Efek antipiretik ekstrak daun jeruk nipis (citrus aurantiifolium l.) Pada tikus putih (rattus norvegicus)

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Amelia Kartika Widowati G0004039

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta 2011

Skripsi dengan judul : Efek Antipiretik Ekstrak Daun Jeruk Nipis (Citrus aurantiifolium L.) pada Tikus Putih (Rattus norvegicus)

Amelia Kartika Widowati, NIM/Semester : G0004039, Tahun 2011

Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Pada Hari …., Tanggal ……………..20….

Pembimbing Utama

Nama : Nur Hafidha H., dr., M.Clin.Epid NIP

Pembimbing Pendamping

Nama : Eti Poncorini P., dr., M.Pd NIP

Penguji Utama

Nama : Endang S. Hardjanti, dr., P.FarK NIP

Anggota Penguji

Nama : Yulia Lanti Retno D., dr., M.Si NIP

Surakarta, …………..20…..

Ketua Tim Skripsi

Muthmainah, dr., M.Kes

NIP. 19660702 199802 2 001

Dekan FK UNS

Prof. DR. Zainal Arifin A., dr., Sp.PD-KR, FINASIM

NIP : 19510601 197903 1 002

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, Juli 2011

Amelia Kartika Widowati NIM. G0004039

Amelia Kartika Widowati, G0004039, 2011. Efek Antipiretik Ekstrak Daun Jeruk Nipis (Citrus aurantiifolium L.) pada Tikus Putih (Rattus norvegicus), Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek antipiretik ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantiifolium L.) pada tikus putih yang diinduksi demam menggunakan vaksin DPT.

Metode: Subyek berupa 30 ekor tikus putih jantan dengan berat ±200 gram dan berusia ±2-3 bulan. Tikus dibagi menjadi 5 kelompok sama besar, yaitu kelompok kontrol negatif (2ml akuabides), kontrol positif (6,3mg/100grBB asetaminofen), ekstrak daun jeruk nipis dosis 1 (1,26mg/100grBB), dosis 2 (2,52mg/100grBB), dan dosis 3 (5,04mg/100grBB). Pengukuran suhu dilakukan sebelum pemberian vaksin DPT, 2 jam setelah pemberian vaksin DPT, dan tiap 30’ setelah perlakuan sampai menit ke-120. Data penelitian pada menit ke-120 dianalisis dengan uji one way anova.

Hasil: Hasil uji one way anova menunjukkan adanya perbedaan suhu yang bermakna antar kelompok (p<0.05) pada 120 menit setelah perlakuan. Hasil uji post hoc menunjukkan bahwa perbedaan yang bermakna (p<0.05) terdapat antara kelompok kontrol negatif dengan 4 kelompok lainnya dan tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p>0.05) antara kelompok kontrol positif dengan 3 kelompok ekstrak daun jeruk nipis.

Simpulan: Ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantiifolium L. ) mempunyai efek antipiretik pada tikus putih.

Kata kunci: Ekstrak daun jeruk nipis, antipiretik, asetaminofen

Amelia Kartika Widowati, G0004039, 2011. Antipyretic Effect of Key Lime Leaf Extract (Citrus aurantiifolium L.) on White Rats, Medical Faculty of Sebelas Maret University.

Objective: The objective of this study is to evaluate the antipyretic effect of key lime leaf (Citrus aurantiifolium L.) on white rats induced fever using DPT vaccine.

Methods: Thirty male white rats weighted ±200 gram and aged ±2-3 months old were used to this study. Rats were grouped equally into five, namely negative control group (2ml aquabidest), positive control group (acetaminophen 6,3mg/100gr of body weight), first dose of key lime leaf extract (1,26mg/100gr of body weight), second dose (2,52mg/100gr of body weight) and third dose (5,04mg/100gr of body weight). The measurement of rat temperature was conducted before and 2 hours after getting DPT vaccine, and every 30 minutes post treatment until 120 minutes. Data at minute 120 were analyzed using one way anova test.

Result: The results of one way anova test showed that there were significant differences (p<0,05) among treatment groups. The results of post hoc test analysis showed that the significant differences (p<0.05) were found between negative control group and 4 other groups. There was no significant difference (p>0.05) between positive control group and 3 groups of key lime leaf extract.

Conclusion: The key lime leaf extract (Citrus aurantiifolium L.) has an antipyretic effect on white male rats.

Keywords: Key lime leaf extract, antipyretic, acetaminofen

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Efek Antipiretik Ekstrak Daun Jeruk Nipis (Citrus aurantiifolium L.) pada Tikus Putih (Rattus norvegicus)”.

Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan tingkat sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

Dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari berbagai hambatan dan kesulitan. Namun berkat bimbingan dan bantuan yang diberikan oleh semua pihak, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. DR. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR, FINASIM selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Muthmainah, dr., M.Kes selaku Ketua Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Nur Hafidha H., dr., M.Clin.Epid selaku Pembimbing Utama atas semua bimbingan, saran, motivasi dan masukan dalam penyusunan skripsi.

4. Eti Poncorini P., dr., M.Pd selaku Pembimbing Pendamping atas semua bimbingan, saran, motivasi dan masukan dalam penyusunan skripsi.

5. Endang S. Hardjanti, dr., P.FarK selaku Penguji Utama atas saran dan masukan dalam penyusunan skripsi.

6. Yulia Lanti Retno D., dr., M.Si selaku Anggota Penguji atas saran dan masukan dalam penyusunan skripsi.

7. Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan pelayanan dan kemudahan dalam pelaksanaan skripsi.

8. Semua pihak yang turut membantu penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak yang bersifat membangun.

Akhir kata, penulis berharap semoga apa yang tertuang dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu kedokteran pada umumnya dan bagi pembaca pada khususnya.

Surakarta, Juli 2011 Amelia Kartika Widowati

Gambar 1. Struktur Kimia Flavonoid ............................................................ 8 Gambar 2. Pemasukan dan Pengeluaran Panas ............................................. 11 Gambar 3. Ringkasan Patofisiologi Demam ................................................. 14 Gambar 4. Ringkasan Biosintesis Prostaglandin ........................................... 15 Gambar 5. Struktur Kimia Asetaminofen ...................................................... 18 Gambar 6. Kerangka Pemikiran..................................................................... 21 Gambar 7. Rancangan Penelitian................................................................... 27

Gambar 8. Grafik Rerata Suhu Tubuh (dalam 0 C) Tikus Putih pada Berbagai Perlakuan dalam 6 kali Pengamatan ............................................ 35

..

