakan dengan "ilmu"
dan apa yang mereka utarakan dengan "pengetahuan".
Sesungguhnya al-Qur’an berangkat dengan pertimbangan logika dan ilmu dalam
artian yang luas dan menyeluruh, serta mengajak manusia untuk menjadikannya pegangan,
saat melihat apa yang pantas dianut oleh mereka dari berbagai aliran dan pemikiran.
Kita bisa membaca hal itu pada nash al-Qur'an yang jelas ini, sebagaimana firman
Allah:”Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui, karena

pendengaran, penglihatan dan hati nurani semuanya itu akan dimintai pertanggung
jawaban”. (Q.S.: Al-Isra 17 : 36)
Nash ini memberikan peringatan untuk mengikuti setiap keyakinan, kecuali ada
landasan dalil ilmiah yang menjamin kesahihannya.

Tidak diragukan lagi bahwasanya peringatan yang belaku secara umum ini mencakup
semua aliran-aliran agama termasuk Islam.
Seolah-olah nash al-Qur’an mengatakan : ”Keyakinan apapun dan siapapun yang
mengajak pada keyakinan itu, jadikanlah pertimbanganmu dalil ilmiah yang netral dan bersih
dari aib dan hawa nafsu ketika menerima atau menolaknya".
Setelah al-Qur’an memulai dialog dan ajakannya dengan pertimbangan ini, dan
menyeru semua manusia bersatu menjadikannya arbitrasi dan pokok landasan. Al-Qur'an
memberikan peringatan dari kesesatan hukum yang berlandaskan hawa nafsu, fanatisme atau
kepentingan pribadi dan mencela orang yang menjadikan hawa nafsu dan kepentingan
pribadinya sebagai ganti dari ilmu ketika berdebat dengan yang lain.
Maka Allah berfirman :”Dan di antara manusia ada yang berbantahan tentang Allah
tanpa ilmu, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang memberi peringatan. Dengan
memalingkan hatinya untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah.” (Q.S. Al-Hajj 22 : 8-9).
"Katakanlah Muhammad, apakah kamu mempunyai pengetahuan yang dapat kamu
kemukakan kepada kami? Yang kamu ikuti hanya persangkaan belaka dan kamu hanya

mengira.” (Q.S. Al-An'am 6 : 148).
”Dan di Antara manusia ada yang mempergunakan percakapan kosong untuk
menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu da menjadikannya olok-olokan. Maka
mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (Q.S. Luqman 22 : 6).
Ini adalah prinsip awal al-Qur’an dalam dialognya dengan seluruh manusia dan
merupakan perinsip yang dituntut kepada seluruh manusia agar mempergunakannya dalam
dialog mereka.

۞۞۞

METODE DIALOG DALAM AL-QUR’AN

Adapun metode yang digunakan oleh al-Qur’an terhimpun dalam beberapa poin
berikut:
Poin Pertama:
Dengan melihat fakta-fakta ilmiah, ada yang berkaitan dengan materi yang bisa
diteliti dan dibuktikan, ada pula yang mistik yang tidak bisa diketahui dengan menggunakan
dua metode ini. Al-Qur’an telah menceritakan kepada kita tentang fakta-fakta ilmiah, tanpa
memberikan kepastian dalam bentuk nash yang pasti tentang keadaannya, kecuali hal-hal
yang mistik, yang tidak memiliki cara untuk diteliti, dibuktikan, dan diungkapkan

