IDENTIFIKASI KONDISI GEOMORFOLOGI JAWA T

IDENTIFIKASI KONDISI GEOMORFOLOGI JAWA TIMUR

MAKALAH

UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH GEOMORFOLOGI INDONESIA Yang dibina oleh : Listyo Yudha Irawan, S.Pd, M.Pd, M.Sc

Oleh:

Adellia Wardatus Sholeha

Agus Dwi Febrianto

Danang Abdurrahaman

Dea Narulita Sari

UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS ILMU SOSIAL JURUSAN GEOGRAFI S1 PENDIDIKAN GEOGRAFI

KATA PENGANTAR

Jawa Timur merupakan salah satu daerah dengan zonasifikasi yang cukup kompleks. Berdasarkan bentukan geomorfologi, zonasi bentuk fisiografis di Jawa Timur dibagi kedalam 5 zona diantaranya, Zona Rembang, Zona Randhublatung, Zona Kendheng, Zona Solo, dan Zona Pegunungan Selatan dengan berbagai macam karakteristik satuan bentuk lahan yang berbeda – beda. Proses terbentuknya Pulau Jawa sendiri saling berkesinambungan antara satu wilayah dengan wilayah lain, sehingga zonasi fisiografis terbentuk secara terintegrasi dan saling menyambung antara satu wilayah dengan wilayah lain. Seperti pada Zona Fisiografis di Jawa Timur yang masih terdapat hubungan dengan zona – zona lain yang ada wilayah sebelah barat Pulau Jawa seperti Jawa Tengah maupun Jawa Barat.

Makalah ini secara spesifik membahas mengenai zonasi fisiografis dan bentuk morfologi yang ada di Jawa Timur. Pembahasan dijelaskan berdasarkan zonasifikasi Pulau Jawa menurut Van Bemmelen untuk wilayah Jawa Timur. Makalah ini juga membahas potensi dan kondisi rawan bencana yang diakibatkan oleh kondisi morfologi dan topografi wilayah Jawa Timur.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan baik dari segi kepenulisan maupun materi yang disampaikan, sehingga kami mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi perbaikan kepenulisan kami di masa yang akan datang. Akhir kata dari kelompok 3, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca untuk lebih mengetahui kondisi morfologi wilayah Provinsi Jawa Timur sekaligus potensi dan kondisi kerawanan bencana sebagai bekal ilmu yang berguna di masa yang akan datang.

Malang, 28 Februari 2018

Kelompok 2

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jawa Timur terletak di sebelah timur pulau jawa, Indonesia. Ibu Kota Jawa Timur terletak di Kota Surabaya dengan luas wilayah Jawa Timur yaitu 47.922 km 2

dan jumlah penduduk sebanyak 42.030.633 menurut sensus tahun 2015. Jawa Timur memiliki wilayah terluas di antara 6 provinsi di Jawa Timur dan memiliki jumlah penduduk tertinggi kedua di Indonesia setelah Jawa Barat. Jawa Timur berbatasan langsung dengan Laut Jawa di sebelah Utara, Selat Bali di sebelah Timur, Samudra Hindia di sebelah Selatan dan Provinsi Jawa Barat di sebelah Barat. Wilayah Jawa Timur meliputi Pulau madura, Pulau Bawean, Pulau Kangean serta sejumlah pulau-pulau kecil di Laut Jawa (Kepulauan Masalembu), dan Samudera Hindia (Pulau Sempu dan Nusa Barung).

Sekitar 70 juta hingga 5 juta tahun yang lalu Indonesia terbentuk menjadi gugusan pulau yang ditumbuhi dengan pegunungan berapi, termasuk di dalamnya adalah Pulau Jawa. Proses terbentuknya Pulau Jawa berlangsung dalam waktu yang sangat lama (evolusi) yakni sekitar 50 juta hingga 65 juta tahun. Susunan batuan dasar yang membentuk Pulau Jawa memiliki asal-usul dan umur yang berbeda satu dengan yang lainnya. Jawa bagian barat diperkirakan telah terbentuk pada akhir Zaman Kapur (145 hingga 65 juta tahun lalu) dan menjadi bagian dari Paparan Sunda (Sundaland Core). sementara Jawa bagian timur diyakini berasal dari pecahan kecil benua Australia (sejumlah peneliti menyebutnya sebagai East Java Microcontinent) yang kemudian mengalami tumbukan dengan lempeng samudra yaitu Lempeng Pasifik sehingga pada lempeng benua mengalami pengangkatan. Hal tersebut dapat diketahui karena pada wilayah selatan Provinsi Jawa Timur terdapat lipatan dan patahan. Bagian timur ini diperkirakan mulai menabrak dan bergabung dengan bagian barat sekitar 100-70 juta tahun yang lalu hingga menciptakan bentuk awal Pulau Jawa yang ada saat ini. Artinya, Pulau Jawa terbentuk dari gabungan dua lempeng benua dan bagian barat Pulau Jawa diyakini memiliki umur yang lebih tua dibanding bagian timurnya. Batas di antara kedua bagian ini tertandai dengan adanya sesar purba yang terjadi pada pertengahan eocene dan membentang dibawah Sungai Luk Ulo di Kebumen, Jawa Tengah, Sekitar 70 juta hingga 5 juta tahun yang lalu Indonesia terbentuk menjadi gugusan pulau yang ditumbuhi dengan pegunungan berapi, termasuk di dalamnya adalah Pulau Jawa. Proses terbentuknya Pulau Jawa berlangsung dalam waktu yang sangat lama (evolusi) yakni sekitar 50 juta hingga 65 juta tahun. Susunan batuan dasar yang membentuk Pulau Jawa memiliki asal-usul dan umur yang berbeda satu dengan yang lainnya. Jawa bagian barat diperkirakan telah terbentuk pada akhir Zaman Kapur (145 hingga 65 juta tahun lalu) dan menjadi bagian dari Paparan Sunda (Sundaland Core). sementara Jawa bagian timur diyakini berasal dari pecahan kecil benua Australia (sejumlah peneliti menyebutnya sebagai East Java Microcontinent) yang kemudian mengalami tumbukan dengan lempeng samudra yaitu Lempeng Pasifik sehingga pada lempeng benua mengalami pengangkatan. Hal tersebut dapat diketahui karena pada wilayah selatan Provinsi Jawa Timur terdapat lipatan dan patahan. Bagian timur ini diperkirakan mulai menabrak dan bergabung dengan bagian barat sekitar 100-70 juta tahun yang lalu hingga menciptakan bentuk awal Pulau Jawa yang ada saat ini. Artinya, Pulau Jawa terbentuk dari gabungan dua lempeng benua dan bagian barat Pulau Jawa diyakini memiliki umur yang lebih tua dibanding bagian timurnya. Batas di antara kedua bagian ini tertandai dengan adanya sesar purba yang terjadi pada pertengahan eocene dan membentang dibawah Sungai Luk Ulo di Kebumen, Jawa Tengah,

