Pengaruh Terapi Reminiscence terhadap Stres Lansia di Banjar Luwus Baturiti Tabanan.

(1)

SKRIPSI

PENGARUH TERAPI

REMINISCENCE

TERHADAP

STRES LANSIA DI BANJAR LUWUS

BATURITI TABANAN

OLEH:

NI PUTU NARISKA RAHAYUNI

NIM. 1102105030

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(2)

i

PENGARUH TERAPI

REMINISCENCE

TERHADAP

STRES LANSIA DI BANJAR LUWUS

BATURITI TABANAN

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan

OLEH:

NI PUTU NARISKA RAHAYUNI

NIM. 1102105030

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015


(3)

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Ni Putu Nariska Rahayuni NIM : 1102105030

Fakultas : Kedokteran Universitas Udayana Program Studi : Ilmu Keperawatan

menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri. Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Denpasar, Juni 2015 Yang membuat pernyataan,

(Ni Putu Nariska Rahayuni) Materai 6000


(4)

v

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul

Pengaruh Terapi Reminiscence Terhadap Stres Lansia di Banjar Luwus

Baturiti Tabanan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis berikan kepada:

1. Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT (K), M. Kes, sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah memberikan penulis kesempatan menuntut ilmu di PSIK Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

2. Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS., AIF, sebagai ketua Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang memberikan pengarahan dalam proses pendidikan.

3. Ns. Putu Ayu Sani Utami, M. Kep., Sp. Kep. Kom, sebagai pembimbing utama yang telah memberikan bantuan dan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.

4. Ns. Kadek Eka Swedarma, S. Kep., M.Kes., sebagai pembimbing pendamping yang telah memberikan bantuan dan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.

5. Kepala Desa Luwus dan Kelian Banjar Luwus yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian di Banjar Luwus yang dipimpin.


(5)

vi

6. Orang tua dan rekan-rekan seperjuangan PSIK A 2011 (Achillesextavortouz), atas dukungan dalam penulisan skripsi ini.

7. Seluruh pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis membuka diri untuk menerima segala saran dan masukan yang membangun untuk pengembangan penelitian selanjutnya. Akhirnya, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan.

Denpasar, Juni 2015


(6)

viii

ABSTRACT

Rahayuni, Ni Putu Nariska. 2015. Effect of Reminiscence Therapy to Stress on Elderly in Banjar Luwus Baturiti Tabanan. Undergraduate Thesis, Departement of Nursing, Faculty of Medicine, Udayana University Denpasar. Advisers (1) Ns. Putu Ayu Sani Utami, M.Kep., Sp.Kep.Kom; (2) Ns. Kadek Eka Swedarma, S.Kep., M.Kes.

Stress in the elderly are feeling depressed, anxious, and tense caused by stressors such as physical, mental, and social changes that affects their emotional status and cause diseases. Stress management in elderly can be done by reminiscence therapy that use memory of the past to maintain elderly’s mental health. This study aims to determine the effect of reminiscence therapy to stress on elderly with a kind of quasi-experimental research that was nonequivalent control group design. The samples consisted of 34 elderly were selected by purposive sampling, divided into 17 elderly in treatment group and 17 elderly in control group, and data collection was done using the Stress Assessment Questionnaire (SAQ). Test analysis result of Independent Sample T-Test with a significance level of 95% was concluded there are significant effect of reminiscence therapy to stress in the elderly. Activities by recalled memories of the past can help elderly people to interact and express their feeling to family and friends so that the elderly are able to adapt to stress.


(7)

vii

ABSTRAK

Rahayuni, Ni Putu Nariska. 2015. Pengaruh Terapi Reminiscence terhadap Stres Lansia di Banjar Luwus Baturiti Tabanan. Skripsi, Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana Denpasar. Pembimbing (1) Ns. Putu Ayu Sani Utami, M.Kep., Sp.Kep.Kom; (2) Ns. Kadek Eka Swedarma, S.Kep., M.Kes.

Stres pada lansia adalah perasaan tertekan, cemas dan tegang yang diakibatkan oleh stresor berupa perubahan fisik, mental, dan sosial lansia yang mempengaruhi status emosional dan menimbulkan penyakit. Pengelolaan stres lansia dapat dilakukan dengan terapi reminiscence yang menggunakan memori dan kenangan masa lalu untuk menjaga kesehatan mental lansia. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh terapi reminiscence terhadap stres lansia dengan jenis penelitian quasi-experimental yaitu nonequivalent control group design. Sampel terdiri dari 34 lansia yang dipilih secara purposive sampling, dibagi menjadi 17 lansia kelompok perlakuan dan 17 lansia kelompok kontrol dan pengumpulan data dilakukan menggunakan Stress Assessment Questionnaire

(SAQ). Hasil analisis uji independent sample t-test dengan tingkat kemaknaan 95% menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan terapi reminiscence terhadap stres pada lansia. Kegiatan bercerita kenangan masa lalu dapat membantu lansia berinteraksi dan mengungkapkan perasaannya kepada keluarga dan teman sehingga lansia mampu beradaptasi terhadap stres.


(8)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1

1.1Rumusan Masalah ... 7

1.2Tujuan Penelitian ... 7

1.3Manfaat Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1Konsep Lansia ... 10

2.2Stres Pada Lansia ... 16

2.3Terapi Reminiscence ... 26

2.4Hubungan Terapi Reminiscence Dengan Stres Lansia... 33

BAB III KERANGKA KONSEP 3.1Kerangka Konsep ... 37

3.2Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel ... 38

3.3Hipotesis ... 39

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1Jenis Penelitian ... 40

4.2Kerangka Kerja ... 41

4.3Tempat dan Waktu Penelitian ... 42


(9)

x

4.5Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 44 4.6Etika Penelitian ... 50 4.7Pengolahan dan Analisa data ... 52

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian ... 56 5.2 Pembahasan Hasil Penelitian ... 67 5.3 Keterbatasan Penelitian ... 93

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan ... 95 6.2 Saran ... 97

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(10)

xi

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 39 Tabel 5.1 Distribusi frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan

Jenis Kelamin ... 58 Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan

Kategori Usia ... 58 Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan

Status Perkawinan ... 59 Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan

Tipe Keluarga ... 59 Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan

Penyakit yang Diderita ... 60 Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Responden Kelompok Perlakuan

Berdasarkan Kategori Stres Sebelum dan Setelah Terapi

Reminiscence ... 61 Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Responden Kelompok Kontrol

Berdasarkan Kategori Stres Sebelum dan Setelah Terapi

Reminiscence ... 62 Tabel 5.8 Distribusi Perbedaan Stres Sebelum dan Setelah Terapi

Reminiscence pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 63 Tabel 5.9 Hasil Uji Normalitas Data Kelompok Perlakuan dan

Kelompok Kontrol ... 64 Tabel 5.10 Hasil Uji Paired Samples T-Test Kelompok Perlakuan dan

Kelompok Kontrol ... 64 Tabel 5.11 Hasil Uji Normalitas Data Perubahan Stres

Sebelum-Setelah Terapi Reminiscence... 66 Tabel 5.12 Hasil Uji Independent Sample T-Test ... 66


(11)

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian……….. 37 Gambar 4.1 Desain Penelitian ………... 40 Gambar 4.2 Kerangka Kerja Penelitian ……… . 41


(12)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Jadwal Penelitian Lampiran 2 : Penjelasan Penelitian

Lampiran 3 : Persetujuan Menjadi Responden Lampiran 4 : Instrumen Pengumpulan Data Lampiran 5 : Modul Terapi Reminiscence

Lampiran 6 : Master Tabel

Lampiran 7 : Hasil Uji Normalitas Data Skor Stres Pre-test dan Post-test

Lampiran 8 : Hasil Uji Normalitas Data Perubahan Skor Stres

Lampiran 9 : Hasil Uji Analisis Paired Sample T-Test Kelompok Perlakuan Lampiran 10 : Hasil Uji Analisis Paired Sample T-Test Kelompok Kontrol Lampiran 11 : Hasil Uji Analisis Independent Sample T-Test

Lampiran 12 : Surat Permohonan Ijin Studi Pendahuluan Lampiran 13 : Surat Permohonan Ijin Penelitian

Lampiran 14 : Surat Rekomendasi Penelitian dari Badan Penanaman Modal dan Perijinan Provinsi Bali

Lampiran 15 : Surat Ijin Penelitian dari Badan Kebangpol Kabupaten Tabanan Lampiran 16 : Surat Rekomendasi Penelitian dari Kecamatan Baturiti

Lampiran 17 : Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian Lampiran 18 : Dokumentasi Penelitian

Lampiran 19 : Anggaran Dana Penelitian Lampiran 20 : Lembar Konsultasi


(13)

xiv

DAFTAR SINGKATAN

ACTH : Adrenocorticotropin Hormone

APAA : Anxiety and Depression Association of America

BMR : Basal Metabolic Rate

BPS : Badan Pusat Statistik

COIMS : Council for International Organizations of Medical Sciences

DASS : Depression Anxiety Stress Scale

DM : Diabetes Mellitus

FSH : Follicle Stimulating Hormone

GDS : Geriatric Depression Scale

Lansia : Lanjut Usia

NIC : Nursing Interventions Classification

Penkes : Pendidikan Kesehatan PSTW : Panti Sosial Tresna Werdha SAQ : Stress Assessment Questionnaire

Susenas : Survei Sosial Ekonomi Nasional UPT : Unit Pelayanan Terpadu

SD : Sekolah Dasar UHH : Usia Harapan Hidup WHO : World Health Organization


(14)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keberhasilan pembangunan di berbagai bidang khususnya di bidang kesehatan, pendidikan, dan pengetahuan telah membawa kemajuan salah satunya yaitu meningkatnya usia harapan hidup (UHH) penduduk. Hasil observasi kesehatan global dari World Health Organization (WHO), pada tahun 2012 harapan hidup waktu lahir untuk kedua jenis kelamin secara global adalah 70 tahun. Peningkatan UHH juga terjadi di Indonesia. Dalam kurun waktu 5 tahun telah terjadi kenaikan UHH dari 68,6 tahun pada tahun 2004 menjadi 69 tahun pada tahun 2008 dan berdasarkan data statistik WHO, tahun 2012 UHH penduduk Indonesia yaitu 69 tahun untuk laki-laki dan 73 tahun untuk perempuan. Meningkatnya UHH penduduk tersebut akan menyebabkan jumlah penduduk lanjut usia meningkat dari tahun ke tahun (WHO, 2012; Menegpp, 2011).

