Pengaruh Sikap Konsumen Pada Niat Beli Produk Bajakan

Pengaruh Sikap Konsumen Pada Niat Beli Produk Bajakan

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta

Disusun Oleh : MAHENDRA DWI PUTRA F0207085 FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pembajakan terhadap karya cipta dan hak kekayaan intelektual (HKI) merupakan masalah yang signifikan dan akan terus berkembang di seluruh dunia, terjadi baik di negara maju maupun di negara berkembang. Porsi yang terbesar pembajakan tersebut ada di Asia (Callan, 1998 dalam Hidayat dan Mizerski,

2005 ) . Asia merupakan negara dengan presentase terbesar porsi pembajakannya, yaitu sebesar 66% di dunia (Bush et al., 1989 dalam Hidayat dan Mizerski, 2005 ) . Indonesia juga merupakan salah satu negara berkembang yang ada di Asia dengan angka pembajakan yang sangat besar yang populasi dan kemampuan belinya terus meningkat dengan cepat untuk kategori produk yang dilindungi (World Bank 1995).

Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk menangkal pembajakan tersebut. Pemerintah telah memberlakukan berbagai macam peraturan yang melindungi HKI dan kesungguhan memberikan sangsi kepada pelaku pelanggran HKI tersebut. Pemberlakuan hukum yang berkaitan dengan HKI tersebut tidak standar satu dengan lainnya, sehingga pemberlakuan penegakan hukum juga berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Oleh karena itu, banyak konsumen yang sengaja membeli produk produk bajakan dengan sadar karena ketidakstandaran tersebut (Hidayat dan Mizerski, 2005 ).

Pembajakan hak kekayaan intelektual di bidang hak cipta sangat memprihatinkan, terutama pembajakan atas karya cipta di bidang musik, film

CD, VCD, DVD dari tahun ke tahun makin marak dan berkembang (Hidayat dan Mizerski, 2005)

Maraknya pembajakan ini selain dipengaruhi niat berperilaku (behavioral intention ) juga dipengaruhi oleh sikap (attitude) masyarakat itu sendiri. Sikap tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain : harga, kualitas barang, resiko pembelian, dll. Kondisi seperti inilah yang menjadi landasan kuat bagi para pelaku pembajakan untuk membuat produk-produk bajakan yang diminati dan dibutuhkan oleh masyarakat dengan harga yang murah dan kualitas yang tidak kalah baik dengan yang produk asli. Oleh karena itu, peneliti tertarik meneliti fenomena tersebut dengan model penelitian yang dapat menjelaskannya pada setting yang di amati.

Model yang dikembangkan dalam penelitian ini bertumpu pada delapan variabel amatan yaitu price quality, perceive dan risk averseness, integrity, personal gratification, subjective norm, previous experience, dan behavioral intention . Pemilihan variabel tersebut didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Matos, Ituassu, dan Rossi, (2007). Dengan demikian, melalui cara ini diharapkan model yang dikembangkan memiliki daya prediksi yang tinggi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi sikap konsumen terhadap niat beli produk bajakan. Berikut ini adalah penjelasan terkait pengertian dari masing- masing variabel amatan.

Menurut Huang et al., (2004) (dalam Matos, Ituassu, dan Rossi, 2007), price quality merupakan variabel yang berkaitan dengan cara pandang konsumen dalam melihat produk apakah palsu atau asli dari segi harganya. Variabel ini penting Menurut Huang et al., (2004) (dalam Matos, Ituassu, dan Rossi, 2007), price quality merupakan variabel yang berkaitan dengan cara pandang konsumen dalam melihat produk apakah palsu atau asli dari segi harganya. Variabel ini penting

Selanjutnya, risk averseness didefinisikan sebagai kecenderungan seseorang untuk menghindari risiko yang akan ditangung bila membeli produk bajakan (Bonoma dan Johnston, 1979). Menurut Zinkhan dan Karande, (1990) (dalam Matos, Ituassu, dan Rossi, 2007) secara umum , risk averseness dianggap sebagai variabel kepribadian. Variabel ini diposisikan sebagai variabel independen untuk menjelaskan bahwa risk averseness berpengaruh pada attitude terhadap produk bajakan (Matos, Ituassu, dan Rossi, 2007). Kajian literatur menyatakan bahwa kaitan antara risk averseness dengan variabel attitude diproposisikan berhubungan negatif. Hal ini menjelaskan bahwa semakin tinggi risk averseness, maka semakin negatif sikapnya pada produk bajakan.

Ketiga, perceive risk merupakan variabel yang berkaitan dengan rasa ketidak- pastian yang dirasakan seseorang mengenai resiko yang akan diperoleh ketika membeli produk bajakan. Perceive risk ini juga dianggap sebagai variabel kepribadian (Zinkhan dan Karande, 1990 dalam Matos, Ituassu, dan Rossi, 2007). Variable ini juga berpotensi berpengaruh pada attitude (Matos, Ituassu, dan Rossi, 2007). Kajian literatur mengindikasi perceive risk berpengaruh negatif pada attitude. Hal ini menjelaskan bahwa semakin tinggi perceive risk, maka semakin negatif sikapnya pada produk bajakan.

aturan yang berlaku, nilai-nilai dan juga kode etik. Ang et al., (2001) menerangkan bahwa orang yang integritasnya rendah diharapkan akan merasa tidak bersalah ketika mereka membeli produk bajakan. Variabel ini juga diposisikan sebagai variabel independen (Matos, Ituassu, dan Rossi, 2007). Kaitan antara variabel integrity dan attitude diproposisikan berhubungan negatif. Kajian literatur menjelaskan bahwa semakin tinggi integrity, maka semakin negatif sikapnya pada produk bajakan.

Personal gratification menurut Ang et al., (2001) merupakan kebutuhan seseorang yang berkaitan dengan rasa prestasi, pengakuan sosial, dan menikmati hal-hal dalam hidup. Menurut Matos, Ituassu, dan Rossi, (2007) variabel ini berpotensi berpengaruh pada attitude dan mengindikasi berpengaruh positif pada attitude. Hal ini menjelaskan bahwa semakin tinggi personal gratification, maka semakin positif sikapnya pada produk bajakan

Keenam, subjective norm merupakan faktor sosial yang berkaitan pada tekanan sosial seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (Ajzen, 1991). Matos, Ituassu, dan Rossi, (2007) menyatakan bahwa kaitan antara personal gratification dengan variabel attitude diproposisikan berhubungan positif. Hal ini menjelaskan bahwa semakin tinggi personal gratification, maka semakin baik sikapnya pada produk bajakan.