Tabel 1. Rerata Suhu Tubuh (dalam 0 C) Tikus Putih pada Berbagai Perlakuan dalam 6 Kali Pengamatan ................................................................... 34 Tabel 2. Hasil Uji Normalitas Data Suhu Menit ke-120 ................................... 36 Tabel 3. Hasil Post Hoc Test dengan LSD Data Suhu Menit ke-120 ............... 38

Lampiran 1. Hasil Pengukuran Suhu Rektal Tikus Putih Lampiran 2. Hasil Uji Statistik Lampiran 3. Konversi Dosis untuk Manusia dan Hewan Lampiran 4. Daftar Volume Maksimum Larutan Obat yang Dapat Diberikan

pada Berbagai Hewan dalam ml

Lampiran 5. Surat Ijin Penelitian Lampiran 6. Surat Keterangan Telah Selesai Melakukan Penelitian

Lampiran 7. Foto-foto Penelitian

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Saat ini dengan meningkatnya taraf pendidikan warga masyarakat yang menuntut cara berpikir rasional, maka obat dan cara pengobatan tradisional perlu dikaji secara berkesinambungan. Permasalahan yang ada saat ini adalah adanya kesenjangan persepsi antarpemerhati obat dan pengobatan tradisional dengan pengobatan modern. Dalam upaya mempersempit kesenjangan tersebut maka perlu dilakukan penelitian dan tindak lanjutnya.

Obat tradisional yang merupakan kekayaan Indonesia, menuntut masyarakatnya untuk menggalakkan penggunaan obat tradisional. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berasal dari bahan alam seperti tumbuh-tumbuhan yang dimanfaatkan untuk mengobati berbagai penyakit dan digunakan secara turun-temurun oleh masyarakat (Hargono, 1992). Beberapa keunggulan obat tradisional adalah efek sampingnya yang lebih ringan jika dibanding obat sintetik. Selain itu, obat tradisional juga terjangkau oleh semua kalangan masyarakat karena harganya relatif lebih murah (Afdhal, 1996).

Termasuk penggunaan obat tradisional oleh masyarakat adalah sebagai obat penurun demam atau antipiretik (Wijayakusuma, 1995). Penggunaan obat tradisional sebagai antipiretik menduduki urutan kedua setelah penggunaan obat tradisional untuk pengobatan pusing. Hal ini dikarenakan demam Termasuk penggunaan obat tradisional oleh masyarakat adalah sebagai obat penurun demam atau antipiretik (Wijayakusuma, 1995). Penggunaan obat tradisional sebagai antipiretik menduduki urutan kedua setelah penggunaan obat tradisional untuk pengobatan pusing. Hal ini dikarenakan demam

Obat kimia yang biasa digunakan untuk menurunkan demam adalah parasetamol dan asetosal. Sekitar 175 juta tablet parasetamol dikonsumsi masyarakat Indonesia setiap tahunnya ketika gejala demam muncul karena cukup aman, mudah didapat dan harganya terjangkau. Beberapa penelitian tentang parasetamol akhir-akhir ini menemukan bahwa meskipun cukup aman tetapi parasetamol memiliki banyak efek samping (Sajuthi, 2003).

Salah satu jenis bahan tradisional yang sering digunakan sebagai pereda demam adalah daun jeruk nipis. Penggunaan daun jeruk nipis sebagai obat tradisional berhubungan erat dengan kandungan zat aktif yang dimilikinya. Salah satu zat tersebut adalah flavonoid. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa flavonoid memiliki efek antipiretik. Flavonoid mampu menghambat enzim siklooksigenase yang berperan dalam metabolisme asam arakidonat menjadi prostaglandin (Amili et al., 2008). Meningkatnya prostaglandin akan menginduksi terjadinya kenaikan set point suhu tubuh sehingga terjadi demam (Sherwood, 2001; Guyton, 2007). Oleh karena itu, tanaman yang mengandung flavonoid seperti jeruk nipis berpotensi sebagai antipiretik. Penelitian mengenai potensi ekstrak daun jeruk nipis sebagai antipiretik belum ada, oleh karena itu diperlukan suatu pengujian secara ilmiah untuk membuktikan kebenaran dari dugaan tersebut.

untuk mengetahui efek antipiretik ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantiifolium L.) pada tikus putih yang diinduksi demam dengan vaksin DPT. Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan asetaminofen atau parasetamol sebagai pembanding.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian ini, yaitu apakah ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantiifolium L.) mempunyai efek antipiretik pada tikus putih?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya efek antipiretik ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantiifolium L.) pada tikus putih.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoretis Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan mengenai manfaat ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantiifolium L.), terutama sebagai antipiretik.

2. Manfaat praktis Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan acuan penelitian berikutnya untuk pengembangan potensi daun jeruk nipis (Citrus aurantiifolium L.) sebagai antipiretik.

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Jeruk Nipis (Citrus aurantiifolia)

a. Taksonomi

Kingdom

: Plantae

Subkingdom : Tracheobionta Super Divisi

Kelas : Magnoliopsida Sub Kelas

: Rosidae

Ordo : Sapindales Famili

: Citrus aurantiifolia (Christm.) Swing

b. Deskripsi dan Morfologi

Tanaman jeruk merupakan tanaman buah tahunan yang berasal dari Asia. Sejak ratusan tahun yang lalu, jeruk sudah tumbuh di Indonesia baik secara alami atau dibudidayakan. Jeruk nipis selalu tersedia di sepanjang tahun dengan kualitas yang diketahui dari warna, kejernihan dan tekstur kulit, bukan dari ukuran buahnya.

yang banyak memiliki dahan dan ranting. Tingginya sekitar 0,5-3,5 m dengan batang pohonnya berkayu ulet, berduri dan keras. Tanaman ini memiliki permukaan kulit luar yang berwarna tua dan kusam.

Tanaman jeruk nipis pada umur 2,5 tahun sudah mulai berbuah. Buahnya berbentuk bulat sebesar bola pingpong dengan diameter 3,5-5 cm berwarna (kulit luar) hijau atau kekuning-kuningan, dan jika sudah tua rasanya asam. Akar jeruk nipis berbentuk tunggang. Area pertumbuhan tanaman jeruk umumnya adalah tempat-tempat yang memperoleh sinar matahari langsung.

Daun jeruk nipis bersifat majemuk, berbentuk elips dengan pangkal membulat, ujung tumpul dan tepi beringgit. Panjang daunnya mencapai 2,5-9 cm dan lebarnya 2-5 cm dengan tulang daunnya yang menyirip dengan tangkai bersayap, hijau dan dengan lebar 5-25 mm. Bunganya bersifat majemuk/tunggal yang tumbuh di ketiak daun atau di ujung batang dengan diameter 1,5-2,5 cm (Morton, 1987).

c. Kandungan Kimia

Buah jeruk nipis mengandung konstituen yang memiliki efek penting bagi kesehatan seperti: gula sederhana, vitamin C, karotenoid, flavonoid, limonoid, serat, asam folat dan kalium. Selain asam, jeruk nipis juga memiliki rasa yang pahit. Kepahitan dalam buah jeruk dan jus terutama disebabkan oleh dua keluarga fitokimia yang berbeda, yaitu flavonoid dan limonoid. Rasa pahit limonoid terjadi secara Buah jeruk nipis mengandung konstituen yang memiliki efek penting bagi kesehatan seperti: gula sederhana, vitamin C, karotenoid, flavonoid, limonoid, serat, asam folat dan kalium. Selain asam, jeruk nipis juga memiliki rasa yang pahit. Kepahitan dalam buah jeruk dan jus terutama disebabkan oleh dua keluarga fitokimia yang berbeda, yaitu flavonoid dan limonoid. Rasa pahit limonoid terjadi secara

Selain flavonoid, buah jeruk nipis (Citrus aurantiifolia) juga mengandung unsur-unsur senyawa kimia yang bemanfaat, misalnya: asam sitrat, asam amino (triptofan, lisin), minyak atsiri (sitral, limonen, felandren, lemon kamfer, kadinen, gerani-lasetat, linali- lasetat, aktilaldehid, nonildehid), damar, glikosida, asam sitrun, lemak, kalsium, fosfor, besi, belerang, vitamin B1 dan C (Farmasi UGM, 2008).