Lanjut usia (lansia) menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Jumlah lansia di Indonesia menurut data dari Badan Pusat Statitik (BPS) yaitu sebesar 16.522.311 jiwa pada tahun 2004, meningkat menjadi 19.502.355 jiwa pada tahun 2008 (8,55% dari total penduduk sebesar 228.018.900), dan pada tahun 2020 diperkirakan jumlah lansia sekitar 28 juta jiwa (Martono, 2011). Provinsi Bali termasuk dalam lima besar provinsi dengan persentase lansia terbesar di Indonesia. Menurut hasil Survei Sosial Ekonomi


(15)

2

Nasional oleh Badan Pusat Statistik (2012) yaitu 9,79% dengan jumlah lansia di provinsi Bali mencapai 280.826 jiwa. Tiga besar kabupaten dengan jumlah lansia terbanyak berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Bali tahun 2013 yaitu kabupaten Karangasem sebanyak 45.269 jiwa (11,19%), kabupaten Gianyar 50.082 jiwa (10,30%), dan kabupaten dengan jumlah lansia tertinggi yaitu kabupaten Tabanan yang mencapai 62.202 jiwa (14,44%). Salah satu wilayah di Tabanan dengan jumlah penduduk lansia yang cukup tinggi adalah Banjar Luwus yaitu mencapai 95 lansia. Peningkatan jumlah lansia apabila tidak mendapatkan perhatian yang serius dari berbagai pihak, tentunya akan berdampak pada meningkatnya permasalahan khususnya terkait penuaan dan kesehatan lansia.

Penuaan merupakan suatu proses alami yang tidak dapat dihindari, berjalan terus menerus, dan berkesinambungan. Proses penuaan menyangkut terjadinya berbagai perubahan yang akan berdampak pada penurunan kondisi fisik, mental, psikososial, perubahan yang berkaitan dengan pekerjaan dan peran sosial lansia. Lansia dapat mengalami penurunan kemandirian lansia oleh karena keterbatasan mobilitas, kelemahan, timbulnya masalah mental atau fisik, dan penurunan status sosial ekonomi oleh karena pensiun, atau mengalami kecacatan (WHO, 2013). Keadaan tersebut cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lansia (Thong, 2011). Salah satu masalah kesehatan jiwa yang dapat dialami lansia adalah stres.


(16)

3

Stres merupakan realita kehidupan sehari-hari yang tidak dapat dihindari. Stres secara umum adalah perasaan tertekan, cemas dan tegang (Nasution, 2011). Tingkat stres pada lansia berarti pula tinggi rendahnya tekanan yang dirasakan atau dialami oleh lansia sebagai akibat dari stresor berupa perubahan-perubahan baik fisik, mental, maupun sosial dalam kehidupan yang dialami lansia (Indriana, 2010). Putri (2012) menyatakan, lansia yang tinggal dirumah terkadang akan merasa bosan dengan kegiatan sehari-hari yang mereka lakukan. Terlebih lagi jika terdapat masalah dengan anggota keluarga sehingga hal tersebut dapat membuat lansia cepat marah dan sulit tidur. Hal tersebut merupakan gejala awal timbulnya stres pada lansia (Yosep & Sutini, 2009).

Potter & Perry (2005) menjelaskan bahwa stres dapat menimbulkan tuntutan yang besar pada seseorang, dan jika orang tersebut tidak dapat mengadaptasi, maka dapat terjadi penyakit. Stres dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah yang apabila menetap akan menjadi hipertensi, peningkatan kadar gula darah serta peningkatan kadar kolesterol (Iskandar, 2010). Menurut Hardjana (1994, dalam Puspasari, 2009), stres juga berdampak terhadap kondisi emosional sehingga seseorang akan mudah gelisah, mood atau suasana hati yang sering berubah-ubah, mudah/cepat marah, mudah tersinggung dan stres yang berkepanjangan dapat menyebabkan seseorang menjadi cemas dan depresi. Untuk menghindari dampak negatif dari stres tersebut, maka diperlukan adanya suatu pengelolaan stres yang baik.


(17)

4

Pengelolaan stres dapat dilakukan dengan terapi farmakologi yang meliputi penggunaan obat cemas (anxiolytic) dan anti depresi (anti depressant), serta terapi nonfarmakologi (Yulianti, 2004; Isnaeni, 2010; Devi, 2012). Namun, penggunaan terapi farmakologi seperti anxiolytic dan anti depressant terkadang akan menimbulkan efek samping reaksi yang merugikan seperti pusing, sakit kepala, mual, mulut kering, konstipasi, retensi urin atau sulit berkemih, jalan nafas kering, sering agitasi, takikardi, dan gangguan penglihatan (Videbeck, 2008). Sehingga, pendekatan dengan terapi nonfarmakologi kini sering digunakan dalam pengelolaan stres.

Terapi nonfarmakologis yang dapat dilakukan untuk mengurangi stres yaitu relaksasi, pendekatan perilaku dan kognitif. Terapi dengan pendekatan perilaku-kognitif salah satunya yaitu terapi Reminiscence atau terapi kenangan. Terapi Reminiscence merupakan salah satu intervensi yang menggunakan memori untuk memelihara kesehatan mental dan meningkatkan kualitas hidup (Muhlbauer, Chrisler, Denmark, 2014; Chen, Li, Li, 2012). Dalam kegiatan terapi ini, terapis memfasilitasi lansia untuk mengumpulkan kembali memori-memori masa lalu yang menyenangkan sejak masa anak, remaja dan dewasa serta hubungan klien dengan keluarga, kemudian dilakukan sharing dengan orang lain (Syarniah, 2010).

Kegiatan mengenangmerupakan aktivitas yang alami bagi semua orang di segala usia. Sejalan dengan bertambahnya usia, kecenderungan untuk mengenang meningkat dan semakin penting (Hegner, 2003). Menurut Fontaine dan Fletcher


(18)

5

(2003, dalam Banon 2011), terapi Reminiscence bertujuan untuk meningkatkan harga diri, membantu individu mencapai kesadaran diri, memahami diri, beradaptasi terhadap stres, meningkatkan kepuasan hidup dan melihat dirinya dalam konteks sejarah dan budaya. Menurut Brody (2006), terapi Reminiscence

yang sederhana dapat menjadi suatu mekanisme koping untuk menghadapi stres. Penelitian yang dilakukan oleh Poorneselvan & Steefel (2014) terkait efek

Individual Reminiscence Therapy terhadap harga diri dan depresi pada 20 lansia di India, menyebutkan bahwa terapi Reminiscence dapat meningkatkan harga diri dan menurunkan tingkat depresi lansia. Penelitian lain dilakukan oleh Chou, Lan, dan Chao (2008) terkait penggunaan Individual Reminiscence Therapy untuk menurunkan kecemasan pada lansia wanita dengan dementia, dimana setelah diberikan terapi reminiscence, klien terlihat lebih menunjukkan ekspresi bahagia di wajahnya, bersedia untuk mengekspresikan dirinya sendiri secara lebih lisan, dan memiliki lebih banyak interaksi dengan orang lain. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbaikan pada emosi negatif dan kecemasan klien.

Terapi Reminiscence memberikan hasil yang signifikan terhadap peningkatan harga diri, penurunan kondisi depresi dan penurunan tingkat kecemasan pada lansia. Holahan & Moose dalam Astri (2012) menjelaskan, harga diri (self-esteem) merupakan suatu hal yang sangat berpengaruh pada risiko munculnya stres. Individu dengan harga diri yang tergolong rendah biasanya mudah putus asa dan memiliki koping yang terbatas, sehingga akan lebih mudah mengalami stres. Stres juga berkaitan dengan timbulnya kecemasan dan depresi,


(19)

6

dimana kedua kondisi tersebut dapat terjadi akibat paparan stres secara jangka panjang dan melebihi kemampuan (coping ability) seseorang untuk mengatasi stres tersebut (Astri, 2012; Indriana, 2010).

