RESUME ISU KEAMANAN TERORISME GLOBAL DAN

RESUME
ISU KEAMANAN, TERORISME GLOBAL DAN INDONESIA
Book

: Politik Global dan Permasalahannya

Author: Alexius Jemadu
a. Konsep Keamanan Tradisional Dan Non-Tradisional
Konsep keamanan nasional mengacu pada keamanan negara-bangsa, yakni
terjaminnya eksistensi suatu unsur-unsur pokok pembentuk suatu negara seperti
kedaulatan negara, wilayah, penduduk, basis ekonomi, pemerintah, dan sistem
konstitusi serta nilai-nilai yang hakiki yang dianut suatu negara. Menurut Sam C.
Sarkesian, bahwa keamanan nasional pada hakikatnya adalah state of mind dari
sekelompok manusia yang terikat dalam entitas politik yang disebut negara. Namun
state of mind tidak terbentuk dengan sendirinya, akan tetapi didasarkan oleh basis
material kapabilitas nasional yaitu kekuatan militer yang didukung oleh kekuatan
nasional lainnya.
Pembedaan keamanan tradisional dan non-tradisional, muncul setelah perang
dingin. Keamanan tradisional, berangkat dari tradisi realis dan neorealisme dalam
hubungan internasional. Kaum neorealis beranggapan bahwa objek acuan keamanan
adalah negara dan sistem internasional yang bersifat anakhis dapat menjelaskan

mengapa suatu negara cenderung meningkatkan kekuatan militer untuk mengamankan
kedaulatannya. Keadaan seperti ini menimbulkan kecurigaan dalam interaksi antar
bangsa dalam kancah internasional. Disini, sangat kentara bahwa kaum neorealis
sangat pesimis terhadap dinamisasi keamanan internasional.
Berbeda halnya dengan keamanan tradisional yang hanya fokus pada negara
sebagai satu-satunya objek, konsep keamanan non-tradisional selain fokus pada
negara sebagai sebagai satu-satunya acuan, juga fokus pada aspek-aspek non-militer
baik dari segi ekonomi, kesehatan, lingkungan hidup, serta hak asasi manusia.
Kompleksitas interaksi aktor-aktor internasional dalam era globalisasi menciptakan
kerentanan timbal balik sehingga kerjasama internasional semakin dibutuhkan untuk
mengatasinya. Dan dalam perkembangannya pula, timbul lah keamanan dimana
individu menjadi acuan utamanya.
b. Penggunaan Kekuatan Militer(Perang) Dalam konflik Internasional
Penggunaan kekuatan militer dalam konflik internasional memang tidak bisa
dinafikan dalam perkembangan politik global. Seperti pada apa yang terjadi pada awal
abad 20, telah terjadi dua perang berskala besar dan perang itu memberikan pelajaran
besar pula bagi dunia internasional dalam membangun sistem keamanan ntuk
mencegah terulangnya kejadian tragis itu. konflik antar negara dapat muncul akibat
dari konflik dalam negara yang kemudian memancing negara lain yang merasa
keamanan nasionalnya.

Penggunaan militer oleh aktor negara tidak hanya terbatas pada masa perang saja.
Sekurang-kurangnya ada empat empat fungsi militer. Pertama, kekuatan militer
diproyeksikan sebagai prestige power dimana suatu negara menunjukkan keunggulan
militernya melalui penguasaan teknologi baru dengan daya penghancur yang dapat

menggetarkan lawan. Kedua, sebagai detterent power dimana suatu negara
meyakinkan lawannya bahwa tentang konsekuensi yang akan dihadapi bila
melakukan suatu tindakan militer yang tidak dikehendaki. Ketiga, sebagai defensif
untuk melindungi diri dari kekuatan musuh. Keempat, sebagai alat pemaksa guna
menekan suatu negara agar mengikuti keinginan dari negara yang menekan atau tidak
melakuka suatu tindakan tertentu.
Dalam hubungan internasional penggunaan kekuatan militer untuk mencapai
tujuan kebijakan luar negeri harus disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku dalam
hukum intrenasional. Untuk mencegah terulangnya tragedi perang, tahun 1928
diadakan perjanjian Paris sebagai upaya untuk melarang penggunaan kekuatan militer
dalam menyelesaikan konflik internasional. Selanjutnya dibentuklah piagam PBB,
pada dasarnya PBB membenarkan penggunaan militer dalam hal tindakan unilateral
untuk defence membela diri, secara multilateral oleh pertahanan kolektif regional.
c. Perang Dan Hukum Humaiter Internasional
Perang merupakan objek kajian penting dalam dalam studi politik global untuk

