KAMPUNG CINA BANJAR DI BANJARMASIN PEMBE

KAMPUNG CINA BANJAR DI BANJARMASIN:
PEMBENTUKAN DAN PERKEMBANGANNYA
HINGGA AWAL KEMERDEKAAN
Dana Listiana
Balai Pelestarian Nilai Budaya Pontianak
Jl. Letjen Sutoyo Pontianak
Telp. (0561) 737906 Fax. (0561)760707
Email: dna_listy@yahoo.co.id
ABSTRAK
Penelitian ini membahas pembentukan dan perkembangan Kampung Cina
di Banjarmasin hingga masa awal kemerdekaan. Untuk mengungkapnya,
digunakan metode penelitian sejarah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Kampung Cina tumbuh dan berkembang di zona ekonomi kota dan berada dekat
area pemerintah kolonial. Permukiman terbentuk dengan basis aktivitas ekonomi.
Sementara struktur permukiman dan bentuk huniannya menunjukkan tingkat
adaptasi yang tinggi. Adapun peran Kampung Cina bagi Kota adalah pembentuk
struktur dasar zona ekonomi kota yang merupakan elemen wajib setiap kota
kolonial.
Kata Kunci: Permukiman, Cina, Banjar.
ABSTRACT
This research discusses about the forming and the developing of Chinese

settlement at Banjarmasin until early days of independence. To do the research,
we use history research method. The result of this research shows that Chinese
settlement arised and developed at economic zone city and closed with colonial
government area. The settlement formed based on economic activities. Meanwhile
the settlement structure and form shelter showed about the high level adaptation.
The role of Chinese settlement for the city is formed the basic structure of
economic zone city which is the must element for each colonial spaces.
Keywords:Settlement, Chinese, Banjar.
A. PENDAHULUAN
Berawal dari sebuah bandar dagang penyokong bagi bandar dagang utama
Kerajaan Nagara Daha, 1 Banjarmasin berkiprah dalam dunia perdagangan (Ras,
1968: 398; 402). Suksesi Kesultanan Banjar pada pertengahan abad ke-16
menjadikan Banjarmasin yang berada dalam lintas pelayaran niaga “Jalur Sutera”
berkembang menjadi daerah entrepot2 dengan barang dagang yang hampir
seluruhnya merupakan komoditas internasional. Sistem angin musim yang
berhembus secara periodik membuatnya menjadi tempat berlabuh bagi kapal1

Kesultanan Banjar merupakan kelanjutan dari negara suku bernama Negara Dipa dan Negara
Daha. Kerajaan tersebut berada di Kalimantan bagian tenggara pada masa klasik (Hindu-Buddha)
sekitar abad ke-14 Masehi (Kusmartono, 2006: 33).

2
Secara leksikal, entrepot berarti tempat yang berada di antara. Kata ini berasal dari bahasa Latin
inner (di antara) dan postitum (lokasi) (Widodo, 2009: 81).

1

kapal di jalur tersebut untuk menunggu siklus angin yang akan mendorongnya
kembali ke daerah asal. Akibat jejaring perdagangan internasional di
persimpangan antara Cina, India, Persia, Arab, dan Eropa, kota pelabuhan ini
kemudian terbentuk dan berkembang sebagai kota dagang di kawasan pantai Asia
Tenggara.
Di antara para pedagang asing, pedagang Cina memberi kontribusi cukup
besar bagi aktivitas perdagangan di Banjarmasin. Mereka datang memanfaatkan
angin musim utara antara Januari dan Februari dan memanfaatkan angin musim
selatan antara Juni dan Agustus untuk kembali ke daerah asal (Widodo, 2009: 81).
Kecuali itu, mereka juga menunggu kedatangan pedagang lain dengan membawa
barang dagangan yang akan dibeli dan dibawa ke negeri asalnya (Reid, 2011: 65).
Dalam masa menunggu tersebut mereka berinteraksi dan bermukim di
Banjarmasin dan sebagian diantaranya kemudian memutuskan untuk menjadi
penduduk kota dan melakukan kawin mawin bahkan ada yang menikahi

perempuan pribumi (Banjar) dan memiliki keturunan di Banjar. Jumlah mereka
semakin besar sehingga membentuk suatu komunitas dan membentuk
permukiman yang memberi warna bagi Banjarmasin sebagai kota dagang.
Penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran tentang pembentukan
permukiman kaum migran Cina di daerah baru berdasarkan pandangan hidup
yang kuat. Selain bentuk dan struktur permukiman, kehidupan masyarakat sebagai
pembentuknya juga akan dibahas. Untuk itu, penulis menggunakan konsep
tentang kawasan Pecinan. Penggunaan konsep akan membantu penulis dalam
membentuk kerangka pemikiran saat menjalani penelitian dan penulisan.
Rudy Prasatya Lilananda mendefinisikan Pecinan sebagai kawasan yang
merujuk pada suatu bagian kota yang dari segi penduduk, bentuk hunian, tatanan
sosial serta suasana lingkungannya memiliki ciri khas karena pertumbuhan bagian
kota tersebut berakar secara historis dari masyarakat berkebudayaan Cina
(Lilananda dalam Antariksa, 2010).
Jika dibandingkan dengan tulisan Pratiwo tentang permukiman Tionghoa
di Semarang dan Lasem sebagai bagian dari transformasi sebuah kota dan
perubahan bentuk arsitektur rumah-rumah tradisional Tionghoa pada permukiman
tersebut. Ia menganalisa tahap perubahan dan setiap elemen yang berubah tidak
hanya berdasarkan jiwa zaman yang berlaku saat itu (kebijakan sosial politik yang
memengaruhi kehidupan dan tempat hidup masyarakat Tionghoa) melainkan pula

berdasar filsafat hidup para pembentuknya (Pratiwo, 2010).
Sejalan dengan kedua tulisan di atas, penulis menyimpulkan untuk
“memotret” Kampung Cina Banjar secara utuh dibutuhkan gambaran baik unsur
fisik maupun nonfisik dari sebuah permukiman Cina dan hubungkait antara
keduanya. Unsur fisik berupa rumah dan lingkungannya. Sementara unsur
nonfisik adalah masyarakat juga kehidupan dan pandangan hidupnya. Untuk itu
dirumuskanlah dua butir masalah berikut untuk dijawab dalam uraian karya tulis
ini.
1) Bagaimana pembentukan dan perkembangan permukiman Cina di
Banjarmasin hingga awal kemerdekaan?
2) Bagaimana peran permukiman Cina di Kota Banjarmasin hingga awal
kemerdekaan?