Studi pendahuluan dilakukan pada tanggal 26 Januari 2015 di Banjar Luwus terhadap 10 lansia dengan menggunakan kuesioner DASS (Depression Anxiety Stress Scale), dan diperoleh masalah psikologis lansia sebagian besar termasuk dalam kategori stres yaitu pada empat orang lansia dan hanya satu orang yang mengalami kecemasan. Lansia tersebut mengalami penurunan kondisi fisik, penurunan kemampuan untuk bekerja, dan hal ini berdampak pula pada penurunan status sosial ekonomi lansia. Selain itu, adanya masalah dalam keluarga juga dapat menjadi pemicu timbulnya stres pada lansia. Hasil wawancara terkait upaya untuk mengurangi stres, lansia biasanya bertemu dan mengobrol dengan teman sesama lansia, berjalan-jalan dan pergi ke ladang untuk mengalihkan pikiran yang mengganggu, dan sekitar 30% lansia biasanya hanya tinggal dirumah dan tidak memiliki kegiatan khusus untuk mengurangi stres. Terapi Reminiscence atau kegiatan menceritakan kembali kenangan-kenangan yang menyenangkan dan mengesankan belum pernah dilakukan lansia khususnya sebagai upaya untuk mengurangi stres. Hal inilah yang membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terkait “Pengaruh Terapi Reminiscence Terhadap Stres Pada Lansia di Banjar Luwus Baturiti Tabanan”


(20)

7

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dari itu masalah yang dapat peneliti rumuskan adalah “Adakah Pengaruh Terapi Reminiscence terhadap Stres Lansia di Banjar Luwus Baturiti Tabanan?”.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh Terapi Reminiscence terhadap stres pada lansia di Banjar Luwus Baturiti Tabanan.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Mengetahui karakteristik berdasarkan usia, jenis kelamin, status perkawinan, tipe keluarga, dan penyakit yang diderita lansia di Banjar Luwus Baturiti Tabanan.

b. Mengetahui stres lansia sebelum dan setelah terapi reminiscence pada kelompok perlakuan di Banjar Luwus Baturiti Tabanan.

c. Mengetahui stres lansia sebelum dan setelah terapi reminiscence pada kelompok kontrol di Banjar Luwus Baturiti Tabanan.

d. Menganalisis pengaruh stres lansia sebelum dan setelah dilakukan intervensi terapi Reminiscence pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol di Banjar Luwus Baturiti Tabanan.

e. Menganalisis perbedaan stres sebelum-setelah terapi reminiscence pada kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol di Banjar Luwus Baturiti Tabanan.


(21)

8

1.4 Manfaat Penelitian

Peneliti berharap penelitian ini dapat memberikan manfaat. Manfaat yang peneliti harapkan yaitu meliputi manfaat teoritis dan praktis.

1.4.1 Manfaat Teoritis

Adapun manfaat teoritis yang diperoleh dari penelitian ini, yaitu:

a. Sebagai informasi ilmiah dalam bidang keperawatan khususnya keperawatan gerontik dan keperawatan jiwa yaitu perawatan pada lansia terutama yang mengalami stres dengan menggunakan pendekatan terapi nonfarmakologis salah satunya yaitu terapi Reminiscence.

b. Sebagai dasar acuan bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian lebih lanjut seperti melakukan kombinasi terapi Reminiscence dengan terapi lainnya baik farmakologis maupun nonfarmakologis untuk mengurangi stres dan menangani masalah kesehatan lainnya.

1.4.2 Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis yang diperoleh dari penelitian ini, yaitu:

a. Membantu lansia agar bisa menghadapi dan mengatasi perubahan, masalah, maupun kesulitan yang dapat memicu timbulnya stres yaitu dengan melakukan introspeksi dan melihat kembali kenangan terkait kehidupan-kehidupan yang sudah berhasil dilewati sebelumnya melalui terapi Reminiscence.


(22)

9

b. Sebagai bahan masukan bagi perawat, petugas kesehatan, maupun orang terdekat lansia agar menggunakan terapi Reminiscence sebagai salah satu terapi penunjang untuk mengatasi stres pada lansia.


(23)

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Lansia 2.1.1 Pengertian Lansia

Menjadi tua merupakan suatu proses yang alamiah, dimana hal tersebut berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaitu tahap anak-anak, dewasa, dan tua. Ketiga tahap ini memiliki perbedaan baik secara biologis maupun psikologis (Nugroho, 2008). Pudjiastuti (2003) dalam Efendi & Makhfudli (2009) menyatakan bahwa lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan. Menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 Pasal 1 Ayat 2 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, yang dimaksud dengan lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.

Berdasarkan beberapa penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas yang telah memasuki tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres fisiologis dan lingkungan.

2.1.1 Klasifikasi Lansia

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal 1 Ayat 2 menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas. World Health Organization (WHO) membagi usia lanjut menjadi


(24)

11

empat kriteria meliputi, usia pertengahan (middle age) ialah usia 45-59 tahun, lansia (elderly) ialah usia 60-74 tahun, lansia tua (old) ialah usia 75-90 tahun, usia sangat tua (very old) ialah di atas 90 tahun (Efendi & Makhfudli, 2009).

2.1.2 Perubahan Akibat Proses Menua

Menua merupakan suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan dari jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang di derita (Ismail & Santoso, 2009). Perubahan-perubahan yang terjadi meliputi perubahan fisik, perubahan mental dan psikologis, perubahan sosial, dan spiritual.

a. Perubahan Fisik

Perubahan fisik yang terjadi pada lansia menurut Nugroho (2008), yaitu: 1) Sistem Persarafan

Perubahan pada sistem saraf yaitu terjadi penurunan berat otak sebesar 10-20%, penurunan hubungan persarafan, lambat dalam respon dan waktu untuk bereaksi khususnya stres, mengecilnya saraf panca indra, dan penurunan sensitifitas terhadap sentuhan.

2) Sistem Pendengaran

Dapat terjadi gangguan dalam pendengaran (presbiakusis), sulit mengerti kata-kata, terjadi pengumpulan serumen yang dapat mengeras akibat meningkatnya keratin, dan penurunan pendengaran pada lansia akibat ketegangan jiwa/stres.


(25)

12

3) Sistem Penglihatan

Mulai terjadi kekeruhan pada lensa dan menyebabkan katarak, daya adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat dan susah melihat dalam gelap, hilangnya daya akomodasi, menurunnya lapang pandang, serta menurunnya daya membedakan warna biru atau hijau.

4) Sistem Integumen

Kulit mengkerut dan keriput akibat kehilangan jaringan lemak, elastisitas berkurang akibat menurunnya cairan dan vaskularisasi, kuku jari menjadi lebih keras dan rapuh, serta penurunan jumlah dan fungsi dari kelenjar keringat.

5) SistemMuskuloskeletal

Tulang kehilangan density (cairan) dan semakin rapuh, bungkuk (kifosis), pergerakan pinggang, lutut, dan jari-jari terbatas, persendian membesar dan menjadi kaku, tendon mengerut dan mengalami sclerosis, serta serabut otot mengalami atrofi.

6) SistemGastrointestinal

Terjadi kehilangan gigi, hilangnya sensitivitas saraf pengecap di lidah terhadap rasa manis, asin, asam, atau pahit, rasa lapar menurun, asam lambung menurun, peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi, melemahnya daya absorbsi dan lansia mudah mengalami gizi yang buruk.

7) SistemPernapasan

Otot-otot pernafasan mengalami penurunan kekuatan dan menjadi kaku, penurunan aktivitas dari silia, elastisitas paru-paru menurun, kapasitas pernafasan maksimum menurun, dan kedalaman bernafas menurun, kemampuan kekuatan


(26)

13

otot pernafasan menurun, menarik nafas menjadi lebih berat, kemampuan untuk batuk berkurang.

8) Sistem Reproduksi

Terjadi penciutan pada ovari dan uterus, penurunan lendir vagina, serta atrofi payudara, sedangkan pada laki-laki, testis masih dapat memproduksi spermatozoa meskipun secara berangsur-angsur akan menurun.

9) Sistem Perkemihan

Terjadi atrofi nefron dan aliran darah ke ginjal menurun sampai 50%, filtrasi di glomerulus menurun dan fungsi tubulus menurun, otot-otot vesika urinaria menjadi lemah, frekuensi buang air kecil meningkat dan terkadang menyebabkan retensi urin pada pria.

10) Sistem Endokrin

Terjadi penurunan semua produksi hormon, mencakup penurunan aktivitas tiroid, berkurangnya ACTH, TSH, FSH, BMR, menurunnya daya pertukaran zat, penurunan produksi aldosteron, progesterone, estrogen, dan testosterone.

