PENYAKIT METABOLIK PADA SAPI PERAH Dampa

PENYAKIT METABOLIK PADA SAPI PERAH
Dampaknya terhadap respon kekebalan dan penyakit-penyakit lain1

Perubahan fisiologi dari bunting, beranak, laktasi merupakan hal yang sangat berat bagi sapi
perah. Banyak perubahan hormonal yang terjadi berkaitan dengan proses tersebut. Perubahan
tersebut tentu akan mempunyai dampak yang sangat signifikan manakala kebutuhan
metabolismenya tidak tercukupi dengan baik, selain dampak yang perlu diwaspadai meski
secara fisiologi normal. Sebagian besar kejadian penyakit metabolik ataupun penyakit
peripartus lain pada sapi perah seperti milk fever, ketosis, retensi plasenta, left displacement
abomasum terjadi dalam dua minggu pertama laktasi. Pada tulisan ini lebih difokuskan
pembahasan tentang penyakit milk fever dan dampaknya pada sistem kekebalan serta
penyakit lain pada sapi perah pada periode periparturien.
Periparturein, waktu yang penting
Periode periparturien oleh banyak ahli ditetapkan 3 minggu sebelum partus hingga 3 minggu
setelah partus. Istilah lain yang mungkin dikenal adalah transition period. Pada periode ini
banyak terjadi perubahan-perubahan yang drastis mulai persiapan kelahiran, proses kelahiran
dan pasca kelahiran termasuk mulainya periode laktasi. Pada saat partus sejumlah hormon
yang berkaitan dengan reproduksi, pengaturan dan stress dilepas dari hipofisis, yang
kemudian menstimulasi organ endokrin lain atau jaringan target, termasuk sistem kekebalan.
Seperti kita ketahui bahwa proses kelahiran akan dimulai dengan meningkatnya glukortikoid.
Glukokortikoid telah lama dikenal sebagai agen imunosupresif, menghambat proses

kesembuhan, menurunkan limfosit. Konsekuensinya adalah kebuntingan, kelahiran dan
laktasi yang berkaitan profil neuroendokrin akan berpengaruh pada respon sistem kekebalan.
Penelitian Kehrli dan Goff (1989) menunjukkan hal yang lebih jelas berkaitan dengan
penurunan fungsi neutrofil dan limfosit pada periode peripaturien. Ini berarti bahwa sapi yang
berada pada periode periparturien mempunyai risiko yang tinggi terhadap terjadinya penyakit
infeksius. Gambaran terjadinya penurunan fungsi neutrofil di sekitar waktu partus dapat
dilihat pada Gambar 1.
Selain itu, hal penting yang terjadi pada periode periparturient adalah keluarnya susu. Susu
yang pertama kali keluar disebut kolostrum. Komposisi kolostrum ini berbeda dengan susu
normal, terutama kandungan kalsium. Kandungan kalsium kolostrum bisa mencapai 2,1
gram/l atau 10 kali lipat dibanding susu normal. Kalsium susu ini berasal dari kalsium darah
yang disuplai ke dalam ambing untuk menjadi bagian dari komposisi susu atau kolostrum.
Karena peran kalsium yang sangat penting di dalam tubuh maka konsentrasi kalsium darah
yang hilang setelah disuplai ke ambing dan keluar tubuh bersama susu, dipertahankan
(homeostasis) dengan suatu mekanisme metabolisme kalsium. Bila terjadi gangguan dalam
mempertahankan konsentrasi kalsium di dalam darah maka akan terjadi penurunan
konsentrasi kalsium darah.

1


Disampaikan pada Continuing Education PDHI Jatim2 di KUD DAU Malang, 16 Juli 2009

Neutrophil Iodination
80
75

Persen Lab Standar

70
65
60
55
50
45
40
-5

-4

-3


-2

-1

1

2

3

4

5

Waktu partus relatif (m inggu)

Gambar 1. Analisis fungsi neutrofil pada 137 sapi perah Holstein
di sekitar waktu partus (Kehrli et al., 1999)
Apakah produksi susu mempengaruhi sistem kekebalan?

