HUBUNGAN ALL RAS TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI PADA PENDERITA KANKER KOLOREKTAL METASTASIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR BALI.

(1)

TESIS

HUBUNGAN ALL RAS TERHADAP GAMBARAN

HISTOPATOLOGI PADA PENDERITA KANKER

KOLOREKTAL METASTASIS

DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH

DENPASAR BALI

MUHAMMAD ROBBY CAHYADI

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

i

TESIS

HUBUNGAN ALL RAS TERHADAP GAMBARAN

HISTOPATOLOGI PADA PENDERITA KANKER

KOLOREKTAL METASTASIS

DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH

DENPASAR BALI

MUHAMMAD ROBBY CAHYADI NIM 1014028201

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

i

HUBUNGAN ALL RAS TERHADAP GAMBARAN

HISTOPATOLOGI PADA PENDERITA KANKER

KOLOREKTAL METASTASIS

DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH

DENPASAR BALI

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Master, Program Studi Ilmu Biomedik,

Program Pascasarjana Universitas Udayana

MUHAMMAD ROBBY CAHYADI NIM 1014028201

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(4)

i

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 31 Maret 2016

Pembimbing I, Pembimbing II,

dr. I Made Mulyawan, SpB-KBD Dr. dr. I Ketut Sudartana, SpB-KBD NIP 1971111112000121003 NIP 196005151988021001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direkur

Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana, Universitas Udayana,

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)


(5)

i

Tesis ini Telah Diuji pada Tanggal...

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No :..., Tanggal...

Penguji :

1. dr. I Made Mulyawan, SpB-KBD 2. Dr. dr. I Ketut Sudartana, SpB-KBD 3. dr. I.B Darmaputra, SpB-KBD 4. Dr. dr. A.A. Gde Oka, Sp.U


(6)

i

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadapan Allah SWT karena hanya atas karunia- Nya, tesis ini dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. I Made Mulyawan, SpB-KBD sebagai pembimbing I yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran selama penulis mengikuti pendidikan di program studi Ilmu Bedah-Pascasarjana, khususnya dalam menyelesaikan tesis ini. Terima kasih sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Dr. dr. I Ketut Sudartana, SpB-KBD sebagai pembimbing II yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.

Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor universitas Udayana Prof. Dr. dr Ketut Suastika, Sp.PD. KEMD atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Ilmu Bedah dan Program Studi Ilmu Biomedik di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana yang dijabat oleh Prof. Dr. dr. A.A Raka Sudewi, Sp.S (K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Studi Ilmu Bedah dan Program Studi Ilmu Biomedik pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Tidak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT (K), M.Kes, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayan atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Pascasarjana. Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada dr. I Ketut Wiargitha, Sp.B(K)Trauma, FINACS, ketua Program Studi Ilmu Bedah dan Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna, M.Sc, Sp.GK, ketua Program Studi Ilmu Biomedik. Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada penguji tesis, yaitu dr. I.B Darmaputra, SpB-KBD, Dr. dr. A.A Gde Oka, Sp.U dan Dr. dr. I Ketut Putu Yasa, SpBTKV, yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud seperti ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar, dr. Anak Ayu Saraswati, M.Kes, yang telah memberikan


(7)

i

kesempatan untuk melakukan pendidikan dan penelitian di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus disertai penghargaan kepada seluruh guru-guru yang telah membimbing penulis, mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Juga penulis ucapkan terima kasih kepada Almarhum Ayah tercinta Ir. H. Abdul Chamid, M.M dan ibu tersayang Hj. Sudarwati yang telah mengasuh dan membesarkan penulis sehingga menjadi orang yang berguna. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah mertua Drs. H. Agus Suharsono, M.M dan ibu mertua Hj Rohmulyati, S.Sos yang telah memberikan dorongan dan semangat dalam menyelesaikan tesis ini. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada adik-adikku dr. Aulia Rizky Noviyanti, dr. Muhammad Dhanny Irawan dan Satya fitriansyah, S.Ked. Terakhir dan paling utama, penulis sampaikan terima kasih kepada isteri tercinta dr. Dewi Hariyati yang dengan penuh pengorbanan dan kasih sayang memberikan semangat dan dukungan tanpa henti kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini.

Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini, serta kepada penulis sekeluarga.


(8)

i ABSTRAK

HUBUNGAN ALL RAS TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI PADA PENDERITA KANKER KOLOREKTAL METASTASIS

DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR BALI

.

Latar Belakang : Kanker Kolorektal (KKR) adalah salah satu penyebab kematian akibat kanker. KKR merupakan masalah kesehatan utama di Indonesia karena semakin banyaknya penderita usia produktif yang menderita KKR. Telah diketahui secara luas bahwa terjadinya KKR adalah akibat progresifitas suatu adenoma menjadi karsinoma. Mutasi pada gen KRAS merupakan awal terjadinya karsinogenesis KKR dimana terjadi perubahan adenoma menjadi karsinoma.

Metode : Penelitian ini merupakan suatu penelitian observasional analitik dengan rancangan yang digunakan adalah cross sectional. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan All RAS (KRAS dan NRAS) dengan jenis Histopatologi pada penderita KKR metastasis.

Hasil : Dari penelitian yang dilakukan sejak januari 2015 hingga januari 2016 di RSUP Sanglah Denpasar, Bali didapatkan 25 sampel dengan deskripsi gambaran usia min-max 32-70 tahun. rerata 48,84 9,6 tahun. Karakteristik jenis kelamin laki-laki:perempuan 60%:40%. Lokasi tumor paling sering di Rektum (68%). Gambaran histopatologi paling banyak Adenocarcinoma (92%) dengan derajat diferensiasi well:Moderate:poor diff 52%:40%:12%. Pada gambaran KRAS wild Type: Mutation codon 12: Mutation Codon 13 (48%:40%:12%). NRAS 100% Wild Type. Nilai analisa hubungan mutasi KRAS dengan Histopatologi (0,125), derajat diferensiasi (0,073), Lokasi Tumor (0,078), Jenis Kelamin (0,870), Usia (0,2412).

Kesimpulan : Tidak didapatkan hubungan yang signifikan antara gambaran histopatologi, derajat diferensiasi, lokasi tumor, jenis kelamin dan usia dengan mutasi KRAS.

Kata Kunci : Kanker Kolorektal (KKR), KRAS, NRAS, Histopatologi, Derajat diferensiasi, Lokasi Tumor, Jenis Kelamin, Usia.


(9)

i ABSTRACT

CORRELATION BETWEEN All RAS AND HISTOPATHOLOGICAL FEATURE In METASTATIC COLORECTAL CANCER PATIENTS In SANGLAH GENERAL HOSPITAL DENPASAR BALI.

Background : Colorectal Cancer (CRC) is one the most of mortality caused by cancer. CRC is main health problem in Indonesia because younger age was suffer. Worldwide known that CRC is progresifity of adenoma into Carcinoma. Mutational gen of KRAS is the begining of carcinogenesis where adenoma transform into carcinoma.

Method : This research is an analitic observational with cross sectional design. The aim of this research is to discover correlation between All RAS (KRAS and NRAS) with histopathological feature in metastaic CRC.

Result: We did research from januari 2015 until januari 2016 in Sanglah General Hospital Denpasar, Bali we get 25 samples with descript age min-max 32-70 with mean-SD 48,84±9,6 years. From sex characteristic male:female 60%:40%. The most common location in rectum (68%). Histopathological feature at most is adenocarcinoma (92%) with degree of differentiation well:moderate:poor differentiation 52%:40%:12%. In the description of mutational KRAS, Wild Type: Mutation Codon 12: Mutation codon 13 (48%:40%:12%). All NRAS found wild type. Analitical correlation value between mutational KRAS and histopathological feature (0,125); Degree differentiation (0,073); Tumor location (0,078); Sex (0,870); Age (0,2412).

Conclusion : There is no significant correlation between histopathological feature, degree differentiation, tumor location, sex and age with mutational of KRAS.

Keyword: Colorectal Cancer (CRC), KRAS, NRAS, Histopathology, Degree differentiation, Tumor locatin, Sex, Age.


(10)

i DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PRASYARAT GELAR ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

UCAPAN TERIMA KASIH ... v

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.3.1 Tujuan Umum ... 4

1.3.2 Tujuan Khusus ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

1.4.1 Manfaat Ilmiah ... 4

1.4.2 Manfaat Klinis ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Epidemiologi Karsinoma kolorektal ... 6


(11)

i

2.3 Prognosis Kanker Kolorektal. ... 9

2.4 Pemeriksaan Kanker Kolorektal ... 12

2.5 Stadium Kanker Kolorektal ... 14

2.6 Penatalaksanaan Kanker Kolorektal ... 17

2.7 RAS dan Jalur sinyalnya ... 20

2.8 Ekspresi RAS pada KKR ... 22

2.9 Ekspresi EGFR dan Jalue sinyalnya ... 27

2.10 EGFR dan RAS Onkogen ... 31

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESA PENELITIAN... 35

3.1 Kerangka Berpikir ... 35

3.2 Kerangka Konsep ... 36

3.3 Hipotesis ... 36

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ... 38

4.1 Desain Penelitian ... 38

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 38

4.3 Penentuan sumber data ... 38

4.3.1 Populasi ... 37

4.3.2 Sampel Penelitian ... 39

4.3.3 Kriteria Inklusi ... 39

4.3.4 Kriteria Eksklusi ... 39

4.3.5 Besar Sampel ... 39

4.3.6 Variabel Penelitian ... 40

4.3.7 Definisi Operasional Variabel ... 40

4.4 Prosedur Penelitan ... 42

4.5 Alur Penelitian ... 43


(12)

i

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 45

5.1 Analisis Statistik Deskriptif ... 45

5.2 Analisis Bivariabel ... 46

5.3 Pembahasan ... 50

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 55


(13)

i

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Sebuah model genetik dari pembentukan tumor kolorektal ... 7

Gambar 2.2 Aktivasi K-RAS ... 19

Gambar 2.3 K-RAS diaktifkan oleh guanosin diphosphat (GDP) menjadi guanosin triphosphate (GTP) ... 20

