PENGADILAN PAJAK DALAM SISTEM PERADILAN

PENGADILAN PAJAK DALAM SISTEM PERADILAN
DI INDONESIA*

oleh :
JOKO A. SUGIANTO,SH

I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Amandemen ke – tiga UUD 1945 Pasal 24 ayat (2) menegaskan bahwa kekuasaan
kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.[1]
Merujuk pada ketentuan tersebut lembaga-lembaga mana yang berwenang
melakukan kekuasaan kehakiman telah disebutkan secara terbatas (limitatif). Dengan
kata lain tidak ada yang namanya lembaga peradilan selain apa yang telah disebutkan
secara tegas (expressive verbis) dalam konstitusi. Meskipun ada pengadilan selain
sebagaimana yang ditentukan oleh konstitusi maka pengadilan tersebut haruslah
berada dalam salah satu lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yaitu,
misalnya lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer atau peradilan
tata usaha negara.[2]


Terbongkarnya penyelewengan oleh pegawai pajak terkait keberatan dan banding
dari wajib pajak, misalnya yang dilakukan oleh Gayus H. Tambunan sebagai Penelaah
Keberatan pada Seksi Bidang Keberatan dan Banding di Kantor Wilayah Direktorat
Pajak[3], potensi kerugian negara akibat seringnya sengketa pajak dimenangkan oleh
wajib pajak di mana dari 16.953 berkas gugatan yang secara formal diterima periode
2002 -2009 sebanyak 13.672 berkas gugatan (kurang lebih 81 persen) dikabulkan oleh
pengadilan pajak dan lemahnya sistem pengawasan

pengadilan pajak[4], telah

menyadarkan berbagai pihak mengenai pentingnya dilakukan reformasi pengadilan
pajak.
Pengadilan Pajak sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang – Undang No. 14
Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak awalnya dibentuk berdasarkan beberapa
pertimbangan sebagaimana tercantum dalam konsideran faktual undang – undang aquo, yang antara lain menyebutkan bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Pajak belum
merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung oleh karenanya
diperlukan suatu Pengadilan Pajak yang sesuai dengan sistem Kekuasaan Kehakiman
di Indonesia.[5]
Ketua Mahkamah Agung Harifin A. Tumpa sebagaimana dikutip oleh media online

www.politikindonesia.com menyatakan bahwa pengawasan yang dilakukan Mahkamah
Agung tidak bisa dilakukan pada pengadilan pajak mengingat dalam Undang – Undang
Dasar 1945 sudah menyebutkan hanya ada empat jenis peradilan, yaitu peradilan
umum, tata usaha negara, militer dan agama. Pengadilan pajak memang secara teknis
di Mahkamah Agung, tapi administrasinya ada di kementerian keuangan. Oleh
karenanya menurut Harifin A. Tumpa agar Mahkamah Agung dapat mengawasi

pengadilan pajak baik itu teknis maupun administratif, maka

pengadilan pajak harus

masuk ke dalam lingkungan dari empat jenis peradilan di bawah Mahkamah Agung
untuk itu perlu dilakukan perubahan regulasi pengadilan pajak. Selain Ketua Mahkamah
Agung, Ketua Mahkamah Konstitusi Moh Mahfud MD juga berpendapat sama yang
pada prinsipnya menyatakan bahwa perlu dilakukan pengkajian mendalam agar bisa
tercipta suatu sistem atau mekanisme yang efektif dalam mengawasi pengadilan pajak,
oleh karena lemahnya pengawasan akan menjadikan pengadilan pajak berpotensi diisi
oleh sejumlah orang yang terlibat praktik mafia hukum.[6]
Berdasarkan uraian tersebut relevan kiranya untuk menganalisa bagaimana
sebenarnya kedudukan Pengadilan Pajak dalam sistem peradilan di Indonesia,

sehingga dapat diketahui keberadaan atau eksistensi pengadilan pajak apakah benar
pengadilan pajak merupakan pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata usaha
negara sebagaimana amanat konstitusi dan peraturan perundangan yang berlaku.
2. Pokok Permasalahan
Pokok permasalahan dalam tulisan ini dibatasi pada pertanyaan sebagai berikut :
- Bagaimanakah kedudukan Pengadilan Pajak dalam sistem peradilan di Indonesia,
apakah telah sejalan dengan amanat konstitusi dan peraturan perundang-undangan
dibidang kekuasaan kehakiman ?
3. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam tulisan ini adalah dengan menggunakan
pendekatan analisis konten (content analysis), yaitu teknik penulisan dengan
memanfaatkan data sekunder atau bahan dokumen siap pakai (preexisting data) untuk
menggambarkan dan menganalisis pokok permasalahan.[7]

II. SISTEM PERADILAN DI INDONESIA
Peradilan sebagai sebuah sistem merupakan salah satu pilar penyangga
kehidupan bernegara yang keberadaannya ikut menentukan tegak tidaknya martabat
bangsa dan negara. Hal ini bisa dilihat pada realita yang terjadi di negara Indonesia di
mana korupsi di lembaga peradilan pernah menempati urutan tertinggi yaitu 32,8 %
yang


berbanding

lurus

dengan

indeks

persepsi

korupsi

internasional

yang

menempatkan Indonesia dalam urutan ke-122 dari 133 negara.[8]
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka penting untuk mengetahui bagaimana
sebenarnya sistem peradilan di Indonesia, apakah ada yang salah dengan sistem

peradilan tersebut. Transparansi Internasional mengidentifikasi beberapa faktor yang
cukup signifikan mempengaruhi persepsi permasalahan korupsi salah satunya ,yaitu
perubahan kelembagaan dan ketentuan hukum.[9]
Terkait hal tersebut untuk mengetahui bagaimana sistem peradilan di Indonesia,
maka terlebih dahulu perlu dipahami apa yang dimaksud dengan sistem peradilan.
Pengertian sistem menurut H.Thierry adalah “een geheel van elkaar wederzijds
beinvloedende componenten, die volgens een plan geordend zijn, teneinde een
bepaald doel te bereiken” yang apabila diterjemahkan secara bebas, yaitu keseluruhan
bagian yang saling mempengaruhi satu sama lainnya menurut suatu rencana yang
ditentukan, untuk mencapai suatu tujuan tertentu,[10] sedangkan yang dimaksud
peradilan adalah segala sesuatu mengenai perkara pengadilan.[11] Dengan demikian
sistem peradilan kurang lebih dapat diartikan sebagai keseluruhan dari bagian-bagian

