KEPERCAYAAN AGAMA PADA MASA ANAK REMAJA

MAKALAH PSIKOLOGI AGAMA
Tentang
“ KEPERCAYAAN MANUSIA TERHADAP AGAMA
DI MASA ANAK – ANAK, REMAJA, DAN DEWASA ”

Oleh Kelompok X
VALERIA PRAMITA

: 512 . 107

IF PERMAISARI

: 512 . 077

Dosen Pembimbing :
Dra. HASNELI, M.Ag

JURUSAN PSIKOLOGI ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1435 H / 2014 M


KEPERCAYAAN ANAK-ANAK TERHADAP AGAMA
A. Kategori Anak - Anak
Yang dimaksud dengan masa anak- anak adalah sebelum berumur 12 tahun. Jika
mengikuti periodesasi yang dirumuskan Elizabeth B. Hurlock, dalam masa ini terdiri
dari tiga tahapan:
1. 0 – 2 tahun (masa vital)
2. 2 – 6 tahun (masa kanak- kanak)
3. 6 – 12 tahun (masa sekolah)
Menurut Zakiah, masa pertumbuhan pertama (masa anak-anak) terjadi pada usia
0-12 tahun. Bahkan, lebih dari itu, menurutnya sejak masa kandungan pun, kondisi
dan sikap orang tua telah mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan jiwa
keagamaan anaknya, meskipun sebagian ahli berpendapat bahwa ketika anak
dilahirkan , ia bukanlah makhluk yang religius. Bagi mereka, anak yang baru
dilahirkan lebih mirip binatang, bahkan menurut mereka, anak seekor kera lebih
bersifat kemanusiaan dari pada manusia itu sendiri1.
Sesuai dengan prinsip pertumbuhannya , seorang anak yang tumbuh dewasa,
meurut jalaluddin (2004:64) memerlukan bimbingan sesuai dengan prinsip yang
dimilikinya, yaitu sebagai berikut :
1. Prinsip biologis

Secara fisik, anak yang baru dilahirkan dalam kondisi lemah, dalam segala
gerak tindak – tanduknya, ia selalu memerlukan bantuan dari orang-orang dewasa
sekelilingnya. Dengan kata lain, ia belum dapat berdiri sendiri karena manusia
bukanlah makhluk instinkif .

1

Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta : Bulan Bintang, 1970), hal. 36 – 37.

2. Prinsip tanpa daya
Sejalan dengan belum sempurnanya pertumbuhan fisik dan psikisnya,
anak yang baru dilahirkan hingga menginjak usia dewasa selalu mengharapkan
bantuan dari orang tuanya. Ia sama sekali tak berdaya untuk mengurus dirinya
sendiri.
3. Prinsip eksplorasi
Kemantapan dan kesempurnaan perkembangan potensi manusia yang
dibawa sejak lahir, baik jasmani maupun rohani, memerlukan pengembangan
melalui pemeliharaan dan latihan. Jasmaninya baru berfungsi secara sempurna
jika dipelihara dan dilatih. Akal dan fungsi mental lainnya pun akan menjadi baik
dan berfungsi jika kematangan dan pemeliharaan serta bimbingan dapat

diarahkan pada eksplorasian perkembangannya.
B. Pengenalan Anak – Anak TerhadapTuhan
Anak mengenal Tuhan pertama kali melalui bahasa dari kata- kata orang yang ada
dalam lingkungannya, yang pada awalnya diterima secara acuh. Tuhan bagi anak
pada permulaan merupakan nama sesuatu yang asing dan tidak dikenalnya serta
diragukan kebaikan niatnya. Tidak adanya perhatian terhadap tuhan pada tahap
pertama ini dikarenakan ia belum mempunyai pengalaman yang akan membawanya
kesana, baik pengalaman yang menyenangkan maupun yang menyusahkan. Namun,
setelah ia menyaksikan reaksi orang- orang disekelilingnya yang disertai oleh emosi
atau perasaan tertentu yang makin lama makin meluas, maka mulailah perhatiannya
terhadap kata tuhan itu tumbuh. Perasaan si anak terhadap orang tuanya sebenarnya
sangat kompleks.Ia merupakan campuran dari bermacam- macam emosi dan
dorongan yang saling bertentangan. Menjelang usia 3 tahun yaitu umur dimana
hubungan dengan ibunya tidak lagi terbatas pada kebutuhan akan bantuan fisik, akan
tetapi meningkat lagi pada hubungan emosi dimana ibu menjadi objek yang dicintai
dan butuh akan kasih sayangnya, bahkan mengandung rasa permusuhan bercampur
bangga, butuh, takut dan cinta padanya sekaligus2.

2


Hayati Nizar, Psikologi Agama, (Padang : IAIN IB Press, 2003), hal. 50.