11) Sistem Kardiovaskuler

Katup jantung menebal dan menjadi kaku, kemampuan jantung memompa darah menurun, elastisitas pembuluh darah menurun, kurangnya efektivitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi, meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer sehingga tekanan darah meningkat.

b. Perubahan Mental dan Psikologis

Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental adalah perubahan perubahan fisik, kesehatan umum, tingkat pendidikan, keturunan (hereditas),


(27)

14

lingkungan, tingkat kecerdasan (intelligence quotient-I.Q), dan kenangan (memory) (Efendi & Makhfudli, 2009). Perubahan psikologis pada lansia meliputi perubahan fungsi kognitif, afektif, psikomotor dan kepribadian. Perubahan fungsi kognitif yaitu perubahan pada kemampuan belajar, kemampuan pemahaman, kinerja, pemecahan masalah, daya ingat, motivasi, pengambilan keputusan, dan kebijaksanaan. Sementara itu, perubahan fungsi afektif (emosi atau perasaan) akan nampak jelas pada lansia yang sangat tua (diatas 90 tahun), penurunan tersebut sering diikuti oleh tingkah laku regresi dan penurunan fungsi mental yang semakin buruk dan sering tidak tertolong dengan upaya terapi. Perubahan pada psikomotor dimana lansia umumnya masih memiliki dorongan dan kemauan untuk melakukan kegiatan atau memenuhi activity daily living, akan tetapi kadang-kadang realisasinya tidak dapat dilaksanakan, karena kesiapan/ kemampuan organ dan fungsi tubuh yang berkurang (Kuntjoro, 2002).

c. Perubahan Sosial

Perubahan sosial yang dapat dialami lansia yaitu perubahan status dan perannya dalam kelompok atau masyarakat, kehilangan pasangan hidup, serta kehilangan sistem dukungan dari keluarga, teman dan tetangga (Ebersole, 2005 dalam Syarniah, 2010). Perubahan dalam peran sosial di masyarakat akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan sebagainya maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia. Misalnya badannya menjadi bungkuk, pendengaran sangat berkurang, penglihatan kabur dan sebagainya sehingga sering menimbulkan keterasingan. (Kuntjoro, 2007 dalam Kartinah & Sudaryanto, 2008).


(28)

15

d. Perubahan Spiritual

Perubahan spiritual yang terjadi pada lansia (Potter & Perry, 2005), yaitu: 1) Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupan.

2) Lansia makin matur dalam kehidupan keagamaannya, hal ini terlihat dalam berpikir dan bertindak sehari-hari.

3) Perkembangan spiritual pada usia 70 tahun menurut Folwer (1978), perkembangan yang diapai pada tingkat ini adalah berpikir dan bertindak dengan cara memberikan contoh cara mencintai keadilan.

2.1.3 Tugas Perkembangan Lansia

Tugas perkembangan pada lansia adalah beradaptasi terhadap penurunan kesehatan dan kekuatan fisik, beradaptasi terhadap masa pensiun dan penurunan pendapatan, beradaptasi terhadap kematian pasangan, menerima diri sebagai individu yang menua, mempertahankan kehidupan yang memuaskan, menetapkan kembali hubungan dengan anak yang telah dewasa, menemukan cara mempertahankan kualitas hidup (Potter & Perry, 2005). Erickson dalam Maryam, Ekasari, Rosidawati, Jubaedi, Batubara (2008) menyatakan kesiapan lansia untuk beradaptasi atau menyesuaikan diri terhadap tugas perkembangan usia lanjut dipengaruhi oleh proses tumbuh kembang pada tahap sebelumnya. Apabila seseorang pada tahap tumbuh kembang sebelumnya melakukan kegiatan sehari-hari dengan teratur dan baik serta membina hubungan yang serasi dengan orang-orang disekitarnya, maka pada saat memasuki usia lanjut ia akan tetap melakukan kegiatan yang biasa ia lakukan pada tahap perkembangan sebelumnya seperti olahraga, mengembangkan hobi, bercocok tanam, dan lain-lain.


(29)

16

2.2 Stres Pada Lansia 2.2.1 Pengertian Stres

Beberapa ahli memberikan arti stres sebagai respon fisiologik, psikologik, dan perilaku seorang individu dalam menghadapi penyesuaian terhadap tekanan yang bersifat internal ataupun eksternal. Stres dapat diartikan sebagai suatu ancaman, tantangan, kehidupan sehari-hari yang selalu berubah, memerlukan penyesuaian psikologis, perilaku, dan fisiologis yang konstans (Corwin, 2009). Sedangkan menurut Hans Selye, seorang fisiologi dan tokoh di bidang stres yang terkemuka dari Universitas Montreal, merumuskan bahwa stres adalah tanggapan tubuh yang bersifat non-spesifik terhadap setiap tuntutan terhadapnya. Tubuh akan berusaha menyelaraskan rangsangan atau manusia akan cukup cepat untuk pulih kembali dari pengaruh-pengaruh pengalaman stres (Yosep & Sutini, 2009). Stres secara umum adalah perasaan tertekan, cemas dan tegang. Dalam bahasa sehari-hari stres dikenal sebagai stimulus atau respon yang menuntut individu untuk melakukan penyesuaian (Nasution, 2011).

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa stres adalah perasaan tertekan, cemas dan tegang sebagai tanggapan tubuh yang bersifat non-spesifik terhadap setiap tuntutan/tekanan baik yang bersifat internal maupun eksternal dan menghasilkan respon fisiologik, psikologik, serta perilaku individu sebagai penyesuaian terhadap tekanan tersebut.

2.2.2 Penyebab Stres

Seseorang menjadi stres karena adanya stressor. Stressor adalah suatu peristiwa, situasi individu, atau objek yang dapat menimbulkan stres dan reaksi


(30)

17

terhadap stres (Cahyono, 2008). Macam-macam stressor menurut Indriana (2010) antara lain:

a. Stressor biologis seperti panas, dingin, nyeri, masuknya organism, trauma fisik, kesulitan eliminasi, kekurangan makan, dan lain-lain.

b. Stressor psikologis seperti kritik yang tidak dapat dibenarkan, kehilangan, ketakutan, krisis situasi, dan lain sebagainya.

c. Stressor sosial meliputi isolasi atau diasingkan, status sosial dan ekonomi, perubahan tempat tinggal atau tempat kerja, bertambahnya anggota keluarga, dan lain sebagainya.

2.2.3 Tanda dan Gejala Stres

Menurut Hawari (2006), seseorang yang mengalami stres dapat pula dilihat ataupun dirasakan dari perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya, meliputi:

a. Rambut

Warna rambut mengalami perubahan dari hitam menjadi kecoklat-coklatan serta kusam. Ubanan (rambut memutih) terjadi sebelum waktunya, demikian pula dengan kerontokkan pada rambut.

b. Mata

Ketajaman mata seringkali terganggu misalnya kalau membaca tidak jelas karena kabur. Hal ini terjadi karena otot-otot bola mata mengalami kekenduran atau sebaliknya sehingga mempengaruhi fokus lensa mata.

c. Telinga


(31)

18

d. Daya pikir

Kemampuan berpikir dan mengingat serta konsentrasi menurun. Orang menjadi pelupa dan seringkali mengeluh sakit kepala atau pusing.

e. Ekspresi wajah

Wajah seseorang yang mengalami nampak tegang, dahi berkerut, mimik wajah tampak serius, tidak santai, bicara berat, dan sukar untuk senyum/tertawa. f. Mulut

Mulut dan bibir terasa kering sehingga seseorang sering minum. Selain itu, pada tenggorokan seolah-olah ada ganjalan sehingga akan susah menelan, hal ini disebabkan karena otot-otot lingkar di tenggorokan mengalami spasme.

g. Kulit

Stres dapat menimbulkan reaksi yang bermacam-macam pada kulit mulai dari terasa panas atau dingin atau keringat berlebihan. Reaksi lain yaitu kulit menjadi lebih kering. Dapat pula muncul penyakit kulit seperti eksim, urtikaria (biduran), gatal-gatal, dan timbulnya jerawat (acne) yang berlebihan, serta telapak tangan dan kaki yang mudah berkeringat/basah.

h. Sistem pernafasan

Pernafasan seseorang yang sedang mengalami stres dapat terganggu misalnya nafas terasa berat dan sesak oleh karena penyempitan pada saluran pernafasan mulai dari hidung, tenggorokan dan otot-otot rongga dada. Otot rongga dada mengalami spasme atau kurang elastis, sehingga diperlukan tenaga ekstra untuk menarik nafas.


(32)

19

i. Sistem pencernaan

Gangguan pada sistem pencernaan misalnya, lambung terasa kembung, mual dan pedih karena asam lambung yang meningkat dan biasa dikenal dengan maag (gastritis). Gangguan lainnya seperti perut sering terasa mulas, sukar buang air besar atau sebaliknya yaitu mengalami diare.

j. Sistem perkemihan

Yang sering dikeluhkan saat sedang mengalami stres biasanya frekuensi buang air kecil yang lebih sering dari biasanya, meskipun bukan penderita kencing manis (diabetes mellitus).

k. Sistem otot dan tulang

Keluhan-keluhan pada otot dan tulang (musculoskeletal) contohnya, sering mengeluh otot terasa sakit seperti ditusuk-tusuk, pegal, dan tegang. Keluhan lain seperti rasa ngilu atau kaku bila menggerakkan anggota tubuh atau yang lebih dikenal dengan pegal-linu.

l. Sistem endokrin

Gangguan pada sistem endokrin (hormonal) pada orang yang mengalami stres yaitu terjadi peningkatan kadar gula darah, dan bila hal ini terjadi berkepanjangan dapat mengakibatkan kencing manis (diabetes mellitus). Gangguan lain yaitu seperti menstruasi yang tidak teratur dan rasa sakit ketika menstruasi (dysmenorrhoe).

m. Sistem reproduksi

Stres juga dapat menyebabkan seseorang mengalami penurunan libido atau sebaliknya.


