Utopia Teori 5 Prinsip Kinerja Media
Utopia Teori 5 Prinsip Kinerja Media
(Studi Hubungan Media dan Masyarakat terkait Konsumsi Berita Politik 2014 dan Tarik Menarik
Kepentingan Pemilik Media dalam Framing Pemberitaan Politik 2014)
Dini Safitri
Jurusan Ilmu Sosial Politik, FIS UNJ, Jakarta
[email protected]
Abstract
Entering politics in 2014, an increase in consumption by the public media, especially regarding political
news. The increase was also due to the incessant media raised concerning political news. What's more,
in this election, many media owners who go directly into politics. This phenomenon makes media
consumption trends in 2014, more towards political news. And interestingly, the trend talks political
news from the mainstream media, then continue into social media, or vice versa, from social media,
then raised to the mainstream media. Where, one trend that is becoming the talk, is the pull of the
interests of media owners who further highlight the framing of news that can push his political
opponents and increase the positive news about yourself and party supporters. Based on the Five
Principles of Performance Media, namely: freedom, equality, diversity, truth and quality of information,
social order and solidarity, these five principles seem like utopia. News that there is a construction that
results are not free from media owners. News raised not have equality in the selection of the language,
let alone the duration or length of the column. Protrusion of a certain figure with all aspects of the
advantages and disadvantages, too in exposure with the same technique and repetitive, so there is no
diversity news. Truth and the quality of information in the political news raises a big question mark,
because the news often that one gets a rebuttal of partisan media of political opponents. Social order
and solidarity as the long-term effects are idealized into a utopia, since there is bullying behavior and
increasingly widespread, as produced by the media. No effect of consumption of media, the media can
not work in these five principles, and media literacy programs (if any), not to train users of media to
"read the media," especially to "read the judgment of the media".
Keywords: Theory of Media and Society, Media Management, Political News Consumption 2014
Abstrak
Memasuki tahun politik 2014, terjadi peningkatan konsumsi media oleh masyarakat, khususnya
mengenai berita politik. Peningkatan tersebut juga disebabkan karena gencarnya media mengangkat
berita mengenai politik. Terlebih lagi, dalam pemilu kali ini, banyak pemilik media yang terjun langsung
ke politik. Fenomena ini membuat tren konsumsi media 2014, lebih banyak kearah berita politik. Dan
menariknya, tren pembicaraan berita politik dari media mainstream, kemudian berlanjut ke sosial
media, atau sebaliknya, dari sosial media, kemudian diangkat ke media mainstream. Dimana, salah satu
tren yang menjadi pembicaraan, adalah mengenai tarik menarik kepentingan pemilik media yang lebih
menonjolkan framing berita yang memojokan lawan politiknya dan memperbesar berita positif tentang
diri dan partai pendukungnya. Berdasarkan Lima Prinsip Kinerja Media, yaitu: kebebasan, kesetaraan,
keberagaman, kebenaran dan kualitas informasi, tatanan sosial dan solidaritas, tampaknya lima prinsip
ini seperti utopia. Berita yang ada adalah hasil konstruksi yang tidak bebas dari pemilik media. Berita
yang diangkat tidak memiliki kesetaraan dalam pemilihan bahasa, apalagi durasi atau panjang kolom.
Penonjolan sosok tertentu dengan segala aspek kelebihan maupun kekurangan, terlalu di eksposure
dengan teknik yang sama dan berulang-ulang, sehingga tidak terjadi keberagaman berita. Kebenaran
dan kualitas informasi dalam berita politik menimbulkan tanda tanya yang besar, karena acapkali berita
yang satu mendapat bantahan dari media partisan dari lawan politik. Tatanan sosial dan solidaritas
sebagai efek jangka panjang yang idel menjadi utopia, karena perilaku bullying ada dan semakin marak,
karena diproduksi sendiri oleh media. Efek yang ada dari konsumsi media, media belum bisa bekerja
dalam lima prinsip tersebut, dan program melek media (kalaupun ada), belum melatih pengguna media
untuk "membaca media," apalagi untuk "membaca penghakiman media".
Kata Kunci: Teori Media dan Masyarakat, Manajemen Media, Konsumsi Berita Politik 2014
PENDAHULUAN
Memasuki tahun politik 2014, terjadi peningkatan konsumsi media oleh masyarakat, khususnya mengenai
berita politik. Peningkatan tersebut juga disebabkan karena gencarnya media mengangkat berita
mengenai politik. Terlebih lagi, dalam pemilu kali ini, banyak pemilik media yang terjun langsung ke politik.
Fenomena ini membuat tren konsumsi media 2014, lebih banyak kearah berita politik. Dan menariknya,
tren pembicaraan berita politik dari media mainstream, kemudian berlanjut ke sosial media, atau
sebaliknya, dari sosial media, kemudian diangkat ke media mainstream. Dimana, salah satu tren yang
menjadi pembicaraan, adalah mengenai tarik menarik kepentingan pemilik media yang lebih menonjolkan
framing berita yang memojokan lawan politiknya dan memperbesar berita positif tentang diri dan partai
pendukungnya.
Setelah pemilihan legislatif usai, berlanjut kepada pemilihan calon presiden (capres) dan wakil presiden
(cawapres). Ternyata, gambaran informasi yang ada dimedia, jauh dari lima prinsip kinerja media. Hal ini
bukan saja menyangkut keikutsertaan pemilik media yang terjun ke politik, tapi bias kepentingan dari
media itu sendiri. Sulit sekali mencari media yang netral, bahkan dapat dikatakan tidak ada. Padahal, bila
kita kembali kepada teori media massa, berdasarkan Lima Prinsip Kinerja Media, yaitu: kebebasan,
kesetaraan, keberagaman, kebenaran dan kualitas informasi, tatanan sosial dan solidaritas, tampaknya
lima prinsip ini seperti utopia.
Utopia, menurut kamus bahasa Indonesia, berarti sist em sosial polit ik yang sem purna yang hany a ada
dalam bayangan ( khayalan) dan sulit at au t idak m ungkin diwuj udkan dalam kenyat aan: kit a t idak
m enghendaki 1 . Sem ent ara it u, ist ilah Ut opia pert am a kali diam bil dari j udul buku yang dit ulis t ahun
1516, oleh Sir Thom as More. Dalam buku Ut opia, penulis m enj elaskan t ent ang sebuah pulau fiksi di
sam udera at lant ik, m em iliki sist em hukum , sosial, dan polit ik yang sem purna. Kem udian ist ilah ini
dipakai unt uk m enyat akan sebuah m asyarakat yang berusaha m encipt akan m asy arak at ideal ,
baik
dalam sistem sosial, politik, dan penerapan hukumnya. Sebuah negeri indah yang bernama Utopia. Di
negeri itu digambarkan alat-alat produksinya dikuasai oleh umum dan penduduknya menjunjung tinggi
perihal kemanusiaan, kesusilaan, dan kebajikan 2. Pertanyaannya, bagaimana penerapan teori media
http://kamusbahasaindonesia.org/utopia/mirip
More, Thomas (2002). George M. Logan and Robert M. Adams (eds.), ed. Utopia. Raymond Geuss and Quentin Skinner (series
eds.) (Revised ed.). New York: Cambridge University Press
1
2
massa dari lima prinsip kinerja media di pilpres 2014 ini? Apakah realisasi penerapannya hanya utopia
saja?
Seperti kita ketahui, berita yang ada, adalah hasil konstruksi yang tidak bebas dari media. Berita yang
diangkat tidak memiliki kesetaraan dalam pemilihan bahasa, apalagi durasi atau panjang kolom.
Penonjolan sosok tertentu dengan segala aspek kelebihan maupun kekurangan, terlalu di eksposure
dengan teknik yang sama dan berulang-ulang, sehingga tidak terjadi keberagaman berita. Kebenaran dan
kualitas informasi dalam berita politik menimbulkan tanda tanya yang besar, karena acapkali berita yang
satu mendapat bantahan dari media partisan dari lawan politik. Tatanan sosial dan solidaritas sebagai
efek jangka panjang yang idel menjadi utopia, karena perilaku bullying ada dan semakin marak, karena
diproduksi sendiri oleh media. Efek yang ada dari konsumsi media, media belum bisa bekerja dalam lima
prinsip tersebut, dan program melek media (kalaupun ada), belum melatih pengguna media untuk
"membaca media," apalagi untuk "membaca penghakiman media".
TINJAUAN TEORI/KAJIAN
Perkembangan media massa dipengaruhi beragam faktor yang menentukan bagaimana penampilan dan
kinerja media massa secara umum. Faktor-faktor yang mempengaruhi media massa berkisar pada semua
aspek termasuk struktur dan kinerja media. Menurut McQuail (2010) media massa memiliki setidaknya
lima prinsip yang mempengaruhi kinerja media massa tersebut, yaitu (1) Prinsip Kebebasan, (2)
Kesetaraan, (3) Keragaman, (4) Kebenaran dan kualitas informasi, (5) tatanan sosial dan solidaritas.
Media Freedom as a Principle / Prinsip Kebebasan Media
Kebebasan adalah kondisi dari kinerja yang diterapkan terutama kepada struktur media. Kebebasan disini
dibedakan menjadi dua yaitu kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Kebebasan berekspresi artinya
adalah hak yang lebih luas dan merujuk pada konten dari apa yang dikomunikasikan (opini, ide, informasi,
seni, dan sebagainya), sementara pers merujuk pada satu wadah utama, alat, atau kendaraan untuk
menjalankan publikasi. Publik mendapat keuntungan dari kebebasan tersebut, antara lain dengan
perannya sebagai pengamat yang sistematis dan independen terhadap pemilik kekuasaan
(watchdog), stimulasi sistem dan kehidupan sosial demokratis yang aktif dan memiliki informasi,
kesempatan untuk mengungkapkan ide, mendorong pembaruan dan perubahan budaya dan masyarakat
secara berkelanjutan, serta meningkatnya jumlah dan variasi kebebasan dalam berbagai aspek yang bisa
dilaksanakan.
Disinilah secara lebih lanjut ditunjukkan bagaimana budaya media bekerja, independensi terbentuk, dan
berbagai hal seperti kreativitas, originalitas, dan kreativitas muncul. Kondisi struktural yang menjadi acuan
karena media bebas dari tekanan ekonomi maupun tekanan politik. Ruang yang cukup bagi publik dan
akses yang terbuka atas akses informasi.
Pada jenjang organisasi media, kebebasan biasanya dinilai berdasarkan kadar kontrol yang disajikan oleh
para pemilik media terhadap para komunikator (penyunting, produsen, dan lain-lain), serta kontrol yang
dikenakan oleh pada komunikator sendiri terhadap pada bawahannya (wartawan, pengarang, seniman,
dan lain-lain) dalam wadah organisasi yang seringkali bersifat birokratis dan hirarkis. Sehubungan dengan
isi media, seringkali terwujud dalam bentuk penghapusan berita (sensor) tertentu sehingga
mengakibatkan perbedaan antara isi suntingan dengan apa yang diberikan oleh sumber. Prinsip ini
setidaknya memberi harapan bahwa media akan mampu melakukan berbagai upaya aktif untuk
menciptakan dan memelihara suasana independen serta menolak kontrol eksternal yang dipaksakan atau
konformitas dengan kelompok yang mementingkan diri sendiri.
Media Equality as a Principle/ Prinsip Kesetaraan dalam Bermedia.
Kesetaraan dalam bermedia ini bermakna cukup luas. Dalam penjabaran umum, kesetaraan ini bisa
berarti organisasional dimana dalam pengelolaan media sebagai suatu organisasi tidak ada intervensi dari
pihak luar. Bisa pula bermakna, dalam hal content media tidak ada campur tangan dari pihak luar yang
bisa mempengaruhi isi dari media tersebut. Dengan kondisi seperti ini, dapat dikatakan semua pihak, baik
dalam kondisi seperti apapun tidak mempunyai perbedaan dalam media. Prinsip objektivitas dalam media
yang menonjol pada prinsip kesetaraan ini. (McQuails, 2010 : 195)
Prinsip kesetaraan ini sebagai suatu konsep dalam kriteria penampilan media mempunyai korelasi paling
tidak dengan tiga elemen yang membangun media, yaitu akses terhadap media yang bersangkutan,
keberagaman yang muncul, serta masalah objektivitas. Dalam hal akses, kesetaraan menawarkan suatu
kondisi proporsional dimana media bersikap terbuka dan memperbolehkan siapapun mengakses, dalam
arti tidak bermaksud mengintervensi ataupun membuat media berpihak pada pihak-pihak tertentu.
