PEMBINAAN NILAI KEDAMAIAN DALAM PENDIDIK

1

PEMBINAAN NILAI KEDAMAIAN DALAM PENDIDIKAN ANAK SEBAGAI
KEARIFAN LOKAL DI SULAWESI UTARA
Oleh: Mardan Umar
Universitas Negeri Manado
Abstrak
Kajian ini membahas tentang pembinaan nilai kedamaian dalam pendidikan
anak sebagai kearifan lokal di Sulawesi Utara. Masalah utama dalam kajian ini adalah
nilai kearifan lokal apa saja yang dapat diambil dari budaya masyarakat Sulawesi Utara
dan langkah-langkah apa yang dapat dilakukan untuk membina nilai kedamaian melalui
pendidikan anak. Hasil pembahasan kajian ini menunjukkan bahwa nilai kedamaian,
persatuan dan persaudaraan merupakan nilai kearifan lokal masyarakat Sulawesi Utara
yang terkandung dalam slogan Torang Samua Basudara dan Budaya Mapalus. Adapun
langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk membina nilai kedamaian dalam
pendidikan anak di antaranya: 1) mengintegrasikan nilai-nilai yang terkandung dalam
kearifan lokal tersebut dalam sejumlah mata pelajaran, tema pembelajaran, permainan
anak. Guru dapat memasukkan nilai-nilai tersebut dalam materi, contoh-contoh, diskusi,
permainan, dan lain-lain; 2) interaksi dan komunikasi edukatif antar semua elemen
sekolah dengan mengamalkan dan mempraktekkan nilai kearifan lokal Torang Samua
Basudara dalam setiap aktivitas sekolah. Sikap saling menghormati, menghargai

perbedaan, menolong dan mencintai sesama harus dimulai dari komunitas sekolah. Ada
beberapa cara yang bisa ditempuh yaitu dengan habituasi (pembiasaan), pemodelan
(pemberian contoh/modeling) dan penerapan reward and punishment (hadiah dan
hukuman); 3) membentuk Kelompok Cinta Damai (Peace-loving Group) di setiap
kelompok kelas.
Kata kunci: Nilai, Kedamaian, Kearifan lokal, Pendidikan.
Abstract
This study discusses the fostering of the value of peace in child education as a local
wisdom in North Sulawesi. The main problem in this study is the value of what local
wisdom can be derived from the culture of the people of North Sulawesi and what steps
can be taken to foster the value of peace through the education of the child. The results
of this study show that the value of peace, unity and brotherhood is the value of local
wisdom of the people of North Sulawesi contained in the “Torang Samua Basudara”
and “Mapalus”. The steps that can be done to foster the value of peace in children's
education include: 1) integrate the values contained in local wisdom in a number of
subjects, learning themes, children's games. Teachers can include these values in
materials, examples, discussions, games, and more; 2) interaction and educational
communication among all elements of school by practicing and practicing the value of
“Torang Samua Basudara” in every school activity. Mutuality, respect for difference,
helping and loving others must begin from the school community. There are several

ways that can be taken with habituation, modeling and the implementation of reward
and punishment; 3) establishing Peace-loving Group in every class.
Keywords: Value, Peace, Local Wisdom, Education.

2

A. Pendahuluan
Pendidikan harus menjadi wadah pewarisan nilai kearifan lokal masyarakat
Indonesia yang begitu kaya dengan budaya dan kekayaan sumber daya alam serta
sumber daya manusia yang berlimpah. Kekayaan dari Sabang sampai Merauke
membuktikan negeri ini menyimpan berjuta keunikan dan kekhasan yang dapat dikelola
sebagai sebuah kekuatan membangun bangsa. Indonesia terdiri dari berbagai suku, ras,
golongan, agama, budaya dan bahasa yang mendiami seluruh tanah dan alam Indonesia.
Geertz sebagaimana dikutip Iqbal (2014: hlm. 89) mengemukakan bahwa
Indonesia merupakan negeri tempat arus kultural sepanjang tiga milenia mengalir. Arus
kultural yang masuk ke Indonesia diantaranya India, China, Timur Tengah dan Eropa.
Kultur yang masuk ini teridentifikasi dari komunitas-komunitas yang ada di beberapa
daerah di Indonesia seperti komunitas Muslim yang tersebar hampir merata di seluruh
wilayah Nusantara dengan mayoritas komunitas berada di pulau Sumatera dan Jawa.
Komunitas Hindu di Bali, China di Surabaya, Semarang dan sejumlah komunitas di

beberapa daerah lain serta Minahasa dan Ambon yang didominasi komunitas agama
Kristen Protestan dan Katolik di Flores Nusa Tenggara. Oleh sebab itu, Indonesia
dikenal sebagai mega cultural diversity atau negara dengan keragaman kultur yang
sangat besar.
Ada kelompok masyarakat yang mendiami daerah pegunungan, hutam rimba,
ada juga yang senang berdomisili di pinggiran pantai serta ada pula yang tenang dengan
kehidupan di sawah dan ladang. Tentu saja, masing-masing komunitas masyarakat ini
memiliki karakter budaya yang berbeda-beda. Lokasi dan tempat tinggal dengan kontur
tanah dan letak geografis ini memberikan dampak bagi watak penduduk, sifat dan sikap
dalam hidup. Sehingga terdapat perbedaan karakteristik masyarakat antara satu dengan
yang lain. Seperti Minahasa dengan Mapalus (budaya kerja sama), masyarakat Sumba
dengan kekhasan tradisi Pasola yang telah dilaksanakan secara turun temurun
membentuk watak pemberani dan pantang menyerah bagi masyarakatnya. Selain itu,
aktivitas lain masyarakat Indonesia yang membentuk watak seperti masyarakat Donggo
di Pegunungan Bima Sumbawa Timur yang berkebun di ladang terpencil berbeda
dengan masyarakat Sakai di daerah sungai Indragiri Riau. Demikian pula dengan
masyarakat Bahaam, Bauzi, Mek, Dani, Asmat, Senggi dan Arso di Papua dengan
mental bertahan hidup yang kuat memiliki perbedaan dengan masyarakat yang tinggal
di Sulawesi Selatan dan Tenggara serta Nusa Tenggara Timur yang hidup melawan
ganasnya lautan dengan berdagang dari satu pulau ke pulau lainnya. Menurut Sopher

(1965) yang dikutip Koentjaraningrat (1993: 16), cara hidup ini telah berlangsung sejak
abad ke-16 dengan berdagang dari pulau ke pulau. Tidak heran jika masyarakat
pinggiran pantai memiliki suara yang lebih keras dalam berkomunikasi karena harus
“bertarung” untuk mengalahkan suara ombak. Orang yang tinggal di pegunungan
bersuara lantang untuk memanggil sesama yang tinggal jauh dari tempatnya akan
berbeda dengan mereka yang tinggal di daerah sawah yang mengedepankan suara yang
lemah lembut karena terbawa alunan suara alam yang begitu merdu dan lembut.
Bagi masyarakat Indonesia yang mendiami wilayah kondisi alam tertentu akan
memiliki perbedaan sehingga membentuk watak dan karakter masyarakatnya. Letak
geografis dan keadaan tanah yang cenderung kering di beberapa wilayah membuat
semangat untuk bertahan hidup semakin tinggi, keadaan ini membentuk watak keras dan
semangat juang tinggi dalam hidup. Meski tidak semuanya, namun keadaan ini
memberikan dampak bagi kehidupan masyarakat serta budaya mereka. Adapula

3

masyarakat yang terbentuk untuk saling membantu, menyayangi, menolong, bekerja
sama dan mengedepankan nilai-nilai kedamaian dan persatuan sebagaimana tercermin
dalam nilai-nilai lokal masyarakat Sulawesi Utara seperti Torang Samua Basudara,
Mapalus, dan lain-lain.