yang saling mempengaruhi satu sama lain dalam proses penyelesaian perkara di
pengadilan.
Bagir Manan memberikan definisi sistem peradilan dari dua segi, yaitu: Pertama,
segala sesuatu berkenaan dengan penyelenggaraan peradilan yang mencakup
kelembagaan, sumber daya, tata cara, prasarana dan sarana. Kedua, proses mengadili
(memeriksa dan memutus perkara). Kelembagaan peradilan dapat dibedakan antara
susunan horizontal dan susunan vertikal. Susunan horizontal menyangkut berbagai

lingkungan badan peradilan, sedangkan susunan vertikal terkait dengan tingkat
penyelesaian perkara dari tingkat pertama, banding dan kasasi.[12]
Sistem Peradilan di Indonesia didasarkan pada ketentuan Pasal 24 ayat (1) dan
ayat (2) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang
menyebutkan sebagai berikut :
Ayat (1) : “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
(2) : “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Pengaturan lebih lanjut atas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di
Indonesia diatur dalam Undang – Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Undang – undang ini menggantikan undang – undang kekuasaan
kehakiman sebelumnya yaitu Undang – Undang No.4 Tahun 2004 yang tidak sesuai
lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dan ketatanegaraan menurut UUD

Negara RI Tahun 1945 sehingga perlu ada penataan kembali sistem peradilan secara
terpadu agar peradilan independen dalam rangka mewujudkan peradilan yang bersih
dan berwibawa.

Berdasarkan asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman peradilan dilakukan
bertumpu pada irah – irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
[13] Ini menunjukkan bahwa hakim dalam melaksanakan fungsinya bertindak sebagai
penegak keadilan dan bukannya penegak hukum (undang - undang), oleh karena
hukum tidak identik dengan keadilan.[14] Hukum bagi hakim dalam proses
penyelesaian perkara adalah merupakan salah satu sumber menemukan nilai keadilan
oleh karenanya ketika undang – undang tidak mencerminkan nilai keadilan atau
bertentangan dengan konstitusi, hakim wajib menggali nilai – nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup di masyarakat. Namun demikian bukan berarti hakim dalam
memeriksa dan mengadili perkara bebas menyampingkan ketentuan hukum positif oleh
karena kepastian hukum sebagaimana tertuang dalam peraturan perundangan juga
merupakan salah satu sumber nilai – nilai keadilan dalam rangka mewujudkan
kehidupan bernegara yang tertib dan adil berdasarkan Pancasila.
Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman secara kelembagaan juga
menghendaki bahwa kekuasaan kehakiman yang diselenggarakan oleh badan
peradilan melalui hakim dilakukan dengan menjaga kemandirian peradilan, oleh karena
itu segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan
kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara
RI Tahun 1945. Setiap orang yang dengan sengaja ikut campur dalam urusan peradilan
dipidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.[15]


Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya selaku penyelenggara
kekuasaan kehakiman menurut Undang – Undang No.48 tahun 2009 diatur dalam BAB
III tentang Pelaku Kekuasaan Kehakiman Bagian Kedua Pasal 20 sampai dengan Pasal
28.
Mahkamah Agung secara struktural kelembagaan merupakan pengadilan negara
tertinggi dari empat lingkungan badan peradilan yang berada dibawahnya, yaitu
lingkungan peradilan umum, agama, militer dan peradilan tata usaha negara. Sebagai
pengadilan negara tertinggi Mahkmah Agung mempunyai kewenangan mengadili pada
tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di
semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undang
– undang menentukan lain. Selain kewenangan mengadili pada tingkat kasasi,
Mahkamah Agung juga berwenang menguji peraturan perundang – undangan di bawah
undang – undang terhadap undang – undang dan kewenangan lainnya yang diberikan
undang – undang.[16]
Konsekuensi Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi merujuk
pada ketentuan Pasal 21 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, maka
urusan organisasi, administrasi dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah
Agung yang meliputi peradilan umum, agama, militer dan peradilan tata usaha negara
berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.

Selanjutnya mengenai kewenangan empat lingkungan badan peradilan

di

bawah Mahkamah Agung, masing – masing mempunyai kewenangan sesuai peraturan
perundang - undangan sebagai berikut, yaitu:[17]

1. Peradilan umum berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara
pidana dan perdata;
2. Peradilan

agama

berwenang

memeriksa,

mengadili,

memutus


dan

menyelesaikan perkara antara orang – orang yang beragama Islam;
3. Peradilan militer berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak
pidana militer;
4. Peradilan tata usaha negara berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan
menyelesaikan sengketa tata usaha negara;

Putusan pengadilan dari masing – masing badan peradilan tersebut dapat
diajukan upaya hukum secara berjenjang sesuai dengan tingkat peradilan. Untuk
putusan peradilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi
oleh pihak berperkara, dan terhadap putusan dalam pengadilan tingkat banding juga
masih dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali undang – undang
menentukan lain.[18]
Kemudian terkait dengan pengadilan khusus, ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU
No.48

Tahun


2009

tentang

Kekuasaan

Kehakiman

menegaskan

bahwa

pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan
yang berada di bawah Mahkamah Agung.

Penjelasan ketentuan pasal ini

menyebutkan bahwa yang dimaksud pengadilan khusus antara lain adalah
pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan

tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial, dan pengadilan perikanan
yang berada di lingkungan peradilan umum, serta pengadilan pajak yang berada
di lingkungan peradilan tata usaha negara.
Pengadilan Pajak sesuai dengan penjelasan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU
No.48 tahun 2009 disebutkan sebagai salah satu pengadilan khusus yang berada
di lingkungan peradilan tata usaha negara. Oleh karena Pengadilan Pajak
menurut penjelasan ketentuan ini merupakan pengadilan khusus yang berada
dilingkungan peradilan tata usaha negara, maka keberadaan Pengadilan Pajak
harus sesuai dengan prinsip dasar kekuasaan kehakiman sebagaiamana amanat
konstitusi dan peraturan perundang – undangan dibidang kekuasaan kehakiman.
Untuk itu dalam sub bab berikutnya akan diuraikan apakah keberadaan
Pengadilan Pajak telah sesuai dengan sistem peradilan di Indonesia.