Gambar 2.4 Sebuah kaskade transduksi sinyal yang diprakarsai oleh bentuk aktif KRAS ... 21

Gambar 2.5 Aktivasi RAS Cascade... 22

Gambar 2.6 Sinyal EGFR dan interaksi KRAS/BRAF ... 29

Gambar 2.7 Kaskade EGFR dan transduksi sinyal RAS termodulasi ... 30


(14)

i

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Rekomendasi screening untuk kanker kolorektal sporadic ... 13

Tabel 2.2 Kategori Tumor Primer (T), Kelenjar limfa Regional (N), Metastasis Jauh (M) dan Residual Tumor (R) ... 14

Tabel 2.3 Perbandingan klasifikasi AJCC/ UICC Cancer staging Dukes dan MAC (modified Astler-Coller) dan angka kelangsungan hidup 5 tahun (%) . 15 Tabel 2.4 Klasifikasi histopatologi karsinoma kolorektal menurut World Health Organization ... 16

Tabel 2.5 Grading Karsinoma Kolorektal dan kekuatan prognosis ... 16

Tabel 5.1 Gambaran Karakteristik Subjek Penelitian ... 44

Tabel 5.2 Gambaran Hasil Penilaian Variabel Penelitian ... 45

Tabel 5.3 Hasil Analisis Hubungan Mutasi KRAS dengan Gambaran Histopatologi ... 46

Tabel 5.4 Hasil Analisa Hubungan Mutasi KRAS dengan Derajat Diferensiasi ... 47

Tabel 5.5 Hasil Analisa Hubungan Mutasi KRAS dengan Lokasi Tumor ... 47

Tabel 5.6 Hasil Analisa Hubungan Mutasi KRAS dengan Jenis Kelamin ... 48


(15)

i

DAFTAR SINGKATAN

ACC Aberrant Crypt Foci

AJCC American Joint Committee on Cancer Staging and End Result Reporting

APC Adenomatous Polyposis Coli

APC Adenomatous Polyposis is Coll Gene

CEA Carcino Embrionic Antigen

CIN Chromosomal Instability

DCC Deleted in Colon Cancer Gene

EGFR Epidermal growth faktor receptor

FAP Familial Adenomatous Polyposis

HNPCC Hereditary Nonpolyposis Colon Cancer

HRAS Harvey Rat Sarcoma Viral oncogene

KKR Kanker Kolorektal

KRAS Kirsten Rat Sarcoma

LOH Loss of Heterozygocity

MAC Modified Astler-Coller

MAPK Ras/mitogen-activated protein kinase

MEK Mitogen- activated protein kinase kinase

MRI Magnetic Resonance Imaging

MSI Microsatellite Instability

NRAS Neuroblastoma RAS Viral Oncogene PET Positron Emisi Tomografi

PI3K/Akt Phosphatidylinositol 3-kinase

RAS Rat Sarcoma Virus

RTK Reseptor tyrosine kinase


(16)

i

TNM (primary) Tumor, (regional lymph) Nodes, (remote) metastasis


(17)

i

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Surat ijin penelitian ... 61

Lampiran 2. Surat keterangan kelaikan etik penelitian ... 62

Lampiran 3. Data Pasien Sampel ... 63

Lampiran 4. Analisis data Stata 12 ... 64


(18)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kanker Kolorektal (KKR) merupakan salah satu penyebab kematian di dunia akibat kanker. KKR merupakan masalah kesehatan utama di Indonesia karena semakin banyaknya penderita usia produktif yang menderita KKR. Salah satu penyebab utama terjadinya KKR adalah kelainan pada genetik dan epigenetik. Telah diketahui secara luas bahwa terjadinya KKR adalah akibat progresifitas suatu adenoma menjadi karsinoma. Perkembangan karsinoma menjadi sebuah metastasis adalah akibat kurang efektifnya manajemen pengobatan. Salah satu pengobatan yang diberikan adalah kemoterapi. Untuk pemberian kemoterapi pada penderita KKR metastasis diperlukan pemeriksaan biomarker gen mutasi sehingga target terapi menjadi lebih tepat, salah satunya adalah Rat Sarcoma Virus(RAS) onkogen.RAS onkogen terdiri dari Kirsten Rat Sarcoma(KRAS) dan Neuroblastoma RAS Viral Oncogene(NRAS). Saat ini onkogen KRASadalah biomarker paling relevan dalam memprediksi target terapi

EGFR pada kanker kolorektal metastasis. Pengujian mutasi RAS (KRAS exon 2,3dan 4 dan NRAS exon 2,3 dan4) harus dilakukan sebelum pemberian target terapi Epidermal growth faktor receptor (EGFR)/(Cetuximab). Penelitian saat ini menunjukkan bahwa Cetuximab meningkatkan overall response rate (ORR), progression-free survival (PFS) dan overall survival (OS) penderita KKR dengan


(19)

2

KRASwild type. Mutasi pada gen KRAS merupakan awal terjadinya karsinogenesis KKR dimana terjadi perubahan adenoma menjadi karsinoma.

Kanker Kolorektal (KKR) adalah penyebab utama pada mortalitas dan morbiditas di dunia.KKRmerupakan5% dari seluruh kanker dan 29% dari keganasan gastrointestinal dengan rasio didominasi laki-laki 3:1dan lebih dari 1/3 kasus dibawah usia 45 tahun. KKR merupakan kanker terbanyak ketiga pada laki-laki dan perempuan dengan prevalensi lebih banyak pada kanker rektum daripada kanker kolon dengan rasio 33% pada rektum dan 19% pada kolon (Elsabah dan Adel, 2013).

KKR adalah kegawat daruratan dalam masalah kesehatan di Indonesia dan saat ini menduduki peringkat ketiga dari seluruh kanker. Jumlah KKR tiap 100.000 populasi di Indonesia adalah 19,1 untuk laki-laki dan 15,6 untuk perempuan. Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa penderita KKR di Indonesia lebih muda daripada penderita-penderita di negara berkembang lainnya. Lebih dari 30% kasus berusia 40 tahun atau lebih muda. Dengan meningkatnya jumlah dan kejadian KKR pada usia produktif, jelas bahwa KKR adalah masalah besar kesehatan di Indonesia (Abdullah et al., 2012). KKR di Bali berada pada urutan ke 5 (6-7%) dari seluruh keganasan, namun data mengenai insiden dan mortalitas belum tercatat (Djuniawan dkk., 2009).

Pada perkembangan KKR, pertumbuhan dari adenoma menuju karsinoma tergantung pada akumulasi genetik dan penyimpangan epigenetic (Compton et al., 2008).Telah diterima secara luas bahwa mutasi pada gen KRAS adalah kejadian awal karsinogenesis pada kolorektal. Seperti dijelaskan oleh Vogelstein dkk,


(20)

3 bahwa mutasi gen KRAS terjadi akibat progresi adenoma menjadi karsinoma (Shen dkk., 2011).

RAS onkogen memiliki peran dalam regulasi, pertumbuhan sel dan protein produknya. RAS onkogen mempengaruhi banyak fungsi sel termasuk proliferasi sel, apoptosis, migrasi, spesifikasi dan diferensiasi(Arrington et al., 2012)(Smith et al., 2010). Pada sinyal selulerjaringan, peranan H-RAS, N-RAS, atau K-RAS

pada jalurRAS-RAF-MAPK terbukti penting untuk mengendalikan proliferasi, differensiasi dan kelangsungan sel eukariotik (Medarde dan Santos, 2011).

Aktifasi mutasi pada RAS (KRAS atau NRAS) selain mutasi KRAS exon 2, telah diusulkan sebagai biomarker prediktif negatif untuk terapi anti-EGFR(Elsabah dan Adel, 2013, Shen et al., 2011, Douillard et al., 2013). Pengujian mutasi RAS (KRAS exon 3 dan 4 dan NRAS exon 2, 3 dan 4, disamping KRAS exon 2) harus dilakukan sebelum pemberian sebuah anti-EGFR mAb dan dalam penelitian metaanalisis terjadi perubahan overall response rate (ORR), progression-free survival (PFS) dan overall survival (OS)(Sorich dkk., 2014; Thekildsen dkk., 2014).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang ada, disusun rumusan sebagai berikut:

1. Apakah ada hubungan All RAS (KRAS dan NRAS) dengan jenis Histopatologi pada penderita KKR metastasis.

2. Apakah ada hubungan All RAS (KRAS dan NRAS) dengan derajat diferensiasi pada penderita KKR metastasis.


(21)

4 3. Apakah ada hubungan All RAS (KRAS dan NRAS) dengan lokasi tumor

pada penderita KKR metastasis.

4. Apakah ada hubungan All RAS (KRAS dan NRAS) dengan usia pada penderita KKR metastasis.

5. Apakah ada hubungan All RAS (KRAS dan NRAS) dengan jenis kelamin pada penderita KKR metastasis

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan All RAS dengan gambaran histopatologi pada penderita KKR metastasis yang dirawat di Rumah Sakit Sanglah Denpasar, Bali.

1.3.2 Tujuan Khusus

Mengetahui hubungan All RAS (KRAS dan NRAS) dengan jenis Histopatologi pada penderita KKR metastasis.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Ilmiah

Memberikan informasi data biologi molekuler tentang pemeriksaan All RAS dalam hubungannya dengan gambaran histopatologi penderita KKR metastasis.


(22)

5 1.4.2 Manfaat Klinis:

Memberi informasi kepada klinisi tentang hasil pemeriksaan All RAS dalam hubungannya dengan pemberian kemoterapi dan manajemen KKR yang menjadi prinsip dasar pengelolaan KKR.