Pembahasan
1. Definisi Nilai dan Kedamaian
Nilai dalam pandangan Kattsoff (Ghony, 1982: 15) diartikan sebagai sesuatu
yang bernilai (berguna), baik, benar dan indah, serta diinginkan. Ia menunjukkan empat
hal yaitu: sesuatu itu bernilai, sesuatu merupakan nilai, mengandung nilai, memberi
nilai atau menunjukkan nilai. Demikian pula pendapat Kluckhohn (Poespadibrata, 1993:
56) mendefinisikan nilai sebagai konsepsi yang menjadi ciri khas individu atau
kelompok yang mempengaruhi cara, maksud atau tujuan tindakan. Sedangkan Hakam
(2015: 4) mengemukakan pengertian nilai sebagai suatu gagasan seseorang atau
kelompok terhadap sesuatu yang dianggapnya baik, benar, indah, bijaksana sehingga
gagasan itu berharga dan berkualitas untuk dijadikan pegangan dan pedoman dalam
bersikap dan bertindak.
Bertens (2011: 150-151) menjelaskan nilai dengan cara membandingkannya
dengan fakta. Fakta menurutnya adalah sesuatu yang ada atau berlangsung begitu saja.
Sementara nilai adalah sesuatu yang berlaku, sesuatu yang memikat atau menghimbau
kita. Fakta ditemui dalam konteks deskripsi semua unsurnya dapat dilukiskan satu demi
satu dan uraian itu pada prinsipnya dapat diterima oleh semua orang. Nilai berperan
dalam suasana apresiasi atau penilaian dan akibatnya sering akan dinilai secara berbeda
oleh setiap orang sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Oleh karenanya tidak heran bila
terjadi perbedaan ketika seseorang melakukan penilaian terhadap satu objek yang sama

sebab nilai selalu berkaitan dengan penilaian seseorang.
Dengan demikian, dapat dimaknai bahwa nilai merupakan gagasan, ide, baik
perorangan atau kelompok yang dianggap sebagai kebaikan dan dijadikan pedoman
hidup. Selain itu, nilai adalah sesuatu yang memberi arah, mempengaruhi cara, tujuan
dan sikap hidup seseorang.
Sedangkan Kedamaian berarti kondisi optimum keadaan damai yang dinamis.
Selain kedamaian, ada pula terminologi yang sering digunakan yaitu perdamaian.
Perdamaian bisa diartikan suasana yang tenang dan tidak adanya kekerasan. Sedangkan
kedamaian diartikan sebagai kondisi optimum keadaan damai (state of being peace)
yang dinamis dan berdaya adaptasi secara adekuat terhadap perubahan lingkungan.
Makna perdamaian menunjukkan proses becoming sedangkan kedamaian merupakan
kondisi being melalui proses becoming (Kartadinata, 2015: hlm. 5). Dalam konteks ini,
kedamaian lebih bermakna sebagai hasil yang memberikan dampak luas baik bagi
individu, lingkungan sosial, masyarakat bangsa dan negara yang dicapai melalui proses
perdamaian. Zamroni sebagaimana dikutip Wulandari (2010: hlm. 71) menyatakan
bahwa perdamaian adalah suatu kondisi adanya harmoni, keamanan (tidak terjadi
perang), serasi, dan adanya saling pengertian.
2. Kearifan Lokal Sulawesi Utara

Kearifan lokal dalam sejumlah terminologi diartikan sebagai local wisdom, local

knowledge atau local genious tergantung dari sisi mana seseorang memandang nilainilai lokal tersebut. Kearifan lokal juga dipahami sebagai nilai turun temurun yang
sudah mengakar dalam praktik hidup masyarakat. Sebagaimana pandangan Geertz

4

(1973) bahwa "Local wisdom is part of culture. Local wisdom is traditional culture
element that deeply rooted in human life and community that related with human
resources, source of culture, economic, security and laws. lokal wisdom can be viewed
as a tradition that related with farming activities, livestock, build house etc. Kearifan
lokal adalah bagian dari budaya, tradisi budaya yang berakar dari kehidupan manusia
dan masyarakat yang berkaitan dengan berbagai bidang kehidupan. Lebih lanjut
dikemukakan beberapa karakteristik dari local wisdom, antara lain: (1) local wisdom
appears to be simple, but often is elaborate, comprehensive, diverse; (2) It is adapted to
local, cultural, and environmental conditions; (3) It is dynamic and flexible; (4) It is
tuned to needs of local people; (5) It corresponds with quality and quantity of available
resources; and (6) It copes well with changes.
Wagiran (2012: 330) menyebut kearifan lokal dapat diterjemahkan sebagai
karya akal budi, perasaan mendalam, tabiat, bentuk perangai, dan anjuran untuk
kemuliaan manusia. Penguasaan atas kearifan lokal akan mengusung jiwa mereka
semakin berbudi luhur. Pendapat ini menyiratkan bahwa kearifan lokal tidak sekadar

warisan budaya tradisional namun juga memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang ikut serta
membentuk karakter dan akal budi masyarakat. Oleh karena itu, kearifan lokal memiliki
relevansi dalam pendidikan, sebagai wadah yang penting untuk melestarikan nilai-nilai
kearifan lokal masyarakat kepada generasi penerus.
Salah satu kearifan lokal yang diangkat dalam tulisan ini adalah nilai kearifan
lokal masyarakat Sulawesi Utara. diantaranya semangat persaudaraan yang tertanam
kuat pada masyarakat Kota Manado dengan slogan Torang Samua Basudara (Kita
semua Bersaudara) meskipun sekarang sudah menjadi Torang Samua Ciptaan Tuhan.
Slogan Torang Samua Basudara sudah lama terdengar tidak hanya dalam konteks lokal
masyarakat Sulawesi Utara, tetapi juga terdengar gaungnya sampai ke seluruh
Indonesia. Bagi Masyarakat Sulawesi Utara, semangat ini sudah tertanam dalam diri
masyarakatnya, semangat ini semakin urgen ketika Indonesia didera konflik horizontal
di beberapa daerah dengan berbagai motifnya. Semangat persaudaraan dan persatuan ini
dikedepankan untuk mengantisipasi dan menangkal konflik dan perpecahan masyarakat
yang memang pada dasarnya bersaudara sebagai bangsa yang satu tanpa
mengedepankan perbedaan suku, agama, ras dan golongan.
Menurut Montori, Torang Samua Basudara adalah kearifan lokal masyarakat
Sulawesi Utara. Ciri yang paling menonjol di dalamnya adalah keterbukaan. Hal ini
dapat dilihat dari sikap saling menghargai, tolong-menolong atau saling bantumembantu. Torang samua basudara, kong baku-baku bae, dan baku-baku sayang (kita
semua bersaudara, antara yang satu dengan yang lainnya, hiduplah dalam keadaan baik

dan saling menyayangi) merupakan pesan moral yang sangat mulia untuk hidup rukun
dan damai (http://beritamanado.com/makna-dan-nilai-filosofi-torang-samua-basudara/.)
Kemudian budaya Mapalus di Minahasa yang menggambarkan kerjasama
masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan baik suka maupun duka, ritual sosial
maupun religi, hajatan pribadi kelompok maupun masyarakat. Semua aspek tersebut
menunjukkan keterbukaan masyarakat Sulawesi Utara untuk membuka diri dengan
sesama, suka bekerja sama dalam bidang apa saja. Dalam kerja sama ini, tiap etnis
memiliki nama yang berbeda, namun tujuannya sama, yaitu saling membantu atau
tolong-menolong secara bergiliran misalnya untuk membuka lahan baru.
Beberapa daerah di Sulawesi Utara memiliki kesamaan budaya kerjasama ini,
meski berbeda dalam penyebutannya. Kalau di Minahasa bentuk kerja sama ini disebut
Mapalus; di Sangihe disebut Mapaluse; di Bolaang Mongondow disebut Mopasad.

5

Meski berbeda, Mapalus, Mapaluse dan mopasad ketiganya memiliki tujuan yang
sama, yaitu saling bekerja sama dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Semula bentuk
kerja sama (Mapalus, Mapaluse dan Mopasad) hanya terbatas di kalangan masyarakat
tani, di antaranya kerja sama dalam membuka lahan pertanian baru, menanam padi dan
atau memanem padi, atau bentuk pekerjaan lainnya; tetapi kemudian berkembang

sampai arisan uang, perkumpulan dalam bentuk rukun keluarga, rukun marga, atau
rukun dalam satu sub etnis, perkumpulan atau arisan membawa makanan ke rumah duka
secara bergiliran, dan bentuk kerja sama lainnya seperti menjaga tempat ibadah secara
bergantian antara pemeluk agama yang yang berbeda.
Nilai luhur dari budaya ini melahirkan nilai hidup bagi masyarakat seperti
tumbuhnya kebersamaan, persaduaraan, kedamaian, persatuan, rasa saling menghargai,
menyayangi dan saling mencintai. Masyarakat semakin mengerti dan memahami makna
kebersamaan, persaudaraan dan pentingnya persatuan.
3. Urgensi Pembinaan Nilai Kedamaian melalui Pendidikan
Tantangan masyarakat yang heterogen seperti Indonesia sudah tentu adalah
upaya menciptakan dan menjaga kerukunan dan kedamaian, meminimalisir konflik dan
benturan antara kelompok, suku, golongan, komunitas, penganut dan pemeluk agama
tertentu. Konflik dan benturan di masyarakat Indonesia sudah sering terjadi dalam kurun
waktu 10 sampai 20 tahun terakhir. Konflik atas dasar kelompok, suku, golongan dan
agama terus terjadi dan seakan menjadi ancaman laten yang setiap saat bisa terjadi.
Iqbal (2014: 90) menyebutkan tiga kecenderungan yang sering dihadapi masyarakat
multikultural yaitu: 1) mengidap potensi konflik yang kronis di dalam hubunganhubungan antar kelompok; 2) pelaku konflik melihat sebagai all out war; 3) proses
integrasi sosial lebih banyak terjadi melalui dominasi atas suatu kelompok oleh
kelompok lain.
Oleh sebab itu, pendidikan memiliki peran vital dalam pembinaan nilai

kedamaian. Peserta didik harus dibina dan ditanamkan dengan semangat kedamaian
hidup dalam keragaman, menghormati dan menghargai perbedaan, tetap saling bekerja
sama dalam urusan sosial, menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang damai
dalam iklim yang kondusif. Upaya pembinaan itu harus dilakukan secara terstruktur,
sistematis dan terencana dengan baik, salah satunya melalui pendidikan. Proses
pendidikan harus diyakini sebagai sarana yang tepat untuk membina dan menanamkan
nilai kedamaian dan nilai-nilai luhur kehidupan bersama dalam perbedaan. Demikian
pula dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang secara jelas menyatakan
bahwa kurikulum pendidikan disusun dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Salah satunya perlu memperhatikan pentingnya menanamkan nilai-nilai
persatuan nasional dan kebangsaan serta jauh dari konflik dan perpecahan sebagaimana
tertuang dalam Bab X pasal 36. Hal ini sangat urgen bagi masyarakat Indonesia yang
memiliki keragaman khususnya dalam hal agama, suku dan golongan.
Hal ini harus menjadi perhatian dalam proses pendidikan, sebab dalam Undangundang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1, poin 16 disebutkan pentingnya pendidikan
berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama,
sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari,
oleh, dan untuk masyarakat. Semua itu ditujukan untuk mengakomodir kepentingan
seluruh warga negara Indonesia serta mengantisipasi agar tidak terjadi konflik.

6

4. Langkah-langkah Pembinaan Kearifan Lokal dalam Pendidikan
Untuk membina nilai-nilai kearifan lokal masyarakat, perlu ada upaya yang
dilakukan oleh lembaga pendidikan, diantaranya dengan mengintegrasikan nilai-nilai
yang terkandung dalam kearifan lokal tersebut dalam sejumlah mata pelajaran, tema
pembelajaran, permainan anak, bahkan dalam interaksi anak dengan semua elemen di
sekolah. Berikut ini dikemukakan upaya pembinaan nilai kearifan lokal dalam konteks
Sulawesi Utara dalam Pendidikan anak.
Pertama, integrasi nilai kedamaian, persatuan dan persaudaraan yang bersumber
dari slogan Torang Samua Basudara dan Torang Samua Ciptaan Tuhan. Integrasi
nilai tersebut dapat dilakukan dalam kegiatan belajar mengajar yaitu dengan
memasukkan nilai kearifan lokal pada materi yang relevan meski tidak secara khusus
namun bisa melebur dalam materi pelajaran. Guru dapat memasukkan nilai-nilai
tersebut dalam materi, contoh-contoh, diskusi, permainan, dan lain-lain. Seorang guru
harus mengerti betul tentang tujuan integrasi nilai kearifan lokal. Oleh sebab itu,
integrasi nilai kedamaian, persatuan dan persaudaraan tersebut harus dimaknai sebagai
bagian dari upaya tujuan pendidikan yaitu menciptakan individu yang mampu hidup
bersama dalam masyarakat secara damai, sehingga proses integrasi dianggap begitu
penting dalam memberikan pemahaman bagi peserta didik tentang makna hidup
bersama dengan orang lain dalam perbedaan.
Beberapa ahli telah mengemukakan konsep pendidikan kedamaian, seperti
Kartadinata (2015, hlm. iv) yang mengemukakan bahwa penerapan pendidikan
kedamaian perlu dikembangkan melalui pesan dan target pembelajaran tersembunyi
(hidden curricullum) dan bersumber dari nilai lokal masyarakat. Hal ini sejalan dengan
salah satu tujuan pendidikan yakni belajar untuk hidup bersama (learning to live
together) sebagaimana yang diamanatkan UNESCO. Selain itu, tujuan pendidikan
nasional juga ingin membentuk individu menjadi warga negara yang demokratis dan
bertanggung jawab. UNESCO (1991: 1) menyatakan bahwa “peace education refers to
the process of promoting the knowledge, skills, attitude and values needed to bring
about behavior change that enable children, youth, adults to prevent conflict and
violence ...”, sehingga pembinaan nilai kedamaian akan merupakan suatu langkah
preventif bagi penanganan konflik. Indonesia sudah belajar banyak mengenai konflik
horizontal dengan berbagai isu yang berkembang, sehingga sudah saatnya untuk
merancang suatu strategi pendidikan yang lebih menekankan pada pentingnya
kehidupan masyarakat yang damain, rukun dan harmonis di tengah heterogenitas dan
pluralisme bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang
berdasarkan Pancasila.
Kedua, interaksi dan komunikasi edukatif antar semua elemen sekolah dengan
mengamalkan dan mempraktekkan nilai Torang Samua Basudara dalam setiap aktivitas
sekolah. Sikap saling menghoramti, menghargai perbedaan, menolong dan mencintai
sesama harus dimulai dari lingkungan sekolah. Ada beberapa cara yang bisa ditempuh
yaitu dengan habituasi (pembiasaan), pemodelan (pemberian contoh/modeling) dan
penerapan reward and punishment (hadiah dan hukuman). Langkah ini penting
dioptimalkan di lingkungan sekolah untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya
nilai budaya lokal, tradisi dan kesantunan sebab selama ini terdapat kecenderungan anak
mengikuti budaya barat yang kurang sesuai dengan budaya lokal. Dengan adanya
pemahaman seperti ini akan tumbuh kesadaran, rasa saling mengerti, menghargai satu
sama lain dan keinginan untuk saling menjaga keharmonisan hubungan antar individu
dan kelompok masyarakat dalam berinteraksi.

7

Ketiga, membentuk Kelompok Cinta Damai (Peace-loving Group) di setiap
kelompok kelas atau di tingkat sekolah yang berisikan perwakilan guru dan anak-anak
yang akan menjadi tim kecil yang melakukan penyuluhan dan sosialisasi pembinaan
nilai kearifan lokal serta memberikan pemahaman secara terus menerus tentang
pentingnya hidup yang menjunjung tinggi nilai-nilai kedamaian, persatuan dan
persaudaraan.
Dengan langkah-langkah tersebut diharapkan pembinaan nilai kedamaian,
persatuan dan persaudaraan pada anak di jenjang pendidikan dasar akan sangat
membantu pelestarian nilai budaya dan kearifan lokal masyarakat Sulawesi Utara
khususnya slogan Torang Samua Basudara, Mapalus, dan nilai budaya lainnya. Dalam
nilai budaya, ada hal-hal pokok yang menyertainya seperti masalah hakekat hidup
manusia, karya manusia, kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, hubungan
manusia dengan alam sekitar, serta hubungan manusia dengan sesamanya
(Koentjaraningrat, 1984). Oleh karena itu, pelestarian budaya lokal akan sangat
berkaitan dengan hakikat hidup manusia termasuk pendidikan anak di jenjang
Pendidikan Dasar.
Penutup
Pendidikan mengemban peran penting dalam pembinaan nilai kedamaian.
Peserta didik harus dibina dan ditanamkan dengan semangat kedamaian hidup dalam
keragaman, menghormati dan menghargai perbedaan, tetap saling bekerja sama dalam
urusan sosial, menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang damai dalam iklim
yang kondusif. Nilai kedamaian, persatuan dan persaudaraan merupakan nilai kearifan
lokal masyarakat Sulawesi Utara yang terkandung dalam slogan Torang Samua
Basudara dan Budaya Mapalus. Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk
membina nilai kedamaian dalam pendidikan anak diantaranya: 1) mengintegrasikan
nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal tersebut dalam sejumlah mata
pelajaran, tema pembelajaran, permainan anak. Guru dapat memasukkan nilai-nilai
tersebut dalam materi, contoh-contoh, diskusi, permainan, dan lain-lain; 2) interaksi dan
komunikasi edukatif antar semua elemen sekolah dengan mengamalkan dan
mempraktekkan nilai Torang Samua Basudara dalam setiap aktivitas sekolah. Sikap
saling menghoramti, menghargai perbedaan, menolong dan mencintai sesama harus
dimulai dari lingkungan sekolah. Ada beberapa cara yang bisa ditempuh yaitu dengan
habituasi (pembiasaan), pemodelan (pemberian contoh/modeling) dan penerapan
reward and punishment (hadiah dan hukuman); 3). membentuk Kelompok Cinta Damai
(Peace-loving Group) di setiap kelompok kelas. Upaya pembinaan itu harus dilakukan
secara terstruktur, sistematis dan terencana dengan baik, salah satunya melalui
pendidikan. Proses pendidikan harus diyakini sebagai sarana yang tepat untuk membina
dan menanamkan nilai kedamaian dan nilai-nilai luhur kehidupan bersama.

8

DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K. (2011). Etika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books, Inc.,
Publishers.
Ghony (1989). Nilai Pendidikan. Surabaya: Lisana Offset Printing.
Hakam, K.A. dan Nurdin, E.S. (2015). Modul Pelatihan Metodologi Pembelajaran
Internalisasi Nilai-nilai, Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, Badan
Pengembangan & Pemberdayaan SDM Kesehatan, Balai Besar Pelatihan
Kesehatan Jakarta.
Iqbal, Mahathir M. (2014), “Pendidikan Multikultural Interteligius: Upaya Menyemai
Perdamaian dalam Heterogenitas Agama Perspektif Indonesia”, Jurnal Sosio
Didaktika, Vol. 1. No. 1, 89-98.
Kartadinata, S. dkk. (2015). Pendidikan Kedamaian. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Koentjaraningrat dkk., (1993), Masyarakat Terasing di Indonesia, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Koentjaraningrat, 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Poespadibrata, S. (1993). Sistem Nilai, Kepercayaan dan Gaya Kepemimpinan Manajer
Madya Indonesia dalam Konteks Budaya Organisasional, Bandung: Disertasi
UNPAD Bandung. Tidak diterbitkan.
Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Wagiran (2012), “Pengembangan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Hamemayu
Hayuning Bawana (Identifikasi Nilai-Nilai Karakter Berbasis Budaya), Jurnal
Pendidikan Karakter, Tahun II, Nomor 3, Oktober 2012, h. 329-339.
http://beritamanado.com/makna-dan-nilai-filosofi-torang-samua-basudara/.)