Daun jeruk nipis juga mengandung senyawa flavonoid (Agricultural Research Service USDA, 1999). Tampubolon menyebutkan bahwa selain flavonoid, bagian daun juga mempunyai kandungan seperti: sitrat, limonena, lemon kamfer, fellandrena, geranil asetat, kadinena, linalin asetat, asam sitrat 7 – 7,6 %, damar, mineral, vitamin B1 dan C (Triayu, 2009).

Flavonoid merupakan senyawa fenol terbesar yang ditemukan di alam. Senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, biru dan kuning yang ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan. Flavonoid larut dalam air dan cukup stabil dalam pemanasan yang mencapai suhu 100 ˚C (Harborne, 1996). Senyawa flavonoid terdiri dari beberapa jenis tergantung pada tingkat oksidasi dari rantai propana dari sistem 1,3- Flavonoid merupakan senyawa fenol terbesar yang ditemukan di alam. Senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, biru dan kuning yang ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan. Flavonoid larut dalam air dan cukup stabil dalam pemanasan yang mencapai suhu 100 ˚C (Harborne, 1996). Senyawa flavonoid terdiri dari beberapa jenis tergantung pada tingkat oksidasi dari rantai propana dari sistem 1,3-

Gambar 1. Struktur Kimia Flavonoid Sebagian besar senyawa flavonoid ditemukan di alam dalam bentuk glikosida dengan unit flavonoidnya terikat pada suatu gula. Glikosida merupakan kombinasi gula dan alkohol yang saling berikatan melalui ikatan glikosida (Nijveldt et al., 2001).

Flavonoid sebagai antipiretik bekerja seperti aminobenzen yaitu dengan menghambat enzim siklooksigenase yang berperan dalam metabolisme asam arakidonat menjadi prostaglandin (Freddy et al., 2007). Penghambatan enzim siklooksigenase menyebabkan penurunan Flavonoid sebagai antipiretik bekerja seperti aminobenzen yaitu dengan menghambat enzim siklooksigenase yang berperan dalam metabolisme asam arakidonat menjadi prostaglandin (Freddy et al., 2007). Penghambatan enzim siklooksigenase menyebabkan penurunan

Kandungan flavonoid pada daun jeruk nipis diharapkan mampu menunjukkan khasiatnya sebagai antipiretik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tanaman yang mengandung flavonoid seperti semak bunga putih (Owoyele et.al., 2008) dan bayam duri (Kumar et.al ., 2009) memiliki efek antipiretik.

d. Manfaat

Dalam praktik pengobatan tradisional, jeruk nipis berkhasiat sebagai obat batuk, penurun panas, pegal linu, disentri, sembelit, ambeien, haid tidak teratur, difteri, jerawat, penambah nafsu makan, pencegah rambut rontok, ketombe anyang-anyangan, radang tenggorokan, kurap/panu, demam/panas, terkilir, sakit gigi, pelangsing badan, penambah stamina dan hipertensi.

Untuk demam/panas, tanaman ini sering digunakan pada pasien yang terinfeksi malaria. Pada demam, 3 lembar daun jeruk nipis dan beberapa daun tanaman obat lain direbus secara bersamaan, dan setelah dingin air disaring lalu diminum pagi dan sore (Sudarti, 2010).

2. Demam

a. Definisi

Demam adalah respon yang terkoordinasi akibat adanya stimulus imun (biologis maupun kimiawi), berupa peningkatan suhu inti tubuh

(chill), fase demam (fever) dan fase kemerahan (flush). Fase dingin merupakan fase di mana terjadi kenaikan suhu tubuh menuju set point yang baru di hipotalamus. Fase demam terjadi ketika suhu tubuh sudah mencapai set point baru dan tercapai keseimbangan antara produksi dan pengeluaran panas. Sedangkan fase kemerahan terjadi ketika set point suhu tubuh kembali ke normal, ditandai dengan berkeringat dan kulit kemerahan karena vasodilatasi pembuluh darah. Respon fase akut yang terlibat dalam proses adaptif ini adalah sistem otonom, tingkah laku dan neuroendokrin (Thompson, 2005; Dalal dan Zhukovsky, 2006).

Suhu tubuh normal berkisar antara 36,5 ˚-37,2˚C. Demam pada umumnya terjadi pada kenaikan suhu di atas 37,2 ˚C (Nelwan, 2006). Kenaikan suhu merupakan tanda utama demam, di mana kenaikannya melebihi 1 ˚C di atas suhu tubuh harian normal. Tidak ada patokan suhu absolut untuk mendefinisikan demam. Perubahan set point suhu tubuh dipertahankan dengan penyimpanan dan pembentukan panas tubuh sampai agen penginduksi demam hilang dari tubuh.

b. Patofisiologi

Dalam keadaan normal, suhu tubuh dijaga keseimbangannya antara produksi dan pengeluaran panas tubuh (Sherwood, 2001). Pengaturan suhu tubuh ini dilakukan melalui mekanisme umpan balik dan diatur oleh pusat pengaturan suhu yang terletak di hipotalamus Dalam keadaan normal, suhu tubuh dijaga keseimbangannya antara produksi dan pengeluaran panas tubuh (Sherwood, 2001). Pengaturan suhu tubuh ini dilakukan melalui mekanisme umpan balik dan diatur oleh pusat pengaturan suhu yang terletak di hipotalamus

Konsep terpenting pengaturan suhu tubuh adalah keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran panas. Pemasukan panas terjadi melalui produksi panas internal (terutama dari aktivitas otot dan laju metabolisme) dan penambahan panas dari lingkungan eksternal. Sedangkan pengeluaran panas terjadi melalui pengurangan panas dari permukaan tubuh ke lingkungan eksternal dengan cara radiasi, konduksi, konveksi dan evaporasi. Alur termoregulasi tubuh dijelaskan dalam Gambar 2.

Gambar 2. Pemasukan dan Pengeluaran Panas (Sherwood, 2001)

Produksi panas internal

Pemasukan

panas

Pengeluaran panas

Lingkungan eksternal

Suhu inti

Respon demam merupakan reaksi yang melibatkan sitokin sebagai perantara terjadinya kenaikan suhu tubuh, membangkitkan reaksi fase akut, dan mengaktifkan sistem imun dan endokrin (Mackowiak et al., 1997). Sitokin yang tersekresi membuat patokan (set point) yang lebih tinggi, pada keadaan ini pengaturan suhu tubuh (termoregulasi) tetap berlangsung (Sherwood, 2001; Thompson, 2005). Semua mekanisme untuk meningkatkan suhu tubuh terlibat ketika set point tubuh mulai meninggi, termasuk regulasi penyimpanan dan pembentukan panas. Perubahan set point menyebabkan aktivasi sistem saraf simpatis yang menginduksi vasokonstriksi pembuluh darah kulit, menghambat aktivitas kelenjar keringat, mengaktifkan pusat menggigil di hipotalamus, sehingga produksi panas meningkat (Sherwood, 2001).