Selanjutnya, Ajzen dan Fishbein, (1980) (dalam Matos, Ituassu, dan Rossi, 2007) menjelaskan bahwa previous experience merupakan pengalaman masa lalu seseorang, apakah seseorang itu pernah membeli produk bajakan atau belum. Kaitan antara variabel previous experience, attitude, dan behavioral intention Selanjutnya, Ajzen dan Fishbein, (1980) (dalam Matos, Ituassu, dan Rossi, 2007) menjelaskan bahwa previous experience merupakan pengalaman masa lalu seseorang, apakah seseorang itu pernah membeli produk bajakan atau belum. Kaitan antara variabel previous experience, attitude, dan behavioral intention

Behavioral intention merupakan variabel dependen pada penelitian ini. Behavioral intention ini berakhir pada action (purchasing, repurchase, dll). Kaitan antara attitude dengan variabel behavioral intention diproposisikan berhubungan positif (Matos, Ituassu, dan Rossi, 2007). Hal ini menjelaskan bahwa jika seseorang memiliki sikap baik (favorable) pada produk bajakan, maka behavioral intention orang tersebut akan baik juga.

Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah produk CD, VCD dan DVD bajakan. Produk tersebut dijadikan objek penelitian karena sekarang ini semakin marak pembajakan pada kategori produk tersebut (Hidayah, 2008), terbukti dengan semakin mudah masyarakat memperoleh CD, VCD, dan DVD bajakan di berbagai lokasi, baik di lokasi bisnis ataupun pusat keramaian di berbagai kota, termasuk di Surakarta, Bandung, Batam, Semarang, dan Surabaya. ( http://majalah.tempointeraktif.com , 1 Mei 2011, 10.00 am)

Subjek penelitian ini adalah mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS). Pada kategori produk CD, VCD, dan DVD bajakan ini Mahasiswa merupakan segmen pasarnya paling besar. Selain faktor tersebut menurut Hurlock, (1980) (dalam Retnaningsih, Utami, dan Muflikhati, 2010), mahasiswa termasuk usia yang memasuki kriteria remaja akhir dan masa dewasa awal, yaitu menunjukkan usia antara 17 tahun hingga 23 tahun. Dimana dalam penelitian Retnaningsih, Utami, Muflikhati (2010) mengatakan bahwa hampir dari seluruh Subjek penelitian ini adalah mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS). Pada kategori produk CD, VCD, dan DVD bajakan ini Mahasiswa merupakan segmen pasarnya paling besar. Selain faktor tersebut menurut Hurlock, (1980) (dalam Retnaningsih, Utami, dan Muflikhati, 2010), mahasiswa termasuk usia yang memasuki kriteria remaja akhir dan masa dewasa awal, yaitu menunjukkan usia antara 17 tahun hingga 23 tahun. Dimana dalam penelitian Retnaningsih, Utami, Muflikhati (2010) mengatakan bahwa hampir dari seluruh

Penelitian yang dilakukan oleh Matos, Ituassu, dan Rossi, (2007) memberikan kontribusi pada literatur yang ada dengan memperluas dan menguji pendahulunya yaitu sikap konsumen terhadap pembajakan. Sikap tersebut bertindak sebagai mediator dalam hubungan antara pertimbangan konstruksi dan niat berperilaku. Penelitian tersebut menyarankan untuk penelitian yang akan datang, yaitu, penelitian akan datang diharapkan dapat menguji model dalam kategori produk yang berbeda (misalnya CD, DVD, pakaian, mainan dll) dan meneliti kemungkinan perbedaan pada produk tersebut. Saran yang diberikan peneliti sebelumnya tersebut akan ditindaklanjuti dengan melakukan penelitian ulang yang menggunakan variabel serupa tetapi lebih khusus terhadap pembajakan CD, VCD dan DVD dengan menggunakan responden Mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui, apakah dengan menggunakan responden mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta dan menggunakan variabel sikap terhadap produk bajakan dalam hal ini adalah CD, VCD dan DVD bajakan, hasil yang diperoleh akan sama dengan penelitian yang dilakukan Matos, Ituassu, dan Rossi, (2007)

Pemaparan latar belakang dan berbagai fenomena yang diambil dan berkaitan dengan masalah diatas, maka penelitian ini mengambil judul “Pengaruh Sikap

Konsumen Pada Niat Beli Produk Bajakan”

B. RUMUSAN MASALAH

Fenomena pertama yang akan dijelaskan adalah mengenai kualitas harga. Menurut Ordonez, (1998) (dalam Huang, Lee, dan Ho, 2005) kepercayaan mengenai pengaruh harga (harga tinggi, memiliki kualitas tinggi, sedangkan harga rendah memiliki kualitas rendah) merupakan variabel yang penting dalam pricing theory dan untuk menentukan perilaku konsumen. Konsumen cenderung membedakan produk bajakan itu dari segi harga dan resiko. Konstruksi harga dan risiko ini merupakan faktor penting yang berhubungan dengan sikap terhadap pembajakan (Huang et al., 2004 dalam Matos, Ituassu, dan Rossi, 2007). Studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa perbedaan harga adalah variabel penting ketika memilih produk bajakan (Cespedes et al., 1988; Cordell et al., 1996). Maka rumusan masalah yang pertama adalah :

Apakah price quality berpengaruh pada attitude ?

Fenomena kedua yang dijelaskan adalah kecenderungan untuk menghindari risiko dan resiko yang mungkin diterima, secara umum kedua variabel ini dianggap sebagai variabel kepribadian (Bonoma dan Johnston, 1979). Variabel ini merupakan sifat psikologis konsumen dimana percieve dan risk aversness merupakan karakteristik penting untuk membedakan antara buyers dan nonbuyers pada sebuah kategori produk, terutama produk yang berisiko. Maka rumusan masalah yang kedua adalah :

Apakah risk averseness berpengaruh pada attitude?

Sebaliknya jika mengenai resiko yang mungkin diterima, maka rumusan masalah yang ketiga adalah

Apakah perceive risk berpengaruh pada attitude? Apakah perceive risk berpengaruh pada attitude?