(23)

1 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi Karsinoma Kolorektal

Kanker Kolorektal (KKR) adalah penyebab utama pada mortalitas dan morbiditas di dunia. Kejadian KKR merupakan 8,9 % dari seluruh kanker. KKR mempunyai frekuensi 5% dari seluruh kanker dan 29% dari keganasan gastrointestinal dengan rasio laki-laki 3:1 perempuan dan lebih dari 1/3 kasus dibawah usia 45 tahun. KKR merupakan kanker terbanyak ketiga pada laki-laki dan perempuan setelah kanker payudara dan kanker paru-parupada perempuan dan setelah kanker paru-paru dan prostat pada laki-laki dengan prevalensi lebih banyak pada kanker rektum daripada kanker kolon dengan rasio 33% pada rektum dan 19% pada kolon(Elsabah dan Adel, 2013).

Di Inggris, KKR merupakan 15% dari semua kanker yang terdiagnosa setiap tahunnya dan hal tersebut merupakan penyebab kematian kedua setelah kanker paru-paru dan payudara (Smith dkk., 2010). KKR adalah kanker ketiga terbanyak di Amerika Serikat setelah kanker prostat dan paru-paru pada laki-laki dan setelah kanker payudara dan paru-paru pada perempuan. Pada tahun 2011 diperkirakan 142.210 kasus baru KKR terdiagnosa di Amerika Serikat dengan perkiraan kematian 49.380 kasus (Fleming dkk, 2012).

Risiko kanker kolon meningkat sehubungan dengan pertambahan usia. Lebih dari 90% kasus muncul pada masyarakat usia 50 tahun atau lebih. Risiko menderita kanker adalah 1 dari 1600-1900 pada individu berusia kurang dari 39


(24)

2 tahun lebih rendah dibandingkan 1 dari 120-150 pada individu berusia 40 hingga 59 tahun dan 1 dari 30 individu pada usia 60 hingga 79 tahun(Lin dan Xiong, 2005).

2.2. Patobiomolekuler Kanker Kolorektal

Sel kanker memiliki 6 keistimewaan: self-sufficiency in growth signals,ketidakpekaan sinyal antigrowth, invasi dan metastasis jaringan, potensi replikatif yang tidak terbatas,angiogenesis yang terus menerus dan evation of apoptosis(Lin dan Xiong, 2005).Perkembangan kanker merupakan hasil dari akumulasi peningkatan genetik dan epigenetik yang mempengaruhi 6 fungsi sel dan jaringan (Compton dkk, 2008).

Model perkembangan KKR yang menguraikan tahapan perubahan pathogen pada onkogen dan tumor supresor gen pertama kali dihipotesakan oleh Vogelstein dan rekan pada 1988. Potter telah mengumpulkan data yang menjelaskan jalur genetik menuju kanker kolorektal. Mutasi awal diperkirakan timbul pada gen supresor tumor APC yang terlatak pada kromosom 5q. Ketiadaan fungsi protein APC menyebabkan pengumpulan β catein pada sitoplasma dan perpindahan β cateinpada inti sel menyebabkan perlekatan sel-sel dengan jaringan. Reseptor cadherin pada actin cytoskeleton β catein juga berhubungan dengan jalur sinyal Wnt yang menentukan nasib sel, khususnya selama perkembangan sel. Jika sinyal Wnt diaktifkan dan pada gilirannya mengaktifkan

Wnt reseptor, timbul fosforilasi dan aktifasi GSK-3b, yang mana akan mencegah fosforilasi GSK-3b dari β catein. Pengumpulan inti sel β catein menyebabkan komplek dengan Tcf/LEF (T-cell faktor/lymphocyte enhancer faktor). β


(25)

-catenin-3

LEF protein complex dapat mengaktifkan gen promotor pengenalan situs Tcf/LEF

termasuk c-Myc, cyclinD1, PPARS, matrilysn, Fra-1, UPAR, c-Jun, PML dan

gastrin. Perubahan ini pada gilirannya menstimulasi proliferasi sel dan menghambat apoptosis. Pada model perkembangan KKR ini, pertumbuhan dari adenoma menuju karsinoma tergantung pada akumulasi genetik dan penyimpangan epigenetik lain. Peningkatan penting lain termasuk mutasi dari

KRAS protoonkogen(Compton dkk, 2008).

Jalur RAS memainkan peranan penting dalam perkembangan berbagai kankerdan sering mengaktifkan mutasi di KRAS onkogen pada kanker kolorektal(Irahara dkk., 2010). MutasiK-RAS terjadi pada 30-50% KKR dan memiliki hubungan dengan proliferasi dan penurunan apoptosis. Mutasi K-RASpaling umum (sekitar 90%) ditemukan di kodon 12 dan 13 (Elsabah dan Adel, 2013).

Gambar 2.1 Sebuah model genetik pembentukan tumor kolorektal(Merchant dkk, 2007).

Keterangan : LOH, loss of heterozygosity (hilangnya heterozigositas); DCC, deleted in colon cancer gene (penghapusan gen kanker kolon); APC, adenomatous polyposis is coll gene (gen adenomatous poliposis); ACC, aberrant crypt foci


(26)

4 (kripta foci abberant); MMR, DMA mismatch repair enzyme (ketidakcocokan perbaikan enzim DMA) (Merchant dkk, 2007).

2.3. Prognosis Kanker Kolorektal

Faktor prognosis KKR kategori I antara lain penyebaran lokal tumor secara

patologis (kategori pT dari sistem staging TNM dari American Joint Committee on Cancer and the Union Internationale Contre le Cancer [AJCC/UICC]), penyebaran node kelenjar getah bening regional (pN kategori sistem staging TNM), invasi melalui darah atau kelanjar limfa, residual tumor setelah pembedahan kuratif (R klasifikasi dari sistem staging AJCC/UICC) dan peningkatan carcinoembryonic antigen elevation preoperative. Faktor yang termasuk kategori IIA antara lain: grade tumor, status margin radial (untuk reseksi spesimen dengan permukaan non peritoneal) dan residual tumor pada reseksi spesimen yang diikuti terapi neoadjuvan (yp dari sistem staging TNM). Faktor kategori IIB meliputi tipe histologi: fiturhistologisyang berhubungan

denganmicrosatellite instability(MSI) (yaitu,

responlimfoidtumorhostdanjenishistologismedulaataumucinous), tingginya tingkat

MSI(MSI-H), hilangnyaheterozigositasdi18q(DCC kehilanganalelgen), dankonfigurasi perbatasantumor. Faktor kategori III meliputi: konten DNA, semua penanda molekuler lain kecuali hilangnya heterozigositas 18q / DCC dan

MSI-H, invasi perineural, kepadatan microvessel, protein atau karbohidrat terkait sel tumor, fibrosis peritumoral, respon inflamasi peritumoral, fokus diferensiasi neuroendokrin, pengorganisasian inti sel, dan indeks proliferasi. Faktor Kategori IV termasuk Ukuran tumor dan konfigurasi tumor (Compton dkk, 2000).


(27)

5

Penyebab KKR sangat komplek, meliputi faktor lingkungan dan genetik. Faktor ini dapat merubah mukosa normal menjadi premalignansi polip adenomatous dan menjadi KKR dalam tahunan (Libutti dkk, 2008). Sebagian besar kasus KKR bersifat sporadis, hal ini merupakan indikasi bahwa faktor predisposisi genetik atau keluarga jarang terjadi. Saat ini diperkirakan 15-30% kasus mempunyai komponen herediter, berdasarkan timbulnya kanker pada generasi pertama atau kedua keluarga. Kejadian KKR pada individu tanpa riwayat keturunan mengindikasikan tingginya sindroma genetik sebagai predisposisi KKR seperti familial polyposis (FAP) atau hereditary nonpolyposis colorectal cancer

(HNPCC) dan memiliki dua kali risiko berkembang menjadi kanker kolorektal (Fearon dan Bommer, 2008).

FAP mewakili sekitar 1% insiden kanker kolrektal. FAP terdiri dari ratusan hingga ribuan polip kolon yang berkembang pada penderita usia belasan hingga 30-an tahun dan jika kolon tidak dilakukan pembedahan, 100% penderita akan berkembang menjadi kanker. FAP adalah kelainan autosomal dominan dengan penetrasi hampir 100%. Berdasarkan analisis kariotipe terungkap sebuah

interstitial deletion pada kromosom 5q dan analisis ikatan genetik pada 5q21, gen yang bertanggung jawab pada FAP teridentifikasi sebagai APC untuk poliposis adenomatous kolon (Libutti dkk, 2008). Ada 3 variasi dari FAP:

1. Sindroma gardner yang berhubungan dengan tumor ekstra intestinal termasuk tumor desmoids, kita sebasea atau kista epidermoid, lipoma, osteoma


(28)

6 (khususnya pada mandibula) dan polip pada proksimal dari traktus gastrointestinal.

2. Sindroma Turcots, berhubungan dengan tumor otak, terutama meduloblastoma.

3. Attenuated familial adenomatous polyposis, memiliki lebih sedikit jumlah polip kolon (umumnya < 100) dan onset yang lambat pada pembentukan KKR dari pada varian lain. Kelainan ini adalah penyakit autosomal dominan disebabkan mutasi pada gen APC, lokasi pada kromosom 5q21-q22 (Merchant dkk, 2007).

HNPCC lebih umum dari pada FAP, yaitu sekitar 2-3% dari seluruh KKR dan hasil dari mutasi pada salah satu dari beberapa gen DNA mismatch repair yang mengakibatkan ketidakstabilan mikrosatelit (MSI)(Merchant dkk, 2007). Usia rata-rata polip berkembang menjadi kanker kolorektal adalah 43 tahun, ini merupakan HNPCC tipe 1. HNPCC tipe 2 merupakan tumor extra kolon, berasal dari perut, usus kecil, kandung empedu, pelvis renalis, ureter, kandung kemih, uterus dan ovarium, kulit dan pancreas. Waktu paruh KKR pada HNPCC adalah 80%. HNPCC merupakan kelainan autosomal dominan dengan penetrasi sekitar 80% (Libutti dkk, 2008).