II.2 Pengadilan Pajak Dalam Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
Pengadilan Pajak saat ini diatur dalam Ketentuan Undang – Undang No.14
Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Dalam ketentuan undang – undang ini
yang dimaksud Pengadilan Pajak berdasarkan ketentuan Pasal 2 adalah badan
peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau
Penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak. Selanjutnya
ketengtuan Pasal 3 menyebutkan bahwa Pengadilan Pajak berkedudukan di
ibukota Negara.
Kewenangan Pengadilan Pajak adalah menyelesaikan Sengketa Pajak.
Sengketa Pajak menurut ketentuan Pasal 1 angka 5 adalah sengketa yang timbul

dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dengan
pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat
diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan
perundang



undangan

di

bidang

perpajakan,

termasuk

Gugatan

atas

pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang – Undang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa.
Pengertian Banding menurut ketentuan Pasal 1 angka 6 adalah upaya hukum
yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap suatu
keputusan yang dapat diajukan Banding berdasarkan peraturan perundang – undangan
yang berlaku di bidang perpajakan.. Sedangkan yang dimaksud Gugatan menurut
ketentuan Pasal 1 angka 7 adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak
atau Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan penagihan Pajak atau terhadap
keputusan yang dapat diajukan Gugatan berdasarkan peraturan perundang – undangan
perpajakan yang berlaku.
Sebagai salah satu pengadilan khusus sebagaimana dimaksud dalam
penjelasan Pasal 7 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
berkaitan dengan (juncto) penjelasan ketentuan Pasal 9A UU No. 51 Tahun 2009
tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan pengkhususan adalah diferensiasi atau spesialisasi di lingkungan
peradilan tata usaha negara, kedudukan Pengadilan Pajak sebagai pengadilan
khusus masih belum tegas oleh karena dalam UU No.14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak tidak ada satupun ketentuan yang menyatakan bahwa
Pengadilan

Pajak

merupakan

pengadilan

khusus

yang

berada

dibawah

Mahkamah Agung sebagaimana telah ditentukan secara limitatif dalam Pasal 24
ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 peradilan apa saja yang berada di bawah
Mahkamah Agung.
Menurut Muchsin Pengadilan Pajak lebih tepat berada dalam lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara karena selain telah disebut secara tegas (expressive
verbis) berada di bawah lingkungan Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana
disebutkan dalam Penjelasan Pasal 27 UU No.48 tahun 2009 jo. Penjelasan Pasal
21 UU No. 4 Tahun 2004 jo. Penjelasan Pasal 9A UU No.51 tahun 2009 jo. UU No. 9
Tahun 2004 juga didasarkan pada kemiripan objek yang diperiksa di Pengadilan
Pajak dengan objek yang diperiksa di Pengadilan Tata Usaha Negara.[19]
Objek gugatan di Pengadilan Pajak sebagaimana disebutkan dalam
ketentuan Pasal 1 angka 4 UU No.14 Tahun 2002 berbunyi sebagai berikut:
“Keputusan adalah suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundangundangan perpajakan dan dalam rangka pelaksanaan Undang – Undang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa”
Sedangkan objek gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara berdasarkan
ketentuan Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 berbunyi sebagai berikut:
“Keputusan

Tata

Usaha

Negara

adalah

suatu

penetapan

tertulis

yang

dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan
hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan
akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”.
Merujuk pada kedua ketentuan tersebut di mana keputusan yang menjadi
objek gugatan di Pengadilan Pajak diterbitkan oleh pejabat yang berwenang,

pejabat mana menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No.14 Tahun 2002 adalah
Direktur

Jenderal

Pajak,

Direktur

Jenderal

Bea

dan

Cukai,

Gubernur,

Bupati/Walikota, atau pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan peraturan
perundang-undangan perpajakan. Sedangkan objek gugatan di Pengadilan Tata
Usaha Negara diterbitkan oleh Pejabat atau Badan Tata usaha Negara, pejabat
atau badan mana menurut ketentuan Pasal 1 angka 8 UU No.51 Tahun 2009
adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karenanya dapat disimpulkan
bahwa pengertian pejabat yang berwenang dalam Undang –Undang Pengadilan
Pajak adalah termasuk dalam pengertian Pejabat Tata Usaha Negara menurut
Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara sehingga cukup beralasan hukum
apabila Pengadilan Pajak didudukkan dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara.
Terkait dengan aspek kelembagaan peradilan berdasarkan ketentuan Pasal
5 UU No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak disebutkan bahwa pembinaan
teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung,
sedangkan terkait pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan dilakukan
oleh Departemen Keuangan.
Ketentuan mengenai pembinaan terhadap Pengadilan Pajak merujuk pada
ketentuan tersebut apabila dikaitkan dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang –
Undang Kekuasaan Kehakiman menunjukkan adanya inkonsistensi serta tidak taat
asas. Pasal 21 UU No.48 Tahun 2009 menghendaki agar mengenai urusan organisasi,
administrasi dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung berada di bawah
kekuasaan Mahkamah Agung. Hal mana sesuai dengan asas penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman di mana badan peradilan harus diselenggarakan lepas dari
campur tangan pihak lain dan untuk menjaga kemandirian badan peradilan dalam
rangka mewujudkan peradilan yang bersih dan berwibawa.

Dalam rangka menjaga dan menegakkan kekuasaan kehakiman yang bebas dan
merdeka pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari persoalan pengaturan
organisasi, personalia, administrasi, keuangan, pembinaan dan pengawasannya.[20]
Dengan demikian ketentuan undang – undang perpajakan terkait dengan pembinaan
organisasi, administrasi dan keuangan yang dilakukan oleh Departemen Keuangan
adalah tidak taat asas dan tidak tepat oleh karena Menteri Keuangan selaku Pimpinan
Depertemen Keuangan adalah pembantu Presiden sebagai Kepala Pemerintahan yang
memiliki kekuasaan setingkat dengan yudikatif. Adanya dualisme pembinaan dan
pengawasan terhadap Pengadilan Pajak dapat mempengaruhi nilai – nilai kemandirian
serta