Kesetaraan dalam kacamata keberagaman menawarkan niatan untuk perubahan menjadi sesuatu yang
lebih baik dan memperkaya informasi yang beredar dalam masyarakat karena adanya akses yang sama.
Sedangkan objektivitas mempertaruhkan media dalam kondisi sebagai penyampai kebenaran yang adil
dan tidak berpihak kepada siapapun.
Media Diversity as a Principle/ Prinsip Keanekaragaman.
Keanekaragaman merupakan kondisi yang diperlukan khalayak untuk dapat menentukan pilihan. Dalam
keadaan ini, keanekaragaman dianggap perlu untuk memberikan referensi. Kondisi seperti ini menjadi
sesuatu yang penting dalam kehidupan demokrasi. Pasalnya, pandangan-pandangan yang muncul akan
menjadi pembanding satu sama lain dan membuka peta persaingan dalam kondisi yang proporsional.
Dengan demikian, implikasi yang mungkin muncul adalah tercapainya perubahan sosial yang akan
menjadikan persebaran informasi dalam masyarakat menjadi lebih mengakar. (McQuails, 2010 : 196
197)
Pada level masyarakat secara umum, keanekaragaman ini biasanya diukur dengan melihat jumlah media
independen yang ada dalam masyarakat. Semakin banyak media independen yang dapat dilihat dan
dihitung, maka semakin baik pula keberagaman yang ada dalam masyarakat kita. Secara lebih jauh,
keanekaragaman ini akan meminimalisir monopoli media, yang secara prinsip ditentang oleh prinsip
keanekaragaman yang dijelaskan McQuails ini. Dalam kondisi makro, keanekaragaman selayaknya tidak
hanya dilihat dari jumlah media independen dan tidak independen saja. Keanekaragaman ini juga bisa
dilihat melalui semua jenis media yang ada (media cetak seperti koran dan majalah, radio, televisi,
internet), sektor media yang dituju, maupun segmentasi dari media. Sedangkan dalam level mikro,
keanekaragaman media ini bisa dilihat dari karakter tiap-tiap media seperti melihat content media,
berapa jumlah judul yang muncul dengan tipikal tulisan yang seperti apa.
Keanekaragaman yang muncul dalam media mempunyai dua subprinsip keanekaragaman. Yang pertama
keanekaragaman refleksif, mengandung pengertian bahwa keanekaragaman media harus merupakan
pencerminan keanekaragaman masyarakat secara proporsional. Yang kedua adalah akses yang terbuka,
mengandung makna bahwa semua pandangan dan sektor dalam masyarakat dianggap sama.
Keanekaragaman yang muncul karena adanya media, seringkali dipandang sebagai sesuatu yang positif
karena merupakan suatu wujud dari kebebasan bermedia yang telah terjadi. Keanekaragaman menjadi
gambaran beragamnya informasi yang akan mungkin diakses oleh masyarakat.
B. Situasi dan kondisi media massa (konvensional) di Indonesia bila ditinjau dari prinsip kebebasan
belumlah ideal seperti ide awal McQuail pada tabel berikut ini:
Tabel B.1 Keuntungan Publik dari Prinsip Kebebasan Media
Point nomer satu, peran pengawasan yang dilakukan media terkadang hanya memburu berita yang
sensasional dari situasi politik, hukum, ekonomi dan permasalahan sosial budaya yang ada. Sebagai
contoh, maraknya kasus korupsi yang melibatkan sejumlah politisi partai lebih pengedepankan berita
yang sensasional yang berada dibalik kasus, tanpa mencari solusi yang berarti mengapa kasus korupsi
terus marak terjadi dan semakin intensif diberitakan tanpa bisa memberikan efek jera bagi para pelaku.
Sehingga peran pengawasan hanya menjadi peran penonton, yang setelah tayangannya bubar, bubar juga
cerita korupsinya.
Point nomer dua, rangsangan pada sistem demokrasi sudah sangat baik terjadi di Indonesia, tapi ini terjadi
bukan karena peranan media konvensinal seperti TV, Radio, Koran dan Majalah, tapi karena peranan
media baru seperti blog, dan jejaring sosial lainnya yang dapat dimanfaatkan masyarakat untuk bebas
mengemukakan pendapat dan opininya terhadap pemberitaan yang beredar di media konvensional.
Dalam jejaring sosial ini, masyarakat bebas berpendapat tanpa adanya sensor, kecuali self sensor dari
masyarakat itu sendiri.
Point nomer 3 dan 4 juga lebih banyak diberikan oleh media baru, daripada media konvensional. Media
konvensional hanya dijadikan sumber inspirasi masyarakat untuk lebih mengembangkan aktualisasi
dirinya, namun kemudian penyalurannya berada di media baru. Sebagai contoh: kasus korupsi yang
melibatkan politisi partai informasinya di dapatkan dari media konvensional, namun tempat untuk
mengekpresikan ide terhadap kasus tersebut dituangkan publik pada jejaring sosial, sehingga
pembaharuan dan perubahan budaya yang mengedepankan kebebasan berpendapat dapat terjadi karena
terjadinya sinergi fungsional antara media konvensional dan media baru. Maka, point nomer 5 akan
terjadi bila ada disinergi dinamis antara media konvensional sebagai sumber informasi dan media baru
sebagai media keragaman kebebasan, karena di media baru kebebasan untuk bicara pro atau kontra
terhadap apapun tidak ada sekat atau batas. Sebagai contoh korupsi yang melibatkan politisi partai
membuat PKS menjadi partai yang paling banyak dibicarakan di sosial media, terkait keberagaman
kebebasan. Masyarakat bebas menulis antara tulisan PKS lovers dengan PKS haters, dimana kedua kubu
dalam memberikan argumentasi sebagian besar mengacu pada pemberitaan di media konvensional dan
media baru dalam bentuk situs pemberitaan media online.
Sedangkan Situasi dan kondisi media massa (konvensional) di Indonesia bila ditinjau dari prinsip
kesetaraan juga menjadi persoalan krusial baik dalam struktur dan performa media konvensional di
Indonesia. Adanya konglomerasi media di Indonesia, sampai membuat presiden SBY mengeluh di depan
publik, bahwa partainya yang tidak menguasai media, selalu menjadi bulan-bulanan media. Dalam hal ini,
level penguasa sekalipun tidak memiliki akses dalam mengontrol politik ekonomi media. Dilain pihak,
pemilik media yang kini ikut bertarung dalam pemilu 2014, kerap kali tampil di media massa konvensional
yang dimilikinya lewat berbagai program acara yang ada. Sebagai contoh: kemunculan WIN-HT di RCTI
dalam sebuah telekuis berhadiah yang kini tayang 4x dalam sehari, membuat gerah kritikus media. Belum
lagi, iklan dan pemberitaan yang memang dikemas sedemikian rupa di beberapa grup media yang dimiliki
oleh HT. Fenomena ini mengindikasikan adanya bias kepentingan pemilik media terhadap struktur dan
kinerja media. Sehingga tidak tampak struktur dan kinerja media dalam prinsip kesetaraan seperti yang
ditunjukan oleh bagan di bawah ini:
Bagan B.1 Sturktur dan Performa Prinsip Kesetaraan dalam Media.
Sementara itu, Situasi dan kondisi media massa (konvensional) di Indonesia bila ditinjau dari prinsip
keberagaman, dari segi jumlah dirasakan sudah sangat beragam, dari tahun 1998-2000 saja tercatat
hampir 1.000 perusahaan media yang mendapatkan izin terbit dari pemerintah, kendati hanya sedikit
perusahaan media yang bisa bertahan sebab terjadi kompetisi bisnis yang sangat ketat. Jumlah media
cetak pada awal tahun 1999 sebanyak 289 buah, dan pada tahun 2001 menjadi 1.881 buah. Akhir tahun
2010, jumlah media cetak menyusut menjadi 1.076 buah (Data Serikat Penerbit Surat Kabar, 2011). Pada
tahun 2002, jumlah stasiun radio mencapai 873 buah. Pada tahun 2003, ada 11 stasiun televisi, 186 surat
kabar harian, 245 surat kabar mingguan, 279 tabloid, 242 majalah dan 5 buletin (Gobel and Eschborn,
2005). Sayangnya dari segi jumlah kepemilikan, ternyata media tersebut hanya dimiliki oleh sejumlah
pemilik, setidaknya ada 13 pemilik berbagai perusahaan media massa konvensional dan media online di
Indonesia.
No
Pemilik
Grup Media
Kepemilikan
1
Hary Tanoesoedibjo
MNC Group
20 stasiun televisi, 22 stasiun radio, 7 media
2
Jacob Oetamo
Kompas
10 stasiun televisi, 12 stasiun radio, 89 media
3
Eddy Kusnadi
Elang Mahkota 3 stasiun televisi dan 1 media online
4
Abdul Gani dan Erick Tohir
Mahaka Media
2 stasiun televisi, 19 stasiun radio, dan 5
5
Chairul Tanjung
CT Group
2 stasiun televisi, 1 media online
6
James Riady
Beritasatu
2 stasiun televisi, 10 media cetak dan 1
7
Surya Paloh
Media Group
1 stasiun televisi dan 3 media cetak
8
Anindya Bakrie
Visi Media Asia
2 stasiun televisi dan 1 media online
Sariaatmadja
cetak dan 1 media online
Gramedia Group cetak dan 2 media online
Teknologi
Media Holdings
media cetak
media online
9
Dahlan Iskan dan Azrul Jawa Pos Group
20 stasiun televisi, 171 media cetak dan 1
10
Adiguna Soetowo dan
11 stasiun radio, 16 media cetak
11
Pia Alisyahbana dan Mirta Femina Group
12
Yayasan Tempo
Tempo
13
Satria Narada
Media Bali Post televisi, 8 stasiun radio, 8 media cetak dan 2
Ananda
Soetikno Soedarjo
MRA Media
Kartohadiprodjo
Media
media online
2 stasiun radio dan 14 media cetak
Inti 1 stasiun televisi, 1 stasiun radio, 3 media
Group
cetak dan 1 media online
media online
Sumber:Nugroho,Yanuar. dkk. 2012 dan Lim, M. 2012 dalam http://media.kompasiana.com/newmedia/2013/07/14/peta-bisnis-media-massa-di-indonesia-pra-pemilu-2014-573468.html
Adanya oligopoli media, menjadikan stuktur dan performa media massa dikendalikan para pemilik modal
dan digunakan untuk mengeruk keuntungan. Disisi lain, terjunnya pemiliki media yang terjun ke politik
seperti ARB (pemilik Visi Media Asia yang sekaligus menjadi Ketua Umum Partai Golkar), Surya Paloh
(pemilik Media Group dan Ketua Umum Partai Nasional Demokrat), HT (pemilik MNC Group dan sekaligus
politikus Partai Hanura), dan DI (bos Jawa Pos Group sekaligus Menteri BUMN), menjadikan media
sebagai alat pengusaha dan politikus dalam menyampaikan kepentingan mereka sambil mendapatkan
keuntungan dari bisnis. Stuktur dan performa media menjadi sarana kompetisi bisnis sekaligus kompetisi
politik para pengusaha media yang berkeinginan kuat menjadi pejabat negara di berbagai lembaga
eksekutif maupun legislatif. Fenomena ini memperlambat munculnya berbagai keuntungan yang dapat
dirasakan publik berdasarkan keragaman media, yaitu:
Prinsip Kebenaran dan kualitas informasi
Prinsip kebenaran mengacu pada informasi yang dapat diandalkan dari sumber yang terpercaya, sesuai
dengan realitas, pengalaman, dan relevan dalam berbagai penerapan. Bila prinsip kebenaran diterapkan,
maka dengan sendirinya akan terbentuk kualitas informasi. Bila ini yang terjadi, maka akan terjadi
keuntungan kualitas informasi yang memuat lima hal, yaitu: (1) Berkontribusi pada masyarakat yang
terdidik dan ahli, (2) Menyediakan kebutuhan dasar bagi pembuatan keputusan yang demokratis, (3)
Melindungi terjadinya propaganda dan ketertarikan irrasional, (4) Memperingatkan penyerangan budaya,
(5) Memenuhi kebutuhan akan informasi.