Apakah integrity berpengaruh pada attitude? Fenomena kelima yang dijelaskan yaitu Personal gratification hal ini

bersangkutan terhadap kebutuhan rasa prestasi, pengakuan sosial, dan menikmati hal-hal dalam hidup (Ang et al., 2001). Ada hasil yang bertentangan dalam aspek ini dalam literatur Bloch et al., (1993) menyebutkan bahwa konsumen yang memilih produk bajakan, melihat diri mereka kurang kaya secara finansial, serta kurang percaya diri, kurang berhasil dan memiliki status lebih rendah, di sisi lain, hasil yang ditemukan oleh Ang et al., (2001) tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan antara kepuasan pribadi pada sikap konsumen terhadap produk bajakan. maka rumusan masalah yang kelima adalah

Apakah personal gratification berpengaruh pada attitude?

Fenomena keenam yang dijelaskan yaitu norma subjektif. Fenomena ini berkaitan dengan faktor sosial yang merujuk pada tekanan sosial untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (Ajzen, 1991). Konsumen mendapat informasi sebelum membeli suatu produk, ketika keahlian dari orang lain mempengaruhi mereka dalam menentukan pilihan (misalnya ketika seseorang tidak mengetahui kategori produk) dan juga ketika mereka lebih tertarik untuk membuat kesan yang baik kepada orang lain (Bearden et al., 1989). Jadi pada penelitian ini teman dan Fenomena keenam yang dijelaskan yaitu norma subjektif. Fenomena ini berkaitan dengan faktor sosial yang merujuk pada tekanan sosial untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (Ajzen, 1991). Konsumen mendapat informasi sebelum membeli suatu produk, ketika keahlian dari orang lain mempengaruhi mereka dalam menentukan pilihan (misalnya ketika seseorang tidak mengetahui kategori produk) dan juga ketika mereka lebih tertarik untuk membuat kesan yang baik kepada orang lain (Bearden et al., 1989). Jadi pada penelitian ini teman dan

Apakah subjective norm berpengaruh pada attitude?

Fenomena keenam yang dijelaskan yaitu pengalaman masa lalu yang pernah konsumen rasakan. Konsumen yang pernah melakukan pembelian terhadap produk bajakan akan memiliki sikap dan niat yang berbeda terhadap produk bajakan jika dibandingkan konsumen yang belum pernah membeli. Maka rumusan masalah yang ketujuh dan kedelapan adalah

Apakah previous experience berpengaruh pada attitude? Apakah previous experience berpengaruh pada behavioral intention? Fenomena ketujuh yang dijelaskan yaitu niat berperilaku. Konsumen yang

memiliki sikap yang berbeda-beda terhadap pembajakan akan memiliki niat berperilaku yang berbeda pula. Maka rumusan masalah yang kesembilan adalah

Apakah attitude berpengaruh pada behavioral intention?

C. TUJUAN PENELITIAN

Studi ini bertujuan untuk menguji model kausal yang diharapkan mampu menjelaskan hubungan pengaruh antara sikap terhadap produk bajakan terhadap inferensi kualitas harga, penolakan dan penerimaan terhadap resiko, integritas, gratifikasi personal, norma subjektif, pengalaman masa lalu, dan niat berperilaku Secara spesifik, studi ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis pengaruh price quality pada attitude terhadap produk bajakan?

2. Menganalisis pengaruh risk averseness pada attitude terhadap produk bajakan?

3. Menganalisis pengaruh perceive risk pada attitude terhadap produk bajakan?

4. Menganalisis pengaruh integrity pada attitude terhadap produk bajakan?

5. Menjelaskan pengaruh personal ggratification pada attitude terhadap produk bajakan?

6. Menganalisis pengaruh subjective norm pada attitude terhadap produk bajakan?

7. Menganalisis pengaruh previous experience pada attitude terhadap produk bajakan?

8. Menganalisis pengaruh previous experience pada behavioral intention terhadap produk bajakan?

9. Menganalisis pengaruh attitude pada behavioral intention terhadap produk bajakan?

D. BATASAN PENELITIAN

1. Obyek penelitian ini hanya terbatas pada produk CD, VCD, dan DVD bajakan. Obyek penelitian yang dipilih didasarkan pertimbangan mengenai keseragaman (homogenitas) obyek yang akan diteliti. Hal ini dimaksudkan agar model yang diuji dapat menjelaskan fenomena dengan baik.

2. Subyek penelitian ini terbatas pada Mahasiswa Strata Satu (S1) karena Mahasiswa merupakan konsumen yang potensial dan juga menjadi target pasar pada kategori produk bajakan tersebut sehingga diharapkan dapat menjelaskan fenomena yang baik.

3. Lokasi penelitian ini terbatas pada Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, karena subjek yang diteliti adalah mahasiswa sehingga peneliti memilih universitas sebelas maret sebagai lokasi penelitian

4. Penelitian ini hanya berfokus pada sikap masyarakat khususnya mahasiswa terhadap produk bajakan.

5. Penelitian ini hanya meneliti pengaruh variabel price quality, perceive and risk averseness, integrity, personal gratification, subjective norm, previous experience terhadap attitude ¸dan juga pengaruh previous experience dan attitude terhadap behavioral intention (Matos, Ituassu, dan Rossi, 2007)

E. MANFAAT PENELITIAN

Suatu penelitian akan mempunyai nilai apabila penelitian tersebut mampu memberikan manfaat kepada berbagai pihak. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi Akademisi Penelitian ini diharapkan mampu menjadi bahan referensi bagi penelitian- penelitian berikutnya dan diharapkan penelitian berikutnya mampu memperbaiki dan menyempurnakan kelemahan dalam penelitian ini.

2. Bagi Praktisi Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan informasi yang lebih jelas mengenai sikap yang mempengaruhi niat berperilaku konsumen terhadap CD, VCD dan DVD bajakan. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi pemasar untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi niat beli konsumen pada produk bajakan. Dengan demikian, pemasar dapat merencanakan strategi-strategi pemasaran dan melakukan upaya-upaya pemasaran yang tepat untuk membuat kebijakan strategis untuk mengatasi semakin berkembangnya masalah pembajakan tersebut.

BAB II TELAAH PUSTAKA

Pembahasan pada bab ini bertujuan untuk menguraikan tinjauan pustaka yang memuat teori-teori relevan dan mendukung analisis serta pemecahan masalah yang terdapat dalam penelitian ini. Dalam bab ini juga diuraikan penelitian-penelitian terdahulu, kerangka pemikiran dan hipotesis yang digunakan.

A. TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Behavioral Intention

Behavioral intention adalah isu utama yang digunakan dalam penelitian ini. Banyak sekali keragaman mengenai pengertian behavioral intention dari penelitian terdahulu sehingga perlu penjelasan pembatasan yang lebih spesifik mengenai isu utama ini. Pembatasan spesifik ini bertujuan untuk mendapatkan persamaan pemahaman mengenai behavioral intention .

Peter dan Olson, (1990) (dalam Japarianto, 2006) menjelaskan bahwa behavioral intention terjadi melalui suatu pilihan atau proses pengambilan keputusan, dimana kepercayaan mengenai dua tipe konsekuensi dan norma subyektif yang dipertimbangkan dan diintegrasikan sehingga dapat digunakan untuk mengevaluasi alternatif perilaku. Pendapat lain dikemukakan oleh Olloruniwo et al. (2006) (dalam Japarianto, 2006), behavioral intention diartikan sebagai pengukuran perilaku dalam bentuk pembelian kembali, word of mouth, loyalitas, complaining behavior , dan kesensitifan terhadap harga. Ajzen ( 1991) mengartikan behavioral intention merupakan sebuah fungsi dari attitude

digunakan untuk memprediksi actual behavior. Sedangkan pengertian lain menjelaskan bahwa behavioral intention adalah suatu indikasi bagaimana orang-orang akan sulit mencoba tentang berapa banyak suatu usaha yang mereka rencanakan untuk digunakan dalam rangka melaksanakan perilaku itu, yang dipengaruhi oleh tiga komponen: sikap orang melakukan ke arah perilaku itu, tekanan sosial yang dirasa, hubungan norma yang disebut dan kendali tingkah laku (www-nix.oit. umass.edu/~aizen, 1 juli 2011, 10.30 am). Berdasarkan teori tersebut, disimpulkan bahwa behavioral intention adalah suatu indikasi mengenai bagaimana kesediaan orang untuk mencoba dan seberapa banyak usaha yang mereka rencanakan untuk dilakukan dalam upaya menunjukan perilakunya (Japarianto, 2006).

2. Pengertian Kualitas Harga (Price Quality)

Harga menurut Kotler dan Amstrong (2001:439) didefinisikan sebagai sejumlah uang yang dibebankan atas suatu produk, atau jumlah dari nilai yang ditukar konsumen atas manfaat-manfaat karena memiliki atau menggunakan produk tersebut. Harga merupakan salah satu bagian yang sangat penting dalam pemasaran suatu produk karena harga adalah satu dari empat bauran pemasaran / marketing mix (4P = product, price, place, promotion / produk, harga, distribusi, promosi).

Studi yang terdahulu menunjukkan bahwa perbedaan harga merupakan variabel yang penting ketika memilih suatu produk bajakan (Cespedes et al., 1988; Cordell et al., 1996). Tingkat kualitas harga Studi yang terdahulu menunjukkan bahwa perbedaan harga merupakan variabel yang penting ketika memilih suatu produk bajakan (Cespedes et al., 1988; Cordell et al., 1996). Tingkat kualitas harga

Huang et al., (2004) (dalam Matos, Ituassu, dan Rossi, 2007) menerangkan bahwa pembajakan biasanya dijual dengan harga yang lebih rendah. Semakin besar hubungan kualitas harga (price quality) untuk konsumen, menyebabkan lebih rendahnya persepsi mereka (konsumen) terhadap kualitas produk bajakan.

3. Pengertian Risk Averseness dan Perceived Risk dalam Pembelian Produk Bajakan

Risk averseness didefinisikan sebagai kecenderungan untuk menghindari risiko dan secara umum dianggap sebagai variabel kepribadian (Bonoma dan Johnston, 1979). Risk averseness ini merupakan sifat psikologis konsumen dimana merupakan karakteristik penting untuk membedakan antara buyers dan non buyers pada sebuah kategori produk, terutama yang memiliki risiko (Donthu dan Garcia, 1999 dalam Matos, Ituassu, dan Rossi, 2007). Pada penelitian ini buyers cenderung tidak menganggap resiko sebagai sesuatu hal yang besar sedangkan non buyers cenderung menghindari resiko yang mungkin terjadi.

pada saat mereka tidak dapat meramalkan konsekuensi dalam memutuskan untuk membeli sesuatu khususnya produk bajakan. Pengertian ini menyoroti dua dimensi relevan dari perceive risk, yaitu ketidakpastian dan konsekuensi (Schiffman dan Kanuk, 1991).

Konsep dari perceive risk ini lebih sering digunakan dalam literatur pemasaran yang berarti risiko. Sedangkan menurut persepsi konsumen berarti ketidakpastian dan konsekuensi yang merugikan dari membeli produk atau jasa (Dowling dan Staelin, 1994). Oleh karena itu, konsumen menilai kemungkinan masalah yang terjadi yang akan menjadi konsekuensinya. Masalah dan penilaian ini akan mempengaruhi setiap tahap konsumen dalam proses pengambilan keputusan. Adapun tipe tipe perceive risk menurut Schiffman dan Kanuk, (1991):

a. Functional risk (resiko fungsional) adalah suatu resiko dimana fungsi produk tidak sesuai dengan fungsi yang diharapkan

b. Physical risk (resiko fisik) adalah suatu resiko jika suatu produk berakibat buruk bagi fisik seseorang

c. Financial risk (resiko finansial) adalah suatu resiko jika produk yang dibeli tidaqk sesuai dengtan harganya

d. Social risk (resiko sosial) adalah resiko yang disebabkan suatu produk yang dipilih membuat keadaan tidak lebih baik atau membuat malu didepan umum

e. Psychological risk (resiko psikologi) adalah resiko jika suatu produk tidak sesuai keinginan hati.

mencari suatu produk terbuang percuma, karena produk tersebut tidak sesuai yang diharapkan.

Jika konsumen mengalami berbagai resiko yang telah dipaparkan tersebut dan ingin mengatasinya, maka cara konsumen untuk mengatasi resiko (kerugian) tersebut adalah dengan mencari informasi, setia pada merek tertentu, membeli produk yang bermerek terkenal, membeli produk dari toko yang bereputasi baik, membeli produk yang sama mahalnya, dan mencari produk sesuai keinginan hati.