(33)

20

n. Sistem kardiovaskuler

Sistem jantung dan pembuluh darah dapat terganggu fungsinya oleh karena stres. Misalnya, jantung berdebar-debar, pembuluh darah melebar (dilatation) atau menyempit (constriction) sehingga orang dapat terlihat kemerahan ataupun kepucatan pada area wajah. Menurut Iskandar (2010), stres akan mendorong tubuh mengeluarkan hormon adrenalin dan noradrenalin yang merangsang sistem saraf otonom, menyebabkan vasokonstriksi, penyempitan pembuluh darah arteri, denyut jantung meningkat, kadar gula darah meningkat serta kadar kolesterol tinggi. Jika situasi ini terjadi terus-menerus maka orang yang bersangkutan dapat mengalami kenaikan tekanan darah dan dapat mengidap tekanan darah tinggi (hipertensi).

o. Kondisi psikologis

Hardjana (1994, dalam Puspasari, 2009) menyatakan bahwa stres juga berdampak pada kondisi emosional. Seseorang yang sedang stres akan mudah merasa gelisah atau cemas, sedih, depresi, menangis, mood atau suasana hati yang sering berubah-ubah, mudah panas atau cepat marah, rasa harga diri menurun atau merasa tidak aman, terlalu peka dan mudah tersinggung, gampang menyerah pada orang dan mempunyai sikap bermusuhan.

2.2.4 Faktor yang Mempengaruhi Stres

Stres dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor internal dan eksternal (Hardjana, 1994, Suparto, 2000 dalam Puspasari, 2009).


(34)

21

a. Faktor internal

Faktor internal berarti stres yang bersumber dari diri seseorang. Beberapa faktor tersebut meliputi:

1) Penyakit (illness) dan kesehatan

Menderita penyakit dapat mengakibatkan perubahan fungsi fisiologis pada orang yang menderitanya. Perubahan fungsi tersebut dapat mempengaruhi kehidupan seseorang dimana hal itu dapat menyebabkan stres pada kaum lansia yang mengalaminya.

2) Pertentangan (konflik)

Kehidupan sering dihadapkan oleh berbagai pilihan, dimana dalam proses memilih tersebut dapat terjadi pertentangan (konflik) karena ada dua kekuatan motivasi yang berbeda bahkan berlawanan. Berhadapan dengan dorongan memilih yang berbeda dan berlawanan itulah seseorang akan mudah mengalami stres.

3) Kepribadian

Semakin luas dan semakin tinggi harapan seseorang tentang hidup dan optimis maka semakin jauh dari stres.

4) Falsafah hidup

Semakin berserah diri kepada Tuhan maka semakin terbebaskan rasa stres seseorang.

5) Persepsi (penangkapan)

Semakin santai dalam mempersepsikan suatu kejadian maka seseorang tidak akan mudah mengalami stres akibat kejadian tersebut.


(35)

22

6) Posisi sosial

Semakin berperan dan menyatu seseorang dengan lingkungan sosialnya, semakin sukar stres timbul dalam diri seseorang tersebut.

7) Pengalaman

Semakin sering seseorang mendapatkan stressor maka semakin sering kemungkinannya terserang stres akibat stressor tersebut.

8) Usia

Semakin bertambah umur seseorang, semakin mudah mengalami stres. Hal ini antara lain disebabkan oleh faktor fisiologis yang telah mengalami kemunduran dalam berbagai kemampuan seperti kemampuan visual, berpikir, mengingat dan mendengar (Gibson; Rachmaningrum, 1999 dalam Nasution, 2011).

9) Jenis kelamin

American Psychological Association (2010) menyatakan laki-laki dan perempuan memiliki reaksi yang berbeda terhadap stres baik dari fisik maupun mental. Laki-laki dan perempuan memiliki kemampuan dan cara yang berbeda dalam mengelola stres. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan lebih mungkin untuk mengungkapkan terjadinya gejala fisik terkait stres, dan memiliki hubungan yang lebih baik dengan orang lain sebagai salah satu strategi manajemen stres.

b. Faktor eksternal 1) Keluarga

Stres dalam keluarga dapat disebabkan karena adanya konflik dalam keluarga seperti perilaku yang kurang terkendali, terjadinya peristiwa-peristiwa


(36)

23

yang berkaitan dengan anggota keluarga seperti sakit, terutama sakit yang serius dan berkepanjangan, dan juga kematian anggota keluarga.

2) Lingkungan

Lingkungan yang dapat menyebabkan stres dapat meliputi lingkungan kerja dan lingkungan hidup disekitar. Lingkungan kerja dapat menjadi sumber stres karena beberapa alasan seperti tuntutan kerja dan tanggung jawab yang terlalu besar dan berat. Sementara lingkungan sekitar yang dapat menjadi sumber stres seperti lingkungan yang penuh dengan suara bising dan keras diluar pengendalian diri, lingkungan sekitar yang tercemar dapat membuat seseorang merasa tidak aman dan mudah mengalami stres.

2.2.5 Stres Yang Terjadi Pada Lanjut Usia

Pada waktu seseorang memasuki masa usia lanjut, terjadi berbagai perubahan baik yang bersifat fisik, mental, maupun sosial. Jadi, memasuki usia lanjut tidak lain adalah upaya penyesuaian terhadap perubahan-perubahan tersebut. Sebagai proses alamiah, perkembangan manusia sejak periode awal hingga masa usia lanjut merupakan kenyataan yang tidak bisa dihindari. Perubahan-perubahan menyertai proses perkembangan termasuk ketika memasuki masa usia lanjut. Ketidaksiapan dan upaya melawan perubahan-perubahan yang dialami pada masa usia lanjut justru akan menempatkan individu usia ini pada posisi serba kalah yang akhirnya hanya menjadi sumber akumulasi stres dan frustasi belaka (Indriana, 2008).

Stres yang dihadapi oleh lansia berasal dari berbagai situasi yang berbeda dari yang dihadapi oleh orang dewasa. Berbagai situasi yang dapat menyebabkan


(37)

24

stres pada lansia, yaitu lansia harus merawat pasangan yang sakit, kehilangan pasangan, kematian kerabat dan teman-teman dekat lainnya, penurunan kekuatan fisik dan kesadaran bahwa lansia sudah tidak sehat dan sekuat sebelumnya, kekhawatiran mengenai keuangan setelah pensiun, serta kesepian. Stres lebih lanjut ditambah oleh fakta bahwa kemampuan lansia untuk menghadapi situasi stres melemah dari waktu ke waktu. Terlepas dari semua masalah yang dihadapi lansia, beberapa sistem tubuh lansia yang bereaksi dan membantu dalam manajemen stres tidak lagi efisien (Lau, 2004 dalam Devi, 2012).

2.2.6 Penanganan Stres

Strategi menghadapi stres yaitu dengan mempersiapkan diri dalam menghadapi stressor melalui perbaikan diri secara psikis/mental, fisik dan sosial. Selain itu, menurut Ray (2004 dalam Perese, 2012) untuk menghadapi stressor diperlukan strategi koping, yaitu cara yang digunakan orang untuk memodifikasi situasi mereka dan mengurangi stres dan perasaan tertekan.

Penanganan dan pengelolaan stres merupakan suatu usaha untuk mengurangi atau meniadakan dampak negatif stressor (Isnaeni, 2010). Mengelola stres dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan yaitu dengan terapi farmakologis, dan nonfarmakologis seperti relaksasi, pendekatan perilaku dan kognitif (Yulianti, 2004 dalam Isnaeni, 2010).

a. Pendekatan farmakologi yaitu menggunakan obat-obatan anti cemas (axiolytic) dan anti depresi (anti depressant).

b. Relaksasi yaitu upaya untuk melepas ketegangan yaitu relaksasi otot, relaksasi kesadaran indera dan relaksasi melalui yoga, serta meditasi.


(38)

25

c. Pendekatan perilaku yaitu mengubah perilaku yang menimbulkan stres, adaptabilitas terhadap stres, menyeimbangkan antara aktivitas fisik dan nutrisi, serta manajemen perencanaan, organisasi dan waktu.

d. Pendekatan kognitif; mengubah pola pikir individu, berpikir positif dan sikap yang positif, membekali diri dengan pengetahuan tentang stres, menyeimbangkan antara aktivitas otak kiri dan kanan, serta hipnoterapi. Terapi dengan pendekatan kognitif-perilaku lainnya yaitu terapi

reminiscence.

2.2.7 Instrumen Pengukuran Stres

Instrumen untuk mengukur tingkat stres dalam penelitian ini adalah Stress Assessment Questionnaire (SAQ) yang mengukur empat domain stres utama yaitu sumber, gejala, penanganan, dan stabilitas, dengan 16 aspek atau elemen yang mendefinisikan keempat domain tersebut. Instrumen ini dirancang untuk memberikan bimbingan konseling dan pengembangan diri tentang stres. Instrumen ini berupa pengkajian yang terdiri dari 16 aspek, yaitu aspek kerja, hubungan, pola asuh, kejadian, emosional, perilaku, fisik, dukungan, sosial, pengaturan diri sendiri, pemecahan masalah, selingan, kesehatan, penundaan, perfeksionis, harga diri, depresi, dan kecemasan. Pengkajian pada instrumen juga terdapat tanda dan gejala yang biasanya terjadi pada seseorang yang mengalami stres sehingga instrumen ini cukup lengkap dan mendetail (Smith, 2003 dalam Putri, 2012).