Dalam prinsip ini, terdapat konsep objektivitas. Yang dimaksud dengan konsep objektivitas adalah (1)
tidak ada agenda tersembunyi atau layanan terhadap pihak ketiga (pihak kepentingan), (2) sikap adil dan
tidak diskriminatif pada sumber dan objek berita yang harus diperlakukan setara. Konsep ini tidak terlihat
bisa diterapkan pada konstruksi berita politik sepanjang 2014 di media massa. Fenomena ini terlihat jelas
dalam framing pemberitaan politik di 2014, dibagi dalam dua tahap, yang pertama adalah berita politik
seputar pileg dan yang kedua seputar capres. Terjadi perubahan tren pemberitaan setelah pileg usai.
Framing berita yang semula mengusung partai dan tokoh dari partai, kini mengerucut menjadi capres.
Framing semakin jelas dikarenakan capres hanya dua, dan keberpihakan media sangat kental sekali. Bila
tidak memihak A, maka memihak B. Keberpihakan ini tampak dari frekuensi pemberitaan dan struktur
bahasa yan dipakai dalam pemberitaan.
Ketidak objektifan media dalam pemberitaan politik 2014, tidak terlepas dari sikap keberpihakan
terhadap objek peliputan. Sebagai contoh, capres yang di dukung oleh pemilik modal akan mendapat
porsi lebih dan dikonstruksi dengan pemberitaan yang mengarah pada kampanye positif, sedangkan
capres lawan, kalaupun ada diliput maka akan dibuatkan konstruksi pemberitaan yang mengarah kepada
kampanye negatif. Dalam hal ini tidak ada jarak antara konten dan iklan politik. Begitupun dari sumber
yang ditampilkan, tidak ada kombinasi keseimbangan bebas, baik dari pilihan komentar, sampai waktu,
tempat dan sudut pandang sudah dikonstruksi sedemikian rupa sesuai dengan konstruksi politik pihak
ketiga. Prinsip keseimbangan, netralitas, dan akurasi tidak tampak, media menyembunyikan
kepentingannya dari hal yang penting bagi masyarakat. Anehnya, bagi media, kepemihakan dalam
pemberitaan juga merupakan tuntutan dari masyarakat yang loyal terhadap capres tertentu. Disatu sisi
siaran seperti ini juga menaikan rating bagi masyarakat yang sudah terlanjur jatuh hati pada salah satu
sosok capres 2014.
Prinsip Tatanan sosial dan solidaritas
Prinsip ini merupakan prespektif kontrol sosial yang dilakukan baik dari atas dan bawah. Bentuknya dapat
terjadi karena kepatuhan solidaritas, keterikatan wilayah, konformitas atau hierarki otonomi dan identitas
budaya. Media diharapkan dapat menjadi alat kontrol sosial, dimana media lebih membela kepentingan
otoritas masyarakat daripada minoritas mapan baik secara sukarela ataupun di paksa. Fenomena framing
pemberitaan politik 2014, alih-alih mengedepankan kepentingan otoritas masyarakat, lebih dominan
untuk mengedepankan kepentingan minoritas mapan (elit politik). Dimana kepentingan minoritas mapan
dan otoritas masyarakat banyak tidak saling berkaitan. Kepentingan sekelompok elit terkadang hanya ada
dimenara gading kekuasaan yang menyentuh kepentingan sekelompok elit saja, dan tidak melibatkan
rakyat banyak. Contohnya adalah janji-janji kampanye, ataupun framing pencitraan para elit. Apa yang
dijanjikan dan apa yang dicitrakan terkadang jauh berbeda. Bahkan ada joke di sosial media, kartu
indonesia lupa. Kartu yang akan dipakai setelah kampanye usai, wakil rakyat dan presiden terpilih pun
lupa akan janji dan pencitraan yang dilakukan selama kampanye.
METODE PENELITIAN
Pendekatan penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Menurut Suyanto (1995), pendekatan kualitatif
adalah metode yang menekankan pada aspek pemahaman secara mendalam terhadap suatu masalah.
Metode penelitian ini menggunakan teknik analisis mendalam (in-depth analysis ), yaitu mengkaji masalah
secara kasus perkasus, karena dalam metodologi kulitatif, sifat suatu masalah satu, akan berbeda dengan
sifat dari masalah lainnya. Tujuan dari metodologi ini bukan suatu generalisasi, tetapi pemahaman secara
mendalam terhadap suatu masalah.
Dengan pendekatan kualitatif, penulis berharap penelitian ini dapat memberikan pembahasan secara
mendalam mengenai Studi Hubungan Media dan Masyarakat terkait Konsumsi Berita Politik 2014 dan
Tarik Menarik Kepentingan Pemilik Media dalam Framing Pemberitaan Politik 2014. Apakah kegitan
tersebut, memberikan hasil positif kepada Studi Hubungan Media dan Masyarakat terkait Konsumsi Berita
Politik 2014 atau malah sebaliknya, atau Tarik Menarik Kepentingan Pemilik Media dalam Framing
Pemberitaan Politik 2014 tersebut menemui benturan dengan teori 5 prinsip kinerja media, sehingga teori
tersebut hanya menjadi utopia?
Metode dalam penelitian ini adalah Metode Analisis framing dan Konstruksi Realitas Berger dan Luckman.
Metode analisis Framing adalah salah satu metode analisis teks yang berada dalam kategori penelitian
konstruksionis. Menurut Eriyanto (2002:37), paradigma konstruksionis memandang realitas kehidupan
sosial bukanlah realitas yang natural, tapi hasil dari sebuah konstruksi. Analisis framing secara sederhana
dapat digambarkan sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, aktor, kelompok,
atau apa saja) dibingkai oleh media. Realitas sosial dimaknai dan dikonstruksi dengan makna tertentu.
Peristiwa dipahami dengan bentuk tertentu. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan
pertautan fakta ke dalam fakta agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih ingat, untuk
mengiringi interpretasi khalayak sesuai perspektifnya.
Analisis framing merupakan suatu ranah studi komunikasi yang menonjolkan pendekatan multidisipliner
dalam menganalisis pesan-pesan tertulis maupun lisan. Konsep framing atau frame sendiri bukan berasal
dari ilmu komunikasi, melainkan dari ilmu kognitif (psikologis). Dalam prakteknya, analisis framing juga
memungkinkan disertakannya konsep-konsep sosiologis, politik dan kultural untuk menganalisis
fenomena-fenomena komunikasi, sehingga suatu fenomena dapat benar-benar dipahami dan diapresiasi
berdasarkan konteks sosiologis, politis atau kultural yang melingkupinya.
Konsep framing sering digunakan untuk menggambarkan proses seleksi dan penonjolan aspek tertentu
dari realitas oleh media. Framing dapat dipandang sebagai penempatan informasi informasi dalam
konteks yang khas sehingga isu tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada isu yang lain. Robert
M. Entman lebih lanjut mendefinisikan framing sebagai seleksi dari berbagai aspek realitas yang diterima
dan membuat peristiwa itu lebih menonjol dalam suatu teks komunikasi. Dalam banyak hal itu berarti
menyajikan secara khusus definisi terhadap masalah, interpretasi sebab akibat, evaluasi moral, dan
tawaran penyelesaian sebagaimana masalah itu digambarkan.
Dari definisi Entman tersebut framing pada dasarnya merujuk pada pemberian definisi, penjelasan,
evaluasi dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk menekankan kerangka berpikir tertentu terhadap
peristiwa yang diwacanakan. Berdasarkan definisi Entman tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui
bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh Media dan Masyarakat terkait Konsumsi
Berita Politik 2014 ketika menyeleksi isu dan menulisnya di media. Cara pandang atau perspektif itu pada
akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan dan hendak
dibawa kemana berita tersebut. Media berusaha untuk menonjolkan kerangka pemikiran, perspektif,
konsep, dan klaim interpretatif masing-masing dalam rangka memaknai objek wacana. Dalam konteks
inilah wacana teori 5 prinsip kinerja media dalam Studi Hubungan Media dan Masyarakat terkait Konsumsi
Berita Politik 2014 kemudian menjadi arena perang simbolik antara pihak-pihak yang berkepentingan
dengan suatu objek wacana. Perdebatan yang terjadi di dalamnya dilakukan dengan cara-cara yang
simbolik, sehingga lazim ditemukan bermacam-macam perangkat linguistik atau perangkat wacana yang
umumnya menyiratkan tendensi untuk melegitimasi diri sendiri dan mendelegitimasi pihak lawan.
TEMUAN/ ANALISIS/ PEMBAHASAN
Berdasarkan Lima Prinsip Kinerja Media, yaitu: kebebasan, kesetaraan, keberagaman, kebenaran dan
kualitas informasi, tatanan sosial dan solidaritas, tampaknya lima prinsip ini seperti utopia. ist ilah ini
dipakai unt uk m enyat akan sebuah m asyarakat yang berusaha m encipt akan m asy arak at ideal ,
baik
dalam sistem sosial, politik, dan penerapan hukumnya. Praktiknya, peningkatan konsumsi media oleh
masyarakat, khususnya mengenai berita politik sepanjang 2014 ini, terjadi karena gencarnya media
mengangkat berita mengenai politik. Terlebih lagi, dalam pemilu kali ini, banyak pemilik media yang terjun
langsung ke politik. Berita yang ada adalah hasil konstruksi yang tidak bebas dari pemilik media.
Berita yang diangkat tidak memiliki kesetaraan dalam pemilihan bahasa, apalagi durasi atau panjang
kolom.
Penonjolan sosok tertentu dengan segala aspek kelebihan maupun kekurangan, terlalu di eksposure
dengan teknik yang sama dan berulang-ulang, sehingga tidak terjadi keberagaman berita. Berikut ini salah
satu contoh rekapitulasi pemberitaan capres dan cawapres yang dikeluarkan KPI periode 19-25 Mei 2014,
yang ditulis Antara, kemudian di posting kembali di surabaya.bisnis.com:
Berdasarkan rekapitulasi pemberitaan capres dan cawapres yang dikeluarkan KPI periode 19--25
Mei 2014, frekuensi pemberitaan Jokowi-JK di Metro TV sebanyak 184 berita dan Prabowo-Hatta
sebanyak 110 berita. Durasi pemberitaan Jokowi-JK terhitung 37.577 detik sedangkan dan
Prabowo-Hatta 14.561 detik.
Adapun total frekuensi pemberitaan Jokowi-JK di TV One sebanyak 77 berita sedangkan PrabowoHatta 153 berita. Durasi pemberitaan Prabowo-Hatta di TV One juga lebih banyak dibandingkan
dengan Jokowi-JK yakni 36.561 detik berbanding 18.731 detik. Sedangkan lembaga penyiaran lain
di luar dua stasiun televisi swasta tersebut masih terbilang baik, katanya.
KPI sebagai komisi penyiaran yang independen telah berulang kali melakukan teguran kepada mediamedia terkait yang dinilai telah melakukan pelanggaran. Namun teguran tersebut tidak terlalu
memberikan efek jera, karena pelanggaran terus berulang terjadi.
Kebenaran dan kualitas informasi dalam berita politik menimbulkan tanda tanya yang besar, karena
acapkali berita yang satu mendapat bantahan dari media partisan dari lawan politik. Berikut salah satu
berita klarifikasi, dimana media salah mengutip maksud dari narasumber, dan kemudian dipakai menjadi
alat kampanye, dan ternyata data tersebut salah:
Menurut Bambang, apa yang disampaikan oleh Ketua KPK Abraham Samad dalam rapat kerja
nasional (Rakernas) PDI Perjuangan 7 September tahun lalu adalah negara bisa melipatgandakan
pendapatan jika potensi kekayaan negara dikelola dengan benar.