Selain riwayat keluarga, faktor lain yang berkaitan pada munculnya risiko KKR adalah usia yang semakin tua, inflammatory bowel disease, makanan tinggi lemak dan atau protein hewani dan gaya hidup yang sedentary.Nonsteroidal anti-inflammatory drugs terbuki memiliki efek pelindung pada banyak penelitian dan beberapa penelitian menyatakan bahwa HMG Co-A reductase inhibitor juga


(29)

7 memiliki efek pelindung terhadap timbulnya karsinoma kolorektal. Bermacam paparan seperti konsumsi alkohol, merokok dan komponen diet seperti serat dan mikronutrient seperti kalsium dan selenium telah terbuki memiliki efek pada risiko KKR (Fearon dan Bommer, 2008).

1.4 Pemeriksaan Kanker Kolorektal

Penderita tanpa gejala yang diduga menderita kanker kolon didapatkan anemia atau tes darah samar tinja yang positif selama pemeriksaan fisik. Diagnosa terbaik kanker kolon dengankolonoskopi. Gejala Penderita mungkin berhubungan perdarahan per rektum (hematochesia), peningkatan frekuensi konstipasi atau diare dan atau rasa tidak nyaman di perut. Penurunan berat badan kurang umum terjadi kecuali penyakit sudah lanjut, kelelahan juga sering terjadi. Kelelahan dan anemia adalah gejala yang berhubungan dengan lesi sisi kanan.Evaluasi laboratorium antara lain pemeriksaan darah, evaluasi pembekuan darah, kerusakan hati dan tes fungsi ginjal, gula darah puasa, elektrolit, urinalisis, dan pengukuran

Carcinoembryonic antigen (CEA). Tujuan pencitraan untuk staging kanker kolon dapat dibagi menjadi dua kategori: (1) deteksi dan staging tumor primer dan (2) penentuan tingkat metastasis penyakit. Untuk deteksi kanker primer dan polip yang lebih besar dari 1,0 cm, single dan double-contrast barium enema telah digunakan selama bertahun-tahun. Dengan munculnya computed tomography (CT) scan,CT colonography telah digunakan untuk skrining polip dan massa lainnya. Beberapa pemeriksamenggunakanMagnetic Resonance Imaging (MRI) Colonography. Untuk staging penyakit yang berpotensi metastasis ekstrakolon,


(30)

8 dapat digunakanultrasound, CT, MRI, dan tomografi emisi positron (PET)(Compton dkk, 2008).

Skrining diperkirakan dapat mengurangi kejadian mortalitas akibat Karsinoma kolorektal (Edwards dkk, 2010). Sebagian besar KKR berasal dari perkembangan adenoma-karsinoma, sebuah proses yang dapat berlangsung lebih dari 10 tahun. Perkembangan dari polip adenomatosa kecil menuju polip yang besar akibat adanya dysplasia yang kemudian berkembang menjadi kanker memberikan kesempatan untuk mencegah kanker dengan mengembalikan polip ke onset kanker sebelumnya. Panjang perkembangan waktu dari polip ke kanker memberikan waktu untuk melakukan skrining seperti kolonoskopi yang tidak perlu diulang tiap tahun dan tes yang kurang sensitif seperti darah samar, dilakukan tiap tahun dapat mengidentifikasi lesi yang terlewat pada awal skrining. Kolonoskopi telah menjadi standar emas untuk mendeteksi polip kolon dan kanker kolorektal. Telah terlihat bahwa skrining awal kolonoskopi dan prosedur polipektomi mengurangi insiden KKR pada penderita dengan polip adenomatosa. Penilaian saat ini tentang metoda skrining mengindikasikan bahwa tingginya angka ketaatan setiap metoda, dari keuntungan tersebut didapatkan beberapa metoda screening: kolonoskopi tiap 10 tahun, tes darah samar tiap tahun dan sigmoidoskopi setiap 5 tahun dengan hemocult SENSA tiap 2-3 tahun (Merchant dkk, 2007; Edwards dkk, 2010). Rekomendasi skrining untuk KKR sporadik dijelaskan dalam tabel 3.


(31)

9

Tabel 2.1 Rekomendasi screening untuk kanker kolorektal sporadic(Merchant dkk, 2007).

K a t e g o r i R i s i k o Skrining yang dianjurka n P e m e r i k s a a n a l t e r n a t i v e Usia (usia 50 tahun, tanpa riwayat adenoma, IBD, dan riwayat keluarga) Kolonoskopi pada usia 50 tahun dan diulang tiap 10 tahun jika tidak ada polip Pemeriksaan darah samar tiap tahun dan sigmoidoskopi fleksibel tiap 5 tahun atau barium enema double kontras tiap 5 tahun.

Inflammatory bowel disease Dimulai 8-10 tahun setelah gejala awal dengan kolonoskopi, tiap 1-2 tahun dengan biopsi 4 kuadran, tiap 10 tahun dengan total 30 sampel, masa dan striktur juga disertakan. -

Riwayat keluarga positif (generasi pertama atau kedua keluarga dengan KKR pada semua usia) Skrining awal kolonoskopi pada usia 40 tahun atau 10 tahun lebih awal pada keluarga dengan KKR.

2.5. Stadium Kanker Kolorektal

Sejarahnya KKRtelah distaging berdasarkan sistem klasifikasi Dukes. Seperti keganasan yang lain, metode staging TNM sekarang digunakan untuk standarisasi(Hyman, 2000). Seperti sistem Dukes, Klasifikasi TNM untuk KKRmemberi detail lebih daripada sistem lain. TNM memberikan identifikasi yang lebih tepat untuk prognosa penderita (Greene dkk, 2006).

Tabel 2.2 KategoriTumor Primer (T), Kelenjar limfa Regional (N), Metastasis Jauh (M) dan Residual Tumor (R) (Greene dkk, 2006).

Kategori TNM(R ) K e t e r a n g a n

T x T u m o r p r i m e r t i d a k d a p a t d i n i l a i

T 0 T i d a k a d a t u m o r p r i m e r

T i s Carcinoma in situ: intraepithelial atau invasi ke lamina propria T 1 T u m o r m e n g i n v a s i s u b m u k o s a T 2 T u m o r m e n g i n v a s i m u s c u l a r i s p r o p i a T 3 Tumor menginvasi muscularis propia hingga subserosa atau kedalam peritoneal perikolik atau jaringan perirektal. T 4 Tumor menginvasi secara langsung organ atau strutur dan atau perforasi peritoneum viseralis. N x K e l e n j a r l i m f e r e g i o n a l t i d a k d a p a t d i n i l a i N 0 T i d a k a d a m e t a s t a s i s k e l e n j a r l i m f e N 1 Met ast asi s p ad a 1 at au 3 k el e nj a r l i m f e r e gi on a l


(32)

10 N 2 M e t a s t a s i s 4 a t a u l e b i h k e l e n j a r l i m f e r e gi o n a l . M x M e t a s t a s i s j a u h t i d a k d a p a t d i n i l a i M 0 T i d a k a d a m e t a s t a s i s j a u h

M 1 M e t a s t a s i s j a u h

R 0 Reseksi komplit, batas histology negative, tidak ada residual tumor setelah reseksi. R 1 Reseksi tidak komplit, batas histology terkena, secara mikroskop tumor masih tersisa setelah reseksi R 2 Reseksi tidak komplit, batas tumor atau tumor masih tersisa setelah reseksi

Sistem staging menekankan kedalaman pada dinding usus (T stage), keterlibatan kelenjar limfe (N stage) dan ada atau tidak adanya metastasis jauh (M stage). Prediksi angka 5 tahun kelangsungan hidup menurun dengan meningkatnya staging secara keseluruhan (Merchant dkk, 2007).

Tabel 2.3Perbandingan klasifikasi AJCC/ UICC Cancer staging Dukes dan MAC(modified Astler-Coller) dan angka kelangsungan hidup 5 tahun (%)(Compton dkk, 2008).

S t a g i n g K a n k e r A J C C / U I C C Perbandingan klasifikasi Duke dan MAC Modifikasi Astler Coller Perbandingan dengan SEER 5 YSR (%) Staging Kanker AJCC/UICC Tumor Kelenjar Limfe Regional Metastasis Jauh

Stage 0 T i s N 0 M 0 - Terbatas mukosa I n S i t u Stage 1 T 1 N 0 M 0 Dukes A, MAC A Meluas Hingga submukosa L o k a l

T 2 N 0 M 0 Dukes A, MAC B1 Meluas hingga muskularis propia L o k a l 93,2 Stage IIA T 3 N 0 M 0 Dukes B, MAC B2 Meluas hingga muskularis propia Regional 84,7

Stage IIB T 4 N 0 M 0 Dukes B, MAC B3 72,2

Stage IIIA T1-T2 N 1 M 0 Dukes C, MAC C1 Terbatas dinding usus dan kelenjar Regional 83,4 Stage IIIB T3-T4 N 1 M 0 Dukes C, MAC C2-C3 Melewati dinding usus dan kelenjar Regional 64,1 Stage IIIC Any T N 2 M 0 Dukes C, MAC C1-C2-C3 Regional 44,3 Stage IV Any T Any N M 1 -, MAC D Metastasis jauh J a u h 8 , 1 Secara internasional klasifikasi histopatologi kanker kolorektal telah

diberikan oleh World Health Organization dan direkomendasikan oleh College of

American Pathologists(CAP). Berdasarkan klasifikasi ini, mayoritas kanker kolorektal adalahadenocarcinoma no special type (Compton dkk, 2008).


(33)

11 Tabel2.4 Klasifikasi histopatologi karsinoma kolorektal menurutWorld

Health Organization(Compton dkk, 2008).