4. Pengertian Integrity

Integritas (integrity) adalah bertindak konsisten sesuai dengan nilai-nilai dan kebijakan organisasi serta kode etik, walaupun dalam keadaan yang sulit untuk melakukannya. Dengan kata lain, “satunya kata dengan perbuatan”. Yaitu dengan cara mengkomunikasikan maksud, ide dan perasaan secara terbuka, jujur dan langsung sekalipun dalam negosiasi yang sulit dengan pihak lain ( www.bumihastamukti.com , 3 juni 2011,

09.04 am)

Konsumen yang membeli produk bajakan bukan merupakan tindakan pidana, tetapi partisipasi konsumen dalam transaksi bajakan itulah yang mendukung aktivitas ilegal (penjualan). Penelitian Cordell et al., (1996) menunjukkan bahwa keinginan konsumen untuk membeli produk yang bajakan berkaitan negatif dengan sikap terhadap keabsahan. Dalam pengertian ini, konsumen yang memiliki standar etika yang lebih Konsumen yang membeli produk bajakan bukan merupakan tindakan pidana, tetapi partisipasi konsumen dalam transaksi bajakan itulah yang mendukung aktivitas ilegal (penjualan). Penelitian Cordell et al., (1996) menunjukkan bahwa keinginan konsumen untuk membeli produk yang bajakan berkaitan negatif dengan sikap terhadap keabsahan. Dalam pengertian ini, konsumen yang memiliki standar etika yang lebih

a. Memahami dan mengenali perilaku sesuai kode etik

Dalam memahami dan mengenali perilaku, harus melakukan beberapa hal diantaranya, 1) Mengikuti kode etik yang berlaku sesuai dengan profesi dan peraturan perusahaan. 2) Jujur dalam menggunakan dan mengelola sumber daya di dalam lingkup atau sesuai dengan otoritasnya.3) Meluangkan waktu untuk memastikan bahwa apa yang dilakukan itu tidak melanggar kode etik.

b. Melakukan tindakan yang konsisten dengan nilai (values) dan keyakinannya

Melakukan tindakan yang konsisten dengan nilai dan keyakinan bisa dilakukan dengan berbicara tentang ketidaketisan meskipun hal itu akan menyakiti kolega atau teman dekat dan juga selalu jujur dalam berhubungan dengan pelanggan.

c. Bertindak berdasarkan nilai (values) meskipun sulit untuk melakukan itu

Jika melakukan kesalahan kita harus mengakuinya secara terbuka dan berterus terang walupun dapat merusak hubungan baik antara teman maupun kolega Jika melakukan kesalahan kita harus mengakuinya secara terbuka dan berterus terang walupun dapat merusak hubungan baik antara teman maupun kolega

Mengambil tindakan atas perilaku orang lain yang tidak etis, meskipun ada resiko yang signifikan untuk diri sendiri dan pekerjaan da juga bersedia untuk mundur atau menarik produk/jasa karena praktek bisnis yang tidak etis.

5. Pengertian Personal Gratification (Kepuasan Pribadi)

Gratifikasi adalah reaksi emosional yang menyenangkan dari kebahagiaan sebagai respon atas pemenuhan keinginan atau pemenuhan tujuan seseorang. Seseorang mungkin bangga mengatakan bahwa mereka bersyukur atas tercapainya tujuan atas kerja keras mereka, dan istilah ini biasanya digunakan untuk merujuk kasus-kasus seperti pembajakan ini.

Gratifikasi menyangkut kebutuhan rasa prestasi, pengakuan sosial, dan menikmati hal-hal dalam hidup (Ang et al., 2001). Ada hasil yang bertentangan dalam aspek ini dalam literatur Bloch et al., (1993) menyatakan konsumen memilih produk bajakan, akan melihat diri mereka kurang kaya secara finansial, kurang percaya diri, kurang berhasil dan status lebih rendah, di sisi lain, hasilnya ditemukan oleh Ang et al., (2001) tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan antara kepuasan pribadi pada sikap konsumen terhadap produk bajakan.

Norma subjektif adalah perasaan atau dugaan seseorang terhadap orang-orang yang ada di dalam kehidupannya mengenai apa yang dilakukan atau tidak dilakukan pada perilaku tertentu. Sebagaimana sikap terhadap perilaku, norma subjektif juga dipengaruhi oleh keyakinan. Bedanya adalah apabila sikap terhadap perilaku merupakan fungsi dari keyakinan terhadap perilaku yang akan dilakukan (behavioral belief) maka norma subjektif adalah fungsi dari keyakinan seseorang ini yang diperoleh atas pandangan orang lain yang berhubungan dengannya (normative belief ).

Norma subjektif merupakan faktor sosial yang merujuk pada tekanan sosial untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku (Ajzen, 1991). Konsumen mendapat informasi, ketika keahlian dari orang lain mempengaruhi mereka dalam menentukan pilihan (misalnya ketika seseorang tidak tahu kategori produk), dan juga, ketika mereka lebih tertarik untuk membuat kesan yang baik kepada orang lain (Bearden et al., 1989). Mengenai pembajakan, teman dan kerabat mungkin bertindak sebagai inhibitor atau kontributor untuk mengkonsumsi, tergantung pada seberapa banyak perilaku ini telah disetujui oleh mereka.

Di dalam kehidupan sehari-hari, hubungan yang dijalin seseorang dapat dikategorikan ke dalam hubungan yang bersifat vertikal dan horizontal. Hubungan vertikal adalah hubungan antara atasan–bawahan; guru–murid; profesor–mahasiswa, atau orang tua– anak. Hubungan horizontal terjadi antara seseorang dengan teman-teman atau orang lain Di dalam kehidupan sehari-hari, hubungan yang dijalin seseorang dapat dikategorikan ke dalam hubungan yang bersifat vertikal dan horizontal. Hubungan vertikal adalah hubungan antara atasan–bawahan; guru–murid; profesor–mahasiswa, atau orang tua– anak. Hubungan horizontal terjadi antara seseorang dengan teman-teman atau orang lain

Norma subjektif mengenai suatu perilaku akan tinggi apabila keyakinan normatif maupun motivasi untuk memenuhi harapan orang- orang yang berhubungan secara vertikal ini sama-sama tinggi. Untuk hubungan yang bersifat horizontal, norma subjektif akan tinggi apabila keyakinan individu bahwa rekan kerja atau teman sangat diuntungkan karena menggunakan suatu produk/jasa dan keinginan mengidentifikasi perilaku rekan kerja atau teman dalam menggunakan produk/jasa tersebut sangat kuat. (http://neila.staff.ugm.ac.id, 13 Mei 2011, 08:55)

7. Pengertian Attitude (Sikap)

Secara sederhana sikap didefinisikan sebagai ekspresi sederhana dari bagaimana kita suka atau tidak suka terhadap beberapa hal. Sedangkan menurut psikologi umum ada tiga macam definisi sikap :

Sikap adalah suatu bentuk dari perasaan, yaitu perasaan mendukung atau memihak (favourable) maupun perasaan tidak mendukung (Unfavourable) pada suatu objek

2) Berorientasi kepada kesiapan respon Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu, apabila dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon atau suatu pola perilaku, tendenasi atau kesiapan antisipatif untuk menyesuaikan diri dari situasi sosial yang telah terkondisikan.