Menurut Zakiah Daradjat, sebelum usia 7 tahun perasaan anak terhadap tuhan
pada dasarnya negative. Ia berusaha menerima pemikiran tentang kebesaran dan
kemuliaan tuhan. Sedang gambaran mereka tentang Tuhan sesuai dengan emosinya.
Kepercayaan yang terus menerus tentang Tuhan, tempat dan bentuknya bukanlah
karena rasa ingin tahunya, tapi didorong oleh perasaan takut dan ingin rasa aman,
kecuali jika orang tua anak mendidik anak supaya mengenal sifat Tuhan yang
menyenangkan. Namun pada pada masa kedua (27 tahun keatas) perasaan si anak
terhadap Tuhan berganti positif (cinta dan hormat) dan hubungannya dipenuhi oleh
rasa percaya dan merasa aman.
Menurut penelitian Ernest Harms Perkembangan agama anak-anak melalui
beberapa fase (tingkatan)3. Dalam bukunya yang berjudul The Development of
Religion on Childern, ia mengatakan bahwa perkembangan agama pada anak-anak itu
melaui tiga tingkatan, yaitu:
 The Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng)
Tingkat ini dimulai pada anak berusia 3-6 tahun.Pada tingkat ini konsep
mengenal Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada tingkat
perkembangan ini anak menghayati konsep ke-Tuhanan sesuai dengan tingkat
perkembangan intelektualnya.

 The Realistic Stage (Tingkat Kenyataan)
Tingkat ini dimulai sejak anak masuk Sekolah Dasar.Pada masa ini, ide keTuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang mendasar kepada
kenyataan (realita).
 The Individual Stage (Tingkat Individual)
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosional yang paling
tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka.
3

Jalaluddin. Psikologi Agama Edisi Revisi 2007,(Jakarta: PT. Rajagrafindo Perasada. 2007), hal. 10.

Sifat keagamaan pada anak dapat dibagi menjadi enam bagian4:
1. Unreflective (kurang mendalam/ tanpa kritik).
Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam, cukup sekedarnya
saja.Dan mereka merasa puas dengan keterangan yang kadang- kadang kurang
masuk akal.Menurut penelitian, pikiran kritis baru muncul pada anak berusia 12
tahun, sejalan dengan perkembangan moral.
2. Egosentris
Sifat egosentris ini berdasarkan hasil ppenelitian Piaget tentang bahasa pada
anak berusia 3 – 7 tahun.Dalam hal ini, berbicara bagi anak-anak tidak
mempunyai arti seperti orang dewasa. Pada usia 7 – 9 tahun, doa secara khusus

dihubungkan dengan kegiatan atau gerak- gerik tertentu, tetapi amat konkret dan
pribadi. Pada usia 9 – 12 tahun ide tentang doa sebagai komunikasi antara anak
dengan ilahi mulai tampak. Setelah itu barulah isi doa beralih dari keinginan
egosentris menuju masalah yang tertuju pada orang lain yang bersifat etis.
3. Anthromorphis
Konsep

anak

mengenai

ketuhanan

pada

umumnya

berasal

dari


pengalamannya. Dikala ia berhubungan dengan orang lain, pertanyaan anak
mengenai (bagaimana) dan (mengapa) biasanya mencerminkan usaha mereka
untuk menghubungkan penjelasan religius yang abstrak dengan dunia pengalaman
mereka yang bersifat subjektif dan konkret.
4. Verbalis dan Ritualis
Kehidupan agama pada anak sebagian besar tumbuh dari sebab ucapan
(verbal).Mereka menghafal secara verbal kalimat- kalimat keagamaan dan
mengerjakan amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman mereka
menurut tuntunan yang diajarkan pada mereka. Shalat dan doa yang menarik bagi
mereka adalah yang mengandung gerak dan biasa dilakukan (tidak asing
baginya).
5. Imitatif
4

Jalaludin, Psikologi Agama Edisi Revisi 2010, (Jakarta : Grafindo Pesrsada, 2010), hal. 70.

Tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak pada dasarnya diperoleh dengan
meniru.Dalam hal ini orang tua memegang peranan penting. Pendidikan sikap
religius anak pada dasarnya tidak berbentuk pengajaran, akan tetapi berupa

teladan
6. Rasa heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan pada
anak.Berbeda dengan rasa heran pada orang dewasa, rasa heran pada anak belum
kritis dan kreatif.Mereka hanya kagum pada keindahan lahiriah saja.Untuk itu
perlu diberi pengertian dan penjelasan pada mereka sesuai dengan tingkat
perkembangan pemikirannya.Dalam hal ini orang tua dan guru agama mempunyai
peranan yang sangat penting.
C. Pengenalan anak – anak Terhadap hidup dan Mati
Pengertian si anak tentang masalah mati membawa suatu prinsip pikiran yang
baru, yaiitu prinsip sebab – musabab, hal ini membawa kepada sikap baru, yang
terlihat bekasnya dalam segala segi, demikian juga terhadap gambaran si anak tentang
Tuhan5. Sebelum umur 7 tahun, belum ada pemikiran si anak tentang Tuhan sebagai
sebab. Jika anak mengembalikan kepada Tuhan apapun yang terjadi, hal ini adalah
karena dahulu ia menyangka bahwa segala sesuatu terjadi karena kemauannya
sendiri, kemudian karena bapknya, dan akhirnya karena kehendak Tuhan. Jadi
pikirannya belum mencakup sebab – musabab, hanya sebab yang tidak logis, yaiitu
karena kemauan pribadi tanpa alasan.
Tapi setelah anak – anak sibuk dengan alam luar, ia melihat adanya peristiwa –
peristiwa yang tidak tergantung pada kemauan seseorang, maka dicarinyalah alasan –

alasan lain dari alam ini juga, akan tetapi, setelah ia tidak mampu mencari sebab –
musabab itu, ia kembali pada Tuhan. Semakin banyak pengertian logis anak – anak
itu, semakin terlambatlah kembalinya kepada Tuhan sebagai penyebab. Seolah – olah
pada pemikiran anak itu terjadi dua tarikan pikiran yang logis dan pikiran itulah yang
5