Sebagaimana penjelasan di atas, pada saat partus atau sekitar waktu partus, fungsi neutrofil
dan limfosit sangat berkurang terutama pada sapi perah (Kehrli et al., 1989, Kehrli and Goff,
1999). Pada saat sapi memasuki tahap laktasi terjadi proses yang kompleks berkaitan dengan
mekanisme metabolisme protein, karbohidrat dan keseimbangan mineral untuk memenuhi
kebutuhan produksi susu. Adanya ketidakseimbangan kebutuhan karbohidrat, protein dan
mineral terhadap produksi susu. Ketidakseimbangan tersebut juga bertanggung jawab
terhadap imunosupresi yang terjadi pada sapi-sapi pada periode periparturien.
Penelitian Kehrli dan Kayako menduga bahwa mastektomi akan meningkatkan imunitas pada
sapi periparturien bila dianggap produksi susu menjadi faktor imunosupresif. Sapi yang
dimastektomi maupun tidak, mengalami masalah aktifitas myeloperoksidase neutrofil
sebelum proses kelahiran, dan pada sapi yang dimastektomi mengalami peningkatan aktifitas
myeloperoksodase neutrofil sementara sapi yang tidak dimastektomi tetap hingga hari ke-20
pasca partus. Produksi limfosit gamma interferon secara invitro menurun drastis pada sapi
yang tidak dimastektomi saat proses partus, sementara pada sapi yang dimastektomi tidak
terjadi. Pada sapi yang tidak dimastektomi seluruh populasi sel T menurun termasuk total
PBMC (peripheral blood mononuclear cell) saat partus, namun persentase monosit
meningkat. Berdasarkan penelitian ini dapat diduga bahwa kelenjar mamaria mungkin
memproduksi suatu substansi yang secara langsung berpengaruh terhadap jumlah sel-sel
kekebalan. Selain itu, kebutuhan metabolisme berkaitan dengan masuknya periode laktasi
memberi dampak negatif terhadap komposisi PBMC.

Asumsi yang kedua yang dikatakan Kehrli dan Kayako adalah ada dua faktor metabolik yang
berpengaruh terhadap mastektomi. Mastektomi menghindarkan terjadinya hipokalsemia saat
partus. Konsentrasi NEFA (Non-esterified fatty acid) plasma meningkat drastis pada sapisapi yang tidak dimastektomi dan tidak turun kembali ke baseline selama lebih 10 hari.
Sebaliknya konsentrasi NEFA plasma pada sapi yang dimastektomi meningkat saat partus
namun segera kembali ke basline 1-2 hari pasca partus. Hal ini berarti bahwa sapi-sapi yang

tidak dimastektomi memobilisasi lebih banyak lemak tubuh dibanding sapi yang
dimastektomi, hal mana akan menyebabkan ketidakseimbangan energi (negative energy
balance) yang berat begitu memasuki masa laktasi.

↓ Fungsi Muskulus

↓ Fungsi Imunitas

↓ Motilitas rumen dan GIT

↓ Motilitas uterus

↓ Intake pakan


↓ Distokia

↓Kontraksi sphincter
puting

↑ Retensi plasenta
↑ Mastitis

↓ Keseimbangan energi

↑ Ketosis

↓ Produksi susu

↓Isi rumen

↑ Metritis

↓ Involutio uteri


↑ Fatty liver
↓ Reproduksi

↑ Displacement abomasum

↓ Reproduksi

Gambar 2. Keterkaitan Milk fever dengan beberapa penyakit peripartus lain

Hubungan penyakit metabolik dan mastitis
Beberapa penelitian epidemiologi menunjukkan adanya hubungan antara penyakit metabolik
dengan mastitis. Sebuah penelitian di New York terhadap 2.190 sapi perah menunjukkan
adanya hubungan yang sangat erat antara milk fever dengan mastitis. Sapi-sapi penderita
milk fever akan mempunyai risiko 8,1 kali lebih tinggi mengalami mastitis dibanding sapisapi yang tidak menderita milk fever. Di Swedia, sapi penderita ketosis akan mempunyai
risiko mengalami mastitis dua kali lebih tinggi. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa sapi
perah penderita mastitis akan lebih parah bila mengalami retensi plasenta. Di Inggris, lahir
kembar, distokia, retensi plasenta dan kepincangan sebelum kawin pertama kali pasca partus
meningkatkan risiko mastitis (Peeler et al., 1994)
Milk Fever
Milk fever dan hipokalsemia subklinis (total kalsium darah 2,0 mmol/l) adalah penyakit

penting akibat gangguan makromineral pada sapi-sapi periode periparturien. Kejadian milk
fever biasanya sekitar 5-10%, namun beberapa penulis pernah menyatakan insidensi rate milk
fever bisa mencapai 34% bahkan lebih. Di Irlandia kejadian milk fever bisa mencapai 50%,
di New Zealand sebesar 33% (Mulligan et al., 2006). Namun dari semua laporan yang pernah
ada, belum pernah dilaporkan prevalensi hipokalsemia subklinis.
Milk fever adalah penyakit yang terjadi akibat ketidakmampuan seekor sapi beradaptasi
terhadap perubahan konsentrasi kalsium di dalam tubuhnya. Kalsium adalah makromineral
yang sangat penting di dalam tubuh. Kalsium berperan dalam proses pembentukan tulang,