N o T i p e s e l

1 A d e n o c a r c i n o m a

2 M u c i n o u s ( c o l l o i d ) a d e n o c a r c i n o m a ( > 5 0 % m u c i n o u s ) 3 S i g n e t - r i n g c e l l c a r c i n o m a ( > 5 0 % s i g n e t - r i n g c e l l s ) 4 S q u a m o u s c e l l ( e p i d e r m o i d ) c a r c i n o m a

5 A d e n o s q u a m o u s c a r c i n o m a

6 S m a l l c e l l ( o a t c e l l ) c a r c i n o m a

7 M e d u l l a r y c a r c i n o m a

8 U n d i f f e r e n t i a t e d c a r c i n o m a 9 O t h e r ( e . g . , p a p i l l a r y c a r c i n o m a ) NOS ( not otherwise specified )bukan bagian klasifikasi WHO

Grading karsinoma kolorektal, secara keseluruhan dinilai bedasarkan arsitektur dan sitologi (contoh pleomerfism, hiperkromatisme dan produksi musin) tetapi derajat bentuk kelenjar secara luas adalah paling penting dalam grading, sebagian besar sistem stratifikasi tumor dibagi 4 danhampir semua penelitian mendokumentasikan kekuatan prognosis tingkat tumor menjadi 4 antara lain:(Compton dkk, 2008)

Tabel 2.5 Grading Karsinoma Kolorektal dan kekuatan prognosis (Compton dkk, 2008).

Grade K e t e r a n g a n K e k u a t a n p r o g n o s i s 1 W e l l d i f f e r e n t i a t e d L o w - g r a d e

2 M o d e r a t e l y d i f f e r e n t i a t e d L o w - g r a d e

3 P o o r l y d i f f e r e n t i a t e d H i g h - g r a d e

4 U n d i f f e r e n t i a t e d H i g h - g r a d e

1.6 Penatalaksanaan Kanker Kolorektal

Kanker Kolorektal adalah penyakit bedah. Pembedahan masih menjadi modalitas terapi utama. Kemoterapi dan atau radioterapi memainkan peranan penting dalam memaksimalkan pengobatan pada konjungsi dengan pembedahan, atau memberikan peningkatan durasi dan quality of life untuk penderita dengan


(34)

12 metastasis (Hyman, 2000). Hemikolektomi dengan diseksi kelenjar getah bening regional diindikasikan untuk penderita pada kanker kolon stadium 1,2 atau 3, untuk penderita yang resektabel atau pada kanker kolon metastasis low volume synchronous dan untuk penderita dengan perforasi atau obstruksi. Angka 5years survivalDari reseksi metastasis hati atau paru yang mengalami rekurensi anastomosis atau rekurensi pada kelenjar getah bening sekitar20-40%. Pada penderita stadium 2 atau 3 sekitar 20-50%berkembang menjadi metastasis atau

lokal recurent karena adanya mikrometastasis atau reseksi tumor yang tidak adekuat. Kemoterapi sitotaksik punya 3 peranan: 1. Memberikan terapi adjuvant yang efektif untuk mengeliminasi atau mereduksi seluruh mikrometastasis tumor, 2. Merubah penyakit penderita yang unresectable menjadi resectable dan 3. Untuk memperpanjang waktu progresi tumor atau untuk memberikan terapi paliatif dan meningkatkan survival dan quality of life penderita metastasis KKR (Lin dan Xiong, 2005).

Strategi pengobatan baru untuk KKR metastasis telah dikembangkan selama akhir dekade ini dan hasilnya secara signifikan meningkat pada keseluruhan survival dari 6 bulan menjadi 24 bulan (Therkildsen dkk, 2014). Kanker kolorektal relatif resisten untuk kemoterapi (Debas, 2004). Selama beberapa dekade, 5-FU adalah satu-satunya agen kemoterapi yang digunakan, dan pilihan terapi sekarang telah berkembang pesat(Lin dan Xiong, 2005). Percobaan klinis telah menunjukkan kombinasi dari levamizol dan 5-FU setelah reseksi kuratif meningkatkan angka disease-free survival dan angka survival setelah pembedahan pada kanker stadium 3 (Dukes C). Angka rekurensi berkurang 39%,


(35)

13 kematian akibat kanker berkurang 32% dan angka kematian secara keseluruhan menurun 31% pada penderita yang menerima kombinasi kemoterapi setelah operasi dibandingkan dengan yang dilakukan reseksi tetapi tidak menerima kemoterapi. Tidak ada keuntungan survival kemoterapi terlihat pada kanker stadium 2 (Debas, 2004).

Standar pengobatan KKR metastasis telah berubah dari monoterapi 5-FU menuju kombinasi kemoterapi berdasarkan 5-FU dan irinocetan dan atau oxiloplatin, dan yang lebih mutahir diperkenalkan biological agents targeted pada angiogenesis dan epidermal growth faktor receptor (EGFR) signaling (Therkildsen dkk, 2014). Epidermal growth faktor (EGFR) memiliki semua 6 keunggulan pada terapi kanker. Cetuximab (Erbitux) adalah human-murine chimeric anti-EGFR immunoglobulinG monoclonal antibody. Diekspresikan pada 70-80% kanker kolorektal (Lin dan Xiong, 2005).

Penelitian prospektif secara acak telah menjelaskan fungsi kemoterapi adjuvant pada penderita dengan resiko tinggi kanker kolontetapi fungsi terapi radiasi adjuvant masih sulit dijelaskan. Radioterapi adjuvant belum dapat dipraktekkan secara umum, karena lebih banyak mengalami kegagalan setelah dilakukan reseksi kuratif pada abdomen. Meskipun insiden lokal failure mencapai 20% dan lokal failure secara signifikan lebih tinggi pada penderita tertentu, mengimplikasikan bahwa penerapan secara selektif terapi radiasi post operasi memberikan manfaat pada pengobatan kanker kolorektal (Compton dkk, 2008).


(36)

14 Seluruhsuperfamili RASdikarakteristiki olehadanyadomain G katalitik(Jancik dkk, 2010). Sinyal kaskade intraseluler melibatkan guanine exchange faktors (GEF) yang memfasilitasi aktivasi RASdengan mengganti

GDPinaktif dengan GTP. Setelah diaktifkan, RAS mengarah pada aktivasi

downstreampada berbagai efektor termasuk serin/treonin kinase, GTPase-activating proteins (GAP), phosphoinositide 3-kinase (PI3K), dan GEFs.RAS

dinonaktifkan ketika molekul GTP diubah kembali ke molekul GDP. Jika KRAS

yang bermutasi maka tetap di statusGTP. Oleh karena itu, KRAS tetap dalam keadaan terikat GTP, dengan demikian, fungsi regulasi downstram hilang (Gambar 2 ) (Arrington dkk, 2012; Wang dkk, 2010).

Gambar 2.2Aktivasi K-RAS(Arrington dkk, 2012).

K-RAS adalah protein sitoplasmik yang terikat GTP dan melekat dengan aktifitas GTPase. Ketika protein KRASterikat dengan GTP, maka KRAS

memancarkan sinyal proliferasi seluler yangmenghambatapoptosis danbertindak sebagai onkogenkhas(Pentheroudakis dkk, 2013). KRAS diaktifkan oleh


(37)

15 perubahanguanosin difosfat (GDP) menjadiguanosin trifosfat (GTP) (Gambar 3), proses ini dipromosi oleh GEFs (Wang dkk, 2010).

Gambar 2.3K-RAS diaktifkan oleh guanosin diphosphat (GDP)menjadi

guanosin triphosphate (GTP)(Wang dkk, 2010).

Ekspresi K-RAS terdeteksi pada 50% kasus glandularadenocarcinoma. Meskipun semua kasus mucinous dan variansignet ringnegatif pada

immunostaining(Elsabah dan Adel, 2013). KRAS adalah salah satu sensoryang memulai aktivasisinyal molekul yang memungkinkan transmisi sinyal

transductingdari permukaan sel dengan inti, sehingga mempengaruhi diferensiasisel, pertumbuhan, kemotaksis, dan apoptosis(Jancik dkk, 2010). Sebuah kaskade transduksi sinyal yang diinisiasi oleh bentuk aktifKRAS


(38)

16

Gambar 2.4Sebuah kaskade transduksi sinyal yang diprakarsai oleh bentuk aktifKRAS(Jancik dkk, 2010).

2.8 Ekspresi RAS pada KKR.

RAS adalah nama yang diberikan untuk keluarga gen yang mengkode membran protein kelas 21kD yang terikat pada nukleotida guanine dan memiliki aktivitas GTPase. Ada 3 macam bentuk pada manusia, NRAS, HRAS, dan KRAS. Gen RAS, HRAS dan KRAS diidentifikasi pada tahun 1975 dari penelitian dua kanker yang menggunakan virus, Harvey sarcoma virus dan Kirsten sarcoma virus oleh Scolnick et al pada National Institutes of Health (NIH). RAS onkogen memiliki peran penting dalam pertumbuhan dan regulasi sel dan merupakan produk protein yang mempengaruhi banyak fungsi sel termasuk proliferasi sel, apoptosis, migrasi,spesifikasi fatedan diferensiasi(Arrington dkk, 2012; Smith dkk, 2010). Jalur RAS memainkan peran penting dalam perkembangan berbagai kankerdan sering mengaktifkan mutasi di KRAS onkogen pada kanker kolorektal. Hanya ada sedikit laporan mutasi NRAS pada kanker kolorektal dan tidak satupun dari studi ini berkorelasi antara mutasi RAS dengan peristiwa molekul lain, mutasi


(39)

17

NRAS pada kanker kolorektal jarang terjadi (2,2%)sumber lain menyebutkan (1,2%) (Irahara dkk, 2010; Vaughn dkk, 2011).

Anggota RAS GTPase (HRAS, KRAS dan NRAS) penting dalam jaringan sinyal yang menghubungkan berbagai macam sinyal upstreamkejalur efektor

downstreamdan terkait dengan fungsi kontrol beragam hasil seluler termasuk siklus perkembangan sel, pertumbuhan, migrasi, perubahan sitoskeletal, apoptosis, dan penuaan (Medarde dan Santos, 2011; Irahara dkk, 2010). Protein RAS

bertindak sebagai transduser signal darireseptor membran ke inti sel(misalnya faktorreseptor pertumbuhan),sehingga dapat mengatur pertumbuhan dan diferensiasi.Penyimpangan gen RAS menyebabkan peningkatan dan proliferasi sel yang tidak terkendali serta transformasi maligna (Elsabah dan Adel, 2013).