(39)

26

2.3 Terapi Reminiscence

2.3.1. Pengertian Terapi Reminiscence

Terapi Reminiscence ditemukan oleh Erik Erikson (1963), yang menekankan pentingnya bagi individu yang sudah memasuki usia tua untuk mencapai rasa intergritas diri dengan melihat kembali kehidupan mereka dan mengumpulkan perasaan, tujuan serta makna hidup. Nursing Interventions Classification (NIC) mendefinisikan terapi Reminiscence sebagai intervensi yang dilakukan dengan mengingat peristiwa masa lalu, perasaan, dan pikiran untuk memfasilitasi kesenangan, kualitas hidup, dan beradaptasi dengan kondisi saat ini. Fontaine dan Fletcher (2003, dalam Banon, 2011) menambahkan terapi ini dapat menjadi intervensi keperawatan untuk mengatasi masalah psikososial. Terapi

Reminiscence diterapkan pada lansia melalui proses motivasi dan diskusi tentang pengalaman masa lalu yang dialami dan upaya penyelesaian masalah yang dilakukan pada saat itu (Glod, 1998; Meiner dan Lueckenotte, 2006 dalam Banon, 2011).

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa terapi

Reminiscence merupakan suatu terapi yang dapat diberikan pada lansia sebagai upaya untuk mengatasi masalah psikososial dengan cara memotivasi dan memberikan perhatian terhadap kenangan atau pengalaman masa lalu dan upaya penyelesaian masalah yang dilakukan pada saat itu serta dapat disharingkan kepada keluarga, kelompok, ataupun staf keperawatan.


(40)

27

2.3.2. Manfaat Terapi Reminiscence

National Guideline Clearinghouse (2008, dalam Stinson, 2009) menyatakan terapi Reminiscence dapat memfasilitasi penyesuaian lansia terhadap proses penuaan dengan membantu lansia memikirkan kembali dan memperjelas pengalaman-pengalaman sebelumnya, dan studi penelitian telah menunjukkan adanya peningkatan kesejahteraan psikologis setelah mendapat intervensi

Reminiscence. Menurut Banon (2011), melalui proses mengenang, lansia dapat mempromosikan diri, melestarikan kenangan pribadi maupun kenangan bersama, mengatasi kekurangan materi dan keterbatasan fisik, mengidentifikasi tema universal tentang kehidupan manusia, dan memperkuat mekanisme pertahanan diri. Fontaine dan Fletcher (2003, dalam Syarniah, 2010) menambahkan bahwa terapi Reminiscence bertujuan untuk meningkatkan harga diri dan membantu individu mencapai kesadaran diri dan memahami diri, beradaptasi terhadap stres dan melihat bagian dirinya dalam konteks sejarah dan budaya. Menurut Bohlmeijer (2007 dalam Utami, 2013), terapi Reminiscence dapat menjadi

treatment psikologis yang menarik bagi para lansia karena membuat mereka mempunyai ikatan masa lalu baik yang bersifat umum maupun yang khusus.

Reminiscence juga dapat berfokus pada mengevaluasi kembali, memecahkan konflik pada masa lalu, menemukan arti kehidupan dan memperkirakan koping adaptif yang bisa dilakukan sebelumnya.

Terapi Reminiscence tidak hanya bertujuan untuk memberikan pengalaman yang menyenangkan untuk meningkatkan kualitas hidup, tetapi juga dapat meningkatkan sosialisasi dan hubungan dengan orang lain, memberikan stimulasi


(41)

28

kognitif, meningkatkan komunikasi dan dapat menjadi suatu terapi yang efektif untuk gejala depresi (Bohlmeijer, 2003; Haight & Burnside, 1993; Ebersole, 2005 dalam Syarniah, 2010).

Bohlmeijer (2007, dalam Utami, 2013), menambahkan bahwa terapi

reminiscence memiliki enam fungsi, yaitu integrative (menemukan arti dan keberlanjutan kehidupan); instrumental (menggunakan pemecahan masalah masa lalu untuk pemecahan masalah di masa kini); transmissive (menceritakan cerita yang merupakan petunjuk-petunjuk kehidupan kepada anak muda); escapist

(mengingat keindahan masa lalu untuk melupakan sejenak hal-hal yang tidak menyenangkan di masa sekarang); obsessive (memikirkan ulang permasalahan-permasalahan tak terpecahkan pada masa lalu); dan narrative (mempertahankan ingatan-ingatan mengenal orang-orang penting dalam kehidupan pribadi).

2.3.3. Tipe Terapi Terapi Reminiscence

Menurut Kennard (2006, dalam Syarniah, 2010), terapi Reminiscence dapat dikategorikan menjadi tiga tipe, yaitu:

a. Simple atau Positive Reminiscence

Tipe ini merefleksikan informasi dari pengalaman dan perasaan yang menyenangkan di masa lalu. Cara menggali pengalaman tersebut dengan menggunakan pertanyaan langsung yang tampak seperti interaksi sosial antara klien dan terapis yang bertujuan untuk meningkatkan adaptasi dan memelihara harga diri.


(42)

29

b. Evaluative Reminiscence

Tipe ini biasanya digunakan sebagai pendekatan dalam menyelesaikan masalah, seperti pada terapi life review.

c. Offensive Defensive Reminiscence

Tipe ini dapat menggali informasi yang tidak menyenangkan dan dapat menyebabkan atau menghasilkan perilaku dan emosi, serta menimbulkan resolusi terhadap informasi yang penuh konflik dan tidak menyenangkan.

2.3.4. Media dalam Terapi Reminiscence

Media yang digunakan dalam terapi Reminiscence yaitu benda-benda yang berhubungan dengan kenangan/ masa lalu lansia. Menurut Collins (2006), media yang dapat digunakan yaitu Reminiscence kit yang berisi barang-barang di masa lalu seperti majalah, peralatan memasak, dan peralatan kebersihan, selain itu dapat juga menggunakan foto-foto pribadi, alat untuk memutar musik atau video, video dan kaset, buku, pulpen, stimulus bau seperti kopi, stimulus rasa, dan bahan-bahan lain untuk menstimulasi sentuhan.

2.3.5. Pelaksanaan Terapi Reminiscence

Penelitian yang dilakukan Poorneselvan & Steefel (2014) terkait efek

Individual Reminiscence terhadap harga diri dan depresi pada lansia di India, terapi Reminiscence dapat dilakukan secara individu yang dibagi menjadi 8 sesi dan dilaksanakan selama 8 hari meliputi, 1 hari untuk pre-assessment, 6 hari untuk terapi Reminiscence, dan hari terakhir dilakukan post-assessment. Terapi


(43)

30

pedoman maupun yang sudah terstruktur. Tiap sesi terapeutik dimulai dengan fase pengantar selama 5-10 menit yang meliputi memberikan salam, membiarkan klien memilih tempat yang nyaman untuk pelaksanaan terapi, menanyakan keadaan umum klien, memberikan deskripsi singkat terkait sesi sebelumnya, dan memperkenalkan tema baru. Pada fase kerja setiap sesi, klien akan mengingat dan mengumpulkan kembali memori-memori yang berhubungan dengan tema setiap sesinya kira-kira selama 10 menit. Selama mengumpulkan dan sharing memori menggunakan teknik komunikasi terapeutik. Berbagai stimulus dapat digunakan untuk mengembalikan memori yang sesuai dengan tema dari tiap sesi. Di akhir fase (kira-kira selama 5 menit) meliputi menjawab pertanyaan jika klien bertanya, mengemukakan kembali tema utama dan memori dari sesi tersebut, sharing

pengalaman antara klien dan fasilitator, rencana untuk sesi selanjutnya (Poorneselvan & Steefel, 2014).

Terapi Reminiscence yang dikembangkan oleh Syarniah (2010) terdiri dari 5 sesi yaitu:

a. Sesi 1: berbagi pengalaman masa anak-anak. Pada sesi ini pengalaman masa anak lebih difokuskan pada pengalaman yang berkaitan dengan permainan yang paling disenangi dan pengalaman tentang guru yang paling disenangi pada waktu sekolah dasar atau setingkat SD pada masa tersebut.

b. Sesi 2: berbagi pengalaman masa remaja. Dalam sesi ini topik yang didiskusikan lebih ditujukan pada hobi yang dilakukan bersama teman-teman sebaya dan pengalaman rekreasi bersama teman-teman pada masa remaja tersebut.


(44)

31

c. Sesi 3: berbagi pengalaman masa dewasa. Focus pada sesi ini adalah pengalaman yang berkaitan dengan pekerjaan dan makanan yang disukai. d. Sesi 4: berbagi pengalaman keluarga di rumah. Pada sesi ini topik kegiatan

terapi menakup pengalaman merayakan hari raya agama bersama anggota keluarga dan bergaul dengan tetangga.

e. Sesi 5: evaluasi integritas diri. Pada sesi ini kegiatan yang dilakukan adalah mengevaluasi pencapaian integritas diri lansia. Kegiatan ini meliputi berbagi pengalaman yang di dapat setelah melakukan kegiatan sesi 1 sampai 4 untuk mencapai peningkatan harga diri, penerimaan diri sebagai lansia dan meningkatkan interaksi lansia dengan orang lain.