netralitas

badan

peradilan

yang

tentunya

tidak

sesuai

dengan

asas

penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal
24 Undang – Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.
Tujuan utama dari asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang bebas
dan merdeka dari campur tangan pihak lain menurut Yahya Harahap sebagaimana
dikutip Muchsin adalah tidak lain agar peradilan dapat terlaksana dengan jujur dan adil
(to ensures a fair and just trial) serta agar peradilan mampu berperan mengawasi
semua tindakan pemerintahan (to enable the judges to exercise control over
government action). Oleh karena itu sesuai dengan tuntutan pokok kemandirian badan
peradilan, maka pengadilan harus bebas dari pengaruh dan kekuasaan eksekutif
(independence from the executive power).[21]
Kekhususan lain dari Pengadilan Pajak yang terkait dengan aspek kemandirian
badan peradilan adalah mengenai pengangkatan Hakim Pengadilan Pajak. Menurut
Ketentuan Pasal 8 ayat (1) disebutkan bahwa: “ Hakim diangkat oleh Presiden dari

daftar nama calon yang diusulkan oleh Menteri setelah mendapat persetujuan Ketua
Mahkamah Agung”. Ketentuan yang menyebutkan Hakim diangkat dari daftar nama
yang diusulkan Menteri tidak berbeda dengan pengangkatan Hakim Pengadilan Tata
Usaha Negara menurut UU No. 5 Tahun 1986 sebelum diubah dengan UU No.51 Tahun
2009.
Apabila ketentuan pengangkatan Hakim Pajak tersebut dikaitkan dengan sistem
peradilan yang menganut sistem satu atap (one roof system) sebagaimana spirit
Undang – Undang Kekuasaan Kehakiman, maka hal tersebut sudah tidak dapat lagi
dipertahankan oleh karena tidak sejalan dengan asas penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman yang bebas dan merdeka.
Kemudian terkait dengan syarat - syarat pengangkatan Hakim Pengadilan
Pajak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf f yang berbunyi :
” mempunyai keahlian di bidang perpajakan dan berijazah sarjana hukum atau
sarjana lain”.
Apabila ketentuan ini dikaitkan dengan praktek yang selama ini terjadi dalam
pengangkatan Hakim Pengadilan Pajak yaitu diangkat dari sarjana ekonomi yang
merupakan mantan pegawai Ditjend Pajak sebagaimana diterangkan oleh Abdullah
Anshari Ritonga dalam suatu wawancara yang dilakukan oleh Marah Sutan Nasution
wartawan Hukumonline.[22] Hal tersebut merupakan salah satu hal yang perlu
diperbaiki untuk menjaga kemandirian Pengadilan Pajak, sehingga perlu ada
perubahan atas pola rekruitmen hakim Pengadilan Pajak.
Terkait pola rekruitmen dan komposisi Hakim Pengadilan Pajak dapat diterapkan
sebagaimana yang terdapat dalam pengadilan khusus di lingkungan peradilan umum,
misal di Pengadilan Hubungan Industrial atau di Pengadilan Niaga sebagaimana
pendapat Muchsin yang mengusulkan hakim Pengadilan Pajak diambil dari hakim karir

Pengadilan Tata Usaha Negara yang bertindak sebagai ketua majelis, sedangkan
hakim anggota diisi dari hakim ad hoc yang diangkat dari praktisi dan akademisi.[23]

III. Kesimpulan
Bahwa peradilan sebagai sebuah sistem mempunyai peranan yang cukup
signifikan dalam ikut membangun pemerintahan yang bersih dan berwibawa
(clean government). Peradilan yang tidak independen dan cenderung korup telah
terbukti ikut memberikan kontribusi dalam keterpurukan berbangsa dan
bernegara sebagaimana terlihat dalam indeks persepsi permasalahan korupsi
yang tentunya berdampak dalam program pemerintah mewujudkan masyarakat
yang adil dan makmur sebagaimana amanat konstitusi.
Bahwa keberadaan Pengadilan Pajak dalam sistem Peradilan di Indonesia
masih menggambarkan adanya campur tangan eksekutif dalam kekuasaan
kehakiman sebagaimana tercermin dalam ketentuan yang mengatur tentang
Pengadilan Pajak yaitu Undang – Undang No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak, hal mana tentunya tidak sejalan dan tidak sesuai dengan prinsip dasar
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka (independence
of judiciary) seperti tercantum dalam Pasal 24 UUD Negara RI Tahun 1945 yang
bisa mengakibatkan dirugikannya para pencari keadilan (justiciabelen).
Dengan demikian untuk mewujudkan sistem peradilan yang independen
dalam

rangka

melindungi

kepentingan

pencari

keadilan

dan

mencegah

penyimpangan di Pengadilan Pajak yang bisa merugikan kepentingan umum,
maka keberadaan Pengadilan Pajak perlu diubah dan diperbaiki sesuai dengan
prinsip dasar penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka

sebagaimana tercantum dalam Pasal 24 UUD Negara 1945 sebagaimana diatur
lebih lanjut dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

REFERENSI
BUKU
-

Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2001.

-

Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), MA RI, Jakarta, 2007.

-

S. F Marbun, Peradilan Administrasi dan Upaya Administrasi di Indonesia, UII Press,
Yogyakarta, 2003.

-

Sudikno Mertokusumo, Bab- Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, 1993.
MAKALAH

-

Muchsin, Reformasi Pengadilan Pajak, Varia Peradilan, Edisi No. 294, Mei 2010.

-

Valerin J.L Kriekhof, Analisis Konten: Penerapannya Dalam Praktek Peradilan, Makalah
dalam Bagir Manan (Ilmuwan dan Penegak Hukum), MA RI, 2008.

-

Ibnu Purna, Pemberantasan Mafia Hukum, www.setneg.go.id.
Website

-

Todung: Korupsi tertinggi di lembaga peradilan,www.tempointeraktif.com

-

Wawancara Ketua Pengadilan Pajak Abdullah Anshari Ritonga: Kami Bukan Penguber
Target Setoran Pajak, www.hukumonline.com.