2

Selama pembahasan dalam tulisan ini, penulis memilih menggunakan
istilah Cina walaupun sebutan ini setelah Orde Baru dipersoalkan karena oleh
sebagian kalangan dinilai memuat diskriminasi rasial. Karena dibandingkan
dengan penggunaan istilah Tionghoa, istilah Cina bagi urang Cina Banjar dirasa
lebih mewakili identitas kesukuan mereka sebab sebutan itulah yang dikenakan

selama berabad-abad hidup dan berinteraksi dengan kelompok etnis lain di Tanah
Banjar. Istilah itu pula yang digunakan baik oleh orang di luar maupun oleh
kelompok mereka dalam mengidentifikasi diri. Kecuali itu, sebutan Cina juga
tidak dirasa mengurangi nilai dirinya.
Penelitian ini dilakukan tahun 2011 dan 2012 di Jakarta dan Banjarmasin
namun penyusunan karya tulis ini sendiri dijalankan di Pontianak. Metode yang
dilakukan adalah metode penelitian sejarah yang mencakup tahap heuristik, kritik,
interpretasi, dan historiografi.
Heuristik yakni mencari, menemukan dan menghimpun sumber sejarah
dilakukan melalui studi pustaka, pengamatan lapangan, dan wawancara. Studi
pustaka memberi sumbangan data terbesar. Kecuali data primer yang banyak
dimuat dalam dokumen kolonial dan laporan langsung dari media masa sezaman,
data sekunder berupa monografi dan artikel sezaman juga didapat di Arsip
Nasional RI dan Perpustakaan Nasional RI. Adapun pengamatan lapangan
khususnya di Pacinan dan kawasan permukiman yang berdasarkan studi
pendahuluan diduga kuat merupakan permukiman Cina memberi gambaran nyata
tentang bentuk dan kehidupan urang Cina Banjar. Kondisi fisik khas kawasan
permukiman Cina berupa struktur jalan, keberadaan klenteng, dan bentuk hunian
merupakan artefak yang harus didokumentasikan keberadaan dan fungsinya.
Sementara wawancara tetap dilakukan agar dapat menggali ingatan pemukim

Cina. Walaupun hanya mendapat data sekunder karena sumber primer telah tiada,
namun memori yang diturunkan terhadap generasi selanjutnya dimanfaatkan
dalam proses koroborasi dan penyusunan fragmen fakta yang terserak.
Berikutnya adalah tahap analisa data berupa kritik atau verifikasi terhadap
fisik (kritik eksternal) dan kandungan nilai dari sumber agar memeroleh fakta
sejarah yang otentik dan dapat dipercaya (kritik eksternal). Kritik eksternal
dilakukan dengan mengamati wujud kertas, tinta, dan membandingkan bentuk
tulisan dan perubahannya sesuai trend zaman. Kritik internal yang dilakukan
dalam menyusun tulisan ini adalah membandingkan kesesuaian teks pada naskah
dengan identitas waktu yang termuat pada dokumen (kolofon), menelusuri
identitas penulis dokumen guna menilai kredibilitas sumber, menguji pemaknaan
konsep (terutama istilah Belanda) dengan realitas fakta pada zamannya, dan
koroborasi (membandingkan dua atau lebih sumber) guna memperkuat
pernyataan.
Fakta teruji lalu diinterpretasi dan dirangkai menjadi kesatuan peristiwa
sejarah secara kronologis sehingga harmonis dan masuk akal. Penafsiran dan
penyusunan pembahasan dituntun dan dikerangkai oleh konsep tentang kawasan
Pecinan di atas.
B. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Urang Cina Banjar


3

Sangat sulit untuk menentukan waktu yang tepat perihal kedatangan
masyarakat Cina ke Banjarmasin. Tetapi setidaknya keberadaan awal orang Cina
di Tanah Banjar telah disebut dalam Hikayat Banjar. Historiografi lokal yang
selesai ditulis pada tahun 1728 ini bercerita mengenai peran serta mereka dalam
perdagangan sejak masa Kerajaan Nagara Daha yang berpusat di Muara Bahan
(Marabahan). Begitu pula ketika bandar dagang pindah ke Bandar Masih sekitar
tahun 1526, pedagang Tionghoa dikabarkan ikut pindah dan menetap (Ras, 1968:
262; 402-404; 430).
Di awal abad ke-17 keberadaan orang Cina di Banjarmasin diketahui
dengan kedatangan pencatat perjalanan Dinasti Ming. Dalam catatannya berjudul
Dong Xi Yang Kao yang berangka tahun 1618, ia menginformasikan kegiatan
perdagangan di Banjarmasin kala itu (Groneveldt, 2009: 149-150). Sebagaimana
kabar tersebut, para penulis Eropa menyatakan bahwa sejak tahun 1630an
saudagar Cina telah eksis dalam kegiatan perdagangan di Banjarmasin. Malahan
karena kalah saing, VOC meninggalkan Banjarmasin “untuk orang Cina (dan
Inggris)” pada tahun 1635 (Sjamsuddin, 2001: 74; Linblad, 2012: 8).
Dalam surat perjanjian 4 September 1635 antara Kesultanan Banjar

dengan Belanda disebut bahwa Sultan telah melakukan ikatan kegiatan dagang
dengan seorang dengan seorang kepala orang-orang Cina di Batavia sekaligus
pemilik perusahaan dagang (lantjong) bernama Bencon (Indonesia, 1965: 2-3).
Betapa hebat dan besarnya armada dagang orang yang diduga bernama asli Souw
Beng Kong adalah Kapitan Cina pertama di Batavia ini (Hoetink dalam
Benedanto, 2007: 4). Sebab untuk menghindari kerjasama tersebut Sultan sampai
mengirim utusan kepada pihak VOC di Batavia dan meminta perlindungan bagi
keamanan Banjarmasin dengan menempatkan beberapa kapal seperti yacht, fregat,
dan kapal cepat (Indonesia, 1965: 2-3).
Adapun informasi mengenai kiprah mereka pada kurun selanjutnya tertulis
dalam cerita perjalanan Dan Beeckman tahun 1718. Orang Inggris tersebut
menyatakan bahwa sebagaimana orang Portugis yang datang ke Maluku melalui
Makassar, sejak pertengahan abad ke-16 orang Cina telah singgah di Banjarmasin.
Ia juga menjelaskan bahwa di awal abad ke-17 sebagian besar penduduk
Banjarmasin adalah orang Cina yang menguasai seluruh perdagangan di sana.
Monopoli mereka saat itu terutama pada komoditas lada sebagian besar dialirkan
untuk perdagangan di Tiongkok. Besarnya volume perdagangan yang dilakoni
oleh para pedagang Cina ditunjukkan oleh kedatangan duabelas jung Tiongkok
tiap tahun sejak awal abad ke-18. Kecuali itu meluasnya penggunaan uang picis di
Banjarmasin terlihat melalui pembelian mata uang Tiongkok oleh para pedagang

Banjar di Jawa dan penukaran ribuan real oleh VOC (Saleh, 1959: 48; 55-56).
Uraian di atas merupakan fase awal kedatangan orang Cina ke Tanah
Banjar. Gelombang kedatangan selanjutnya terjadi pada paruh kedua abad ke-19.
Karena adaptasi, kesetiaan, dan kemauan untuk memperbaiki diri (terutama
menyangkut pelayaran), mereka berhasil merebut kedudukan para pedagang Bugis
yang kala itu mendominasi perdagangan ekspor tradisional (Lindblad, 2012: 11).
Gelombang berikutnya muncul pada awal abad ke-20. Berbeda dengan
sebelumnya yang mengandung motif ekonomi sangat kuat, sebagian pendatang
dari fase ini memiliki motivasi khusus di dunia pengajaran. Mereka adalah guru di

4

mana di antaranya ada yang mengajar di Ma Hua, sekolah dengan bahasa
pengantar bahasa Cina di Jalan Martapura (kini Jalan Veteran), Banjarmasin.
Sepertinya mereka adalah revolusioner pendukung Sun Yat Sen yang terkait
dengan gerakan Nasionalisme Tiongkok. Gejala tersebut muncul di kota-kota
Hindia Belanda sejak awal tahun 1900an. Gerakan yang bertujuan untuk
membangkitkan kesadaran nasional di kalangan etnis Tionghoa di Hindia Belanda
ini dipelopori oleh (Tiong Hoa Hwee Koan) THHK, sebuah perkumpulan
Tionghoa yang menuntut persamaan hak antara orang Tionghoa dengan Belanda