kebenarannya, seperti fakta-fakta yang berkaitan dengan hal-hal setelah mati, antara lain:
informasi Allah tentang kehidupan kedua dan kejadiannya, sebagaimana kebanyakan beritaberita lama yang melegenda.
Dan jangan lupa apa yang kami telah katakan bahwa al-Qur’an tidak membedakan
antara pengetahuan dan imu, keduanya masuk dalam defenisi ilmu, sebagaimana penjelasan
terdahulu.
Oleh karena itu, apabila hal-hal mistik telah diketahui secara pasti melalui bukti-bukti
ilmiah yang sesuai, maka hal tersebut dikategorikan ke dalam fakta-fakta gaib yang nyata.
Adapun yang menggunakan metode penelitian dan observasi terhadap masalahmasalah materil, maka metode al-Qur’an memberikan pembahasan dan defenisi dengan cara
tidak memberikan keputusan ilmiah yang meyakinkan; seandainya al-Qur’an melakukan hal
itu, pasti dia mewajibkan kepada manusia untuk mengimani apa yang ditetapkannya, maka
prosesnya hanya yang sesuai dengan logika, dengan cara membangun fakta-fakta ilmiah yang
berkaitan dengan sesuatu yang bisa dirasa dan dilihat, tanpa menggunakan metode untuk
mengetahuinya melalui bukti-bukti ilmiah yang selaras, yaitu melalui metode penelitian dan
observasi.

Hal ini tidak diwajibkan oleh al-Qur’an kepada salah seorang pun sebagai
penghargaan terhadap akal mereka dan mendorong mereka untuk menemukan fakta-fakta
yang bersifat materil yang dirasakan oleh panca indera sesuai dengan metode yang logis
yang tidak ada gantinya, yaitu melalui metode penelitian dan observasi.
Renungilah nash-nash al-Qur'an berikut, bagaimana ajakan para peneliti dan pemikir

untuk mengungkap teori-teori astronomi, perbintangan, geografis, dan teori-teori yang
digunakan untuk meneliti tubuh manusia!!
Hendaklah kita melihat bagaimana nash tersebut memprovokasi mereka untuk
menggunakan metode-metode pemikiran dan materil mereka untuk mendapatkan fakta-fakta
ilmiah yang tepat, tanpa ada ketetapan langsung dari al-Qur'an.
Sebagaimana Allah Swt. berfirman :
“katakanlah, “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi!” (Q.S. Yunus 10: 101).
“Dan di bumi terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan
(juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikannya?” (Q.S. al-Dzariyat
51 : 20-21).
“Dan kami jadikan langit sebagai atap yang terpelihara, namun mereka tetap berpaling dari
tanda-tanda (kebesaran Allah) itu (matahari, bulan, angin, awan, dan lain-lain)”. (Q.S. alAnbiya 21 : 32).
“Dan berapa banyak tanda-tanda (kebesaran Allah) di langit dan di bumi yang mereka lalui,
namun mereka berpaling darinya”. (Q.S. Yusuf 12 : 105).
Sebagaimana kita lihat, sesungguhnya al-Qur’an tidak menambahkan penjelasan
dalam dialognya dengan orang-orang non muslim ketika berbicara tentang hal-hal materil,
bahkan mendorong para tokoh pemikir dan cendikiawan untuk melakukan penelitian melalui
metode penemuan ilmiah mereka, untuk menemukan kenyataan dan mengetahui intinya.

Disatu sisi al-Qur’an menjelaskan secara detail perkara-perkara gaib yang tidak dapat

dirasakan oleh panca indera dan menyatakan kebenarannya dengan keputusan yang
diratifikasi. Dengan demikian, tidak ada lagi jalan untuk mengetahuinya melalui metode
penelitian dan pembuktian. Hanya ada satu metode ilmiah yang menggabarkan tentang hal
itu, yaitu pemberitahuan Allah Swt.
Poin Kedua:
Sesungguhnya al-Qur’an dalam dialog dan diskusinya dengan manusia, mencegah
bentuk paksaan untuk mengikuti apa yang telah ditetapkannya sebagai kebenaran.
Akan tetapi, al-Qur'an selalu menghidari hal itu. Dia hanya memberikan penjelasan
dan menghilangkan sebab-sebab kesamaran yang dapat mencampurkan antara hak dan yang
bathil dan menyembunyikan tanda-tanda yang bisa memisahkan antara keduanya.
Sesungghnya dakwah Islam yang diperintahkan oleh al-Qur’an kepada Muhammad
Saw, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya, sebagaimana dalam firman Allah
swt: “Serulah mereka ke jalan tuhanmu dengan jalan hikmah dan pengajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (Q.S. An-Nahl 16 : 125). Dalam metode alQur’an semestinya tidak boleh melewati batas, yaitu hanya menunjukkan kebenaran kepada
manusia, diperkuat dengan dalil-dalil ilmiah, dan memperingatkan mereka dari bentuk
pertentangan dan berpaling dari kebenaran yang telah jelas menuju sikap fanatik dan
sombong terhadap rasul-rasul dan nabi-nabi yang telah diutus serta kebenaran yang dibawa
oleh mereka. Sebagai contoh firman Allah Swt. kepada Rasululah:
“Maka berilah peringatan karena sesungguhnya engkau (Muhammad) hanyalah
pemberi peringatan. Engkau bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.” (Q.S. AlGasyiyah 88 : 21-22).