"Terus terang saya agak kaget mendengar hal (kebocoran) tersebut. Setelah dicek ternyata itu
disampaikan waktu pertemuan di PDIP, tetapi yang dimaksud Pak Ketua (Samad) adalah potential
revenue," kata Bambang di Gedung DPR, Jakarta, Selasa 17 Juni 2014. 3
Kesalahan data ini, bukan sekali atau dua kali. Namun yang menarik, permainan bahasa politik dalam
konstruksi pemberitaan, menjadi sangat berbeda bila dibedah secara framing, berikut adalah kutipan
berita dengan tema yang sama, namun berbeda cara pembahasannya:
"Bila angkanya meleset jauh sekali, sense atas angkanya berarti tidak ada. Pemahaman soal itu
tidak ada," ujar Anies, di Jakarta, Selasa (17/6/2014).
Anies mengatakan, jika tahu bahwa data yang dikutip dari Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi
Abraham Samad keliru, Prabowo seharusnya tak mengutipnya. Prabowo, kata Anies, harus dapat
menakar apakah angka tersebut masuk akal atau tidak. 4
Kata yang di bold diatas, adalah kata yang tertulis di situs nasional.kompas.com. Dari segi cara penulisan
saja, sudah ada kata yang hendak ditonjolkan, yang diharapkan menarik perhatian dan menjadi konstruksi
yang dibentuk media, bukan dari kondisi yang natural tapi proses dari kerangka pemikiran, perspektif,
konsep, dan klaim interpretatif media dalam rangka memaknai objek wacana.
Priatmojo, dedy. http://nasional.news.viva.co.id/news/read/513526-kpk-klarifikasi-soal-kebocoran-uangnegara-rp7-200-triliun, diakses 29 Agustus 2014
4
Movanita, Ambaranie Nadia Kemala. http://nasional.kompas.com/read/2014/06/17/1920020/Keliru.
Sebut.Kebocoran.Anggaran.Prabowo.Dianggap.Tak.Kuasai.Perekonomian , diakses 29 Agustus 2014
3
Tatanan sosial dan solidaritas sebagai efek jangka panjang yang ideal menjadi utopia, karena perilaku
bullying ada dan semakin marak, karena diproduksi sendiri oleh media. Sebagai contoh, terusan berita
diatas, kemudian diperpanjang media menjadi bullying. Dimulai dari pemilihan judul: kebocoran 7.200
triliyun menggelikan, sampai kepada kutipan narasumber, seperti yang ditulis dibawah ini:
"Angka ini menggelikan karena terlalu besar," kata Tony, Ahad (15/6). Menurutnya, Produk
Domestik Bruto (PDB) nasional setahun sebesar Rp 9.400 triliun. Sementara, anggaran pendapatan
dan belanja negara (APBN) negara hanya Rp 1.840 triliun. Ia menilai rasanya tidak mungkin
kebocoran Rp 7.200 triliun.
Kecenderungan berita yang ditulis dimedia dan kemudian masuk ke online, yang memiliki ruang publik
untuk dikomentari oleh pembacanya. Acapkali perilaku bullying media diteruskan oleh para pembaca ini
di jejaring sosial. Sehingga perilaku saling bully adalah perilaku yang akrab dengan keseharian masyarakat
karena ditopang oleh media. Media dengan efek priming, dan adanya kelompok yang tersuntik dengan
agenda seting media, menjadikan tatanan sosial yang ada adalah sepenuhnya hasil konstruksi media.
Namun apa jadinya bila ada perbedaan kepentingan yang diusung media? tahun politik 2014 hanya
mengusung dua pasangan capres dan cawapres, hal ini berimbas kepada terbelah duanya konstruksi
media dalam agenda framing pemberitaan politik 2014. Media memperlihatkan wajah aslinya, yang tidak
bisa menjadi netralitas. Simbol dua garis jurnalistik antara menyampaikan hak publik untuk tahu dan
mendapatkan informasi dengan profesionalisme yang terkait dengan tarik menarik kepentingan politik
pemilik media, menjadikan media sebagai alat perseteruan dan bullying antarmedia yang berlanjut ke
dunia maya. Adakalanya perseteruan dan perilaku bulying di media dan dunia maya berdampak kepada
kehidupan sosial masyarakat, seperti rusaknya hubungan pertemanan, bahkan sampai aksi anarkis,
karena tidak menerima framing dari media yang berlawanan dengan jagoan politik yang diusung.
Efek yang ada dari konsumsi media, media belum bisa bekerja dalam lima prinsip tersebut, dan program
melek media (kalaupun ada), belum melatih pengguna media untuk "membaca media," apalagi untuk
"membaca penghakiman media". Media dengan segala kehebatan dan efek yang ditimbulkannya, adalah
alat kepentingan. Siapa yang menguasai media dengan jangkauan pembaca yang luas, dia akan menguasai
opini masyarakat yang luas pula. Bila media tersebut digunakan sebagai alat perseteruan atau bullying,
begitu pula cerminan tatanan sosial yang ada.
DISKUSI
Ada banyak pernyataan yang bisa kita diskusikan bersama demi mewujudkan negeri utopia yan
menerapkan 5 prinsip kinerja media. Sampai makalah ini ditulis, framing media terhadap opini bagaimana
membangun tatanan sosial negeri utopia bernama Indonesia masih dalam perseteruan . Perseteruan
yang paling hangat adalah soal menaikan harga BBM. Media terbelah menjadi dua framing, yang satu
menginginkan kenaikan, yang satunya tidak. Dan opini di masyarakat pun menjadi terbelah, sesuai dengan
preferensi media yang dipilihnya. Kehadiran sosial media, menjadikan negeri ini menjadi negeri yang
sangat riuh, dan cenderung bertengkar satu sama lain. Komunikasi yang terjadi menjadi tidak efektif,
karena menguras tenaga, sementara bentuk pembangunan secara fisik tidak dirasakan. Karena
bagaimanapun wujud dari pembagunan mental bisa diukur dari seberapa karya yang dihasilkan.
Studi Hubungan Media dan Masyarakat terkait Konsumsi Berita Politik 2014 dan Tarik Menarik
Kepentingan Pemilik Media dalam Framing Pemberitaan Politik 2014 ibarat menghasilkan perang wacana
dengan wacana. Dalam perang wacana ini, isinya tiada lain dari konstruksi media yang tiada akhir yang
bernama: kepentingan.
KESIMPULAN
Berdasarkan Lima Prinsip Kinerja Media, yaitu: kebebasan, kesetaraan, keberagaman, kebenaran dan
kualitas informasi, tatanan sosial dan solidaritas, tampaknya lima prinsip ini seperti utopia. Prinsip
pertama yaitu kebebasan. Publik mendapat keuntungan dari kebebasan tersebut, antara lain dengan
perannya sebagai pengamat yang sistematis dan independen terhadap pemilik kekuasaan
(watchdog), stimulasi sistem dan kehidupan sosial demokratis yang aktif dan memiliki informasi,
kesempatan untuk mengungkapkan ide, mendorong pembaruan dan perubahan budaya dan masyarakat
secara berkelanjutan, serta meningkatnya jumlah dan variasi kebebasan dalam berbagai aspek yang bisa
dilaksanakan. Uniknya fenomena tahun politik 2014, melahirkan dua kubu publik pengamat yang saling
berseberangan . Disatu disisi, bila dilihat dengan kacamata positif, pengamat yang berseberangan ini
adalah modal untuk persaingan. Persaingan yang dilihat dari sisi baiknya, menjadikan iklim yang lebih
maju, kreatif dan inovatif.
Prinsip kedua, yaitu kesetaraan. Kesetaraan ini bisa berarti organisasional dimana dalam pengelolaan
media sebagai suatu organisasi tidak ada intervensi dari pihak luar. Namun bila semua redaksi sudah
sepakat akan sebuah isu, ini bisa dijadikan pembenaran, bahwa mereka bekerja secara independen, dan
tidak ada intervensi dari luar. Pada kenyataannya seseorang berkumpul dan berserikat karena memiliki
kesamaan visi dan misi. Bila ada yang sudah tidak sejalan, ia bisa keluar. Prinsip ketiga, keberagaman.
Pada level masyarakat secara umum, keanekaragaman ini biasanya diukur dengan melihat jumlah media
independen yang ada dalam masyarakat. Semakin banyak media independen yang dapat dilihat dan
dihitung, maka semakin baik pula keberagaman yang ada dalam masyarakat kita. Secara lebih jauh,
keanekaragaman ini akan meminimalisir monopoli media. Kenyataannya, pasar media di Indonesia
dimonopoli oleh sejumlah elit pengusaha media. Dan pada tahun politik 2014 ini, para pemilik ini
menyatakan secara tegas posisi politik yang dipilih.
Prinsip keempat, kebenaran dan kualitas informasi. Dalam prinsip ini, terdapat konsep objektivitas. Yang
dimaksud dengan konsep objektivitas adalah (1) tidak ada agenda tersembunyi atau layanan terhadap
pihak ketiga (pihak kepentingan), (2) sikap adil dan tidak diskriminatif pada sumber dan objek berita yang
harus diperlakukan setara. Konsep ini tidak terlihat bisa diterapkan pada konstruksi berita politik
sepanjang 2014 di media massa. Fenomena ini terlihat jelas dalam framing pemberitaan politik di 2014,
dibagi dalam dua tahap, yang pertama adalah berita politik seputar pileg dan yang kedua seputar capres.
Terjadi perubahan tren pemberitaan setelah pileg usai. Framing berita yang semula mengusung partai
dan tokoh dari partai, kini mengerucut menjadi capres. Framing semakin jelas dikarenakan capres hanya
dua, dan keberpihakan media sangat kental sekali. Bila tidak memihak A, maka memihak B. Keberpihakan
ini tampak dari frekuensi pemberitaan dan struktur bahasa yan dipakai dalam pemberitaan. Prinsip
kelima, tatanan sosial dan solidaritas. Untuk menuju prinsip terakhir ini, diperlukan itikad baik dan
konstruksi bijak untuk tidak berdiri diatas kepentingan pribadi maupun golongan, tapi kepentingan
jurnalistik, dimana tugasnya adalah memberikan hak masyarakat untuk tahu dan mendapatkan informasi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Bagong Suyanto. (1995). Metode Penelitian Sosial. Surabaya: Airlangga University Press.
Eriyanto. (2008). Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta:LkiS
McQuails, Dennis. (2010). Mass Communication Theory, 4th Edition. London, Thousand Oaks : Sage
Publications
More, Thomas (2002). George M. Logan and Robert M. Adams (eds.), ed. Utopia. Raymond Geuss and
Quentin Skinner (series eds.) (Revised ed.). New York: Cambridge University Press
Mosco, Vincent. (1996). The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal. London,
Thousand Oaks : Sage Publications
Online
Asril, Sabrina. http://nasional.kompas.com/read/2014/06/27/0614119/Fenomena.Unfriend.Capres.
Jagoan.dan.Kampanye.Hitam, diakses 29 Agustus 2014
Darmawan, wahyu. http://surabaya.bisnis.com/read/20140618/94/72328/ini-data-lengkap-
pemberitaan-tv-one-dan-metro-tv-tentang-prabowo-dan-jokowi, diakses 29 Agustus 2014
http://kamusbahasaindonesia.org/utopia/mirip diakses 20 Agustus 2014
Movanita, Ambaranie Nadia Kemala. http://nasional.kompas.com/read/2014/06/17/1920020/Keliru.