Penyebab kenaikan set point termostat tubuh di hipotalamus adalah suatu zat pirogenik yang terbentuk sebagai respon dari infeksi atau inflamasi (Sherwood, 2001; Thompson, 2005; Guyton, 2007). Pirogen terbagi menjadi eksogen dan endogen, di mana eksogen berasal dari luar hospes, sedangkan pirogen endogen diproduksi oleh hospes yang umumnya terbentuk sebagai respon terhadap stimulan awal yang biasanya timbul oleh karena infeksi atau inflamasi. Pirogen endogen yang dihasilkan baik secara sistemik maupun lokal kemudian memasuki sirkulasi dan menyebabkan demam pada tingkat pusat termoregulasi di hipotalamus (Gelfand, 2005).

terutama prostaglandin E2 (PGE2) yang selanjutnya bekerja di hipotalamus untuk membangkitkan reaksi demam (Guyton, 2007). Prostaglandin E2 disintesis melalui tiga langkah, yaitu: (1) konversi membran fosfolipid menjadi asam arakidonat oleh enzim fosfolipase A2; (2) asam arakidonat kemudian dikonversi menjadi prostaglandin H2 (PGH2) dengan enzim siklooksigenase (COX); (3) PGH2 kemudian diisomerisasi menjadi PGE2 oleh enzim PGE sintase (Murakami dan Kudo, 2004). Ringkasan patofisiologi demam dan biosintesis prostaglandin dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4.

Keterangan :

: meningkatkan/merangsang : menghambat

Gambar 3. Ringkasan Patofisiologi Demam (Dalal dan Zhukovsky, 2006)

(agen infeksius,

toksin, tumor)

Fagosit mononuklear

Pirogen endogen (IL-1, faktor nekrosis tumor, interferon gamma, IL-6)

Hipotalamus anterior

Pertahanan panas

(vasokonstriksi,

tingkah laku)

Produksi panas (kontraksi otot involunter)

Demam

AINS Antipiretik

Set point termoregulasi }

PGE2

Keterangan :

: menghambat

Gambar 4. Ringkasan Biosintesis Prostaglandin (Murakami dan Kudo, 2004)

Asam Arakidonat

Prostaglandin G2

Prostaglandin H2

Tromboksan (TXA2)

Peroksidase

PG sintase

Tromboksan sintase

Antipiretik adalah obat yang dapat menekan atau mengurangi peningkatan temperatur tubuh yang tidak normal (Ganong, 2005). Demam merupakan gejala yang sering terjadi pada suatu penyakit infeksi dan yang lain, oleh karena itu obat antipiretik sangat sering digunakan oleh masyarakat sebagai obat simptomatis (Notosiswoyo et al., 1998).

Hampir semua obat analgesik perifer (non opioid) bersifat antipiretik. Oleh sebab itu, istilah analgesik-antipiretik sering dipakai sebagai satu kesatuan. Obat analgesik-antipiretik bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase (COX) yang berperan dalam biosintesis prostaglandin (Tjay dan Rahardja, 2002).

Perubahan asam arakidonat menjadi prostaglandin akan dibantu oleh enzim siklooksigenase. Enzim siklooksigenase memiliki dua isoform yaitu enzim siklooksigenase-1 (COX-1) dan siklooksigenase-2 (COX-2). COX-

1 berfungsi dalam menyediakan prekursor prostaglandin untuk sintesis tromboksan yang berfungsi dalam homeostasis. Tromboksan yang terbentuk berperan dalam agregasi dari trombosit. Enzim COX-1 terdapat dalam hampir semua jaringan tubuh. Di lambung, COX-1 memproduksi prostaglandin yang berperan menjaga aliran darah pada mukosa lambung. Pemberian obat antiinflamasi non-steroid (AINS) akan menghambat fungsi COX-1, sehingga aliran darah pada mukosa lambung terganggu dan menyebabkan iskemia mukosa lambung yang dapat menjadi ulkus (Dubois et al. , 1998).

sitokin- pirogen seperti interleukin-1, interleukin-6 dan faktor nekrosis tumor α (TNF α). Sitokin pirogen tersebut menstimulasi enzim siklooksigenase-2 (COX-2) yang terdapat dalam sel endotel perivaskuler di hipotalamus. Setelah terstimulasi, produksi prostaglandin E2 (PGE2) meningkat dan menyebabkan naiknya set point suhu tubuh sehingga terjadi demam. Penghambatan aktivitas COX-2 oleh obat antipiretik akan menurunkan prostaglandin E2 tersebut sehingga set point suhu tubuh kembali normal (Simmons et al., 2004).

Obat analgesik-antipiretik dikelompokkan menjadi beberapa golongan yaitu:

a. Golongan para amino fenol

Preparat terpenting dan paling banyak digunakan dalam golongan ini adalah asetaminofen atau parasetamol (Gambar 5). Asetaminofen adalah metabolit dari fenasetin, yang dahulu banyak digunakan sebagai analgesik. Setelah diketahui bahwa asetaminofen bersifat nefrotoksik dan karsinogenik, penggunaannya diawasi dan dikurangi. Penggunaan asetaminofen dalam jangka panjang dapat menyebabkan nefropati analgesik.

Asetaminofen mempunyai khasiat analgesik-antipiretik, tetapi efek antiinflamasinya sangat lemah. Asetaminofen dianggap sebagai obat analgesik-antipiretik yang paling aman dan dijual bebas untuk swamedikasi karena jarang menimbulkan efek samping. Asetaminofen Asetaminofen mempunyai khasiat analgesik-antipiretik, tetapi efek antiinflamasinya sangat lemah. Asetaminofen dianggap sebagai obat analgesik-antipiretik yang paling aman dan dijual bebas untuk swamedikasi karena jarang menimbulkan efek samping. Asetaminofen

Gambar 5. Struktur Kimia Asetaminofen (Katzung dan Payan, 1998)

Asetaminofen bekerja dengan menginhibisi enzim siklooksigenase (COX) yang berperan dalam sintesis prostaglandin E2, sehingga set point suhu tubuh akan menurun (Wilmana dan Gan, 2007). Senyawa alami seperti flavonoid sebagai antipiretik bekerja dengan cara yang sama seperti asetaminofen (Sitompul, 2003). Asetaminofen memiliki selektivitas penghambatan siklooksigenase pada sistem nervus sentral dan memiliki efek yang lemah pada saluran gastrointestinal sehingga asetaminofen jarang menimbulkan efek samping pada lambung (Lucas, 2005).

b. Golongan asam salisilat

Contoh dari preparat golongan salisilat adalah aspirin (asetosal) yang merupakan obat standar untuk analgesik, antipiretik dan antiinflamasi. Secara sistemik, aspirin digunakan sebagai analgesik, Contoh dari preparat golongan salisilat adalah aspirin (asetosal) yang merupakan obat standar untuk analgesik, antipiretik dan antiinflamasi. Secara sistemik, aspirin digunakan sebagai analgesik,

c. Golongan pirazolon

Preparat golongan pirazolon yang umum digunakan adalah dipiron (antalgin). Dipiron digunakan hanya sebagai analgesik- antipiretik karena efek antiinflamasinya lemah. Penggunaan dipiron dapat menimbulkan efek samping berupa agranulositosis, anemia aplastik dan trombositopenia.

d. Golongan AINS lainnya

Obat antiinflamasi non steroid (AINS) lainnya yang cukup sering digunakan adalah asam mefenamat, diklofenak dan ibuprofen. Asam mefenamat adalah derivat dari asam fenamat. Penggunaan asam mefenamat sering menimbulkan efek samping berupa iritasi lambung. Diklofenak merupakan derivat asam fenilasetat, sedangkan ibuprofen adalah derivat asam propionat. Diklofenak dan ibuprofen tidak dianjurkan untuk wanita hamil (Wilmana dan Gan, 2007).