Padajaringan sinyal seluler, peranH-RAS, N-RAS atau K-RAS di jalur Ras-Raf-MAPK telah terbukti penting untuk mengendalikan proliferasi, diferensiasi, dan kelangsungan hidup sel eukaryotik (Medarde dan Santos, 2011). Semua anggota RAS menjadi aktif ketika reseptor transmembran terdekat (seperti, reseptor faktor pertumbuhan, pasangan reseptor G-protein, reseptor tol, dll) terikat oleh ligan yang sesuai (Gambar 2) (Arrington dkk, 2012).


(40)

18 Analisis awal status isoformmutasiRASpada kanker memunculkan insiden yang bervariasi pada tipe tumoryang berbedadan hubungan individualRAS

isoformyang spesifikdengan kanker tertentu. K-RAS terbukti menjadi isoform yang paling sering bermutasi pada kanker, dengan 90% berasal dari tumor pankreas. Sebaliknya, mutasi N-RASterkait kuat dengan tumor hematopoietik.The Catalog of Somatic Mutations in Cancer (Cosmic) dataset menegaskan bahwa K-RAS adalah isoform paling sering bermutasi. Ditemukan pada 22% dari semua tumor yang dianalisis, dibandingkan dengan 8% untuk N-RAS dan 3% untuk

H-RAS. Kejadian mutasi seluruh RAS rata-rata adalah 16% (Prior dkk, 2012).Sifat

tumorigenic mutasi N-RAS berhubungan dengan fungsi anti apoptosis yang diaktifasi oleh jalur MAPK non-canonical dimana sinyalnya melalui Stat3. Penghambatan yang selektif pada MEK menginduksi apoptosis pada tumor dengan mutasi N-RAS. Penemuan translasi pada N-RAS berhubungan dengan rendahnya outcome pada penderita KKR (Wang dkk, 2013).

MutasiK-RAS terjadi pada 30-50%. KKR dan memiliki hubungan dengan proliferasi dan penurunan apoptosis.Mutasi K-RASpaling umum (sekitar 90%) ditemukan di kodon 12 dan 13(Elsabah dan Adel, 2013). Total, aktifasi mutasi pada gen RASterjadi pada sekitar 20% dari semua kanker pada manusia, terutama di kodon 12, 13 atau 61.Mutasi padaKRASterjadi sekitar 85% dari semua mutasi RAS pada tumor manusia, NRAS sekitar 15%, dan HRAS

kurang dari 1%(Irahara dkk, 2010).

PadaK-RAS dan N-RASterdapat 2 fenomena yaitu 80% dari mutasi K-RAS terjadi pada kodon 12, sedangkan sangat sedikit mutasipada kodon


(41)

19 61.Sebaliknya, hampir 60% dari tumor N-RASbermutasi di kodon 61, dibandingkan dengan35% pada kodon 12.H-RAS menampilkan perilaku intermediate, sekitar 50% : 40% antara mutasi pada kodon 12 dan 61. Dari catatan pada tingkat DNA, K-RAS dan N-RAS berbagi urutan encoding Gly12 dan Gln61. Selanjutnya, substitusi basa tunggal mengakibatkan penggantian asam amino yang sama.Polamutasi K-RAS didominasi oleh mutasi transisi G-A di kedua kodon 12 sekitar 43% atau kodon 13, sehingga terjadi G12D atau G13D

mutations.Transversi G-T di basis kedua membuat sebagian besar menghasilkan G12V. Mutasi N-RASpada kodon 12 dan 13 jauh lebih rendah dibandingkan dengan K-RAS. Sebaliknya, H-RASterjadi pada G12V di semua kanker dengan mutasi pada kodon 12, dan secara umum menunjukkan proporsi 3 kalilebih tinggimutasi transversi-ke-transisi dibandingkan pada K-RAS danN-RAS. Pada mutasi kodon 61 terdapat heterogenitas yang jelas antara isoform pada kodon 12(Prior dkk, 2012). Mutasi HRASjarang terjadi pada kanker kolorektal (Douillard dkk, 2013).

Mutasi K-RAS hadir pada sebagian besar adenokarsinoma duktus pankreas dan persentase yang tinggi pada tumor paru-paru dan tumor kolon tetapi sangat jarang pada tumor kandung kemihdi mana H-RAS yang paling sering bermutasi. Sebaliknya, penelitian mengungkapkan tingginya insiden mutasi N-RASpada tumor hematopoietik danmelanoma maligna, sedangkan tingkatmutasi K-RAS atau

H-RAS sedikit. Pada umumnya, mutasi K-RAS lebih sering ditemukan pada adenokarsinoma dan tumor padat, sedangkan N-RAS adalah gen RAS yang lazim bermutasi pada leukemia, karsinoma tiroid, atau melanoma malignan. Mutasi


(42)

H-20

RASjarang ditemukan, dengan prevalensi tertinggi pada karsinoma kandung kemih(Medarde dan Santos, 2011).

Pada K-RAS pasangan Glycine 12-Glycine 13 (G12-G13) menyumbang sekitar 99% dari mutasi (86% dan 13%), hal ini merupakan mutasi yang mempengaruhi asam glutamat 61. Laporan terbaru menunjukkan bahwa mutasi ekson 4 dapat memprediksi prognosis yang lebih baik. Gen N-RAS pada tumor manusia memiliki pola distribusi yang berbeda dengan tingkat mutasi tertinggiditemukan pada Q61 (sekitar 60% dari total mutasi N-RAS) dan persentase yang lebih rendah terdeteksi pada G12 (24,4%) dan G13 (12,7%). Mutasi H-RAS menunjukkan pola khusus tersendiri, dengan persentase tertinggi mutasi di kodon 12 (sekitar 54%), diikuti oleh kodon 61 (34,5%) dan kodon 13 (9%) (Medarde dan Santos, 2011).

Mutasi gen K-RAS terjadi awal padakanker kolorektal menunjukkan bahwa mutasi ini dapat digunakan sebagai biomarker yang berguna untuk deteksi dini kanker kolorektal (Ren dkk, 2012). MutasiK-RAS muncul sebagai prediktif marker yang penting terhadapresistensi pengobatan EGFR monoclonal anti antibody. Mutasi KRAS, 90% berada di ekson 2 dan 10% di ekson 3 dan 4 (Therkildsen dkk, 2014). Wild typeKRAS, berhubungan dengan resistensi

targeting therapyantibodi monoklonal EGFR. Secara khusus, penderita dengan mutasi KRAS di ekson 2 tidak memiliki respon terhadap terapi anti-EGFR dan mungkin memiliki hasil yang lebih rendah jika terapinya dikombinasikan dengan regimen kemoterapi oxaloplatin. Mutasi pada RAS (KRAS atau NRAS) selain mutasi KRASekson 2, telah diusulkan sebagai biomarker prediksi negatif terapi


(43)

21 anti-EGFR. Sekitar 90% dari mutasi mengaktifkan gen KRAS yang terdapat pada kodon 12 (wild-type: GGT) dan kodon 13 (wild-type: GGC) di ekson 1, sementara hanya 5% yang terletak pada kodon 61 (wild type: CAA) di ekson 2. Hal tersebut secara biologis masuk akal atas dasar data biokimia dan mutasi yang ada. KRAS

dan NRASmerupakan anggota onkogenyang terkait erat pada mutasigen di kodon 12, 13, 61, 117, dan 146 merupakan hasil peningkatan protein RAS-guanosinetriphosphate (Shen dkk, 2011; Elsabah dan Adel, 2013; Douillard dkk, 2013).

Telah diterima secara luas bahwa mutasi pada gen KRAS adalah kejadian awal karsinogenesis pada kolorektal. Seperti dijelaskan oleh Vogelstein dkk, bahwa mutasi gen KRAS terjadi akibat progresi adenoma menjadi karsinoma. Beberapa penelitian menyelidiki hubungan antara mutasi KRAS dengan beberapa parameter klinikopatologi tetapi hasilnya masih menjadi kontroversi. Hal tersebut akibat adanya perbedaan etnis, lingkungan dan gaya hidup pada populasi di barat dan di China (Shen dkk, 2011).

Pada histopatologiKRAS wild type dan KRAS mutant typeterbanyak adalah

adenocarsinoma. Pada grade differentiation untuk KRAS wild type dan KRAS mutant type terbanyak adalah moderatedifferentiation(Knijn dkk, 2011; Yunxia dkk, 2010). Pada penelitian lain differentiation untuk KRAS wild type dan NRAS mutant type terbanyak pada well differentiation(Shen dkk, 2011).

2.9 Ekspresi EGFR dan jalur sinyalnya

Sejakditemukan,Epidermal growth faktor receptor (EGFR) dianggap sebagai kandidat yang baik untuk targeting therapykanker. Kanker kolorektal


(44)

22 merupakanmodel disease untuktargeting therapyEGFR karena gen EGFR

diperkuat pada kanker kolorektal dan di-overexpresipada tingkat RNA dan protein padasebagian besar tumor.Perkembangan targetantibodi monoclonal-EGFR

dimulai pada tahun 1980 dan telah disetujui 2 antibodi monoklonal yaitu cetuximab dan panitumumab. Agen ini baik sendiri maupun kombinasi dengan kemoterapi,menunjukkanpeningkatansecara keseluruhan dan perkembangansurvival yang berbeda dari yang agen sitotoksik konvensional (Dahabreh dkk, 2011). EGFR telah terbukti menjadi target klinis yang bermakna untuk antibodi monoklonal (mAbs) dengan khasiat di semua lini pengobatan metastasis KKR (Douillard dkk, 2010).

Reseptor tyrosine kinase (RTKs), seperti EGFRadalah protein transmembran dengan domain ikatan liganekstraseluler dan katalitik intraselulertyrosine kinase. Pada ikatan ligan serupa, sebagian besar merupakandimerise RTKs dan menjadi aktif melalui autofosforilasi residu tirosin intraseluler. Aktivasi hasil RTKsdiupregulasi oleh beberapa jalur sinyal seluler yang mempromosikan pertumbuhan sel, survival dan angiogenesis atau rangsangan lingkungan.Aktivasi yang tidak sesuai RTKsmenyebabkan terjadinya mutasi,overekspresi atau produksi ligan ektopik dan hal ini adalah fitur perkembangan tumor manusia yang sering terjadi dandianggap sebagai mekanisme utama dimana sel-sel kanker menghancurkan kontrol pertumbuhan normal (Dempke dan Heinemann, 2010).