3) Berorientasi kepada skema triadik Sikap merupakan konstelasi komponen-komponen kognitif, afektif, dan konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu objek di lingkungan sekitarnya.

B. P0SISI STUDI

Sub bab ini bertujuan untuk menjelaskan posisi studi ini dibandingkan dengan studi-studi terdahulu terkait dengan variabel-variabel yang menjadi objek amatan dan alat analisis yang digunakan dalam penelitian.

Tabel II.1 Posisi Studi

Peneliti (tahun)

Variabel Independen

Variabel

Mediasi

Variabel Dependen

Obyek Penelitian

Alat Analisis

Ang et al., (2001)

Informative susceptibility, Normative susceptibility, Value conscious,

Integrity, Personal

Counterfeits products (CDs)

SEM

Huang, Lee, dan Ho (2004)

Price conciousness,

Price-quality

inference, Risk averseness

All Gray Market Goods

LISREL

Matos, Ituassu, dan Rossi (2007)

Price quality, Risk averseness, Subjective norm,

Percieve risk,

Integrity, Personal

grtifikation,

Previous experience

All Counterfeits products

SEM

Marcketti dan Shelley (2009)

Concern, Knowledge

Attitude

Willingness to

pay more

Counterfeit apparell products

SEM Phau dan Teah

(2009)

Social factors, Personality factors

Attitude

Intention to

buy

Counterfeit luxury brand

SEM

Studi ini (2011)

Price quality, Risk averseness, Subjective norm,

Percieve risk,

Integrity, Personal

grtifikation, Previous experience

Counterfeits products (CD, CVD, DVD)

SEM

behavioral intention (Lihat Matos, Ituassu, dan Rossi, 2007). Selanjutnya, studi ini menggunakan variabel mediasi yaitu attitude yang diadopsi dari penelitian Ang et al., (2001), Huang, Lee, dan Ho (2004), Matos, Ituassu, dan Rossi (2007), Marcketti dan Shelley (2009), Phau dan Teah (2009). Penelitian ini menggunakan variabel independen Price quality (Lihat Huang, Lee, dan Ho, 2004; Matos, Ituassu, dan Rossi, 2007), Risk aversenes (Lihat Huang, Lee, dan Ho, 2004; Matos, Ituassu, dan Rossi, 2007), Subjective norm (Lihat Matos, Ituassu, dan Rossi, 2007), Percieve risk (Lihat Matos, Ituassu, dan Rossi, 2007), Integrity (Lihat Ang et al., 2001; Matos, Ituassu, dan Rossi, 2007), Personal gratification (Lihat Ang et al., 2001; Matos, Ituassu, dan Rossi, 2007), dan Previous experience (Lihat Matos, Ituassu, dan Rossi, 2007).

C. KERANGKA TEORITIS

Mengarahkan penelitian menuju pemecahan masalah, perlu dibuat suatu kerangka pemikiran yang menunjukkan hubungan antara beberapa variabel yang akan dibahas. Hubungan dari variabel yang akan diteliti dapat digambarkan sebagai berikut:

H1(-)

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

Sumber : Matos, Ituassu, dan Rossi (2007)

Subjective Norm

Price quality

Integrity

Personal Gratification

Risk Averseness

Percieve Risk

Previous Experience

Attitude

Behavioral Intention

Kualitas harga, penolakan terhadap resiko, norma subyektif, resiko mungkin diterima, integritas, gratifikasi personal dan pengalaman masa lalu adalah komponen yang mempengaruhi sikap terhadap CD, VCD, dan DVD bajakan yang merupakan variabel independen, sedangkan sikap terhadap CD, VCD, dan DVD bajakan merupakan variabel independen terhadap keinginan berperilaku, dan merupakan variabel dependen terhadap kualitas harga, penolakan resiko, dll. Dan niat untuk berperilaku merupakan variabel dependennya. Sikap yang terbentuk, bisa merupakan sikap positif ataupun sikap negatif terhadap CD, VCD, dan DVD bajakan. Positif atau negatifnya sikap yang terbentuk, dipengaruhi oleh pernah tidaknya membeli produk bajakan (dummy) dari tiap individidu. Jadi, pernah tidaknya membeli produk bajakan turut mempengaruhi setiap individu untuk bersikap positif ataupun negatif terhadap CD, VCD, dan DVD bajakan

D. PENGEMBANGAN HIPOTESIS

Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian (Sugiyono, 1999: 51). Pernyataan ini perlu diteliti dan dianalisis untuk diambil suatu kesimpulan apakah hipotesis tersebut secara empiris terbukti atau tidak.

1. Pengaruh Price Quality pada Attitude

Konsumen lebih melihat dari segi harga dan garansi pembelian dalam membedakan produk bajakan dan asli (Huang et al., 2004 dalam Matos, Ituassu, dan Rossi, 2007). Produk bajakan memiliki Konsumen lebih melihat dari segi harga dan garansi pembelian dalam membedakan produk bajakan dan asli (Huang et al., 2004 dalam Matos, Ituassu, dan Rossi, 2007). Produk bajakan memiliki

Dalam studi ini, price quality berpengaruh negatif pada attitude (Matos, Ituassu, dan Rossi, 2007). Hal ini menjelaskan bahwa semakin tinggi price quality, maka semakin negatif sikapnya pada produk bajakan. Dengan demikian, hipotesis yang dirumuskan adalah:

H1 Semakin tinggi price quality, semakin negatif attitude

2. Pengaruh Risk Averseness dan Perceived Risk pada Attitude

Seperti yang dijelaskan pada hipotesis yang pertama, konsumen percaya bahwa produk bajakan dijual pada harga yang lebih rendah dan miskin garansi. Oleh karena itu variabel resiko merupakan variabel yang penting sepert pengaruh price quality.