4. Vaksin DPT (difteri, pertusis dan tetanus)

Vaksin DPT terdiri dari difteri, pertusis dan tetanus. Vaksin difteri berasal dari toksin kuman difteri yang dilemahkan (toksoid). Vaksin difteri biasanya diolah dan dikemas bersama-sama dengan vaksin tetanus dalam bentuk vaksin DT, atau dengan vaksin tetanus dan pertusis dalam bentuk vaksin DPT. Reaksi imunisasi yang mungkin terjadi adalah demam ringan, pembengkakan dan rasa nyeri di tempat suntikan selama 1-2 hari. Unsur Vaksin DPT terdiri dari difteri, pertusis dan tetanus. Vaksin difteri berasal dari toksin kuman difteri yang dilemahkan (toksoid). Vaksin difteri biasanya diolah dan dikemas bersama-sama dengan vaksin tetanus dalam bentuk vaksin DT, atau dengan vaksin tetanus dan pertusis dalam bentuk vaksin DPT. Reaksi imunisasi yang mungkin terjadi adalah demam ringan, pembengkakan dan rasa nyeri di tempat suntikan selama 1-2 hari. Unsur

Vaksin DPT dikemas dalam bentuk flakon 5 ml, 10 dosis. Kandungan vaksin terdiri dari 40 Lf toksoid difteri, 15 Lf toksoid tetanus,

24 (OU) Bordetalla pertusis (mati) diserapkan ke dalam aluminium fosfat dan mertiolat. Secara fisik vaksin DPT berupa cairan tidak berwarna, berkabut dengan sedikit endapan putih, dan rusak jika terkena panas atau sinar matahari langsung. Vaksin DPT disimpan dalam lemari es bersuhu 2- 8°C dengan masa kadaluarsa 2 tahun (Mansjoer et.al., 2000).

Pada penelitian ini digunakan vaksin DPT untuk menginduksi demam pada tikus. Selain vaksin DPT, induksi demam pada tikus juga dapat dilakukan dengan menggunakan pepton. Pemberian vaksin DT (difteri dan tetanus) saja tidak akan menimbulkan efek samping berupa demam (Katzung dan Payan, 1998; Markum, 2002).

Membran fosfolipid

Gambar 6

Keterangan : : menghasilkan/merangsang

: menghambat

Pirogen eksogen, dehidrasi dan faktor-faktor lain yang menyebabkan

demam

Ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantiifolium L.)

Flavonoid

Fagosit mononuklear

terangsang

Pirogen endogen}

Asam arakidonat

PGE2 }

Enzim siklooksigenase

(COX) 2

Asetaminofen

Gugus aminobenzen

Set point suhu tubuh }

DEMAM

Ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantiifolium L.) memiliki efek antipiretik pada tikus putih yang telah diinduksi demam menggunakan vaksin DPT.

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat kuasi eksperimental dengan rancangan the post test only with control group design .

B. Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Farmakologi Universitas Setia Budi Surakarta.

C. Subyek Penelitian

Subyek penelitian adalah tikus putih (Rattus norvegicus) yang dipilih berdasarkan kriteria sebagai berikut: jenis kelamin jantan, galur Wistar, berat badan ±200 gram, berumur 2-3 bulan, sehat dan tidak kawin.

D. Teknik Sampling

Teknik sampling menggunakan metode purposive sampling untuk menentukan subyek penelitian. Jumlah sampel ditentukan menggunakan rumus Federer yaitu: (k-1) (n-1) > 15 (Smith dan Mangkoewidjojo, 1998).

Terdapat 5 kelompok pada penelitian ini, dengan demikian perhitungan dengan rumus Federer dalam menentukan jumlah sampel tiap kelompok sebagai berikut:

(k-1) (n-1) ≥ 15 (5-1) (n-1) ≥ 15

≥ 19 4n n ≥ 5

Keterangan: k : jumlah kelompok n : banyak sampel dalam tiap kelompok

Dari perhitungan rumus Federer didapatkan jumlah sampel tiap kelompok sebanyak 5 sampel. Dengan demikian jumlah sampel pada penelitian ini adalah 25 sampel. Namun untuk mengantisipasi jika terdapat tikus yang mati di tengah percobaan berlangsung, maka penulis menyediakan

30 ekor tikus, dengan 5 ekor tikus sebagai cadangan.

E. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel bebas : ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantiifolium L.)

2. Variabel terikat : penurunan suhu tubuh

3. Variabel luar

a. Terkendali : Karakteristik tikus putih (jenis kelamin, galur, berat badan, umur), makanan dan minuman serta suhu ruangan

b. Tak terkendali : zat pirogen endogen, pH lambung dan stres

1. Ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantiifolium L.) Ekstrak daun jeruk nipis adalah ekstrak yang dibuat dengan metode maserasi dengan pelarut etanol 70%, pelarut sempurna untuk flavonoid. Ekstrak yang dihasilkan merupakan ekstrak kental. Ekstrak diberikan per oral kepada tikus putih jantan. Ekstraksi dilakukan di Universitas Slamet Riyadi Surakarta.

Daun jeruk nipis yang digunakan berupa daun utuh dan dibuang tangkai daunnya, diambil di bagian tengah (mulai daun ke-4 sampai 6), sehingga tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda. Jumlah ekstrak didapat dari daun dengan dosis empiris yang biasa digunakan secara tradisional dan diujikan terlebih dahulu dengan orientasi dosis.

Skala pengukurannya adalah ordinal.

2. Penurunan suhu tubuh Penurunan suhu tubuh merupakan efek yang ditimbulkan oleh obat atau zat antipiretik. Pengukuran suhu tubuh dilakukan untuk setiap tikus pada tiap kelompok. Pengukuran suhu dilakukan per-rektum tiap 30’ selama 120’.