Sebut.Kebocoran.Anggaran.Prabowo.Dianggap.Tak.Kuasai.Perekonomian, diakses 29 Agustus
2014
Nadjib, Supadiyanto Espede Ainun. http://media.kompasiana.com/new-media/2013/07/14/peta-bisnismedia-massa-di-indonesia-pra-pemilu-2014-573468.html, diakses 29 Juli 2014
Priatmojo, dedy. http://nasional.news.viva.co.id/news/read/513526-kpk-klarifikasi-soal-kebocoranuang-negara-rp7-200-triliun, diakses 29 Agustus 2014
Yolandha, Friska. http://www.republika.co.id/berita/pemilu/hot-politic/14/06/16/n784f6-kebocoran-rp7200-triliun-menggelikan, diakses 29 Agustus 2014
(Studi Hubungan Media dan Masyarakat terkait Konsumsi Berita Politik 2014 dan Tarik Menarik
Kepentingan Pemilik Media dalam Framing Pemberitaan Politik 2014)
Dini Safitri
Jurusan Ilmu Sosial Politik, FIS UNJ, Jakarta
[email protected]
Abstract
Entering politics in 2014, an increase in consumption by the public media, especially regarding political
news. The increase was also due to the incessant media raised concerning political news. What's more,
in this election, many media owners who go directly into politics. This phenomenon makes media
consumption trends in 2014, more towards political news. And interestingly, the trend talks political
news from the mainstream media, then continue into social media, or vice versa, from social media,
then raised to the mainstream media. Where, one trend that is becoming the talk, is the pull of the
interests of media owners who further highlight the framing of news that can push his political
opponents and increase the positive news about yourself and party supporters. Based on the Five
Principles of Performance Media, namely: freedom, equality, diversity, truth and quality of information,
social order and solidarity, these five principles seem like utopia. News that there is a construction that
results are not free from media owners. News raised not have equality in the selection of the language,
let alone the duration or length of the column. Protrusion of a certain figure with all aspects of the
advantages and disadvantages, too in exposure with the same technique and repetitive, so there is no
diversity news. Truth and the quality of information in the political news raises a big question mark,
because the news often that one gets a rebuttal of partisan media of political opponents. Social order
and solidarity as the long-term effects are idealized into a utopia, since there is bullying behavior and
increasingly widespread, as produced by the media. No effect of consumption of media, the media can
not work in these five principles, and media literacy programs (if any), not to train users of media to
"read the media," especially to "read the judgment of the media".
Keywords: Theory of Media and Society, Media Management, Political News Consumption 2014
Abstrak
Memasuki tahun politik 2014, terjadi peningkatan konsumsi media oleh masyarakat, khususnya
mengenai berita politik. Peningkatan tersebut juga disebabkan karena gencarnya media mengangkat
berita mengenai politik. Terlebih lagi, dalam pemilu kali ini, banyak pemilik media yang terjun langsung
ke politik. Fenomena ini membuat tren konsumsi media 2014, lebih banyak kearah berita politik. Dan
menariknya, tren pembicaraan berita politik dari media mainstream, kemudian berlanjut ke sosial
media, atau sebaliknya, dari sosial media, kemudian diangkat ke media mainstream. Dimana, salah satu
tren yang menjadi pembicaraan, adalah mengenai tarik menarik kepentingan pemilik media yang lebih
menonjolkan framing berita yang memojokan lawan politiknya dan memperbesar berita positif tentang
diri dan partai pendukungnya. Berdasarkan Lima Prinsip Kinerja Media, yaitu: kebebasan, kesetaraan,
keberagaman, kebenaran dan kualitas informasi, tatanan sosial dan solidaritas, tampaknya lima prinsip
ini seperti utopia. Berita yang ada adalah hasil konstruksi yang tidak bebas dari pemilik media. Berita
yang diangkat tidak memiliki kesetaraan dalam pemilihan bahasa, apalagi durasi atau panjang kolom.
Penonjolan sosok tertentu dengan segala aspek kelebihan maupun kekurangan, terlalu di eksposure
dengan teknik yang sama dan berulang-ulang, sehingga tidak terjadi keberagaman berita. Kebenaran
dan kualitas informasi dalam berita politik menimbulkan tanda tanya yang besar, karena acapkali berita
yang satu mendapat bantahan dari media partisan dari lawan politik. Tatanan sosial dan solidaritas
sebagai efek jangka panjang yang idel menjadi utopia, karena perilaku bullying ada dan semakin marak,
karena diproduksi sendiri oleh media. Efek yang ada dari konsumsi media, media belum bisa bekerja
dalam lima prinsip tersebut, dan program melek media (kalaupun ada), belum melatih pengguna media
untuk "membaca media," apalagi untuk "membaca penghakiman media".
Kata Kunci: Teori Media dan Masyarakat, Manajemen Media, Konsumsi Berita Politik 2014
PENDAHULUAN
Memasuki tahun politik 2014, terjadi peningkatan konsumsi media oleh masyarakat, khususnya mengenai
berita politik. Peningkatan tersebut juga disebabkan karena gencarnya media mengangkat berita
mengenai politik. Terlebih lagi, dalam pemilu kali ini, banyak pemilik media yang terjun langsung ke politik.
Fenomena ini membuat tren konsumsi media 2014, lebih banyak kearah berita politik. Dan menariknya,
tren pembicaraan berita politik dari media mainstream, kemudian berlanjut ke sosial media, atau
sebaliknya, dari sosial media, kemudian diangkat ke media mainstream. Dimana, salah satu tren yang
menjadi pembicaraan, adalah mengenai tarik menarik kepentingan pemilik media yang lebih menonjolkan
framing berita yang memojokan lawan politiknya dan memperbesar berita positif tentang diri dan partai
pendukungnya.
Setelah pemilihan legislatif usai, berlanjut kepada pemilihan calon presiden (capres) dan wakil presiden
(cawapres). Ternyata, gambaran informasi yang ada dimedia, jauh dari lima prinsip kinerja media. Hal ini
bukan saja menyangkut keikutsertaan pemilik media yang terjun ke politik, tapi bias kepentingan dari
media itu sendiri. Sulit sekali mencari media yang netral, bahkan dapat dikatakan tidak ada. Padahal, bila
kita kembali kepada teori media massa, berdasarkan Lima Prinsip Kinerja Media, yaitu: kebebasan,
kesetaraan, keberagaman, kebenaran dan kualitas informasi, tatanan sosial dan solidaritas, tampaknya
lima prinsip ini seperti utopia.
Utopia, menurut kamus bahasa Indonesia, berarti sist em sosial polit ik yang sem purna yang hany a ada
dalam bayangan ( khayalan) dan sulit at au t idak m ungkin diwuj udkan dalam kenyat aan: kit a t idak
m enghendaki 1 . Sem ent ara it u, ist ilah Ut opia pert am a kali diam bil dari j udul buku yang dit ulis t ahun
1516, oleh Sir Thom as More. Dalam buku Ut opia, penulis m enj elaskan t ent ang sebuah pulau fiksi di
sam udera at lant ik, m em iliki sist em hukum , sosial, dan polit ik yang sem purna. Kem udian ist ilah ini
dipakai unt uk m enyat akan sebuah m asyarakat yang berusaha m encipt akan m asy arak at ideal ,
baik
dalam sistem sosial, politik, dan penerapan hukumnya. Sebuah negeri indah yang bernama Utopia. Di
negeri itu digambarkan alat-alat produksinya dikuasai oleh umum dan penduduknya menjunjung tinggi
perihal kemanusiaan, kesusilaan, dan kebajikan 2. Pertanyaannya, bagaimana penerapan teori media
http://kamusbahasaindonesia.org/utopia/mirip
More, Thomas (2002). George M. Logan and Robert M. Adams (eds.), ed. Utopia. Raymond Geuss and Quentin Skinner (series
eds.) (Revised ed.). New York: Cambridge University Press
1
2
massa dari lima prinsip kinerja media di pilpres 2014 ini? Apakah realisasi penerapannya hanya utopia
saja?
Seperti kita ketahui, berita yang ada, adalah hasil konstruksi yang tidak bebas dari media. Berita yang
diangkat tidak memiliki kesetaraan dalam pemilihan bahasa, apalagi durasi atau panjang kolom.
Penonjolan sosok tertentu dengan segala aspek kelebihan maupun kekurangan, terlalu di eksposure
dengan teknik yang sama dan berulang-ulang, sehingga tidak terjadi keberagaman berita. Kebenaran dan
kualitas informasi dalam berita politik menimbulkan tanda tanya yang besar, karena acapkali berita yang
satu mendapat bantahan dari media partisan dari lawan politik. Tatanan sosial dan solidaritas sebagai
efek jangka panjang yang idel menjadi utopia, karena perilaku bullying ada dan semakin marak, karena
diproduksi sendiri oleh media. Efek yang ada dari konsumsi media, media belum bisa bekerja dalam lima
prinsip tersebut, dan program melek media (kalaupun ada), belum melatih pengguna media untuk
"membaca media," apalagi untuk "membaca penghakiman media".
TINJAUAN TEORI/KAJIAN
Perkembangan media massa dipengaruhi beragam faktor yang menentukan bagaimana penampilan dan
kinerja media massa secara umum. Faktor-faktor yang mempengaruhi media massa berkisar pada semua
aspek termasuk struktur dan kinerja media. Menurut McQuail (2010) media massa memiliki setidaknya
lima prinsip yang mempengaruhi kinerja media massa tersebut, yaitu (1) Prinsip Kebebasan, (2)
Kesetaraan, (3) Keragaman, (4) Kebenaran dan kualitas informasi, (5) tatanan sosial dan solidaritas.
Media Freedom as a Principle / Prinsip Kebebasan Media
Kebebasan adalah kondisi dari kinerja yang diterapkan terutama kepada struktur media. Kebebasan disini
dibedakan menjadi dua yaitu kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Kebebasan berekspresi artinya
adalah hak yang lebih luas dan merujuk pada konten dari apa yang dikomunikasikan (opini, ide, informasi,
seni, dan sebagainya), sementara pers merujuk pada satu wadah utama, alat, atau kendaraan untuk
menjalankan publikasi. Publik mendapat keuntungan dari kebebasan tersebut, antara lain dengan
perannya sebagai pengamat yang sistematis dan independen terhadap pemilik kekuasaan
(watchdog), stimulasi sistem dan kehidupan sosial demokratis yang aktif dan memiliki informasi,
kesempatan untuk mengungkapkan ide, mendorong pembaruan dan perubahan budaya dan masyarakat
secara berkelanjutan, serta meningkatnya jumlah dan variasi kebebasan dalam berbagai aspek yang bisa
dilaksanakan.
Disinilah secara lebih lanjut ditunjukkan bagaimana budaya media bekerja, independensi terbentuk, dan
berbagai hal seperti kreativitas, originalitas, dan kreativitas muncul. Kondisi struktural yang menjadi acuan
karena media bebas dari tekanan ekonomi maupun tekanan politik. Ruang yang cukup bagi publik dan
akses yang terbuka atas akses informasi.
Pada jenjang organisasi media, kebebasan biasanya dinilai berdasarkan kadar kontrol yang disajikan oleh
para pemilik media terhadap para komunikator (penyunting, produsen, dan lain-lain), serta kontrol yang
dikenakan oleh pada komunikator sendiri terhadap pada bawahannya (wartawan, pengarang, seniman,
dan lain-lain) dalam wadah organisasi yang seringkali bersifat birokratis dan hirarkis. Sehubungan dengan
isi media, seringkali terwujud dalam bentuk penghapusan berita (sensor) tertentu sehingga
mengakibatkan perbedaan antara isi suntingan dengan apa yang diberikan oleh sumber. Prinsip ini
setidaknya memberi harapan bahwa media akan mampu melakukan berbagai upaya aktif untuk
menciptakan dan memelihara suasana independen serta menolak kontrol eksternal yang dipaksakan atau
konformitas dengan kelompok yang mementingkan diri sendiri.
Media Equality as a Principle/ Prinsip Kesetaraan dalam Bermedia.
Kesetaraan dalam bermedia ini bermakna cukup luas. Dalam penjabaran umum, kesetaraan ini bisa
berarti organisasional dimana dalam pengelolaan media sebagai suatu organisasi tidak ada intervensi dari
pihak luar. Bisa pula bermakna, dalam hal content media tidak ada campur tangan dari pihak luar yang
bisa mempengaruhi isi dari media tersebut. Dengan kondisi seperti ini, dapat dikatakan semua pihak, baik
dalam kondisi seperti apapun tidak mempunyai perbedaan dalam media. Prinsip objektivitas dalam media
yang menonjol pada prinsip kesetaraan ini. (McQuails, 2010 : 195)
Prinsip kesetaraan ini sebagai suatu konsep dalam kriteria penampilan media mempunyai korelasi paling
tidak dengan tiga elemen yang membangun media, yaitu akses terhadap media yang bersangkutan,
keberagaman yang muncul, serta masalah objektivitas. Dalam hal akses, kesetaraan menawarkan suatu
kondisi proporsional dimana media bersikap terbuka dan memperbolehkan siapapun mengakses, dalam
arti tidak bermaksud mengintervensi ataupun membuat media berpihak pada pihak-pihak tertentu.
Kesetaraan dalam kacamata keberagaman menawarkan niatan untuk perubahan menjadi sesuatu yang
lebih baik dan memperkaya informasi yang beredar dalam masyarakat karena adanya akses yang sama.
Sedangkan objektivitas mempertaruhkan media dalam kondisi sebagai penyampai kebenaran yang adil
dan tidak berpihak kepada siapapun.
Media Diversity as a Principle/ Prinsip Keanekaragaman.
Keanekaragaman merupakan kondisi yang diperlukan khalayak untuk dapat menentukan pilihan. Dalam
keadaan ini, keanekaragaman dianggap perlu untuk memberikan referensi. Kondisi seperti ini menjadi
sesuatu yang penting dalam kehidupan demokrasi. Pasalnya, pandangan-pandangan yang muncul akan
menjadi pembanding satu sama lain dan membuka peta persaingan dalam kondisi yang proporsional.
Dengan demikian, implikasi yang mungkin muncul adalah tercapainya perubahan sosial yang akan
menjadikan persebaran informasi dalam masyarakat menjadi lebih mengakar. (McQuails, 2010 : 196
197)
Pada level masyarakat secara umum, keanekaragaman ini biasanya diukur dengan melihat jumlah media
independen yang ada dalam masyarakat. Semakin banyak media independen yang dapat dilihat dan
dihitung, maka semakin baik pula keberagaman yang ada dalam masyarakat kita. Secara lebih jauh,
keanekaragaman ini akan meminimalisir monopoli media, yang secara prinsip ditentang oleh prinsip
keanekaragaman yang dijelaskan McQuails ini. Dalam kondisi makro, keanekaragaman selayaknya tidak
hanya dilihat dari jumlah media independen dan tidak independen saja. Keanekaragaman ini juga bisa
dilihat melalui semua jenis media yang ada (media cetak seperti koran dan majalah, radio, televisi,
internet), sektor media yang dituju, maupun segmentasi dari media. Sedangkan dalam level mikro,
keanekaragaman media ini bisa dilihat dari karakter tiap-tiap media seperti melihat content media,
berapa jumlah judul yang muncul dengan tipikal tulisan yang seperti apa.
Keanekaragaman yang muncul dalam media mempunyai dua subprinsip keanekaragaman. Yang pertama
keanekaragaman refleksif, mengandung pengertian bahwa keanekaragaman media harus merupakan
pencerminan keanekaragaman masyarakat secara proporsional. Yang kedua adalah akses yang terbuka,
mengandung makna bahwa semua pandangan dan sektor dalam masyarakat dianggap sama.
Keanekaragaman yang muncul karena adanya media, seringkali dipandang sebagai sesuatu yang positif
karena merupakan suatu wujud dari kebebasan bermedia yang telah terjadi. Keanekaragaman menjadi
gambaran beragamnya informasi yang akan mungkin diakses oleh masyarakat.
B. Situasi dan kondisi media massa (konvensional) di Indonesia bila ditinjau dari prinsip kebebasan
belumlah ideal seperti ide awal McQuail pada tabel berikut ini:
Tabel B.1 Keuntungan Publik dari Prinsip Kebebasan Media
Point nomer satu, peran pengawasan yang dilakukan media terkadang hanya memburu berita yang
sensasional dari situasi politik, hukum, ekonomi dan permasalahan sosial budaya yang ada. Sebagai
contoh, maraknya kasus korupsi yang melibatkan sejumlah politisi partai lebih pengedepankan berita
yang sensasional yang berada dibalik kasus, tanpa mencari solusi yang berarti mengapa kasus korupsi
terus marak terjadi dan semakin intensif diberitakan tanpa bisa memberikan efek jera bagi para pelaku.
Sehingga peran pengawasan hanya menjadi peran penonton, yang setelah tayangannya bubar, bubar juga
cerita korupsinya.
Point nomer dua, rangsangan pada sistem demokrasi sudah sangat baik terjadi di Indonesia, tapi ini terjadi
bukan karena peranan media konvensinal seperti TV, Radio, Koran dan Majalah, tapi karena peranan
media baru seperti blog, dan jejaring sosial lainnya yang dapat dimanfaatkan masyarakat untuk bebas
mengemukakan pendapat dan opininya terhadap pemberitaan yang beredar di media konvensional.
Dalam jejaring sosial ini, masyarakat bebas berpendapat tanpa adanya sensor, kecuali self sensor dari
masyarakat itu sendiri.
Point nomer 3 dan 4 juga lebih banyak diberikan oleh media baru, daripada media konvensional. Media
konvensional hanya dijadikan sumber inspirasi masyarakat untuk lebih mengembangkan aktualisasi
dirinya, namun kemudian penyalurannya berada di media baru. Sebagai contoh: kasus korupsi yang
melibatkan politisi partai informasinya di dapatkan dari media konvensional, namun tempat untuk
mengekpresikan ide terhadap kasus tersebut dituangkan publik pada jejaring sosial, sehingga
pembaharuan dan perubahan budaya yang mengedepankan kebebasan berpendapat dapat terjadi karena
terjadinya sinergi fungsional antara media konvensional dan media baru. Maka, point nomer 5 akan
terjadi bila ada disinergi dinamis antara media konvensional sebagai sumber informasi dan media baru
sebagai media keragaman kebebasan, karena di media baru kebebasan untuk bicara pro atau kontra
terhadap apapun tidak ada sekat atau batas. Sebagai contoh korupsi yang melibatkan politisi partai
membuat PKS menjadi partai yang paling banyak dibicarakan di sosial media, terkait keberagaman
kebebasan. Masyarakat bebas menulis antara tulisan PKS lovers dengan PKS haters, dimana kedua kubu
dalam memberikan argumentasi sebagian besar mengacu pada pemberitaan di media konvensional dan
media baru dalam bentuk situs pemberitaan media online.
Sedangkan Situasi dan kondisi media massa (konvensional) di Indonesia bila ditinjau dari prinsip
kesetaraan juga menjadi persoalan krusial baik dalam struktur dan performa media konvensional di
Indonesia. Adanya konglomerasi media di Indonesia, sampai membuat presiden SBY mengeluh di depan
publik, bahwa partainya yang tidak menguasai media, selalu menjadi bulan-bulanan media. Dalam hal ini,
level penguasa sekalipun tidak memiliki akses dalam mengontrol politik ekonomi media. Dilain pihak,
pemilik media yang kini ikut bertarung dalam pemilu 2014, kerap kali tampil di media massa konvensional
yang dimilikinya lewat berbagai program acara yang ada. Sebagai contoh: kemunculan WIN-HT di RCTI
dalam sebuah telekuis berhadiah yang kini tayang 4x dalam sehari, membuat gerah kritikus media. Belum
lagi, iklan dan pemberitaan yang memang dikemas sedemikian rupa di beberapa grup media yang dimiliki
oleh HT. Fenomena ini mengindikasikan adanya bias kepentingan pemilik media terhadap struktur dan
kinerja media. Sehingga tidak tampak struktur dan kinerja media dalam prinsip kesetaraan seperti yang
ditunjukan oleh bagan di bawah ini:
Bagan B.1 Sturktur dan Performa Prinsip Kesetaraan dalam Media.
Sementara itu, Situasi dan kondisi media massa (konvensional) di Indonesia bila ditinjau dari prinsip
keberagaman, dari segi jumlah dirasakan sudah sangat beragam, dari tahun 1998-2000 saja tercatat
hampir 1.000 perusahaan media yang mendapatkan izin terbit dari pemerintah, kendati hanya sedikit
perusahaan media yang bisa bertahan sebab terjadi kompetisi bisnis yang sangat ketat. Jumlah media
cetak pada awal tahun 1999 sebanyak 289 buah, dan pada tahun 2001 menjadi 1.881 buah. Akhir tahun
2010, jumlah media cetak menyusut menjadi 1.076 buah (Data Serikat Penerbit Surat Kabar, 2011). Pada
tahun 2002, jumlah stasiun radio mencapai 873 buah. Pada tahun 2003, ada 11 stasiun televisi, 186 surat
kabar harian, 245 surat kabar mingguan, 279 tabloid, 242 majalah dan 5 buletin (Gobel and Eschborn,
2005). Sayangnya dari segi jumlah kepemilikan, ternyata media tersebut hanya dimiliki oleh sejumlah
pemilik, setidaknya ada 13 pemilik berbagai perusahaan media massa konvensional dan media online di
Indonesia.
No
Pemilik
Grup Media
Kepemilikan
1
Hary Tanoesoedibjo
MNC Group
20 stasiun televisi, 22 stasiun radio, 7 media
2
Jacob Oetamo
Kompas
10 stasiun televisi, 12 stasiun radio, 89 media
3
Eddy Kusnadi
Elang Mahkota 3 stasiun televisi dan 1 media online
4
Abdul Gani dan Erick Tohir
Mahaka Media
2 stasiun televisi, 19 stasiun radio, dan 5
5
Chairul Tanjung
CT Group
2 stasiun televisi, 1 media online
6
James Riady
Beritasatu
2 stasiun televisi, 10 media cetak dan 1
7
Surya Paloh
Media Group
1 stasiun televisi dan 3 media cetak
8
Anindya Bakrie
Visi Media Asia
2 stasiun televisi dan 1 media online
Sariaatmadja
cetak dan 1 media online
Gramedia Group cetak dan 2 media online
Teknologi
Media Holdings
media cetak
media online
9
Dahlan Iskan dan Azrul Jawa Pos Group
20 stasiun televisi, 171 media cetak dan 1
10
Adiguna Soetowo dan
11 stasiun radio, 16 media cetak
11
Pia Alisyahbana dan Mirta Femina Group
12
Yayasan Tempo
Tempo
13
Satria Narada
Media Bali Post televisi, 8 stasiun radio, 8 media cetak dan 2
Ananda
Soetikno Soedarjo
MRA Media
Kartohadiprodjo
Media
media online
2 stasiun radio dan 14 media cetak
Inti 1 stasiun televisi, 1 stasiun radio, 3 media
Group
cetak dan 1 media online
media online
Sumber:Nugroho,Yanuar. dkk. 2012 dan Lim, M. 2012 dalam http://media.kompasiana.com/newmedia/2013/07/14/peta-bisnis-media-massa-di-indonesia-pra-pemilu-2014-573468.html
Adanya oligopoli media, menjadikan stuktur dan performa media massa dikendalikan para pemilik modal
dan digunakan untuk mengeruk keuntungan. Disisi lain, terjunnya pemiliki media yang terjun ke politik
seperti ARB (pemilik Visi Media Asia yang sekaligus menjadi Ketua Umum Partai Golkar), Surya Paloh
(pemilik Media Group dan Ketua Umum Partai Nasional Demokrat), HT (pemilik MNC Group dan sekaligus
politikus Partai Hanura), dan DI (bos Jawa Pos Group sekaligus Menteri BUMN), menjadikan media
sebagai alat pengusaha dan politikus dalam menyampaikan kepentingan mereka sambil mendapatkan
keuntungan dari bisnis. Stuktur dan performa media menjadi sarana kompetisi bisnis sekaligus kompetisi
politik para pengusaha media yang berkeinginan kuat menjadi pejabat negara di berbagai lembaga
eksekutif maupun legislatif. Fenomena ini memperlambat munculnya berbagai keuntungan yang dapat
dirasakan publik berdasarkan keragaman media, yaitu:
Prinsip Kebenaran dan kualitas informasi
Prinsip kebenaran mengacu pada informasi yang dapat diandalkan dari sumber yang terpercaya, sesuai
dengan realitas, pengalaman, dan relevan dalam berbagai penerapan. Bila prinsip kebenaran diterapkan,
maka dengan sendirinya akan terbentuk kualitas informasi. Bila ini yang terjadi, maka akan terjadi
keuntungan kualitas informasi yang memuat lima hal, yaitu: (1) Berkontribusi pada masyarakat yang
terdidik dan ahli, (2) Menyediakan kebutuhan dasar bagi pembuatan keputusan yang demokratis, (3)
Melindungi terjadinya propaganda dan ketertarikan irrasional, (4) Memperingatkan penyerangan budaya,
(5) Memenuhi kebutuhan akan informasi.
Dalam prinsip ini, terdapat konsep objektivitas. Yang dimaksud dengan konsep objektivitas adalah (1)
tidak ada agenda tersembunyi atau layanan terhadap pihak ketiga (pihak kepentingan), (2) sikap adil dan
tidak diskriminatif pada sumber dan objek berita yang harus diperlakukan setara. Konsep ini tidak terlihat
bisa diterapkan pada konstruksi berita politik sepanjang 2014 di media massa. Fenomena ini terlihat jelas
dalam framing pemberitaan politik di 2014, dibagi dalam dua tahap, yang pertama adalah berita politik
seputar pileg dan yang kedua seputar capres. Terjadi perubahan tren pemberitaan setelah pileg usai.
Framing berita yang semula mengusung partai dan tokoh dari partai, kini mengerucut menjadi capres.
Framing semakin jelas dikarenakan capres hanya dua, dan keberpihakan media sangat kental sekali. Bila
tidak memihak A, maka memihak B. Keberpihakan ini tampak dari frekuensi pemberitaan dan struktur
bahasa yan dipakai dalam pemberitaan.
Ketidak objektifan media dalam pemberitaan politik 2014, tidak terlepas dari sikap keberpihakan
terhadap objek peliputan. Sebagai contoh, capres yang di dukung oleh pemilik modal akan mendapat
porsi lebih dan dikonstruksi dengan pemberitaan yang mengarah pada kampanye positif, sedangkan
capres lawan, kalaupun ada diliput maka akan dibuatkan konstruksi pemberitaan yang mengarah kepada
kampanye negatif. Dalam hal ini tidak ada jarak antara konten dan iklan politik. Begitupun dari sumber
yang ditampilkan, tidak ada kombinasi keseimbangan bebas, baik dari pilihan komentar, sampai waktu,
tempat dan sudut pandang sudah dikonstruksi sedemikian rupa sesuai dengan konstruksi politik pihak
ketiga. Prinsip keseimbangan, netralitas, dan akurasi tidak tampak, media menyembunyikan
kepentingannya dari hal yang penting bagi masyarakat. Anehnya, bagi media, kepemihakan dalam
pemberitaan juga merupakan tuntutan dari masyarakat yang loyal terhadap capres tertentu. Disatu sisi
siaran seperti ini juga menaikan rating bagi masyarakat yang sudah terlanjur jatuh hati pada salah satu
sosok capres 2014.
Prinsip Tatanan sosial dan solidaritas
Prinsip ini merupakan prespektif kontrol sosial yang dilakukan baik dari atas dan bawah. Bentuknya dapat
terjadi karena kepatuhan solidaritas, keterikatan wilayah, konformitas atau hierarki otonomi dan identitas
budaya. Media diharapkan dapat menjadi alat kontrol sosial, dimana media lebih membela kepentingan
otoritas masyarakat daripada minoritas mapan baik secara sukarela ataupun di paksa. Fenomena framing
pemberitaan politik 2014, alih-alih mengedepankan kepentingan otoritas masyarakat, lebih dominan
untuk mengedepankan kepentingan minoritas mapan (elit politik). Dimana kepentingan minoritas mapan
dan otoritas masyarakat banyak tidak saling berkaitan. Kepentingan sekelompok elit terkadang hanya ada
dimenara gading kekuasaan yang menyentuh kepentingan sekelompok elit saja, dan tidak melibatkan
rakyat banyak. Contohnya adalah janji-janji kampanye, ataupun framing pencitraan para elit. Apa yang
dijanjikan dan apa yang dicitrakan terkadang jauh berbeda. Bahkan ada joke di sosial media, kartu
indonesia lupa. Kartu yang akan dipakai setelah kampanye usai, wakil rakyat dan presiden terpilih pun
lupa akan janji dan pencitraan yang dilakukan selama kampanye.
METODE PENELITIAN
Pendekatan penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Menurut Suyanto (1995), pendekatan kualitatif
adalah metode yang menekankan pada aspek pemahaman secara mendalam terhadap suatu masalah.
Metode penelitian ini menggunakan teknik analisis mendalam (in-depth analysis ), yaitu mengkaji masalah
secara kasus perkasus, karena dalam metodologi kulitatif, sifat suatu masalah satu, akan berbeda dengan
sifat dari masalah lainnya. Tujuan dari metodologi ini bukan suatu generalisasi, tetapi pemahaman secara
mendalam terhadap suatu masalah.
Dengan pendekatan kualitatif, penulis berharap penelitian ini dapat memberikan pembahasan secara
mendalam mengenai Studi Hubungan Media dan Masyarakat terkait Konsumsi Berita Politik 2014 dan
Tarik Menarik Kepentingan Pemilik Media dalam Framing Pemberitaan Politik 2014. Apakah kegitan
tersebut, memberikan hasil positif kepada Studi Hubungan Media dan Masyarakat terkait Konsumsi Berita
Politik 2014 atau malah sebaliknya, atau Tarik Menarik Kepentingan Pemilik Media dalam Framing
Pemberitaan Politik 2014 tersebut menemui benturan dengan teori 5 prinsip kinerja media, sehingga teori
tersebut hanya menjadi utopia?
Metode dalam penelitian ini adalah Metode Analisis framing dan Konstruksi Realitas Berger dan Luckman.
Metode analisis Framing adalah salah satu metode analisis teks yang berada dalam kategori penelitian
konstruksionis. Menurut Eriyanto (2002:37), paradigma konstruksionis memandang realitas kehidupan
sosial bukanlah realitas yang natural, tapi hasil dari sebuah konstruksi. Analisis framing secara sederhana
dapat digambarkan sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, aktor, kelompok,
atau apa saja) dibingkai oleh media. Realitas sosial dimaknai dan dikonstruksi dengan makna tertentu.
Peristiwa dipahami dengan bentuk tertentu. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan
pertautan fakta ke dalam fakta agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih ingat, untuk
mengiringi interpretasi khalayak sesuai perspektifnya.
Analisis framing merupakan suatu ranah studi komunikasi yang menonjolkan pendekatan multidisipliner
dalam menganalisis pesan-pesan tertulis maupun lisan. Konsep framing atau frame sendiri bukan berasal
dari ilmu komunikasi, melainkan dari ilmu kognitif (psikologis). Dalam prakteknya, analisis framing juga
memungkinkan disertakannya konsep-konsep sosiologis, politik dan kultural untuk menganalisis
fenomena-fenomena komunikasi, sehingga suatu fenomena dapat benar-benar dipahami dan diapresiasi
berdasarkan konteks sosiologis, politis atau kultural yang melingkupinya.
Konsep framing sering digunakan untuk menggambarkan proses seleksi dan penonjolan aspek tertentu
dari realitas oleh media. Framing dapat dipandang sebagai penempatan informasi informasi dalam
konteks yang khas sehingga isu tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada isu yang lain. Robert
M. Entman lebih lanjut mendefinisikan framing sebagai seleksi dari berbagai aspek realitas yang diterima
dan membuat peristiwa itu lebih menonjol dalam suatu teks komunikasi. Dalam banyak hal itu berarti
menyajikan secara khusus definisi terhadap masalah, interpretasi sebab akibat, evaluasi moral, dan
tawaran penyelesaian sebagaimana masalah itu digambarkan.
Dari definisi Entman tersebut framing pada dasarnya merujuk pada pemberian definisi, penjelasan,
evaluasi dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk menekankan kerangka berpikir tertentu terhadap
peristiwa yang diwacanakan. Berdasarkan definisi Entman tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui
bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh Media dan Masyarakat terkait Konsumsi
Berita Politik 2014 ketika menyeleksi isu dan menulisnya di media. Cara pandang atau perspektif itu pada
akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan dan hendak
dibawa kemana berita tersebut. Media berusaha untuk menonjolkan kerangka pemikiran, perspektif,
konsep, dan klaim interpretatif masing-masing dalam rangka memaknai objek wacana. Dalam konteks
inilah wacana teori 5 prinsip kinerja media dalam Studi Hubungan Media dan Masyarakat terkait Konsumsi
Berita Politik 2014 kemudian menjadi arena perang simbolik antara pihak-pihak yang berkepentingan
dengan suatu objek wacana. Perdebatan yang terjadi di dalamnya dilakukan dengan cara-cara yang
simbolik, sehingga lazim ditemukan bermacam-macam perangkat linguistik atau perangkat wacana yang
umumnya menyiratkan tendensi untuk melegitimasi diri sendiri dan mendelegitimasi pihak lawan.
TEMUAN/ ANALISIS/ PEMBAHASAN
Berdasarkan Lima Prinsip Kinerja Media, yaitu: kebebasan, kesetaraan, keberagaman, kebenaran dan
kualitas informasi, tatanan sosial dan solidaritas, tampaknya lima prinsip ini seperti utopia. ist ilah ini
dipakai unt uk m enyat akan sebuah m asyarakat yang berusaha m encipt akan m asy arak at ideal ,
baik
dalam sistem sosial, politik, dan penerapan hukumnya. Praktiknya, peningkatan konsumsi media oleh
masyarakat, khususnya mengenai berita politik sepanjang 2014 ini, terjadi karena gencarnya media
mengangkat berita mengenai politik. Terlebih lagi, dalam pemilu kali ini, banyak pemilik media yang terjun
langsung ke politik. Berita yang ada adalah hasil konstruksi yang tidak bebas dari pemilik media.
Berita yang diangkat tidak memiliki kesetaraan dalam pemilihan bahasa, apalagi durasi atau panjang
kolom.
Penonjolan sosok tertentu dengan segala aspek kelebihan maupun kekurangan, terlalu di eksposure
dengan teknik yang sama dan berulang-ulang, sehingga tidak terjadi keberagaman berita. Berikut ini salah
satu contoh rekapitulasi pemberitaan capres dan cawapres yang dikeluarkan KPI periode 19-25 Mei 2014,
yang ditulis Antara, kemudian di posting kembali di surabaya.bisnis.com:
Berdasarkan rekapitulasi pemberitaan capres dan cawapres yang dikeluarkan KPI periode 19--25
Mei 2014, frekuensi pemberitaan Jokowi-JK di Metro TV sebanyak 184 berita dan Prabowo-Hatta
sebanyak 110 berita. Durasi pemberitaan Jokowi-JK terhitung 37.577 detik sedangkan dan
Prabowo-Hatta 14.561 detik.
Adapun total frekuensi pemberitaan Jokowi-JK di TV One sebanyak 77 berita sedangkan PrabowoHatta 153 berita. Durasi pemberitaan Prabowo-Hatta di TV One juga lebih banyak dibandingkan
dengan Jokowi-JK yakni 36.561 detik berbanding 18.731 detik. Sedangkan lembaga penyiaran lain
di luar dua stasiun televisi swasta tersebut masih terbilang baik, katanya.
KPI sebagai komisi penyiaran yang independen telah berulang kali melakukan teguran kepada mediamedia terkait yang dinilai telah melakukan pelanggaran. Namun teguran tersebut tidak terlalu
memberikan efek jera, karena pelanggaran terus berulang terjadi.
Kebenaran dan kualitas informasi dalam berita politik menimbulkan tanda tanya yang besar, karena
acapkali berita yang satu mendapat bantahan dari media partisan dari lawan politik. Berikut salah satu
berita klarifikasi, dimana media salah mengutip maksud dari narasumber, dan kemudian dipakai menjadi
alat kampanye, dan ternyata data tersebut salah:
Menurut Bambang, apa yang disampaikan oleh Ketua KPK Abraham Samad dalam rapat kerja
nasional (Rakernas) PDI Perjuangan 7 September tahun lalu adalah negara bisa melipatgandakan
pendapatan jika potensi kekayaan negara dikelola dengan benar.
"Terus terang saya agak kaget mendengar hal (kebocoran) tersebut. Setelah dicek ternyata itu
disampaikan waktu pertemuan di PDIP, tetapi yang dimaksud Pak Ketua (Samad) adalah potential
revenue," kata Bambang di Gedung DPR, Jakarta, Selasa 17 Juni 2014. 3
Kesalahan data ini, bukan sekali atau dua kali. Namun yang menarik, permainan bahasa politik dalam
konstruksi pemberitaan, menjadi sangat berbeda bila dibedah secara framing, berikut adalah kutipan
berita dengan tema yang sama, namun berbeda cara pembahasannya:
"Bila angkanya meleset jauh sekali, sense atas angkanya berarti tidak ada. Pemahaman soal itu
tidak ada," ujar Anies, di Jakarta, Selasa (17/6/2014).
Anies mengatakan, jika tahu bahwa data yang dikutip dari Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi
Abraham Samad keliru, Prabowo seharusnya tak mengutipnya. Prabowo, kata Anies, harus dapat
menakar apakah angka tersebut masuk akal atau tidak. 4
Kata yang di bold diatas, adalah kata yang tertulis di situs nasional.kompas.com. Dari segi cara penulisan
saja, sudah ada kata yang hendak ditonjolkan, yang diharapkan menarik perhatian dan menjadi konstruksi
yang dibentuk media, bukan dari kondisi yang natural tapi proses dari kerangka pemikiran, perspektif,
konsep, dan klaim interpretatif media dalam rangka memaknai objek wacana.
Priatmojo, dedy. http://nasional.news.viva.co.id/news/read/513526-kpk-klarifikasi-soal-kebocoran-uangnegara-rp7-200-triliun, diakses 29 Agustus 2014
4
Movanita, Ambaranie Nadia Kemala. http://nasional.kompas.com/read/2014/06/17/1920020/Keliru.
Sebut.Kebocoran.Anggaran.Prabowo.Dianggap.Tak.Kuasai.Perekonomian , diakses 29 Agustus 2014
3
Tatanan sosial dan solidaritas sebagai efek jangka panjang yang ideal menjadi utopia, karena perilaku
bullying ada dan semakin marak, karena diproduksi sendiri oleh media. Sebagai contoh, terusan berita
diatas, kemudian diperpanjang media menjadi bullying. Dimulai dari pemilihan judul: kebocoran 7.200
triliyun menggelikan, sampai kepada kutipan narasumber, seperti yang ditulis dibawah ini:
"Angka ini menggelikan karena terlalu besar," kata Tony, Ahad (15/6). Menurutnya, Produk
Domestik Bruto (PDB) nasional setahun sebesar Rp 9.400 triliun. Sementara, anggaran pendapatan
dan belanja negara (APBN) negara hanya Rp 1.840 triliun. Ia menilai rasanya tidak mungkin
kebocoran Rp 7.200 triliun.
Kecenderungan berita yang ditulis dimedia dan kemudian masuk ke online, yang memiliki ruang publik
untuk dikomentari oleh pembacanya. Acapkali perilaku bullying media diteruskan oleh para pembaca ini
di jejaring sosial. Sehingga perilaku saling bully adalah perilaku yang akrab dengan keseharian masyarakat
karena ditopang oleh media. Media dengan efek priming, dan adanya kelompok yang tersuntik dengan
agenda seting media, menjadikan tatanan sosial yang ada adalah sepenuhnya hasil konstruksi media.
Namun apa jadinya bila ada perbedaan kepentingan yang diusung media? tahun politik 2014 hanya
mengusung dua pasangan capres dan cawapres, hal ini berimbas kepada terbelah duanya konstruksi
media dalam agenda framing pemberitaan politik 2014. Media memperlihatkan wajah aslinya, yang tidak
bisa menjadi netralitas. Simbol dua garis jurnalistik antara menyampaikan hak publik untuk tahu dan
mendapatkan informasi dengan profesionalisme yang terkait dengan tarik menarik kepentingan politik
pemilik media, menjadikan media sebagai alat perseteruan dan bullying antarmedia yang berlanjut ke
dunia maya. Adakalanya perseteruan dan perilaku bulying di media dan dunia maya berdampak kepada
kehidupan sosial masyarakat, seperti rusaknya hubungan pertemanan, bahkan sampai aksi anarkis,
karena tidak menerima framing dari media yang berlawanan dengan jagoan politik yang diusung.
Efek yang ada dari konsumsi media, media belum bisa bekerja dalam lima prinsip tersebut, dan program
melek media (kalaupun ada), belum melatih pengguna media untuk "membaca media," apalagi untuk
"membaca penghakiman media". Media dengan segala kehebatan dan efek yang ditimbulkannya, adalah
alat kepentingan. Siapa yang menguasai media dengan jangkauan pembaca yang luas, dia akan menguasai
opini masyarakat yang luas pula. Bila media tersebut digunakan sebagai alat perseteruan atau bullying,
begitu pula cerminan tatanan sosial yang ada.
DISKUSI
Ada banyak pernyataan yang bisa kita diskusikan bersama demi mewujudkan negeri utopia yan
menerapkan 5 prinsip kinerja media. Sampai makalah ini ditulis, framing media terhadap opini bagaimana
membangun tatanan sosial negeri utopia bernama Indonesia masih dalam perseteruan . Perseteruan
yang paling hangat adalah soal menaikan harga BBM. Media terbelah menjadi dua framing, yang satu
menginginkan kenaikan, yang satunya tidak. Dan opini di masyarakat pun menjadi terbelah, sesuai dengan
preferensi media yang dipilihnya. Kehadiran sosial media, menjadikan negeri ini menjadi negeri yang
sangat riuh, dan cenderung bertengkar satu sama lain. Komunikasi yang terjadi menjadi tidak efektif,
karena menguras tenaga, sementara bentuk pembangunan secara fisik tidak dirasakan. Karena
bagaimanapun wujud dari pembagunan mental bisa diukur dari seberapa karya yang dihasilkan.
Studi Hubungan Media dan Masyarakat terkait Konsumsi Berita Politik 2014 dan Tarik Menarik
Kepentingan Pemilik Media dalam Framing Pemberitaan Politik 2014 ibarat menghasilkan perang wacana
dengan wacana. Dalam perang wacana ini, isinya tiada lain dari konstruksi media yang tiada akhir yang
bernama: kepentingan.
KESIMPULAN
Berdasarkan Lima Prinsip Kinerja Media, yaitu: kebebasan, kesetaraan, keberagaman, kebenaran dan
kualitas informasi, tatanan sosial dan solidaritas, tampaknya lima prinsip ini seperti utopia. Prinsip
pertama yaitu kebebasan. Publik mendapat keuntungan dari kebebasan tersebut, antara lain dengan
perannya sebagai pengamat yang sistematis dan independen terhadap pemilik kekuasaan
(watchdog), stimulasi sistem dan kehidupan sosial demokratis yang aktif dan memiliki informasi,
kesempatan untuk mengungkapkan ide, mendorong pembaruan dan perubahan budaya dan masyarakat
secara berkelanjutan, serta meningkatnya jumlah dan variasi kebebasan dalam berbagai aspek yang bisa
dilaksanakan. Uniknya fenomena tahun politik 2014, melahirkan dua kubu publik pengamat yang saling
berseberangan . Disatu disisi, bila dilihat dengan kacamata positif, pengamat yang berseberangan ini
adalah modal untuk persaingan. Persaingan yang dilihat dari sisi baiknya, menjadikan iklim yang lebih
maju, kreatif dan inovatif.
Prinsip kedua, yaitu kesetaraan. Kesetaraan ini bisa berarti organisasional dimana dalam pengelolaan
media sebagai suatu organisasi tidak ada intervensi dari pihak luar. Namun bila semua redaksi sudah
sepakat akan sebuah isu, ini bisa dijadikan pembenaran, bahwa mereka bekerja secara independen, dan
tidak ada intervensi dari luar. Pada kenyataannya seseorang berkumpul dan berserikat karena memiliki
kesamaan visi dan misi. Bila ada yang sudah tidak sejalan, ia bisa keluar. Prinsip ketiga, keberagaman.
Pada level masyarakat secara umum, keanekaragaman ini biasanya diukur dengan melihat jumlah media
independen yang ada dalam masyarakat. Semakin banyak media independen yang dapat dilihat dan
dihitung, maka semakin baik pula keberagaman yang ada dalam masyarakat kita. Secara lebih jauh,
keanekaragaman ini akan meminimalisir monopoli media. Kenyataannya, pasar media di Indonesia
dimonopoli oleh sejumlah elit pengusaha media. Dan pada tahun politik 2014 ini, para pemilik ini
menyatakan secara tegas posisi politik yang dipilih.
Prinsip keempat, kebenaran dan kualitas informasi. Dalam prinsip ini, terdapat konsep objektivitas. Yang
dimaksud dengan konsep objektivitas adalah (1) tidak ada agenda tersembunyi atau layanan terhadap
pihak ketiga (pihak kepentingan), (2) sikap adil dan tidak diskriminatif pada sumber dan objek berita yang
harus diperlakukan setara. Konsep ini tidak terlihat bisa diterapkan pada konstruksi berita politik
sepanjang 2014 di media massa. Fenomena ini terlihat jelas dalam framing pemberitaan politik di 2014,
dibagi dalam dua tahap, yang pertama adalah berita politik seputar pileg dan yang kedua seputar capres.
Terjadi perubahan tren pemberitaan setelah pileg usai. Framing berita yang semula mengusung partai
dan tokoh dari partai, kini mengerucut menjadi capres. Framing semakin jelas dikarenakan capres hanya
dua, dan keberpihakan media sangat kental sekali. Bila tidak memihak A, maka memihak B. Keberpihakan
ini tampak dari frekuensi pemberitaan dan struktur bahasa yan dipakai dalam pemberitaan. Prinsip
kelima, tatanan sosial dan solidaritas. Untuk menuju prinsip terakhir ini, diperlukan itikad baik dan
konstruksi bijak untuk tidak berdiri diatas kepentingan pribadi maupun golongan, tapi kepentingan
jurnalistik, dimana tugasnya adalah memberikan hak masyarakat untuk tahu dan mendapatkan informasi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Bagong Suyanto. (1995). Metode Penelitian Sosial. Surabaya: Airlangga University Press.
Eriyanto. (2008). Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta:LkiS
McQuails, Dennis. (2010). Mass Communication Theory, 4th Edition. London, Thousand Oaks : Sage
Publications
More, Thomas (2002). George M. Logan and Robert M. Adams (eds.), ed. Utopia. Raymond Geuss and
Quentin Skinner (series eds.) (Revised ed.). New York: Cambridge University Press
Mosco, Vincent. (1996). The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal. London,
Thousand Oaks : Sage Publications
Online
Asril, Sabrina. http://nasional.kompas.com/read/2014/06/27/0614119/Fenomena.Unfriend.Capres.
Jagoan.dan.Kampanye.Hitam, diakses 29 Agustus 2014
Darmawan, wahyu. http://surabaya.bisnis.com/read/20140618/94/72328/ini-data-lengkap-
pemberitaan-tv-one-dan-metro-tv-tentang-prabowo-dan-jokowi, diakses 29 Agustus 2014
http://kamusbahasaindonesia.org/utopia/mirip diakses 20 Agustus 2014
Movanita, Ambaranie Nadia Kemala. http://nasional.kompas.com/read/2014/06/17/1920020/Keliru.
Sebut.Kebocoran.Anggaran.Prabowo.Dianggap.Tak.Kuasai.Perekonomian, diakses 29 Agustus
2014
Nadjib, Supadiyanto Espede Ainun. http://media.kompasiana.com/new-media/2013/07/14/peta-bisnismedia-massa-di-indonesia-pra-pemilu-2014-573468.html, diakses 29 Juli 2014
Priatmojo, dedy. http://nasional.news.viva.co.id/news/read/513526-kpk-klarifikasi-soal-kebocoranuang-negara-rp7-200-triliun, diakses 29 Agustus 2014
Yolandha, Friska. http://www.republika.co.id/berita/pemilu/hot-politic/14/06/16/n784f6-kebocoran-rp7200-triliun-menggelikan, diakses 29 Agustus 2014