PERAN MILITER MESIR DALAM DEMOKRATISASI

PERAN MILITER MESIR DALAM DEMOKRATISASI PASCA PRESIDEN
HUSNI MUBARAK
disusun untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah
Militer dan Politik
Dosen Pengampu:
Prof. Jahja Muhaimin
Muhammad Rum, IMAS

Oleh:
Ezka Amalia
09/283366/SP/23675

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2011

0

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Selama ini, keterlibatan militer suatu negara dalam kehidupan politik dan kenegaraan
seringkali dikaitkan dengan kudeta dan otoritarianisme. Apalagi ketika militer yang memiliki
pengaruh yang kuat dalam suatu negara merasa “kebutuhan” ataupun kepentingan mereka tidak
dipenuhi oleh pemerintah. Suatu negara yang berada di bawah pemerintahan militer seringkali
tidak demokratis atau otoriter. Keotoriteran pemerintah tersebut kemudian menimbulkan
keinginan untuk terjadinya demokratisasi. Keotoriteran juga seringkali menimbulkan hubungan
yang tidak selaras antara sipil dengan militer. Republik Arab Mesir sebagai salah satu negara
yang pernah mengalami kudeta militer pun tak lepas dari kecenderungan tersebut.
Kudeta pertama di Mesir yang terjadi pada tahun 1952 terhadap pemerintahan Raja
Farouk dilakukan oleh militer yang tergabung dalam Free Officers Group yang dikomando oleh
Kolonel Gamal Abdul Nasser. Kudeta tersebut membuat Mesir berada di bawah rezim militer.
Kepenguasaan militer di pemerintahan Mesir kemudian diwujudkan dalam Revolution
Command Council (RCC) dengan Jenderal Muhammad Naguib sebagai presiden. Seperti
kecenderungan pemerintahan otoriter, pemerintahan Mesir saat itu juga menerapkan beberapa
larangan termasuk larangan adanya partai politik. Naguib kemudian digantikan oleh Nasser.
Meski hanya memperbolehkan satu organisasi politik di Mesir yaitu Arab Socialist Union, di
bawah kepemimpinan Nasser, demokrasi mulai diperkenalkan ke Mesir. Setelah Nasser, Anwar
Sadat yang juga berasal dari militer maju sebagai presiden Mesir. Sadat memiliki cita-cita mulia

untuk menghapus jejak-jejak otoritarian di Mesir misalnya dengan membentuk Partai Demokrat
Nasional (NDP) namun dianggap sebagai alat politik untuk mengendalikan kekuasaan militer
dan menguasai proses politik Mesir.
Setelah terbunuhnya Sadat di tahun 1981, posisi presiden kemudian diisi oleh Husni
Mubarak yang merupakan wakil presiden dan saat itu juga menjabat sebagai panglima tertinggi
angkatan perang Mesir. Di masa pemerintahannya meski batas-batas partisipasi politik dikurangi,
koridor politiknya tetap terbatas. Selain itu, bagi Mubarak demokrasi di Mesir butuh waktu untuk
penerapannya mengingat karakteristik masyarakat Mesir yang berbeda dari masyarakatmasyarakat di negara barat maupun negara berkembang lainnya. Februari 2011, Mubarak
dipaksa mundur oleh rakyatnya karena sistem pemerintahannya yang otoriter dan mengingat
1

kesejahteraan rakyat tidak diperhatikan. Setelah Mubarrak resmi mengundurkan diri lewat pidato
resmi wakil presidennya, militer kemudian maju dan berjanji untuk mengawal proses
demokratisasi di Mesir.
B. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana peran militer dalam proses demokratisasi di Mesir pasca kejatuhan
Presiden Husni Mubarak?
C. Landasan Konseptual
1. Tipologi Prajurit Amos Perlmutter
Tipologi yang dikemukakan oleh Amos Perlmutter merupakan pembagian tipe-tipe

militer terkait dengan reaksi militer terhadap jenis kekuasaan atau politik dalam lembaga
pemerintahan. Perlmutter membaginya menjadi tiga tipe yaitu:
a. Prajurit Profesional
Profesionalisme menempatkan tentara profesional sebagai prajurit yang memiliki
kecakapan-kemahiran-kepandaian dalam bidang militer. Perwira profesional di zaman
modern merupakan suatu jenis kelas sosial baru, dengan ciri-ciri dasar: 1). Keahlian, 2).
Tanggung Jawab, 3). Korporatisme, dan 4). Ideologi. Perlmutter memposisikan variabel
ketiga dan keempat, yakni korporatisme dan ideologi jauh lebih penting diantara
variabel lainnya.
b. Prajurit Pretorian
Pretorianisme menggambarkan praktik kediktatoran militer atau keterlibatan militer
dalam politik suatu negara, atau dengan kata lain politisasi militer atau militerisasi
politik. Politisasi militer bisa diidentifikasi apabila tentara menjalankan tugas-tugas nonkemiliteran seperti misalnya membuat kebijakan baik domestik maupun luar negeri,
terlibat secara aktif dalam pergantian jabatan pemerintahan atau memegang jabatan
politis dalam pemerintahan. Sedangkan militerisasi politik adalah penggunaan koersif
angkatan bersenjata dari aktor-aktor politik dalam suatu negara. Kecenderungan
keterlibatan militer dalam politik ini disebabkan rendahnya tingkat budaya politik.
c. Prajurit Revolusioner
Prajurit revolusioner adalah bagian dari suatu kelompok profesional yang berusaha
meningkatkan persyaratan profesionalisme tetapi tidak memandang dirinya sebagai

2

suatu perkumpulan eksklusif para ahli yang membela tingkat kompetensi teknis perse,
dan tidak membela kepentingan kelas.1 Oleh karena itu dalam tipe ini muncul hubungan
klien yang merujuk kepada siapa prajurit mengabdi dan berubah tiap fase revolusi yang
mana siapapun yang dibela oleh prajurit adalah mereka yang melawan rezim. Ciri khas
lain dari tipe ini yaitu intensitas mereka yang tinggi dalam keterlibatan berbagai bentuk
tindak kekerasan, akan tetapi tidak berusaha melembagakan kekerasan sebagai okupasi
yang otonom dan eksklusif. Perlmutter menyatakan bidang keahlian prajurit
revolusioner

tidak

dipandang

sebagai

sarana

mobilitas


sosial.