Zakiah, Opcit, hal. 46.

maju. Si anak berusha untuk memajukan pemikiran tentang Tuhan dalam
gambarannya terhadap alam semesta dengan cara yang wajar. Akan tetapi, pada
permulaan, ia tidak berhasil, karena Tuhan tetap menjadi penyebab segala kejadian,
berdasarkan kemauannya dan dorongan orang – orang tertentu, bukanlah atas dasar
kelaziman alamiah (yaitu sistem alam ini). Kendatipun demikian, tersadarnya anak
akan adanya hubungan antara Tuhan dengan alam luar, sudah cukup sebagai tanda
terjadinya kemajuan pemikiran tentang Tuhan.
Gambaran si anak tentang kedudukan Tuhan terhadap alam ini, belum sampai
kepada pikiran menjadikan. Maka kata menjadikan (menciptakan) adalah dua
macam ; pertama terhadap manusia, tidak lain dari kelahiran, di mana masalah
kelahiran itu, juga suatu hal yang belum dapat difahami oleh anak sampai tahun –
tahun terakhir dari masa anak – anak.

Apabila anak yang berumur 7 tahun sibuk menanyakan bagaimana dilahirkan atau
diciptakan manusia pertama, ini berarti bahwa ada kemajuan, karena anak tidak lagi
memikirkan kejadian dirinya atau orang lain, bahkan kejadian seluruh ummat
manusia. Jika sianak telah sampai ke tingkat ini dalam pemikirannya, maka ini berarti
bahwa kejadian dan kelahiran, tidak bisa lagi menjawab masalah kejadian manusia,
dan hal ini tidak dapat diselesaikan kecuali oleh Tuhan sendiri.
Setelah si anak sampai kepada pemikiran tentang kejadian dan kelahiran, dapatlah
ia sesudah itu berfikir tentang Tuhan tanpa memikirkan hubungannya dengan
manusia, artinya : bahwa hubungan Tuhan dengan kemanusiaan seluruhnya adalah
satu langkah pendahuluan ke arah pikiran tentang hubungan Tuhan dengan alam
semesta; hal ini tidak terjadi sebelum umur 8 tahun atau 9 tahun. Kendatipun
lingkungannya banyak menceritakan kisah – kisah tentang penciptaan sesuatu, namun
ia belum dapat memahaminya. Jika umpamanya diceritakan kepada anak umur 5
tahun, tentang kejadian Nabi Adam sebagai manusia pertama, maka bagi si anak,
Nabi Adam tidak berbeda dengan seseorang seperti bapaknya yang juga dilahirkan.
Artinya penciptaan disini, berarti kelahiran6.
6

Ibid, hal. 47.


KESIMPULAN
Sejalan dengan kecerdasannya, perkembangan jiwa beragama pada anak
dapat dibagi menjadi tiga bagian: The Fairly Tale Stage (Tingkat Dongeng), The
Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan),dan Individual Stage (Tingkat Individu).

KEPERCAYAAN REMAJA TERHADAP AGAMA
Kategori Remaja
Pada hakekatnya masa remaja yang utama adalah masa menemukan diri, meneliti
sikap hidup yang lama dan mencoba-coba yang baru untuk jadi pribadi yang dewasa.
Para ahli psikologi dan pendidikan belum sepakat mengenai rantang usia remaja. Ada
yang berpendapat bahwa usia remaja adalah 13-19 tahun, sementara yang lain
berpendapat usia remaja dimulai pada usia 13-21 tahun. Namun yang pasti adalah
permulaan atau mulainya perubahan pada anak menjadi dewasa kira-kira usia 12 atau
13 tahun. Masalah akhir masa remaja tidak sama. Di daerah pedesaan, masa remaja
mempunyai rentang yang lebih pendek dibandingkan dengan daerah perkotaan7.
Dalam bidang agama, para ahli psikologi agama menganggap bahwa kemantapan
beragama biasanya tidak terjadi sebelum usia 24 tahun, dari sini rentang masa remaja
mungkin

diperpanjang

hingga

24

tahun.

Dalam peta psikologi, remaja terdapat tiga bagian:
a. Fase Pueral ►Pada masa ini remaja tidak mau dikatakan anak- anak, tetapi juga
tidak bersedia dikatakan dewasa. Pada fase pertama ini merasa tidak tenang.
b. Fase Negative ► Fase kedua ini hanya berlangsung beberapa bulan saja, yang
ditandai oleh sikap ragu- ragu, murung, suka melamun dan sebagainya.