Secara struktural Jawa merupakan bagian dari busur pulau yang terletak pada tepian lempeng daratan yang bertemu dengan kerak lempeng lautan yang bergerak ke utara dibawahnya yang lebih dikenal dengan zona subduksi. Berdasarakan sejarah terebentuknya geologi Pulau Jawa pada awal masa cretaceous, Lempeng Indo-Australia bergerak ke utara dan Lempeng Pasifik bergerak ke barat yang menabrak (subduksi) masuk ke bawah Lempeng Eurasia. Tumbukan Mikro Daratan Lolotoi dengan Dataran Sunda bagian tenggara menghasilkan komplek batuan melange dengan pola arah timur laut memotong Laut Jawa saat ini. Kemudian disusul pada akhir masa cretaceous sehingga terbentuk basin yang teregang secara lokal dan dipengaruhi suatu komponen wrench yang meluas secara lateral pada tumbukan tersebut. Setelah itu disusul dengan masa paleocene sehingga belakang busur berbentuk suatu rangkaian struktur halus yang berarah dari timur barat. Kemudian pada awal pertengahan masa miocene, beberapa bagian zona ini mengalami pengangkatan menghasilkan suatu bentukan yang disebut dengan “Central High”. Kemudian pada masa Miocene akhir terjadi kompresi utara selatan yang disebabkan pengangkatan dan pembalikan di sepanjang patahan dari half graben sehingga membentuk struktur antiklin muda. Pengangkatan berlanjut hingga sekarang dengan terbentuknya rangkaian pulau yang memotong dari timur ke barat. Jika melihat kenampakan morfologi, Pulau Jawa dahulunya adalah lautan, hal ini dibuktikan di pesisir selatan Pulau Jawa terdapat banyak gunung kapur dan batuan gamping (endapan marine/laut) yang membujur dari barat hingga ke timur Pulau Jawa. Perlu di ketahui bahwa gunung/batuan gamping merupakan endapan laut (bekas koral) yang seringkali ditemukan fosil-fosil binatang laut. Kemudian sekitar

20 juta tahun SM, zona tumbukan lempeng Australia dengan lempeng Asia terkunci dan menyebabkan menunjamnya lempeng Australia dibawah lempeng Asia. Penunjaman ini berlangsung hingga sekarang dan menyebabkan munculnya gunung-gunung api sebelah selatan Pulau Jawa yang kemudian diikuti oleh proses pengangkatan Lempeng Asia dan keluarnya material-material dari gunung berapi, yang akhirnya terbentuklah Pulau Jawa sekarang.

Menrut Van Bemmelen wilayah Provinsi Jawa Timur dibagi kedalam 6 zona, yaitu Zona Rembang, Zona Randublatung, Zona Kendeng, Zona Solo dan Zona Pegunungan Selatan. Wilayah Zona Rembang membentang sejajar dengan Zona Randublatung selain itu pada zona ini terdapat suatu dataran tinggi yang merupakan antiklonorium sebagai hasil dari gejala tektonik Tersier Akhir yang dapat ditelusuri hingga Pulau Madura dan Kangean. Antiklonorium diwilayah Zona Rembang memanjang dari arah barat hingga timur, yang dimulai dari sebelah timur Semarang hingga Rembang pada bagian utara. Wilayah Zona Randublatung merupakan Sinklinorium yang memanjang mulai dari Semarang di sebelah barat sampai Wonokromo di sebelah timur dan berbatasan dengan Zona Kendeng di bagian selatan, serta Zona Rembang pada bagian utara. Batuan pemebntuk Zona Randublatung terdiri atas endapan laut dangkal, sedimen klastik, dan batuan karbonat. Pada zona ini terdapat patahan yang dinamakan Rembang High dan banyak lipatan yang berarah dari timur hingga ke barat. Wilayah Zona Kendeng merupakan Antiklonorium yang memanjang mulai dari Semarang dan kemudian menyempit ke arah timur sampai ujung Jawa Timur di bagian utara, dan pada umumnya dibentuk oleh endapan vulaknik, batupasir, batulempung, dan napal. Batuan pembentuk Zona Kendeng terdiri atas Sekuen dari Vulkanik dan Sedimen Pelagik. Wilayah Zona Solo dapat dibagi menjadi 3 sub-zona, yaitu Sub-zona Blitar, Sub-zona Solo bagian Tengah dan Sub-zona Ngawi pada bagian utara. Zona Solo merupakan hasil dari proses subduksi lempeng sehingga di wilayah zona ini terdapat deretan pegunungan yang membentang dari timur hingga ke barat, dari wilayah Banyuwangi hingga Kabupaten Magetan. Wilayah Zona Pegunungan Selatan memanjang di sepanjag pantai selatan Jawa Timur dan Wonosari dekat Yogyakarta sampai ujung paling timur Pulau Jawa.

Jawa Timur termasuk kedalam Provinsi di Indonesia yang memiliki potensi Sumber Daya Alam yang melimpah. Potensi Sumber Daya Alam di Jawa Timur antara lain berupa pertanian, kehutanan, kelautan, dan perikanan serta perkebunan. Selain itu di Jawa Timur terdapat Sumber Daya Panas Bumi yang cukup besar dibagian Zona Solo. Potensi panas bumi di Jawa Timur terdiri dari sistem geothermal yang berasosiasi dengan gunungapi dianataranya gunungapi kuarter (Gunungapi tua: Ngebel-Wilis, Gunungapi Pandan, Gunung Arjuno, Argopuro dan

Ijen), diikuti oleh sistem outflow (Gunungapi intermediet: Cangar, Songgoriti, Tritis), sistem geothermal yang berasosiasi dengan Gunungapi tersier (Gunungapi muda: Melati, Rejosari) dan satu sistem geothermal non-vulkanik (Tirtosari). Adapun potensi lain yang ada di Jawa Timur yaitu emas, perak dan tembaga pada beberapa daerah yang ada di jawa Timur.

Selain potensi sumber daya alam melimpah yang terdapat pada wilayah Jawa Timur yang diakibatkan oleh kenampakan alam serta struktur geologi pembentukannya, Provinsi Jawa Timur juga tidak terlepas dari adanya bencana alam. Adanya potensi bencana di Jawa Timur karena wilayah tersebut merupakan wilayah pertemuan lempeng/wilayah subduksi sehingga banyak terdapat gunungapi yang aktif, sehingga pada wilayah yang terdapat gunungapi aktif potensi bencana gunung meletus tinggi. Selain itu potensi bencana berupa tanah longsor pada wilayah Jawa Timur relatif tinggi pada beberapa wilayah karena topografi wilayah tersebut curam hingga sangat curam. Wilayah yang memiliki potensi bencana tanah longsor yang tinggi yaitu pada wilayah Pasuruan, Trenggalek, Pacitan, dan Ponorogo. Selain potensi bencana Vulkanik dan tanah longsor, wilayah Jawa Timur juga memiliki potensi bencana berupa banjir yang disebabkan adanya pendangkalan dasar sungai sehingga air sungai meluap, cekungan dan intensitas curah hujan di wilayah Jawa Timur relatif tinggi.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana kondisi satuan bentuklahan dan geologi di Jawa Timur?

2. Bagaimana identifikasi potensi sumber daya alam yang terdapat di wilayah Jawa Timur?

3. Bagaimana potensi bencana yang dipengaruhi langsung oleh kondisi fisiografi wilayah Jawa Timur?

1.3 Tujuan

1. Mahasiswa mampu memahami kondisi fisiografi Jawa Timur

2. Mahasiswa mampu menganalisis Sumber Daya Alam yang terdapat di Jawa Timur

3. Mahasiswa mampu mengidentifikasi potensi bencana alam yang dipengaruhi oleh kondisi fisiografi wilayah Jawa Timur

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Kondisi Fisiografi Jawa Timur

Kondisi fisiografi Jawa Timur secara umum dapat diidentifikasi berdasarkan struktur geologi dan geomorfologi wilayah baik yang dipengaruhi oleh tenaga endogen ataupun tenaga eksogen. Tenaga endogen dapat disebabkan oleh pergerakan lempeng yang memicu adanya konvergen, divergen, dan transform. Sementara untuk tenaga eksogen dapat dipicu oleh pergerakan angin, intensitas hujan, dan perubahan iklim. Kedua tenaga tersebut memiliki peranan penting dalam pembentukan perbukaan bumi utamanya pada struktur geologi (formasi batuan) dan geomorfologi (bentuklahan).