-

Perlunya Regulasi Perubahan Pengadilan Pajak, www.politikindonesia.com

-

Gayus divonis Tujuh Tahun, www.kompas.com

-

Perubahan Ke-tiga UUD Negara RI Tahun 1945, www.mpr.go.id
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

-

UUD NEGARA RI TAHUN 1945

-

UU NO. 48 TAHUN 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

-

UU NO. 14 TAHUN 2002 Tentang Pengadilan Pajak

-

UU NO. 51 TAHUN 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Perubahan Ke-tiga Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta, 9
Nopember 2001, www.mpr.go.id.
[2] Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
[3] Gayus divonis Tujuh Tahun, 19 Januari 2011, www.kompas.com.
[4] Perlunya Regulasi Perubahan Pengadilan Pajak, 24 April 2010, www.politikindonesia.com
[5] Undang – Undang Republik Indonesia No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
[6] Ibid.
[7] Valerine J. L. Kriekhof, Analisis Konten : Penerapannya Dalam Praktek Peradilan, Makalah
dalam Bagir Manan (Ilmuwan & Penegak Hukum), Mahkamah Agung RI, 2008, hlm. 133
[8] TODUNG: Korupsi Tertinggi Di Lembaga Peradilan, 12 Nopember 2003,
www.tempointeraktif.com
[9] IBNU PURNA, Pemberantasan Mafia Hukum, 6 Januari 2010, www.setneg.go.id
[10] Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2001, hlm 10-11
[11] www.artikata.com
[12] Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), Mahkamah Agung RI,
Jakarta, 2007, hlm.17
[13] Pasal 2 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
[14] Sudikno Mertokusumo, Bab – Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, 1993,
hlm.2
[15] Pasal 3 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
[16] Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
[17] Pasal 25 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
[18] Pasal 23 dan 26 UU No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
[19] Muchsin, Reformasi Pengadilan Pajak, Varia Peradilan No.294, Mei 2010, hlm.42
[20] S.F Marbun, Peradilan Administrasi dan Upaya Administrasi di Indonesia, UII PRESS,
Yogyakarta, 2003, hlm.42-43
[21] Muchsin, Reformasi…, op.cit hlm.41
[22] Wawancara Ketua Pengadilan Pajak Abdullah Anshari Ritonga: Kami Bukan Penguber
Target Setoran Pajak, www.hukumonline.com, 16 Mei 2008.
[23] Muchsin, Reformasi…, op.cit, hlm.45.
* Tulisan dibuat dalam rangka DWI DASA WARSA PERATUN.
Posted by Joko A. Sugianto
Reaction:

[1]

Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to FacebookShare to Pinterest
No comments:
Post a Comment
Newer Post O

http://jagusto.blogspot.com/2011/02/pengadilan-pajak-dalam-sistem-peradilan.html

Eksistensi Pengadilan Pajak Dalam Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia
24 December 2012 — Rocky Marbun, S.H., M.H.

Oleh:
Rocky Marbun, S.H., M.H

A.

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara hukum dan bukan negara kekuasaan, hal ini termuat dalam
konstitusi negara Undang-undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) dan lebih lanjut dijelaskan
dibagian penjelasan yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum
(Rechstaat) dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat).
Secara sosiologis, hukum merupakan refleksi dari tata nilai yang diyakini masyarakat sebagai
suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.[1] Itu berarti, muatan
hukum yang berlaku selayaknya mampu menangkap aspirasi masyarakat yang tumbuh dan
berkembang bukan hanya yang bersifat kekinian, melainkan juga sebagai acuan dalam
mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi, dan politik di masa depan.
Menurut Galang Asmara yang mengutip pendapat Mochtar Kusumaatmadja, pengertian negara
hukum adalah negara yang yang berdasarkan hukum, dimana kekuasaan tunduk pada hukum dan
semua orang sama di hadapan hukum.[2]
Berdasarkan konsepsi tersebut diatas, maka hukum merupakan suatu kekuasaan dimana setiap
orang dan setiap jabatan dalam negara harus tunduk pada hukum. Selain itu segala kegiatan
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus didasarkan pada ketentuan
hukum. Apabila ada perilaku atau kegiatan yang tidak didasarkan pada ketentuan hukum, harus
dipandang sebagai pelanggaran terhadap konsep hukum itu sendiri.
Dalam sebuah negara hukum, lembaga peradilan menjadi sangat penting karena dalam sejarah,
selalu ada pihak-pihak baik penyelenggaraan negara/ pemerintahan maupun rakyat yang
melanggar ketentuan hukum.[3]
Pendapat yang senada diungkapkan oleh Sjachran Basah , bahwa peradilan merupakan salah satu
unsur penting dari negara hukum yang menunjuk kepada proses untuk memberikan keadilan
dalam rangka menegakkan hukum.[4]

Tugas negara yang utama adalah mensejahterakan rakyatnya. Di dalam pembukaan UUD 1945
alinea keempat disebutkan salah satu tujuan negara Indonesia didirikan adalah “…..memajukan
kesejahteraan umum…”. Ksejahteraan rakyat dapat terwujud jika perekonomian suatu negara
berkembang maju. Salah satu sumber keuangan negara yang sangat membantu perekonomian
negara adalah pajak. Di sebagian besar negara Eropa sendiri pajak merupakan sumber utama
keuangan Negara. Kemajuan negaranya sangat bergantung dengan besar kecilnya pajak yang
dipungut oleh Negara (Fiscus) dari rakyatnya (wajib pajak). Sekalipun di Negara-negara Eropa
sangat besar tarif pajak yang dibebankan kepada rakyatnya namun pajak tersebut tetap akan
dikembalikan pada rakyatnya dalam bentuk fasilitas-fasilitas umum yang pembangunannya
menggunakan dana yang diperoleh dari pajak.
Majunya perekonomian suatu Negara juga harus didukung oleh hukumnya yang dibuat dengan
tujuan mensejahterakan rakyat juga, sehingga hukum dan ekonomi negara berjalan dengan
seimbang, jangan sampai perkembangan ekonomi dihambat oleh hukum itu sendiri. Jika kita
lihat dari uraian di atas ada suatu hubungan hukum dalam pajak yaitu antara Negara sebagai
pemungut pajak (fiscus) dan rakyat sebagai Wajib Pajak (WP), hubungan ini diatur berdasarkan
suatu aturan hukum. Pajak sendiri harus berdasarkan undang-undang, dalam Amandemen Ketiga
UUD 1945 Pasal 23A yang berbunyi, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk
keperluan negara diatur dengan undang-undang. Mengapa pajak diwajibkan oleh UUD 1945
menggunakan undang-undang ? sebab pajak merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada
pemerintah yang tidak ada imbalannya yang secara langsung dapat ditunjuk. Peralihan kekayaan
demikian itu dalam kata sehari-hari hanya dapat berupa penggarongan, perampokan, pencopetan
(dengan paksa), atau pemberian hadiah dengan sukarela dan ikhlas (tanpa paksaan).[5] Maka
supaya pajak tidak dikatakan perampokan atau pemberian hadiah dengan sukarela maka pajak
haruslah berdasarkan undang-undang. Falsafah pajak yang dianut oleh Inggris sama dengan di
Indonesia yaitu “No Taxation Without Representation” dan juga di Amerika “Taxation Without
Representation is Roberry”.
Hubungan hukum antara Negara dengan wajib pajak ini dapat menimbulkan permasalahan atau
dikatakan sebagai sengketa pajak. Sengketa ini timbul dari kurang kesadaran wajib pajak untuk
membayar pajak yang dibebankan kepada. Disamping itu juga akibat pelaksanaan penagihan
pajak yang merugikan wajib pajak. Sengketa ini tentunya diperlukan suatu lembaga yang dapat
menyelesaikan masalah ini. Lembaga yang menyelesaikan sengketa pajak salah satunya adalah
Pengadilan Pajak.
Dalam konteks tersebut, maka ketentuan Pasal 24 UUD 1945 ayat (2) mengenai adanya
kekuasaan kehakiman menjadi relevan. Salah satu konsekwensi Pasal 24 ayat (2) adalah
munculnya berbagai lembaga peradilan, diantaranya adalah Lembaga Peradilan Pajak.
Keberadaan lembaga peradilan pajak sangat penting apabila dikaitkan dengan konsep negara
hukum, yang menghendaki adanya penegakan hukum oleh lembaga peradilan. Hukum yang
ditegakkan disini adalah hukum dalam bidang perpajakan yang terkait dengan penegakan hak
dan kewajiban negara dan rakyat dalam rangka pemungutan pajak oleh negara terhadap rakyat.
Pengadilan pajak sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002
tentang Pengadilan Pajak, merupakan badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman

bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan apabila terjadisengketa pajak
dengan fiscus atau pemungut pajak.[6]
Hal ini memberikan gambaran bahwa tugas dari pengadilan pajak adalah memberikan
perlindungan hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa dalam sidang pengadilan pajak.
Keberadaan lembaga-lembaga peradilan di tanah air tidak bisa dilepaskan dari konsep negara
hukum yang menghendaki adanya supremasi hukum dan penegakan hukum.[7] Lembagalembaga peradilan tersebut menjadi sangat penting, karena dapat dipastikan tanpa adanya
lembaga peradilan yang diberi kewenangan untuk melakukan penegakan hukum, maka hukum
tidak akan banyak maknanya dalam masyarakat. Salah satu lembaga peradilan yang yang
bertugas melakukan penegakan hukum tersebut adalah Lembaga Peradilan Pajak.
Peradilan Pajak merupakan implementasi dari Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal
27 ayat (1) UU KUP, yang mengatakan bahwa Wajib Pajak dapat mengajukan pemohonan
Banding hanya kepada Badan Peradilan Pajak terhadap Surat Keputusan Keberatan yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak maka
penyelesaian sengketa pajak dapat dilakukan melalui Pengadilan Pajak. Pengadilan ini didirikan
untuk menggantikan peran Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Menurut UU,
pengadilan pajak memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus sengketa pajak yang
terjadi antara wajib pajak dan Direktorat Jenderal Pajak.
Sebenarnya, niat awal pembentukan peradilan ini sudah sesuai dengan semangat konstitusi
dan integrated justice system, yakni peradilan yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman
di Indonesia, yang terpadu dan berpuncak ke Mahkamah Agung (MA). Sebelumnya, BPSP–yang
diperdebatkan statusnya sebagai badan peradilan– tidak berpuncak di MA.
Namun di dalam pembentukan UU Pengadilan Pajak semenjak diundangkan justru
memunculkan dualisme pembinaan sehingga sangat rawan disalahgunakan. Mengutip penelitian
Benny K. Harman (1997) dan Muhammad Asrun (2004) yang menyimpulkan bahwa dualisme
antara yudikatif dan eksekutif adalah masalah inti peradilan selama orde lama dan orde baru
yang menyebabkan rentannya peradilan terhadap intervensi politik dan korupsi. Oleh karena
itulah diawal reformasi, agenda utama reformasi hukum yang diamanatkan oleh Ketetapan MPR
No. X/1998 adalah pemisahan yang tegas fungsi yudikatif dari esekutif.
Pemisahan ini diperkuat dengan lahirnya UU No. 35/1999 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
mengamanatkan untuk menerapkan sistem satu atap peradilan (one roof system). Sistem ini
menghendaki semua urusan yang berhubungan dengan peradilan berada dibawah kendali MA.
Berbagai kelemahan yang terdapat dalam UU Pengadilan Pajak, tentunya harus segera
diperbaiki. Pengadilan pajak harus ditata ulang, baik secara hukum, administrasi, organisasi dan
finansialnya. Poin penting yang harus diperhatikan adalah pengadilan pajak harus berada
dibawah MA. Selain itu, patut dipertimbangkan membentuk pengadilan pajak setidaknya di

empat kota, Medan, Jakarta, Surabaya, Makassar dan pengadilan tinggi banding di Jakarta.
Dengan tujuan, memutus mata rantai mafia pajak dan makelar kasus yang sudah menggerogoti
pengadilan pajak.
Di negara-negara berkembang pembaharuan hukum merupakan prioritas utama, terlebih jika
negara dimaksud merupakan negara yang baru merdeka dari penjajahan bangsa/negara lain. Oleh
karena itu, di negara-negara berkembang pembaharuan hukum senantiasa mengesankan adanya
peranan ganda. Pertama, merupakan upaya untuk melepaskan diri dari lingkaran struktur hukum
kolonial. Upaya tersebut terdiri atas penghapusan, penggantian, dan penyesuaian ketentuan
hukum warisan kolonial guna memenuhi tuntutan masyarakat nasional. Kedua, pembaharuan
hukum berperan pula dalam mendorong proses pembangunan, terutama pembangunan ekonomi
yang memang diperlukan dalam rangka mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju, dan
yang lebih penting adalah demi peningkatan kesejahteraan masyarakat warga negara.[8]
Saat ini di Indonesia masih terdapat banyak peraturan-peraturan hukum yang sudah tidak up to
date namun tetap dipertahankan. Dalam rangka menyongsong era global dan pasar bebas
mendatang jelas peraturan-peraturan hukum tersebut memerlukan revisi dan jika perlu dirubah
total dengan bobot materi yang mencerminkan gejala dan fenomena masyarakat saat ini.
B.

Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, maka Penulis menemukan beebrapa rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kedudukan Badan Pengadilan Pajak menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2002 tentang Pengadilan Pajak dalam Kekuasaan Kehakiman di Indonesia?
2. Apakah yang menjadi kendala dalam implementasi Pengadilan Pajak dalam menyelesaikan
sengketa Pajak?

C.
1.

Pembahasan/Analisis
Aspek Hukum Dalam Hukum Pajak

Pajak merupakan gejala sosial dan hanya terdapat dalam suatu masyarakat yaitu masyarakat
hukum atau Gemeinschaft bukan masyarakat yang bersifat Geselschaft.[9] Pajak sebenarnya
adalah utang, yaitu utang anggota msyarakat kepada masyarakat. Pajak sendiri menurut UUD
1945 diamanatkan harus dengan undang-undang. Dengan undang-undang diharapkan tidak
terjadi penyalahgunaan kekuasaan (detournement de pouvoir). Detournement de pouvoir adalah
penggunaan daripada wewenang yang menyimpang dari tujuannya menurut undang-undang yang
bersangkutan.[10]
Definisi pajak sendiri memiliki berbagai macam, setiap pakar dalam memberikan definisi
berbeda namun pada intinya sama. Menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani, pajak adalah iuran kepada
Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut
peraturan-peraturan, dengan tidak mendapatkan prestasi-kembali, yang langsung dapat ditunjuk,

dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan
dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.[11] Sedangkan menurut Mr. Dr. N.
J. Feldmann dalam bukunya De overheidsmeddelen van Indonesia, Leiden, 1949, adalah
“Belastinge zijn aan de overheid (volgens aglemene, door haar vastgestelde normen)
verschuldigde afdwingbare prestties, waar geen tegenprestatie tegenover staat en uitsluitend
dienen tot dekking van publieke uitgaven”.
“Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terhutang kepada penguasa (menurut
norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi dan semata-mata
digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum”.[12]
Mengenai pajak dapat kita lihat ada dua pihak di dalam pajak yaitu Negara sebagai pemungut
pajak (fiscus), dan subjek pajak, disamping itu ada objek pajak (yang dapat dikenakan pajak). Di
atas telah dijelaskan dasar mengapa Negara dapat memungut pajak pada rakyatnya. Sedangkan
subjek pajak sendiri dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan yang telah dirubah oleh Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 dan diubah
kembali dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tidak menjelaskan apa yang dimaksud
dengan subjek pajak, hanya wajib pajak lah yang dijelaskan. Menurut Rochmat Soemitro subjek
pajak adalah orang atau badan yang memenuhi syarat-syarat subjektif. Subjek pajak tidak identik
dengan subjek hukum, sebab untuk menjadi subjek pajak tidak perlu menjadi subjek hukum.[13]
Dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak penghasilan pasal 2 menyebutkan
subjek pajak dalam PPh adalah:
1. Orang pribadi atau perorangan,
2. Warisan yang belum terbagi, sebagai suatu kesatuan menggantikan yang berhak,
3. Badan yang mempunyai berbagai bentuk yang sifatnya satu denga lain berlainan,
4. Bentuk usaha tetap.

Subjek pajak sendiri belum tentu menjadi wajib pajak. Subjek pajak harus selain harus
memenuhi
syarat
subjektif juga
harus
memenuhi
syarat
objektif
yaitu
memenuhi Tatbestand yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dalam Undang-Undang No.
28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang No.6 Tahun 1983 Pasal 1 angka 2
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan
pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Segala sesuatu yang ada dalam masyarakat dapat dijadikan sasaran Objek pajak, baik keadaan,
perbuatan, maupun peristiwa atau dalam bahasa Jerman disebut Tatbestand. Misalnya: [14]
1. Keadaan: kekayaan seseorang pada suatu tertentu, memiliki kendaraan bermotor, menempati
rumah tertentu.

2. Perbuatan: melakukan penyerahan barang karena perjanjian, mendirikan rumah atau barang.
3. Peristiwa: kematian, keuntungan yang diperoleh secara mendadak.
2.

Pengadilan Pajak Dan Kekuasaan Kehakiman

Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan kas negara yang digunakan untuk pembangunan
dengan tujuan akhir kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, sektor pajak
memegang peranan penting dalam perkembangan kesejahteraan bangsa. Namun, tak bisa
dipungkiri bahwa sulitnya negara melakukan pemungutan pajak karena banyaknya wajib pajak
yang tidak patuh dalam membayar pajak merupakan suatu tantangan tersendiri. Pemerintah telah
memberikan kelonggaran dengan memberikan peringatan terlebih dahulu melalui Surat
Pemberitahuan Pajak (SPP). Akan tetapi, tetap saja banyak wajib pajak yang lalai untuk
membayar pajak bahkan tidak sedikit yang cenderung menghindari kewajiban tersebut.[15]
Dalam konteks pajak, perbedaan pendapat dan sengketa relatif sering terjadi karena adanya
perbedaan penafsiran dan kepentingan antara fiskus dengan Wajib Pajak. Karena, diakui atau
tidak, hingga saat ini tidak sedikit peraturan pajak yang dianggap tidak jelas, kurang tegas dan
cenderung multitafsir sehingga dapat diartikan secara berbeda oleh kedua pihak yang masingmasing memiliki kepentingan yang berbeda pula.
Apalagi jika sudah menyangkut kepentingan antara Wajib Pajak dan fiskus, maka adanya beda
penafsiran itu dapat dipastikan akan selalu ada. Fiskus dalam konteks ini menjadi kepanjangan
tangan dari pemerintah yang notabene memiliki tujuan dan kepentingan mencari dan
mengumpulkan dana penerimaan negara dari sektor pajak semaksimal dan seoptimal mungkin.
Sementara di sisi lain, Wajib Pajak seminimal mungkin agar keuntungan usaha dan
kesejahteraannya tidak berkurang.
Pada tahun 2002, setelah Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diubah
untuk kedua kalinya, Undang-undang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak dinyatakan tidak
berlaku dan digantikan dengan Undang-undang Pengadilan Pajak. Konsekuensi penggantian
tersebut adalah Badan Penyelesaian Sengketa Pajak diganti dengan Pengadilan Pajak sebagai
badan peradilan pajak yang berwenang memeriksa dan memutus sengketa.
Pasal 2 Undang-undang No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyatakan bahwa
Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib
Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak. Selanjutnya
penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa Pengadilan Pajak adalah badan peradilan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undangundang Nomor 14 Tahun 2000, dan merupakan Badan Peradilan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999.
Setelah berlakunya Undang-undang No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 28 tahun 2007