7

Sururin, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta : Grafindo Persada, 2004), hal. 63.

c. Fase

Pubertas

►Masa

ini

yang

dinamakan

dengan

Masa Adolesen

Dalam pembahasan ini, Luella Cole sebagaimana disitir kembali oleh Hanna
Jumhanna

Bastaman,

membagi

peta

remaja

menjadi

empat

bagian:

a. Preadolescence : 11-13 tahun (perempuan) dan 13-15 tahun (laki- laki)
b. Early Adolescence : 13-15 tahun (perempuan) dan 15-17 tahun (laki- laki)
c. Middle Adolescence : 15-18 tahun (perempuan) dan 17-19 tahun (laki- laki)
d. Late Adolescence : 18-21 tahun (perempuan) dan 19-21 tahun (laki- laki)

Pada dasarnya remaja telah membawa potensi beragama sejak dilahirkan dan itu
nerupakan fitrahnya. Yang menjadi masalah selanjutnya adalah bagaimana remaja
mengembangkan potensi tersebut.Ide-ide agama, dasar dan pokok-pokok agama pada
umumnya diterima seseorang pada masa kecilnya. Apa yang diterima sejak kecil, akan
berkembang dan tumbuh subur, apabila remaja dalam menganaut kepercayaan tersebut
tidak mendapat kritikan. Dan apa yang tumbuh dari kecil itulah yang menjadi keyakinan
yang

dipeganginya

melalui

pengalaman-pengalaman

yang

dirasakannya.

Perkembangan intelektual remaja akan mempunyai pengaruh terhadap keyakinan dan
kelakuan agama mereka. Fungsi intelektual akan memproses secara analisis terhadap apa
yang dimiliki selama ini, dan apa yang akan diterima. Remaja sudah mulai mengadakan
kritik di sana sini tentang masalah yang diterima dalam kehidupan masyarakat, mereka
mulai mengembangkan ide-ide keagamaan, walaupun hal tersebut kadang-kadang tidak
berangkat dari suatu perangkat keilmuan yang matang, tetapi sebagai akibat dari keadaan
psikis mereka yang sedang bergejolak. Dalam bidang-bidang tertentu yang dianggap
cocok dan releven akan diterimanya, kemudian dengan kemauan keras dijabarkan dalam
kenyataan hidupnya seolah-olah tidak ada alternatif lagi yang harus dipikirkan8.
Tuhan Dalam Pikiran Remaja
Keimanan pada Allah dalam tahap remaja awal lebih bertujuan untuk mencari
sandaran dan bantuan moral. Selanjutnya, dengan pertambahan pengalaman,
wawasan dan perkembangan daya pikirnya maka pemahamannya tentang Allah mulai
8

Ibid, hal 65.

mengarah pada pemikiran filosofis. Ia mulai melibatkan alam dalam pemikirannya
tentang Allah. Ia menghubungkan Allah dengan penciptaan dan pengaturan alam;hal
ini mulai kelihatan pada masa remaja akhir.
Perasaan remaja terhadap Allah seringkali berubah-ubah sesuai dengan keadaan
emosinya, terutama pada remaja awal. Kadang-kadang ia merasa amat dekat dengan
Allah dan pada hal yang lain ia merasa jauh dari-Nya. Begitupun pandangan remaja
terhadap sifat-sifat Allah berubah-ubah sesuai dengan emosinya. Misalnya, ia
menganggap Allah mempunyai sifat pemurah pada saat ia membutuhkan dan
meminta bantuan-Nya, pada waktu ia tak berdaya menghadapi orang yang lebih kuat
ia memandang Allah bersifat maha membalasi; dan ketika ia menikmati keindahan
alam dan keluasannya ia melihat Allah mempunyai sifat Maha Indah dan Maha
Bijaksana9.
Keadaan emosi remaja yang belum stabil juga akan mempengaruhi keyakinannya
pada Tuhan dan pada kelakuan keberagamaannya, yang mungkin bisa kuat atau
lemah, giat atau menurun, bahkan mengalami keraguan, yang ditandai oleh adanya
konflik yang terdapat dalam dirinya atau dalam lingkungan masyarakatnya.
Gambaran remaja tentang Tuhan dengan sifat-sifatnya merupakan bagian dari
gambarannya terhadap alam dan lingkungannya serta dipengaruhi oleh perasaan dan
sifat dari remaja itu sendiri. Keyakinan agama pada remaja merupakan interaksi
antara dia dengan lingkungannya. Misalnya, kepercayaan remaja akan kekuasaan
tuhan menyebabkannya pelimpahan tanggung jawab atas segala persoalan kepada
Tuhan, termasuk persoalan masyarakat yang tidak menyenangkan, seperti kekacauan,
ketidak adilan,

penderitaan, kezaliman, persengkataan,

penyelewengan dan

sebagainya yang terdapat dalam masyarakat akan menyebabkan mereka kecewa pada
tuhan, bahkan kekecewaan tersebut dapat menyebabkan memungkiri kekuasaan
Tuhan sama sekali.
Perasaan remaja kepada Tuhan bukanlah tetap dan stabil, akan tetapi adalah
perasaan yang tergantung pada perubahan-perubahan emosi yang sangat cepat,
terutama pada masa remaja pertama. Kebutuhan akan Allah misalnya, kadang-kadang
tidak terasa jika jiwa mereka dalam keadaan aman, tentram dan tenang. Sebaliknya,
9

Hayati Nizar, Psikologi Agama, (Padang : IAIN IB PRESS, 2003), hal. 54-55.