Pengukuran suhu dilakukan dengan termometer digital dan menggunakan skala derajat Celcius (ºC). Penggunaan termometer digital dikarenakan termometer digital lebih sensitif terhadap perubahan suhu dan lebih objektif dalam pembacaan hasil pengukuran dibanding termometer Pengukuran suhu dilakukan dengan termometer digital dan menggunakan skala derajat Celcius (ºC). Penggunaan termometer digital dikarenakan termometer digital lebih sensitif terhadap perubahan suhu dan lebih objektif dalam pembacaan hasil pengukuran dibanding termometer

3. Karakteristik tikus putih

a. Penelitian ini menggunakan tikus putih jantan sebagai sampel disebabkan tikus putih jantan mempunyai kecepatan metabolisme obat yang lebih cepat dan kondisi biologis tubuh yang lebih stabil dibandingkan dengan tikus putih betina. Selain itu tikus putih jantan juga tidak mengalami siklus menstruasi, sehingga tidak terjadi ovulasi yang dapat meningkatkan suhu tubuh ± 1 o C.

b. Jenis tikus yang dipilih adalah galur Wistar. Tikus galur Wistar dipilih karena dapat tinggal sendirian dalam kandang asal dapat mendengar dan melihat tikus lain, tenang dan mudah ditangani serta lebih besar daripada mencit.

c. Berat badan tikus yang dipilih adalah ±200 gr.

d. Umur tikus pada penelitian ini adalah 2-3 bulan.

4. Makanan dan minuman Makanan yang diberikan berupa pelet dan minuman dari air PAM. Semua tikus yang digunakan untuk percobaan mendapat makanan dan minuman yang cukup dan jumlah kurang lebih sama.

Ruangan yang digunakan untuk mengandangkan tikus putih

dikondisikan pada suhu kamar sekitar 25 0 C.

6. Variabel luar yang tak terkendali Zat pirogen endogen, keadaan pH lambung tikus dan stres

merupakan beberapa di antara banyak faktor yang dapat mempengaruhi hasil percobaan. Kondisi psikologis tikus dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Lingkungan yang terlalu ramai dan gaduh, pemberian perlakuan yang berulang kali dan perkelahian antartikus dapat mempengaruhi kondisi psikologis tikus.

G. Rancangan Penelitian

Gambar 7

Keterangan : K1

: Kelompok kontrol negatif

K2

: Kelompok kontrol positif

K1 K1U1

V K1U2

K1M1

K1U3

K2 K2U1

V K2U2

K2M2

K2U3

K3 K3U1

V K3U2

K3M3

K3U3

K4 K4U1

V K4U2

K4M4

K4U3

K5 K5U1

V K5U2

K5M5

K5U3

K4

: Kelompok uji dosis 2

K5

: Kelompok uji dosis 3

U1

: Pengukuran awal suhu rektal

V : Pemberian vaksin DPT 0,4 cc

U2

: Pengukuran suhu rektal 5 menit sebelum perlakuan

M1

: Pemberian aquadest

M2

: Pemberian asetaminofen

M3

: Pemberian ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantiifolium

L.) dosis 1

M4

: Pemberian ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantiifolium

L.) dosis 2

M5

: Pemberian ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantiifolium

L.) dosis 3

U3

: Tiga puluh menit setelah perlakuan, suhu rektal diukur lagi, sampai percobaan pada menit ke 120 dengan interval 30 menit.

A : Analisis data dengan uji statistik anova dan post hoc

H. Alat dan Bahan Penelitian

1. Alat penelitian

a. Kandang

b. Timbangan

c. Termometer digital

d. Arloji/stopwatch

e. Jarum suntik

f. Spuit pencekok

g. Bekkerglass

2. Bahan penelitian

a. Ekstrak daun jeruk nipis

b. Akuabides

c. Asetaminofen tablet

d. Vaksin DPT

e. Alkohol 70%

f. Kapas

I. Cara Kerja

1. Penentuan dosis ekstrak daun jeruk nipis Volume cairan maksimal yang dapat diberikan per oral pada tikus putih adalah 5 ml/100 gr BB. Disarankan takaran dosis tidak sampai melebihi setengah kali volume maksimalnya (Imono dan Nurlaila, 1986). Takaran daun jeruk nipis yang biasa digunakan adalah 10 gr. Uji pendahuluan atau orientasi dosis perlu dilakukan karena belum ada riset tentang dosis baku daun jeruk nipis untuk pengobatan per oral.

Faktor konversi dosis untuk manusia dengan berat badan 70 kg pada tikus putih dengan berat badan 200 gr adalah 0,018. Sedangkan berat rata- rata manusia Indonesia adalah 50 kg (Ngatidjan, 1991).

Dosis daun jeruk nipis untuk tikus adalah: = ( 10 x 1000 mg x 70/50 x 0,018)/200 gr BB = 252 mg/200 gr BB = 126 mg/100 gr BB Dosis daun jeruk nipis untuk tikus adalah: = ( 10 x 1000 mg x 70/50 x 0,018)/200 gr BB = 252 mg/200 gr BB = 126 mg/100 gr BB

Dosis ekstrak untuk tikus putih jantan yaitu: = ( 126 x 2% )/100 gr BB = 2,52/100 gr BB/2 ml

a. Dosis I

= 1,26 mg ekstrak/100 gr BB/2 ml

b. Dosis II

= 2,52 mg ekstrak/100 gr BB/2 ml

c. Dosis III

= 5,04 mg ekstrak/100 gr BB/2 ml

2. Penentuan dosis asetaminofen Dosis lazim asetaminofen pada manusia adalah 500 mg. Konversi dosis dari manusia dengan berat badan 70 kg ke tikus 200 gr adalah 0,018. Sedangkan berat rata-rata manusia Indonesia adalah 50 kg (Ngatidjan, 1991). Maka dosis untuk tikus adalah = (500 mg x 70/50 x 0,018)/200 gr BB = 12,6 mg/200 gr BB = 6,3 mg/100 gr BB.

3. Membuat ekstrak daun jeruk nipis Ekstrak dibuat dengan metode maserasi dengan pelarut etanol 70 %, pelarut sempurna untuk flavonoid. Ekstrak yang dihasilkan merupakan ekstrak kental.

4. Langkah penelitian

a. Sebelum perlakuan

Setelah diadaptasikan selama 6 hari di tempat percobaan, tikus putih dipuasakan 6 jam sebelum perlakuan. Tikus putih kemudian dibagi menjadi 5 kelompok, masing-masing kelompok terdiri atas 5 ekor tikus putih.

mengetahui temperatur normal kemudian tikus putih disuntik vaksin DPT 0,4 cc intramuskuler. Penentuan ini berdasarkan hasil orientasi dosis pada tikus putih jantan.

Untuk mengetahui berapa derajat peningkatan suhu tubuh setelah penyuntikan vaksin, maka 2 jam setelah dilakukan penyuntikan, suhu rektal tikus putih diukur terlebih dahulu.

b. Pemberian perlakuan

Dua jam setelah pemberian vaksin, masing-masing kelompok mendapat perlakuan sebagai berikut: Kelompok 1 mendapat 2 ml larutan akuabides peroral. Kelompok 2 mendapat larutan asetaminofen peroral. Kelompok 3 mendapat ekstrak daun jeruk nipis dengan dosis 1,26 mg/100 gr BB/2 ml. Kelompok 4 mendapat ekstrak daun jeruk nipis dengan dosis 2,52 mg/100 gr BB/2 ml. Kelompok 5 mendapat ekstrak daun jeruk nipis dengan dosis 5,04 mg/100 gr BB/2 ml.

c. Setelah perlakuan

Tigapuluh menit setelah perlakuan, suhu rektal diukur lagi, sampai percobaan pada menit ke 120 dengan interval 30 menit.