(Darini: 5-6).
Fase kedatangan selanjutnya terjadi pada masa awal Republik. Arus
kedatangan terjadi ketika Orde Lama menerapkan peraturan bagi orang Cina
untuk tingal di perkotaan. Itu menyebabkan penduduk yang tinggal di wilayah
pedesaaan terutama dari Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah kebanyakan
melakukan migrasi ke Banjarmasin (Pratiwo, 2009: 100).
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa masa keberadaan mereka di Tanah
Banjar cukup lama sehingga membuat sebagian dari mereka tidak lagi dianggap
orang Asing (Saleh, 1959: 8). Bahkan kini sebagian besar orang Cina Banjar tidak
paham mengenai asal-usul kelompok etnisnya. Sebagian besar hanya paham
bahwa mereka adalah peranakan. Berkaitan dengan itu, Onghokham menyatakan
bahwa hampir semua peranakan tidak dapat lagi ditelusuri asal-usulnya. Jika asalusul ini dapat ditelusuri, leluhur mereka tidak akan lebih lampau dari abad ke-18
(Onghokham, 1983: 29). Namun berdasarkan informasi dari pengurus Tempat
Ibadat Tri Dharma Soetji Nurani, Tiono Husin diketahui bahwa sebagian besar
orang Cina Banjar adalah sub-etnis Hok Jia dan Hakka sebagian kecil lainnya.
Hok Jia atau Fu atau Fuk Jing lebih populer dengan nama Fuqing atau
Hok-Chiang, Hokchia, Hokchew, Foochowese, Fuzhounese atau Hokchiu adalah
subetnis yang mengacu pada dialek Fuzhou. Etnis ini berasal dari shi Fuqing,
Gutian dan Pingnan, di tepi laut Tiongkok Selatan, tepatnya selat yang
memisahkannya dengan Taiwan sejarak 180 km. Jadi sub-etnis ini secara

antropologis memiliki budaya bahari atau budaya maritim meski secara umum
Provinsi Fujian secara topografis bernuansa pegunungan. Sub-etnis ini dikenal
pula dengan keuletan, kekompakan yang tinggi, dengan kata lain saling membantu
terutama dalam hal pemberian modal bagi kelompoknya (http://themanagers.org/
web/2012/02/kajian-antropologi-bisnis-etnis-tionghoa-di-Indonesia/).
2.

Aktivitas Sosial-Ekonomi di Pecinan
Jumlah penduduk Cina di Banjarmasin berada di tengah-tengah antara
masyarakat pribumi dan Eropa. Sensus penduduk (volkstelling) menyebutkan
bahwa pada 1905 jumlah penduduk Cina di Banjarmasin berjumlah 2600 jiwa,
tahun 1920 sejumlah 3207 orang, dan tahun 1930 berjumlah 4940 jiwa
(Volkstelling, 1930).
Sebagaimana jumlahnya, peran ekonomi orang Cina berada di tengahtengah aktivitas orang Banjar dan Eropa. Secara umum Lindblad juga menyatakan
bahwa aktivitas perdagangan sungai yang banyak dilakoni oleh orang Banjar juga
dijalani oleh mereka walaupun terbatas dalam hubungan pengiriman jarak jauh.
Selain itu aktivitas perdagangan internasional yang dilakukan oleh orang Eropa

5

juga dijajakinya terutama untuk jalur yang melalui Singapura (Lindblad, 2012:
13). Pergesekan tersebut dapat diatasi oleh motif ekonomi dan etos kerja mereka.
Sehingga dalam perkembangannya malah memunculkan bentuk kegiatan ekonomi
baru bagi mereka. Ketika bekerja sama dengan orang Banjar, mereka “mencuri”
ilmu dan rahasia untuk berkomunikasi dengan orang Dayak di hulu Sungai Barito.
Sementara saat bersentuhan dengan orang Eropa mereka bisa berperan sebagai
agen perusahaan dagang Eropa.
Semula orang-orang Cina hanya berperan dalam jasa antar dan hanya
memeroleh keuntungan dari upah transportasi mengangkut barang dagang atau
penumpang ketika para pedagang Banjar mengumpulkan komoditas yang berasal
dari pedalaman, terutama Tanah Dusun. Lama kelamaan, sekitar tahun 1930an
saudagar-saudagar Cina berhasil mencari hubungan langsung dengan penduduk
asli Tanah Dusun bahkan menurut berita yang dilansir surat kabar lokal Oetoesan
Borneo pamor mereka cukup bersaing dengan pedagang Hulu Sungai yang telah
berkiprah lebih dulu. Kabarnya, hubungan dagang antara orang Cina dengan
Tanah Dusun telah mengenalkan penduduk asli di sana dengan mata uang.
Selain Tanah Dusun, perdagangan di Hulu Sungai dijalani kemudian
dengan usaha yang tidak jauh berbeda yakni menjual barang-barang bawaan dari
kota kepada toko-toko baik milik orang Tionghoa maupun pribumi. Setelah
berhasil membuka dan membuat jejaring perdagangan, pedagang Tionghoa tidak
lagi mau lelah untuk membawa sendiri hasil bumi ke Banjarmasin melainkan
memberi modal kepada para pedagang perantara pribumi di Hulu Sungai untuk
menjualkannya (Listiana, 2011: 86-89).
Seiring berkembangnya perdagangan ekspor-impor, para saudagar Cina
meluaskan usahanya di berbagai bidang. Di bidang transportasi ditunjukkan
dengan kepemilikan kapal berupa armada kapal kecil (flottille) dengan daya
tempuh ke sungai-sungai di pedalaman Borneo Selatan, ke Surabaya, dan
Singapura. Tidak kurang dari duapuluh buah kapal perang tua dan kapal-kapal
pemerintah digunakan oleh para pelayar Tionghoa hingga 1924 untuk melayani
tongkang dan perahu yang memuat barang. Beberapa lainnya memiliki kapal
pengangkut barang dan penumpang yang diantaranya diawaki oleh orang-orang
Eropa pada pelayaran ke Singapura (Listiana, 2011: 109).
Usaha di bidang keuangan juga dilakoni oleh orang-orang Cina di Tanah
Banjar. Seperti praktik sistem persekot (voorschot/ uang muka) oleh para
pedagang pemborong hasil tani atau bumi yang biasanya untuk keperluan ekspor
atau dijual kembali di dalam negeri. Pembayaran uang muka dilakukan pada masa
proses produksi (sebelum panen) atau pada awal masa penanaman sebagai modal.
Dengan begitu para pedagang mendapatkan hasil bumi lebih murah. Praktik
pembelian ketika tanaman masih hijau (masih muda) memunculkan sebutan
sistem ijon untuk sistem pemodalan ini.
Kecuali sistem persekot, pedagang Tionghoa (dan Arab) dikenal juga suka
memberi kredit kepada kaum tani. Jenis kredit bisa diberikan dalam berbagai
bentuk barang dan kebutuhan lain para petani kredit dengan jaminan hasil panen
nanti. Mereka berusaha masuk ke pedalaman dan biasanya membuka toko atau
menadah hasil bumi.

6

Kredit-kredit ini sama sekali tidak menguntungkan kaum tani karena
bunganya sangat tinggi. Bisa dikatakan sebagian besar keuntungan dari produksi
tanah justru diperoleh para pemberi pinjaman (Listiana, 2012: 90-92).
Di pusat kota, aktivitas ekonomi sangat sarat mewarnai kampungkampung Cina. Catatan awal yang merekam kegiatan ekonomi di sekitar area
tersebut menyebutkan bahwa pada tahun 1806 kapal layar Cina yang membawa
barang-barang dagang menambatkan kapalnya hingga berhari-hari di tepian
Sungai di daerah Pacinan seberang Tatas (http://subiyakto.wordpress.com/2010/
04/30/pelabuhan-dalam-otoritas-belanda/). Namun kegiatan perdagangan mereka
sudah disebut-sebut sejak lama terutama saat ledakan perdagangan lada di abad
ke-17. Bahkan peran mereka pada masa itu dikatakan sebagai tulang punggung
Sultan. Di mana kekuatan untuk memainkan harga lada di pasaran ada di tangan
mereka karena memiliki toko-toko yang kerap menimbun lada dan memiliki
pengetahuan standar harga dunia sebab berhubungan dengan jaringan
perdagangan internasional. Karenanya tidak heran jika seorang saudagar Cina
Banjar bernama Kiai Aria dijadikan sahbandar oleh Kerajaan Banjar tahun 1690an
(Saleh, 1959: 8; 12-13).
Perihal kegiatan ekonomi juga terlihat dari keberadaan gudang atau kantor
dagang yang berderet di sepanjang pinggiran Sungai Martapura di tepi Jalan
Pacinan yang berada di seberang Benteng Tatas (Masjid Sabilal Muhtadin) dan di
sepanjang Jalan Martapura, juga yang berada di seberang pelabuhan yakni di
tepian sungai sepanjang Jalan Rantauan Kuliling Ilir. Keberadaan bangunan
tersebut jelas terlihat pada peta tahun 1901 dengan simbol kotak merah. Sejalan
dengan keterangan pada peta, informasi dari beberapa informan diketahui bahwa
para pemukim Tionghoa yang memiliki usaha sendiri biasanya memiliki tempat
usaha di rumah tinggalnya atau membangun kantor, gudang, atau pabrik di depan
rumahnya yang dibangun di tepian sungai atau jalan.

Gambar Lokasi Kampung Cina dan Kuburan Cina Tahun 1900an
(Sumber: Perpustakaan Nasional RI).

Dunia perdagangan yang digeluti urang Cina Banjar di Kota Banjarmasin
kala itu dapat dibagi menjadi tiga. Perdagangan besar yang berjalan adalah
7

kegiatan ekspor-impor dan pabrik. Eksportir besar karet di Banjarmasin
diantaranya adalah orang-orang Cina dengan persaingan yang sangat kuat. Pabrik
karet Singapura, Tan Ka Ké menjual langsung ke Banjarmasin melalui cabangnya,
begitu pula yang dilakukan oleh Swie Kie, sementara eksportir Cina lain
menanganinya sendiri.
Adapun importir kala itu berbentuk perusahaan leverancier (pemasok
barang). Perusahaan leverancier kebanyakan memasok beras dari Jawa (melalui
Pelabuhan Semarang atau Surabaya), ada pula yang mengambil tembakau dari
Jawa (Salatiga), mengimpor makanan dan minuman dari mancanegara, ataupun
barang-barang perlengkapan rumah tangga. Perusahaan leverancier sebagian
membuka toko di rumahnya, memiliki toko di dekat rumahnya atau di pasar, juga
membawa dagangan ke daerah Hulu Sungai Barito.
Ada juga pemilik perusahaan (NV/ Naamloze Venootschap) yang
membuka pabrik. Seperti Teng SB&Zonen NV Handel Mij. yang berkantor di
Pacinan, Firma Khiam Aik Chan milik Tan Ka Ké yang memiliki rumah asap,
Sam Hap Oliefabriek milik Lim Tjoe Keng dan Tjeng Pek Thay di Kalayan
mengusahakan pabrik penggilingan padi, pabrik minyak kelapa, dan pabrik es,
pabrik limun, dan usaha bioskop, adapula Tjie Hin Rijspellerij berupa pabrik
penggilingan padi.
Pedagang menengah bergerak di bidang perdagangan langsung. Ada pula
pedagang Cina yang menjajakan dagangannya berupa barang kelontong ataupun
bahan kebutuhan pokok ke daerah Hulu Sungai Barito seperti Pleihari, Puruk
Cahu, Marabahan, Amuntai, Barabai, Kandangan, Muara Teweh, ataupun
Tangkisong. Sebagian pedagang membawa barang dagangannya menggunakan
cikar atau pedati maupun menggunakan kapal uap (stoom ketel) dan tongkang
yang disewa atau milik pribadi.
Perdagangan kecil berupa perdagangan langsung secara eceran. Jenis
perdagangan ini berlangsung di toko dan sampan. Toko beroperasi baik di rumah
maupun pasar khususnya di Kompleks Pasar Baru yang meliputi Pasar Baru,
Pasar Soedimampir, dan Pasar Lima. Para pedagang Cina juga melakukan
perdagangan terapung di sungai menggunakan jukung.3
Di luar wirausaha sebagian kecil dari mereka bekerja di perusahaan
Belanda atau perusahan milik orang Cina sendiri. Lainnya, dalam laporan umum
(algemeen verslag) pejabat Belanda tahun 1858 dinyatakan adanya peran pachter
Cina dalam mengelola komoditas dan jasa tertentu dalam bentuk pacht (hak
pengelolaan).4 Hak pengelolaan tersebut meliputi pacht opium, lombard,
permainan po dan tapho, minuman keras, dan tempat penyembelihan babi.
Keseluruhan pacht ini dipegang oleh orang Cina dan pemerintah mengakui bahwa
pendapatan atas sewa pacht ini cukup lancar hingga tidak menimbulkan masalah
(Listiana, 2012: 91-93).

3

Wawancara dengan Go Po Tjoe (71 th.), Lina Tanu (94 th.), Go Giok Liong (57 th.), Tjoe Kiok
Swan (56 th.), Iwan (± 60 th.), Teng Kim Nio (91 th.).
4
Pacht merupakan sistem pengelolaan suatu bidang usaha di mana hak pengelolaan didapatkan
melalui pelelangan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Pemenang lelang yang disebut
pachter memiliki kewajiban untuk menyetor sejumlah uang kepada pemerintah.

8

Zaman Jepang banyak saudagar Cina (juga para haji dan kaum
cendikiawan) diinternir dan usaha mereka dibeslag. Melalui proses penculikan,
nasib mereka tidak diketahui hingga kini. Sebagian dari keluarga Cina Banjar lari
ke kota-kota besar lain terutama Surabaya. Sebagian lagi hidup dari simpanan dan
jatah beras sebesar 60 kg sebulan.5
Memasuki Orde Lama, perusahaan-perusahaan Cina banyak yang gulungtikar akibat diberlakukannya PP No.10 tahun 1959 mengenai pelarangan bagi
masyarakat Tionghoa untuk melakukan perdagangan eceran di pedesaan.
Peraturan tersebut mematikan usaha mereka dan aktivitas ekonomi di pedalaman
berhenti.6
Selain peran ekonomi, orang Cina memiliki peran sosial yang bersifat
internal dan eksternal. Nilai sosial-budaya berdasarkan filsafat hidup
konfusianisme, taoisme, dan budhisme serta keadaan tempat migrasi lebih
memperkuat sifat kekeluargaan dan tekad mereka untuk maju. Jalinan
kekeluargaan yang kuat membentuk perkumpulan sesuku atau marga meskipun
orang Cina Banjar cenderung berbaur dengan kelompok etnis lain. Perkumpulanperkumpulan inilah yang membentuk hubungan pribadi (guanxi) dan kepercayaan
(xinyong)7 (Mackie, 1999: 181). Hingga kini perkumpulan sesuku masih tetap
hidup di Kota Banjarmasin. Seperti perkumpulan orang Hok Jia, Sen Ho Hui dan
Fu Cing Kung Hui; Tong Seng Hui untuk orang Khek; ataupun Fu Thien Kung
Hui untuk orang Henghua. Perkumpulan tersebut tidak hanya untuk kesejahteraan
kelompok melainkan pula bergerak dalam kehidupan sosial seperti perkawinan
dan kematian. Adapun gerakan yang bersifat eksternal untuk kalangan yang lebih
luas terwujud dalam lembaga amal. Lembaga yang didirikan baik oleh
perseorangan maupun kelompok ini memiliki aktivitas yang beragam. Sebuah
lembaga amal perseorangan milik Teng Sian Tjie bernama Armenzorg Fonds
diketahui memberi derma berupa sembako kepada masyarakat di sekitar
lingkungan tempat tinggalnya setiap sebulan sekali.
3.

Ruko, Rumah Bidak, hingga Rumah Gadang
Aplikasi pandangan kosmologi dalam membangun rumah di tempat yang
baru dengan kondisi iklim dan geografis yang berbeda dengan negeri asal cukup
sulit begitu pula dengan pengamatan orientasinya. Oleh karena itu dalam uraian
kali ini penulis lebih memotret tipe dan fungsi rumah. Berdasarkan data baik
catatan kolonial maupun tinggalan fisik yang hingga kini masih dapat diamati,
terdapat dua macam tipe rumah Kampung Cina Banjar. Yakni ruko dua lantai dan
rumah satu lantai.
Tipe ruko dua lantai berderet dengan tembok bersama antara ruko yang
satu dengan yang lain hanya tampak dibangun di kawasan Pasar Baru. Majalah
Tropisch Nederland tahun 1939 memuat foto di jalan bernama Jalan Pertokoan
Cina (Chineesche Winkelstraat) pada sebuah hari perayaan masyarakat Cina di
5

Informasi dari Mariana Jayanegara/ Teng Kim Nio (91 th.).
Informasi dari Iwan (±60 th.).
7
Informasi dari anggota perkumpulan kedai kopi Tionghoa di Pasar Soedimampir menyatakan
bahwa kepercayaan merupakan harga diri untuk mereka terus hidup. Kepercayaan yang tercedera
oleh seorang Tionghoa dapat “menelanjanginya” yang berarti membuat malu seumur hidup.
Karenanya, mereka akan sangat menjaga kepercayaan.
6

9

Banjarmasin. Namun berdasarkan pengumpulan informasi di lapangan diketahui
bahwa pada tahun 1940an saja kawasan ini tidak lagi digunakan sebagai hunian.
Kecuali itu pertokoan di kawasan ini juga tidak eksklusif difungsikan oleh orangorang Cina karena banyak orang Banjar, orang Arab, dan Timur Asing lainnya
juga berdagang di sini.
Jika pada tahun 1935 harian Dagblad Express menyebut keberadaan
Pecinan di Pasar Baru maka semakin memperkuat dugaan bahwa kawasan ini
pernah menjadi permukiman tempat tinggal dan fungsi tersebut semakin menurun
karena ditinggalkan oleh pemiliknya. Gejala pindahnya orang-orang Cina dari
kawasan padat ke daerah yang lebih longgar setelah memiliki kekayaan umum
terjadi. Walaupun ruko-ruko tersebut tidak serta merta ditinggalkan karena tetap
dijadikan sebagai tempat berusaha atau berdagang.
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, masyarakat memiliki
aktivitas ekonomi beragam yang berhubungan dengan tingkat kesejahteraan. Hal
tersebut tercermin dari bangunan rumahnya karena bagi orang Tionghoa rumah
merupakan simbol sosial yang memperlihatkan tingkat kekayaan. Mereka
membangun rumah untuk tujuan ekonomi yang menunjukkan pemikiran mereka
dalam membangun masa depan lebih baik.
Berdasarkan tinggalan fisik yang hingga kini masih dapat kita lihat di dua
lokasi permukiman Cina lainnya (Pacinan dan RK Ilir), rumah urang Cina Banjar
dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori rumah berdasarkan tingkat
kemewahannya. Yakni, rumah petak, rumah tunggal sederhana, dan rumah
gadang.

Gambar Rumah Petak di RK Ilir, tampak sebuah rumah memasang
pa-kua pada ventilasi (Sumber: Dok. Pribadi).

Rumah petak milik orang Cina Banjar di daerah RK Ilir. Rumah deret satu
lantai ini merupakan tipe rumah paling awal di beberapa daerah dengan komunitas
Tionghoa cukup besar, seperti Semarang dan Singkawang. Setiap rumah petak
terbagi menjadi ruang dalam dan luar. Aktivitas sosial berpusat di depan untuk
menerima tamu juga menyimpan altar dewa dan leluhur yang menghadap ke jalan
sehingga akan terlihat jika pintu dibuka. Menurut informasi Teng Kim Nio
diketahui bahwa penghuni yang tinggal di rumah-rumah petak pada tahun 1940an
bekerja sebagai pedagang kecil atau bekerja sebagai pegawai di perusahaan
swasta atau pabrik.

10

Rumah tunggal sederhana dapat ditemukan di RK Ilir dan Pacinan. Tipe
rumah ini menunjukkan model yang lebih variatif namun menunjukkan adaptasi
dengan arsitektur lokal dan bahkan ornamen lokal. Keumuman yang tampak
adalah ukuran rumah dan luas halaman yang kecil. Kecuali itu keberadaan simbolsimbol kepercayaan masyarakat Cina seperti ukiran lambang yin-yang, pa-kua
(diagram segi delapan arah mata angin) dipasang di atas rangka pintu guna
menolak bala karena dipercaya memiliki kekuatan mengusir roh jahat dan
pengaruh buruk, dan pot penyimpanan batang hio yang biasanya tergantung di
tiang atau dinding muka rumah menjadi ciri dari rumah urang Cina Banjar.

Rumah tunggal sederhana di RK Ilir dan Pacinan
(Sumber: Dok. Pribadi).

Orang-orang kaya akan membangun rumah berhalaman (courtyard) yang
lebih nyaman. Seperti rumah-rumah gadang (besar dan mewah) di daerah RK Ilir
dan Pacinan. Rumah-rumah tersebut menunjukkan pengaruh arsitektur kolonial
yang kental dan dihiasi oleh ornamen khas Banjar, namun mengaplikasikan pola
dasar dan konfigurasi ruang khas tradisional Cina. Seperti rumah gaya indis yang
dibangun Tjoe Eng Tjie pada 1922. Arsitektur indis adalah bentuk bangunan
rumah tinggal yang memiliki ciri-ciri perpaduan antara bentuk bangunan Belanda
dan rumah tradisional (Soekiman, 2011: 3). Elemen Belanda (Eropa) paling jelas
ditunjukkan oleh bentuk tubuh bangunan. Elemen tradisional banyak ditunjukkan
oleh ornamen Banjar. Elemen Tionghoa tampak dari konfigurasi ruang dan
beberapa kelengkapan interior. Lihat juga rumah modern gaya Art Deco yang
dibangun oleh Tan Ek Shiang (kemudian dibeli oleh Lim Sek Tjhiang).
Konstruksi beton yang menonjolkan garis-garis vertikal sangat proporsional
tersebut tidak mengubah organisasi ruang fungsional tradisional Cina.

Rumah Gadang gaya Indis milik saudagar Cina di RK Ilir dan gaya Art Deco di
Pacinan (Sumber: Koleksi Keluarga Tjoe; Dok. Pribadi).

Rumah Tjoe Eng Tjie pada tahun 1920an terpisah dengan tempat usaha
keluarga. Kantor dan gudang yang digunakannya untuk menyimpan komoditas
tembakau, karet, dan rotan terletak di seberang jalan muka rumahnya di daerah
Rantauan Kuliling Ilir. Begitu pula rumah Lim Sek Tjhiang yang memiliki usaha
11

pabrik penggilingan beras dan pabrik es menggunakan rumahnya di Pacinan untuk
tempat tinggal. Sementara gudang tempat usahanya berada di Kalayan dan kantor
firma dan sebuah gudang lagi di kawasan Pasar Baru (Gids voor Bandjermasin,
1931; Telefoongids, 1949). Guna kemudahan lalulintas barang letak kedua
bangunan tempat usaha tersebut berdiri di tepian sungai.

Kiri: Rumah Kantor; Kanan: Rumah Gudang; Bawah: Rumah Toko
(Sumber: Dok. Pribadi).

Fenomena pemanfaatan rumah-rumah gadang semata-mata sebagai hunian
merupakan dampak dari profesionalisasi pekerjaan. Modernisasi perusahaanperusahaan milik orang Cina yang ditandai dengan adanya badan hukum dan
menjadikan usaha mereka sebagai perseroan terbatas ataupun firma telah
mengubah pola bertempat tinggal dengan memisahkan antara tempat kerja dan
rumah yang hanya untuk dihuni.
Namun demikian tidak seluruh perusahaan Cina menerapkannya. Wujud
pemikiran praktis dan efisien masyarakat Cina dapat dilihat pada rumah-rumah
yang selain dihuni juga difungsikan sebagai tempat kegiatan ekonomi. Seperti
rumah yang dibangun oleh Lim Tjoey Gwat tahun 1944. Sebuah ruang di bagian
depan rumah tersebut digunakan sebagai kantor oleh keturunannya bernama Lim
Tjoe Keng. Ada pula rumah milik Tan Ek Shiang di mana bagian mukanya
digunakan sebagai toko sedangkan bagian belakang menjadi tempat tinggal.
Secara umum, rumah-rumah Cina tersebut membentuk suatu kawasan
yang tidak hanya berupa lanskap permukiman namun sekaligus lanskap
perekonomian atau perdagangan.
4.

Permukiman Cina
Orang-orang Cina telah datang saat Kota Banjar masih menjadi bandar
dagang Kesultanan Banjar yang berpusat di Banjarmasin Lama. Kala itu,
pembesar kerajaan yang merupakan pelaku utama perdagangan menjalin
12

hubungan dagang dengan saudagar Cina. Karena itu pula tampaknya pendatang
Cina diberikan izin untuk tinggal di Banjar.
Dalam penempatan permukiman, sebagaimana masyarakat Cina di belahan
dunia lainnya, akan diterapkan pandangan kosmologi yang terbentuk berdasarkan
posisi geografis dataran Tiongkok yang dianggap sebagai dunia. Sehingga jika
kosmologi Tiongkok mengibaratkan dunia ini sebuah persegi maka kaisar sebagai
putra surga berada di tengah dan diibaratkan sebagai bumi. Sementara sisi selatan
yang dihadapkan dengan Laut Cina Selatan dianggap sebagai sumber kehangatan
sehingga diibaratkan sebagai api, musim panas, dan merak merah. Sisi timur yang
berhadapan dengan Samudera Pasifik dianggap sebagai sumber kehidupan yang
dilambangkan sebagai pohon, musim semi, dan naga biru. Sisi utara berupa Gurun
Gobi yang luas dan dingin dianggap tidak bersahabat dengan manusia diasosiakan
dengan air, musim dingin, dan kura-kura hitam. Adapun sisi barat yang
berhadapan dengan Pegunungan Himalaya dipandang sama seperti Gurun dan
dianggap sebagai kematian yang diasosiasikan sebagai logam, musim gugur, dan
macan putih (Pratiwo, 2010: 20-23).
Jika di Tiongkok aplikasi pandangan kosmologi berdasarkan arah mata
angin cenderung mutlak dilakukan maka di Nusantara dan khususnya di
Banjarmasin akan ditemui beberapa penerapan yang adaptif dengan kondisi
geografis. Tentunya menggunakan pedoman feng shui , ilmu tata ruang Cina yang
berpegang pada persepsi tersebut. Sebuah persepsi klasik yang mengharuskan
manusia untuk hidup selaras dengan kosmos dan menyejajarkan aturan-aturan
guna menentukan terjaganya harmoni, khususnya aturan-aturan pembangunan
rumah.
Permukiman yang ideal berdasarkan kosmologi Tiongkok sebenarnya
menghadap ke sungai atau laut dan membelakangi pegunungan atau perbukitan.
Namun untuk daerah dataran rendah yang jauh dari perbukitan, lokasi yang baik
adalah tikungan sungai di mana naga biru dan macan putih bertemu sehingga
dapat menangkap Qi (nafas hidup yang mengalir dari sungai). Lokasi Kota
Banjarmasin dilalui oleh banyak meander (kelokan sungai) merupakan lokasi
strategis bagi mereka untuk membangun sebuah permukiman.
Kebijakan segregasi rasial pada kawasan hunian di kota-kota kolonial
menempatkan permukiman Cina tetap berada lingkaran inti kota. Adapun
wijkenstelsel (1826-1915) yaitu peraturan yang mengharuskan penduduk
berdasarkan etnik untuk tinggal di wilayah yang telah ditentukan telah
memperkuat konsolidasi masyarakat Cina di daerahnya sendiri dan malah
memperkuat kehadiran daerah pecinan dengan aktivitas ekonominya yang kental.
Perkembangan kawasan Pecinan dari permukiman menjadi kawasan
ekonomi terlihat dari peta Kota tahun 1925. Tampak pada peta bahwa
perkembangan aktivitas ekonomi paling pesat terjadi di area Pasar Baru di mana
area kampung yang pada peta tahun 1901 masih mendominasi telah berubah
menjadi bangunan pertokoan di tahun 1925. Begitu pula di inti area Pacinan yakni
di Jalan Pacinan Laut.
Data paling awal yang menyebut permukiman Cina secara tekstual adalah
Laporan Umum tahun 1850. Disebut bahwa Kampung Cina di Banjarmasin terdiri
atas Kampung Ulu dan Kampung Ilir (Algemeen Verslag, 1850). Keberadaan

13

kedua kampung tersebut tidak diketahui dengan pasti karena laporan tersebut
merupakan informasi mengenai data kependudukan kampung-kampung di
Banjarmasin. Namun berdasarkan peta Banjarmasin tahun 1861, toponim,
peninggalan sejarah (klenteng dan bangunan lain), informasi lapangan yang
dikoroborasi dengan data primer mengenai aktivitas di lokasi tersebut pada masa
itu atau bahkan masa sebelumnya, penulis menyimpulkan bahwa Kampung Ulu
adalah Pacinan yang terletak di sekitar Jl. Pacinan dan karena posisinya di pinggir
Sungai maka disebut Pacinan Laut (kini Jl. Pierre Tendean) serta Jl. Pacinan Darat
(Jl. Nasution) [permukiman di Jl. Martapura (Jl. Veteran) dan sepanjang Sungai
Takkong (anak Sungai Martapura yang sejajar dengan Jl. Veteran) merupakan
perkembangan masa berikutnya].
Adapun Kampung Ilir yang dimaksud adalah permukiman Cina di
Kompleks Pasar Baru. Keberadaan permukiman Cina di area Pasar diperkuat oleh
keberadaan sebuah klenteng tua yang disebut klenteng pasar di Jl. Niaga dan
adanya penyebutan pecinan di sekitar Jalan Sudimampir atau area Pasar Baru
(Dagblad Expresse, 1935). Jika dibandingkan dengan arsip kolonial yang
mengungkap bahwa pada 1894 setidaknya telah terdapat 85 perusahaan toko Cina
di Pasar Baru (Lindblad, 2012: 14) maka perkiraan tersebut semakin kuat
walaupun informasi yang disebut bukan berupa permukiman (rumah/ tempat
tinggal).
Pada 1850 Kampung Cina adalah kampung terpadat di Kota Banjarmasin.
Kala itu jumlah penduduk di Kampung Ulu adalah 697 orang dengan rincian 275
orang pribumi dan 422 orang pendatang yang terdiri atas orang Cina, orang Moor,
orang Arab, dan Timur Asing lainnya. Sementara Kampung Ilir berjumlah 493
orang dengan rincian 173 orang pribumi dan 493 orang penduduk keturunan
(Algemeen Verslag, 1850).
Informasi berikutnya didapat dari laporan pertambangan tahun 1887.
Laporan tersebut menjelaskan sedikit informasi perihal letak Kampung Cina di
Kota. Yakni dua buah kampung di sebelah kiri aliran Sungai Martapura dan satu
buah kampung di sebelah kanan aliran Sungai (Jaarboek Mijnwezen, 1893: 13).
Dengan begitu pada tahun tersebut diketahui telah muncul sebuah perkampungan
baru Tionghoa di sebelah kanan aliran Sungai Martapura. Untuk menganalisa
lokasi perkembangan permukiman tahap selanjutnya, penulis menggunakan peta
Kota Banjarmasin 1901 yang menggambarkan keadaan tidak terlampau jauh dari
masa itu. Berdasarkan titik-titik lokasi perkuburan Tionghoa yang dimuat pada
peta tersebut, penulis menaksir lokasi permukiman terakhir yakni di Kampung
Rantauan Kuliling Ilir. Dugaan lokasi itu diperkuat oleh tinggalan fisik berupa
rumah-rumah lama di sepanjang sungai dengan orientasi menghadap ke sungai.
Uraian di atas menunjukkan bahwa Pacinan, Pasar Baru, dan Kampung Rantauan
Kuliling Ilir adalah tiga kampung Cina awal yang berdiri sebelum abad ke-20 di
Banjarmasin.
Permukiman Cina di Banjarmasin dibangun berdasarkan norma dan nilainilai budaya para pendatang Cina. Karenanya kampung-kampung Cina di Banjar
akan menunjukkan jiwa pendirinya, para imigran Cina. Struktur dasar Kampung
Cina Banjar berupa Sungai Martapura adalah wujud dari pemikiran mereka yang
praktis dan strategis di mana sungai menjadi tempat menambatkan perahu.

14

Sebagaimana yang dapat kita lihat dari gambar sebuah Kampung Cina Banjar
pada tahun 1862 berikut.
Lingkungan Kampung Cina Banjar memperlihatkan asas-asas geometris.
Salah satunya tampak dari penerapan pola grid orthogonal pada lingkungan
permukiman merupakan cerminan dari pemikiran yang efisien (kemudahan,
keteraturan, kecepatan) (Handinoto, 1999: 26-27). Jaringan jalan menyerupai
jaring laba-laba dengan karakter dasar berupa lintasan rute yang secara pararel
mengikuti ruas jalan yang ada dapat dilihat di kawasan Pasar Baru.
Jaringan jalan tersebut seperti jalan-jalan di kota-kota China yang biasanya
membujur dari utara-selatan dan barat-timur, pola ini akhirnya membentuk
sejumlah blok besar (Putra, 2010). Kawasan Pasar Baru dikelilingi dan dilalui
jalan primer yang termasuk jalan utama di kota, yakni Jl. Lambung Mangkurat, Jl.
Pangeran Samudra, dan Jl. Pasar Baru. Sementara jalan sekunder dalam jaringan
ini tidak begitu tersistematik sehingga beberapa terputus di tikungan atau jalan
sempit, tempat jalan berakhir (jalan buntu).
Ditinjau dari segi feng shui, kawasan Pasar Baru berada di “Jalur Naga”
yang dipercaya memberi keberuntungan ―naga adalah simbol rezeki dan
kemakmuran. Jalur tersebut adalah Jl. Lambung Mangkurat yang merupakan
kelanjutan dari Jl. Jenderal Sudirman di mana pusat kekuasaan (pemerintahan)
berada dan berlanjut dengan Jl. R.E. Martadinata lokasi pelabuhan kala itu.
Menilik pernyataan Suhu Benny, seorang ahli feng shui, bahwa lokasi kepala naga
ada di sekitar kantor pusat pemerintahan. Naga akan hidup dengan dibangunnya
jalur jalan dan infrastruktur mengikuti kepala naga (http://bisnis.news.viva.co.id/
news/read/263755-pilihaninvestasi-properti-ahlifeng-shui). Infrastruktur yang
berdiri dan menghidupkan jalur naga mulai dari Benteng Tatas, Societet de Kapel
(klub hiburan), hotel, kantor pos, penjara, Kompleks Pasar Baru itu sendiri,
penjara, hingga pelabuhan pada bagian paling akhir (Petah Kota Bandjarmasin,
1955).
Adapun Pacinan dan RK Ilir dibangun secara linier mengikuti aliran
sungai. Namun masih tetap menampakkan ciri khas Cina dengan jalan utama dan
jalan kecil dengan gang di luar jalan utama (Kurnadi, 2009: 43).
Perkembangan permukiman Cina selanjutnya masih mengandung nilainilai tersebut. Seiring dengan pembangunan jalan raya maka orientasi rumah juga
diarahkan ke jalan sebagai akses transportasi dan komunikasi berbeda dengan
gambaran tahun 1862 yang menunjukkan orientasi awal rumah-rumah Cina
menghadap sungai. Dengan pola tata ruang permukiman yang strategis di ruasruas jalan utama membuat Pecinan termasuk dalam area perdagangan yang ideal
atau lebih luas lagi area perekonomian.
Elemen utama dari permukiman adalah klenteng. Klenteng merupakan
pusat kehidupan masyarakat Cina karena itu keberadaannya juga menjadi inti
dalam sebuah permukiman Cina. Bagi mereka ―yang sikap hidupnya dibentuk
oleh pandangan hidup berupa kosmologi Tiongkok― pendirian klenteng adalah
usaha untuk menjaga keseimbangan kosmos, antara manusia dan alam. Di mana
aplikasinya terwujud dari maksud khusus dalam setiap pembangunannya yang
ditujukan untuk kepentingan tertentu atau kalangan tertentu.

15

Klenteng di Kota Banjarmasin yang dibangun sebagai klenteng komunitas
(community temple) karena terletak di antara dua aliran sungai, Sungai Martapura
dan Sungai Takkong adalah Klenteng Pacinan bernama Sen Sen Kung
(thearoengbinangproject.com/wisata/wisata-banjarmasin/). Klenteng di posisi ini
berfungsi sebagai penjaga komunitas di tempat tersebut (Chusna, 2009: 100-101).
Sebagai kelompok etnis yang dikenal sangat menghormati leluhur (penyembahan
arwah leluhur merupakan ritual dari kepercayaan mereka yang sangat tua),
keberadaan klenteng adalah keharusan. Karenanya, sebelum permukiman Cina
didirikan―sebagaimana tradisi Tiongkok, mereka akan melakukan ritual
sembahyang memohon agar kehidupan di tempat yang baru berjalan dengan baik
dan dijauhkan dari segala keburukan. Untuk menjalankan kegiatan tersebut
mereka akan membangun sebuah tempat peribadatan meskipun bermula dari
bentuk sederhana seperti pondok atau bahkan sebuah patung kayu ataupun hanya
sebuah pot tempat meletakkan batang hio di bawah sebuah pohon.
Kecuali itu, Klenteng Sen Sen Kung atau kini bernama TITD Sutji nurani
dapat dikategorikan sebagai klenteng jalan masuk (locality access temple)
sekaligus klenteng lingkungan (neigbourhood temple) karena berada di ujung
jalan masuk sehingga dapat dilihat siapa saja (Chusna, 2009: 100). Hal tersebut
jelas terlihat dari letaknya di persimpangan antara Jl. Pierre Tendean dan Jl.
Veteran.
Ada pula klenteng yang kemungkinan dibangun berdasarkan kepentingan
tertentu berupa kepentingan perniagaan adalah Klenteng Pasar bernama Po An
Kiong berada di belakang Pasar Harum Manis, di tengah-tengah “Pasar Malam
Blauran” hingga peristiwa kebakaran sebelum tahun 1914 (www.xuezhengdao.
com/587/po-an-kiong-banjarmasin/). Posisi Pasar Harum Manis di Jalan Pasar
Baru terletak di satu akses jalan dengan pelabuhan. Posisi tersebut merupakan
pola umum yang ditemukan di banyak permukiman selat Asia Tenggara
(Handinoto, 1999: 23).
Pasca-kebakaran sejak 1914 Po An Kiong dipindahkan ke Kompleks Pasar
Baru yakni persimpangan antara Jl. Niaga dan Jl. Brigjen. Katamso, tepatnya Jl.
Niaga No. 45). Kini klenteng tersebut dinamakan Tempat Ibadat Tri Darma Karta
Raharja. Berdasarkan keletakannya, Klenteng Po An Kiong yang baru termasuk
dalam kategori klenteng jalan masuk sekaligus klenteng lingkungan.
Namun demikian pendirian setiap klenteng memiliki tujuan umum untuk
ritual pemujaan, penghormatan, atau bakti terhadap dewa dan leluhur (Salmon dan
Lombard, 2003: 15-40). Juga secara umum dapat disimpulkan bahwa pendirian
klenteng dimaksudkan untuk menjaga lingkungan (manusian dan alam dalam
kawasan tersebut) dari datangnya nasib buruk. Karenanya, bangunan klenteng di
pecinan―dikenal sebagai permukiman padat penduduk dengan jalan yang
bercabang-cabang― berdiri di persimpangan jalan. Secara praktis, posisi klenteng
di pertigaan berfungsi untuk menghadang sha yang dibawa dari sumbu jalan di
depannya (Pratiwo, 2010: 49) yang terlihat dari posisi dua buah klenteng tersebut.
Harmonisasi dan dinamika masyarakat Cina Banjarmasin membuat dua
klenteng tersebut berfungsi sebagai klenteng besar. Yakni selain menjadi pusat
kegiatan komunitas juga menjadi pusat kegiatan peribadatan dan pelindung
aktivitas masyarakat Cina di lingkungan tersebut. (Salmon dan Lombard, 2003: 17

16

cf. Chusna, 2009: 100). Perkembangan tersebut tampak dari ritual peribadatan
terutama di hari-hari besar warga Tionghoa, seperti Imlek.
Elemen penting lain dari permukiman Cina adalah kuburan yang
sebenarnya adalah juga permukiman (bagi orang mati) dalam ilmu feng shui.
Karenanya, kuburan tradisional yang disebut bong merupakan tempat dari arwah
leluhur harus diatur perletakannya. Sebab bagi orang Cina, hubungan di antara
orang hidup dan orang mati tidak putus bahkan mereka yang telah meninggal
dipercaya dapat memengaruhi keberuntungan keturunannya. Kecuali itu, kuburan
adalah unsur ying, sebuah penyeimbang bagi permukiman sebagai unsur yang
dalam pencapaian suatu harmoni (Pratiwo, 2010: 76; Putra, 2010).
Berdasarkan feng shui, kuburan yang merupakan kematian diarahkan ke
utara (dingin) atau barat (gugur). Setiap kuburan berada di sebelah selatan (bagian
belakang) permukiman dengan harapan para leluhur akan menebarkan berkatnya
(Pratiwo, 2010: 77). Secara personal, sebuah makam akan diletakkan sesuai
dengan petunjuk luo-pan yang mempertimbangkan unsur-unsur kelahiran orang
yang telah meninggal. Adapun pemilihan lokasi yang baik untuk makam Cina
adalah di tempat yang tinggi sehingga jika bertempat di daerah dataran rendah
biasanya dibuat gundukan besar dan masif yang dipercaya dapat menjaga
keturunan menjadi mulia (Chusna, 2009: 102).
Jika dibandingkan dengan pola-pola umum permukiman di berapa kota
pantai di Fujian (terutama di daerah kota bawah yang dekat dengan garis pantai
dan sungai) dan pola awal permukiman Cina di Asia Tenggara (straits settlement)
menunjukkan beberapa persamaan dengan permukiman Cina di Banjarmasin.
Persamaan ditunjukkan oleh keberadaan elemen-elemen dasar sebagai inti dari
permukiman Cina di daerah tersebut. Walaupun posisi jalan utama di mana
klenteng, pasar, dan pelabuhan tidak tegak lurus dengan garis pantai sebagaimana
permukiman lainnya.
Bagaimanapun aplikasinya, keseimbangan kosmos (antara lingkungan dan
alam) tetap tercermin dari permukiman Cina di Banjarmasin. Baik dari struktur
permukiman maupun konfigurasi ruang yang diwujudkan melalui perletakan
klenteng dan kuburan serta posisi rumah.
Kampung Cina berkembang dalam lingkaran inti kota kolonial dan terletak
terletak di lokasi paling strategis. Kedekatan dan peran orang Cina juga membuat
posisi mereka dikelilingi oleh fasilitas pendukung kegiatan ekonomi mereka
seperti pelabuhan, kantor-kantor pemerintah pendukung seperti kantor pos, kantor
bea cukai, bank dan lembaga keuangan lainnya.
C. PENUTUP
Sebagai daerah entrepot Banjarmasin merupakan kota yang menarik bagi
para migran Cina untuk mengadu peruntungan. Permukiman Cina di Kota
Banjarmasin berkembang di sekitar wilayah pemerintahan Kolonial Belanda
karena dengan begitu akan mudah diawasi. Pun di sekitar zona-zona ekonomi kota
seperti pasar dan pelabuhan.
Bentuk Kampung Cina yang berkembang di Banjarmasin adalah
permukiman dengan basis aktivitas ekonomi. Hal itu terwujud nyata dari beberapa
bentuk hunian seperti rumah toko, rumah gudang, atau rumah kantor. Sementara

17

struktur permukiman (backbone) dan bentuk hunian Kampung Cina di
Banjarmasin menunjukkan tingkat adaptasi masyarakat pembentuknya. Di mana
pandangan hidup yang tertanam kuat dari tanah leluhur kemudian diselaraskan
dengan keadaan geografis dan budaya setempat juga kondisi sosial yang berjalan
kala itu.
Adapun posisi Kampung Cina (masyarakat dan permukiman) merupakan
komunitas awal pembentuk Kota Banjarmasin. Meskipun Kampung Cina di
Banjarmasin tidak se-eksklusif gambaran Pecinan lain di Hindia Belanda (dari
tiga titik permukiman awal diketahui terdapat penghuni di luar Cina) namun
bersama permukiman multietnik dan elemen primer lain telah membentuk inti
kota. Dan kehidupan orang Cina Banjar telah membentuk struktur dasar zona
ekonomi kota yang terdiri atas pasar, gudang, pelabuhan. Di mana zona tersebut
menjadi elemen wajib setiap kota kolonial.
DAFTAR PUSTAKA
Arsip/ Arsip yang telah diterbitkan
Algemeen Verslag, 1850.
Jaarboekmijnwezen, 1893.
Petah Kota Bandjarmasin, 1955.
Volkstelling, 1930.
Buku
Benedanto, Pax dan Marcus (penyunting). 2007. Kesastraan Melayu Tionghoa
dan Kebangsaan Indonesia Jilid 10. Jakarta: KPG.
Chusna, Nur Lina. 2009. Tata Letak Pecinan di Bogor. Depok: Skripsi S1.
Groneveldt. 2009. N