Allah sangat dibutuhkan apabila mereka dalam keadaan gelisah, karena menghadapi
musibah atau bahaya yang mengancam ketika ia takut gagal atau merasa berdosa.
Dengan demikian, dapat diambil pengertian bahwa sebenarnya perasaan remaja
dalam beragama, khususnya terhadap Tuhan, tidaklah tetap. Kadang-kadang sangat
cinta dan percaya kepada-Nya, tetapi sering pula berubah menjadi acuh tak acuh
bahkan menentang.
Tuhan bagi remaja adalah keharusan moral, pada masa remaja itu, Tuhan lebih
menonjol sebagai penolong moral, daripada sandaran emosi. Andaikata kadangkadang pikiran pada masa remaja itu berontak dan ingin mengingkari wujud Allah,
atau ragu-ragu kepada-Nya, namun tetap ada suatu hal hal yang menghubungkannya
dengan Allah yaiitu kebutuhannya untuk mengendalikan moral.
Kepercayaan kepada Allah pada periode pertama dari masa remaja, bukanlah
keyakinan pikiran, akan tetapi adalah kebutuhan jiwa. Di sinilah letak perbedaan
pokok antara do’a anak-anak dan do’a remaja, yang pertama memohon kepada Allah
agar terlepas dari azab neraka, karena ia takut akan hukuman luar yang dapat dirasa,
ia tak dapat membayangkan adanya hukuman bathin (rasa dosa), kecuali pada akhir
masa remaja; sedang pada remaja, do’anya ialah untuk memohon bantuan Allah
supaya ia terlepas dari gejolak jiwanya sendiri, dan tertolong dalam menghadapi
dorongan-dorongan nalurinya, karena ia takut akan hukuman batin yang abstrak itu10.
Malaikat Dan Syetan Dalam Pikiran Remaja
Pada masa ini mulailah remaja menemukan adanya hubungan antara pikiran
tentang syetan dan rasa dosa, atau antara pikiran tentang surga dengan kesucian
moral.
Memuncaknya rasa dosa pada masa remaja dan bertambah meningkatnya
kesadaran moral dan pertumbuhan kecerdasan, semuanya bekerja sama, sehingga
hilanglah keyakinan tentang malaikat dan syetan seperti dulu, namun mereka sadar
betapa eratnya hubungan syetan dan malaikat itu dengan dirinya. Mereka menyadari
adanya hubungan yang erat antara syetan dengan dorongan jahat yang ada dalam
10

Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta : Bulan Bintang, 2005), hal. 86.

dirinya, dan hubungan antara malaikat dengan moral serta keindahan yang ideal;
demikian pula hubungan antara surga dengan ketentraman batin dan kekuasaan yang
baik, juga antara neraka dengan ketenangan batin hukuman-hukuman atas dosa.
Hanya keharusan agamalah yang mendorong remaja untuk tetap mempunyai
keyakinan sebagaimana adanya. Akan tetapi, jika keyakinan itu tetap diakuinya, maka
pengakuan itu hanya disangka saja, karena tidak mengetahui hubungannya dengan
kehidupan jiwa dalam dirinya seperti sedia kala (masa kanak-kanak), hanya
melayang-layang di atas, sekedar untuk menyesuaikan dirinya saja.
Kembalinya seorang kepada dirinya, dan tidak menyandarkan pengekangan
dirinya atas makhluk-makhluk luar yang diciptakan-Nya dalam khayalnya, dan
berusaha menghadapi masalah yang baik dan buruk dengan cara obyektif, adalah
bukti dari terjadinya pertumbuhan dan pikiran dan kematangan emosi, yang mulai
melepaskan diri dari alam khayal ke alam kenyataan11.
Pengertian malaikat bagi remaja dihubungkan dengan kesucian moral. Remaja
menganggap malaikat sebagai zat yang ada di luar diri manusia dan menjadi patokan
untuk kebaikan dan kesucian moral atau akhlak. Sedangkan syetan dikaitkan dengan
kejahatan dimana remaja beranggapan bahwa syetan bukanlah semata-mata zat yang
berada di luar manusia, tetapi juga merupakan dorongan-dorongan untuk melakukan
perbuatan jahat dalam diri manusia12.
Sikap Remaja Dalam Beragama
Terdapat empat sikap remaja dalam beragama13, yaitu:
1. Percaya ikut- ikutan ►Percaya ikut-ikutan ini biasanya dihasilkan oleh didikan
agama secara sederhana yang didapat dari keluarga dan lingkungannya. Namun
demikian ini biasanya hanya terjadi pada masa remaja awal (usia 13-16 tahun).
Setelah itu biasanya berkembang kepada cara yang lebih kritis dan sadar sesuai
dengan perkembangan psikisnya.
11

Ibid, hal.87
Hayati,Opcit, hal. 56.
13
Bambang Syamsul Arifin, Psikoogi Agama, (Bandung : Pustaka Setia, 2008), hal. 70.
12