EGFR adalah target terapi yang telah divalidasi secara klinis untuk beberapa jenis kankerdiantaranya kanker kolorektal, non-small-cell lung


(45)

23

cancer(NSCLC), squamous cell carcinomakepala dan leherdan kanker pankreas (Wang dkk, 2010; Yunxia dkk, 2010). Epidermalgrowth faktor (EGF) merupakan salah satu dari beberapa ligan EGFRyang menyebabkan transformasi faktorpertumbuhan, amphiregulin, epiregulin, dan heparin binding EGF. Protein adaptor hasil kompleks dimer mengaktivasi bermacam-macam jalur sinyal

downstream, seperti Ras / Raf / mitogenyang diaktifkan melalui jalur protein kinase, jalur phosphatidylinositol3-kinase / AKT dan jalur transkripsi aktivator sinyal transduser yang penting dalam menginduksi regulasi transkripsi pembelahan sel, diferensiasi, migrasi, adhesi, dan apoptosis (Wang dkk, 2010; Knijn dkk, 2011).

EGFR mengontrol diferensiasi sel, proliferasi dan angiogenesis.

EGFRdiekspresikan pada 80%kanker kolorektal. Overekspresi EGFRmerupakan prognosisburuk yangberhubungan dengan perkembangan klinis yang agresif. Pertumbuhan tumor dapat didorong oleh aktivasi jalur sinyal downstreamEGFR, seperti jalur RAS-MAPK-PI3K terlepas dari apakah EGFR diaktifkan atau diblok. Pada kanker kolorektal metastatik, EGFR menginstruksikan sel kanker untuk berkembang biak dan bermetastasis, memblokir EGFRmenghentikan sinyal ganas ini (Elsabah dan Adel, 2013).

Perubahan lain dalam mediator jalur EGFR (misalnya mutasi BRAF, PTEN, PIK3CA, dll) dapat memodifikasi respon terhadap terapi anti-EGFR. Setelah aktivasi EGFR, K-RAS diaktifkan oleh jalur downstram melalui PI3K dan


(46)

24 mediator penting dari EGFR-induced sinyal kaskade (Gambar 6) (Arrington dkk, 2012).

Gambar 2.6 Sinyal EGFR dan interaksi KRAS/BRAF(Arrington dkk, 2012).

Aktifasi mutasi pada gen KRAS, mengakibatkan aktivasi EGFR-independen

dari jalur MAP-kinasedan didapatkan dalam 40-45% dari penderita kanker kolorektal (KKR).Mutasi pada gen KRASberkorelasi dengan prognosis yang buruk karenamutasi ini menonaktifkan aktivitas GTPase endogen RASprotein dan menyebabkan RASyang terkait dengan kanker menumpuk dan aktif. Hal ini, pada gilirannya menyebabkan aktivasi PI3K, MAP kinase dan lain-lain yang menyebabkan transformasi maligna. Karena RAS adalah downstream dari EGFR, sinyal RAS yangmenyimpang seperti pada sel-sel denganmutasiK-RAS

menyebabkan disregulasi jalur RASdependen dan sinyal downstream, bahkan ketika reseptor upstreamdi-silence oleh antibodi monoklonal anti-EGFR atau


(47)

25

Gambar 2.7 KaskadeEGFR dan transduksi sinyal RAS termodulasi(Dempke dan Heinemann, 2010).

Mekanismeresistensi molekulerterhadap agen anti-EGFRdisebabkan beberapa proses umum: (1) resistensi karena aktivasi alternatifreseptor tyrosine kinaseyang melewati jalur EGFR (misalnya c-Met,IGF-1R), (2) resistensi karena peningkatan angiogenesis, (3) resistensiberdasarkan aktivasi konstitutif mediator

downstream (misalnya PTEN, K-RAS, dan lain-lain) dan(4) adanya mutasi spesifikEGFR(Dempke dan Heinemann, 2010). Mekanisme ini pertama dimulai darismall G-protein RAS, yang berhubungan dengan proteinkinase-RAFkemudian mengaktifkan mitogen-activated protein kinase (MAPK) cascade.Kedua,adanya

lipid kinase phosphatidylinositol 3-kinase yang memicu aktivasi sinyalPDK1 - AKT(Benvenuti dkk, 2007).

2.10 EGFR dan RAS Onkogen

Stimulasi reseptor faktor pertumbuhan, seperti EGFR menyebabkan aktivasi dari beberapaperaturanmolekul, termasuk protein RAS. EGFR

mengaktifkan RAS dengan merangsang ikatan dengan GTP. RAS, di fase aktifterikat dengan GTP, mengikat beberapa proteintargetutama,sehingga


(48)

26 mengaktifasibeberapa jalur downstream, termasuk yang dimediasi oleh MAP kinase, PI3K dan lain-lain (Dempke dan Heinemann, 2010).

Saat ini onkogen KRAS adalah biomarker molekular yang paling relavan dalam memprediksi target terapi EGFR pada kanker kolorektal (Knijn dkk, 2011).

KRAS mutasi adalah prediktor yang kuat dalam memprediksi penurunan overall survival, progression-free survival dan angka kegagalan terapi. Bukti secara kuantitas menunjukkan bahwa keuntungan target terapi anti-EGFR pada kanker kolorektal terbatas pada penderita tanpa mutasi KRAS(Dahabreh dkk, 2011). Penderita KKR metastasis dengan tumor KRAS mutasi resisten terhadap terapi

anti-EGFR antibody dengan menunjukkan rendahnya overall response rate (ORR), progression-free survival (PFS) dan overall survival (OS) dibandingkan penderita dengan tumor KRASwild type (Knijn dkk, 2011).

Pengujian mutasi KRAS ekson 2 secara luas telah diterapkan untuk seleksi penderita dengan KKRmetastasis wild typepada pengobatan anti-EGFR. Tingkat respons mencapai 40-60% untuk pengobatan antiEGFR. Pada tumor KRAS ekson 2 wild type, telah memberikan prediksipenilaiantambahan, terutama dalam RAS-RAF-MAPK dan jalur PI3K-AKT-mTOR (Therkildsen dkk, 2014). Pengujian mutasiRAS (KRAS ekson 3 dan 4 dan NRAS ekson 2, 3 dan 4, di samping KRAS

ekson 2 yang saat ini dilakukan) harus dilakukan sebelum pemberian anti-EGFR mAb dan dalammeta-analisis saat ini dapat menilai dampak dari perubahanoverall response rate (ORR), progression-free survival (PFS) dan overall survival (OS)


(49)

27

Monoclonal antibody cetuximab dan pantimumab telah dikembangkan sebagai target terapi EGFR. Peningkatan angka respon, perpanjangan waktu mutasi dan waktu survival telah ditunjukkan pada pemberian EGFRblocking antibodies (Elsabah dan Adel 2013). Anti-EGFR antibody monoclonal cetuximab secara klinis telah menunjukkan keuntungan dan telah digunakan secara luas pada kanker kolorektal metastasis. Bermacam usaha telah dibuat untuk mengidentifikasi biomarker yang akan mengoptimalisasikan seleksi penderita untuk memaksimalkan index terapi penderita kanker kolorektal metastasis yang menggunakan pengobatan cetuximab dan anti-EGFR lain (Baker dkk, 2011).

Cetuximab telah menunjukkan peningkatan efek regimen standar first-line

kemoterapi pada beberapa kanker secara umum, termasuk kanker kolorektal metastasis (Cutsem dkk, 2011). Cetuximab adalah sebuah chimera anti-EGFR monoclonal antibody (IgG1 antibody) yang memblokade EGFR dan terbukti efektif pada pengobatan kanker kolorektal pada semua lini dan telah disetujui di Amerika Serikat sebagai agen tunggal pada penderita yang resisten terhadap kemoterapi berbasis irinocetan dan oxiloplatin atau pada kemoterapi basis kombinasi irinocetan sehingga telah digunakan pada pengobatan kanker kolorektal metastasis. Cetuximab tidak direkomendasikan pada penderita dengan

KRAS mutasi pada kodon 12 atau 13. Cetuximab disetujui di eropa sebagai kemoterapi agen tunggal atau kombinasi pada penderita yang kebal dengan pengobatan kanker kolorektal metastasis dengan KRASwild type, pada kombinasi dengan radioterapi untuk lokally advanced SCCHN ( squamous cell carcinoma of the head and neck) dan pada kombinasi dengan kemoterapi basis platinum untuk


(50)

28

SCCHN yang rekuren atau metastasis (Wang dkk, 2010; Baker dkk, 2011; Pentheroudakis dkk, 2013; Therkildsen dkk, 2014).

Ada hubungan yang positif antara mutasi KRAS p.G13D dengan pengobatan cetuximab yang menunjukkan overall and progression-free survival

yang lebih baik. Peningkatan survival pada penderita dengan tumor p.G13D yang telah mengalami metastasis pada grup monoterapi cetuximab dapat digunakan untuk menperkirakan efek kemoterapi. Penderita dengan tumor mutasi p.G13D yang diterapi dengan regimen kombinasi mempunyai angka survival keseluruhan yang lebih baik daripada penderita dengan mutasi KRAS (Rock dkk, 2010). Oleh karena itu European Medicines Agency dan the Food and Drug Administration

membatasi penggunaan anti-EGFR antibody pada penderita dengan KKR metastasis dengan tumor KRASwild type (Knijn dkk, 2011).

Beberapa pembatasan metaanalisis diambil sebagai pertimbangan: pertama, heterogenitas pada populasi penelitian adalah masalah yang potensial. Mutasi pada gen KRAS bervariasi berdasarkan asal geografis penderita, tipe tumor, atau ketika ada predisposisi yang mendasari perkembangan kanker kolorektal seperti

colitis ulcerative. Kedua, penggunaan staging yang berbeda atau grup yang kecil dari stadium dapat menyebabkan heterogenitas (Ren dkk, 2012).


(1)

cancer(NSCLC), squamous cell carcinomakepala dan leherdan kanker pankreas (Wang dkk, 2010; Yunxia dkk, 2010). Epidermalgrowth faktor (EGF) merupakan salah satu dari beberapa ligan EGFRyang menyebabkan transformasi faktorpertumbuhan, amphiregulin, epiregulin, dan heparin binding EGF. Protein adaptor hasil kompleks dimer mengaktivasi bermacam-macam jalur sinyal downstream, seperti Ras / Raf / mitogenyang diaktifkan melalui jalur protein kinase, jalur phosphatidylinositol3-kinase / AKT dan jalur transkripsi aktivator sinyal transduser yang penting dalam menginduksi regulasi transkripsi pembelahan sel, diferensiasi, migrasi, adhesi, dan apoptosis (Wang dkk, 2010; Knijn dkk, 2011).

EGFR mengontrol diferensiasi sel, proliferasi dan angiogenesis. EGFRdiekspresikan pada 80%kanker kolorektal. Overekspresi EGFRmerupakan prognosisburuk yangberhubungan dengan perkembangan klinis yang agresif. Pertumbuhan tumor dapat didorong oleh aktivasi jalur sinyal downstreamEGFR, seperti jalur RAS-MAPK-PI3K terlepas dari apakah EGFR diaktifkan atau diblok. Pada kanker kolorektal metastatik, EGFR menginstruksikan sel kanker untuk berkembang biak dan bermetastasis, memblokir EGFRmenghentikan sinyal ganas ini (Elsabah dan Adel, 2013).

Perubahan lain dalam mediator jalur EGFR (misalnya mutasi BRAF, PTEN, PIK3CA, dll) dapat memodifikasi respon terhadap terapi anti-EGFR. Setelah aktivasi EGFR, K-RAS diaktifkan oleh jalur downstram melalui PI3K dan extracellular signal regulated kinase (ERK). Dengan demikian, K-RAS adalah


(2)

mediator penting dari EGFR-induced sinyal kaskade (Gambar 6) (Arrington dkk, 2012).

Gambar 2.6 Sinyal EGFR dan interaksi KRAS/BRAF(Arrington dkk, 2012).

Aktifasi mutasi pada gen KRAS, mengakibatkan aktivasi EGFR-independen dari jalur MAP-kinasedan didapatkan dalam 40-45% dari penderita kanker kolorektal (KKR).Mutasi pada gen KRASberkorelasi dengan prognosis yang buruk karenamutasi ini menonaktifkan aktivitas GTPase endogen RASprotein dan menyebabkan RASyang terkait dengan kanker menumpuk dan aktif. Hal ini, pada gilirannya menyebabkan aktivasi PI3K, MAP kinase dan lain-lain yang menyebabkan transformasi maligna. Karena RAS adalah downstream dari EGFR, sinyal RAS yangmenyimpang seperti pada sel-sel denganmutasiK-RAS menyebabkan disregulasi jalur RASdependen dan sinyal downstream, bahkan ketika reseptor upstreamdi-silence oleh antibodi monoklonal anti-EGFR atau RTKs (gambar 7) (Dempke dan Heinemann, 2010).


(3)

Gambar 2.7 KaskadeEGFR dan transduksi sinyal RAS termodulasi(Dempke dan Heinemann, 2010).

Mekanismeresistensi molekulerterhadap agen anti-EGFRdisebabkan beberapa proses umum: (1) resistensi karena aktivasi alternatifreseptor tyrosine kinaseyang melewati jalur EGFR (misalnya c-Met,IGF-1R), (2) resistensi karena peningkatan angiogenesis, (3) resistensiberdasarkan aktivasi konstitutif mediator downstream (misalnya PTEN, K-RAS, dan lain-lain) dan(4) adanya mutasi spesifikEGFR(Dempke dan Heinemann, 2010). Mekanisme ini pertama dimulai darismall G-protein RAS, yang berhubungan dengan proteinkinase-RAFkemudian mengaktifkan mitogen-activated protein kinase (MAPK) cascade.Kedua,adanya lipid kinase phosphatidylinositol 3-kinase yang memicu aktivasi sinyalPDK1 - AKT(Benvenuti dkk, 2007).

2.10 EGFR dan RAS Onkogen

Stimulasi reseptor faktor pertumbuhan, seperti EGFR menyebabkan aktivasi dari beberapaperaturanmolekul, termasuk protein RAS. EGFR mengaktifkan RAS dengan merangsang ikatan dengan GTP. RAS, di fase aktifterikat dengan GTP, mengikat beberapa proteintargetutama,sehingga


(4)

mengaktifasibeberapa jalur downstream, termasuk yang dimediasi oleh MAP kinase, PI3K dan lain-lain (Dempke dan Heinemann, 2010).

Saat ini onkogen KRAS adalah biomarker molekular yang paling relavan dalam memprediksi target terapi EGFR pada kanker kolorektal (Knijn dkk, 2011). KRAS mutasi adalah prediktor yang kuat dalam memprediksi penurunan overall survival, progression-free survival dan angka kegagalan terapi. Bukti secara kuantitas menunjukkan bahwa keuntungan target terapi anti-EGFR pada kanker kolorektal terbatas pada penderita tanpa mutasi KRAS(Dahabreh dkk, 2011). Penderita KKR metastasis dengan tumor KRAS mutasi resisten terhadap terapi anti-EGFR antibody dengan menunjukkan rendahnya overall response rate (ORR), progression-free survival (PFS) dan overall survival (OS) dibandingkan penderita dengan tumor KRASwild type (Knijn dkk, 2011).

Pengujian mutasi KRAS ekson 2 secara luas telah diterapkan untuk seleksi penderita dengan KKRmetastasis wild typepada pengobatan anti-EGFR. Tingkat respons mencapai 40-60% untuk pengobatan antiEGFR. Pada tumor KRAS ekson 2 wild type, telah memberikan prediksipenilaiantambahan, terutama dalam RAS-RAF-MAPK dan jalur PI3K-AKT-mTOR (Therkildsen dkk, 2014). Pengujian mutasiRAS (KRAS ekson 3 dan 4 dan NRAS ekson 2, 3 dan 4, di samping KRAS ekson 2 yang saat ini dilakukan) harus dilakukan sebelum pemberian anti-EGFR mAb dan dalammeta-analisis saat ini dapat menilai dampak dari perubahanoverall response rate (ORR), progression-free survival (PFS) dan overall survival (OS) (Sorich dkk, 2014; Therkildsen dkk, 2014).


(5)

Monoclonal antibody cetuximab dan pantimumab telah dikembangkan sebagai target terapi EGFR. Peningkatan angka respon, perpanjangan waktu mutasi dan waktu survival telah ditunjukkan pada pemberian EGFRblocking antibodies (Elsabah dan Adel 2013). Anti-EGFR antibody monoclonal cetuximab secara klinis telah menunjukkan keuntungan dan telah digunakan secara luas pada kanker kolorektal metastasis. Bermacam usaha telah dibuat untuk mengidentifikasi biomarker yang akan mengoptimalisasikan seleksi penderita untuk memaksimalkan index terapi penderita kanker kolorektal metastasis yang menggunakan pengobatan cetuximab dan anti-EGFR lain (Baker dkk, 2011).

Cetuximab telah menunjukkan peningkatan efek regimen standar first-line kemoterapi pada beberapa kanker secara umum, termasuk kanker kolorektal metastasis (Cutsem dkk, 2011). Cetuximab adalah sebuah chimera anti-EGFR monoclonal antibody (IgG1 antibody) yang memblokade EGFR dan terbukti efektif pada pengobatan kanker kolorektal pada semua lini dan telah disetujui di Amerika Serikat sebagai agen tunggal pada penderita yang resisten terhadap kemoterapi berbasis irinocetan dan oxiloplatin atau pada kemoterapi basis kombinasi irinocetan sehingga telah digunakan pada pengobatan kanker kolorektal metastasis. Cetuximab tidak direkomendasikan pada penderita dengan KRAS mutasi pada kodon 12 atau 13. Cetuximab disetujui di eropa sebagai kemoterapi agen tunggal atau kombinasi pada penderita yang kebal dengan pengobatan kanker kolorektal metastasis dengan KRASwild type, pada kombinasi dengan radioterapi untuk lokally advanced SCCHN ( squamous cell carcinoma of the head and neck) dan pada kombinasi dengan kemoterapi basis platinum untuk


(6)

SCCHN yang rekuren atau metastasis (Wang dkk, 2010; Baker dkk, 2011; Pentheroudakis dkk, 2013; Therkildsen dkk, 2014).

Ada hubungan yang positif antara mutasi KRAS p.G13D dengan pengobatan cetuximab yang menunjukkan overall and progression-free survival yang lebih baik. Peningkatan survival pada penderita dengan tumor p.G13D yang telah mengalami metastasis pada grup monoterapi cetuximab dapat digunakan untuk menperkirakan efek kemoterapi. Penderita dengan tumor mutasi p.G13D yang diterapi dengan regimen kombinasi mempunyai angka survival keseluruhan yang lebih baik daripada penderita dengan mutasi KRAS (Rock dkk, 2010). Oleh karena itu European Medicines Agency dan the Food and Drug Administration membatasi penggunaan anti-EGFR antibody pada penderita dengan KKR metastasis dengan tumor KRASwild type (Knijn dkk, 2011).

Beberapa pembatasan metaanalisis diambil sebagai pertimbangan: pertama, heterogenitas pada populasi penelitian adalah masalah yang potensial. Mutasi pada gen KRAS bervariasi berdasarkan asal geografis penderita, tipe tumor, atau ketika ada predisposisi yang mendasari perkembangan kanker kolorektal seperti colitis ulcerative. Kedua, penggunaan staging yang berbeda atau grup yang kecil dari stadium dapat menyebabkan heterogenitas (Ren dkk, 2012).