mempelajari sistematis mengapa terjadi perang dan bagaimana upaya manusia untuk
mencegahnya atau menghentikannya apanila hal itu terlanjur terjadi. Sejalan dengan
silih bergantinya perang atau penggunaan kekuatan militer dalam bentuk lainnya,
timbul juga kesadaran pentingnya hukum internasional yang mengatur tentang perang,
oleh karena itu upaya
untuk meningkatkan kerjasama internasional dalam
mendukung setiap upaya untuk menegakkan wibawa hukum internasional yang
berkaitan dengan perlindungan HAM khususnya dalam perang menjadi suatu yang
urgen untuk diwujudkan.
Terdapat persepsi yang keliru dikalangan mahasiswa Hubungan Internasional
bahwa masalah hukum humaniter yang menganut tentang perang bukanlah domain
mereka tetapi merupakan hirauan mahasiswa hukum. Persepsi ini harus ada
perubahan, karena politik tanpa hukum akan menimbulkan kesengsaraan bagi kaum
yang lemah akibat dari penindasan oleh mereka yang kuat. Kemajuan teknologi
persenjataan yang semakin masif seperti senjata nuklir justru menegaskan pada kita
bahwa betapa pentingnya hukum internasional dalam mengatur perilaku negara yang
memilih jalan kekerasan dalam menyelesaikan konflik internasional.
Pendekatan realis dan neo realis memandang dengan skeptis peranan hukum
internasional dalam mengatur interaksi antar aktor-aktor internasional karena bagi
mereka keamanan atau stabilitas internasional hanya bisa dicapai melalui pencitaan

keseimbangan kekuatan(balance of power). Meskipun demikian pengalaman empiris
menunjukkan bahwa pengadilan atas kejahatan kemanusiaan sudah dilakukan
diberbagai kasus sehingga menjadi yurisprudensi yang diharapkan dapat mencegah
terulangnya kejahatan yang sama dimasa depan. Hukum humanier internasional
sudah mengalami kemajuan yang pesa, baik dari segi cakupan substansi maupun
kodifikasinya
d. Isu Proliferasi Senjata Nuklir Dalam Politik Global
Dalam literatur hubungan internasional isu proliferasi senjata nuklir dibahs
sebagai isu keamanan tradisional yang menarik perhatian masyarakat internasional
karena adanya kecenderungan dimana rezim NPT tidak lagi efektif untuk mencegah
sejumlah negara mengembangkan senjata nuklir. Ada ‘godaan’ yang kuat bagi

negara-negara untuk memiliki senjata nuklir karena alsan keamanan lantaran negara
tetangganya sudah memilikik emampuan nuklir maupun karena pemilikan senjata
nuklir dapat meningkatkan pengaruh negara tersebut dalam politik global. Dalam
literatur tentang politik global, ditemukan berbagai istilah yang berkaitan dengan
strategi yang dilakukan oleh negara-negara yang memiliki senjata nuklir untuk
mempertahankan eksistensinya dan mencapai tujuan-tujuan strategisnya. AS dan Uni
Soviet selama perang dingin menggunakan berbagai strategi ini dalam persaingan
diantara keduanya untu mencapai posisi unggul dalam hal kuantitas dan kualitas