Risk averseness umumnya dianggap sebagai variabel kepribadian (Bonoma dan Johnston, 1979). Sifat psikologis konsumen tersebut merupakan karakteristik yang penting untuk membedakan antara buyers dan nonbuyers dari kategori produk, terutama yang beresiko (Donthu dan Garcia, 1999 dalam Matos, Ituassu, dan Rossi, 2007).

Dalam studi ini, risk averseness berpengaruh negatif pada attitude (Matos, Ituassu, dan Rossi, 2007). Hal ini menjelaskan bahwa semakin tinggi risk averseness, maka semakin negatif sikapnya pada produk bajakan. Dengan demikian, hipotesis yang dirumuskan adalah:

H.2 Semakin tinggi risk averseness, semakin negatif attitude

pemasaran yang berarti risiko dalam hal persepsi konsumen dalam ketidakpastian dan konsekuensi yang merugikan dari membeli produk atau jasa (Dowling and Staelin, 1994). Oleh karena itu, konsumen menilai masalah yang mungkin terjadi dan juga apa yang akan menjadi konsekuensi negatif seperti masalah, dan penilaian ini akan mempengaruhi setiap tahap konsumen dalam proses pengambilan keputusan. Seperti sifat alami masalah ini, risiko mungkin termasuk komponen yang berbeda, seperti kinerja, keuangan, keamanan, sosial, psikologis, dimensi waktu dan kesempatan (Havlena dan DeSarbo, 1991).

Albers-Miller (1999) menemukan peran penting dari risiko atas pembelian produk bajakan. Dalam konteks ini, seorang konsumen dapat mempertimbangkan bahwa: 1). Produk tidak akan berpenampilan sebagus produk asli dan tidak akan mendapatkan garansi dari penjual, 2). memilih bajakan tidak akan membawa keuntungan bagi keadaan moneter, 3). produk mungkin tidak seaman produk yang asli, 4). pemilihan produk bajakan akan mempengaruhi secara negatif bagaimana orang lain memandang mereka, 5). mereka akan membuang-buang waktu, kehilangan kenyamanan dan kehilangan manfaat untuk mengulang pembelian.

Perceived risk memiliki berpengaruh negatif pada attitude (Matos, Ituassu, dan Rossi, 2007). Hal ini menjelaskan bahwa semakin Perceived risk memiliki berpengaruh negatif pada attitude (Matos, Ituassu, dan Rossi, 2007). Hal ini menjelaskan bahwa semakin

H3 Semakin tinggi perceived risk, semakin negatif attitude

3. Pengaruh Integrity pada Attitude

Penelitian menunjukkan bahwa keinginan konsumen untuk membeli produk yang bajakan berkaitan negatif dengan sikap terhadap keabsahan (Cordell.et al., 1996). Dalam pengertian ini, konsumen yang memiliki standar etika (integrity) yang lebih rendah diharapkan untuk merasa kurang bersalah ketika membeli produk bajakan (Ang et al., 2001). Sebaliknya, mereka merasionalisasi perilaku mereka dengan cara mengurangi disonansi kognitif sebuah perilaku yang tidak etis.

Dalam studi ini, integrity berpengaruh negatif pada attitude (Matos, Ituassu, dan Rossi, 2007). Hal ini menjelaskan bahwa semakin tinggi integrity., maka semakin negatif sikapnya pada produk bajakan. Dengan demikian, hipotesis yang dirumuskan adalah:

H4 Semakin tinggi integrity, semakin negatif attitude

4. Pengaruh Personal Gratification pada Attitude

Personal gratification menyangkut kebutuhan rasa prestasi, pengakuan sosial, dan menikmati hal-hal dalam hidup (Ang et al., 2001). Ada hasil yang bertentangan dalam aspek ini dalam literatur Bloch et al., (1993) menyarankan konsumen memilih produk bajakan, melihat diri mereka kurang kaya secara finansial, kurang percaya diri, kurang berhasil dan status lebih rendah, di sisi lain, hasilnya Personal gratification menyangkut kebutuhan rasa prestasi, pengakuan sosial, dan menikmati hal-hal dalam hidup (Ang et al., 2001). Ada hasil yang bertentangan dalam aspek ini dalam literatur Bloch et al., (1993) menyarankan konsumen memilih produk bajakan, melihat diri mereka kurang kaya secara finansial, kurang percaya diri, kurang berhasil dan status lebih rendah, di sisi lain, hasilnya

Dalam studi ini, personal gratification berpengaruh positif pada attitude (Matos, Ituassu, dan Rossi, 2007). Hal ini menjelaskan bahwa semakin tinggi personal gratification, maka semakin positif sikapnya pada produk bajakan. Dengan demikian, hipotesis yang dirumuskan adalah:

H5 Semakin tinggi personal gratification, semakin positif

attitude

5. Pengaruh Subjective Norm pada Attitude

Norma subjektif adalah faktor sosial merujuk pada tekanan sosial untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku (Ajzen, 1991). Konsumen mendapat informasi, ketika keahlian dari orang lain mempengaruhi mereka dalam menentukan pilihan (misalnya ketika seseorang tidak tahu kategori produk), dan juga ketika mereka lebih tertarik untuk membuat kesan yang baik kepada orang lain (Bearden et al., 1989). Mengenai pembajakan, teman dan kerabat mungkin bertindak

kontributor untuk mengkonsumsi,tergantung pada seberapa banyak perilaku ini telah disetujui oleh mereka.

Dalam studi ini, subjective norm berpengaruh positif pada attitude (Matos, Ituassu, dan Rossi, 2007). Hal ini menjelaskan bahwa semakin Dalam studi ini, subjective norm berpengaruh positif pada attitude (Matos, Ituassu, dan Rossi, 2007). Hal ini menjelaskan bahwa semakin

H6. Semakin tinggi subjective norm, semakin positif attitude

6. Pengaruh Previous Experience pada Attitude

Dalam studi ini, previous experience berpengaruh positif pada attitude (Matos, Ituassu, dan Rossi, 2007). Hal ini menjelaskan bahwa semakin tinggi previous experience, maka semakin positif sikapnya pada produk bajakan. Dengan demikian, hipotesis yang dirumuskan adalah:

H7a Semakin tinggi previous experience, semakin positif

attitude

7. Pengaruh Previous Experience pada Behavioral Intention

Dalam studi ini, previous experience berpengaruh positif pada behavioral intention (Matos, Ituassu, dan Rossi, 2007). Hal ini menjelaskan bahwa semakin tinggi previous experience, maka semakin positif niat berperilaku pada produk bajakan. Dengan demikian, hipotesis yang dirumuskan adalah:

H7b Semakin tinggi previous experience, semakin positif

behavioral intention

8. Pengaruh Attitude pada Behavioral Intention

Hubungan sikap dan perilaku telah banyak diperiksa dalam literatur pemasaran. Menurut teori reason action, sikap ini berkorelasi positif dengan niat perilaku, yang pada gilirannya merupakan anteseden perilaku nyata (Ajzen dan Fishbein, 1980).

intention (Matos, Ituassu, dan Rossi, 2007). Hal ini menjelaskan bahwa semakin positif attitude, maka semakin positif niat berperilaku pada produk bajakan. Dengan demikian, hipotesis yang dirumuskan adalah:

H8 Semakin positif attitude, semakin positif behavioral

intention

BAB III METODE PENELITIAN

Pada bab ini diuraikan tentang hal-hal yang terkait langsung dengan pengumpulan data yang akan digunakan dalam pengujian hipotesis. Berturut-turut akan diuraikan tentang desain penelitian, populasi, sampel dan teknik sampling, pengukuran variabel dan definisi operasional, sumber data, metode pengumpulan data, prosedur dan analisis data, serta estimasi dan pengujian model struktural.

A. DESAIN PENELITIAN

1. Tujuan Studi

Penelitian ini dikategorikan ke dalam penelitian pengujian hipotesis (hypotesis testing), biasanya menjelaskan sifat hubungan tertentu, atau menentukan perbedaan antar kelompok atau kebebasan (independent) dua atau lebih faktor dalam suatu situasi. Pengujian hipotesis adalah sarana untuk menguji apakah pernyataan jika-maka yang dihasilkan dari kerangka teoritis benar adanya ketika dihadapkan pada penyelidikan yang ketat (Sekaran, 2006:162). Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh antara kualitas harga, penolakan terhadap resiko, norma subyektif, resiko yang diterima, integritas, gratifikasi personal dan pengalaman masa lalu pada sikap terhadap CD, VCD, dan DVD bajakan dan juga pengaruh variabel sikap terhadap niat berperilaku.

Metode survei digunakan dalam penelitian ini, yaitu suatu metode pengumpulan data primer dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan Metode survei digunakan dalam penelitian ini, yaitu suatu metode pengumpulan data primer dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan

2. Tipe Hubungan Variabel

Berdasarkan tipe hubungan variabel, penelitian ini termasuk ke dalam studi kausal (causal study), yaitu studi di mana peneliti ingin menemukan penyebab dari satu atau lebih masalah (Sekaran, 2006:165).

3. Situasi (Setting) Penelitian

Dilihat dari situasi penelitian, penelitian ini termasuk ke dalam studi lapangan (field study), yaitu studi yang dilakukan dalam situasi alami dengan jumlah intervensi minimal dari peneliti terhadap arus kejadian dalam situasi (Sekaran, 2006:170).

4. Unit Analisis

Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu. Unit analisis merujuk pada tingkat kesatuan data yang dikumpulkan selama tahap analisis data selanjutnya (Sekaran, 2006:173).

5. Horison Waktu

Berdasarkan dimensi waktu, penelitian dapat dikategorikan menjadi cross-sectional study dan longitudinal studi. Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian cross sectional study, yaitu studi yang dapat dilakukan dengan data yang hanya sekali dikumpulkan, mungkin selama periode harian, mingguan, atau bulanan, dalam rangka menjawab pertanyaan penelitian (Sekaran, 2006:177).

6. Pengukuran Variabel

Pengukuran variabel dalam penelitian ini menggunakan skala likert (likert scale), yaitu skala interval yang secara spesifik menggunakan lima pilihan, seperti Sangat Tidak Setuju, Tidak Setuju, Netral, Setuju, dan Sangat Setuju (Sekaran, 2006: 238). Menurut Jogiyanto (2004), Skala likert merupakan bagian dari skala rating dimana skala tersebut digunakan untuk memberikan nilai (rating) ke suatu variabel.

B. POPULASI, SAMPEL, TEKNIK SAMPLING

1. Populasi

Populasi adalah kumpulan individu atau obyek penelitian yang memiliki karakteristik atau ciri yang ditetapkan (Cooper dan Emory, 1995) populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh Mahasiswa di Surakarta.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang karateristiknya hendak diselidiki dan dianggap bisa mewakili keseluruhan populasi (jumlahnya lebih sedikit dari populasi) (Djarwanto dan Subagyo, 1998: 108). Dalam penelitian ini, sampel yang digunakan adalah mahasiswa Universitas Sebelas Maret.

3. Jumlah sampel

Menurut Ferdinand (2006:46), terdapat beberapa pedoman dalam menentukan ukuran sampel:

a. 100-200 sampel untuk teknik maximum Likelihood Estimation.

b. Tergantung pada jumlah parameter yang diestimasi. Pedomannya adalah 5-10 kali jumlah parameter yang diestimasi.

c. Tergantung pada jumlah indikator yang digunakan dalam seluruh variabel laten. Jumlah sampel adalah jumlah indikator dikali 5 sampai10.

d. Bila sampelnya sangat besar, maka peneliti dapat memilih teknik estimasi. Berdasarkan pedoman di atas maka jumlah sampel minimum dapat ditentukan dari 5 kali indikator yang digunakan, yaitu 28 indikator sehingga jumlah sampel yang diambil adalah 140 (28x5) ditambah cadangan jika terjadi kerusakan/ kesalahan dalam pengisian data sebanyak 20 sampel. Untuk memenuhi ukuran sampel minimum maka jumlah sampel yang akan diambil adalah 160 responden. Jumlah sampel ini representative untuk teknik analisis SEM, yaitu ukuran sample yang sesuai untuk SEM adalah 100-200.

4. Teknik Sampling

Prosedur pemilihan sampel penelitian ini menggunakan non probability sampling , yaitu desain penelitian sampel dimana elemen dalam populasi untuk terpilih sebagai subjek sampel tidak diketahui sebelumnya (Sekaran, 2006:135). Teknik yang

Purposive sampling adalah pengambilan sampel dalam hal ini terbatas pada jenis orang tertentu yang dapat memberikan informasi yang diinginkan, entah karena mereka satu-satunya yang memilikinya, atau memenuhi beberapa kriteria yang ditentukan (Sekaran, 2006). Kriteria yang digunakan adalah: (1). Mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta, (2). Belum memiliki penghasilan (pekerjaan)