Komitmen

revolusionernya memperkokoh keahlian dan keterampilan sekaligus merupakan nilai
tambah tersendiri karena mereka tidak secara eksklusif masuk kedalam suatu kelompok
fungsional yang terspesialisasi.
D. Argumen Utama
Dengan pernyataan yang dikemukakan oleh pihak militer sehari sebelum Mubarak
mundur dari kursi presiden yaitu militer mendukung sipil dan akan mengawal jalannya
demokrasi di Mesir, maka seharusnya peran militer dalam pemerintahan Mesir saat ini adalah
sebagai prajurit praetorian, lebih khusus prajurit arbitrator. Hal ini turut diperjelas pada peran
yang saat ini dipegang oleh Dewan Agung Militer sebagai pemerintahan transisional dengan
jangka waktu enam bulan atau sampai dilaksanakannya pemilihan anggota parlemen dan
presiden.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Keterlibatan Militer Mesir dalam Pemerintahan


1

A. Pelrmutter, The Military and Politics in Modern Times, edisi bahasa Indonesia Militer dan Politik, edisi kedua,
diterjemahkan oleh PT. RajaGrafindo Persada, PT. Raja Grafindo Pustaka, Jakarta, 2000, p. 300.

3

Militer Mesir, beserta akademi militernya, pertama kali dibentuk oleh Muhammad Ali,
yang dianggap sebagai pendiri Mesir modern. 2 Militer Mesir saat itu hingga akhir tahun 1940an
dan awal 1950an bertujuan untuk berperang dan memenangkan perang. Namun semenjak militer
membentuk Free Officers Group di bawah komando Kolonel Gamal Andel Nasser dan rasa
kekecewaan yang dirasakan oleh militer terhadap pemerintahan sipil di bawah Raja Farouk,
militer mulai bergerak masuk ke dalam politik. Pergerakan dan intervensi militer dalam politik
Mesir diawali dengan kudeta militer tahun 1952 yang dilakukan dengan mengatasnamakan
rakyat Mesir terhadap pemerintahan sipil di bawah Raja Farouk, dan semenjak saat itu tercatat
empat presiden Mesir berasal dari kalangan militer yaitu Jenderal Muhammad Naguib, Letnan
Kolonel Gamal Abdel Nasser, Jenderal Besar Muhammad Anwar Sadat, dan Laksamana Jenderal
Husni Mubarak.
Kudeta militer 1952 yang dilakukan oleh Free Officers Group mengakhiri kekuasaan

monarkhi di bawah Raja Farouk dan menempatkan Jenderal Muhammad Naguib sebagai perdana
menteri dan Nasser sebagai deputi perdana menteri. Pemilihan Naguib didasari alasan bahwa dia
merupakan pahlawan yang terkenal dalam perang Arab-Israel serta dipercaya oleh tentara. 3
Kemudian dibentuklah Revolutionary Command Council (RCC) yang menjadi motor pendukung
pemerintahan militer saat itu. Naguib menunda pemilihan umum hingga Februari 1953,
mengumumkan pencabutan Konstitusi 1923 dan bahwa Mesir berada di bawah “Pemerintahan
Transisional” serta pemimpin Revolusi akan memegang kekuasaan kedaulatan tertinggi. 4 Semua
partai politik yang ada di Mesir saat itu dilarang dan digantikan Liberation Rally yang berfungsi
sebagai gerakan nasional. Pada tanggal 18 Juni 1953 sistem monarki dihapus dan Mesir menjadi
negara republik. Keputusan tersebut kemudian menempatkan Jenderal Mohammad Naguib
sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, dengan Letnan Kolonel Gamal Abdel Nasser
sebagai deputi perdana menterinya dan menteri dalam negeri.5
Kepemimpinan dwi-tunggal militer tersebut kemudian mulai mengalami perpecahan
pada 28 Februari 1954 ketika Naguib diminta mundur dari dunia politik oleh RCC. Setelah
sempat mengundurkan diri sebagai presiden Mesir, Naguib kembali menduduki jabatan presiden
2

Egypt State Information Service, Modern Era (online), , 8 Mei
2011.
3

P. Coutsoukis, Egypt: The Revolution and the Early Years of the New Government: 1952-56 (online), 21 Mei 2011.
4
S.E. Finer, THE MAN ON HORSEBACK: The Role of The Military in Politics, Frederick A. Praeger Inc., New
York, 1962, p. 37.
5
J. Sitohang, S. Dam, dan A.R. Rahman, Militer dan Demokratisasi di Nigeria, Mesir, dan Afrika Selatan, P2P-LIPI,
Jakarta, 2001, p. 64.