“Dan jikalau tuhanmu menghendaki tentulah beriman semua orang yang di muka
bumi. Apakah kamu memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman
semuanya.” (Q.S. Yunus 10 : 99).

“Tidak ada paksaan untuk agama (Islam) sungguh jelas jalan yang benar daripada
jalan yang sesat.” (Q.S. Al-Baqarah 2 : 256)
Adapun sebab kedisiplinan al-Qur’an mempergunakan metode ini, dan perintah Allah
kepada Rasul dan para da'i (yang berdakwah) untuk mengikuti metode ini juga, bahwasanya
yang dituntut dari manusia kepada tuhannya yaitu mengetahui kebenaran yang dibawa oleh
para rasul dan nabi, dan menjadikan pemikirannya menjadi keyakinan.
Keimanan atau keyakinan secara logis tidak akan dicapai tanpa adanya kebebasan
meneliti dan berfikir, dan tidak kokoh tanpa adanya konsekuensi untuk mempergunakan akal
dan membuat keputusan sendiri terhadap hal-hal yang membutuhkan analisis.
Oleh karena itu, para da'i dijalan Allah- yaitu para rasul dan nabi, serta orang-orang
yang mengikuti mereka- sebaiknya tidak melampaui misi mereka sebagai orang yang
mendekatkan kebenaran agama pada pemahaman manusia, dan menghilangkan syubhat
(masalah-masalah yang samar kebenarannya) dan hal-hal yang dapat menghentikan mereka
untuk mengetahui syubhat. Ditambah dengan penggunaan bukti-bukti ilmiah sebagai
bantahannya, supaya menjadi prinsip untuk berdiskusi dengan orang-orang yang ragu dan
yang bathil, dan berdialog dengan mereka.

Jika para da'i melampaui batasan ini dengan memaksa orang-orang menerima aqidah
Islam, dan tunduk terhadap hukum-hukumnya, maka paksaan da'i tersebut hanya sekedar
bentuk dan model saja, karena keinginan dan akal hanya dapat dikendalikan oleh Sang
Pencipta.
Ketaatan secara formal melaui lisan terhadap akidah dan prinsip Islam sama sekali
tidak akan bermanfaat di sisi Allah, dan Allah tidak memasukkannya dalam golongan orangorang mukmin atau orang-orang muslim sama sekali.
Adanya paksaan terhadap penganut agama, adalah sesuatu yang sia-sia dan tidak ada
faidah bagi sasaran dakwah, dan tidak pula memberikan pahala bagi pendakwa.

Akan tetapi al-Qur’an telah memberikan peringatan kepada orang-orang yang
melewati batas-batas dalam penyampaian, penjelasan serta dialog dari berbagai bentuk
paksaan. Allah memerintahkan Rasulullah Saw. pada waktu itu untuk mengancam orangorang yang sombong dan ingkar serta orang-orang yang lebih mementingkan mengikuti hawa
nafsu mereka ketimbang mengikuti yang hak setelah jelasnya hak tersebut, dengan siksaan
tuhan yang menunggu mereka dan mengintai mereka pada hari kiamat. Sebagaimana Firman
Allah:
“Dan katakanlah (Muhammad): “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu barang
siapa menghendaki (beriman) hendakah ia beriman dan barang siapa menghendaki (kafir)
biarlah ia kafir, sesungguhnya kami telah menyediakan neraka bagi rang zalim yang
gejolaknya mengepung mereka, jika mereka meminta pertolongan (minum) mereka akan
diberi air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan wajah. Itulah minuman yang