kontraksi otot, pembekuan darah dan lain-lain. Bila seekor sapi kehilangan kalsium akibat
proses pemerahan, maka kalsium darah harus segera tergantikan. Ketidakmampuan sapi
menanggapi kebutuhan tersebut menyebabkan konsentrasi kalsium darahnya turun dan
menyebabkan gangguan peran fungsi kalsium termasuk kontraksi otot. Pada umumnya sapi
penderita mempunyai konsentrasi kalsium darah kurang dari 7 mg/dl. Implikasi menurunnya
peran fungsi kalsium mempunyai dampak yang luas terhadap sistem kekebalan dan penyakitpenyakit lain pada sapi periode periparturien. Penelitian Triakoso dan Willyanto (2001) pada
sapi perah di KUD Karang Ploso Malang, juga menunjukkan hal yang sama. Parturient
hipokalsemia pada sapi-sapi di KUD Karang Ploso Malang meningkatkan risiko terjadinya
distokia sebesar 7,8; retensi plasenta 2,6; metritis 4,1 dan kepincangan sebesar 6,6 kali
dibanding sapi yang tidak megalami parturient hipokalsemia.
Milk Fever dan Mastitis

Milk fever meningkatkan risiko terjadi mastitis pada sapi perah. Penderita milk fever akan
mengalami kesulitan mengalami kontraksi otot, termasuk juga otot-otot lubang puting.
Penelitian Daniel et al. (1983) menunjukkan hubungan antara kekuatan dan laju kontraksi
otot polos intestinal sejalan dengan konsentrasi kalsium darah. Sphincter lubang puting
tersusun dari otot-otot polos. Kontraksi otot-otot polos tersebut akan menyebabkan lubang
puting menutup. Jika terjadi hipokalsemia maka akan terjadi penurunan kekuatan dan laju
kontraksi otot polos tersebut dan pada akhirnya akan menyebabkan gangguan penutupan
lubang puting. Dan sebagaimana kita tahu bahwa lubang puting akan membuka sangat lebar
setelah proses pemerahan dan semakin lebar bila sapi tersebut produksi susunya tinggi.
Sementara itu penderita milk fever cenderung untuk rebah karena tidak mampu menopang
berat badannya, karena kelemahan kontraksi otot-otot tubuhnya. Terbukanya lubang puting
dan kecenderungan sapi rebah akan meningkatkan kemungkinan masuknya bakteri melalui
lubang puting yang menjadi dasar proses kejadian mastitis. Sementa itu, neutrofil dan
limfosit perifer mengalami penurunan fungsi kekebalan pada sapi penderita milk fever
(Kehrli, Jr. and Goff, 1989). Dengan demikian memang milk fever meningkatkan risiko
mastitis. Beberapa penelitian menyatakan bahwa risiko matitis meningkat 8 kali pada sapi
penderita milk fever.
Hipokalsemia juga menjadi stressor bagi sapi perah. Sapi perah yang memasuki inisiasi
partus akan terjadi peningkatan kadar kortisol 3-4 kali. Pada sapi hipokalsemia subklinis
ditemukan peningkatan kortisol 5-7 kali saat partus, sementara pada sapi yang mengalami

milk fever ditemukan peningkatan kortisol 10-15 kali lipat (Horst and Jorgensen, 1982).
Tingginya kadar kortisol akan menyebabkan imunosupresi pada sapi pada periode
periparturien dan diduga mulai terjadi 1-2 minggu sebelum partus (Kehrli et al., 1989;
Ishikawa et al, 1987; Kashiwazaki et al., 1985).
Distokia dan prolapsus uteri
Beberapa penlitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kejasian pada sapi penderita
milk fever terhadap distokia. Beberapa kasus menunjukkan bahwa odd ratio distokia sebesar
2-3 kali lebih tinggi, bahkan hingga 6 kali lebih tinggi dibanding normal (Curtis et al., 1983;,
Erb et al., 1985, Correa et al., 1993). Berkaitan dengan kejadian distokia pernah juga
dilaporkan sapi penderita prolapsus uteri menunjukkan konsentrasi kalsium serum lebih
rendah dibanding normal (Risco et al., 1984). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa lebih
dari 19% sapi penderita prolapsus uteri menunjukkan hipokalsemia berat (kalsium serum

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

KEPEKAAN ESCHERICHIA COLI UROPATOGENIK TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG (PERIODE JANUARI-DESEMBER 2008)

2 106 1

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

PENGARUH BIG FIVE PERSONALITY TERHADAP SIKAP TENTANG KORUPSI PADA MAHASISWA

11 131 124