4

setelah terjadi demo besar-besaran yang menuntut kembalinya Naguib. Nasser kemudian menjadi
perdana menteri sekaligus ketua RCC, dan mengumumkan pencabutan keputusan terkait
pengembalian kekuasaan kepada sipil hingga tiga tahun masa pemerintahan transisional berakhir
yaitu tahun 1956. November 1954 Naguib menjadi tahanan rumah dan jabatan tertinggi di Mesir
jatuh ke tangan Nasser. Akhir tahun 1954, militer menjadi satu-satunya kelompok yang kuat di
Mesir.
Di bawah Nasser dan dukungan penuh dari RCC, Mesir kembali diperintah oleh
militer. Militer digunakan oleh Nasser sebagai dasar untuk legitimasi dan kekuasaan. Susunan
pemerintahanpun didominasi oleh perwira militer, misalnya saja semua wakil presiden berasal
dari militer dan kementrian-kementrian yang dianggap sebagai pos penting seperti kementrian

perang dan kementrian dalam negeri diberikan kepada militer. 6 Bahkan dewan pengurus redaksi
organisasi press seperti al-Ahram dikontrol oleh perwira militer. Selain itu, satu-satunya
organisasi politik yang dibentuk dan diperbolehkan oleh pemerintah saat itu dikontrol oleh
militer.
Di bawah kekuasaan militer, konstitusi baru dirumuskan pada tahun 1956 yang
memberikan kekuasaan absolut pada presiden yaitu presiden memiliki hak untuk menunjuk
maupun memberhentikan menteri. Organisasi mobilisasi rakyat Liberation Rally kemudian
diganti menjadi Nasional Union (NU) yang akan memilih kandidat untuk Majelis Nasional yang
merupakan badan legislatif tertinggi, sekaligus juga kandidat Presiden. National Union dibentuk
dengan tujuan untuk memenangkan dukungan publik dan menghapus konflik antar kelas. 7 23
Juni 1956, Nasser kembali terpilih menjadi presiden Mesir yang disusul pembubaran RCC.
Meski anggota Majelis Nasional mayoritas merupakan perwira militer, mereka tetap
memperbolehkan beberapa diskusi bebas dan debat tentang isu-isu yang kontroversial.8
Tahun 1958, bersamaan dengan pembentukan United Arab Republic (UAR) dengan
Syria, dibentuklah konstitusi baru. Meskipun Konstitusi 1958 menjamin adanya kebebasan dasar
seperti kebebasan pers, kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat, dan kepemilikan pribadi,
konstitusi juga memperluas dan memperpanjang kekuasaan presiden. Misalnya presiden yang
menentukan keanggotaan Majelis Nasional, presiden juga memiliki hak untuk memveto undangundang meski veto dapat dibatalkan oleh 2/3 suara Majelis, dan sidang Majelis baru bisa
6


I. Harb, “The Egyptian Military in Politics: Disengagement or Accommodation”, Middle East Journal, vol. 57, no.
2, 2003, p. 279-8.
7
Feit, THE ARMED BUREAUCRATS: Military-Administrative Regimes and Political Development, Houghton
Mifflin Company, Boston, 1973, p. 156.
8
Feit, THE ARMED BUREAUCRATS: Military-Administrative Regimes and Political Development, p. 148.

5

diadakan jika sudah ada surat perintah dari presiden. Tahun 1962, setelah Syria memisahkan diri,
dibuatlah Undang-undang Konstitusional yang diikuti dengan dibuatnya Piagam Nasional 1962.
Piagam Nasional tersebut selain menggabungkan pengaturan-pengaturan sebelumnya ke dalam
kebijakan yang sosialis, juga menetapkan Arab Socialist Union atau ASU sebagai satu-satunya
organisasi politik yang diakui oleh pemerintah dan menggantikan National Union.
Dalam konstitusi baru tersebut, Presiden memiliki hak untuk membubarkan Majelis.
Selain itu, dengan adanya kebijakan nasionalisasi perusahaan asing yang telah dimulai sejak
1957 dan memuncak pada tahun 1961 dan dengan adanya dekrit semakin memperluas
keterlibatan militer dalam politik Mesir ketika Nasser menempatkan perwira dalam posisi-posisi
kunci dalam negara misalnya dalam perencanaan pembentukan kebijakan ekonomi dan sosial.

Para perwira juga ditempatkan dalam pos diplomatik senior, bahkan dalam bidang kebudayaan,
radio, pers, dan televisi.9 Meski Nasser tetap menyediakan posisi bagi birokrat sipil, perwira
militer tetap mendominasi pemerintahan. Terutama dalam ASU yang tujuan awalnya sebagai
pemersatu kekuatan-kekuatan di Mesir, pada akhirnya tetap didominasi perwira militer, bahkan
mantan anggota RCC. Tahun 1964, Nasser merilis sebuah rancangan konstitusi yang berfungsi
sampai tahun 1971 dan didasarkan pada Piagam Nasional yang menekankan kebebasan,
sosialisme, dan kesatuan.10
Namun, kekalahan Mesir dalam peperangan Enam Hari tahun 1967 dengan Israel
mulai menurunkan otoritas pemerintahan Nasser dan sekaligus mencoreng citra militer dan
merusak posisi istimewa mereka dalam negara. 11 Nasser sempat mengundurkan diri namun
ditolak oleh rakyat Mesir, Kabinet dan Majelis Nasional. Nasser kemudian juga tetap menjabat
sebagai panglima tertinggi, bahkan memperbesar kekuasaan politiknya dengan mengambil peran
sebagai Perdana Menteri dan menjadi sekretaris jenderal ASU. Maret 1968 terjadi demonstrasi
yang dilakukan oleh mahasiswa dan pekerja di Kairo, Alexandria, dan Hulwan. Meski penyebab
langsung demonstrasi adalah keputusan pengadilan militer yang hanya menghukum dua perwira
yang dianggap lalai dalam Perang 1967, demonstrasi tersebut juga didasari frustasi rakyat atas
penindasan yang dilakukan oleh pemerintah dan kurangnya partisipasi rakyat dalam
pemerintahan.

