ASPEK HUKUM DALAM BISNIS PROPERTI

ASPEK HUKUM DALAM BISNIS PROPERTI

Bisnis properti adalah jenis bisnis yang sangat digemari oleh para investor. Selain sifat
dari investasi properti yang lebih sustainable, artinya dapat bertahan dalam waktu yang
lama / berjangka panjang, investasi properti juga potensial. Kenapa potensial? Salah
satu alasan kenapa investasi ini potensial adalah harga properti yang selalu naik setiap
tahunnya merupakan sebuah keuntungan buat para investor di properti
ini. Properti yang dimaksud adalah berupa rumah, perumahan, ruko, villa, tanah dan
apartement.
Pasar investasi properti di Indonesia lumayan menarik, investornya masih didominasi
oleh para pengusaha properti lokal. Selain itu, kucuran dana asing juga terus mengalir
deras ke bidang properti nasional. Maka tidak bisa dipungkiri bahwa investasi properti
sangat menguntungkan.

Melihat peluang tersebut, itu berarti properti di Indonesia akan terus bertumbuh dan
bertumbuh lagi. Bayangkan, bagi lawyer muda pasti kebagian rezeki (peluang) asalkan
mempersiapkan sejak dini di bidang hukum properti. Terlebih berdasarkan pengalaman
pribadi, jarang ada lawyer di Indonesia yang paham mengenai hukum properti secara
paripurna.
Bila diliat aspek hukumnya, maka dalam lingkungan bisnis properti akan melingkupi
sekurang-kurangnya 6 lingkup kajian hukum, yaitu :

1.
Hukum pertanahan/agraria,
2.
Hukum administrasi (masalah perizinan),
3.
Hukum bangunan/konstruksi,
4.
Hukum perpajakan,
5.
Hukum perlindungan konsumen,
6.
Hukum perjanjian, dll.

Dalam melakukan bisnis jual beli properti, tidak hanya dibutuhkan kesepakatan di
antara penjual dan pembeli, namun juga terdapat hal-hal yang harus dilakukan oleh
kedua belah pihak sebagai salah satu kewajiban kepada Negara. Kewajiban tersebut
adalah pembayaran pajak dalam pengalihan properti yang harus dilakukan oleh
pembeli dan penjual.
Di Indonesia, telah dikenal beberapa jenis pajak yang harus dipenuhi oleh penjual dan
pembeli dalam usaha jual beli properti, yaitu:

1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Pengaturan mengenai PBB terdapat dalam Undang-undang No 12 tahun 1985 tentang
Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana diubah dengan Undang-undang No 12 tahun
1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak
Bumi dan Bangunan (“UU PBB”).
Berdasarkan Penjelasan Pasal 3 ayat (2) UU PBB, PBB adalah pajak negara yang
sebagian besar penerimaannya merupakan pendapatan daerah yang antara lain
dipergunakan untuk penyediaan fasilitas yang juga dinikmati oleh Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah. Pada awalnya PBB merupakan pajak yang proses
administrasinya dilakukan oleh pemerintah pusat dan seluruh penerimaannya dibagikan
ke daerah dengan proporsi tertentu. Dalam perkembangan selanjutnya, diberlakukan
Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
(“UU No. 28/2009”) dimana seluruh proses pengelolaan PBB, khususnya sektor
pedesaan dan perkotaan akan dilakukan oleh pemerintah daerah. Besarnya tarif PBB
yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5 %.






Berdasarkan
Keputusan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
Nomor
362/KMK.04/1999 tentang Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan,
sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.03/2009
tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 362/KMK.04/1999
tentang Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan, besarnya insentif PBB
Properti adalah berupa:
NJKP (Nilai Jual Kena Pajak) 20% untuk NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) < Rp 1 Milyar;
pemberian NJOPTKP (Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak);
pemberian pengurangan karena kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya
dengan subjek pajak dan/atau karena sebab-sebab tertentu lainnya.
2. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Pengaturan mengenai BPHTB terdapat dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997
tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (“UU
BPHTB”).
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU BPHTB, BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas
perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. BPHTB tersebut dikenakan kepada

pembeli (Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU BPHTB). Besarnya tarif pajak BPHTB adalah
sebesar 5%.




