PANCASILA SEBAGAI DAN PARADIGMA REFORMASI
PANCASILA
SEBAGAI PARADIGMA REFORMASI
1. Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi dalam Hukum
Oleh: Mochtar Pabottingi
JAKARTA, KOMPAS - Kapan pun dan di negara mana pun kondisi penyelenggaraan
hukum berada pada tingkat ideal manakala ia dipandu oleh atau sejalan dengan arah dan
dialektika politik juga pada tingkat idealnya.
Harus diakui bahwa ada perkiblatan prinsipiil-universal dari hukum pada politik, terutama
pada konstitusi. Konstitusi tak lain dari himpunan prinsip politik menyangkut sumber,
tujuan, kegunaan, dan pembatasan kekuasaan. Konstitusi merupakan hasil deliberasi
atas keputusan makropolitik para pemimpin suatu bangsa untuk mendirikan negara. Elan
vital tiap konstitusi demokratis dalam negara-bangsa adalah politik pada esensi dan
jabaran agenda makropolitiknya yang tercerahkan. Lantaran esensi dan jabaran demikian
itulah, ia dijadikan induk hukum.
Politik berada pada tingkat ideal manakala ia menggalang kehidupan bersama untuk
mencapai kemajuan bersama dalam hal kesejahteraan, harkat, dan keadilan di dalam
kolektivitas politik. Dengan ideal dan dalam napas ini pulalah hukum mesti ditempatkan.
Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi1
Titik kolektivitas politik maupun kolektivitas hukum ideal tercapai dalam simbiosis bangsa
(nasion) dan demokrasi. Bangsa dan demokrasi bisa dirumuskan sebagai kolektivitas dan
sistem politik yang bersifat egaliter-otosentris.
Sifat otosentris mengacu pada keadaan ketika segenap warga negara saling menopang
dan saling memuliakan sebagai suatu himpunan dalam prinsip kesetaraan bernegarabangsa yang non-diskriminatif. Kata "otosentris" (autocentric) di sini berarti pemihakan
dan pemuliaan bagi himpunan bangsa sendiri di dalam prinsip- prinsip kebajikan politik
universal di tengah koeksistensi kompetitif lintas bangsa, yang hingga kini masih ditandai
oleh banyak ketidakadilan sistemik yang berakar dalam.
Konstitusi, agenda makropolitik
Sejak Ethica Nicomachea, Magna Carta, hingga Declaration of Independence—dan bagi
kita sejak Pancasila dan/atau Mukadimah UUD 1945 (termasuk mutiara-mutiara kearifan
dari khazanah lintas suku pada bangsa kita)—hukum dan politik tak pernah bisa dan
memang tak semestinya dipisahkan. (Pancasila tentu harus dipahami bukan sebagai
semata seperangkat ideal muluk, melainkan sebagai hasil kristalisasi dan sublimasi
politik yang jujur tulus dari para Bapak Bangsa kita vis-à-vis berabad perjuangan
protonasion dan terutama Pergerakan Nasional serta Revolusi Kemerdekaan di Tanah
Air.) Konstitusi seperti dalam pemahaman Aristoteles tiada hentinya menegaskan
ketakterpisahan antara hukum dan politik itu. Begitulah maka dia menyimpulkan dalam
Ethica Nicomachea bahwa "hukum adalah 'hasil kerja' politik".
Bukti bahwa konstitusi adalah suatu agenda makropolitik terbaca jelas misalnya dari
kalimat pembuka Konstitusi Amerika: "Kami rakyat Negara-Negara Serikat, demi
membangun suatu kesatuan yang lebih sempurna (a more perfect Union) ... dengan ini
memaklumkan dan menetapkan Konstitusi Amerika Serikat". Ini juga tampak jelas dalam
Pembukaan UUD 1945. Negara kita didirikan untuk membentuk suatu pemerintahan
"yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia ... dan keadilan sosial".
Pada tahun 2002, saat amandemen konstitusi masih berlangsung riuh, saya menekankan
niscayanya penegasan bahwa pada tiap negara demokrasi, hukum merupakan bagian
inheren di dalam rasionalitas politik demokrasi, bukan sebaliknya. Rasionalitas politik
itulah yang meniscayakan adanya Konstitusi dan kemudian Mahkamah Konstitusi.
Hukum tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan lepas dari rasionalitas
politik demokrasi.
Bisa dikatakan bahwa konstitusi adalah momen ketika rasionalitas politik dijadikan hukum
tertinggi. Ia dijadikan hukum tertinggi bukan demi hukum per se, melainkan demi dan
dalam rangka rasionalitas politik dengan agenda makropolitik itu. Inilah yang dimaksud
oleh Giovanni Sartori ketika menulis bahwa "the formal definition of law presupposes the
constitutional state" (Pabottingi, "Memburuknya Krisis Konstitusi Kita", 2002). Dalam
istilah "negara hukum", kata "hukum" adalah penyifat dari kata "negara", bukan
sebaliknya. Di mana pun dan kapan pun, tiap negara-bangsa haruslah dibaca dan
ditempatkan dari waktu ke waktu menurut evolusi, dialektika, dan ideal-ideal sejarahnya
masing-masing.
Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi2
Singkatnya, negara hukum kita akan menjadi bangkrut atau mengerdil jika ia tidak
dipandu oleh politik dalam paradigma nasion/demokrasi dan menurut persenyawaannya
dengan ideal-ideal Pancasila.
Dalam kerangka pemahaman inilah, kita harus menghadapi kemelut politik yang timbul
sekitar sebulan terakhir menyangkut kontroversi kasus Komisaris Jenderal Budi
Gunawan (BG) dan/atau perseteruan antara KPK dan Polri bersama Plt Sekjen PDI-P
(selanjutnya disebut Polri Plus). Kemelut politik ini bersumber pada kontroversi hukum
yang membesar dan melar nyaris tak terkendali bukan terutama karena posisi-posisi
hukum yang di dalamnya bertentangan secara diametral, melainkan karena lenyapnya
kesadaran mengenai keniscayaan perindukan hukum pada politik (baca: konstitusi) atau
pada arah, evolusi, dan dialektika politik kita.
Argumen-argumen konstitusional memang ramai juga dilontarkan, tetapi itu banyak
dilakukan secara kerdil dengan tekanan hanya pada sisi prosedural-legalitasnya, bukan
pada sisi tujuan-tujuan substantifnya—apalagi pada kegentingan status atau kondisi
dialektis mutakhir bangsa kita (the current state of our nation).
Untuk menyikapi kontroversi KPK dan Polri Plus secara arif dan adil, kita pertama sekali
harus melihat letak permasalahan dalam konteks arah dan dialektika negara- bangsa
kita, khususnya dalam pergulatannya yang sungguh berat melawan wabah korupsi yang
kian lama kian parah dan yang secara langsung kian mengancam sendi-sendi
kenegaraan dan pemerintahan kita.
Kemelut politik ini tak bisa direduksi sebagai masalah-masalah pribadi atau hak-hak
konstitusional individu. Dari rezim ke rezim, terutama di bawah Orde Baru dan pada
tahun-tahun pertama Reformasi (terlepas dari kekuatan tekad dan ketetapan-ketetapan
politiknya untuk memberantas KKN), negara-bangsa kita telah kalah melawan wabah
korupsi itu yang kian lama kian menjadi monster.
Setiap warga negara kita yang arif dan jujur pasti mengakui bahwa sudah bertahun-tahun
kita berada dalam "kondisi darurat korupsi". Dan dalam kehidupan bernegara-bangsa
kita, tak ada yang tak dirusak dan dibusukkan oleh kondisi demikian.
Baru sedari 2002, dengan dibentuk dan diundangkannya KPK, kita memperoleh
momentum untuk benar-benar menggebrak wabah korupsi yang telah memonster itu.
Dengan tepat laku korupsi telah dicanangkan sebagai "kejahatan luar biasa" (an
extraordinary crime). Terlepas dari rangkaian tuduhan miring terhadapnya, KPK sejak
berdirinya telah membuktikan diri sebagai cukup ampuh dalam mencegah serta
membongkar kasus-kasus korupsi kakap. Melihat hasil-hasil itu, dukungan masyarakat
bangsa bagi KPK juga makin lama makin kuat.
Namun, hukum Archimedes tak hanya berlaku di ranah sains, tetapi juga di ranah politik,
yaitu dalam pergulatan antara kebaikan dan keburukan di dalam negara-bangsa dan/atau
pemerintahan. Semakin kuat kehendak dan tenaga untuk menegakkan pemerintahan adil
bersih, semakin kuat pula kehendak dan tenaga untuk meneruskan pemerintahan culas
kotor. Begitulah, maka gelombang demi gelombang kriminalisasi terhadap KPK terus
berlangsung. Hanya orang pandir yang tak bisa melihat bahwa di balik rangkaian
gelombang kriminalisasi itu adalah betapa besar dan tak habis-habisnya keinginan
kekuatan-kekuatan keburukan di negeri kita untuk membubarkan KPK.
Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi3
Pengeruhan hukum
Setiap warga negara dituntut untuk menyadari bahwa terlepas dari kekurangankekurangan (baik yang nyata maupun yang direkayasa) yang menandai KPK, perjuangan
untuk mempertahankannya bersifat eksistensial. Perjuangan itu tak hanya bisa
menentukan maju-mundurnya negara-bangsa kita, tetapi juga sehat-sakit, hidup-mati,
dan mulia-hinanya. Jauh hari Sokrates sudah mengingatkan kita: "Kehinaan bekerja lebih
cepat daripada kematian". Ya, karena bagi setiap manusia atau bangsa terhormat,
kehinaan memang jauh lebih buruk daripada kematian. Ia sudah membunuh reputasi kita
sebelum ajal. Kematian hanyalah instansi tamatnya hidup, tetapi kehinaan terekam abadi
sebagai jejak hidup—bau busuk yang akan terus berkisar ke mana-mana sepanjang
masa.
Dalam kemelut KPK-Polri Plus, pertama-tama harus ditekankan bahwa hampir semua
pihak melakukan atau bisa dituduh melakukan kesalahan. Memang tak ada manusia
dewa. Justru lantaran ketiadaannya itulah, kita harus bisa memilah-milah aneka jenis dan
gradasi rangkaian kesalahan, rangkaian motif, penghalalan cara, dan kriminalisasi yang
terjadi. Kita perlu mengakui bahwa dalam kasus ini ada kesalahan prosedural dan
kesalahan substansial juga dalam jenis dan gradasi yang berbeda-beda.
Di tengah kompleksitas kemelut masalah, keadilan terpuji hanya bisa ditegakkan dengan
menyimak secara teliti rangkaian jenis dan gradasi dari kesalahan-kesalahan yang
terjadi.
Misalnya, satu pertanyaan bisa diangkat, satu saja: apakah motif "balas dendam"
Abraham Samad, jika betul ada, dalam penetapan BG sebagai tersangka lebih berbobot
nista daripada motif keberangan pihak-pihak tertentu, juga jika betul ada, karena
terganjalnya plot mereka untuk melenyapkan peluang bagi terbongkarnya rangkaian
megakorupsi para penyelenggara negara beserta rangkaian laku korupsi destruktif dalam
tubuh lembaga-lembaga penegakan hukum selama belasan tahun terakhir?
Menghadapi masifnya pengeruhan di ranah hukum selama sebulan terakhir, kita sama
sekali tak boleh melepaskan darispotlight agenda utama bangsa kita untuk menegakkan
pemerintahan yang bersih. Untuk itulah KPK dibentuk. Ia bertugas menyelamatkan
republik kita dari kanker KKN—dari kondisi "darurat korupsi"— yang disebarkan begitu
dalam dan parah oleh maupun lewat kompleksitas para penyelenggara negara terutama
di sepanjang Orde Baru dan pada tahun-tahun awal Reformasi yang sarat distorsi,
kerancuan, dan keserakahan.
Kenyataan "darurat korupsi" atau "kejahatan luar biasa" ini masih berlaku dengan daya
destruktif yang sungguh masih penuh. "Kriminalisasi" total dan sewenang-wenang
terhadap pimpinan KPK haruslah dibaca dalam kerangka hukum Archimedes di ranah
politik tadi: makin kuat tekanan untuk membongkar kehinaan dalam laku dan kehidupan
bernegara, makin kuat pulalah reaksi balik dari para pemangku kepentingan yang
menghendaki agar rangkaian kehinaan tak terbongkar dan terus merajalela.
Kondisi darurat korupsi ini melanda pemerintah dan masyarakat luas, termasuk lembagalembaga resmi penegak hukum itu sendiri. Tugas untuk mengatasi kondisi "darurat
korupsi" adalah tugas eksistensial mahautama pada titik dialektika kontemporer dari
negara-bangsa kita. Kita bisa menyebutnya politik dalam acuan tertinggi (politics in the
Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi4
highest order) dan dari status itu juga menjadi hukum dalam acuan tertinggi (law in the
highest order). Ke situlah hukum kita mesti berkiblat.
Selama kondisi "darurat korupsi" masih berlaku, selama itu pula KPK mengemban hukum
dalam perkiblatan politik tertinggi itu. Begitulah, maka seluruh penyelenggara negara
yang bajik, terutama di dalam lembaga-lembaga penegak hukum, mestilah membulatkan
hati dalam menggalang upaya bersama himpunan rakyat yang juga bajik demi
memastikan bahwa politik dan hukum dalam acuan tertinggi itulah yang berlaku.
Insya Allah, energi dan akal budi bangsa kita tak akan pernah kurang untuk menjabarkan
kiat-kiat yang adil dan terpuji demi mewujudkan suatu kehidupan bernegara-bangsa
secara indah dan benar. Memang hanya dengan jalan itu kita bisa menyelamatkan
bangsa dan demokrasi kita sekaligus—dan dengan itu pula menyelamatkan "tri-amanah"
kita: Amanah Tanah Air, Amanah Kemerdekaan, dan Amanah Republik.
Mochtar Pabottingi
Profesor Riset LIPI
Sumber :
http://nasional.kompas.com/read/2015/02/12/15000051/Kiblat.Hukum.Kita
Kesimpulan :
Jadi dari artikel di atas yang berjudul “KIBLAT HUKUM KITA” dapat kita
simpulkan, yaitu setiap warga negara dituntut untuk menyadari bahwa terlepas
dari
kekurangan-kekurangan
yang
menandai
KPK,
perjuangan
untuk
mempertahankannya bersifat eksistensial. Perjuangan itu tak hanya bisa
menentukan maju-mundurnya negara-bangsa kita, tetapi juga sehat-sakit, hidupmati, dan mulia-hinanya.
Saat ini kondisi darurat korupsi melanda pemerintah dan masyarakat luas,
termasuk lembaga-lembaga resmi penegak hukum itu sendiri. Selama kondisi
"darurat korupsi" masih berlaku, selama itu pula KPK mengemban hukum dalam
perkiblatan politik tertinggi itu. Begitulah, maka seluruh penyelenggara negara
yang bajik, terutama di dalam lembaga-lembaga penegak hukum, mestilah
membulatkan hati dalam menggalang upaya bersama himpunan rakyat yang juga
bajik demi memastikan bahwa politik dan hukum dalam acuan tertinggi itulah
yang berlaku.
Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi5
Rakyat Indonesia saat ini hanya bisa mengawasi dan menunggu, niscaya energi
dan akal budi bangsa kita tak akan pernah kurang untuk menjabarkan kiat-kiat
yang adil dan terpuji demi mewujudkan suatu kehidupan bernegara-bangsa secara
indah dan benar yang berdasarkan pada Pancasila. Memang hanya dengan jalan
itu kita bisa menyelamatkan bangsa dan demokrasi kita sekaligus, dan dengan itu
pula
menyelamatkan
"tri-amanah"
kita:
Amanah
Tanah
Air,
Amanah
Kemerdekaan, dan Amanah Republik serta tetap berpedoman hidup pada
Pancasila.
2. Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi dalam Politik
Mahyudin: MPR Ingin Hidupkan Kembali GBHN
Jakarta, GATRAnews - Wakil Ketua MPR, Mahyudin melakukan Sosialisasi 4 Pilar
MPR RI yang dihadiri ratusan mahasiswa Universitas Wiralodra, di Aula Nyi Endang
Darma, Universitas Wiralodra, Indramayu, Jawa Barat, Wakil Ketua MPR Mahyudin
Mensosialisasikan 4 Pilar MPR yakni Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan
Bhinneka Tunggal Ika, Selasa (27/10).
Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi6
Mahyudin menuturkan acara ini sangat penting untuk keberlangsungan bangsa dan
negara. "Ini merupakan tugas MPR yang diamanatkan dalam UU MD3," ujarnya.
Beberapa waktu lalu nama sosialiasi 4 Pilar adalah Sosialisasi 4 Pilar berbangsa dan
bernegara.
Di Universitas Wiralodra dikatakan sering dilakukan sosialisasi dengan nama 4 Pilar
Berbangsa. Perubahan ini karena ada yang keberatan dengan kata pilar yang
disematkan pada Pancasila.
Menurut Mahyudin sebenarnya tak ada masalah. Sosialiasi 4 Pilar hanya penjudulan
untuk memudahkan sosialisasi. Diungkapkan MPR pernah bertemu Presiden Jokowi
dan mengatakan masalah ideologi adalah soal penting karena saat ini banyak
pengaruh global seperti tawuran, begal motor. narkoba, pornografi. "Di manakah
nilai-nilai Pancasila?" tanya Mahyudin.
Disampaikan Mahyudin kalau 4 Pilar hanya disosialisaikan MPR hasilnya tak
maksimal.
Dirinya
mengharap
pemerintah
harus
turun
tangan
untuk
ikut
mensosialisasikan. Diakui saat ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah
dan mengeluarkan aturan adanya pelajaran yang mengandung nilai-nilai Pancasila.
Dikatakan lagi bahkan pemerintah saja ini merancang program kader bela negara.
Menyikapi hal demikian Mahyudin menyambut baik. Pendidikan bela negara
dikatakan untuk menanamkan rasa cinta tanah air. "Kita menyambut baik apa yang
dilakukan pemerintah," ujarnya.
Problem kebangsaan inilah yang membuat MPR melakukan sosialisasi dengan
beragam metode. Disampaikan pula oleh Mahyudin bahwa MPR sekarang mengkaji
sistem ketatanegaraan dengan membentuk Lembaga Pengkajian dengan anggota
berjumlah 60 orang yang mempunyai latar sebagai pakar.
Lembaga ini akan mengkaji apakah sistem ketatanegaraan sudah sesuai dengan
kebutuhan apa belum. Diungkapkan oleh Mahyudin kadang kadang orang Indonesia
berpikir bahwa demokrasi adalah tujan padahal tujuan kita adalah sesuai dengan
Pembuakaan UUD Alinea IV. "Demokrasi bukan tujuan tapi sarana," tegasnya.
Mahyudin dalam kesempatan itu mengungkapkan bahwa dirinya selepas berkunjung
ke salah satu pimred koran terbesar. Dirinya dalam pertemuan itu mengatakan MPR
mempunyai keinginan untuk melahirkan GBHN kembali. Selepas reformasi bangsa
ini arah pembangunan tak jelas ke mana arahnya.
Ganti Presiden ganti selera pembangunan. Mahyudin mengatakan kita perlu
merancang pembangunan sampai 100 tahun. Mendapat ungkapan demikian, pimred
itu bertanya apakah Indonesia ada sampai 100 tahun ke depan? Mendapat
pertanyaan demikian Mahyudin menuturkan tak ada jaminan bahwa suatu negara
akan abadi.
Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi7
Ia mencontohkan Uni Soviet, Majapahit, Sriwijaya, dan kerajaan-kerajaan besar
Islam bubar di tengah jalan. Meski demikian dirinya menegaskan dirinya akan
mempersiapkan Indonesia tetap ada. Ditegaskan bahwa Indonesia memiliki
kesamaan ideologi, Pancasila. Dengan menghayati, menanamkan dalam diri, dan
melaksanakan, Indonesia akan tetap bersatu dan utuh.
Reporter: Ervan Bayu
Editor: Nur Hidayat
Sumber :
http://www.gatra.com/politik/politik/171236-mahyudin-mpr-ingin-hidupkankembali-gbhn
Kesimpulan :
Jadi dari artikel di atas yang berjudul “Mahyudin: MPR Ingin Hidupkan
Kembali GBHN” dapat kita simpulkan, yaitu selepas reformasi bangsa ini arah
pembangunan tak jelas ke mana arahnya, nilai-nilai Pancasila sudah memudar
dengan banyaknya pengaruh global. Maka dari itu MPR berencana melahirkan
GBHN kembali, demi keberlangsungan bangsa dan negara.
Di saat yang bersamaan, dikeluarkannya aturan adanya pelajaran yang
mengandung nilai-nilai Pancasila oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
merupakan suatu tindakan yang tepat. Sebab pendidikan bela negara berguna
untuk menanamkan rasa cinta terhadap tanah air.
Dapat kita lihat saat ini mayoritas masyarakat berpikir bahwa demokrasi
adalah tujan, padahal tujuan kita adalah sesuai dengan Pembuakaan UUD Alinea
IV yaitu demokrasi merupakan sarana. Sarana untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, yang
tentunya berasaskan pada Pancasila. .
Selain itu dukungan positif dari seluruh warga Indonesia akan sangan
membantu. Kita semua yakin Indonesia tidak akan pernah terpecah dan hancur,
Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi8
sebab Indonesia memiliki kesamaan ideologi, yaitu Pancasila. Dengan
menghayati, menanamkan dalam diri, dan melaksanakan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila, Indonesia akan tetap bersatu dan utuh.
3. Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi dalam Sosial Budaya
Pengamat: Pancasila Merosot Sejak Era Reformasi
Jakarta- Sosiolog Sigit Rochadi mengatakan, secara umum penghayatan atau
pemaknaan terhadap Pancasila mulai merosot tajam sejak era Reformasi. Hal yang
sama juga terjadi pada makna
Bhineka Tunggal Ika yang
semakin pudar dan yang terjadi
muncul budaya baru dari negara
lain sehingga masing-masing
kelompok bangkit dan mencari
ruang.
Dosen
Universitas
Nasional
(Unas)
ini
menyebutkan,
kelompok
tersebut
mencari
ruang dalam rangka merebut
sumber daya yang lebih besar. Maka yang terlihat, kebangkitan kelompok agama
yang melahirkan konflik antara pemeluk agama di mana-mana. Kebangkitan
kelompok etnis, terlihat perkelahian antarsuku, desa, dan komunitas.
“Kita bisa melihat bagaimana perusakan tempat- tempat ibadah oleh pemeluk agama
lain. Ini yang dinamankan merosotnya penghayatan dari Pancasila,” jelas Sigit
kepada SP di Jakarta, Jumat, (2/10).
Dia mengatakan, jika melihat sila ketiga tentang Persatuan kondisinya masih sama.
Keterbukaan dan liberarisasi dan demokrasi dimaknai sebagai kebebasan
menyampaikan pendapat, kebebasan menyatakan sikap tanpa memperhatikan
kebebasan kelompok lain. pemahaman terhadap demokrasi terdapat pada
kebebasan belum diikuti dengan pemahaman akan penegakan hukum.
Sigit menjelaskan, pada kenyataan sebenarnya, demokrasi tidak dapat berjalan
tanpa penegakan hukum. Ketika ingin melaksanakan nilai-nilai demokrasi tetapi yang
muncul anarkisme atau suatu bentuk kekerasan perilaku menghalalkan secara cara.
Hal yang sama menurut Sigit juga terjadi pada sila Keadilan Sosial. Terlihat masih
ada ketimpangan yang cukup menganga antara Indonesia Barat dan Timur. Artinya,
Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi9
ketimpangan sangat mencolok sehingga keadilan sosial yang diharapakan masih
belum tercapai karena masih ada masalah ekonomi yang membelit serta masalah
sosial yang ada pada kelompok-kelompok tertentu.
Sigit mengatakan, untuk menghindari dan menjaga rasa nasionalisme dan Pancasila,
maka harus disediakan ruang publik untuk anak-anak. Sebab saat ini ruang publik
untuk bermain, bercengkrama, dan berinteraksi untuk bersosialisasi tidak ada. Anakanak kehilangan ruang publik. Karena itu, untuk menamamkan nilai kebersamaan,
nasionalisme, patriotisme perlu diberikan sarana prasarana publik. Misalnya adanya
arena olaraga, bermain, bersosialisasi, dan adanya taman.
Untuk mewujudkan ruang publik, Sigit mengharapkan adanya kerja sama antara
pemerintah pusat dan daerah. Kekerasan dan anarkis yang terjadi selama ini karena
bentuk luapan kreasi anak-anak yang tidak memiliki ruang publik yang berdampak
negatif. Namun, tujuannya sesunggunya untuk menyalurkan segala kreativitas di
ruang publik.
"Kita bisa lihat Bandung, Yogyakarta, dan Bali yang memiliki ruang, banyak terlahir
anak-anak yang memiliki kreasi yang tinggi. Sedangkan daerah yang tidak memiliki
ruang publik, yang muncul perbuatan- perbuatan negatif sebagai bentuk ekspresi
diri," ujarnya.
Maria Fatima Bona/PCN
Sumber :
http://www.beritasatu.com/nasional/311435-pengamat-pancasila-merosotsejak-era-reformasi.html
Kesimpulan :
Jadi dari artikel di atas yang berjudul “Pengamat: Pancasila Merosot Sejak
Era Reformasi ” dapat kita simpulkan, yaitu saat ini penghayatan atau pemaknaan
terhadap Pancasila dan
Bhineka Tunggal Ika mulai pudar di era Reformasi.
Banyak muncul budaya baru dari negara lain, kebangkitan kelompok agama yang
melahirkan konflik antara pemeluk agama di mana-mana.
Pemahaman masyarakat terhadap sila ketiga tentang Persatuan Indonesia
masih kurang, dikarenakan pemahaman terhadap demokrasi yang terdapat
kebebasan, belum diikuti dengan pemahaman akan penegakan hukum. Sebab
Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi10
demokrasi tidak dapat berjalan tanpa penegakan hukum. Jika dilihat dari sila
kelima tentang Keadilan Sosial. Terlihat masih ada ketimpangan yang
dikarenakan masalah ekonomi.
Maka dari itu, demi menjaga rasa nasionalisme dan Pancasila, maka harus
disediakan ruang publik untuk anak-anak. Sebab untuk menanamkan nilai
kebersamaan, nasionalisme, patriotisme perlu diberikan sarana prasarana publik.
Demi terwujudnya ruang publik yang baik, kerja sama antara pemerintah
pusat dan daerah sangat diperlukan. Demi terciptanya generasi penerus bangsa
yang memiliki kreasi yang tinggi dan terhidar dari perbuatan- perbuatan negatif,
haruslah menanamkan nilai-nilai Pancasila dalam setiap prilaku kita dan kepada
generasi penerus bangsa.
Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi11
SEBAGAI PARADIGMA REFORMASI
1. Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi dalam Hukum
Oleh: Mochtar Pabottingi
JAKARTA, KOMPAS - Kapan pun dan di negara mana pun kondisi penyelenggaraan
hukum berada pada tingkat ideal manakala ia dipandu oleh atau sejalan dengan arah dan
dialektika politik juga pada tingkat idealnya.
Harus diakui bahwa ada perkiblatan prinsipiil-universal dari hukum pada politik, terutama
pada konstitusi. Konstitusi tak lain dari himpunan prinsip politik menyangkut sumber,
tujuan, kegunaan, dan pembatasan kekuasaan. Konstitusi merupakan hasil deliberasi
atas keputusan makropolitik para pemimpin suatu bangsa untuk mendirikan negara. Elan
vital tiap konstitusi demokratis dalam negara-bangsa adalah politik pada esensi dan
jabaran agenda makropolitiknya yang tercerahkan. Lantaran esensi dan jabaran demikian
itulah, ia dijadikan induk hukum.
Politik berada pada tingkat ideal manakala ia menggalang kehidupan bersama untuk
mencapai kemajuan bersama dalam hal kesejahteraan, harkat, dan keadilan di dalam
kolektivitas politik. Dengan ideal dan dalam napas ini pulalah hukum mesti ditempatkan.
Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi1
Titik kolektivitas politik maupun kolektivitas hukum ideal tercapai dalam simbiosis bangsa
(nasion) dan demokrasi. Bangsa dan demokrasi bisa dirumuskan sebagai kolektivitas dan
sistem politik yang bersifat egaliter-otosentris.
Sifat otosentris mengacu pada keadaan ketika segenap warga negara saling menopang
dan saling memuliakan sebagai suatu himpunan dalam prinsip kesetaraan bernegarabangsa yang non-diskriminatif. Kata "otosentris" (autocentric) di sini berarti pemihakan
dan pemuliaan bagi himpunan bangsa sendiri di dalam prinsip- prinsip kebajikan politik
universal di tengah koeksistensi kompetitif lintas bangsa, yang hingga kini masih ditandai
oleh banyak ketidakadilan sistemik yang berakar dalam.
Konstitusi, agenda makropolitik
Sejak Ethica Nicomachea, Magna Carta, hingga Declaration of Independence—dan bagi
kita sejak Pancasila dan/atau Mukadimah UUD 1945 (termasuk mutiara-mutiara kearifan
dari khazanah lintas suku pada bangsa kita)—hukum dan politik tak pernah bisa dan
memang tak semestinya dipisahkan. (Pancasila tentu harus dipahami bukan sebagai
semata seperangkat ideal muluk, melainkan sebagai hasil kristalisasi dan sublimasi
politik yang jujur tulus dari para Bapak Bangsa kita vis-à-vis berabad perjuangan
protonasion dan terutama Pergerakan Nasional serta Revolusi Kemerdekaan di Tanah
Air.) Konstitusi seperti dalam pemahaman Aristoteles tiada hentinya menegaskan
ketakterpisahan antara hukum dan politik itu. Begitulah maka dia menyimpulkan dalam
Ethica Nicomachea bahwa "hukum adalah 'hasil kerja' politik".
Bukti bahwa konstitusi adalah suatu agenda makropolitik terbaca jelas misalnya dari
kalimat pembuka Konstitusi Amerika: "Kami rakyat Negara-Negara Serikat, demi
membangun suatu kesatuan yang lebih sempurna (a more perfect Union) ... dengan ini
memaklumkan dan menetapkan Konstitusi Amerika Serikat". Ini juga tampak jelas dalam
Pembukaan UUD 1945. Negara kita didirikan untuk membentuk suatu pemerintahan
"yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia ... dan keadilan sosial".
Pada tahun 2002, saat amandemen konstitusi masih berlangsung riuh, saya menekankan
niscayanya penegasan bahwa pada tiap negara demokrasi, hukum merupakan bagian
inheren di dalam rasionalitas politik demokrasi, bukan sebaliknya. Rasionalitas politik
itulah yang meniscayakan adanya Konstitusi dan kemudian Mahkamah Konstitusi.
Hukum tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan lepas dari rasionalitas
politik demokrasi.
Bisa dikatakan bahwa konstitusi adalah momen ketika rasionalitas politik dijadikan hukum
tertinggi. Ia dijadikan hukum tertinggi bukan demi hukum per se, melainkan demi dan
dalam rangka rasionalitas politik dengan agenda makropolitik itu. Inilah yang dimaksud
oleh Giovanni Sartori ketika menulis bahwa "the formal definition of law presupposes the
constitutional state" (Pabottingi, "Memburuknya Krisis Konstitusi Kita", 2002). Dalam
istilah "negara hukum", kata "hukum" adalah penyifat dari kata "negara", bukan
sebaliknya. Di mana pun dan kapan pun, tiap negara-bangsa haruslah dibaca dan
ditempatkan dari waktu ke waktu menurut evolusi, dialektika, dan ideal-ideal sejarahnya
masing-masing.
Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi2
Singkatnya, negara hukum kita akan menjadi bangkrut atau mengerdil jika ia tidak
dipandu oleh politik dalam paradigma nasion/demokrasi dan menurut persenyawaannya
dengan ideal-ideal Pancasila.
Dalam kerangka pemahaman inilah, kita harus menghadapi kemelut politik yang timbul
sekitar sebulan terakhir menyangkut kontroversi kasus Komisaris Jenderal Budi
Gunawan (BG) dan/atau perseteruan antara KPK dan Polri bersama Plt Sekjen PDI-P
(selanjutnya disebut Polri Plus). Kemelut politik ini bersumber pada kontroversi hukum
yang membesar dan melar nyaris tak terkendali bukan terutama karena posisi-posisi
hukum yang di dalamnya bertentangan secara diametral, melainkan karena lenyapnya
kesadaran mengenai keniscayaan perindukan hukum pada politik (baca: konstitusi) atau
pada arah, evolusi, dan dialektika politik kita.
Argumen-argumen konstitusional memang ramai juga dilontarkan, tetapi itu banyak
dilakukan secara kerdil dengan tekanan hanya pada sisi prosedural-legalitasnya, bukan
pada sisi tujuan-tujuan substantifnya—apalagi pada kegentingan status atau kondisi
dialektis mutakhir bangsa kita (the current state of our nation).
Untuk menyikapi kontroversi KPK dan Polri Plus secara arif dan adil, kita pertama sekali
harus melihat letak permasalahan dalam konteks arah dan dialektika negara- bangsa
kita, khususnya dalam pergulatannya yang sungguh berat melawan wabah korupsi yang
kian lama kian parah dan yang secara langsung kian mengancam sendi-sendi
kenegaraan dan pemerintahan kita.