9

Feit, THE ARMED BUREAUCRATS: Military-Administrative Regimes and Political Development, p. 149.
Coutsoukis,
Egypt:
Nasser
and
Arab
Socialism
(online),
4
Juli
2002,
http://workmall.com/wfb2001/egypt/egypt_history_nasser_and_arab_socialism.html>, 21 Mei 2011.
11
Feit, THE ARMED BUREAUCRATS: Military-Administrative Regimes and Political Development, p. 157-8.
10

<

6

Nasser kemudian melakukan reformasi sistem politik yang meliputi pembentukan
konstitusi baru, reformasi ASU, adanya kontrol parlemen atas pemerintah, dan jaminan
kebebasan personal dan pers yang lebih besar, serta melaksanakan pemilu untuk memilih
anggota Majelis Nasional. Namun reorganisasi ASU melalui pemilihan anggota baru dalam
semua organ di ASU ternyata tidak memuaskan karena terbukti Nasser tidak memperluas
partisipasi rakyat dalam pemerintahan. Meski muncul demonstrasi, Nasser tetap memimpin
Mesir hingga tahun 1970 ketika dia meninggal akibat serangan jantung. Kursi presiden kemudian
jatuh ke tangan wakil presiden Jenderal Besar Muhammad Anwar Al Sadat setelah sebelumnya
disetujui oleh Komite Eksekutis ASU, Majelis Nasional dan dipilih secara referendum oleh
rakyat Mesir.12
Saat itu, Anwar Sadat belum memiliki basis politik sendiri dan dimusuhi oleh pengikut
Nasser hingga akhirnya Sadat menyingkirkan mereka dan mengurangi pengaruh militer dalam
pemerintahan dengan menangkap beberapa tokoh-tokoh militer yang dianggap menentang
kebijakannya.13 Penangkapan tersebut didasari alasan adanya perencanaan kudeta terhadap
pemerintahan. Beberapa perwira yang ditangkap adalah presiden ASU Ali Sabri, Menteri Dalam
Negeri Sa’d Jum’a, dan Menteri Perang Muhammad Fawzi. 14 Bulan Mei 1971 angkatan
bersenjata Mesir menjanjikan dukungan mereka untuk pemerintahan Sadat yang kemudian
dibalas oleh Sadat dengan mengijinkan mereka untuk terjun ke dalam bidang ekonomi.
Profesionalisme militer Mesir pun semakin ditekankan setelah Perang 1973. Demi
mencapai profesionalitas militer, Sadat menerapkan kebijakan untuk memberhentikan dan
memecat perwira militer yang tidak menyetujui kebijakannya. Profesionalisme militer terlihat
ketika militer memainkan peran dalam menjaga stabilitas dalam negeri misalnya dalam
menangani kerusuhan 1977, dan segera kembali ke barak setelah situasi darurat berakhir. Jumlah
perwira militer yang berada di kursi pemerintahan pun berkurang dengan rasio pada tahun1967
berkisar antara 40% hingga 60% dan pada tahun 1972 berkurang hingga 22,2%. 15 Perdana
menterinya pun empat dari enam orang merupakan orang sipil dan dua lainnya merupakan
mantan perwira militer. Walaupun demikian, Sadat mengangkat Husni Mubarak, mantan jenderal
angkatan udara, sebagai wakil presidennya, dan mengisi posisi-posisi tinggi dalam pemerintahan
12

Sitohang, Dam, dan Rahman, Militer dan Demokratisasi di Nigeria, Mesir, dan Afrika Selatan, p. 68.
J.
Pike,
Egypt:
Military
in
Politics,
16
Februari
2011,
http://www.globalsecurity.org/military/world/egypt/politics-military.htm>, 2 April 2011.
14
Harb, “The Egyptian Military in Politics: Disengagement or Accommodation”, p. 282.
15
Harb, “The Egyptian Military in Politics: Disengagement or Accommodation”, p. 283-4.
13

<

7

dengan menunjuk beberapa perwira aktif maupun yang sudah pensiun. Aksi tersebut menandai
dimulainya The Corrective Revolution yang bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi Mesir
dan mengoreksi arah Revolusi 1952, terutama dalam kebijakan yang terlihat otoriter. September
1971 Sadat membentuk konstitusi baru yang memberikan jaminan tambahan terhadap penahanan
sewenang-wenang, penyitaan properti, dan pelanggaran lain di era Nasser, setelah sebelumnya
membubarkan badan legislatif dan menggantinya dengan kabinet baru.
Meski salah satu kebijakan Sadat adalah liberalisasi politik, kebijakan tersebut
dijalankan hanya dalam tingkat tertentu, misalnya penyelenggarakan pemilu untuk anggota
Majelis Rakyat—dulunya Majelis Nasional. Tahun 1975, Sadat mengizinkan adanya kelompok
dalam ASU untuk mengekpresikan pendapat yaitu kelompok kanan yang kemudian bernama
Socialist Liberal Organization, kelompok kiri yang dinamai National Progressive Unionist
Organization, dan kelompok tengah yang diberi nama Egyptian Arab Socialist Organization.
Namun, kekuatan utama politik Mesir seperti partai Wafd dan Ikhawanul Muslimin tidak
diijinkan untuk mengikuti pemilu. Sadat juga membentuk partai politiknya sendiri sebagai alat
dukungan politiknya yaitu Partai Demokrat Nasional atau NDP pada Juli 1978. Tahun 1979
keberadaan ASU diakhiri lewat penghilangan status konstitusional ASU dengan tujuan
menghindari persaingan yang tidak diperlukan dan menghapus jejak-jejak politik otoritarianis
dari presiden Mesir sebelumnya. Meski demikian, NDP menguasai sekitar dua pertiga kursi di
parlemen dan menjadi partai terkuat di Mesir. Sadat juga membebaskan pemimpin Ikhawanul
Muslimin dan tahanan politik lain. Mereka kemudian diberi jaminan kebebasan untuk beroperasi
secara terbuka dan menerbitkan majalah mereka dengan tujuan melawa pertumbuhan kelompok
kiri. Kebijakan tersebut runtuh ketika Sadat mengadakan perjanjian perdamaian dengan Israel.
Mesir kembali berada di bawah pemerintahan militer setelah pembunuhan Anwar Sadat yang
dilakukan oleh anggota Gerakan Al Jihad. Husni Mubarak maju menggantikan posisi Anwar
Sadat sebagai presiden Mesir.
B. Mesir Di Bawah Kepemimpinan Husni Mubarak
Muhammad Husni Sayyid Mubarak menggantikan Anwar Sadat sebagai presiden
Mesir yang sebelumnya menjabat sebagai wakil presiden sejak April 1975 hingga 1981. Naiknya
Husni Mubarak sebagai presiden disetujui secara penuh dalam referendum nasional 24 Oktober