paling buruk dan tempat istiraha yang paling jelek.” (Q.S. al-Kahfi 18 : 29).
“Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya engkau (Muhammad) hanyalah
pemberi peringatan. Engkau bukanlah orang yang berkuasa atas mereka. Kecuali (jika ada)
orang yang berpaling dan kafir. Maka Allah akan mengazabnya dengan azab yang besar.”
(Q.S. al-Ghasyiyah 88 : 21-24).
Dengan demikian, manusia bebas menjalin relasi dengan sesamanya manusia dengan
mengikuti apa yang ingin diikuti dari kebenaran dan kebatilan, dan tidak ada hak bagi orang
lain -siapapun itu- untuk memaksakan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya, akan
tetapi manusia tidak bebas tehadap hubungannya dengan Allah Azza wajalla, akan tetapi dia
sebagai mukallaf, dalam artian dipaksakan oleh Allah mengikuti kebenaran yang disampaikan
melalui para rasul dan para nabi, setelah menjadi jelas menurutnya, dan telah hilang darinya
syubhat (keraguan-keraguan) dan masalah-masalah yang terselubung baginya.
Sesungguhnya manusia diperintahkan untuk hal itu oleh Allah Swt., dengan ancaman
siksaan pada hari kiamat bagi orang-orang pembangkang dan orang-orang sombong.

Poin Ketiga:
Al-Qur’an memulai dialog dengan orang-orang sesat, ingkar, dan orang-orang yang
memiliki kepercayaan dan pemikiran yang salah, dengan asumsi bahwa mereka adalah
golongan yang benar dan berpegang teguh terhadap kebenaran, disertai bukti-bukti ilmiah
dan pertimbangan logika yang memihak kepada mereka, karena metode tersebut merupakan

metode yang sangat cocok dalam berdialog dan sejalan dengan apa yang diinginkan oleh
kedua belah pihak yang sedang berdialog.
Oleh karena itu Allah memerintahkan Rasulullah Saw. untuk memberi pengajaran
kepada orang-orang kafir dan musyrik dengan adanya pertimbangan kemungkinan untuk
berdialog, dan Allah Swt. memerintahkannya untuk mengajak mereka membangun kerjasama
untuk mencari kebenaran yang akan diyakini, dalam bentuk, arah dan kelompok apapun.
Sebagaimana Allah memerintahkan Rasulnya supaya mengajak mereka untuk
mengetahui kebenaran itu dengan menggunakan dalil-dalil ilmiah yang menjadi penentu
ketika terjadi suatu perbedaan, dan sebagai cahaya yang menerangi jalan, ketika kegelapan
melanda.
Dalam artian al-Qur’an yang merupakan kalam Allah memberikan peringatan
kepada Muhammad Saw. supaya tidak menuduh musuh terlebih dahulu sebagai orang batil
dan sesat dari kebenaran.
Allah memerintahkan Rasulnya untuk menempatkan dirinya selevel dengan lawannya
(orang-orang kafir), masing-masing merasa sangat perlu mengetahui kebenaran dan
mengikutinya, dalam bentuk dan metode apapun, tanpa menghakimi terlebih dahulu sebagai
aliran atau kepercayaan yang paling kuat terhadap yang lain.
Al-qur’an meminta Rasulullah Saw., para sahabat dan pengikutnya untuk
menggunakan bukti-bukti ilmiah yang netral terhadap lawan bicaranya, seperti persamaan
derajat dua orang yang bersengketa dihadapan majelis hakim.