senjata nuklir yang dimiliki keduanya.
Strategi umum yang digunakan adalah penangkalan (detterence), artinya
senjata nuklir dibangun untuk mencegah negara lawan melakukan hal yang tidak
diinginkan. Keberhasilan strategi ini sangat ditentukan oleh kredibilitas ancaman
dimata lawan. Selain itu ada juga strategi Mutual Assured Destruction (MAD), artinya
kedua negara nuklir yang saling berhadapan meyakinkan lawannya bahwa negara
tersebut mampu menimbulkan dampak kehancuran yang sama bila diserang. Jadi,
kedua-duanya memiliki second strike capability yang meyakinkan. Akibatnya,
keduanegara tersebut tidak terdorong untuk memulai serangan terlebih dahulu.
Adapun strategi lain yang diguakan adalah compellance atau pemaksaan. Berbeda
dengan deterence, compellance adalah suatu tindakan nyata yang dimaksudkan untuk
membangun momentum untuk memaksa negara lawan melakukan sesuatu yang tidak
dikehendakinya atau tidak melakukan sesuatu yang sebenarnya dikehendakinya untuk
mencapai tujuannya. Rezim NPT sebenarnya merupakan kesepakatan yang dibuat
antara negara-negara yang sudah memiliki senjata nuklir dengan yang belum
memilikinya.
e. Terorisme Global Dan Permasalahannya
Sejak serangan terorisme meruntuhkan gedung kembar WTC di New York dan
sebagian gedung pentagon di Washington D.C tanggal 11 September 2001 isu
terorisme global menjadi perhatian semua aktor politik dunia baik negara maupun

maupun non negara. Intelijen AS yang terkenal sangat profesional ternyata gagal
mengantisipasi serangan yang meruntuhkan simbol-simbol keperkasaan AS baik
dalam bidang ekonomi maupun militer. Tidak mengherankan kalau peristiwa ini
menandai babak baru dalam kebijakan luar negeri AS khususnya menyangkut
kemanan nasionalnya dimana perang melawan terorisme global menjadi prioritas
utama.
Respon secara militer yang dilakukan militer AS ternyata tidak juga
melemahkan semangat kelompok teroris, karena setelah peristiwa tahun 2001
rangkaian serangan terorisme yang berafiliasi dengan Al-Qaeda terjadi diberbagai
negara termasuk indonesia. Serangan terorisme di Inddonesia diawali dengan
serangan bom Bali pada tanggal 12 oktober 2002, dan kemudian diikuti serangkaian
peristiwa teror lainnya. Serangan yang terjadi di Indonesia ini mendapat sorotan dunia
internasional, karena adanya jaringan terorisme aktif dan berbahaya. Dunia Barat
menyoroti Indonesia bukan hanya karena serangkaian peristiwa terorisme yang
terjadi, tetapi juga karena Indonesia merupakan negara yang penduduk muslimnya
terbesar didunia yang diharapkan dapat tampil sebagai The Moderate Force sehingga

bisa menampilkan wajah Islam yang lebih toleran dan damai. Namun, dikarenakan
adanya serangkaian peristiwa terorisme dan masih banyaknya jaringan aktif terorisme
yang ditandai dengan banyaknya penemuan bahan peledak aktif, maa ada anggapan

dikalangan negara-negara dunia bahwa Indonesia merupakan negaran yang tidak
aman dan pemerintah belum secara efektif mengatasi radikalisme dan terorisme
secara nasional. Bahkan negara-negara Eropa mengeluarkan Travel Warning yang
mencegah warga negaranya untuk berkunjung ke Indonesia. Hal ini berakibat
menurunnya investor enggan untuk berinvestasi di Indonesia.
f. Perkembangan Konsep Terorisme
Terorisme sebagai fenomena penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan
politik tertentu sudah terjadi jauh sebelum peristiwa 11 september 2001. Meskipun
memiliki motif yang berbeda, tindakan terorisme memiliki kesamaan yakni
menggunakan kekerasan baik terhadap pejabat resmi maupun kepada penduduk sipil
dengan maksud untuk menimbulkan kekacauan , kepanikan, dan menarik perhatian
publik terhadap untuk mewujudkan tuntutan politik yang dimilikinya. Serangan bom
yang tidak pandang bulu, pembajakan pesawat,penculikan serta bentuk-bentuk teror
lainnya merupakan senjata lemah dari kelompok terhadap sistem kekuasaan atau
dominansi ekonomi dan politik yang kuat. Dalam literatur politik dunia, konsep
terorisme diartikan secara berbeda, tergantung kepada siapa yang mendefinisikannya.
Salah satu definisi tetang terorisme adalah ” politically motivated violence directed
againts non-combatans and designed to instill fear in target audience” . dalam
definisi ini, motivasi politik adalah resisensi terhadap sistem kekuasaan domestik
atau internasional serta dominasi ekonomi dan politik yang tidak dapat diterima dan