2. Percaya dengan kesadaran ►Semangat keagamaan dimulai dengan melihat
kembali tentang masalah-masalah keagamaan yang mereka miliki sejak kecil.
Mereka ingin menjalankan agama sebagai suatu lapangan yang baru untuk
membuktikan pribadinya, karena ia tidak mau lagi beragama secara ikut-ikutan
saja. Biasanya semangat agama tersebut terjadi pada usia 17 tahun atau 18 tahun.
Semangat agama tersebut mempunyai dua bentuk:
a. Dalam bentuk positif → Semangat agama yang positif, yaitu berusaha melihat
agama dengan pandangan kritis, tidak mau lagi menerima hal-hal yang tidak
masuk akal. Mereka ingin membebaskan agama dari bid’ah dan khurafat, dari
kekakuan dan kekolotan.
b. Dalam bentuk negative → Semangat keagamaan dalam bentuk kedua ini akan
menjadi bentuk kegiatan yang berbentuk khurafi, yaitu kecenderungan remaja
untuk mengambil pengaruh dari luar kedalam masalah- masalah keagamaan,
seperti bid’ah, khurafat dan kepercayaan- kepercayaan lainnya.
3. Percaya, tetapi agak ragu- ragu ►Keraguan kepercayaan remaja terhadap
agamanya dapat dibagi menjadi dua:
a) Keraguan disebabkan kegoncangan jiwa dan terjadinya proses perubahan
dalam pribadinya. Hal ini merupakan suatu kewajaran bagi remaja tersebut.
b) Keraguan disebabkan adanya kontradiksi atas kenyataan yang dilihatnya
dengan apa yang diyakininya, atau dengan pengetahuan yang dimiliki.
c) Tidak percaya atau cenderung ateis. Perkembangan kearah tidak percaya pada
tuhan sebenarnya mempunyai akar atau sumber dari masa kecil. Apabila
seorang anak merasa tertekan oleh kekuasaan atau kezaliman orang tua, maka
ia telah

memendam sesuatu tantangan terhadap kekuasaan orang tua,

selanjutnya terhadap kekuasaan apa pun, termasuk kekuasaan Tuhan.

Perkembangan Jiwa Keagamaan Pada Remaja
Perkembangan agama pada para remaja ditandai oleh beberapa faktor
perkembangan jasmani dan rohaninya. Perkembangan itu antara lain menurut
W.Starbuck14 adalah :
1. Pertumbuhan pikiran dan mental.
Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa kanakkanaknya sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis terhadap ajaran
agama mulai timbul. Selain masalah agama merekapun sudah tertarik pada
masalah kebudayaan, sosial, ekonomi, dan norma-norma kehidupan lainnya.
2. Perkembangan perasaan.
Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial,
etis, dan estetis mendorong remaja untuk menghayati perikehidupan yang terbiasa
dalam kehidupannya. Kehidupan religius akan cenderung mendorong dirinya
lebih dekat ke arah hidup yang religius pula. Sebaliknya, bagi remaja yang kurang
mendapat pendidikan dan siraman ajaran agama akan lebih mudah didominasi
dorongan seksual. Masa remaja merupakan masa kematangan seksual. Didorong
oleh perasaan ingin tahu dan perasaan super, remaja lebih mudah terperosok ke
arah tindakan seksual yang negatif.
3. Pertimbangan sosial.
Corak keagamaan para remaja juga ditandai oleh adanya pertimbangan
sosial. Dalam kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara perkembangan
moral dan material. Remaja sangat bingung menentukan pilihan itu. Karena
kehidupan duniawi lebih dipengaruhi akan kepentingan materi, maka para remaja
lebih cenderung jiwanya untuk bersikap materialis.
4. Perkembangan moral.
Perkembangan moral para remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan
usaha untuk mencari proteksi. Tipe moral yang juga terlihat pada para remaja juga
mencakupi:
1. Self-directive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan
pribadi.
14

Jalaluddin, Psikologi Agama Edisi Revisi 2010, (Jakarta : Garfindo Persada, 2010), hal. 74.

2. Adaptive, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik.
3. Submissive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama.
4. Unadjusted, belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral.
5. Deviant, menolak dasar dan hukum keagamaan serta tatanan moral masyarakat.
5. Sikap dan minat.
Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan boleh dikatakan
sangat kecil dan hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan
agama yang mempengaruhi mereka (besar kecil minatnya).
6. Ibadah.
Pandangan para remaja terhadap ajaran agama, ibadah, dan masalah doa
sebagaimana sebagaimana yang dikumpulkan oleh Ross dan Oskar Kupky
menunjukkan bahwa remaja yang menganggap sembahyang hanyalah merupakan
media untuk bermeditasi lebih banyak daripada remaja yang mengatakan
sembahyang bermanfaat untuk berkomunikasi dengan Tuhan.
KESIMPULAN
Pada hakekatnya masa remaja yang utama adalah masa menemukan diri,
meneliti sikap hidup yang lama dan mencoba-coba yang baru untuk jadi pribadi
yang dewasa. Para ahli psikologi dan pendidikan belum sepakat mengenai rantang
usia remaja. Ada yang berpendapat bahwa usia remaja adalah 13-19 tahun,
sementara yang lain berpendapat usia remaja dimulai pada usia 13-21 tahun.
Namun yang pasti adalah permulaan atau mulainya perubahan pada anak menjadi
dewasa kira-kira usia 12 atau 13 tahun.
Perasaan remaja dalam beragama, khususnya terhadap Tuhan, tidaklah
tetap. Kadang-kadang sangat cintadan percaya kepada-Nya, tetapi sering pula
berubah menjadi acuh tak acuh bahkan menentang. Motivasi beragama dalam diri
remaja adalah bermacam-macam dan banyak yang bersifat personal. Adakalanya
didorong oleh kebutuhan akan Tuhan sebagai pengendali emosional, adakalanya