Sesungguhnya ini merupakan metode manusiawi yang bernilai tinggi dalam
mengajak pemikir mazhab atau kepercayaan yang lain untuk bekerja sama dalam menemukan
mazhab yang benar tanpa memberi prioritas kepada salah satu dari mereka untuk terlebih
dahulu mengetahui dan memilihnya, termasuk islam.
Metode ini tidak membedakan, baik pembicara maupun lawan bicaranya.
Tidak ada dalam metode ini ada da'i yang mengklaim terlebih dahulu bahwa dirinya
benar dan yang lain salah, dan tidak ada juga dalam metode ini paksaan terhadap lawan
bicara untuk mengikuti yang tidak diinginkannya, akan tetapi ini merupakan seruan Allah
melalui al-Qur’an kepada seluruh umat manusia, untuk bekerja sama melalui pertemuan dan
saling membantu mengetahui kisah awal dan akhir penciptaan alam semesta, mengetahui
identitas dan posisi manusia yang hidup di dalamnya, dan mengetahui nasib yang harus
dilaluinya.
Allah memerintahkan kepada seluruh umat manusia untuk mencari kebenaran ini
melalui kerjasama yang baik. Tidak ada dalam metode ini istilah pengikut dan yang diikuti
atau atasan dan bawahan, semuanya sama di hadapan Allah Swt.

۞۞۞

CONTOH DIALOG AL-QUR'AN

Kemungkinan terbaik yang dimunculkan metode al-Qur’an yang istimewa ini, dan
pentingnya metode tersebut, yaitu memperdengarkan kepada kita sebagian contoh dari Alquran dalam berdialog yang mengadopsi bentuk kolaborasi dengan yang lain.
Mari kita merenungi firman Allah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada
suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak
kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak
(pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah." Jika mereka
berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang
yang berserah diri (kepada Allah)." (Q.S. Ali 'Imran 3 : 64).
Sebagaimana kita perhatikan bahwasanya metode tersebut merupakan seruan untuk
melakukan suatu konvergensi dan kerjasama dalam satu level, untuk menghilangkan
penyembahan manusia terhadap sesamanya manusia, dan lebih mengenal Tuhan Yang Esa
yang seharusnya disembah dengan benar, Tuhan yang layak untuk diikuti peraturanNya dan
tunduk dibawah kekuasaanNya. Siapa saja boleh ikut bekerjasama dan saling membantu
untuk mencapai tujuan mulia ini, dan siapa saja boleh berpaling dari tujuan tersebut.
Kalian perhatikan metode ini dalam menentukan pemilik mazhab yang benar dan
mazhab yang batil. Sebagaimana dalam firman Allah Swt.: "dan sesungguhnya kami atau
kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang
nyata." (Q.S. Saba' 34 : 24).
Meskipun yang menurunkan al-Qur’an ini adalah pencipta seluruh alam semesta,
mengetahui mazhab yang benar, dan mengetahui semua yang baik dan yang benar, maka ilmu
ini digunakan dalam seluruh etika berdialog dengan yang lain untuk mengatasi tidak adanya
parameter benar dan salah untuk semua ide-ide pemikiran, oleh karena itu terdapat
kemungkinan bahwa semua kelompok bisa saja benar dalam dakwahnya dan pegangannya
dan bisa pula semuanya salah, dan yang bisa mengakhiri kemungkinan ini, dan semua

kelompok lepas dari keraguan, semuanya harus bekerja sama dan saling membantu untuk
kembali mempergunakan logika dan ilmu pengetahuan serta kaidah-kaidahnya.
Tidak ada maksud dari metode dialog tersebut kecuali hanya untuk menghilangkan
keistimewaan da'i dalam dakwahnya. Menjauhkan diri dan tindakannya dari karakter
pengajar yang tenang karena merasa benar dengan mazhab-mazhab dan pemikirannya
dibandingkan dengan yang lain, sehingga terkadang pihak lain merasa rendah diri dan merasa
terjerumus dalam kebodohan dan kesesatan.
Mari kita renungi firman Allah Swt. sebagai tanggapan terhadap apa yang telah
dikatakan tentang Nabi Isa As.: "Katakanlah (Muhammad), Jika benar Tuhan Yang Maha
Pengasih mempunyai anak, maka akulah orang yang mula-mula memuliakan (anak itu)".
(Q.S. Az-Zukhruf 43 : 81).
Meskipun Allah Swt. yang berkata tentang diri-Nya sendiri dalam al-Qur'an:
"Katakanlah (Muhammad), Dia-lah Allah Yang Maha Esa, Allah tempat meminta segala
sesuatu, (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan". (Q.S. Al-Ikhlas 112 : 1-3). Dan
walaupun Nabi Muhammad Saw. mengetahui hal itu secara yakin, akan tetapi Allah
memerintahka kepada Rasulullah ketika berdialog dan berdakwa dengan mereka agar
menerima terlebih dahulu kebenaran keyakinan mereka terhadap Nabi Isa As.
Oleh karena itu Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya supaya menegaskan kepada
mereka, jika ilmu pengetahuan telah membuktikan bahwa Tuhan Yang Maha Pengasih
memiliki anak, maka Rasulullah adalah orang yang paling pertama akan mendahului mereka
menyembah anak dan bapak secara bersamaan.
Disini ada dorongan untuk meneliti kebenaran dengan bukti-bukti ilmiah yang
netral, dan menegaskan bahwasanya tanggung jawab dua kelompok yang berselisih adalah
tanggung jawab bersama dan merupakan kepentingan bersama.

Selanjutnya hendaklah kita perhatikan ungkapan berikut yang mengandung
pandangan tersendiri terhadap metode ini atau etika dalam berdialog, yang terdapat pada
akhir dialog yang terurai dengan satu tujuan:
Firman Allah Swt.: “Katakanlah: Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab)
tentang dosa yang kamu perbuat dan kamu tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu
perbuat.” (Q.S. Saba' 34 : 25).
Sesungguhnya firman Allah tersebut diatas merupakan jawaban untuk mereka orangorang yang telah menuduh Rasulullah dan para sahabatnya mengada-ngada tentang Allah
atau menuduh mereka sebagai tukan ramal dan pembohong.
Hal itu datang setelah berdialog secara logika bersama mereka, lalu al-Qur'an
menanyakan mereka: "Apakah sesuatu ini yang kalian jadikan tuhan lalu kalian sembah
mampu mendatangkan rezeki kepada kalian, melindungi kalian dari bencana, atau
melepaskan kalian dari penderitaan?
Apakah kalian telah mencari atau meneliti, lalu kalian temukan diantara ciptaan
(makhluk) ada yang bisa menggantikan kedudukan Allah Swt. sebagai pencipta, dan
menjadikan tuhan yang serupa dengan-Nya yang berasal dari makhluk
Ketika dialog ini menjadi perdebatan panjang tanpa hasil, dan orang-orang musyrik
berketetapan hati bahwa sesungguhnya mereka benar dalam keyakinan mereka dan
sesungguhnya Muhammad beserta para sahabatnya adalah orang-orang yang batil dan jahat.
Al-Qur’an menutup rangkaian diskusi dan dialog dengan ayat yang telah kita dengarkan tadi.
Sesungguhnya Allah Swt. dalam ayat tersebut memerintahkan kepada Nabi
Muhammad supaya mengalah pada akhir dialognya dengan mereka sebagaiman mereka
yakini, mereka adalah yang benar dan Muhammad serta para sahabatnya adalah orang-orang
yang jahat dan batil.
Sebagaimana Allah Swt. memerintahkan kepada Rasulullah untuk menenangkan
mereka bahwasanya kejahatan Muhammad dan para sahabatnya, tidak ada hubungannya

dengan mereka, bahkan mereka tidak akan mendapatkan siksaan dari perbuatan Muhammad
dan sahabatnya, akan tetapi mereka akan menanggung kejahatan mereka sendiri jika mereka
memang demikian. Adapun kebenaran yang diyakini oleh orang-orang musyrik
sesungguhnya akan kembali kepada mereka dan semua kebaikan untuk mereka sendiri bukan
untuk orang lain.
Kemudian al-Qur’an mengakhiri rangkaian dialog dengan membawa semua manusia
di hari kiamat pada tempat yang lebih besar dan luas. Dimana pada saat itu Allah Swt.
mengumpulkan semua manusia di padang mahsyar; dan dibukalah penglihatan mereka dari
tabir-tabir kesimpangsiuran, ketidaktahuan, dan menghilangkan dari diri mereka sifat fanatik
dan pembangkang. Maka yang samar-samar menjadi nyata, perselisihan jadi hilang, dan
nampaklah Tuhan Yang Maha Esa yang tidak diragukan lagi oleh semua manusia.
Renungkanlah di akhir dialog ini firman Allah Swt: “Katakanlah: Tuhan kami yang
menyatukan diantara kami kemudian Dia membukakan diantara kami kebenaran dan Dia
Maha Pembuka dan Maha Mengetahui segala sesuatu”. (Q.S. Saba' 34 : 26).