Berdasarkan
Keputusan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
Nomor
561/KMK.03/2004 tentang Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor

104/PMK.01/2005, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
91/PMK.03/2006 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor
561/KMK.03/2004 tentang Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan, insentif BPHTB properti berupa:
Pemberian NPOTKP (Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak);
Pemberian pengurangan karena kondisi tertentu wajib pajak yang ada hubungannya
dengan objek pajak dan/atau karena sebab-sebab tertentu lainnya.
3. Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan
(PPh Pasal 4 ayat 2)
Pengaturan mengenai Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas
Tanah dan Bangunan terdapat dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1991, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994,
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (“UU Pajak
Penghasilan”).
Tarif PPh yang dikenakan terhadap penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan
atau bangunan adalah sebesar 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah
atau bangunan. Tarif PPh atas Pengalihan hak atas Rumah Sederhana (RS) dan

Rumah Susun Sederhana (RSS) yang dilakukan oleh wajib pajak yang usaha pokoknya
melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, adalah sebesar 1% dari
jumlah bruto nilai pengalihan.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU Pajak Penghasilan, penghasilan yang dapat
dikenakan pajak final adalah:
a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat
utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota
koperasi orang pribadi;
b. penghasilan berupa hadiah undian;
c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan
modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha
jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan

e. penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d, maka dapat
disimpulkan bahwa penghasilan dari transaksi jual beli properti dikenakan pajak
penghasilan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 1994 tentang
Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan, sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27
Tahun 1996, sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun
1999, sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008
tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang
Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan, insentif pajak penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak
atas tanah properti berupa:




Pembebasan PPh bagi orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah PTKP
(Penghasilan Tidak Kena Pajak) yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan dengan jumlah bruto pengalihan kurang dari Rp 60.000.000,00 (enam puluh
juta Rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah;
Pengenaan tarif 1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan atas pengalihan
hak atas Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib
Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan

(tarif umum 5%).
4. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Pengaturan mengenai PPN terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994, sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UndangUndang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (“UU PPN”).
Berdasarkan Penjelasan UU PPN, Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak atas
konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di
setiap jalur produksi dan distribusi. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia
yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat
tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku
Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabeanan. Tarif Pajak Pertambahan Nilai
adalah 10% (sepuluh persen) dari nilai transaksi.
Pasal 4 ayat (1) UU PPN menyatakan bahwa PPN dikenakan atas:
a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
pengusaha;

b. impor Barang Kena Pajak;
c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh

pengusaha;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean;
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
h. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
Pengecualian terhadap Pemungutan PPN
1. Bagi Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 36/PMK.03/2007
tentang Batasan Rumah Sederhana, Rumah Sangat Sederhana, Rumah Susun
Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar serta Perumahan Lainnya
yang atas Penyerahannya Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai,
sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2008,
sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.03/2011
tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.03/2007
tentang Batasan Rumah Sederhana, Rumah Sangat Sederhana, Rumah Susun
Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar, serta Perumahan Lainnya,
yang atas Penyerahannya dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana yang dibebaskan dari pengenaan

PPN adalah rumah yang perolehannya secara tunai ataupun dibiayai melalui fasilitas
kredit bersubsidi maupun tidak bersubsidi, atau melalui pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah, yang memenuhi ketentuan:
a. Luas bangunan tidak melebihi 36 m2 (tiga puluh enam meter persegi);
b. Harga jual tidak melebihi Rp 70.000.000,00 (tujuh puluh juta Rupiah);
c. Merupakan rumah pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal
dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 tahun sejak dimiliki.
2. Bagi Rumah Susun Sederhana
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 36/PMK.03/2007
tentang Batasan Rumah Sederhana, Rumah Sangat Sederhana, Rumah Susun
Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar serta Perumahan Lainnya
yang atas Penyerahannya Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai,
sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2008,
sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.03/2011
tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.03/2007
tentang Batasan Rumah Sederhana, Rumah Sangat Sederhana, Rumah Susun
Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar, serta Perumahan Lainnya,

yang atas Penyerahannya dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
Rumah Susun Sederhana yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai

adalah bangunan bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang dipergunakan
sebagai tempat hunian yang dilengkapi dengan KM/WC dan dapur baik bersatu dengan
unit hunian maupun terpisah dengan penggunaan komunal, yang perolehannya secara
tunai ataupun dibiayai melalui fasilitas kredit bersubsidi maupun tidak bersubsidi, yang
memenuhi ketentuan:yang memenuhi ketentuan:
a. harga jual untuk setiap hunian termasuk strata title tidak melebihi Rp 75.000.000,00
(tujuh puluh lima juta rupiah);
b. luas bangunan untuk setiap hunian tidak melebihi 21 m2 (dua puluh satu meter
persegi);
c. pembangunannya mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum yang
mengatur mengenai Persyaratan Teknis Pembangunan Rumah Susun; dan
d. merupakan unit hunian pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat
tinggal dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak dimiliki.
3. Bagi Rumah Susun Sederhana Milik (Rusunami)
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 155/KMK.03/2001 tentang
Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai yang dibebaskan atas Impor dan/atau
Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis, sebagaimana diubah
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 363/KMK.03/2002, sebagaimana diubah
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 371/KMK.03/2003, sebagaimana diubah
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.03/2007, sebagaimana diubah
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.03/2008 tentang Perubahan
Keempat atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 155/KMK.03/2001 tentang
Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai yang dibebaskan atas Impor dan/atau
Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis; Rumah Susun
Sederhana Milik (RUSUNAMI) adalah bangunan bertingkat yang dibangun dalam suatu
lingkungan yang dipergunakan sebagai tempat hunian yang dilengkapi dengan kamar
mandi/WC dan dapur, baik bersatu dengan unit hunian maupun terpisah dengan
penggunaan komunal, yang perolehannya dibiayai melalui kredit kepemilikan rumah
bersubsidi atau tidak bersubsidi, yang memenuhi ketentuan :
a. Luas untuk setiap hunian lebih dari 21 m2 dan tidak melebihi 36 m2;
b. Harga jual untuk setiap hunian tidak melebihi Rp 144.000.000;
c. Diperuntukkan bagi orang pribadi yang mempunyai penghasilan tidak melebihi Rp
4.500.000,- per bulan dan telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
d. Pembangunannya mengacu kepada Peraturan Menteri Pekerjaan umum yang
mengatur mengenai persyaratan teknis pembangunan rumah susun sederhana; dan
e. Merupakan unit hunian pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat
tinggal dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 tahun sejak dimiliki.

4. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah di dalam Daerah Pabean (Penjelasan Pasal
8 ayat (2) UU PPN). Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) UU PPN, Tarif PPnBM ditetapkan
paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen). Ekspor
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dikenai pajak dengan tarif 0% (nol persen).
Besarnya tarif PPnBM bagi kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen,
kondominium, town house, dan sejenisnya adalah sebesar 20% (dua puluh persen).
PPnBM dikenakan hanya 1 (satu) kali pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor Barang
Kena Pajak yang tergolong mewah.
Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU PPN, PPnBM dikenakan terhadap:
a. penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh
pengusaha yang menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah Pabean dalam
kegiatan usaha atau pekerjaannya; dan
b. impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh produsen atau atas
impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, di samping dikenai Pajak
Pertambahan Nilai, dikenai juga Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan
pertimbangan bahwa:
a. perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan
rendah dan konsumen yang berpenghasilan tinggi;
b. perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah;
c. perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional; dan
d. perlu untuk mengamankan penerimaan negara.
Berdasarkan
Peraturan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
Nomor
620/PMK.03/2004 tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain
Kendaraan Bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah,
sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2008,
sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.011/2008,
sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103/PMK.03/2009
tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 620/Pmk.03/2004
tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain Kendaraan Bermotor
yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, PPnBM berupa:
Pembatasan pengenaan PPnBM, hanya dikenakan untuk kelompok hunian mewah
seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya dari

jenis non strata title dengan luas bangunan 350 m2 atau lebih dan dari jenis strata title
dengan luas bangunan 150 m2 atau lebih.