Apabila disesuaikan dengan formasi geologi, Jawa Timur dibedakan menjadi beberapa bagian zona. Menurut van Bemmelen (1949) fisiografi Jawa Timur terdiri dari Zona Rembang, Randublatung, Kendeng, Solo, dan Pegunungan Selatan. Pembagian zona ini kemudian dikembangkan menyesuaikan dengan kondisi morfologi wilayah yaitu Zona Pegunungan Selatan, Busur Vulkanik Kuarter, Pusat Depresi Jawa, Kendeng, Depresi Randublatung, Rembang dan Madura, serta Dataran Aluvial Utara Jawa. Pembagian zona fisiografi Jawa Timur secara umum dapat diperhatikan melalui Gambar 2.1 dan Peta satuan Bentulahan Jawa Timur dapat diperhatikan pada gambar 2.2.

Gambar 2.1 Zonasi Fisiografi Regional Jawa Timur (pembagian mengikuti

Pannekoek, 1949; van Bemmelen, 1949) Sumber : Husein, 2016

Gambar 2.2 Satuan Bentuklahan Jawa Timur Sumber : Identifikasi kelompok

2.1.1 Zona Kendeng, Randublatung, dan Zona Rembang

Pada pembagian zona fisiografi Jawa Timur, khususnya pada bagian Utara Jawa Timur terdiri dari Zona Pusat Depresi Jawa, Kendeng, Depresi Randublatung, dan Rembang. Pada Pusat Depresi Jawa umumnya menjadi satu dengan Zona Kendeng yang didominasi oleh sesar-sesar sungkup. Sedangkan pada Zona Pusat Depresi Jawa ini merupakan daerah depresi (cekungan) yang menjadi pembatas antara Zona Kendeng dengan Zona Solo (Vulkanik Kuarter) pada bagian Tengah Jawa Timur. Zona Pusat Depresi Jawa memiliki karakteristik wilayah berupa cekungan (basin) yang nampak seperti lembah antar perbukitan/pegunungan lipatan yang pembentukannya dipengaruhi oleh bentuk lahan asal struktural, vulkanik, dan fluvial. Cakupan wilayah yang termasuk pada bagian Pusat Depresi Jawa meliputi Kabupaten Ngawi, Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Jombang, dan sebagian wilayah Mojokerto bagian Utara. Dominasi bentuk lahan merupakan Dataran Fluvial Vulkanik (V8) yang secara langsung disebabkan oleh adanya pengaruh dari topografi wilayah Gunung Lawu dan DAS Bengawan Solo.

Zona Depresi Randublatung, zona Zona Randublatung merupakan suatu depresi atau lembah memanjang yang berada di antara Perbukitan Kendeng dan Perbukitan Rembang. Zona ini mencakup daerah Purwodadi, Cepu, Bojonegoro, Lamongan, Gresik, dan Surabaya. Van Bemmelen (1949) menduga Depresi Randublatung terbentuk sebagai daerah amblesan (subsidence), bagian dari kesetimbangan isostasi regional ketika Perbukitan Rembang dan Perbukitan Kendeng mengalami pengangkatan tektonis di akhir Tersier. Hipotesis van Bemmelen tersebut tampaknya hanya berlaku untuk Zona Randublatung bagian barat saja, yang membentang dari Purwodadi hingga Randublatung, yang secara fisiografis memang membentuk depresi sempit terapit dua lajur perbukitan. Adapun fisiografi Zona Randublatung bagian timur yang membentang dari Randublatung hingga pesisir Gresik dan Surabaya, ditandai dengan kemunculan banyak antiklin terisolir, seperti Dander, Pegat, Ngimbang, Sekarkorong, dan Lidah. Secara struktur, pola perlipatan antiklin- antiklin tersebut masih mengikuti pola lipatan Zona Kendeng. Hal ini menunjukkan proses isostasi negatif bukanlah faktor utama dalam pembentukan Zona Randublatung, dan terdapat pula faktor tektonik Zona Depresi Randublatung, zona Zona Randublatung merupakan suatu depresi atau lembah memanjang yang berada di antara Perbukitan Kendeng dan Perbukitan Rembang. Zona ini mencakup daerah Purwodadi, Cepu, Bojonegoro, Lamongan, Gresik, dan Surabaya. Van Bemmelen (1949) menduga Depresi Randublatung terbentuk sebagai daerah amblesan (subsidence), bagian dari kesetimbangan isostasi regional ketika Perbukitan Rembang dan Perbukitan Kendeng mengalami pengangkatan tektonis di akhir Tersier. Hipotesis van Bemmelen tersebut tampaknya hanya berlaku untuk Zona Randublatung bagian barat saja, yang membentang dari Purwodadi hingga Randublatung, yang secara fisiografis memang membentuk depresi sempit terapit dua lajur perbukitan. Adapun fisiografi Zona Randublatung bagian timur yang membentang dari Randublatung hingga pesisir Gresik dan Surabaya, ditandai dengan kemunculan banyak antiklin terisolir, seperti Dander, Pegat, Ngimbang, Sekarkorong, dan Lidah. Secara struktur, pola perlipatan antiklin- antiklin tersebut masih mengikuti pola lipatan Zona Kendeng. Hal ini menunjukkan proses isostasi negatif bukanlah faktor utama dalam pembentukan Zona Randublatung, dan terdapat pula faktor tektonik

Sebagai sebuah depresi tektonis, sedimentasi Zona Randublatung terus aktif semenjak akhir Tersier hingga sekarang, dengan menerima pasokan sedimen dari Perbukitan Kendeng maupun Perbukitan Rembang. Sistem pengaliran permukaan (drainage system) di zona ini terbagi dua, yaitu Sistem Lusi di bagian barat dan Sistem Bengawan Solo di bagian timur. Di bagian barat, sedimentasi dilakukan oleh Sungai Lusi, yang kemudian bergabung dengan Sungai Serang, membentuk Delta Serang yang dengan cepat menjadikan pesisir utara Pulau Jawa sebagai pantai maju. Demikian juga di bagian timur, di mana Sungai Bengawan Solo terus mengalir ke arah timur dan bergabung dengan pesisir utara Pulau Jawa sebagai delta di Ujung Pangkah, selain itu perkembangan meander yang disusul dengan proses deposisi yang dapat diketahui dari adanya oxbow lake pada tubuh Sungai Bengawan Solo. Identifikasi satuan bentuklahan delta estuari dan oxbow lake dapat diperhatikan pada gambar 2.3

(a)

(b)