Data ditabulasi dan ditampilkan dalam bentuk grafik. Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis secara statistik dengan uji anova dan uji post hoc. Uji anova adalah uji untuk membandingkan perbedaan rerata suhu pada kelima kelompok, sedangkan uji post hoc adalah uji untuk membandingkan perbedaan mean antara 2 kelompok dengan nilai α = 0,5 (Murti, 1994).

HASIL PENELITIAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian efek antipiretik ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantiifolium L.) dilakukan terhadap 5 kelompok perlakuan, terdiri dari 3 kelompok dengan pemberian ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantiifolium L.) dosis 1,26 mg/100 gr BB/2 ml, dosis 2,52 mg/100 gr BB/2 ml dan dosis 5,04 mg/100 gr BB/2 ml. Satu kelompok dengan pemberian 2 ml larutan akuabides peroral sebagai kontrol negatif dan satu kelompok dengan pemberian larutan asetaminofen peroral sebagai kontrol positif. Pengamatan dilakukan sebanyak 6 kali. Pengamatan pertama dilakukan sebelum eksperimen untuk mengetahui suhu normal tikus putih. Pengamatan kedua dilakukan 2 jam setelah pemberian vaksin DPT 0,4 cc untuk mengetahui peningkatan suhu. Empat pengamatan yang lain adalah pengukuran suhu untuk mengetahui efek perlakuan yang dilakukan 30 menit, 60 menit, 90 menit dan 120 menit setelah perlakuan.

Tabel 1 berikut adalah hasil pengamatan suhu tubuh tikus putih untuk mengetahui perbandingan efek antipiretik ekstrak daun jeruk nipis dengan 3 macam dosis dan dua jenis kontrol yaitu larutan akuabides dan asetaminofen.

dalam 6 Kali Pengamatan

No Suhu Awal

Suhu 2 Jam

Setelah Vaksinasi

Suhu Setelah Perlakuan

30 menit

60 menit

90 menit 120 menit

V 36,233 ± 0,408 37,517 ± 0,426 37,833 ± 0,480 37,900 ± 0,390 37,483 ± 0,293 36,883 ± 0,556 Sumber: Data primer, 2011

Keterangan :

I = Kelompok kontrol negatif diberi 2 ml larutan akuabides peroral

II = Kelompok kontrol positif diberi larutan asetaminofen peroral

III = Kelompok perlakuan pemberian ekstrak daun jeruk nipis dosis 1,26 mg/100 gr BB/2 ml

IV = Kelompok perlakuan pemberian ekstrak daun jeruk nipis dosis 2,52 mg/100 gr BB/2 ml

V = Kelompok perlakuan pemberian ekstrak daun jeruk nipis dosis 5,04 mg/100 gr BB/2 ml Untuk melihat dan membandingkan rerata suhu tubuh dalam 6 pengamatan pada masing-masing kelompok akan lebih jelas bila dilihat pada Gambar 8 berikut.

Suhu Awal Suhu 2 jam

Setelah Vaksinasi

Suhu 30

menit Setelah Perlakuan

Suhu 60

menit Setelah Perlakuan

Suhu 90

menit Setelah Perlakuan

Suhu 120

menit Setelah Perlakuan

Kontrol Negatif Kontrol Positif Dosis 1 Dosis 2 Dosis 3

Gambar 8. Grafik Rerata Suhu Tubuh (dalam 0 C) Tikus Putih pada

Berbagai Perlakuan dalam 6 Kali Pengamatan

Berdasarkan Gambar 8 diketahui perubahan suhu tubuh tikus putih dalam 6 waktu pengamatan. Kelompok tikus putih yang mendapat perlakuan kontrol negatif (diberi 2 ml larutan akuabides peroral) mengalami peningkatan suhu tubuh sejak awal (kondisi normal sebelum eksperimen) hingga pengamatan terakhir (120 menit setelah perlakuan). Adapun 4 kelompok tikus putih yang lain secara umum tampak mengalami peningkatan suhu tubuh dari awal hingga 30 dan 60 menit setelah perlakuan. Setelah itu penurunan suhu tubuh mulai tampak pada menit ke- 90 dan kemudian 120 menit setelah perlakuan.

Data pengamatan terakhir suhu tubuh (120 menit setelah perlakuan) selanjutnya dianalisis dengan anova untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan Data pengamatan terakhir suhu tubuh (120 menit setelah perlakuan) selanjutnya dianalisis dengan anova untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan

B. Analisis Data

Uji Anova dilakukan untuk membandingkan rerata suhu tubuh antar 5 perlakuan. Anova merupakan metode komparasi parametrik yang mensyaratkan asumsi normalitas dan homogenitas variansi. Uji normalitas dilakukan terhadap data pada masing-masing kelompok sedangkan uji homogenitas variansi dilakukan terhadap variansi antarkelompok. Hasil uji normalitas disajikan pada Tabel 2 berikut. Tabel 2. Hasil Uji Normalitas Data Suhu Menit ke-120

Kelompok

Nilai p

Kontrol Negatif Kontrol Positif Dosis 1 Dosis 2 Dosis 3

Berdasarkan Tabel 2 diperoleh hasil uji normalitas dengan menggunakan metode Shapiro-Wilk. Metode ini dipilih karena ukuran sampel yang sangat kecil (n = 6). Shapiro-Wilk biasanya digunakan pada ukuran sampel kecil (n < 25). Terlihat bahwa pengujian terhadap data 5 kelompok Berdasarkan Tabel 2 diperoleh hasil uji normalitas dengan menggunakan metode Shapiro-Wilk. Metode ini dipilih karena ukuran sampel yang sangat kecil (n = 6). Shapiro-Wilk biasanya digunakan pada ukuran sampel kecil (n < 25). Terlihat bahwa pengujian terhadap data 5 kelompok

Dengan terpenuhinya syarat normalitas dan homogenitas variansi maka dapat dilakukan analisis dengan anova kemudian dilanjutkan dengan post hoc test menggunakan teknik Least Significant Different (LSD) bila hasil anova menunjukkan perbedaan yang bermakna.

Hasil uji anova data suhu pada menit ke-120 memberikan nilai p < 0,05 (Lampiran 2b) sehingga H 0 ditolak atau H a diterima. Dengan demikian disimpulkan bahwa terdapat perbedaan suhu tubuh yang bermakna antar kelompok pada 120 menit setelah perlakuan. Maka dilanjutkan dengan post hoc test , dan hasilnya disajikan pada Tabel 3 berikut.

* terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik (p < 0,05)

Berdasarkan Tabel 3 diketahui hasil perbandingan antar dua perlakuan dari 5 perlakuan dalam eksperimen. Kelompok dengan perlakuan kontrol negatif (diberi larutan akuabides) adalah satu-satunya kelompok yang berbeda signifikan dengan 4 kelompok lainnya (p < 0,05). Dosis 1 berbeda secara bermakna dengan dosis 2 dan 3. Dosis 2 dan 3 tidak ada perbedaan rerata suhu yang bermakna. Namun demikian, ketiga kelompok yang diberi ekstrak daun jeruk nipis tidak berbeda signifikan dengan kontol positif (p > 0,05).