8

1981.16 Mubarak sendiri bukan merupakan anggota Free Officers Group seperti presidenpresiden Mesir sebelumnya. Hal ini menunjukkan upaya Sadat dalam memutus lingkaran
pendukung Nasser. Pemerintahan Mesir di bawah Mubarak dinilai mewarisi warisan yang
kompleks dari presiden-presiden sebelumnya yaitu di satu sisi undang-undang, lembaga dan
prakteknya yang cenderung mendukung kepala negara, dan di sisi lain hasil dari kebijakankebijakan sebelumnya memberatkan dia.17 Meski demikian Mubarak tetap mempertahankan
personel yang sama dari era Sadat dan bergantung pada partai politik yang sama yaitu National
Democratic Party (NDP). Mubarak juga melakukan perbaikan ala kadarnya untuk
menyempurnakan demokratisasi di Mesir dengan tujuan utama memperoleh dukungan publik
baik dalam negeri maupun luar negeri terhadap rezim militer yang berkuasa di Mesir.18
Perbaikan untuk menyempurnakan demokratisasi tersebut termasuk

mulai

mengendorkan pembatasan-pembatasan politik yang berujung pada partisipasi politik yang
meluas meski dengan koridor politik yang terbatas. Kelompok masyarakat sipil mulai menjamur
walaupun negara masih mengawasi kegiatan mereka. Partai-partai politik lebih bebas untuk
beroperasi secara terbuka, bahkan pada pemilu tahun 1984 partai Wafd beraliansi dengan
Ikhwanul Muslimin dan memenangkan 58 kursi gabungan di Majelis Rakyat. 19 Namun,
kemenangan NDP pada pemilu 1984 yang dianggap sebagai “partai pemerintah” tersebut
terkesan meminggirkan partai oposisi yang ada, dan memperlihatkan penetapan secara de facto
sistem satu partai di Mesir dengan mengacu pada fakta yang ada saat itu dimana pembentukan
partai politik baru sangat sulit di bawah Undang-undang Partai Politik. Pada pemilu tahun 1987,
NDP kembali memenangkan pemilu, dan Mubarak kembali terpilih menjadi presiden melalui
referendum nasional berturut-turut pada tahun 1987, 1993, dan 1999. Mubarak kembali menjadi
presiden lewat pemilihan umum yang diadakan untuk pertama kalinya di Mesir pada tahun 2005.
Di bawah pemerintahan Mubarak, militer tetap memiliki pengaruh penting di Mesir,
tidak hanya dalam politik tetapi juga dalam ekonomi dengan memunculkan industri militer yang
dikembangkan

oleh

Panglima

Tertinggi

‘Abd

al-Halim

Abu

Ghazala. 20

Mubarak

memperbolehkan militer yang dianggap tidak lagi disibukkan dengan peperangan eksternal untuk
terjun ke dalam domain sipil. Keterlibatan militer dalam politik di masa Mubarak ditunjukkan
16

Coutsoukis,
Egypt:
Mubarak
and
the
Middle
Way,
4
Juli
2002,
http://workmall.com/wfb2001/egypt/egypt_history_mubarak_and_the_middle_way.html>, 21 Mei 2011.
17
N.N. Ayubi, The State & Public Policies in Egypt Since Sadat, Ithaca Press, Reading, 1991, p. 226-7.
18
Sitohang, Dam, dan Rahman, Militer dan Demokratisasi di Nigeria, Mesir, dan Afrika Selatan, p. 71.
19
Harb, “The Egyptian Military in Politics: Disengagement or Accommodation”, p. 284.
20
Ayubi, The State & Public Policies in Egypt Since Sadat, p. 259-60.