Gambar 2. 3 Delta Estuari (a) dan Oxbow Lake(b) Dataran Pantai Utara Jawa Timur

Sumber : Citra ArcGIS EARTH 2017

Zona Perbukitan Rembang, Perbukitan Rembang merupakan suatu perbukitan antiklinorium yang memanjang dengan arah timur-barat (T-B) di sisi utara Pulau Jawa. Zona ini membentang dari bagian utara Purwodadi hingga ke Pulau Madura. Lipatan-lipatan dengan sumbu memanjang berarah timur-barat, dengan panjang dari beberapa kilometer hingga mencapai 100 km (Antiklin Dokoro di utara Grobogan). Zona Rembang terbagi menjadi dua, yaitu Antiklinorium Rembang Utara dan Antiklinorium Rembang Selatan (Van Bemmelen, 1949). Antiklinorium Rembang Selatan juga dikenal sebagai Antiklinorium Cepu. Kedua zona antiklinorium tersebut dipisahkan oleh lembah aliran Sungai Lusi di bagian barat, dan lembah aliran Sungai Kening (anak sungai Bengawan Solo) di bagian timur. Proses pengelupasan (denudasi) di Zona Rembang hanya dilakukan oleh sungai- sungai kecil yang bermuara langsung ke pesisir utara Pulau Jawa, sehingga tidak terbentuk delta-delta yang cukup signifikan di kawasan tersebut. Kawasan Bentuklahan asal struktural berupa lipatan (antiklonorium) di Zona Rembang khususnya Madura dapat diperhatikan pada gambar 2.4

Struktural Patahan

Satuan Bentuklahan Struktural

Lipatan Zona Rembang

Struktural Patahan

Gambar 2. 4 Zona Rembang Kawasan Madura Jawa Timur Sumber : Citra ArcGIS EARTH 2017

Perbukitan lipatan di Zona Rembang umumnya tersusun secara en-echelon ke arah kiri (left-stepping), mengindikasikan kontrol patahan batuan alas (basement faults) geser sinistral berarah timur-timurlaut - barat-baratdaya (TTL-BBD) yang membentuk antiklinorium Rembang tersebut (Husein et al., 2015). Pola ini dapat diamati pada rangkaian perbukitan deretan Antiklin Dokoro hingga Antiklin Lodan

(baratlaut Tuban) di Zona Rembang bagian utara, dan rangkaian perbukitan deretan Antiklin Gabus (baratlaut Randublatung) hingga Antiklin Ledok (utara Cepu).

Stratigrafi regional perbukitan rembang mengikutiskema yang disusun oleh Pringgopawiro (1983). Beberapa formasi tersebut yaitu Formasi Kunjung, merupakan startigrafi tertua yang tersingkap terutama tersusun oleh batulempung dengan sisipan batu gamping dan berpasir. Formasi selanjutnya yaitu Formasi Prupuh, lokasi formasi ini terletak di Desa Prupuh, Kecamatan Paciran, dengan stratotipe berupa batu gamping bioklastik berlapis tebal, keras, kaya akan fosil Orbitoid. Unsur Formasi Prupuh adalah N3-N5 (Oligosen atas hingga Miosen bawah). Formasi ini selaras terhadap Formasi Kunjung di bawahnya,juga terdapat Formasi Tuban yang ada di atasnya.

Formasi Tuban, terdiri atas perlapisan batulempung yang bersifat monoton dengan beberapa sisipan batugamping. Kandungan fosil Globigerinoides primordius, Globortalia peripheronda, Globigerinoides sicanus yang menunjukkan bahwa umur Miosen Awal dan lingkungan laut dalam. Formasi selanjutnya yaitu Formasi Tawun, tersusun oleh persilangan anatara batulempung pasir dengan batu gamping yang kaya akan foraminifera golongan orbitoid (Lepidocyclina, Cycloclypeus). Ketebalan batugamping ini mencapai 30 m. Formasi Tawun diendapkan pada Awal hingga Miosen Tengah, pada lingkungan lingkungan paparan yang agak dalam (outer shelf) dari suatu laut terbuka. Formasi Ngrayong, Satuan stratigrafi ini kadang berstatus sebagai anggota pada Formasi Tawun. Bagian bawah yang tersusun oleh batugamping Orbitoid (Cycloclypeus) dan batulempung, sedangkan bagian atas tersusun oleh batupasir dengan sisipan batugamping orbitoid. Formasi selanjutnya yaitu Formasi Bulu terletak di atas batupasir Ngrayong, mempunyai penyebaran yang luas di Antiklinorium Rembang Utara. Formasi ini tersusun oleh kalkarenit berlempeng (platty sandstones) dengan sisipan napal pasiran. Formasi ini diendapkan pada kala Miosen Tengah pada lingkungan laut dangkal yang berhubungan dengan laut terbuka.

Formasi Wonocolo tersusun oleh napal dan batulempung tidak berlapis. Total ketebalan dari formasi ini lebih kurang 500 m, menunjukkan peningkatan ketebalan ke arah selatan. Pengendapannya terjadi pada Miosen Tengah – Atas, pada lingkungan paparan luar. Formasi Ledok, mempunyai lokasi tipe di kawasan Formasi Wonocolo tersusun oleh napal dan batulempung tidak berlapis. Total ketebalan dari formasi ini lebih kurang 500 m, menunjukkan peningkatan ketebalan ke arah selatan. Pengendapannya terjadi pada Miosen Tengah – Atas, pada lingkungan paparan luar. Formasi Ledok, mempunyai lokasi tipe di kawasan

Formasi Selorejo, Satuan ini tersusun oleh perselang-selingan antara foraminiferal grainstone / packstone yang sebagian bersifat glaukonitan dengan batugamping napalan hingga batugamping pasiran, dengan lokasi tipe di desa Selorejo dekat Cepu. Ketebalan satuan ini mencapai 100 m. Selorejo kadang dianggap sebagai anggota dari Formasi Mundu, dan merupakan reservoir gas yang terdapat tepat di bawah kota Cepu (Balun reservoir). Formasi Lidah, Formasi ini tersusun oleh batulempung yang berwarna kebiruan dan napal berlapis yang diselingi oleh batupasir dan lensa-lensa fossiliferous grainstone/rudstone (coquina). Formasi selanjutnya yaitu Formasi Paciran, tersusun oleh batugamping masif, umumnya merupakan batugamping terumbu yang lapuk dan membentuk permukaan yang khas akibat pelarutan (karren surface).

Struktur Geologi Perbukitan Rembang, Zona Rembang merupakan bagian dari Cekungan Jawa Timur Utara (Northeast Java Basin), yang berkembang di ujung tenggara Sundaland. Sundaland merupakan massa daratan yang terbentuk oleh gabungan berbagai mikrokontinen melalui sejarah subduksi dan kolisi yang panjang semenjak Mesozoikum (Hall & Morley, 2004). Cekungan Jawa Timur Utara diduga terbentuk pada salah satu lempeng mikrokontinen, yaitu Lempeng Argo, yang menyusun Jawa Timur hingga Sulawesi Barat (Hall, 2012; Husein & Nukman, 2015). Cekungan ini terbentuk pada Kala Eosen, sebagai cekungan belakang busur (back-arc basin) pada tataan tepian benua aktif (active margin) (Hall & Morley, 2004). Sedimen awal pengisi cekungan adalah bersumber dari daratan (terrigenous sediments) pada saat peregangan cekungan (basin rifting), sebelum kemudian berubah menjadi lingkungan laut pada akhir Eosen. Struktur pengontrol Struktur Geologi Perbukitan Rembang, Zona Rembang merupakan bagian dari Cekungan Jawa Timur Utara (Northeast Java Basin), yang berkembang di ujung tenggara Sundaland. Sundaland merupakan massa daratan yang terbentuk oleh gabungan berbagai mikrokontinen melalui sejarah subduksi dan kolisi yang panjang semenjak Mesozoikum (Hall & Morley, 2004). Cekungan Jawa Timur Utara diduga terbentuk pada salah satu lempeng mikrokontinen, yaitu Lempeng Argo, yang menyusun Jawa Timur hingga Sulawesi Barat (Hall, 2012; Husein & Nukman, 2015). Cekungan ini terbentuk pada Kala Eosen, sebagai cekungan belakang busur (back-arc basin) pada tataan tepian benua aktif (active margin) (Hall & Morley, 2004). Sedimen awal pengisi cekungan adalah bersumber dari daratan (terrigenous sediments) pada saat peregangan cekungan (basin rifting), sebelum kemudian berubah menjadi lingkungan laut pada akhir Eosen. Struktur pengontrol