Prosedur pelaksanaan terapi Reminiscence pada penelitian ini merupakan modifikasi dari terapi Reminiscence yang sudah dilakukan Poorneselvan & Steefel (2014) dan Syarniah (2010). Tipe terapi yang digunakan yaitu simple atau positive Reminiscence terkait pengalamandan perasaan yang menyenangkan di masa lalu. Terapi ini akan dilaksanakan dalam tujuh kali pertemuan yaitu satu kali pertemuan untuk pre-test, lima pertemuan untuk pelaksanaan 5 sesi terapi

Reminiscence, dan pertemuan terakhir untuk post-test. Terapi Reminiscence

dilakukan sekitar 45-90 menit pada setiap sesinya.

Pelaksanaan terapi Reminiscence pada penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

a. Pertemuan 1: melakukan perkenalan, menjelaskan tujuan dari intervensi yang akan diberikan dan memberikan informed consent dan dilakukan pre-test.


(45)

32

b. Pertemuan 2 (Terapi Sesi 1): berbagi pengalaman masa anak-anak. Mengungkapkan memori terkait asal atau keterkaitan hubungan dari keluarga dengan menggunakan foto atau gambar keluarga, klien dapat menggambar genogram dari keluarga asal, nama-nama anggota keluarga, dan urutan kelahirannya. Dapat menceritakan pengalaman masa anak-anak yang berkaitan dengan permainan yang paling disenangi, pengalaman yang menyenangkan pada waktu sekolah dasar atau setingkat SD pada masa tersebut, mendiskusikan foto atau gambar keluarga pada masa anak-anak, dan kegiatan-kegiatan menyenangkan seperti acara perayaan, mengunjungi tempat-tempat saat masih anak-anak.

c. Pertemuan 3 (Terapi Sesi 2): berbagi pengalaman masa remaja. Dalam sesi ini topik yang didiskusikan terkait teman-teman baik atau teman sebaya, olahraga, hobi, prestasi yang pernah diraih, dan pengalaman rekreasi bersama teman pada masa remaja.

d. Pertemuan 4 (Terapi Sesi 3): berbagi pengalaman masa dewasa. Stimulus dapat berupa perkerjaan pertama, peristiwa atau pengalaman-pengalaman, hubungan yang terkait dengan pekerjaan, perubahan pekerjaan, dan pensiun. Selain itu, dapat pula mendiskusikan foto atau gambar dan makanan yang paling disukai pada masa itu.

e. Pertemuan 5 (Terapi Sesi 4): berbagi pengalaman keluarga di rumah dan kegiatan sosial. Pada sesi ini topik kegiatan terapi menakup pengalaman bersama keluarga, saat pertama bertemu dengan pasangan, menikah, hari-hari yang menyenangkan dari kehidupan berkeluarga, merayakan hari-hari raya


(46)

33

agama bersama anggota keluarga, kegiatan yang sering dilakukan di masyarakat, pertunjukkan atau hiburan yang sering ada di masyarakat, dan transportasi serta media-media elektronik di jaman tersebut.

f. Pertemuan 6 (Terapi Sesi 5): evaluasi integritas diri. Pada sesi ini kegiatan yang dilakukan adalah mengevaluasi pencapaian integritas diri lansia. Kegiatan ini meliputi berbagi pengalaman yang di dapat setelah melakukan kegiatan sesi 1 sampai 5 untuk mencapai peningkatan harga diri, penerimaan diri sebagai lansia dan meningkatkan interaksi lansia dengan orang lain. g. Pertemuan 7: dilakukan post-test dengan wawancara menggunakan

kuesioner.

Prosedur pelaksanaan terapi Reminiscence dalam penelitian ini lebih lanjut akan dijelaskan pada Lampiran 5.

2.4 Hubungan Terapi Reminiscence dengan Stres Pada Lansia

Semua individu menghadapi stres setiap hari, dan sebagian besar menghadapi stres yang signifikan selama masa hidup mereka (Perese, 2012). Stres yang dihadapi oleh lansia dapat berasal dari berbagai situasi. Ketidaksiapan dalam beradaptasi terhadap perubahan-perubahan dalam proses penuaan dapat menjadi sumber akumulasi dari stres (Indriana, 2008). Stres lebih lanjut ditambah oleh fakta bahwa kemampuan lansia untuk menghadapi situasi stres melemah dari waktu ke waktu. Terlepas dari semua masalah yang dihadapi lansia, beberapa sistem tubuh lansia yang bereaksi dan membantu dalam manajemen stres tidak lagi efisien (Lau, 2004 dalam Devi, 2012).


(47)

34

Terapi Reminiscence dapat menjadi suatu mekanisme untuk mengatasi perubahan. Dalam terapi ini individu berbagi kenangan dengan orang lain, dimana hal ini dapat membantu individu dalam mencapai integritas diri dan harga diri. Melalui proses ini lansia dapat mempromosikan diri, melestarikan kenangan pribadi maupun kenangan bersama, mengatasi kekurangan materi dan keterbatasan fisik, mengidentifikasi tema universal tentang kehidupan manusia, dan memperkuat mekanisme pertahanan diri. Terapi Reminiscence yang diberikan pada lansia dapat meningkatkan harga diri dan kepuasan hidup lansia, meningkatkan kemampuan beradaptasi terhadap stres melalui kemampuan penyelesaian masalah dan meningkatkan hubungan sosial berdasarkan keunikan dan prestasi yang dimiliki lansia (Banon, 2011). Selain itu, menurut Muhlbauer, Chrisler, Denmark (2014), terapi Reminiscence yang terstruktur merupakan intervensi kognitif-perilaku yang efektif untuk mengurangi depresi pada orang lansia. Depresi sendiri dapat terjadi salah satunya akibat paparan stres secara jangka panjang (Astri, 2012).

Dasar teoritis untuk terapi reminiscence adalah teori kontinuitas yang menyatakan bahwa individu yang mengalami perubahan dalam hidup mereka mencoba untuk memahami perubahan dengan mengingat orang, kejadian, dan pengalaman dari masa lalu mereka. Proses mengingat perubahan masa lalu atau tantangan dan pengetahuan, keterampilan, dan strategi yang mereka gunakan untuk mengatasi perubahan menghasilkan rasa kontinuitas dalam hidup mereka dan kemampuan untuk menggunakan metode koping yang biasa digunakan untuk beradaptasi dengan adanya perubahan (Parker, 1995; Atchley, 1989; dalam


(48)

35

Perese, 2012). Selama proses terapi reminiscence, individu didorong untuk berbicara tentang kenangan yang menyenangkan dalam hidup mereka di masa yang sebelumnya. Saat mereka mengingat pengalaman positif dari masa lalu, seseorang yang telah memasuki usia tua dapat menggunakan pengetahuan umum, keterampilan, dan strategi untuk beradaptasi dengan stressor penuaan. Selain itu, ketika kenangan dibagi dengan orang lain, mereka akan memberikan bukti koping yang sukses di masa lalu dan membangun identitas individu sebagai individu yang kompeten (Parker, 1995; Perese, Rohloff, & Ryan, 2008; Watt & Cappeliez, 2000 dalam Perese, 2012).

Penelitian yang dilakukan Chou, Lan, dan Chao (2008) mengenai

Application of individual Reminiscence therapy to decrease anxiety in an elderly woman with dementia. Hasil yang ditemukan setelah diberikan terapi

reminiscence, responden terlihat lebih menunjukkan ekspresi bahagia di wajahnya, bersedia untuk mengekspresikan dirinya sendiri secara lebih lisan, memiliki lebih banyak interaksi dengan orang lain, dan jarang menggunakan obat untuk membantunya tidur. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbaikan pada emosi negatif dan kecemasan.

Penelitian eksperimental yang dilakukan Fallot (1980 dalam Banon, 2011) mengenai terapi Reminiscence sebagai metode terapeutik pada 30 wanita dari berbagai usia. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan mood yang positif setelah mendapat terapi Reminiscence. Cappliez, dkk (2007 dalam Banon, 2011) dalam penelitiannya tentang fungsi reminscence dan regulasi emosi pada lansia meliputi pemecahan masalah, persiapan kematian, pengalaman kehidupan,


(49)

36

kegagalan masa lalu, kebosanan dan memelihara keakraban. Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan emosi positif pada lansia yang berpengaruh secara signifikan terhadap kecemasan, depresi dan kualitas hidup. Penelitian tersebut menunjukan bahwa melalui terapi Reminiscence, lansia dapat lebih mengekspresikan dirinya sendiri, lebih banyak berinterkasi dengan orang lain, meningkatkan harga diri, dan meningkatkan mood positif untuk mengatasi kondisi stres.