karena takut akan perasaan bersalah, dan pengaruh dari teman-teman di mana ia
berkelompok.
Pengertian malaikat bagi remaja dihubungkan dengan kesucian moral.
Remaja menganggap malaikat sebagai zat yang ada di luar diri manusia dan
menjadi patokan untuk kebaikan dan kesucian moral atau akhlak. Sedangkan
syetan dikaitkan dengan kejahatan dimana remaja beranggapan bahwa syetan
bukanlah semata-mata zat yang berada di luar manusia, tetapi juga merupakan
dorongan-dorongan untuk melakukan perbuatan jahat dalam diri manusia
Terdapat empat sikap remaja dalam beragama, yaitu: Percaya ikut- ikutan,
Percaya dengan kesadaran, Percaya, tetapi agak ragu- ragu, dan Tidak percaya
atau cenderung ateis.Perkembangan agama pada para remaja ditandai oleh
beberapa faktor perkembangan jasmani dan rohaninya
KEPERCAYAAN DEWASA TERHADAP AGAMA
Kategori Dewasa Dan Tua
Elizabeth B. Hurlock membagi masa dewasa menjadi tiga bagian, :
1. Masa dewasa awal (masa dewasa dini/young adult)
2. Masa dewasa madya (midle adulthood)
3. Masa usia lanjut (masa tua/older adult)
Pembagian senada juga diungkapkan oleh beberapa ahli psikologi. Lewis Sherril,
misalnya membagi masa dewasa sebagai berikut :
1. Masa dewasa awal, masalah yang dihadapi adalah memilih arah hidup yang akan
diambil dengan menghadapi godaan berbagai kemungkinan pilihan.
2. Masa dewasa tengah, sudah mulai menghadapi tantangan hidup, sambil
memantapkan tempat dan menggembangkan filsafat untuk mengolah kenyataan

yang tidak disangka-sangka. Jadi masalah sentral pada masa ini adalah mencapai
pandangan hidup yang matang dan utuh yang dapat menjadi dasar dalam
membuat keputusan secara konsisten.
3. Masa dewasa akhir, ciri utamnya adalah “pasrah”. Pada masa ini, minat dan
kegiatan kurang beragama. Hidup menjadi kurang rumit dan lebih berpusat pada
hal-hal yang sungguh-sungguh berarti. Kesederhanaan lebih sangat menonjol
pada usia tua15.
Sementara menurut Erikson :
1. Masa dewasa muda, merupakan pengalaman menggali keintiman, kemampuan
untuk membaurkan identitas diri dengan identitas orang lain tanpa takut akan
kehilangan sesuatu dari diri sendiri.
2. Masa dewasa tengah, merupakan masa produktivitas maksimum. Pada masa ini
kekuatan watak yang muncul, perhatian dan tanggung jawab yang menghargai
siapa yang membutuhkan perlindungan dan perhatian.
3. Masa dewasa akhir atau masa usia lanjut, merupakan masa kematangan. Masalah
sentral dalam masa ini adalah menemukan kepuasaan bahwa hidup yang
dijalaninya menemukan kepuasaan bahwa hidup yang dijalaninya merupakan
penemuan dan penyelesaian pada masa tua, terjadi integrasi emosional. Dalam
masa ini nostalgia dapat menjadi sumber kekuatan dan kedamaian pribadi yang
sejati.
Kepercayaan Orang Dewasa Dan Tua Terhadap Tuhan
Orang dewasa muda memilih arah hidup yang akan diambil dengan menghadapi
godaan berbagai kemungkinan pilihan. Ketia ia mencapai tengah umur, kira-kira
antara 30 dan 50 tahun, ia menghadapi tantangan hidup sambil memantapkan tempat
dan menggembangkan filsafat untuk mengolah kenyataan hidup yang tak disangkasangka. Masalah pokok pada masa dewasa adalah mencapai pandangan hidup yang
15

Sururin, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta : Grafindo Persada, 2004), hal. 83.