Cekungan Jawa Timur Utara sangat dipengaruhi oleh dinamika subduksi Lempeng Samudera Hindia. Inisiasi penunjaman Kenozoikum di selatan Sundaland dianggap memicu pembentukan Cekungan Jawa Timur Utara. Di akhir Miosen Awal, patahnya slab lempeng samudera berumur Albian-Turonian dan masuknya slab berumur Oxfordian-Albian mampu menjungkitkan Pulau Jawa, termasuk menghasilkan peristiwa orogenesa Tuban (Tuban Event) di Cekungan Jawa Timur Utara. Antiklinorium Rembang dicirikan oleh berbagai antiklin yang bertumpang- tindih (superimposed), mengindikasikan kompleksitas deformasi yang dialami oleh daerah tersebut. Arah umum sumbu antiklin bervariasi dari timur – barat hingga utara-baratlaut – selatan-tenggara. Demikian pula dengan arah sesar naiknya, yang menerus hingga ke batuan dasar, mengindikasikan tipe struktural thick-skinned tectonic (Musliki & Suratman, 1996). Data stratigrafi regional mengindikasikan adanya 2 fase ketidakselarasan, pertama terjadi setelah Pliosen, dan yang kedua terjadi pada akhir Pleistosen.

Soeparyono & Lennox (1989) mengusulkan dua jenis mekanisme struktural pembentuk lipatan yang berkembang di Zona Rembang, yaitu penyesaran geser (wrench faulting) dan penyesaran anjak (thrust faulting). Usulan mereka sejalan dengan beberapa model tektonik yang pernah diterapkan pada Cekungan Jawa Timur Utara, antara lain sistem penyesaran geser (Situmorang et al., 1976), intrusi lempung diapirik (Soetarso & Suyitno, 1976), dan sesar anjak pada bidang pengelupasan (Lowell, 1979). Dalam melakukan analisis pembentukan lipatan, Soeparyono & Lennox (1989) membagi Zona Rembang ke dalam 3 blok. Pembagian tersebut berdasarkan pada orientasi lipatan dan sesar yang berkembang. Blok pertama disebut sebagai Blok Plantungan, menempati Antiklinorium Rembang Utara, dimana batuan yang lebih tua dapat terangkat ke permukaan, mengindikasikan adanya pengangkatan batuan dasar. Blok kedua disebut sebagai Blok Nglobo-Semanggi, meliputi Antiklinorium Rembang Selatan bagian barat, dengan ciri sumbu lipatan berarah relatif timur-barat, dengan mekanisme pembentukannya dikontrol oleh penyesaran geser sinistral pada batuan dasar yang berarah timurlaut- baratdaya. Blok ketiga dinamakan Blok Kawengan, yang Soeparyono & Lennox (1989) mengusulkan dua jenis mekanisme struktural pembentuk lipatan yang berkembang di Zona Rembang, yaitu penyesaran geser (wrench faulting) dan penyesaran anjak (thrust faulting). Usulan mereka sejalan dengan beberapa model tektonik yang pernah diterapkan pada Cekungan Jawa Timur Utara, antara lain sistem penyesaran geser (Situmorang et al., 1976), intrusi lempung diapirik (Soetarso & Suyitno, 1976), dan sesar anjak pada bidang pengelupasan (Lowell, 1979). Dalam melakukan analisis pembentukan lipatan, Soeparyono & Lennox (1989) membagi Zona Rembang ke dalam 3 blok. Pembagian tersebut berdasarkan pada orientasi lipatan dan sesar yang berkembang. Blok pertama disebut sebagai Blok Plantungan, menempati Antiklinorium Rembang Utara, dimana batuan yang lebih tua dapat terangkat ke permukaan, mengindikasikan adanya pengangkatan batuan dasar. Blok kedua disebut sebagai Blok Nglobo-Semanggi, meliputi Antiklinorium Rembang Selatan bagian barat, dengan ciri sumbu lipatan berarah relatif timur-barat, dengan mekanisme pembentukannya dikontrol oleh penyesaran geser sinistral pada batuan dasar yang berarah timurlaut- baratdaya. Blok ketiga dinamakan Blok Kawengan, yang

Antiklin di Zona Rembang memiliki sayap asimetris yang relatif landai, dan penunjaman sumbu (plunge) yang juga landai (Soetantri et al., 1973). Sebagian antiklin dibatasi oleh sesar yang sejajar (longitudinal) dengan sumbu lipatan, yang kadang merupakan jenis sesar anjak dan naik. Sesar naik dapat diidentifikasi di bawah permukaan dengan pengeboran dan sesimik, dimana mereka akan menghilang di kedalaman tertentu, umumnya pada Formasi Tawun sebagai bidang pengelupasan. Sesar anjak sekunder kadang berkembang di bawah permukaan, namun hanya menjadi blind faults yang tidak sampai memotong permukaan, Di permukaan, sesar naik hanya diduga berdasarkan sayap lipatan yang bersudut besar saja. Bila ada sesar yang memotong sumbu lipatan, umumnya adalah sesar normal, yang hanya berkembang di bagian atas lipatan. Secara regional, umumnya pembentukan Antiklinorium Rembang ini dikaitkan dengan aktifitas sesar regional Rembang-Madura-Kangean-Sakala (RMKS) yang merupakan sesar sinistral (Satyana et al., 2004).

Zona Pesisir Utara

Zona Pesisir Utara di bagian barat Jawa Timur memiliki karakter fisiografi yang unik, ditandai dengan kehadiran gunungapi Muria dan Lasem, yang diduga merupakan gunungapi belakang busur (back-arc volcanism). Dataran pesisir ini dibentuk terutama oleh sedimentasi Sungai Serang dan Sungai Tuntang. Sungai Serang mengerosi perbukitan Zona Kendeng hingga menjulur jauh hulunya ke lereng timur G. Merbabu. Sungai Serang juga menerima pasokan sedimen dari Sungai Lusi - keduanya bertemu di sebelah barat Purwodadi - yang selain mengerosi Perbukitan Kendeng turut pula membiku Perbukitan Rembang. Sungai Tuntang memiliki luasan cekungan pengaliran yang lebih kecil dibandingkan Serang, ianya menggerus bebatuan Perbukitan Kendeng bagian barat dan berhulu Zona Pesisir Utara di bagian barat Jawa Timur memiliki karakter fisiografi yang unik, ditandai dengan kehadiran gunungapi Muria dan Lasem, yang diduga merupakan gunungapi belakang busur (back-arc volcanism). Dataran pesisir ini dibentuk terutama oleh sedimentasi Sungai Serang dan Sungai Tuntang. Sungai Serang mengerosi perbukitan Zona Kendeng hingga menjulur jauh hulunya ke lereng timur G. Merbabu. Sungai Serang juga menerima pasokan sedimen dari Sungai Lusi - keduanya bertemu di sebelah barat Purwodadi - yang selain mengerosi Perbukitan Kendeng turut pula membiku Perbukitan Rembang. Sungai Tuntang memiliki luasan cekungan pengaliran yang lebih kecil dibandingkan Serang, ianya menggerus bebatuan Perbukitan Kendeng bagian barat dan berhulu

Tabel 2.1 Satuan Bentuklahan di Zona Randublatung

No Bentuklahan Satuan Bentuklahan

Dataran Fluvial,

1 Fluvial Lembah Antar Perbukitan/Pegunungan Lipatan

2 Solusional

Perbukitan Solusional Karst

Tabel 2.2 Satuan Bentuklahan di Zona Rembang No

Bentuklahan Satuan Bentuklahan

Lembah antar perbukitan,

1 Fluvial

Dataran Fluvial

2 Struktural

Perbukitan Struktural lipatan

3 Marine

Dataran Pantai

Zona Kendeng

Menurut Van Bemmelen Zona Kendeng meliputi deretan pegunungan dengan arah memanjang barat-timur yang memanjang mulai dari Semarang dan kemudian menyempit ke arah timur sampai ujung Jawa Timur di bagian utara, dan pada umumnya dibentuk oleh endapan vulkanik, batupasir, batulempung, dan napal. Pegunungan tersebut tersusun oleh batuan sedimen laut dalam yang telah mengalami deformasi secara intensif membentuk suatu antiklinorium. Zona Kendeng merupakan terusan dari Zona Pegunungan Serayu Utara yang berkembang di wilayah Jawa Tengah. Pembagian Zona Kendeng pada bagian Utara Jawa Timur

Gambar 2.5 Zona Kendeng Utara Jawa Timur

Sumber : Citra ArcGIS EARTH 2017

Menurut Pringgoprawiro membagi morfologi Zona Kendeng menjadi 3 satuan yang masing-masing membentang dari barat ke timur. Yaitu:

1. Satuan morfologi perbukitan bergelombang, ditunjukkan oleh jajaran bukit- bukit rendah dengan ketinggian antara 50-200m dpl yang mencerminkan lipatan batuan sedimen. Satuan ini nyaris secara keseluruhan disusun oleh litologi napal abu-abu. Jajaran yang berarah barat-timur ini mencerminkan adanya perlipatan dan sesar naik yang berarah barat-timur pula. Intensitas perlipatan dan anjakan yang mengikutinya mempunyai intensitas yang sangat besar di bagian barat dan berangsur melemah di bagian timur. Akibat adanya anjakan tersebut, batas dari satuan batuan yang bersebelahan sering merupakan batas sesar. Lipatan dan anjakan yang disebabkan oleh gaya kompresi juga berakibat terbentuknya rekahan, sesar dan zona lemah yang lain pada arah tenggara-barat laut, barat daya-timur laut dan utara-selatan.

2. Satuan morfologi perbukitan terjal, yang merupakan inti Pegunungan Kendeng dengan ketinggian rata-rata 350m dpl. Karena proses tektonik yang terus berjalan mulai dari zaman Tersier hingga sekarang, banyak dijumpai adanya teras-teras sungai yang menunjukkan adanya perubahan base of sedimentation berupa pengangkatan pada Mandala Kendeng tersebut. Tipe genetik sungainya 2. Satuan morfologi perbukitan terjal, yang merupakan inti Pegunungan Kendeng dengan ketinggian rata-rata 350m dpl. Karena proses tektonik yang terus berjalan mulai dari zaman Tersier hingga sekarang, banyak dijumpai adanya teras-teras sungai yang menunjukkan adanya perubahan base of sedimentation berupa pengangkatan pada Mandala Kendeng tersebut. Tipe genetik sungainya

3. Satuan morfologi dataran rendah, yang disusun oleh endapan aluvial yang terdapat di Ngawi (Bengawan Solo) dan dataran Sungai Brantas di bagian timur.

Menurut Van Bemmelen Zona Kendeng dibagi atas tiga bagian berdasarkan atas perbedaan stratigrafi dan perbedaan intensitas tektoniknya. Yaitu:

1. Kendeng Barat Kendeng Barat meliputi daerah yang terbatas antara Gunung Ungaran hingga daerah sekitar Purwodadi dengan singkapan batuan tertua berumur Oligo-Miosen Bawah yang diwakili oleh formasi Pelang. Batuannya mengandung bahan vulkanis. Daerah ini memiliki struktur geologi yang rumit karena banyak terdapat sesar-sesar sungkup.

2. Kendeng Tengah Kendeng Tengah mencakup daerah Purwodadi hingga Gunung Pandan, batuan tertua yang tersingkap berumur Miosen Tengah. Daerah ini terdiri dari sedimen bersifat turbidit (laut dalam) yang diwakili oleh Formasi Kerek dan Formasi Kalibeng, prosentase kandungan bahan piroklastik dalam batuan sedimen menurun kearah Utara, dengan pola struktur geologi yang kurang rumit.

3. Kendeng Timur Kendeng Timur terdiri dari endapan-endapan Kenozoikum Akhir yang tersingkap diantara Gunung Pandan dan Mojokerto, berumur Pliosen dan Plistosen. Struktur geologinya adalah lipatan dengan sumbu-sumbu lipatnya yang menggeser ke utara dan menunjam ke arah timur.

Formasi yang terdapat pada Zona Kendeng sebagai berikut:

1. Formasi Kerek Formasi ini mempunyai ciri khas berupa perselingan antara lempung, napal lempungan, napal, batupasir tufaan gampingan dan batupasir tufaan. Perulangan ini menunjukkan struktur sedimen yang khas yaitu perlapisan bersusun (graded bedding) yang mencirikan gejala flysch. Berdasarkan fosil foraminifera planktonik dan bentoniknya, formasi ini terbentuk pada Miosen Awal –Miosen Akhir pada lingkungan shelf. Ketebalan formasi ini bervariasi antara 1000 –3000 meter.

2. Formasi Kalibeng Formasi ini terletak selaras di atas Formasi Kerek. Formasi ini terbagi menjadi dua anggota yaitu Formasi Kalibeng Bawah dan Formasi Kalibeng Atas. Bagian bawah dari Formasi Kalibeng tersusun oleh napal tak berlapis setebal 600 meter berwarna putih kekuningan sampai abu-abu kebiruan, kaya akan foraminifera planktonik. Asosiasi fauna yang ada menunjukkan bahwa Formasi Kalibeng bagian bawah ini terbentuk pada Miosen Akhir – Pliosen. Pada bagian barat formasi ini oleh de Genevraye & Samuel, 1972 dibagi menjadi Anggota Banyak, Anggota Cipluk, Anggota Kalibiuk, Anggota Batugamping, dan Anggota Damar. Di bagian bawah formasi ini terdapat beberapa perlapisan batupasir, yang ke arah Kendeng bagian barat berkembang menjadi suatu endapan aliran rombakan debris flow, yang disebut Formasi Banyak

3. Formasi Pucangan Di bagian barat dan tengah Zona Kendeng formasi ini terletak tidak selaras di atas Formasi Sonde. Formasi ini penyebarannya luas. Di Kendeng Barat batuan ini mempunyai penyebaran dan tersingkap luas antara Trinil dan Ngawi. Ketebalan berkisar antara 61 –480 m, berumur Pliosen Akhir hingga Plistosen. Di Mandala Kendeng Barat yaitu di daerah Sangiran, Formasi Pucangan berkembang sebagai fasies vulkanik dan fasies lempung hitam.

4. Formasi Kabuh Formasi Kabuh terletak selaras di atas Formasi Pucangan. Formasi ini terdiri dari batupasir dengan material non vulkanik antara lain kuarsa, berstruktur silangsiur dengan sisipan konglomerat dan tuff, mengandung fosil Moluska air tawar dan fosil – fosil vertebrata berumur Plistosen Tengah, merupakan endapan sungai teranyam yang dicirikan oleh intensifnya struktur silangsiur tipe palung, banyak mengandung fragmen berukuran kerikil. Di bagian bawah yang berbatasan dengan Formasi Pucangan dijumpai grenzbank. Menurut Van Bemmelen (1972) di bagian barat Zona Kendeng (daerah Sangiran), formasi ini diawali lapisan konglomerat gampingan dengan fragmen andesit, batugamping konkresi, batugamping Globigerina, kuarsa, augit, hornblende, feldspar dan fosil Globigerina. Kemudian dilanjutkan dengan pembentukan batupasir tuffaan berstruktur silangsiur dan berlapis mengandung fragmen berukuran kecil yang berwarna putih sampai cokelat kekuningan.

5. Formasi Notoputro Terletak tidak selaras di atas Formasi Kabuh. Litologi penyusunnya terdiri dari breksi lahar berseling dengan batupasir tufaan dan konglomerat vulkanik. Makin ke atas, sisipan batupasir tufaan makin banyak. Juga terdapat sisipan atau lensa –lensa breksi vulkanik dengan fragmen kerakal, terdiri dari andesit dan batuapung, yuang merupakan ciri khas Formasi Notopuro. Formasi ini pada umumnya merupakan endapan lahar yang terbentuk pada lingkungan darat, berumur Plistosen Akhir dengan ketebalan mencapai lebih dari 240 meter.

6. Formasi Udak Bengawan Solo Endapan ini terdiri dari konglomerat polimik dengan fragmen batugamping, napal dan andesit di samping batupasir yang mengandung fosil-fosil vertebrata, di daerah Brangkal dan Sangiran, endapan undak tersingkap baik sebagai konglomerat dan batupasir andesit yang agak terkonsolidasi dan menumpang di atas bidang erosi pad Formasi Kabuh maupun Notopuro.

Zona Kendeng yang terletak di lereng utara, secara tektonik merupakan wilayah yang secara kuat terlipat dan kadang-kadang tersesarkan dengan kuat. Pembentukan struktur masih sangat muda dan kemungkinan besar masih aktif. Sumbu perlipatan memilliki orientasi barat hingga timur dan searah dengan rangkaian dengan pegunungan vulkanik di selatan, hal tersebut mengindikasikan adanya keterkaitan rezim kompressi dengan pembentukan struktur yang terjadi di wilayah Zona Kendeng. Satuan bentuklahan pada zona Kendeng dapat diperhatikan berdasarkan tabel 2.6

Gambar 2.6 Stratigrafi Zona Kendeng

Tabel 2.3. Satuan Bentuklahan di Zona Kendeng

No Bentuklahan Satuan Bentuklahan Lembah Antar Perbukitan/Pegunungan

1 Struktural

Lipatan, Perbukitan Struktural Lipatan

Dataran Fluvial dengan dengan hutan muara

2 Aluvial

sungai (Estuari)

2.1.2 Zona Solo

Zona Solo merupakan salah satu karakteristik fisiografi Jawa Timur yang tersusun atas Gunungapi Kuarter yang memanjang mulai dari Kabupaten Magetan sampai Kabupaten Banyuwangi. Zona ini termasuk pada busur vulkanik aktif yang ditandai dengan adanya erupsi mulai dari intensitas kecil dan sedang. Selain itu, bentukmorfologi di Zona Solo ini juga dikontrol oleh bentuk lahan asal solusional (karst) dan Fluvial. Zona Solo dapat Diperhatikan pada gambar 2.7

Gambar 2.7 Zona Solo Busur Vulkanik Kuarter Jawa Timur (Tengah) Sumber : Citra ArcGIS EARTH 2017

Zona Solo ini terbentuk karena adanya pergerakan dari lempeng Indo-Australia di Samudra Hindia yang mendorong kerak benua pada wilayah Jawa Timur bagian selatan. Sehingga terjadi penunjaman pada kerak samudra yang diikuti dengan pengangkatan kerak benua sehingga membentuk jalur-jalur magma. Unsur-unsur tektonik di Jawa Timur dapat diperhatikan pada Gambar 2.8

Gambar 2.8 Diagram skematik unsur-unsur tektonik Jawa Timur (Husein, 2015) Sumber : Husein, 2016

Bentuklahan Asal Vulkanik Zona Solo

Pembagian Zona Solo yang terdiri dari Busur Vulkanik Aktif terdapat status gunungapi aktif dan gunungapi tidak aktif. Berdasarkan pos pengamatan Dinas ESDM secara langsung dipengaruhi oleh deretan Gunungapi yang terdiri dari Gunungapi Ijen, Gunungapi Semeru, Gunungapi Bromo, Gunungapi Lamongan, Gunungapi Arjuno-Welirang, Gunungapi Kelud, dan Gunungapi Raung. Beberapa gunungapi di Jawa Timur dengan status tidak aktif utamanya berada di bagian Utara Zona Solo yang terdiri dari Gunungapi Baluran, Gunungapi Wilis, dan Gunung Ringgit. Peta persebaran Gunungapi di Jawa Timur dapat diperhatikan melalui citra satelit pada gambar 2.9

Gambar 2.9 Peta Persebaran Gunung di Jawa Timur

Sumber : Jatmiko, 2014

1. Kompleks Gunungapi Ijen

Kompleks Gunungapi Ijen terletak di Jawa Timur yang secara administrasi terletak di Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Situbondo, dan Kabupaten Bondowoso. Pada kompleks ini terdiri dari kompleks Ijen Tua, Ringgit, Raung, Pendil, Rante, Merapi, Suket, Pajungan, Argopuro, dan Baluran. Kompleks Gunungapi Ijen dapat diperhatikan pada gambar 2.10.

Gambar 2.10 Kompleks Gunungapi Ijen Sumber : Peta Topografi KKL 1 PGEO (2016)

Tabel 2.4 Keterangan Ilustrasi Persebaran Kompleks Kegunungapian Ijen dan Satuan Bentuklahannya

Kode Kompleks Gunungapi Formasi Satuan Bentuklahan Ijen

Kompleks Kawah Breksi Gunungapi Ijen Tua Lereng Atas Lava Basal Gunungapi Ijen Tua

Kompleks Gunungapi

A. Lereng Tengah Breksi Gunungapi Ijen Tua Ijen Tua Lereng Bawah Endapan Lahar dan Tuff

Gunungapi Ijen Tua Kompleks Kawah Lava Basal Gunungapi Ijen Kompleks Gunungapi

Muda

B. Ijen Tua

Kompleks Kawah Lava dan Belerang Gunungapi Ijen Muda Kompleks Kawah Breksi Gunungapi Ringgit

Kompleks Gunungapi

C. Kompleks Kawah Lava Basal Gunungapi Ringgit Ringgit

Lereng Atas Lava Gunungapi Raung Lereng Tengah Breksi Gunungapi Raung Lereng Bawah Breksi Gunungapi Raung