karena itu ada tuntutan untuk melakukan perubahan secara radikal dan menyeluruh.
Terorisme bukan monopoli kelompok subnasional seperti yang dkesankan oleh
definisi yang telah dikemukakan diatas. Terorisme juga dilakukan oleh negara atau
atas nama kekuasaan pemerintah, yang biasa disebut state-sponsored terorism. Segala
bentuk kekerasan yang dilakukan pemerintah terhadap rakyatnya hanya semata-mata
untuk mempertahankan kekuasaan dapat dianggap sebagai state terorism dan karena
itu tidak dapat dibenarkan seara hukum dan moral. Salah satu yang diperdebatkan
dalam isu terorisme adala tentang keterkatannya dengan agama. Kelompok pertama
menegaskan bahwa tidak ada keterkaitan antara agama manapun dan terorisme,
karena agmana menolak adanya kekerasan dan pembunuhan terhadap warga sipil
yang tidak berdosa. Sedangkan kelompok yang lain mengatakan bahwa kelompok
terorisme yang melakukan tindak teror atas nama agam mendapatkan inspirasi dan
justifikasi atas tindakannya berdasarkan tafsiran mereka atas doktrin agama yang
diyakini. Bahkan membunuh melalui pemboman dan penculikan dianggap sebagai
kewajiban yang mulia untuk mendapatkan imbalan dunia akhirat. Selain itu, agama
juga digunakan sebagai alat untuk memobilisasi dukungan terhadap perjuangan
politik yang dilakukan sehingga mendapatkan simpati dari publik yang lebih luas.
Kontroversi seperti ini tidak pernah selesai selama sekelompok orang dalam
masyarakat dibiarkan secara leluasa menjadikan agama sebagai kendaraan politik
untuk memperjuangkan suatu tujuan yang pada dasarnya bersifat sangat sekuler yang

meraih kekuasaan dan dominasi atas orang lain melalui penggunaan kekerasan yag

sebenarnya sangat bertentangan dengan nilai agama manapun. Singkatnya, kekerasan
tidak akan pernah menyelesaikan masalah, tetapi justru menimbulkan masalah baru
yang lebih rumit yang tidak menguntungkan pihak manapun. Ditambah, aksi
terorisme saat ini melibatkan suatu jaringan global melalui sel-sel yang sulit untuk
dideteksiyang beroperasi diberbagai negara serta melakukan koordinasi dan
perencanaan sistematis sebelum serangan dilancarkan.kelompok teroris
memanfaatkan arus globalisasi untuk memfasilitasi mereka. Penggunaan alat-alat
canggih juga menjadi ciri baru terorisme, penggunaan internet unuk menyebarkan
informasi tentang pembuatan bom atau untuk menampilkan gambar bagaimana
kelompok teroris melakukan eksekusi terhadap korban yang diculik
untuk
menyebarkan ketakutan dan kepanikan pihak lawan.
g. Respon Terhadap Terorisme Global
Sejak serangan 11 september para pemimpin dunia sibuk mencari solusi yang
tepat untuk menghadapi ancaman terorisme bukan saja kelompok yang melakukanya
tetapi juga ide atau ideologi kekerasan yang ada dibalik tindakan itu. militer ternyata
tidak dapat mengatasi terorisme global sehingga diperlukan strategi alternatif dengan
mengindentifikasi akar pemasalahan yang memunculkan niat pada individuatau