Perbandingan Kelompok

Perbedaan Rerata Suhu

( 0 C)

Signifikansi

Interval Keyakinan 95% Kontrol Negatif vs Kontrol Positif Kontrol Negatif vs Dosis 1 Kontrol Negatif vs Dosis 2 Kontrol Negatif vs Dosis 3

1,850 1,450 2,083 1,900

0,000 * 0,000 * 0,000 * 0,000 *

1,400 - 2,300 1,000 - 1,900 1,633 - 2,534 1,450 - 2,350

Kontrol Positif vs Dosis 1 Kontrol Positif vs Dosis 2 Kontrol Positif vs Dosis 3

0,400 0,233 0,050

0,079 0,296 0,821

-0,850 - 0,500 -0,217 - 0,684 -0,400 - 0,500

Dosis 1 vs Dosis 2 Dosis 1 vs Dosis 3

0,183 - 1,084 0,000 - 0,900

Dosis 2 vs Dosis 3

0,183

0,410

-0,634 - 0,267

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pengukuran suhu rektal tikus putih, suhu awal pada semua kelompok tampak relatif sama. Setelah dilakukan induksi demam dengan vaksin DPT, suhu meningkat pada setiap kelompok. Hal tersebut mendukung teori

bahwa pemberian vaksin DPT dapat menimbulkan demam. Menurut Tumbelaka

dan Hadinegoro (2005), vaksin DPT terdiri atas kuman difteri yang dilemahkan atau toksoid difteri (alumprecipitated toxoid), toksoid tetanus dan vaksin pertusis dengan menggunakan fraksi sel (selular) yang berisi komponen spesifik dari Bordettella pertusis. Komponen itulah yang kemudian memicu terjadinya demam.

Hasil pengamatan sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 1 menunjukkan adanya variasi suhu rata-rata pada setiap kelompok setelah diberikan perlakuan. Selain terdapat variasi suhu antarkelompok (yang disebabkan oleh perbedaan perlakuan), juga terdapat variasi dalam masing-masing kelompok.

Variasi dalam suatu kelompok perlakuan menunjukkan adanya faktor endogen masing-masing tikus putih jantan yang bersifat individual terhadap agen pencetus demam dan banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor non fisik dan lingkungan. Stres pada tikus karena pengukuran suhu rektal yang berulang-ulang mungkin merupakan salah satu faktor pengganggu yang menyebabkan kenaikan suhu tikus.

Menurut Aiache (1993), variasi suhu hasil pengukuran dapat dimengerti karena terdapat keragaman kepekaan setiap hewan uji yang merupakan akibat dari

Penurunan efek obat mungkin merupakan akibat dari penyerapan yang jelek pada saluran cerna, pembuluh darah atau peningkatan ekskresi melalui ginjal.

Sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 8, suhu meningkat dengan signifikan dari pengamatan awal hingga 2 jam setelah pemberian vaksin DPT. Secara umum, peningkatan suhu terus terjadi hingga pengamatan keempat yaitu pada menit ke-60 setelah perlakuan, meskipun tidak sedrastis sebelum diberi perlakuan. Peningkatan ini mungkin karena efek antipiretik kelompok perlakuan belum bekerja dan atau efek pirogen dari vaksin DPT masih bekerja lebih dominan. Efek antipiretik mulai terlihat pada pengamatan kelima yaitu pada 90 menit setelah perlakuan. Suhu terus mengalami penurunan hingga pengamatan terakhir yaitu menit ke-120 setelah perlakuan. Analisis variasi suhu (anova) dilakukan dengan data pengamatan terakhir ini.

Pada kelompok perlakuan yang diberi asetaminofen, penurunan suhu sudah mulai tampak pada menit ke-60 namun sangat kecil, baru pada menit ke-90 terjadi penurunan suhu yang cukup bermakna. Hal ini sesuai menurut Ganiswara (2003), bahwa kadar puncak parasetamol dalam plasma darah dicapai dalam waktu 60-90 menit.

Pada kelompok perlakuan yang diberi larutan akuabides, kenaikan suhu terjadi sejak sebelum diberi vaksin DPT hingga pengamatan terakhir. Berarti pada penelitian ini akuabides dianggap tidak memiliki efek antipiretik dan digunakan sebagai kontrol negatif.

bermakna antarlima kelompok perlakuan. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antarkelompok pada akhir waktu penelitian (menit ke-120). Selanjutnya, letak perbedaan diketahui berdasarkan uji lanjut setelah anova, yaitu post hoc test. Maka terlihat bahwa perbedaannya terletak pada suhu kelompok kontrol negatif dengan empat kelompok yang lain. Apabila dibandingkan satu persatu memang ada beberapa yang menunjukkan perbedaan signifikan, namun secara keseluruhan hasil penelitian ini menunjukkan ekuipotensi (daya antipiretik yang setara/sebanding) antara ketiga dosis ekstrak daun jeruk nipis dengan asetaminofen.

Perbedaan yang signifikan terlihat antara kelompok yang diberi ekstrak daun jeruk nipis dosis 1 dengan dosis 2, di mana dosis 2 lebih efektif dalam menghasilkan efek antipiretik dibandingkan dosis 1. Hal tersebut mungkin disebabkan perlakuan dengan dosis 1 masih belum optimal, sehingga reseptor- reseptor dari tubuh belum semua terikat. Selain itu, teknik pemberian peroral yang kurang tepat, daya serap obat peroral yang lambat dan terhambatnya tahapan pada penyerapan obat sampai ke pembuluh darah juga dapat mempengaruhi hasil percobaan.

Hasil uji post hoc menunjukkan bahwa dosis 3 tidak berbeda signifikan baik dengan dosis 2 maupun dosis 1. Dosis 3 adalah perlakuan yang memberikan hasil paling mirip dengan asetaminofen. Pada penelitian ini, dosis 2 yaitu 2,52 mg/100 gr BB dapat dikatakan sebagai dosis yang memberikan hasil optimal, karena memberikan rerata suhu yang paling mendekati normal. Dan secara umum,

(36,5 o C-37,2 o C), kecuali kelompok kontrol negatif. Adanya efek antipiretik tersebut mungkin disebabkan kandungan senyawa flavonoid dalam daun jeruk nipis. Menurut Robinson (1995), flavonoid dapat

menghambat enzim siklooksigenase khususnya siklooksigenase-2 yang berperan dalam biosintesis prostaglandin sehingga demam terhambat.

Hasil penelitian ini juga mendukung penelitian sebelumnya yang membuktikan bahwa tanaman yang mengandung flavonoid memiliki efek antipiretik seperti tanaman bayam duri (Kumar et.al., 2009), semak bunga putih (Owoyele et.al., 2008), umbi bawang merah (Setiyawan, 2005) dan brotowali (Ernitawati, 2004).

Pada penelitian tidak terlihat adanya efek samping ekstrak daun jeruk nipis terhadap tikus percobaan. Meskipun daun jeruk nipis bersifat asam, tidak ada tikus yang mengalami diare atau muntah, kemungkinan karena dosisnya sudah tepat. Keterbatasan penelitian ini adalah tidak dilakukan randomisasi (pembagian kelompok secara acak).

SIMPULAN DAN SARAN