Kompleks Gunungapi

D. Lereng Bawah Endapan Lahar dan Tuf Raung Gunungapi Raung

Dataran Kaki Gunungapi Breksi Lahar Gunungapi Raung Lereng Atas Lava Gunungapi Pendil

Kompleks Gunungapi

E. Lereng Tengah Endapan Lahar dan Tuff Pendil Gunungapi Pendil

Lereng Atas Lava Gunungapi Rante Lereng Tengah Breksi Gunungapi Rante

Kompleks Gunungapi

F. Lereng Tengah Endapan Lahar dan Tuf Rante Gunungapi Rante

Lereng Bawah Endapan Gunungapi Rante Lereng Atas Gunungapi Merapi Kompleks Gunungapi

Lereng Tengah Breksi Gunungapi Merapi

G. Merapi

Lereng Bawah Endapan Lahar dan Tuf Gunungapi Merapi Kompleks Gunungapi

Lereng Atas Lava Gunungapi Suket

H. Suket Lereng Bawah Endapan Lahar dan Tuf Gunungapi Suket Kompleks Gunungapi

I. Lereng Atas Lava Gunungapi Pajungan Pajungan

Lereng Tengah Breksi Lahar Formasi Kompleks Lereng Kalibaru Kaki dan Dataran Lereng Bawah Breksi Batuapung dan Breksi J.

Kaki Gunungapi Lahar Formasi Kalibaru Raung, Rante, dan Lereng Bawah Breksi Lahar Formasi Pendil Kalibaru

Dataran Kaki Gunungapi Batupasir Tufan Formasi Kalibaru Dataran Kaki Gunungapi Breksi Lahar Formasi Kalibaru Kompleks Gunungapi

Lereng Bawah Lava dan Tuf Formasi K. Argopuro

Argopuro Lereng Atas Lava Basal Gunungapi Baluran Lereng Tengah Lava Gunungapi Baluran

Kompleks Gunungapi L.

Lereng Bawah Breksi Gunungapi Baluran Baluran Lereng Bawah Struktural Breksi Gunungapi

Baluran Sumber : Sartohadi, Jujun dkk (2014).

Topografi wilayah yang menyusun Kompleks Gunungapi Ijen terbentuk atas pegunungan aktif yang juga memiliki ketinggian maksimal hampir seragam dengan Gunungaapi Ijen Tua. Terdapat banyak lereng curam yang terdapat di antara keduanya dan secara aktif membentuk topografi dengan kemiringan lereng curam hingga sangat curam. Proses kegunungapian yang selanjutnya pada Kawasan Gunungapi Ijen adalah munculkan gunung-gunung lain seperti Gunung Raung, Gunung Pendil, Gunung Rante, Gunung Merapi, Gunung Suket, dan Gunung Pajungan. Kompleks Gunungapi Ijen dapat diketahui pada gambar 2.11

Gambar 2.11 Kenampakan Kompleks Gunungapi Ijen, Raung, dan sekitarnya

Sumber : Citra ArcGIS EART 2017 dan SRTM 1 Arc Second 30M

Gunungapi Ijen memiliki karakteristik kaldera yang berada di puncaknya dengan kandungan masam kuat. Erupsi besar yang mengakibatkan runtuhnya dinding lereng bagian atas membentuk kaldera dengan diameter 6 Km, ukuran kawah sekitar 690 meter dan 600 meter dengan kedalaman mencapai 200 meter. Terbentuknya dinding kaldera yang didukung oleh aktivitas vulkan dengan intensitas kecil-besar mengakibatkan terbentuknya gawir-gawir di dinding kaldera Gunungapi Ijen memiliki karakteristik kaldera yang berada di puncaknya dengan kandungan masam kuat. Erupsi besar yang mengakibatkan runtuhnya dinding lereng bagian atas membentuk kaldera dengan diameter 6 Km, ukuran kawah sekitar 690 meter dan 600 meter dengan kedalaman mencapai 200 meter. Terbentuknya dinding kaldera yang didukung oleh aktivitas vulkan dengan intensitas kecil-besar mengakibatkan terbentuknya gawir-gawir di dinding kaldera

Gambar 2.12 Kaldera Gunungapi Ijen Sumber : Citra ArcGIS EARTH 2017

Pengaruh adanya bentuklahan asal vulkanik yang secara aktif mempengaruhi kondisi morfologi badan gunung, sering mengakibatkan adanya reruntuhan pada dinding kaldera yang menyebabkan adanya erosi dari intensitas kecil hingga besar. Pembagian satuan bentukalahan yang terdiri dari lereng atas hingga dataran kaki terdapat tampak morfologi yang cukup heterogen. Pada bagian selatan Gunungapi Ijen merupakan bagian dari dataran Kaki dengan tanah dominasi andosol dari vulkanik, sementara untuk di bagian utara terbentuk sebagai kaki gunungapi yang diakumulasi dengan bentuklahan asal fluvial (kali pahit). Akibatnya, dibagian selatan sangat berpotensi besar pada pertanian, sementara kondisi sebaliknya pada bagian utara karena ada aliran kali pahit yang sifatnya masam.

(a) (b)

(c)

Gambar 2.13

a. Dataran Kaki Gunungapi Ijen Selatan

b. Aliran Kali Pahit Kaki Gunungapi Ijen Utara

c. Penampang melintang Gunungapi Ijen ( Kawasan Paltuding-Puncak) Sumber : Data KKL 1 PGEO 2016

Dokumen yang terkait

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL AGRIBISNIS PERBENIHAN KENTANG (Solanum tuberosum, L) Di KABUPATEN LUMAJANG PROVINSI JAWA TIMUR

27 309 21

ANALISIS KONTRIBUSI MARGIN GUNA MENENTUKAN PRIORITAS PENGEMBANGAN PRODUK DALAM KONDISI KETIDAKPASTIAN PADA PT. SUMBER YALASAMUDRA DI MUNCAR BANYUWANGI

5 269 94

STUDI PENJADWALAN DAN RENCANA ANGGARAN BIAYA (RAB) PADA PROYEK PEMBANGUNAN PUSAT PERDAGANGAN CIREBON RAYA (PPCR) CIREBON – JAWA BARAT

34 235 1

STUDI ANALISA PERHITUNGAN RENCANA ANGGARAN BIAYA GEDUNG KULIAH STIKES SURYA MITRA HUSADA KEDIRI JAWA TIMUR

24 197 1

ANALISIS EKSPOR INDUSTRI KERAJINAN ROTAN DI SENTRA INDUSTRI KERAJINAN ROTAN KABUPATEN CIREBON JAWA BARAT

11 104 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERBEDAAN MOTIVASI BERPRESTASI ANTARA MAHASISWA SUKU JAWA DAN SUKU MADURA

6 144 7

HUBUNGAN ANTARA KONDISI EKONOMI WARGA BELAJAR KEJAR PAKET C DENGAN AKTIVITAS BELAJAR DI SANGGAR KEGIATAN BELAJAR KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN PELAJARAN 2010/2011

1 100 15

PENGGUNAAN BAHAN AJAR LEAFLET DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK SISTEM GERAK MANUSIA (Studi Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas XI IPA1 SMA Negeri 1 Bukit Kemuning Semester Ganjil T

47 275 59

KAJIAN ASPEK HYGIENE SANITASI TERHADAP KONDISI KANTIN MAKANAN JAJANAN ANAK SEKOLAH DASAR (Studi Kasus di Sekolah Dasar Kota Bandar Lampung)

40 194 64