(1)

c. Sesi 3: berbagi pengalaman masa dewasa. Focus pada sesi ini adalah pengalaman yang berkaitan dengan pekerjaan dan makanan yang disukai. d. Sesi 4: berbagi pengalaman keluarga di rumah. Pada sesi ini topik kegiatan

terapi menakup pengalaman merayakan hari raya agama bersama anggota keluarga dan bergaul dengan tetangga.

e. Sesi 5: evaluasi integritas diri. Pada sesi ini kegiatan yang dilakukan adalah mengevaluasi pencapaian integritas diri lansia. Kegiatan ini meliputi berbagi pengalaman yang di dapat setelah melakukan kegiatan sesi 1 sampai 4 untuk mencapai peningkatan harga diri, penerimaan diri sebagai lansia dan meningkatkan interaksi lansia dengan orang lain.

Prosedur pelaksanaan terapi Reminiscence pada penelitian ini merupakan modifikasi dari terapi Reminiscence yang sudah dilakukan Poorneselvan & Steefel (2014) dan Syarniah (2010). Tipe terapi yang digunakan yaitu simple atau positive Reminiscence terkait pengalaman dan perasaan yang menyenangkan di masa lalu. Terapi ini akan dilaksanakan dalam tujuh kali pertemuan yaitu satu kali pertemuan untuk pre-test, lima pertemuan untuk pelaksanaan 5 sesi terapi Reminiscence, dan pertemuan terakhir untuk post-test. Terapi Reminiscence dilakukan sekitar 45-90 menit pada setiap sesinya.

Pelaksanaan terapi Reminiscence pada penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

a. Pertemuan 1: melakukan perkenalan, menjelaskan tujuan dari intervensi yang akan diberikan dan memberikan informed consent dan dilakukan pre-test.


(2)

b. Pertemuan 2 (Terapi Sesi 1): berbagi pengalaman masa anak-anak. Mengungkapkan memori terkait asal atau keterkaitan hubungan dari keluarga dengan menggunakan foto atau gambar keluarga, klien dapat menggambar genogram dari keluarga asal, nama-nama anggota keluarga, dan urutan kelahirannya. Dapat menceritakan pengalaman masa anak-anak yang berkaitan dengan permainan yang paling disenangi, pengalaman yang menyenangkan pada waktu sekolah dasar atau setingkat SD pada masa tersebut, mendiskusikan foto atau gambar keluarga pada masa anak-anak, dan kegiatan-kegiatan menyenangkan seperti acara perayaan, mengunjungi tempat-tempat saat masih anak-anak.

c. Pertemuan 3 (Terapi Sesi 2): berbagi pengalaman masa remaja. Dalam sesi ini topik yang didiskusikan terkait teman-teman baik atau teman sebaya, olahraga, hobi, prestasi yang pernah diraih, dan pengalaman rekreasi bersama teman pada masa remaja.

d. Pertemuan 4 (Terapi Sesi 3): berbagi pengalaman masa dewasa. Stimulus dapat berupa perkerjaan pertama, peristiwa atau pengalaman-pengalaman, hubungan yang terkait dengan pekerjaan, perubahan pekerjaan, dan pensiun. Selain itu, dapat pula mendiskusikan foto atau gambar dan makanan yang paling disukai pada masa itu.

e. Pertemuan 5 (Terapi Sesi 4): berbagi pengalaman keluarga di rumah dan kegiatan sosial. Pada sesi ini topik kegiatan terapi menakup pengalaman bersama keluarga, saat pertama bertemu dengan pasangan, menikah, hari-hari yang menyenangkan dari kehidupan berkeluarga, merayakan hari-hari raya


(3)

agama bersama anggota keluarga, kegiatan yang sering dilakukan di masyarakat, pertunjukkan atau hiburan yang sering ada di masyarakat, dan transportasi serta media-media elektronik di jaman tersebut.

f. Pertemuan 6 (Terapi Sesi 5): evaluasi integritas diri. Pada sesi ini kegiatan yang dilakukan adalah mengevaluasi pencapaian integritas diri lansia. Kegiatan ini meliputi berbagi pengalaman yang di dapat setelah melakukan kegiatan sesi 1 sampai 5 untuk mencapai peningkatan harga diri, penerimaan diri sebagai lansia dan meningkatkan interaksi lansia dengan orang lain. g. Pertemuan 7: dilakukan post-test dengan wawancara menggunakan

kuesioner.

Prosedur pelaksanaan terapi Reminiscence dalam penelitian ini lebih lanjut akan dijelaskan pada Lampiran 5.

2.4 Hubungan Terapi Reminiscence dengan Stres Pada Lansia

Semua individu menghadapi stres setiap hari, dan sebagian besar menghadapi stres yang signifikan selama masa hidup mereka (Perese, 2012). Stres yang dihadapi oleh lansia dapat berasal dari berbagai situasi. Ketidaksiapan dalam beradaptasi terhadap perubahan-perubahan dalam proses penuaan dapat menjadi sumber akumulasi dari stres (Indriana, 2008). Stres lebih lanjut ditambah oleh fakta bahwa kemampuan lansia untuk menghadapi situasi stres melemah dari waktu ke waktu. Terlepas dari semua masalah yang dihadapi lansia, beberapa sistem tubuh lansia yang bereaksi dan membantu dalam manajemen stres tidak lagi efisien (Lau, 2004 dalam Devi, 2012).


(4)

Terapi Reminiscence dapat menjadi suatu mekanisme untuk mengatasi perubahan. Dalam terapi ini individu berbagi kenangan dengan orang lain, dimana hal ini dapat membantu individu dalam mencapai integritas diri dan harga diri. Melalui proses ini lansia dapat mempromosikan diri, melestarikan kenangan pribadi maupun kenangan bersama, mengatasi kekurangan materi dan keterbatasan fisik, mengidentifikasi tema universal tentang kehidupan manusia, dan memperkuat mekanisme pertahanan diri. Terapi Reminiscence yang diberikan pada lansia dapat meningkatkan harga diri dan kepuasan hidup lansia, meningkatkan kemampuan beradaptasi terhadap stres melalui kemampuan penyelesaian masalah dan meningkatkan hubungan sosial berdasarkan keunikan dan prestasi yang dimiliki lansia (Banon, 2011). Selain itu, menurut Muhlbauer, Chrisler, Denmark (2014), terapi Reminiscence yang terstruktur merupakan intervensi kognitif-perilaku yang efektif untuk mengurangi depresi pada orang lansia. Depresi sendiri dapat terjadi salah satunya akibat paparan stres secara jangka panjang (Astri, 2012).

Dasar teoritis untuk terapi reminiscence adalah teori kontinuitas yang menyatakan bahwa individu yang mengalami perubahan dalam hidup mereka mencoba untuk memahami perubahan dengan mengingat orang, kejadian, dan pengalaman dari masa lalu mereka. Proses mengingat perubahan masa lalu atau tantangan dan pengetahuan, keterampilan, dan strategi yang mereka gunakan untuk mengatasi perubahan menghasilkan rasa kontinuitas dalam hidup mereka dan kemampuan untuk menggunakan metode koping yang biasa digunakan untuk beradaptasi dengan adanya perubahan (Parker, 1995; Atchley, 1989; dalam


(5)

Perese, 2012). Selama proses terapi reminiscence, individu didorong untuk berbicara tentang kenangan yang menyenangkan dalam hidup mereka di masa yang sebelumnya. Saat mereka mengingat pengalaman positif dari masa lalu, seseorang yang telah memasuki usia tua dapat menggunakan pengetahuan umum, keterampilan, dan strategi untuk beradaptasi dengan stressor penuaan. Selain itu, ketika kenangan dibagi dengan orang lain, mereka akan memberikan bukti koping yang sukses di masa lalu dan membangun identitas individu sebagai individu yang kompeten (Parker, 1995; Perese, Rohloff, & Ryan, 2008; Watt & Cappeliez, 2000 dalam Perese, 2012).

Penelitian yang dilakukan Chou, Lan, dan Chao (2008) mengenai Application of individual Reminiscence therapy to decrease anxiety in an elderly woman with dementia. Hasil yang ditemukan setelah diberikan terapi reminiscence, responden terlihat lebih menunjukkan ekspresi bahagia di wajahnya, bersedia untuk mengekspresikan dirinya sendiri secara lebih lisan, memiliki lebih banyak interaksi dengan orang lain, dan jarang menggunakan obat untuk membantunya tidur. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbaikan pada emosi negatif dan kecemasan.

Penelitian eksperimental yang dilakukan Fallot (1980 dalam Banon, 2011) mengenai terapi Reminiscence sebagai metode terapeutik pada 30 wanita dari berbagai usia. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan mood yang positif setelah mendapat terapi Reminiscence. Cappliez, dkk (2007 dalam Banon, 2011) dalam penelitiannya tentang fungsi reminscence dan regulasi emosi pada lansia meliputi pemecahan masalah, persiapan kematian, pengalaman kehidupan,


(6)

kegagalan masa lalu, kebosanan dan memelihara keakraban. Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan emosi positif pada lansia yang berpengaruh secara signifikan terhadap kecemasan, depresi dan kualitas hidup. Penelitian tersebut menunjukan bahwa melalui terapi Reminiscence, lansia dapat lebih mengekspresikan dirinya sendiri, lebih banyak berinterkasi dengan orang lain, meningkatkan harga diri, dan meningkatkan mood positif untuk mengatasi kondisi stres.