kelompok untuk melakukan tindakan terorisme bahkan dengan mengorbankan
nyawanya sendiri. Dalam berbagai literatur Hubungan Internasional, akar
permasalahan terorisme dikaitkan dengan tiga faktor utama, yaitu psikologis,
ideologis, dan lingkungan. Ahli psikologi menjelaskan bahwa teroris adalah individu
yang sakit mental atau kejiwaan yang mungkin dikaitkan dengan masa kecil dimana
orang tua melakukan kekerasan terhadap anak. Namun argumentasi ini kurang
meyakinkan, karena dari kenyataan yang ada para pelaku teroris yang tertangkap di
Indonesia maupun dinegara lain sehat secara fisik dan rohani dan mereka melakukan
tindakan teror tersebut secara sadar tanpa tekanan dari pihak manapun. Argumen
ideologis tampak lebih meyakinkan karena yang ditekankan adalah bagaimana cara
berpikir seseorang atau keyakinan yang dianutnya begitu kuat mempengaruhi
perilakunya.
Terlepas dari ketiga teori tersebut diatas kemunculan setiap individu atau
kelompok teroris tidak pernah terlepas dari masyarakatnya. Mereka tidak muncul
dalam kevakuman masyarakat. Masyarakat yang dimaksudkan disini bida berupa
mikro maupun makro global. Perlu diingat bahwa teroris selalu dikondisikan untuk
setia dan taat pada keyakinan yang dianutnya. Fenomena inilah yang disebut sosiologi
penindasan kelompok terhadap individu. Untuk mengatasinya masyarakat perlu
mengembangkan apa yang dinamakan pluralistic pattern of group membership and
communal and communal allegiances.

h. Terorisme Dan Peranan Intelijen
Setiap negara yang pernah mengalami ancaman atau serangan terorisme tentu
memeberikan perhatian yang serius teradap pelaksanaa fungsi intelijennya sebagai
instrumen untuk melakuakan pencegahan dini terhadap serangan yang mungkin akan
dilakukan serta menghindari terjadinya strategic surprise. Intelijen dipahami sebagai
produk yang dibutuhkan oleh para pembuat kebijakan keamanan nasional dalam
mengatasi ancaman yang ada. Perlunya fungsi intelijen yang profesional dalam

mengatasi ancaman terorisme global terkait dengan kenyataan bahwa kelompok
terorisme merencanakan dan melancarkan aksinya secara rahasia dan sering tampil
sebagai suatu jaringan daripada organisasi formal dengan hirarki yang jelas. Karena
hakikat dari operasinya adalah clandestine , maka lembaga keamanan yang bekerja
secara transparan tidak akan memadai didalam mengahadapi acaman terhadap
keamanan nasional yang datangnya dari kelompok teroris. Telah disebutkan bahwa
terorisme abad 21 ini memiliki karakteristik yang juga menuntut peningkatan
kerjasama intelijen internasional karena jaringan terorisme yang beroperasi melintasi
batas negara. Secanggih apapun intelijen yang dimiliki oleh suatu negara, maka
kerjasama ini merupakan suatu keniscayaan.
i. Isu Terorisme Global Dan Kebijakan Luar Negeri Indonesia
Setelah mengalami berbagai serangan terorisme terorisme di Indonesia, pada
saat itu presiden SBY telah berusaha meyakinkan dunia bahwa negara Indonesia
bukan merupakan sarang teroris. Dan dunia internasional menaruh kepercayaan yang
besar tehadapnya, alasannya adalah kredibilitas beliau sebagai mantan jenderal yang
reformis, bersama dengan wakilnya Jusuf Kalla, keduanya mendapat legitimasi
langsung dari rakyat. Presiden harus mampu meyakinkan bahwa kebijakan luar
negerinya dalam su terorisme dapat dperhitungkan aspirasi konstiruen islam dalam
negeri. Dalam setiap pertemuan dengan pemimpi negara-negara barat, presiden SBY
selalu menekankan bahwa dalam memerangi terorisme global, AS dan sekutusekutunya harus mengimbanginya dengan langkah yang serius dan adil dalam
menyelasaikan masalah-masalah internasional secara langsung maupun tidak
langsung yang berkaitan dengan umat Islam di Indonesia.Pemerintah menyadari
bahwa dunia internasional menaruh harapan besar terhadap kontrbusi negara
Indonesia dalam menghadapi erorisme global secara damai. Dalam kedudukannya
sebagai negara demokrasi dan memiliki penduduk Islam terbesar, Indonesia dipercaya
oleh dunia barat bisa berbuat bnyak untuk menampilkan wajah islam yang lebih
moderat dan toleran.
GLOBALISASI EKONOMI, POLITIK GLOBAL, DAN INDONESIA
a. Kontestasi Pemikiran Tentang Globalisasi
Para ahli berbeda-beda dalam melihat globalisasi ekonomi. Ada yang melihatnya
sebagai ‘angin segar’ karena dengan adanya globalisasi dalam bidang ekonomi akan
memberi peluang bagi pertumbuhan ekonomi, namun ada juga yang melihatnya
sebagai ancaman terhadap negara ekonomi berkembang oleh negara maju untuk
mempertahankan dominasinya melalui lembaga-lembaga keuangan dan industriindustri maju. Terlepas dari perdebatan tersebut, adanya globalisasi ekonomi juga
tidak bisa dielakkan terjadi pula di Indonesia. Menanggapi hal itu, sikap yang harus
kita ambil adalah menyikapinya secara kritis melalui instrumen diplomasi ekonomi
sehingga Indonesia dapat meningkatkan bargaining potition ditengah kompetisi
global yang semakin ketat. Salah satu definisi globalisasi adalah proses meningkatnya
interdependensi atara aktor negara dengan non negara pada skala global sehingga
hubungan sosial dalam suatu masyarakat secara signifikan dibentuk dan dipengaruhi
dimensi sosial yang lebih luas pada skala dunia.