sedangkan Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman diubah lagi dengan Undangundang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana telah diubah menjadi
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Di dalam paragrap
pertama Penjelasan Umum Undang-undang No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
dinyatakan bahwa Pengadilan Pajak dibentuk salah satunya adalah untuk menggantikan Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) yang dianggap dalam pelaksanaan penyelesaian Sengketa
Pajak melalui BPSP masih terdapat ketidakpastian hukum yang dapat menimbukan
ketidakadilan.
Paragrap terakhir Penjelasan Umum Undang-undang No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak menyatakan bahwa Pengadilan Pajak yang diatur dalam undang-undang ini bersifat khusus
menyangkut acara penyelengaraan persidangan sengketa perpajakan, yaitu:
1. Sidang Peradilan Pajak pada prinsipnya dilaksanakan secara terbuka, namun dalam hal tertentu
dan khusus guna menjaga kepentingan pemohon Banding atau tergugat, sidang dapt dinyatakan
tertutup, sedangkan pembacaan putusan Hakim Pengadilan Pajak dilaksanakan dalam sidang
yang terbuka untuk umum.
2. Penyelesaian sengketa perpajakan memerlukan tenaga-tenaga Hakim khusus yang mempunyai
keahlian di bidang perpajakan dan berijzah Sarjana Hukum atau sarjana lain.
3. Sengketa yang diproses dalam Pengadilan Pajak khusus menyangkut sengketa perpajakan.
4. Putusan Pengadilan Pajak memuat penetapan besarnya Pajak terutang dari Wajib Pajak, berupa
hitungan secara teknis perpajakan, sehingga Wajib Pajak langsung memperoleh kepastian hukum
tentang besarnya Pajak terutang yang dikenakan kepadanya.

Sebagai akibatnya jenis putusan Pengadilan Pajak, disamping jenis-jenis putusan yang umum
diterapkan pada peradilan umum, juga berupa mengabulkan sebagian, mengabulkan seluruhnya,
atau menambah jumlah Pajak yang masih harus dibayar.
Sebagai konsekuensi dari kekhususan tersebut diatas, dalam undang-undang ini diatus hukum
acara tersendiri untuk menyelenggarakan Pengadilan Pajak. Menurut Sudjawardi[16], Pengadilan
Pajak memiliki kewenangan untuk memeriksa, memutus, mengadili sengketa pajak. Sengketa
pajak sendiri terdiri dari pajak pusat maupun pajak daerah. Pajak pusat ada 7, yaitu yang dikelola
oleh Direktorat Jenderal Pajak (yaitu Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Meterai dan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan). Sedangkang dua pajak dikelola oleh Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai yaitu bea dan cukai.
Menurut Istiani[17], Pengadilan Pajak didirikan dengan suatu asumsi bahwa upaya peningkatan
penerimaan pajak pusat, pajak daerah, bea masuk dan cukai, dalam prakteknya, terkadang
dilakukan tanpa adanya peningkatan keadilan terhadap para Wajib Pajak itu sendiri. Karenanya,
masyarakat dalam hal ini Wajib Pajak seringkali merasakan bahwa peningkatan kewajiban
perpajakan/bea tidak memenuhi asas keadilan, sehingga menimbulkan berbagai sengketa
perpajakan sehingga dirasakan adanya suatu kebutuhan untuk mendirikan suatu badan peradilan
khusus untuk menanganinya.

Selanjutnya menurut Galang Asmara, kebutuhan adanya suatu lembaga Peradilan Pajak
didasarkan pada dua hal sebagai berikut:[18]
1. Lembaga Peradilan Pajak dan Konsep Negara Hukum

Keberadaan lembaga peradilan pajak bila dikaitkan dengan konsep Negara Hukum adalah untuk
menegakkan konsep Negara Hukum itu sendiri yang menghendaki adanya penegakkan hukum
oleh lembaga peradilan. Hukum yang ditegakkan disini adalah hukum dalam bidang perpajakan
yang terkait dengan penegakan hak dan kewajiban negara dan rakyat dalam rangka pemungutan
pajak oleh negara terhadap rakyatnya atau penduduk negara.
Pembangunan merupakan upaya sadar yang dilakukan untuk merubah suatu kondisi dari suatu
tingkat yang dianggap kurang baik ke kondisi baru pada tingkat kualitas yang dianggap baik atau
paling baik.[19] Pembangunan yang dilaksanakan tentu saja pembangunan yang memiliki
pijakan hukum yang jelas, bisa dipertanggungjawabkan, terarah serta proporsional antara aspek
fisik (pertumbuhan) dan non- fisik.
2. Perlindungan Pajak dan Perlindungan Hukum Bagi Rakyat
Lembaga Peradilan Pajak sebagai salah satu lembaga perlindungan hukum terutama berfungsi di
dalam memberikan perlindungan terhadap Wajib Pajak dan penanggung pajak dari tindakan
pemerintah di dalam memungut pajak terhadap rakyat.
Lembaga peradilan pajak disini berperan di dalam menyelesaikan sengketa pajak, yaitu sengketa
yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak dan penanggung pajak dengan pejabat
yang berwenang.
Apabila diteliti, semua masyarakat yang sedang membangun selalu dicirikan oleh perubahan,
bagaimanapun kita mendefinisikan pembangunan itu dan apapun ukuran yang kita pergunakan
bagi masyarakat dalam pembangunan. Peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk
menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan suasana damai dan teratur.[20]
Munculnya Pengadilan Pajak tidak terlepas suatu proses legal reform (pembaharuan hukum)
dalam hukum perpajakan yang sebelum dirasakan tidak memberikan rasa keadilan bagi
masyarakat sebagai wajib pajak. Legal reform (pembaharuan hukum)sebenarnya mengandung
makna yang luas mencakup sistem hukum.
Menurut Friedman, sistem hukum terdiri atas struktur hukum (structure), substansi/materi
hukum (substance), dan budaya hukum (legal culture).[21] Sehingga, ketika bicara pembaharuan
hukum maka pembaharuan yan