۞۞۞

KESMPULAN
Demikianlah prinsip dan metode dialog dalam al-Qur’an, dengan tujuan sebagai
berikut:
Tidakkah kalian melihat bagaimana yang dibutuhkan jiwa manusia, diinginkan oleh
akal dan dibanggakan pada setiap masa?
Demi Allah, bahwasanya diantara hasil dari dialog tersebut, umat Islam yang hidup
berdampingan dengan ahli kitab, mereka bersatu dibawah naungan masyarakat islam, mereka
adalah masyarakat social dan politik.
Di Negara Syam misalkan ketika tentara Salib masuk, panglima tentaranya
mengirim surat ke pemimpin umat Nasrani, dia menanyakan perihal keputusan yang mereka
ambil; apakah mereka akan merapat ke saudara mereka yang beragama islam atau
mendukung seagama mereka yang baru saja datang?
Maka mereka menjawab: kami berada di sisi saudara kami umat islam, dan sejarah
membuktikan bagaimana orang-orang muslim dan orang-orang nasrani bersatu memerangi
tentara salib dalam satu parit.
Di Spanyol ketika peradaban islam berjaya di tengah kegelapan masyarakat Eropa
yang berbeda-beda, kebahagiaan orang-orang Eropa baik Nasrani maupun Yahudi tidak
kurang dari kebahagiaan ummat Islam yang membawa kejayaan.
Di Granada sendiri terdapat kurang lebih 50 rumah sakit yang menerima orangorang Muslim, Nasrani, dan Yahudi tanpa ada keistimewaan dan perbedaan diantara mereka.
Dan disana terdapat tidak sedikit 10 universitas dan institute dengan displin ilmu
yang bermacam-macam menerima orang-orang muslim dan lainnya secara merata.
Pada waktu langit Eropa di malam hari berada dalam kegelapan dan gangnya
dipenuhi dengan lumpur . Dinding-dinding jalan di Granada dan sekitarnya pada saat itu

dihiasi dengan lampu-lampu hias yang bergantung dijalanan, gangnya dan jalanannya dihiasi
dengan batu-batu yang halus.
Semua manusia termasuk orang-orang muslim, Nasrani dan Yahudi di bawah
naungan peradaban Islam dan mereka merasakan hasilnya tanpa perbedaan status sosial.
Itulah kehidupan Islam diseluruh muka bumi yang dicapai dan dikuasainya. Islam
tidak akan tersebar kecuali melalui metode da'wah yang berdasarkan dialog, tidak tinggal
dalam pikiran kecuali dengan keyakinan, tidak terpatri dalam jiwa kecuali dengan kekuatan
cinta.
Apakah bagi orang-orang yang sudah profesional berlaku dzalim dan selalu
melekatkan kedustaan terhadap Islam akan bebas dan lepas dari kedustaan yang mereka buat
yang dari awal cacat dan jelas keburukannya?
Apakah bagi orang-orang yang sesat yang tidak tahu etika dan metode al-Qur'an
akan kembali dari kesesatan mereka di dalam jurang radikalisme dan kebodohan menuju
pendidikan al-Qur'an yang mempunyai fungsi dalam perkembangan peradaban islam yang
bernilai tinggi. Itukah yang menaungi ummat manusia dalam naungan keadilan, ketenangan,
keselamatan, dan keamanan?
Kita menunggu jawaban pertanyaan ini dari Allah Swt, bukan dari hamba-Nya, kami
menunggu dari Allah petunjuk dan perhatian bagi orang-orang muslim dan yang tersesat, dan
kami menunggu kebinasaan dan kehancuran bagi orang-orang dzalim lagi sombong.
‫والحمد لله الذي بنعمته تتصم الصصالحات‬

۞۞۞