Menurut Jan A. Scolte, globalisasi mencakup lima aspek. Pertama, fenomena
internationalization maksudnya meningkatkan hubungan antar lintas aktor-aktor
internasional. Kedua, proses liberalization maksudnya pengurangan atau peniadaan
tarif maupun non tarif yang dikenakan oleh negara. Ketiga, universalization
maksudnya penyebaran nilai-niai yang bersifat universal. Keempat, westernization.
Kelima, detterorialization maksudnya munculnya reulasi atau institusi teritoriality
negara-bangsa. Selanjutnya unsur-unsur pokok yang harus ada pada globalisasi
ekonomi adalah telah terjadi pertumbuhan ekonomi dengan pesat dari transaksi
keuangan internasional, adanya pertumbuhan yang tinggi dalam perdagangan barang
dan jasa pada perusahaan multinasional, adanya peningkatan pesat dari foreign direct
investment pasar global dan penyebaran teknologi keseluruh dunia melalui sistem
transportasi dan komunikasi yang mempersingkat jarak ruang dan waktu.
Pada umumnya ada tiga perspektif teoritis untuk membahas globalisasi
ekonomi serta aspek-aspek sosial yang tercakup didalamnya. Perspektif neoliberal
memandang globalisasi yang dicirikan oleh liberalisasi ekonomi sebagai proses yang
menciptakan positive sum game. Dalam perspektif ini yang menjadi kata kunci adalah
efisiensi untuk mendapatkan keuntungan dari setiap interaksi ekonomi yang
dijalankan. Perspektif kedua adalah merkantilis atau realisyang memandang
globalisasi sebagai proses yang sengaja didesain oleh negara-negara maju untuk
mempertahankan kepentingan komersial dan perbankan dan perusahaan multinasional
mereka yang beroperasi diseluruh dunia. Dalam perspektif ini ada anggapan bahwa
negara-negara maju mendukung globalisasi ekonomi sepanjang proses tersebut
menguntungkan baginya. Perspektif ketiga, yaitu menekankan tejadinya ketimpangan
ekonomi global antara negara-negara core dan negara-negara peripheries. Dala
perspektif ini beranggapan bahwa globalisasi ekonomi bukan merpakan hal yang baru
tetapi merupakan kelanjutan dari perkembangan kapitalisme dunia yang ditunjukkan
oleh hbungan yang eksploitatif antara negara industri maju dengan pinggiran.
b. Perkembangan Ekonomi Politik Internsional Dan Globalisasi
Para ahli ekonomi juga berpendapat bahwa globalisasi yang dipahami sebagai
integrasi ekonomi secara global bukan merupakan hal yang benar-benar baru,
melainkan sudah ada titik tonggaknya dimasa lampau ketika negara industri maju
melakukan ekspansi teritorial dan pasar demi keuntungannya. Scholte menguraikan
sejarah perkembangan globalisasi ekonomi dengan membedakan tiga periodisasi yang
memiliki ciri khas masing-masing. Pertama, globalisasi ekonomi bukanlah menjadi
gelaja yang sama sekali baru, tapi presedennya dimasa lalu sudah ada. Yang terjadi
sekarang ini adalah skalanya yang tumbuh menjadi lebih besar dengan akselerasi yang
semakin cepat tidak saja disebabkan oleh fungsi negara yang semakin kompleks tetapi
juga karena munculnya aktor-aktor non-negara dalam ranah percaturan ekonomi
politik. Sampai pada 18 globalisasi ekonomi masih berupa ide-ide lepas yang belum
didukung oleh substansi hubungan aktor yang nyata. Ciri utama dari periode ini
adalah perkembangan kapitalisme melalui perdagangan dan transaksi keuangan dalam
konteks yang belum sepenuhnya terkoordinir pada skala dunia.perkembangan awal ini
berlangsung dari tahun 1850an- 1950an.