matang dan utuh yang dapat menjadi dasar dalam membuat keputusan-keputusan.
Pada masa ini biasanya manusia mencapai produktivitas yang maksimum. Robert
(1994:32) mengutip pendapat Erikson yang mengemukakan bahwa kekuatan watak
dalam era ini adalah perhatian, rasa tanggung jawab dan menghargai ciptaan Tuhan
bagi manusia. Ia merasa berkewajiban untuk ikut membantu Tuhan memelihara
ciptaanNya16.
Kemantapan jiwa orang dewasa setidaknya memberikan gambaran tentang
bagaimana sikap keberagamaan orang dewasa.Mereka telah memiliki tanggung jawab
terhadap system nilai yang dipilihnya,baik system nilai yang bersumber dari agama
maupun bersumber dari norma-norma lain dalam kehidupan dan pemilihan nilai
tersebut telah didasarkan kepada pertimbangan pemikiran yang matang.
Dengan bertambahnya stabilitas psikososial,agama orang lanjut usia dapat
cenderung menjadi penuh nostalgia.Kecenderungan ke nostalgia diantara orang lanjut
usia didukung oleh penelitian yang menemukan bahwa orang usia lanjut yang religius
cenderung makin konservatif dan makin sering terlihat dalam pandangan
religiusnya.Minat keberagamaan mereka juga sangat ditentukan oleh pengalaman
mereka ketika kecil.
Sikap Orang Dewasa Dan Tua Terhadap Takdir Tuhan
Para orang tua memandang takdir sebagai batas pertahanan mental tertinggi,
artinya memperlihatkan pengaruh yang signifikan terhadap cara pandang dan
penerimaan atas nasib mereka. Mengenai kematian, mereka memandang sebagai hal
yang realistis dan mereka siap menerimanya. Do’a-doa yang mereka panjatkan lebih
mengacu kepada keselamatan dunia dan akhirat. Fungsi agama yang menonjol pada
mereka adalah sebagai penentraman batin, di mana biasanya mereka mengalami rasa
kecemasan antara lain, khawatir terhadap kematian, khawatir terhadap keterasingan,
dan berbagai kekhawatiran yang tak beralasan. Mereka yang muslim memandang
bahwa kematian bukan akhir segalanya, namun percaya bahwa masih ada hari
pembalasan setelah itu yakni hari berhisab.
16

Hayati Nizar, Psikologi Agama, (Padang : IAIN IB PRESS, 2003), hal. 67.

Sikap Keberagamaan Orang Dewasa
Tingkah laku keagamaan orang dewasa memiliki perspektif yang luas
didasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya. Selain itu tingkah laku itu umumnya juga
dilandasi oleh pendalaman pengertian dan keluasan pemahaman tentang ajaran agama
yang dianutnya. Beragama bagi orang dewasa sudah merupakan bagian dari
komitmen hidupnya dan bukan sekedar ikut-ikutan.
Menurut Jalaluddin, gambaran dan cerminan tingkah laku keagamaan orang
dewasa dapat pula dilihat dari sikap keagamaanya yang memiliki ciri-ciri antara lain:
1. Menerima kebenaran, agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang,
bukan secara ikut-ikutan.
2. Bersifat cenderung realis, sehingga norma-norma agama lebih banyak
diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku.
3. Bersikap positif thingking terhadap ajaran dan norma-norma agama dan berusaha
mempelajari dan pehaman agama.
4. Tingkat ketaatan agama, berdasarkan atas pertimbangan dan tanggungjawab diri
sehingga sikap keberagamaan merupakan realisasi diri dari sikap hidup.
5. Bersikap yang lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas.
6. Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan
beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran juga didasarkan atas
pertimbangan hati nurani.
7. Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masingmasing, sehingga terikat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima,
memahami, serta melaksanakan ajaran agama yang diyakininya.
8. Terlihat hubungan antara sikap keberagamaan dengan kehidupan sosial, sehingga

perhatian terhadap kepentigan organisasi sosial keagamaan sudah berkembang 17.
Sedangkan scara garis besar ciri-ciri keberagamaan orang yang sudah usia lanjut
di antaranya:
17

Jalaluddin, Psikologi Agama Edisi Revisi 2010, (Jakarta : Grafindo Persada, 2010), hal. 108.

1. Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan.
2. Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan.
3. Mulai muncul pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akherat secara lebih
sungguh-sungguh.
4. Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antara
sesama manusia serta sifat-sifat luhur.
5. Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan pertambahan
usia lanjutnya.
6. Perasaan takut pada kematian ini berdampak pada peningkatan pembentukan
sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan abadi (akherat)18.
KESIMPULAN
Menurut beberapa ahli psikologi masa dewasa dibagi menjadi 3, yaitu :
1.

Masa dewasa awal atau muda.

2.

Masa dewasa madya atau tengah.

3.

Masa dewasa akhir atau usia lanjut.

Mengenai agama pada masa dewasa telah dijelaskan bahwasanya pada masa
ini seseorang memiliki tanggung jawab terhadap sistem nilai yang dipilihnya baik
ajaran agamanya ataupun norma lainnya. Semua tingkah laku kehidupannya
diwarnai oleh sistem kesadaran keagamaannya.
Adapun ciri-ciri sikap keberagaman pada masa dewasa diantaranya :
1.

Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang
matang.

2.

Cenderung bersifat realis.

3.

Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama dan berusaha
memperdalam keagamaan.

18

Ibid, hal. 113.

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

PENYESUAIAN SOSIAL SISWA REGULER DENGAN ADANYA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SD INKLUSI GUGUS 4 SUMBERSARI MALANG

64 523 26

STRATEGI PEMERINTAH DAERAH DALAM MEWUJUDKAN MALANG KOTA LAYAK ANAK (MAKOLA) MELALUI PENYEDIAAN FASILITAS PENDIDIKAN

73 431 39

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25