<

9

dengan adanya penunjukan beberapa perwira militer untuk menempati posisi gubernur provinsi,
perluasan yurisdiksi pengadilan militer, dan tekanan dari pihak militer untuk menggabungkan
industri motor lokal dengan perusahaan Amerika General Motor.21 Dalam bidang politik
pengaruh militer semakin menguat ketika militer mampu menghentikan pemberontakan oleh
polisi keamanan pada tahun 1986. Bahkan dikatakan bahwa militer meminggirkan pengaruh sipil
pada orientasi umum politik negara.22
Selain itu, militer juga menikmati otonomi dalam tingkat tertentu misalnya alokasi
anggarannya tidak terperinci dan tidak memerlukan pengawasan dari Badan Pengawasan
Keuangan. Keuangan mereka juga tidak bergantung pada pemerintah sejak mereka menjadi actor
baru dalam perekonomian Mesir. Meskipun berada di bawah kekuasaan seorang presiden yang
berasal dari militer, hubungan sipil dan militer di Mesir dapat dikatakan bahwa militer Mesir
mulai didepolitisasi dan susunan pemerintahan mulai diisi oleh orang-orang sipil. Di sisi lain,
wajah pemerintah yang dikatakan lebih “sipil” dibandingkan sebelumnya pada kenyataanya tidak
mengubah peran ganda yang dimiliki oleh militer.23
Awal masa pemerintahan Mesir di bawah Mubarak sendiri tidak lepas dari masalah,
terutama terkait masalah ekonomi yang mencapai taraf kritis. Apalagi subsidi yang diberikan
oleh pemerintah pada tahun 1983 hingga 1984 terhadap barang-barang kebutuhan dasar
menguras anggaran secara besar-besaran. Namun, ketika subsidi ini dihilangkan muncul
peristiwa kekerasan yang kemudian menyebabkan sejumlah orang ditangkap termasuk tujuh
orang anggota National Progressive Union Party. Penangkapan tersebut merupakan salah satu
penangkapan yang dilakukan pemerintah terhadap anggota partai politik yang legal
menggunakan hukum darurat yang telah diperbaharui.24
Bahkan dalam masa pemerintahannya yang berlangsung sekitar 30 tahun, Mubarak
menghadapi permasalahan yang semakin pelik, diantaranya adalah suburnya korupsi, demokrasi,
hingga usaha percobaan pembunuhan terhadap dirinya sendiri oleh oposisi-oposisinya. Hingga
akhirnya terjadi revolusi pada tahun 2011 yang dilakukan oleh rakyat mesir sendiri karena
kekecewaan mereka terhadap pemerintahan saat itu, khususnya Mubarak yang telah terlalu lama
menjadi presiden Mesir. Usaha pertama yang dilakukan oleh Mubarak adalah menunjuk Kepala
21

Ayubi, The State & Public Policies in Egypt Since Sadat, p. 261.
Harb, “The Egyptian Military in Politics: Disengagement or Accommodation”, p. 287.
23
M. Kamrava, “Military Professionalization and Civil Military Relations in the Middle East”, Political Science
Quarterly, vol. 115, no. 1, 2000, p. 68.
24
Hukum darurat tersebut diperbaharui dengan justifikasi hukum tersebut hanya akan ditujukan untuk melawan
unsur-unsur subversif illegal, khususnya gerakan militant islam.
22

10

Intelijen Nasional Omar Suleiman sebagai wakil presiden, untuk pertama kalinya Mubarak
mempunyai wakil presiden sejak dia berkuasa, dan Menteri Penerbangan Sipil Ahamd Shafiq
sebagai perdana menteri. Kedua orang tersebut dianggap sebagai tokoh militer yang memiliki
hubungan dekat dengan presiden.25 Meski tidak lagi bersedia menjadi calon presiden dalam
pemilu tahun ini, Mubarak yang sempat menolak mengundurkan diri dengan alasan untuk
melindungi bangsa Mesir26 akhirnya turun dari jabatannya sebagai presiden terlama di Mesir
setelah rakyat mendapat dukungan penuh dari militer yang pada awal munculnya protes terhadap
pemerintah tetap loyal terhadap presiden.

C. Peran Militer Dalam Demokratisasi Mesir Pasca Husni Mubarak
Setelah pengunduran diri Mubarak pada 11 Februari 2011 sebagai presiden Mesir,
pemerintahan Mesir hingga saat ini dipegang oleh Dewan Agung Militer Mesir dengan
mengatasnamakan rakyat dan untuk mengawal transisi menuju demokrasi. 27 Dewan Agung
Militer, yang dibentuk dengan 20 anggota yang semuanya merupakan perwira militer berpangkat
tinggi di bawah pimpinan Menteri Pertahanan dan Produksi Militer Marsekal Mohammed
Husain Tantawi,28 memerintah berdasarkan undang-undang darurat militer dengan jangka waktu
pemerintahan enam bulan atau sampai dilaksanakannya pemilihan untuk presiden dan anggota
parlemen.29 Mereka mengambil alih kekuasaan setelah pertemuan Majelis Utama Militer Mesir 30
memutuskan militer akan mendukung dan memenuhi tuntutan rakyat demi melindungi negara.
Janji militer untuk mengawal dan mengawasi jalannya transisi demokrasi di Mesir dilakukan
dengan membongkar rezim Mubarak melalui reshuffle kabinet, mengubah konstitusi melalui
referendum, dan menunda pemilu untuk parlemen yang awalnya akan dilaksanakan pada bulan

25

Congressional Research Service, “Egypt: Background and U.S. Relations”, CRS Report for Congress, 4 Februari
2011, , 3 Mei 2011, p. 2.
26
Congressional Research Service, “Egypt: Background and U.S. Relations”, p. 3.
27
Congressional Research Service, “Egypt in Transition”, CRS Report for Congress, 29 Maret 2011,
, 3 Mei 2011, p. 1.
28
Egypt State Information Service, Formation of the Armed Forces Supreme Council,
, 8 Mei 2011.
29
Egypt State Information Service, The Supreme Council of the Armed Forces: Constitutional Proclamation,
, 1 Juni 2011.
30
Media
Indonesia,
Militer
Akan
Penuhi
Keinginan
Demonstran,
10
Februari
2011,
, 26 Mei 2011.

11

Juni 2011, akhirnya dijadwalkan dilaksanakan pada bulan September meski belum ada tanggal
pasti untuk pemilihan presiden.
Menurut Amos Perlmutter, tipologi prajurit dalam sebuah negara dapat dibagi menjadi
tiga, salah satunya adalah prajurit praetorian. Prajurit praetorian adalah prajurit yang melibatkan
diri dalam politik dan menjalankan tugas non kemiliteran. Dengan definisi tersebut, keterlibatan
militer Mesir saat ini dalam proses transisi demokrasi Mesir, terutama mereka yang duduk di
Dewan Agung Militer Mesir termasuk ke dalam tipe prajurit praetorian. Hal tersebut terlihat dari
keterlibatan mereka ke dalam politik dengan berperan sebagai pemerintahan sementara yang
berkuasa di Mesir. Dengan menggunakan dalih demi melindungi negara dan atas nama rakyat,
mereka menggunakan undang-undang darurat militer untuk mengambil alih kekuasaan dan
terlibat dalam urusan politik yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang sipil. Mereka
menjalankan tugas non kemiliteran, misalnya saja menunda pemilihan, mengganti susunan
pemerintahan31, dan menangguhkan konstitusi. Ditambah lagi, Dewan Agung Militer mengganti
18 gubernur di beberapa provinsi yang diangkat oleh Mubarak dengan menunjuk beberapa
perwira militer dan polisi.
Posisi sebagai prajurit praetorian yang dimiliki oleh militer Mesir, terutama pasca
kejatuhan Mubarak dari kursi kepresidenan Mesir, salah satunya didasari oleh perkembangan
politik di Mesir yang lambat. Hal ini dapat dilihat dari misalnya pemilihan presiden di Mesir
yang dari tahun 1952 hingga 2005 dipilih melalui referendum Majelis Rakyat. Selain itu meski
kelompok oposisi telah ada sejak Mesir menjadi Negara republik dan mengajukan tuntutan
adanya reformasi, pemerintah hanya memberikan reformasi yang terbatas yang tidak akan
merusak secara substansial tatanan politik yang ada. Apalagi konstitusi yang ada dan susunan
pemerintahan mendukung terciptanya iklim politik yang membuat rakyat tidak percaya pada
system pemerintahan dan tidak tertarik untuk mengikuti kegiatan partai oposisi.
Tipe prajurit praetorian yang dimiliki oleh militer Mesir sebenarnya sudah terlihat
ketika militer Mesir sampai saat ini menjadi kekuatan dan penyokong utama rezim pemerintah
Mesir. Dengan kata lain pemerintahan Mesir memiliki ketergantungan terhadap militer untuk
memastikan legitimasi dan kekuasaan mereka terus bertahan. 32 Militerlah dukungan politik
31

Era Muslim, Ikut Cara Mubarak, Penguasa Mesir Tunjuk 18 Gubernur dari Kalangan Militer, 15 April 2011,
, 1 Juni 2011.
32
A. Perlmutter, Political Roles and Military Rules, Frank Cass and Company Limited, London, 1981, p. 7.

12

paling penting dalam pemerintahan Mesir hingga saat ini. Apalagi dengan budaya politik di
Mesir yang tergolong rendah, misalnya sistem satu partai yang ditetapkan secara de facto dengan
melihat kemenangan yang diraih oleh partai NDP yang secara langsung dipimpin berturut-turut
oleh Sadat dan Mubarak, meski secara de jure Mesir menggunakan sistem multipartai.
Dimulai sejak Revolusi 1952 hingga Mesir berada di bawah Dewan Agung Militer,
militer di Mesir memiliki posisi dan peranan penting dalam pemerintahan meski profesionalisme
militer mulai ditekankan di era Sadat. Posisi dan peran militer dalam pemerintahan atau politik di
Mesir dengan rentang waktu yang lama dapat dikatakan merupakan warisan pendahulu yang
berusaha untuk dilestarikan. Hal ini berkaitan dengan keuntungan yang didapat oleh pihak
militer dari keterlibatan mereka dalam politik. Misalnya saja jika dikaitkan dengan peran mereka
sebagai aktor perekonomian di Mesir dimana mereka mampu menghasilkan keuntungan yang
besar. Mereka pasti tidak ingin protes yang dilakukan oleh rakyat Mesir mengganggu stabilitas
perekonomian dimana mereka mendapatkan keuntungan yang banyak. Dengan keterlibatan
militer dalam politik saat ini melalui pemerintahan transisional Dewan Agung Militer, setidaknya
militer dapat mengamankan kepentingan mereka baik kepentingan ekonomi maupun kepentingan
melindungi negara.

13

BAB III
KESIMPULAN
Mesir adalah negara praetorian. Hal ini terlihat dari sejarah Mesir sebagai sebuah
negara modern dengan sistem presidensiil yang susunan pemerintahannya didominasi oleh
militer. Dimulai dari Revolusi 1952 yang menandakan keterlibatan militer Mesir untuk
pertamakalinya dalam politik hingga Revolusi Rakyat 2011, Mesir berada di bawah
pemerintahan rezim militer meski setiap pemerintahan memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Muhammad Husni Mubarak merupakan salah satu presiden Mesir yang berasal dari kalangan
militer. Setelah 30 tahun memerintah, akhirnya Mubarak turun dari kursi kepresidenan pada
tanggal 11 Februari 2011, 18 hari setelah terjadinya protes besar-besaran oleh rakyat Mesir.
Dewan

Agung

Militer

kemudian

maju

menggantikan

Mubarak

dengan

mengatasnamakan sebagai pemerintahan transisional. Keterlibatan militer Mesir tersebut
menandakan bahwa militer Mesir merupakan prajurit praetorian. Apalagi dengan tindakantindakan yang diambil oleh Dewan Agung Militer sebagai pemerintah sementara, misalnya
menunda pemilu, menangguhkan konstitusi, dan mengganti susunan kabinet. Meski mengajukan
jangka pemerintahan transisional selama enam bulan atau hingga dilaksanakannya pemilihan
presiden dan anggota parlemen, bukan tidak mungkin Mesir akan kembali jatuh ke tangan rezim
militer seperti ketika militer Mesir yang tergabung dalam Free Officers Group melakukan kudeta
terhadap pemerintahan Raja Farouk dan mengajukan tenggat waktu tiga tahun untuk
14

pemerintahan transisional dan dikembalikan ke sipil namun pada akhirnya pemerintahan berada
di bawah kuasa junta militer. Oleh karena itu, pihak sipil, terutama rakyat Mesir harus benarbenar mengawasi jalannya pemerintahan transisional di bawah Dewan Agung Militer dan tidak
begitu saja menerima keputusan mereka jika benar-benar ingin terjadi transisi demokrasi di
Mesir. Selain itu, keterlibatan militer Mesir dalam politik tersebut memperlihatkan bahwa pada
kenyataanya konsep yang menyatakan bahwa militer berada di bawah control pemerintahan sipil
tidak dapat diterapkan begitu saja di negara-negara berkembang.

DAFTAR PUSTAKA
Pustaka Literatur
Ayubi, Nazih N. 1991. The State & Public Policies in Egypt Since Sadat. Reading: Ithaca Press.
Feit, Edward. 1973. The Armed Bureaucrats: Military-Administrative Regimes and Political
Development. Boston: Houghton Mifflin Company.
Finer, S.E. 1962. The Role of the Military in Politics. New York: Frederick A. Praeger Inc.
Maniruzzaman, Talukder. 1987. Military Withdrawal From Politics: A Comparative Study.
Massachusetts: Ballinger Publishing Company.
Nordlinger, Erick A. 1977. SOLDIERS IN POLITICS: Military Coups and Government. New
Jersey: Prentice-Hall Inc.
Perlmutter, Amos. 1981. Political Roles and Military Rules. London: Frank Cass and Company
Limited.
______________. 2000. The Military and Politics in Modern Times. Edisi Bahasa Indonesia
Militer dan Politik. Edisi Kedua. Diterjemahkan oleh PT Raha Grafindo Pustaka. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Pustaka.
Sitohang, Japanton, Syamsyumar Dam, dan Agus R. Rahman. 2001. Militer dan Demokratisasi
di Nigeria, Mesir, dan Afrika Selatan. Jakarta: P2P-LIPI.
Pustaka Online

15

Congressional Research Service. 2011. “Egypt: Background and U.S. Relations”. CRS Report
for Congress. Diunduh dari pada 3
Mei 2011.
__________________________. 2011. “Egypt in Transition” (online). CRS Report for Congress.
Diunduh dari pada 3 Mei 2011.
Cordesman,

Anthony

H.

2011.

If

Mubarak

Leaves:

The

Role

of

Egyptian

Military. Diunduh dari pada
3 Januari 2011.
Coutsoukis, Photius. 2002. Egypt: On the Treshold of Revolution (online). Diunduh dari <
http://workmall.com/wfb2001/egypt/egypt_history_on_the_threshold_of_revolution_1945_5
2.html> pada 21 Mei 2011.
________________. 2002. Egypt: The Revolution and the Early Years of New Government
(online).

Diunduh

dari

pada 21 Mei 2011.
________________. 2002. Egypt: Nasser and Arab Socialism (online). Diunduh dari <
http://workmall.com/wfb2001/egypt/egypt_history_nasser_and_arab_socialism.html>

pada

21 Mei 2011.
________________.

2002.

Egypt:

Nasser

Legacy

(online).



Diunduh

dari

pada

Mei

21

2011.
________________. 2002. Egypt: Sadat Takes Over, 1970-73 (online). Diunduh dari
pada
21 Mei 2011.
_________________. 2002. Egypt: Political Developments, 1971-78 (online). Diunduh dari

pada 21 Mei 2011.
__________________. 2002. Egypt: Mubarak and the Middle Way (online). Diunduh dari

pada 21 Mei 2011.

16

Egypt

State

Information

Service.

Modern

Era

(online).

Diunduh

dari

pada 8 Mei 2011.
Egypt State Information Service, Formation of the Armed Forces Supreme Council,
, 8 Mei 2011.
Egypt State Information Service, The Supreme Council of the Armed Forces: Constitutional
Proclamation, , 1 Juni 2011.
Era Muslim. 2011. Ikut Cara Mubarak, Penguasa Mesir Tunjuk 18 Gubernur dari Kalangan
Militer (online). Diunduh dari pada 1 Juni 2011.
Harb, Imad. 2003. “The Egyptian Military in Politics: Disengagement or Accommodation”
(online).

Middle

East

Journal

(vol.

57,

no.

2).

Diunduh

dari

<

http://ezproxy.ugm.ac.id:2056/stable/pdfplus/4329881.pdf> pada 23 April 2011.
Kamrava, Mehran. 2000. “Military Professionalization and Civil Military Relations in the
Middle East” (online). Political Science Quarterly (Vol. 115, No. 1). Diunduh dari
pada 2 April 2011.
Pike,

John.

2011.

Egypt:

Military

in

Politics.

Diunduh

dari

<

http://www.globalsecurity.org/military/world/egypt/politics-military.htm> pada 2 April 2011.
Media Indonesia. 2011. Militer Akan Penuhi Keinginan Demonstran. Diunduh dari
pada 26 Mei 2011.

17