Kedua, menurut Scholte globalisasi ekonomi mengalami akselerasi yang
sangat cepat baik dalam bidang ekonomi maupun bidang lainnya terjadi mulai tahun
1960an sampai sekarang. Tahun ini dianggap sebagai awal globalisasi skala penuh
terutama karena fenomena supra teritoriality. Ditahun itu juga, Indonesia mulai serius
membangun sisi ekonomidengan membuka diri terhadap masuknya investor asing
yang mengelola kekayaan alam indonesia dan melalui aktivitas pasar internasional.
Ketiga, globalisasi keuangan. Merupakan ragkaian kebijakan yang dilakukan oleh
pemerintah negara-negara maju untuk mengakhir kontrol atas arus modal.selain itu,
globalisasi produksi juga menglami perkembangan pesat. Globalisasi produksi tentu
memberi implikasi yang luas pada perekonomian negara berkembang karena sektor
usaha mereka dipaksa untuk bersaing secara global dan menyesuaikan diri dengan
pengorganisasian produksi yang tidak lagi terbatas pada satu negara saja. Selain itu,
adanya globalisasi produksi juga berimbas positif bagi penyebaran teknologi
keseluruh dunia. Namun, hal ini tidak berarti bahwa secara otomatis menngkakan
negara berkembang dalam penguasaan teknologi modern.
c. Implikasi Globalisasi Ekonomi
Membicarakan mengenai implikasi dari adanya globalisasi ekonomi, tentu
tidak terlepas pada pandangan awal baik buruknya tentang hal tersebut. Menurut
Aleksius Jemadu, dari kacamata positif, mengutip pernyataan dalam buku yang ditulis
oleh Martin Wolf mengatakan bahwa globalisasi ekonomi merupakan alat atau cara
terbaik untuk meciptakan kesejahteraan. Membicarakan baik buruk adanya globalisasi
ekonomi, maka sama halnya dengan membicarakan baik buruknya demokratisasi
ekonomi. Berikut penjelasannya, bagi merek yang memandang positif demokratisas
ekonomi, memiliki alasan ekonomi bahwa investasi bagi kebutuhan manusia
membawa dampakpositif bagi pertumbuhan ekonomi. Alasan politiknya,
demokratisasi menciptakan lingkungan politik yang tahan lama dan menjadi basis
untuk pluralisme ekonomi dan menghasilkan legitimasi kekuasaan yang kuat.
Sedangkan bagi mereka yang memandang negatif memiliki alasan ekonomi,
demokrasi tidak dapat mengurangi konsumsi sehingga investasi dikorbankan,
akibatnya, pertumbuhan ekonomi rendah. Sedangkan alasan politiknya, demokrasi
meningkatkan tekanan-tekanan atas lembaga pemerintahan yang lemah. Akibatnya,
akan sulit mewujudkan kebijakan negara yang terpadu. Tantangan kedepan bagi
Indonesia ditengah arus globalisasi ekonomi adalah bagaimana menciptakan keragka
politik pemerintahan dan birokrasi fungsional untuk pembangunan ekonomi. yang
terpenting bagi Indonesia saat ini adalah menciptakan dan memperkuat lembagalembaga yang langsung berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi.