FAKTOR RISIKO BATU EMPEDU DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR BALI.

(1)

TESIS

FAKTOR RISIKO BATU EMPEDU DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR BALI

KURNIAWAN EKO WIBOWO

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2016 TESIS


(2)

FAKTOR RISIKO BATU EMPEDU DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR BALI

KURNIAWAN EKO WIBOWO NIM 1014028111

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

2016


(3)

FAKTOR RISIKO BATU EMPEDU DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR BALI

Tesis untuk memperoleh Gelar Magister

Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana

KURNIAWAN EKO WIBOWO NIM 1014028111

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

2016


(4)

TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 7 MEI 2016

Mengetahui

Tesis ini Telah Diuji Pada Tanggal 7 Mei 2016 Pembimbing I,

Dr. dr. I Ketut Sudartana, Sp.B-KBD NIP 196005151988021001

Pembimbing II,

Prof. Dr. dr. I Gde Raka Widiana Sp.PD-KGH NIP 195607071982111001

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana

Universitas Udayana,

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK NIP 195805211985031002

Direktur

Program Pascasarjana Universitas Udayana,

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP 195902151985102001


(5)

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana, No. : 1997/UN 14.4/HK/2016, Tanggal 2 Mei 2016

Ketua : Dr. dr. I Ketut Sudartana, Sp.B-KBD

Sekretaris : Prof. Dr. dr. I Gde Raka Widiana Sp.PD-KGH

Penguji :

1. Prof. Dr. dr. Sri Maliawan, Sp.BS (K) 2. dr. I.N.W. Steven Christian, Sp.B (K) Onk 3. dr. Gede Wirya Kusuma Duarsa, M.Kes., SpU


(6)

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama saya panjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat– Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan karya tulis dengan judul “Faktor risiko batu empedu di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar Bali”.

Karya tulis ini adalah salah satu persyaratan dalam menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Bedah Umum di Departemen/SMF Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar. Terima kasih yang tidak terhingga dan penghargaan yang setinggi–tingginya saya haturkan kepada: Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD–KEMD, selaku rektor Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan belajar di universitas yang beliau pimpin.

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan untuk menjadi mahasiswa Program Combined Degree Program Studi Ilmu Biomedik pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK selaku Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan untuk menimba ilmu.


(8)

Dr. dr. I Ketut Sudartana, Sp.B-KBD selaku pembimbing utama penelitian yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan inspirasi, bimbingan, dan nasehat sehingga mempermudah saya dalam menyelesaikan karya tulis ini.

Prof. Dr. dr. I Gde Raka Widiana, Sp.PD-KGH selaku pembimbing kedua dalam penelitian ini yang telah memberikan bimbingan dan masukan untuk memperlancar penyelesaian karya tulis ini.

Prof. Dr. dr. Sri Maliawan, Sp.BS (K) selaku Kepala Departemen/SMF Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di program studi Bedah Umum.

dr. I Ketut Wiargitha, Sp.B (K) Trauma selaku Ketua Program Studi Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar dan dr. Putu Anda Tusta Adiputra, Sp.B (K) Onk sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar yang memberikan dukungan dan semangat dalam menyelesaikan pendidikan.

dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M.Kes, selaku Direktur Utama RSUP Sanglah Denpasar yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar di lingkungan rumah sakit yang beliau pimpin.

Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT (K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah memberikan saya kesempatan untuk mengikuti pendidikan spesialis Bedah Umum di fakultas yang beliau pimpin.


(9)

Seluruh Staf Pengajar Departemen/SMF Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ RSUP Sanglah Denpasar sebagai guru dan teladan saya yang dengan penuh dedikasi dan kesabaran telah banyak memberikan bimbingan dan dukungan kepada saya selama mengikuti pendidikan Bedah Umum dan dalam menyelesaikan karya tulis ini.

Orang tua saya, DRS. H. Hadi Djoko Wijono, M.M, Anastasia Sukarni, Istri saya drg. Aldilla Youthiana Oktavanny, putra putri saya Ridho Aldi Kurnia Wibowo, Alishya Kurnia Wibowo, Allaric Akbar Wibowo atas cinta kasih, motivasi, dan dukungan yang tiada henti selama saya menjalani pendidikan spesialis ini.

dr. Jimmy Candra Putra, dr. Hing Theddy, dr. Ronald Natawidjaja, dr. Heru Sutanto, serta seluruh rekan PPDS I Bedah Umum atas kerja sama, dukungan dan bantuannya dalam proses penelitian serta selama proses pendidikan.

Seluruh staf dan paramedis di Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah, seluruh staf sekretariat Bedah, serta paramedis di Instalasi Rawat Inap Bedah, Instalasi Rawat Jalan Bedah RSUP Sanglah Denpasar.

Akhir kata, semoga karya tulis ini dapat bermanfaat,dan mohon maaf atas segala kekurangan.

Denpasar, Mei 2016


(10)

ABSTRAK

FAKTOR RISIKO BATU EMPEDU DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR BALI

Faktor risiko penyakit batu empedu adalah multifaktorial dimana selama ini diyakini penyakit batu empedu terjadi pada kelompok risiko tinggi yang disebut sebagai “4F”: forty, female, fertile, fatty. Namun saat ini telah terjadi perubahan kecenderungan distribusi epidemiologi faktor risiko dibandingkan konsep yang sudah baku ada. Penelitian ini bertujuan untuk mengkonfirmasi apakah hubungan antara faktor risiko yang sudah baku seperti umur, jenis kelamin, obesitas, dan paritas dengan terjadinya risiko batu empedu.

Rancangan penelitian ini adalah studi case control, sampel diambil secara retrospektif yang dilaksanakan di RSUP Sanglah pada januari 2014 sampai desember 2015, data 90 penderita diambil secara consecutive sampling dan dilakukan matching. Kemudian sampel tersebut dimasukkan kedalam kelompok kasus (45 penderita kolelitiasis) dan kelompok kontrol (45 penderita appendicitis akut). Analisis statistik dengan Mc Nemar test, odds ratio, dan analisis logistic regression.

Pada Analisis bivariat didapatkan hubungan antara faktor risiko umur (p < 0,001) dengan OR 22 dan 95% CI 3,6-907, status gizi (p 0,04) dengan OR 4 dan 95% CI 1,5-13,6, paritas (p< 0,001) dengan OR 9 dan 95% CI 2,1-80, riwayat penyakit keluarga (p <0,001) dengan OR 23 dan 95% CI 3,7-947) dibandingkan risiko terjadinya batu empedu. Pada analisis multivariate didapatkan bahwa faktor risiko umur diatas 40 tahun dan riwayat penyakit keluarga berhubungan dengan kejadian penyakit batu empedu dan secara statistik bermakna. Dimana umur diatas 40 tahun (p 0,03) dengan OR 10,4 dan 95% CI 1,2-93 dan riwayat penyakit keluarga dimana penderita yang memiliki riwayat keluarga batu empedu (p 0,02) dengan OR 6,2 dan 95% CI 1,3-19.

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa umur diatas 40 tahun dan riwayat keluarga keluarga merupakan faktor risiko terjadinya penyakit batu empedu dan secara statistik bermakna.


(11)

ABSTRACT

GALLSTONES RISK FACTORS IN GENERAL HOSPITAL CENTER SANGLAH DENPASAR BALI

The risk factor of gallstone disease is multifactorial which had been believed to gallstone disease occur in high-risk groups are referred to as "4F": forty, female, fertile, fatty. But this time there has been a change in distribution trends epidemiologic risk factors than basic concept already exists. This study aims to confirm whether the relationship between risk factors is standard such as age, sex, obesity, and parity with the risk of gallstones.

The study design was a case control study, samples were taken retrospectively implemented in Sanglah Hospital in January 2014 through December 2015, the data of 90 patients taken at consecutive sampling and do matching. Then the sample is inserted into the case group (45 patients with cholelithiasis) and the control group (45 patients with acute appendicitis). Statistical analysis by 4 test, odds ratio and logistic regression analysis.

In bivariate analysis of the relationship between risk factors of age (p <0.001) with OR 22 and 95% CI 3.6 to 907, nutritional status (p 0.04) with 4 OR and 95% CI 1.5 to 13.6, parity (p <0.001) with OR 9 and 95% CI 2.1 to 80, family history of disease (p <0.001) with OR 23 and 95% CI 3.7 to 947) compared the risk of gallstones. In the multivariate analysis showed that the risk factors above 40 years of age and family history of disease associated with the incidence of gallstone disease and statistically significant. Where age over 40 years (p 0.03) with 10.4 OR and 95% CI 1.2 to 93 and a family history of disease in which patients with a family history of gallstones (p 0.02) with an OR of 6.2 and 95 % CI 1.3 to 19.

From this study it can be concluded that over 40 years of age and a family history of a family is a risk factor of gallstone disease and statistically significant.


(12)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM... ... i

PERSYARATAN GELAR………. ... ii

LEMBAR PENGESAHAN……… ... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI………. ... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT………. .. v

UCAPAN TERIMA KASIH………. . vi

ABSTRAK……….. . ix

ABSTRACT……… . x

DAFTAR ISI……… xi

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR………. .. xiv

DAFTAR SINGKATAN……… . xv

DAFTAR LAMPIRAN………. .. xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH ... 1

1.2 RUMUSAN MASALAH ... 4

1.3 TUJUAN PENELITIAN ... 5

1.3.1 TUJUAN UMUM ... 5

1.3.2 TUJUAN KHUSUS ... 5

1.4 MANFAAT PENELITIAN ... 6

1.4.1 MANFAAT AKADEMIS PENELITIAN ... 6


(13)

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 7

2.1 DEFINISI ... 7

2.2 ANATOMI KANDUNG EMPEDU... 8

2.3 FISIOLOGI... 11

2.3.1 FISIOLOGI SALURAN EMPEDU ... 11

2.3.2 PENGOSONGAN KANDUNG EMPEDU ... 13

2.3.3 KOMPOSISI CAIRAN EMPEDU ... 14

2.4 EPIDEMIOLOGI ... 16

2.5 PATOGENESIS ... 20

2.6 PATOFISIOLOGI ... 21

2.6.1 PATOFISIOLOGI BATU EMPEDU ... 21

2.6.2 KLASIFIKASI KOLELITIASIS ... 22

2.7 MANIFESTASI KLINIS... 26

2.7.1 BATU KANDUNG EMPEDU ... 26

2.7.2 BATU SALURAN EMPEDU ... 28

2.8 PENATALAKSANAAN ... 29

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP PENELITIAN, DAN HIPOTESIS ... 34

3.1 KONSEP BERPIKIR ... 34

3.2 KONSEP PENELITIAN ... 36

3.3 HIPOTESIS ... 37

BAB IV METODE PENELITIAN ... 38

4.1 RANCANGAN PENELITIAN ... 38

4.2 LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN ... 39

4.3 SUMBER DATA... 39

4.3.1 POPULASI... 39

4.3.2 KRITERIA INKLUSI ... 39


(14)

4.3.4 BESAR SAMPEL ... 40

4.4 VARIABEL PENELITIAN ... 41

4.4.1 KLASIFIKASI DAN IDENTIFIKASI VARIABEL ... 41

4.4.2 DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL ... 41

4.5 INSTRUMEN PENELITIAN ... 42

4.6 PROSEDUR PENGUMPULAN DATA ... 43

4.6.1 PENGUMPULAN DATA AWAL ... 43

4.6.2 PENGUMPULAN DATA PENELITIAN ... 43

4.7 PROSEDUR PENELITIAN ... 43

4.7.1 TAHAP PERSIAPAN... 43

4.7.2 PELAKSANAAN PENELITIAN ... 44

4.8 ALUR PENELITIAN ... 45

4.9 ANALISIS DATA ... 46

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN………. . 49

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN……….. .... 60

DAFTAR PUSTAKA……… .. 45


(15)

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR

GAMBAR 2.1 ANATOMI KANDUNG EMPEDU ... 8

GAMBAR 2.2 GAMBAR VASKULARISASI KANDUNG EMPEDU ... 10

GAMBAR 2.3 PERBANDINGAN KOLESTEROL, LESITIN ... 23

GAMBAR 2.4 KLASIFIKASI BATU EMPEDU ... 25

GAMBAR 2.5 KOLESISTEKTOMI LAPAROSKOPI ... 31

GAMBAR 2.6 ERCP ... 33

GAMBAR 3.1 BAGAN KONSEP PENELITIAN ... 36

GAMBAR 4.1 BAGAN RANCANGAN PENELITIAN ... 38

GAMBAR 4.2 ALUR PENELITIAN ... 45

TABEL 2.1 KOMPOSISI CAIRAN EMPEDU ... 14

TABEL 5.1 GAMBARAN KARAKTERISTIK SUBYEK……… . 50

TABEL 5.2 GAMBARAM KARAKTERISTIK KADAR LIPID………. .. 51

TABEL 5.3 GAMBARAN KARAKTERISTIK HIPERLIPIDEMIA………... 51

TABEL 5.4 HASIL ANALISIS BIVARIABEL………. .. 52


(16)

DAFTAR SINGKATAN

ERCP : Endoscopic Retrograde Cholangiopancreaticographpy ESWL : Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy

DM : Diabetes Mellitus TG : Trigleserida

LDL : Low Density Lipoprotein HDL : High Density Lipoprotein WHO : World Healthy Organization USG : Ultrasonografi


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 KETERANGAN KELAIKAN ETIK……….. ... 66

LAMPIRAN 2 SURAT IJIN PENELITIAN……… .... 67

LAMPIRAN 3 LEMBAR PENGUMPULAN DATA……… .. 68

LAMPIRAN 4 DATA SAMPEL……….. .... 70


(18)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Batu empedu merupakan batu yang terdapat pada kandung empedu atau pada saluran empedu atau bisa pada keduanya. Beberapa penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa faktor risiko penyakit batu empedu adalah multifaktorial. Faktor risiko yang mempengaruhi terbentuknya penyakit batu empedu adalah usia, jenis kelamin, faktor genetik, kegemukan, diet tinggi lemak rendah serat, kehamilan, peningkatan kadar lemak darah, penurunan berat badan yang cepat, penyakit kencing manis. Selama ini dinyakini penyakit batu empedu terjadi pada kelompok risiko tinggi yang disebut sebagai “4 F”: forty (usia diatas 40 tahun lebih berisiko), female (perempuan lebih berisiko), fertile (paritas), fatty (orang gemuk lebih berisiko). Namun dewasa ini kecenderungan kelompok risiko tinggi mulai berubah. Dalam beberapa penelitian didapatkan fakta yang berbeda.

Penyakit batu empedu sudah merupakan masalah kesehatan yang penting di negara barat sedangkan di Indonesia baru mendapatkan perhatian secara klinis, sementara publikasi penelitian batu empedu masih terbatas (Lesmana, 2014). Di Amerika Serikat setiap tahunnya tercatat 700.000 dilakukan prosedur kolesistektomi dengan biaya hingga 6,5 milyar dolar (Shaffer, 2006; Chen, 2014). Insiden batu empedu di negara Barat adalah 20% dan kebanyakan menyerang orang dewasa dan lanjut usia (Sjamsuhidayat, 2010). Sedangkan di Taiwan batu


(19)

2

empedu menjadi masalah kesehatan utama dengan peningkatan prevalensi 4,3% pada tahun 1989 hingga 10,7% pada tahun 1995 (Hung SC, 2011). Sampai saat ini di Indonesia belum ada data yang valid mengenai angka kejadian penyakit batu empedu. Sebagian besar pasien dengan batu empedu seringkali tidak menimbulkan keluhan. Walaupun gejala dan komplikasi risiko penyakit batu empedu relatif kecil akan tetapi dapat menjadi ancaman yang serius jika tidak ditangani dengan benar. Hal ini akan menimbulkan dampak medis dan biaya kesehatan yang tinggi (Lesmana, 2014; Chen, 2014). Di Indonesia seiring dengan dilaksanakan Sistem Jaminan Kesehatan Nasional oleh BPJS, upaya preventif dan deteksi dini batu empedu sangatlah krusial dalam menekan tingginya biaya kesehatan.

Penelitian yang dilakukan oleh Lien dan Huang menemukan bahwa kelompok usia 40 tahun hingga usia 80 tahun merupakan kelompok yang paling banyak menderita penyakit batu empedu (Huang J, 2009). Hal ini didukung penelitian Chen et al yang menyimpulkan bahwa umur adalah faktor risiko yang sangat penting dan berguna untuk meramalkan kejadian penyakit batu empedu, dimana seiring bertambahnya usia maka semakin meningkat pula risiko seseorang terkena penyakit batu empedu (Chen, 2014). Sedangkan penelitian yang dilakukan Bass dkk menemukan hal yang berbeda yakni umur lebih dari 40 tahun bukanlah faktor prediktor terjadinya batu empedu (bass, 2013). Penelitian lain yang dilakukan di Taiwan didapatkan peningkatan penderita batu empedu pada kelompok umur 20-39 tahun walaupun demikian tidak dijumpai perbedaan risiko


(20)

3

batu empedu antara pria dan wanita. Keadaan ini menunjukkan adanya perubahan risiko tinggi dari kelompok umur pada kejadian batu empedu (Park, 2009).

Terdapat beberapa kontroversi mengenai jenis kelamin sebagai faktor risiko dari penyakit batu empedu. Pada mayoritas penelitian yang dilakukan negara barat menyimpulkan bahwa wanita lebih sering terkena penyakit batu empedu, sedangkan beberapa studi yang dilakukan di Asia belum menemukan hubungan antara penyakit batu empedu dengan jenis kelamin (Hung et al, 2011). Liu et al dan chen et al menemukan bahwa kelompok usia dibawah 50 tahun yaitu laki-laki memiliki insiden penyakit batu empedu lebih tinggi dibandingkan wanita, sedangkan pada kelompok usia diatas 50 tahun yaitu wanita memiliki insiden yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki (Liu, 2006; Chen, 2014).

Liu dkk mengkaji kasus pada sukarelawan yang sehat dan dibayar untuk diperiksa di rumah sakit dan mendapatkan prevalensi 5,3%, studi ini menemukan hubungan antara umur, obesitas, dan diabetes tipe II tetapi bukan jenis kelamin (Liu CM, 2006; Hung SC, 2011). Berat badan lebih dan obesitas merupakan faktor risiko penting dari kolelitiasis (Ko, 2006). Pada obesitas terjadi kondisi peradangan kronis dan sangat terkait dengan faktor pro-inflamasi. Hal ini akan meningkatkan sekresi hati dari kolesterol dan membuat empedu menjadi jenuh dengan meningkatkan sekresi empedu dari kolesterol dan menyebabkan pembentukan batu empedu (Lin, 2014). Kehamilan juga berkontribusi terhadap pembentukan batu di kandung empedu (Ko, 2006; Shaffer, 2006). Kolelitiasis adalah sangat umum pada multipara (paritas 4 atau lebih). Studi lain melaporkan


(21)

4

bahwa wanita multipara memiliki prevalensi lebih tinggi dari GSD dari yang nulipara (Ko, 2006; Chen, 2014).

Mengingat besarnya masalah, strategi untuk mengurangi kejadian penyakit batu empedu sangat penting, serta masih ada beberapa variabel yang masih kontroversi maka penulis tertarik melakukan penelitian tentang faktor-faktor risiko yang menyebabkan terjadinya penyakit batu empedu. Penulis menganggap dengan berfokus pada upaya pencegahan faktor-faktor risiko penyakit batu empedu akan dapat mencegah tingginya pengeluaran biaya kesehatan akibat komplikasi dari penyakit batu empedu.

Dari kajian pustaka yang telah diuraikan sebelumnya disimpulkan bahwa dijumpai perubahan kecenderungan distribusi epidemiologi faktor risiko dibandingkan konsep yang sudah baku mengenai hubungan antara jenis umur, jenis kelamin, obesitas dan paritas dengan risiko terjadinya batu empedu. Untuk itu diperlukan penelitian yang dapat mengkonfirmasi apakah hubungan antara faktor risiko yang sudah baku seperti jenis kelamin, umur, obesitas, dan multiparitas dengan terjadinya risiko batu empedu.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah umur merupakan faktor risiko terjadinya batu empedu ?

2. Apakah jenis kelamin merupakan faktor risiko terjadinya batu empedu ? 3. Apakah obesitas merupakan faktor risiko terjadinya batu empedu ? 4. Apakah paritas merupakan faktor risiko terjadinya batu empedu ? 5. Apakah riwayat keluarga merupakan faktor risiko terjadinya batu


(22)

5

6. Apakah diabetes mellitus merupakan faktor risiko terjadinya batu empedu?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan penelitan ini adalah untuk mengetahui faktor risiko batu empedu di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar Bali.

1.3.2 Tujuan Khusus

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :

1. Risiko faktor umur terhadap terjadinya batu empedu di RSUP Sanglah Denpasar Bali.

2. Risiko faktor jenis kelamin terhadap terjadinya batu empedu di RSUP Sanglah Denpasar Bali.

3. Risiko faktor obesitas terhadap terjadinya batu empedu di RSUP Sanglah Denpasar Bali.

4. Risiko faktor paritas terhadap terjadinya batu empedu di RSUP Sanglah Denpasar Bali.

5. Risiko faktor riwayat keluarga terhadap terjadinya batu empedu di RSUP Sanglah Denpasar Bali.

6. Risiko faktor diabetes mellitus terhadap terjadinya batu empedu di RSUP Sanglah Denpasar Bali.


(23)

6

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Ilmiah

1. Menambah wawasan ilmiah dan memberikan informasi baru insiden dan faktor risiko yang berpengaruh pada terbentuknya batu empedu. 2. Sebagai data dasar penelitian – penelitian tentang batu empedu

selanjutnya. 1.4.2 Manfaat Klinis

Dengan mengetahui bahwa faktor risiko usia, jenis kelamin, obesitas, paritas, riwayat keluarga, diabetes mellitus, dislipidemia terhadap terbentuknya batu empedu, kita dapat mengontrol sebagian faktor risiko diatas (obesitas, diabetes mellitus, dislipidemia) sehingga dapat mencegah terjadinya batu empedu.


(24)

7

7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi

Batu empedu merupakan deposit kristal padat yang terbentuk dikandung empedu dimana batu empedu dapat bermigrasi ke saluran empedu sehingga dapat menimbulkan komplikasi dan dapat mengancam jiwa (Sjamsuhidayat, 2010; Stinton, 2012).

2.2 Anatomi Kandung Empedu

Kandung empedu merupakan kantong berbentuk seperti buah pir yang terletak di bagian sebelah dalam hati (scissura utama hati) di antara lobus kanan dan lobus kiri hati. Panjang kurang lebih 7,5 – 12 cm, dengan kapasitas normal sekitar 35-50 ml (Williams, 2013). Kandung empedu terdiri dari fundus, korpus, infundibulum, dan kolum. Fundus mempunyai bentuk bulat dengan ujung yang buntu. Korpus merupakan bagian terbesar dari kandung empedu yang sebagian besar menempel dan tertanam didalam jaringan hati sedangkan Kolum adalah bagian sempit dari kandung empedu (Williams, 2013; Hunter, 2014). Kandung empedu tertutup seluruhnya oleh peritoneum viseral, tetapi infundibulum kandung empedu tidak terfiksasi ke permukaan hati oleh lapisan peritoneum. Apabila kandung empedu mengalami distensi akibat bendungan oleh batu, bagian infundibulum menonjol seperti kantong yang disebut kantong Hartmann (Sjamsuhidayat, 2010).


(25)

8

2.1 Gambar


(26)

9

Duktus sistikus memiliki panjang yang bervariasi hingga 3 cm dengan diameter antara 1-3 mm. Dinding lumennya terdapat katup berbentuk spiral yang disebut katup spiral Heister dimana katup tersebut mengatur cairan empedu mengalir masuk ke dalam kandung empedu, akan tetapi dapat menahan aliran cairan empedu keluar. Duktus sistikus bergabung dengan duktus hepatikus komunis membentuk duktus biliaris komunis (Sjamsuhidayat, 2010; Williams, 2013).

Duktus hepatikus komunis memiliki panjang kurang lebih 2,5 cm merupakan penyatuan dari duktus hepatikus kanan dan duktus hepatikus kiri. Selanjutnya penyatuan antara duktus sistikus dengan duktus hepatikus komunis disebut sebagai common bile duct (duktus koledokus) yang memiliki panjang sekitar 7 cm. Pertemuan (muara) duktus koledokus ke dalam duodenum, disebut choledochoduodenal junction. Duktus koledokus berjalan di belakang duodenum menembus jaringan pankreas dan dinding duodenum membentuk papila vater yang terletak di sebelah medial dinding duodenum. Ujung distalnya dikelilingi oleh otot sfingter oddi yang mengatur aliran empedu masuk ke dalam duodenum. Duktus pankreatikus umumnya bermuara ditempat yang sama dengan duktus koledokus di dalam papila vater, tetapi dapat juga terpisah (Sjamsuhidayat, 2010; Williams, 2013; Doherty, 2015).

Pasokan darah ke kandung empedu adalah melalui arteri sistikus yang terbagi menjadi anterior dan posterior dimana arteri sistikus merupakan cabang dari arteri hepatikus kanan yang terletak di belakang dari arteri duktus hepatis komunis tetapi arteri sistikus asesorius sesekali dapat muncul dari arteri


(27)

10

gastroduodenal. Arteri sistikus muncul dari segitiga Calot (dibentuk oleh duktus sistikus, common hepatic ducts, dan ujung hepar) (Williams, 2013).

Gambar 2.2

Vaskularisasi kandung empedu (a) arteri hepatika kanan (b) arteri koledokus kanan (c) arteri retroduodenal (d) cabang kiri arteri hepatika (e) arteri hepatika (f)

arteri koledokus kiri (g) arteri hepatika komunis (h) arteri gasroduodenal (Williams, 2013).


(28)

11

2.3 Fisiologi

2.3.1 Fisiologi saluran empedu

Fungsi dari kandung empedu adalah sebagai reservoir (wadah) dari cairan empedu sedangkan fungsi primer dari kandung empedu adalah memekatkan empedu dengan absorpsi air dan natrium (Doherty, 2015). Empedu diproduksi oleh sel hepatosit sebanyak 500-1000 ml/hari. Dalam keadaan puasa, empedu yang diproduksi akan dialirkan ke dalam kandung empedu dan akan mengalami pemekatan 50%. Setelah makan, kandung empedu akan berkontraksi, sfingter akan mengalami relaksasi kemudian empedu mengalir ke dalam duodenum. Sewaktu-waktu aliran tersebut dapat disemprotkan secara intermitten karena tekanan saluran empedu lebih tinggi daripada tahanan sfingter. Aliran cairan empedu diatur oleh tiga faktor yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi kandung empedu, dan tahanan dari sfingter koledokus (Sjamsuhidayat, 2010; Williams, 2013).

Menurut Guyton & Hall, 2008 empedu melakukan dua fungsi penting yaitu :

 Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak, karena asam empedu yang melakukan dua hal antara lain: asam empedu membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar menjadi partikel yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang disekresikan dalam getah pankreas, asam empedu membantu transpor dan absorpsi produk akhir lemak yang dicerna menuju dan melalui membran mukosa intestinal.


(29)

12

 Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir dari penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh sel- sel hati.

Pengosongan kandung empedu dipengaruhi oleh hormon kolesistokinin, hal ini terjadi ketika makanan berlemak masuk ke duodenum sekitar 30 menit setelah makan. Dasar yang menyebabkan pengosongan adalah kontraksi ritmik dinding kandung empedu, tetapi efektifitas pengosongan juga membutuhkan relaksasi yang bersamaan dari sfingter oddi yang menjaga pintu keluar duktus biliaris komunis kedalam duodenum. Selain kolesistokinin, kandung empedu juga dirangsang kuat oleh serat-serat saraf yang mensekresi asetilkolin dari sistem saraf vagus dan enterik. Kandung empedu mengosongkan simpanan empedu pekatnya ke dalam duodenum terutama sebagai respon terhadap perangsangan kolesistokinin. Saat lemak tidak terdapat dalam makanan, pengosongan kandung empedu berlangsung buruk, tetapi bila terdapat jumlah lemak yang adekuat dalam makanan, normalnya kandung empedu kosong secara menyeluruh dalam waktu sekitar 1 jam (Townsend, 2012).

Garam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen terbesar (90%) cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam anorganik. Garam empedu adalah steroid yang dibuat oleh hepatosit dan berasal dari kolesterol. Pengaturan produksinya dipengaruhi mekanisme umpan balik yang dapat ditingkatkan sampai 20 kali produksi normal kalau diperlukan (Sjamsuhidayat, 2010; Hunter, 2014).


(30)

13

2.3.2 Pengosongan kandung empedu

Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak kedalam duodenum. Lemak menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa duodenum. Hormon kemudian masuk kedalam peredaran darah, menyebabkan kandung empedu berkontraksi. Pada saat yang sama, otot polos yang terletak pada ujung distal duktus koledokus dan ampula mengalami relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya empedu yang kental ke dalam duodenum. Garam-garam empedu dalam cairan empedu penting untuk emulsifikasi lemak dalam usus halus dan membantu pencernaan dan absorbsi lemak (Hunter, 2014).

Proses koordinasi kedua aktifitas ini disebabkan oleh dua hal yaitu :  Hormonal :

Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum akan merangsang mukosa sehingga hormon Cholecystokinin akan terlepas. Hormon ini yang paling besar peranannya dalam kontraksi kandung empedu.

 Neurogen :

- Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase Cephalik dari sekresi cairan lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan menyebabkan kontraksi dari kandung empedu.

- Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke duodenum dan mengenai sfingter Oddi. Sehingga pada keadaan


(31)

14

dimana kandung empedu lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar walaupun sedikit.

Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan neurologis maupun hormonal memegang peran penting dalam perkembangan inti batu (Williams, 2013).

2.3.3 Komposisi cairan empedu Komposisi Cairan Empedu

Tabel 2.1

Komposisi cairan empedu (Guyton & Hall, 2008). Komponen Dari Hati Dari Kandung Empedu

Air 97,5 gm % 95 gm %

Garam Empedu 1,1 gm % 6 gm %

Bilirubin 0,04 gm % 0,3 gm %

Kolesterol 0,1 gm % 0,3 – 0,9 gm % Asam Lemak 0,12 gm % 0,3 – 1,2 gm %

Lecithin 0,04 gm % 0,3 gm %

1. Garam Empedu

Asam empedu berasal dari kolesterol. Asam empedu dari hati ada dua macam yaitu : Asam Deoxycholat dan Asam Cholat.


(32)

15

Fungsi garam empedu adalah :

 Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang terdapat dalam makanan, sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah menjadi partikel kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut.

 Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan vitamin yang larut dalam lemak.

Garam empedu yang masuk ke dalam lumen usus oleh kerja kuman-kuman usus dirubah menjadi deoxycholat dan lithocholat. Sebagian besar (90 %) garam empedu dalam lumen usus akan diabsorbsi kembali oleh mukosa usus sedangkan sisanya akan dikeluarkan bersama feses dalam bentuk lithocholat. Absorbsi garam empedu tersebut terjadi disegmen distal dari ilium. Sehingga apabila terjadi gangguan pada daerah tersebut misalnya oleh karena radang atau reseksi maka absorbsi garam empedu akan terganggu (Townsend, 2012).

2. Bilirubin

Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan globin. Heme bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole menjadi bilverdin yang segera berubah menjadi bilirubin bebas. Zat ini di dalam plasma terikat erat oleh albumin. Sebagian bilirubin bebas diikat oleh zat lain (konjugasi) yaitu 80 % oleh glukuronide. Bila terjadi pemecahan sel darah merah berlebihan misalnya pada malaria maka bilirubin yang terbentuk sangat banyak. Salah satu fungsi hati adalah untuk mengeluarkan empedu, normalnya antara 600-1200 ml/hari (Guyton & Hall, 2008).


(33)

16

Kandung empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml empedu.Diluar waktu makan, empedu disimpan untuk sementara di dalam kandung empedu, dan di sini mengalami pemekatan sekitar 50 %. Fungsi primer dari kandung empedu adalah memekatkan empedu dengan absorpsi air dan natrium. Kandung empedu mampu memekatkan zat terlarut yang kedap, yang terkandung dalam empedu hepatik 5-10 kali dan mengurangi volumenya 80-90% (Garden, 2007).

2.4 Epidemiologi

Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% sedangkan angka kejadian di Indonesia tidak berbeda jauh dengan negara lain di Asia Tenggara (Sjamsuhidayat, 2010; Lesmana , 2014). Peningkatan insiden batu empedu dapat dilihat dalam kelompok risiko tinggi yang disebut ”4 Fs” : forty (usia diatas 40 tahun lebih berisiko), female (perempuan lebih berisiko), fertile (paritas), fatty (obesitas) (Reeves, 2001). Pembentukan batu empedu adalah multifaktorial. Studi sebelumnya telah mengindentifikasi jenis kelamin perempuan, bertambahnya usia, kegemukan, riwayat keluarga dengan batu empedu, etnis, jumlah kehamilan merupakan faktor risiko batu empedu (Hung, 2011; Chen, 2014;Tsai, CH, 2014). 1. Umur

Frekwensi batu empedu akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Setelah usia 40 tahun risiko terjadi batu empedu 4 hingga 9 kali lipat. Lin dkk menjelaskan bahwa usia tua memiliki paparan panjang untuk banyak faktor kronis seperti hiperlipidemia, konsumsi alkohol, dan DM. Hal ini akan menyebabkan penurunan motilitas kandung empedu dan terbentuknya batu empedu (Lin, 2014).


(34)

17

Usia rata-rata tersering terjadinya batu empedu adalah 40-50 tahun. Jenis batu juga akan berubah dengan bertambahnya usia. Pada awalnya terutama jenis batu kolesterol (sekresi kolesterol meningkat dan saturasi empedu) namun dengan bertambahnya usia cenderung menjadi batu pigmen. Selanjutnya gejala dan komplikasi akan meningkat dengan bertambahnya usia hal tersebut sering dilakukan tindakan kolesistektomi (Stinton, 2012).

2. Jenis Kelamin dan Paritas

Batu empedu lebih sering terjadi pada wanita dari pada laki-laki dengan perbandingan 4 : 1. Di USA 10- 20 % laki-laki dewasa menderita batu kandung empedu, sementara di Italia 20 % wanita dan 14 % laki-laki (Garden, 2007). Pada wanita usia reproduksi, risiko cholelithiasis adalah 2-3 kali lebih tinggi dari pada laki-laki. Alasan untuk ini belum dijelaskan secara penuh. Kehamilan juga berkontribusi terhadap pembentukan batu di kandung empedu (Ko, 2006; Shaffer, 2006). Kolelitiasis adalah sangat umum pada multipara (paritas 4 atau lebih). Studi lain melaporkan bahwa wanita multipara memiliki prevalensi lebih tinggi dari GSD dari yang nulipara. Perbedaan gender dan seringnya batu empedu terdeteksi pada wanita hamil dikaitkan dengan latar belakang hormonal. Peningkatan kadar estrogen diketahui untuk meningkatkan ekskresi kolesterol dalam empedu dengan menyebabkan supersaturasi kolesterol. Selama kehamilan, selain peningkatan kadar estrogen, fungsi pengosongan kandung empedu menurun, sehingga menimbulkan endapan empedu dan batu empedu (Ko, 2006; Chen, 2014).


(35)

18

3. Genetik

Beberapa studi telah menunjukkan bahwa riwayat keluarga, genetika, diet, dan kebiasaan budaya memiliki peran utama dalam timbulnya batu empedu. Analisis pasangan kembar dari The Swedish Twin Registry menunjukkan faktor genetik 25% merupakan faktor risiko terjadinya batu empedu. Dimana ABCG8 D19H genotipe heterozigot atau homozigot telah meningkatan risiko terjadinya batu empedu secara signifikan. ABCG8 D19H dapat menyebabkan penyerapan kolesterol di usus rendah, meningkatkan kolesterol serum, dan sintesis kolesterol di hati tinggi, saturasi kolesterol empedu, dan resistensi insulin. Penelitian baru-baru ini didapatkan fakta bahwa, kerentanan seseorang terhadap terjadinya batu empedu dipengaruhi oleh Mucin gene polymorphisms atau FGFR4 polymorphism. The mucin-like protocadherin gene (MUPCDH) polymorphism rs3758650 dianggap sebagai penanda genetik untuk memprediksi terjadinya penyakit batu empedu (Ciaula, 2013).

4. Obesitas

Pada obesitas terjadi kondisi peradangan kronis dan sangat terkait dengan faktor pro-inflamasi. Hal ini akan meningkatkan sekresi hati dari kolesterol dan membuat empedu menjadi jenuh dengan meningkatkan sekresi empedu dari kolesterol dan menyebabkan pembentukan batu empedu (Lin, 2014). Berat badan lebih dan obesitas merupakan faktor risiko penting dari kolelitiasis (Ko, 2006). Orang dengan obesitas terjadi peningkatan sintesis dan ekskresi kolesterol dalam empedu. Pada saat yang sama, jumlah yang dihasilkan kolesterol berbanding lurus


(36)

19

dengan kelebihan berat badan (Doggrell SA, 2006). Siklus berat badan, independen dari BMI, dapat meningkatkan risiko kolelitiasis pada pria. Fluktuasi berat badan yang lebih besar dan siklus berat badan lebih terkait dengan risiko yang lebih besar (Tsai CJ, 2006).

5. Dislipidemia

Dislipidemia merupakan salah satu dari sindroma metabolik. Pada studi yang dilakukan di Taiwan menunjukkan bahwa sindroma metabolik berkaitan dengan peningkatan risiko terjadinya batu empedu dihubungan dengan usia dan jenis kelamin (Smelt, 2010). Beberapa penelitian yang dilakukan di negara barat dilaporkan bahwa usia, jenis kelamin, BMI, hiperlipidemia, penggunaan kontrasepsi oral, konsumsi alkohol, diabetes mellitus berkaitan erat dengan terjadinya batu empedu (Lin, 2014). Penurunan level High density lipoprotein (HDL) merupakan salah satu risiko terjadinya batu empedu. Kolesterol bilier utamanya berasal dari HDL – C. Penurunan konsentrasi HDL – C dikaitkan dengan resistensi insulin. Penelitian lain menyebutkan bahwa peningkatan kadar Trigliserida (TG) menyebabkan penurunan kontraksi dari kandung empedu yang berakibat pembentukan batu empedu (Mendez, 2005).

6. Diabetes mellitus

Diabetes mellitus (DM) dikaitkan dengan terjadinya batu empedu masih kontroversi. Beberapa studi di barat dilaporkan bahwa DM berkaitan dengan batu empedu dimana hiperglikemi umumnya terdapat pada grup batu empedu pada analisis univariat tetapi tidak terdapat pada grup batu empedu dengan multi


(37)

20

logistik regresi. Penelitian pada tikus dengan hiperinsulinemia terdapat spesifik spesifik FOXO1 protein yang dapat mengakibatkan peningkatan konsentrasi kolesterol dalam bile (Kovacs, 2008). Hiperglikemia menghambat sekresi bile dari hati dan dapat menggangu kontraksi dari kantung empedu serta menpunyai efek terhadap molititas dari kandung empedu hal ini dapat meningkatkan risiko terjadinya batu empedu (Chen, 2014).

2.5 Patogenesis

Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang pada saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan pembentuknya. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna, akan tetapi, faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan yang paling penting pada pembentukan batu empedu, karena terjadi pengendapan kolesterol dalam kandung empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat meningkatkan supersaturasi progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan unsur tersebut. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam pembentukan batu, melalui peningkatan dan deskuamasi sel dan pembentukan mukus (Erpecum, 2011).

Sekresi kolesterol berhubungan dengan terjadinya pembentukan batu empedu. Pada kondisi yang abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan pembentukan batu empedu. Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan pengendapan kolesterol yaitu terlalu banyak absorbsi air dari empedu, terlalu


(38)

21

banyak absorbsi garam-garam empedu dan lesitin dari empedu, terlalu banyak sekresi kolesterol dalam empedu. Jumlah kolesterol dalam empedu sebagian ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis kolesterol sebagai salah satu produk metabolisme lemak dalam tubuh. Untuk alasan inilah, orang yang mendapat diet tinggi lemak dalam waktu beberapa tahun, akan mudah mengalami perkembangan batu empedu (Guyton & Hall, 2008).

Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui duktus sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplet sehingga menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau batu terhenti di dalam duktus sistikus karena diameternya terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada disana sebagai batu duktus sistikus (Sjamsuhidayat, 2010).

2.6 Patofisiologi

2.6.1 Patofisiologi batu empedu

Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap: (1) pembentukan empedu yang supersaturasi, (2) nukleasi atau pembentukan inti batu, dan (3) berkembang karena bertambahnya pengendapan. Kelarutan kolesterol merupakan masalah yang terpenting dalam pembentukan semua batu, kecuali batu pigmen. Supersaturasi empedu dengan kolesterol terjadi bila perbandingan asam empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan kolesterol turun di bawah harga tertentu. Secara normal kolesterol tidak larut dalam media yang mengandung air. Empedu


(39)

22

dipertahankan dalam bentuk cair oleh pembentukan koloid yang mempunyai inti sentral kolesterol, dikelilingi oleh mantel yang hidrofilik dari garam empedu dan lesitin. Jadi sekresi kolesterol yang berlebihan, atau kadar asam empedu rendah, atau terjadi sekresi lesitin, merupakan keadaan yang litogenik (Garden, 2007).

Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti pengendapan kolesterol. Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal kolesterol keluar dari larutan membentuk suatu nidus, dan membentuk suatu pengendapan. Pada tingkat saturasi yang lebih rendah, mungkin bakteri, fragmen parasit, epitel sel yang lepas, atau partikel debris yang lain diperlukan untuk dipakai sebagai benih pengkristalan (Hunter, 2014).

2.6.2 Klasifikasi kolelitiasis

Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di golongkankan atas 3 (tiga) golongan (Hung,2011; Lesmana, 2014).

1. Batu kolesterol

Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70% kolesterol. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung > 50% kolesterol) (Bhangu, 2007). Batu kolestrol murni merupakan hal yang jarang ditemui dan prevalensinya kurang dari 10%. Biasanya merupakan soliter, besar, dan permukaannya halus. Empedu yang disupersaturasi dengan kolesterol bertanggung jawab bagi lebih dari 90 % kolelitiasis di negara Barat. Sebagian besar empedu ini merupakan batu kolesterol campuran yang mengandung paling sedikit 75 % kolesterol


(40)

23

berdasarkan berat serta dalam variasi jumlah fosfolipid, pigmen empedu, senyawa organik dan inorganik lain. Kolesterol dilarutkan di dalam empedu dalam daerah hidrofobik micelle, sehingga kelarutannya tergantung pada jumlah relatif garam empedu dan lesitin. Ini dapat dinyatakan oleh grafik segitiga, yang koordinatnya merupakan persentase konsentrasi molar garam empedu, lesitin dan kolesterol (Hunter, 2014). Proses fisik pembentukan batu kolesterol terjadi dalam empat tahap :

 Supersaturasi empedu dengan kolesterol.  Pembentukan nidus.

 Kristalisasi/presipitasi.

 Pertumbuhan batu oleh agregasi/presipitasi lamelar kolesterol dan senyawa lain yang membentuk matriks batu.

Gambar 2.3.

Perbandingan kolestrol, lesithin, dan garam empedu dalam hal kelarutan (Hunter, 2014).


(41)

24

2. Batu pigmen

Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis batu empedu yang mengandung < 20% kolesterol. Jenisnya antara lain:

a. Batu pigmen kalsium bilirubin (pigmen coklat)

Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama. Batu pigmen cokelat terbentuk akibat adanya faktor stasis dan infeksi saluran empedu. Stasis dapat disebabkan oleh adanya disfungsi sfingter Oddi, striktur, operasi bilier, dan infeksi parasit. Bila terjadi infeksi saluran empedu, khususnya E. Coli, kadar enzim B-glukoronidase yang berasal dari bakteri akan dihidrolisasi menjadi bilirubin bebas dan asam glukoronat. Kalsium mengikat bilirubin menjadi kalsium bilirubinat yang tidak larut. Dari penelitian yang dilakukan didapatkan adanya hubungan erat antara infeksi bakteri dan terbentuknya batu pigmen cokelat.umumnya batu pigmen cokelat ini terbentuk di saluran empedu dalam empedu yang terinfeksi (Townsend, 2012).

b. Batu pigmen hitam.

Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi ( Lesmana, 2014). Batu pigmen hitam adalah tipe batu yang banyak ditemukan pada penderita dengan hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu pigmen hitam ini terutama terdiri dari derivat


(42)

25

polymerized bilirubin. Potogenesis terbentuknya batu ini belum jelas. Umumnya batu pigmen hitam terbentuk dalam kandung empedu dengan empedu yang steril (Doherty, 2015).

3. Batu campuran

Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung 20-50% kolesterol. Merupakan batu campuran kolesterol yang mengandung kalsium. Batu ini sering ditemukan hampir sekitar 90 % pada penderita kolelitiasis. batu ini bersifat majemuk, berwarna coklat tua. Sebagian besar dari batu campuran mempunyai dasar metabolisme yang sama dengan batu kolesterol (Garden, 2007).

Gambar 2.4


(43)

26

2.7 Manifestasi Klinis

2.7.1. Batu kandung empedu (Kolesistolitiasis) 1. Asimtomatik

Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan gejala (asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat kolesistitis, nyeri bilier, nyeri abdomen kronik berulang ataupun dispepsia, mual (Lesmana, 2014). Studi perjalanan penyakit sampai 50 % dari semua penderita dengan batu kandung empedu, tanpa mempertimbangkan jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25 % dari penderita yang benar-benar mempunyai batu empedu asimtomatik akan merasakan gejalanya yang membutuhkan intervensi setelah periode waktu 5 tahun. Tidak ada data yang merekomendasikan kolesistektomi rutin dalam semua penderita dengan batu empedu asimtomatik (Hunter, 2014). 2. Simtomatik

Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Kolik biliaris, nyeri pasca prandial kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak, terjadi 30-60 menit setelah makan, berakhir setelah beberapa jam dan kemudian pulih, disebabkan oleh batu empedu, dirujuk sebagai kolik biliaris. Mual dan muntah sering kali berkaitan dengan serangan kolik biliaris (Beat, 2008).

3. Komplikasi

Kolesistitis akut merupakan komplikasi penyakit batu empedu yang paling umum dan sering meyebabkan kedaruratan abdomen, khususnya diantara wanita


(44)

27

usia pertengahan dan manula. Peradangan akut dari kandung empedu, berkaitan dengan obstruksi duktus sistikus atau dalam infundibulum. Gambaran tipikal dari kolesistitis akut adalah nyeri perut kanan atas yang tajam dan konstan, baik berupa serangan akut ataupun didahului sebelumnya oleh rasa tidak nyaman di daerah epigastrium post prandial. Nyeri ini bertambah saat inspirasi atau dengan pergerakan dan dapat menjalar ke punggung atau ke ujung skapula. Keluhan ini dapat disertai mual, muntah dan penurunan nafsu makan, yang dapat berlangsung berhari-hari. Pada pemeriksaan dapat dijumpai tanda toksemia, nyeri tekan pada kanan atas abdomen dan tanda klasik ”Murphy sign” (penderita berhenti bernafas sewaktu perut kanan atas ditekan). Masa yang dapat dipalpasi ditemukan hanya dalam 20% kasus. Kebanyakan penderita akhirnya akan mengalami kolesistektomi terbuka atau laparoskopik (Garden, 2007; Beat, 2008).

Penderita batu empedu sering mempunyai gejala-gejala kolestitis akut atau kronik. Bentuk akut ditandai dengan nyeri hebat mendadak pada abdomen bagian atas, terutama ditengah epigastrium. Lalu nyeri menjalar ke punggung dan bahu kanan (Murphy sign). Penderita dapat berkeringat banyak dan berguling ke kanan-kiri saat tidur. Nausea dan muntah sering terjadi. Nyeri dapat berlangsung selama berjam-jam atau dapat kembali terulang (Doherty, 2015).

Gejala-gejala kolesistitis kronik mirip dengan fase akut, tetapi beratnya nyeri dan tanda-tanda fisik kurang nyata. Seringkali terdapat riwayat dispepsia, intoleransi lemak, nyeri ulu hati atau flatulen yang berlangsung lama. Setelah terbentuk, batu empedu dapat berdiam dengan tenang dalam kandung empedu dan tidak menimbulkan masalah, atau dapat menimbulkan komplikasi. Komplikasi


(45)

28

yang paling sering adalah infeksi kandung empedu (kolesistitis) dan obstruksi pada duktus sistikus atau duktus koledokus. Obstruksi ini dapat bersifat sementara, intermitten dan permanent. Kadang-kadang batu dapat menembus dinding kandung empedu dan menyebabkan peradangan hebat, sering menimbulkan peritonitis, atau menyebakan ruptur dinding kandung empedu (Alina, 2008).

2.7.2 Batu saluran empedu (Koledokolitiasis)

Pada batu duktus koledokus, riwayat nyeri atau kolik di epigastrium dan perut kanan atas disertai tanda sepsis, seperti demam dan menggigil bila terjadi kolangitis. Apabila timbul serangan kolangitis yang umumnya disertai obstruksi, akan ditemukan gejala klinis yang sesuai dengan beratnya kolangitis tersebut. Kolangitis akut yang ringan sampai sedang biasanya kolangitis bakterial non piogenik yang ditandai dengan trias Charcot yaitu demam dan menggigil, nyeri didaerah hati, dan ikterus. Apabila terjadi kolangiolitis, biasanya berupa kolangitis piogenik intrahepatik, akan timbul 5 gejala pentade Reynold, berupa tiga gejala trias Charcot, ditambah syok, dan kekacauan mental atau penurunan kesadaran sampai koma (Alina, 2008).

Koledokolitiasis sering menimbulkan masalah yang sangat serius karena komplikasi mekanik dan infeksi yang mungkin mengancam nyawa. Batu duktus koledokus disertai dengan bakterobilia dalam 75% persen penderita serta dengan adanya obstruksi saluran empedu, dapat timbul kolangitis akut. Episode parah kolangitis akut dapat menyebabkan abses hati. Migrasi batu empedu kecil melalui ampula vateri sewaktu ada saluran umum diantara duktus koledokus distal dan


(46)

29

duktus pankreatikus dapat menyebabkan pankreatitis batu empedu. Tersangkutnya batu empedu dalam ampula akan menyebabkan ikterus obstruktif (Garden, 2007). 2.8 Penatalaksanaan

Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi makanan berlemak (Sjamsuhidayat, 2010). Jika batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang meskipun telah dilakukan perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk menjalani pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi). Pengangkatan kandung empedu tidak menyebabkan kekurangan zat gizi dan setelah pembedahan tidak perlu dilakukan pembatasan makanan (Alina, 2008; Sjamsuhidayat, 2010).

Pilihan penatalaksanaan antara lain (Sjamsuhidayat, 2010; Doherty, 2015) :

1. Kolesistektomi terbuka

Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan penderita dengan kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% penderita. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.


(47)

30

2. Kolesistektomi laparaskopi

Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-90% batu empedu di Inggris dibuang dengan cara ini karena memperkecil risiko kematian dibanding operasi normal (0,1-0,5% untuk operasi normal) dengan mengurangi komplikasi pada jantung dan paru-paru Kandung empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut. Indikasi awal hanya penderita dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini pada penderita dengan kolesistitis akut dan penderita dengan batu duktus koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, penderita dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah kemanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi seperti cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi laparaskopi (Garden, 2007).


(48)

31

Gambar 2.5

Kolesistektomi laparaskopi (Williams, 2013).

3. Disolusi medis

Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan adalah angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat disolusi hanya memperlihatkan manfaatnya untuk batu empedu jenis kolesterol. Penelitian prospektif acak dari asam xenodeoksikolat telah mengindikasikan bahwa disolusi dan hilangnya batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat ini dihentikan, kekambuhan batu tejadi pada 50% penderita. Kurang dari 10% batu empedu yang dilakukan dengan cara ini sukses. Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi kriteria terapi non operatif diantaranya batu kolesterol diameternya < 20 mm, batu kurang dari 4 batu, fungsi kandung empedu baik dan duktus sistik paten (Hunter, 2014).


(49)

32

4. Disolusi kontak

Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang poten yaitu Metil-Ter-Butil-Eter (MTBE) ke dalam kandung empedu melalui kateter yang diletakkan per kutan telah terlihat efektif dalam melarutkan batu empedu pada penderita-penderita tertentu. Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya adalah angka kekambuhan yang tinggi (50% dalam 5 tahun) (Garden, 2007).

5. Extracorporal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)

Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu. Manfaat pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada penderita yang telah benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini (Garden, 2007; Alina, 2008).

6. Kolesistotomi

Kolesistotomi yang dapat dilakukan dengan anestesia lokal bahkan di samping tempat tidur penderita terus berlanjut sebagai prosedur yang bermanfaat, terutama untuk penderita yang sakitnya kritis (Sjamsuhidayat, 2010).

7. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)

ERCP adalah suatu endoskop yang dimasukkan melalui mulut, kerongkongan, lambung dan ke dalam usus halus. Zat kontras radioopak masuk ke dalam saluran empedu melalui sebuah selang di dalam sfingter oddi. Pada sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak lebar sehingga batu empedu yang menyumbat saluran akan berpindah ke usus halus. ERCP dan


(50)

33

sfingterotomi telah berhasil dilakukan pada 90% kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000 penderita yang meninggal dan 3-7% mengalami komplikasi, sehingga prosedur ini lebih aman dibandingkan pembedahan perut. ERCP saja biasanya efektif dilakukan pada penderita batu saluran empedu yang lebih tua, yang kandung empedunya telah diangkat (Hunter, 2014).

Gambar 2.6


(1)

yang paling sering adalah infeksi kandung empedu (kolesistitis) dan obstruksi pada duktus sistikus atau duktus koledokus. Obstruksi ini dapat bersifat sementara, intermitten dan permanent. Kadang-kadang batu dapat menembus dinding kandung empedu dan menyebabkan peradangan hebat, sering menimbulkan peritonitis, atau menyebakan ruptur dinding kandung empedu (Alina, 2008).

2.7.2 Batu saluran empedu (Koledokolitiasis)

Pada batu duktus koledokus, riwayat nyeri atau kolik di epigastrium dan perut kanan atas disertai tanda sepsis, seperti demam dan menggigil bila terjadi kolangitis. Apabila timbul serangan kolangitis yang umumnya disertai obstruksi, akan ditemukan gejala klinis yang sesuai dengan beratnya kolangitis tersebut. Kolangitis akut yang ringan sampai sedang biasanya kolangitis bakterial non piogenik yang ditandai dengan trias Charcot yaitu demam dan menggigil, nyeri didaerah hati, dan ikterus. Apabila terjadi kolangiolitis, biasanya berupa kolangitis piogenik intrahepatik, akan timbul 5 gejala pentade Reynold, berupa tiga gejala trias Charcot, ditambah syok, dan kekacauan mental atau penurunan kesadaran sampai koma (Alina, 2008).

Koledokolitiasis sering menimbulkan masalah yang sangat serius karena komplikasi mekanik dan infeksi yang mungkin mengancam nyawa. Batu duktus koledokus disertai dengan bakterobilia dalam 75% persen penderita serta dengan adanya obstruksi saluran empedu, dapat timbul kolangitis akut. Episode parah kolangitis akut dapat menyebabkan abses hati. Migrasi batu empedu kecil melalui ampula vateri sewaktu ada saluran umum diantara duktus koledokus distal dan


(2)

duktus pankreatikus dapat menyebabkan pankreatitis batu empedu. Tersangkutnya batu empedu dalam ampula akan menyebabkan ikterus obstruktif (Garden, 2007).

2.8 Penatalaksanaan

Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi makanan berlemak (Sjamsuhidayat, 2010). Jika batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang meskipun telah dilakukan perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk menjalani pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi). Pengangkatan kandung empedu tidak menyebabkan kekurangan zat gizi dan setelah pembedahan tidak perlu dilakukan pembatasan makanan (Alina, 2008; Sjamsuhidayat, 2010).

Pilihan penatalaksanaan antara lain (Sjamsuhidayat, 2010; Doherty, 2015) :

1. Kolesistektomi terbuka

Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan penderita dengan kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% penderita. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.


(3)

2. Kolesistektomi laparaskopi

Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-90% batu empedu di Inggris dibuang dengan cara ini karena memperkecil risiko kematian dibanding operasi normal (0,1-0,5% untuk operasi normal) dengan mengurangi komplikasi pada jantung dan paru-paru Kandung empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut. Indikasi awal hanya penderita dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini pada penderita dengan kolesistitis akut dan penderita dengan batu duktus koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, penderita dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah kemanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi seperti cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi laparaskopi (Garden, 2007).


(4)

Gambar 2.5

Kolesistektomi laparaskopi (Williams, 2013).

3. Disolusi medis

Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan adalah angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat disolusi hanya memperlihatkan manfaatnya untuk batu empedu jenis kolesterol. Penelitian prospektif acak dari asam xenodeoksikolat telah mengindikasikan bahwa disolusi dan hilangnya batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat ini dihentikan, kekambuhan batu tejadi pada 50% penderita. Kurang dari 10% batu empedu yang dilakukan dengan cara ini sukses. Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi kriteria terapi non operatif diantaranya batu kolesterol diameternya < 20 mm, batu kurang dari 4 batu, fungsi kandung empedu baik dan duktus sistik paten (Hunter, 2014).


(5)

4. Disolusi kontak

Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang poten yaitu Metil-Ter-Butil-Eter (MTBE) ke dalam kandung empedu melalui kateter yang diletakkan per kutan telah terlihat efektif dalam melarutkan batu empedu pada penderita-penderita tertentu. Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya adalah angka kekambuhan yang tinggi (50% dalam 5 tahun) (Garden, 2007).

5. Extracorporal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)

Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu. Manfaat pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada penderita yang telah benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini (Garden, 2007; Alina, 2008).

6. Kolesistotomi

Kolesistotomi yang dapat dilakukan dengan anestesia lokal bahkan di samping tempat tidur penderita terus berlanjut sebagai prosedur yang bermanfaat, terutama untuk penderita yang sakitnya kritis (Sjamsuhidayat, 2010).

7. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)

ERCP adalah suatu endoskop yang dimasukkan melalui mulut, kerongkongan, lambung dan ke dalam usus halus. Zat kontras radioopak masuk ke dalam saluran empedu melalui sebuah selang di dalam sfingter oddi. Pada sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak lebar sehingga batu empedu yang menyumbat saluran akan berpindah ke usus halus. ERCP dan


(6)

sfingterotomi telah berhasil dilakukan pada 90% kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000 penderita yang meninggal dan 3-7% mengalami komplikasi, sehingga prosedur ini lebih aman dibandingkan pembedahan perut. ERCP saja biasanya efektif dilakukan pada penderita batu saluran empedu yang lebih tua, yang kandung empedunya telah diangkat (Hunter, 2014).

Gambar 2.6