Kemelut politik ini tak bisa direduksi sebagai masalah-masalah pribadi atau hak-hak
konstitusional individu. Dari rezim ke rezim, terutama di bawah Orde Baru dan pada
tahun-tahun pertama Reformasi (terlepas dari kekuatan tekad dan ketetapan-ketetapan
politiknya untuk memberantas KKN), negara-bangsa kita telah kalah melawan wabah
korupsi itu yang kian lama kian menjadi monster.
Setiap warga negara kita yang arif dan jujur pasti mengakui bahwa sudah bertahun-tahun
kita berada dalam "kondisi darurat korupsi". Dan dalam kehidupan bernegara-bangsa
kita, tak ada yang tak dirusak dan dibusukkan oleh kondisi demikian.
Baru sedari 2002, dengan dibentuk dan diundangkannya KPK, kita memperoleh
momentum untuk benar-benar menggebrak wabah korupsi yang telah memonster itu.
Dengan tepat laku korupsi telah dicanangkan sebagai "kejahatan luar biasa" (an
extraordinary crime). Terlepas dari rangkaian tuduhan miring terhadapnya, KPK sejak
berdirinya telah membuktikan diri sebagai cukup ampuh dalam mencegah serta
membongkar kasus-kasus korupsi kakap. Melihat hasil-hasil itu, dukungan masyarakat
bangsa bagi KPK juga makin lama makin kuat.
Namun, hukum Archimedes tak hanya berlaku di ranah sains, tetapi juga di ranah politik,
yaitu dalam pergulatan antara kebaikan dan keburukan di dalam negara-bangsa dan/atau
pemerintahan. Semakin kuat kehendak dan tenaga untuk menegakkan pemerintahan adil
bersih, semakin kuat pula kehendak dan tenaga untuk meneruskan pemerintahan culas
kotor. Begitulah, maka gelombang demi gelombang kriminalisasi terhadap KPK terus
berlangsung. Hanya orang pandir yang tak bisa melihat bahwa di balik rangkaian
gelombang kriminalisasi itu adalah betapa besar dan tak habis-habisnya keinginan
kekuatan-kekuatan keburukan di negeri kita untuk membubarkan KPK.
Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi3
Pengeruhan hukum
Setiap warga negara dituntut untuk menyadari bahwa terlepas dari kekurangankekurangan (baik yang nyata maupun yang direkayasa) yang menandai KPK, perjuangan
untuk mempertahankannya bersifat eksistensial. Perjuangan itu tak hanya bisa
menentukan maju-mundurnya negara-bangsa kita, tetapi juga sehat-sakit, hidup-mati,
dan mulia-hinanya. Jauh hari Sokrates sudah mengingatkan kita: "Kehinaan bekerja lebih
cepat daripada kematian". Ya, karena bagi setiap manusia atau bangsa terhormat,
kehinaan memang jauh lebih buruk daripada kematian. Ia sudah membunuh reputasi kita
sebelum ajal. Kematian hanyalah instansi tamatnya hidup, tetapi kehinaan terekam abadi
sebagai jejak hidup—bau busuk yang akan terus berkisar ke mana-mana sepanjang
masa.
Dalam kemelut KPK-Polri Plus, pertama-tama harus ditekankan bahwa hampir semua
pihak melakukan atau bisa dituduh melakukan kesalahan. Memang tak ada manusia
dewa. Justru lantaran ketiadaannya itulah, kita harus bisa memilah-milah aneka jenis dan
gradasi rangkaian kesalahan, rangkaian motif, penghalalan cara, dan kriminalisasi yang
terjadi. Kita perlu mengakui bahwa dalam kasus ini ada kesalahan prosedural dan
kesalahan substansial juga dalam jenis dan gradasi yang berbeda-beda.
Di tengah kompleksitas kemelut masalah, keadilan terpuji hanya bisa ditegakkan dengan
menyimak secara teliti rangkaian jenis dan gradasi dari kesalahan-kesalahan yang
terjadi.
Misalnya, satu pertanyaan bisa diangkat, satu saja: apakah motif "balas dendam"
Abraham Samad, jika betul ada, dalam penetapan BG sebagai tersangka lebih berbobot
nista daripada motif keberangan pihak-pihak tertentu, juga jika betul ada, karena
terganjalnya plot mereka untuk melenyapkan peluang bagi terbongkarnya rangkaian
megakorupsi para penyelenggara negara beserta rangkaian laku korupsi destruktif dalam
tubuh lembaga-lembaga penegakan hukum selama belasan tahun terakhir?
Menghadapi masifnya pengeruhan di ranah hukum selama sebulan terakhir, kita sama
sekali tak boleh melepaskan darispotlight agenda utama bangsa kita untuk menegakkan
pemerintahan yang bersih. Untuk itulah KPK dibentuk. Ia bertugas menyelamatkan
republik kita dari kanker KKN—dari kondisi "darurat korupsi"— yang disebarkan begitu
dalam dan parah oleh maupun lewat kompleksitas para penyelenggara negara terutama
di sepanjang Orde Baru dan pada tahun-tahun awal Reformasi yang sarat distorsi,
kerancuan, dan keserakahan.
Kenyataan "darurat korupsi" atau "kejahatan luar biasa" ini masih berlaku dengan daya
destruktif yang sungguh masih penuh. "Kriminalisasi" total dan sewenang-wenang
terhadap pimpinan KPK haruslah dibaca dalam kerangka hukum Archimedes di ranah
politik tadi: makin kuat tekanan untuk membongkar kehinaan dalam laku dan kehidupan
bernegara, makin kuat pulalah reaksi balik dari para pemangku kepentingan yang
menghendaki agar rangkaian kehinaan tak terbongkar dan terus merajalela.
Kondisi darurat korupsi ini melanda pemerintah dan masyarakat luas, termasuk lembagalembaga resmi penegak hukum itu sendiri. Tugas untuk mengatasi kondisi "darurat
korupsi" adalah tugas eksistensial mahautama pada titik dialektika kontemporer dari
negara-bangsa kita. Kita bisa menyebutnya politik dalam acuan tertinggi (politics in the
Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi4
highest order) dan dari status itu juga menjadi hukum dalam acuan tertinggi (law in the
highest order). Ke situlah hukum kita mesti berkiblat.
Selama kondisi "darurat korupsi" masih berlaku, selama itu pula KPK mengemban hukum
dalam perkiblatan politik tertinggi itu. Begitulah, maka seluruh penyelenggara negara
yang bajik, terutama di dalam lembaga-lembaga penegak hukum, mestilah membulatkan
hati dalam menggalang upaya bersama himpunan rakyat yang juga bajik demi
memastikan bahwa politik dan hukum dalam acuan tertinggi itulah yang berlaku.
Insya Allah, energi dan akal budi bangsa kita tak akan pernah kurang untuk menjabarkan
kiat-kiat yang adil dan terpuji demi mewujudkan suatu kehidupan bernegara-bangsa
secara indah dan benar. Memang hanya dengan jalan itu kita bisa menyelamatkan
bangsa dan demokrasi kita sekaligus—dan dengan itu pula menyelamatkan "tri-amanah"
kita: Amanah Tanah Air, Amanah Kemerdekaan, dan Amanah Republik.
Mochtar Pabottingi
Profesor Riset LIPI
Sumber :
http://nasional.kompas.com/read/2015/02/12/15000051/Kiblat.Hukum.Kita
Kesimpulan :
Jadi dari artikel di atas yang berjudul “KIBLAT HUKUM KITA” dapat kita
simpulkan, yaitu setiap warga negara dituntut untuk menyadari bahwa terlepas
dari
kekurangan-kekurangan
yang
menandai
KPK,
perjuangan
untuk
mempertahankannya bersifat eksistensial. Perjuangan itu tak hanya bisa
menentukan maju-mundurnya negara-bangsa kita, tetapi juga sehat-sakit, hidupmati, dan mulia-hinanya.
Saat ini kondisi darurat korupsi melanda pemerintah dan masyarakat luas,
termasuk lembaga-lembaga resmi penegak hukum itu sendiri. Selama kondisi
"darurat korupsi" masih berlaku, selama itu pula KPK mengemban hukum dalam
perkiblatan politik tertinggi itu. Begitulah, maka seluruh penyelenggara negara
yang bajik, terutama di dalam lembaga-lembaga penegak hukum, mestilah
membulatkan hati dalam menggalang upaya bersama himpunan rakyat yang juga
bajik demi memastikan bahwa politik dan hukum dalam acuan tertinggi itulah
yang berlaku.
Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi5
Rakyat Indonesia saat ini hanya bisa mengawasi dan menunggu, niscaya energi
dan akal budi bangsa kita tak akan pernah kurang untuk menjabarkan kiat-kiat
yang adil dan terpuji demi mewujudkan suatu kehidupan bernegara-bangsa secara
indah dan benar yang berdasarkan pada Pancasila. Memang hanya dengan jalan
itu kita bisa menyelamatkan bangsa dan demokrasi kita sekaligus, dan dengan itu
pula
menyelamatkan
"tri-amanah"
kita:
Amanah
Tanah
Air,
Amanah
Kemerdekaan, dan Amanah Republik serta tetap berpedoman hidup pada
Pancasila.
2. Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi dalam Politik
Mahyudin: MPR Ingin Hidupkan Kembali GBHN
Jakarta, GATRAnews - Wakil Ketua MPR, Mahyudin melakukan Sosialisasi 4 Pilar
MPR RI yang dihadiri ratusan mahasiswa Universitas Wiralodra, di Aula Nyi Endang
Darma, Universitas Wiralodra, Indramayu, Jawa Barat, Wakil Ketua MPR Mahyudin
Mensosialisasikan 4 Pilar MPR yakni Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan
Bhinneka Tunggal Ika, Selasa (27/10).
Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi6
Mahyudin menuturkan acara ini sangat penting untuk keberlangsungan bangsa dan
negara. "Ini merupakan tugas MPR yang diamanatkan dalam UU MD3," ujarnya.
Beberapa waktu lalu nama sosialiasi 4 Pilar adalah Sosialisasi 4 Pilar berbangsa dan
bernegara.
Di Universitas Wiralodra dikatakan sering dilakukan sosialisasi dengan nama 4 Pilar
Berbangsa. Perubahan ini karena ada yang keberatan dengan kata pilar yang
disematkan pada Pancasila.
Menurut Mahyudin sebenarnya tak ada masalah. Sosialiasi 4 Pilar hanya penjudulan
untuk memudahkan sosialisasi. Diungkapkan MPR pernah bertemu Presiden Jokowi
dan mengatakan masalah ideologi adalah soal penting karena saat ini banyak
pengaruh global seperti tawuran, begal motor. narkoba, pornografi. "Di manakah
nilai-nilai Pancasila?" tanya Mahyudin.
Disampaikan Mahyudin kalau 4 Pilar hanya disosialisaikan MPR hasilnya tak
maksimal.
Dirinya
mengharap
pemerintah
harus
turun
tangan
untuk
ikut
mensosialisasikan. Diakui saat ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah
dan mengeluarkan aturan adanya pelajaran yang mengandung nilai-nilai Pancasila.
Dikatakan lagi bahkan pemerintah saja ini merancang program kader bela negara.
Menyikapi hal demikian Mahyudin menyambut baik. Pendidikan bela negara
dikatakan untuk menanamkan rasa cinta tanah air. "Kita menyambut baik apa yang
dilakukan pemerintah," ujarnya.
Problem kebangsaan inilah yang membuat MPR melakukan sosialisasi dengan
beragam metode. Disampaikan pula oleh Mahyudin bahwa MPR sekarang mengkaji
sistem ketatanegaraan dengan membentuk Lembaga Pengkajian dengan anggota
berjumlah 60 orang yang mempunyai latar sebagai pakar.
Lembaga ini akan mengkaji apakah sistem ketatanegaraan sudah sesuai dengan
kebutuhan apa belum. Diungkapkan oleh Mahyudin kadang kadang orang Indonesia
berpikir bahwa demokrasi adalah tujan padahal tujuan kita adalah sesuai dengan
Pembuakaan UUD Alinea IV. "Demokrasi bukan tujuan tapi sarana," tegasnya.
Mahyudin dalam kesempatan itu mengungkapkan bahwa dirinya selepas berkunjung
ke salah satu pimred koran terbesar. Dirinya dalam pertemuan itu mengatakan MPR
mempunyai keinginan untuk melahirkan GBHN kembali. Selepas reformasi bangsa
ini arah pembangunan tak jelas ke mana arahnya.
Ganti Presiden ganti selera pembangunan. Mahyudin mengatakan kita perlu
merancang pembangunan sampai 100 tahun. Mendapat ungkapan demikian, pimred
itu bertanya apakah Indonesia ada sampai 100 tahun ke depan? Mendapat
pertanyaan demikian Mahyudin menuturkan tak ada jaminan bahwa suatu negara
akan abadi.
Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi7
Ia mencontohkan Uni Soviet, Majapahit, Sriwijaya, dan kerajaan-kerajaan besar
Islam bubar di tengah jalan. Meski demikian dirinya menegaskan dirinya akan
mempersiapkan Indonesia tetap ada. Ditegaskan bahwa Indonesia memiliki
kesamaan ideologi, Pancasila. Dengan menghayati, menanamkan dalam diri, dan
melaksanakan, Indonesia akan tetap bersatu dan utuh.
Reporter: Ervan Bayu
Editor: Nur Hidayat
Sumber :
http://www.gatra.com/politik/politik/171236-mahyudin-mpr-ingin-hidupkankembali-gbhn
Kesimpulan :
Jadi dari artikel di atas yang berjudul “Mahyudin: MPR Ingin Hidupkan
Kembali GBHN” dapat kita simpulkan, yaitu selepas reformasi bangsa ini arah
pembangunan tak jelas ke mana arahnya, nilai-nilai Pancasila sudah memudar
dengan banyaknya pengaruh global. Maka dari itu MPR berencana melahirkan
GBHN kembali, demi keberlangsungan bangsa dan negara.
Di saat yang bersamaan, dikeluarkannya aturan adanya pelajaran yang
mengandung nilai-nilai Pancasila oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
merupakan suatu tindakan yang tepat. Sebab pendidikan bela negara berguna
untuk menanamkan rasa cinta terhadap tanah air.
Dapat kita lihat saat ini mayoritas masyarakat berpikir bahwa demokrasi
adalah tujan, padahal tujuan kita adalah sesuai dengan Pembuakaan UUD Alinea
IV yaitu demokrasi merupakan sarana. Sarana untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, yang
tentunya berasaskan pada Pancasila. .
Selain itu dukungan positif dari seluruh warga Indonesia akan sangan
membantu. Kita semua yakin Indonesia tidak akan pernah terpecah dan hancur,
Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi8
sebab Indonesia memiliki kesamaan ideologi, yaitu Pancasila. Dengan
menghayati, menanamkan dalam diri, dan melaksanakan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila, Indonesia akan tetap bersatu dan utuh.
3. Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi dalam Sosial Budaya
Pengamat: Pancasila Merosot Sejak Era Reformasi
Jakarta- Sosiolog Sigit Rochadi mengatakan, secara umum penghayatan atau
pemaknaan terhadap Pancasila mulai merosot tajam sejak era Reformasi. Hal yang
sama juga terjadi pada makna
Bhineka Tunggal Ika yang
semakin pudar dan yang terjadi
muncul budaya baru dari negara
lain sehingga masing-masing
kelompok bangkit dan mencari
ruang.
Dosen
Universitas
Nasional
(Unas)
ini
menyebutkan,
kelompok
tersebut
mencari
ruang dalam rangka merebut
sumber daya yang lebih besar. Maka yang terlihat, kebangkitan kelompok agama
yang melahirkan konflik antara pemeluk agama di mana-mana. Kebangkitan
kelompok etnis, terlihat perkelahian antarsuku, desa, dan komunitas.
“Kita bisa melihat bagaimana perusakan tempat- tempat ibadah oleh pemeluk agama
lain. Ini yang dinamankan merosotnya penghayatan dari Pancasila,” jelas Sigit
kepada SP di Jakarta, Jumat, (2/10).
Dia mengatakan, jika melihat sila ketiga tentang Persatuan kondisinya masih sama.
Keterbukaan dan liberarisasi dan demokrasi dimaknai sebagai kebebasan
menyampaikan pendapat, kebebasan menyatakan sikap tanpa memperhatikan
kebebasan kelompok lain. pemahaman terhadap demokrasi terdapat pada
kebebasan belum diikuti dengan pemahaman akan penegakan hukum.
Sigit menjelaskan, pada kenyataan sebenarnya, demokrasi tidak dapat berjalan
tanpa penegakan hukum. Ketika ingin melaksanakan nilai-nilai demokrasi tetapi yang
muncul anarkisme atau suatu bentuk kekerasan perilaku menghalalkan secara cara.
Hal yang sama menurut Sigit juga terjadi pada sila Keadilan Sosial. Terlihat masih
ada ketimpangan yang cukup menganga antara Indonesia Barat dan Timur. Artinya,
Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi9
ketimpangan sangat mencolok sehingga keadilan sosial yang diharapakan masih
belum tercapai karena masih ada masalah ekonomi yang membelit serta masalah
sosial yang ada pada kelompok-kelompok tertentu.
Sigit mengatakan, untuk menghindari dan menjaga rasa nasionalisme dan Pancasila,
maka harus disediakan ruang publik untuk anak-anak. Sebab saat ini ruang publik
untuk bermain, bercengkrama, dan berinteraksi untuk bersosialisasi tidak ada. Anakanak kehilangan ruang publik. Karena itu, untuk menamamkan nilai kebersamaan,
nasionalisme, patriotisme perlu diberikan sarana prasarana publik. Misalnya adanya
arena olaraga, bermain, bersosialisasi, dan adanya taman.
Untuk mewujudkan ruang publik, Sigit mengharapkan adanya kerja sama antara
pemerintah pusat dan daerah. Kekerasan dan anarkis yang terjadi selama ini karena
bentuk luapan kreasi anak-anak yang tidak memiliki ruang publik yang berdampak
negatif. Namun, tujuannya sesunggunya untuk menyalurkan segala kreativitas di
ruang publik.
"Kita bisa lihat Bandung, Yogyakarta, dan Bali yang memiliki ruang, banyak terlahir
anak-anak yang memiliki kreasi yang tinggi. Sedangkan daerah yang tidak memiliki
ruang publik, yang muncul perbuatan- perbuatan negatif sebagai bentuk ekspresi
diri," ujarnya.
Maria Fatima Bona/PCN
Sumber :
http://www.beritasatu.com/nasional/311435-pengamat-pancasila-merosotsejak-era-reformasi.html
Kesimpulan :
Jadi dari artikel di atas yang berjudul “Pengamat: Pancasila Merosot Sejak
Era Reformasi ” dapat kita simpulkan, yaitu saat ini penghayatan atau pemaknaan
terhadap Pancasila dan
Bhineka Tunggal Ika mulai pudar di era Reformasi.
Banyak muncul budaya baru dari negara lain, kebangkitan kelompok agama yang
melahirkan konflik antara pemeluk agama di mana-mana.
Pemahaman masyarakat terhadap sila ketiga tentang Persatuan Indonesia
masih kurang, dikarenakan pemahaman terhadap demokrasi yang terdapat
kebebasan, belum diikuti dengan pemahaman akan penegakan hukum. Sebab
Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi10
demokrasi tidak dapat berjalan tanpa penegakan hukum. Jika dilihat dari sila
kelima tentang Keadilan Sosial. Terlihat masih ada ketimpangan yang
dikarenakan masalah ekonomi.
Maka dari itu, demi menjaga rasa nasionalisme dan Pancasila, maka harus
disediakan ruang publik untuk anak-anak. Sebab untuk menanamkan nilai
kebersamaan, nasionalisme, patriotisme perlu diberikan sarana prasarana publik.
Demi terwujudnya ruang publik yang baik, kerja sama antara pemerintah
pusat dan daerah sangat diperlukan. Demi terciptanya generasi penerus bangsa
yang memiliki kreasi yang tinggi dan terhidar dari perbuatan- perbuatan negatif,
haruslah menanamkan nilai-nilai Pancasila dalam setiap prilaku kita dan kepada
generasi penerus bangsa.
Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi11