Perbedaan Efek Pemberian Asam Asetilsalisilat Dosis100 mg Dan 300 mg Terhadap Fungsi Aggregasi Trombosit, Kadar D-dimer Dan Outcome Fungsional Pada Penderita Stroke Iskemik Akut

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 STROKE ISKEMIK
II.1.1. DEFINISI
Stroke adalah suatu episode disfungsi neurologi akut disebabkan
oleh iskemik atau perdarahan berlangsung 24 jam atau meninggal, tapi
tidak memiliki bukti yang cukup untuk diklasifikasikan (Sacco dkk, 2013).
Stroke iskemik adalah episode disfungsi neurologis disebabkan
infark fokal serebral, spinal dan infark retinal. Dimana infark SSP (Sistem
Saraf Pusat) adalah kematian sel pada otak, medulla spinalis, atau sel
retina akibat iskemia (Sacco dkk, 2013).
II.1.2 Epidemiologi
Stroke adalah salah satu sindrom neurologi yang merupakan
ancaman terbesar menimbulkan kecacatan dalam kehidupan manusia. Di
Amerika Serikat, stroke menempati urutan ketiga penyebab kematian
setelah penyakit jantung, sedangkan di Indonesia stroke merupakan
penyebab kematian tertinggi (Misbach J dkk, 2011)
Data dunia yang banyak dipublikasi adalah data dari studi
Framingham, yang merupakan pengamatan setiap 2 tahun, selama 36


tahun (mulai tahun 1950) pada 5070 pria dan wanita yang tidak
berpenyakit kardiovaskular, berusia 30-62 tahun. Selama pengamatan
tersebut didapatkan kasus stroke dan TIA sebanyak 693 orang (Misbach J
dkk,2011)
Data pada 28 rumah sakit di Indonesia menunjukkan bahwa usia
rata-rata penderita stroke pada studi itu adalah 58,8 ± 13,3 tahun dengan
rentang 18-95 tahun. Usia rata-rata wanita lebh tua daripada pria (60,4 ±
13,8 tahun versus 57,5 ± 12,7 tahun). Usia kurang dari 45 tahun sebanyak
12,9% dan lebih dari 65 tahun sebanyak 35,8%. Berbeda dengan studi
Framingham yang mendapatkan kejadian stroke pada pria lebih tinggi dari
wanita, namun pada studi di Indonesia ini kejadan pada wanita lebih
banyak dari pria (53,8% versus 46,2%). Dari data ini menunjukkan bahwa
terdapat

peningkatan

kejadian

stroke


yang

bekorelasi

dengan

pertambahan usia. Faktor resiko utama penderita stroke dalam studi ini
adalah hipertensi (73,9%). Kejadian atrial fibrilasi dijumpai sebanyak 5,8%
dan penyakit katub jantung 3,4%. Faktor resiko Diabetes Melitus terdapat
17,3 %; polisitemia 1,7 %; hiperkolesterolemia 16,4%; pemakaian pil
kontrasepsi, merokok, alkohol dan riwayat stroke dijumpai masing-masing
1,5%; 20,4 % ; 1,4% dan 19,9% (Misbach J dkk, 2011).
II.1.3 Faktor Resiko
Faktor- faktor resiko untuk terjadinya stroke dapat diklasifikasikan
sebagai berikut (Sjahrir, 2003):

1. Non modifiable risk factors :
a. Usia
b. Jenis Kelamin
c. Keturunan / genetik

2. Modifiable risk factors
a. Behavioral risk factors
1. Merokok
2. Unhealthy diet : lemak, garam berlebihan, asam urat, kolesterol,
low fruit diet.
3. Alkoholik
4. Obat – obatan: narkoba (kokain), antikoagulansia, antiplatelet,
obat kontrasepsi.
b. Physiological risk factors
1. Penyakit hipertensi
2. Penyakit jantung
3. Diabetes mellitus
4. Infeksi/lues,

arthritis,

traumatik,

(Accute


Immunodefisiency

Syndrome) AIDS, lupus
5. Gangguan ginjal
6. Kegemukan (obesitas)
7. Polisitemia, viskositas darah meninggi dan penyakit perdarahan
8. Kelainan anatomi pembuluh darah
9. Dan lain-lain

II.1.4 Klasifikasi
Dasar klasifikasi yang berbeda – beda diperlukan, sebab setiap
jenis stroke mempunyai cara pengobatan, pencegahan dan prognosa
yang berbeda, walaupun patogenesisnya sama (Sjahrir H, 2003)
I. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya :
1. Stroke iskemik
a. Transient Ischemic Attack (TIA)
b. Thrombosis serebri
c. Emboli serebri
2. Stroke Hemoragik
a. Perdarahan intraserebral

b. Perdarahan subarachnoid
II. Berdasarkan stadium / pertimbangan waktu
1. Transient Ischemic Attack (TIA)
2. Stroke in evolution
3. Completed stroke
III. Berdasarkan sistem pembuluh darah
1. Sistem karotis

2. Sistem vertebrobasiler
IV. Klasifikasi Bamford untuk tipe infark yaitu :
1. Partial Anterior Circulation Infarct (PACI)
2. Total Anterior Circulation Infarcy (TACI)
3. Lacunar Infarct (LACI)
4. Posterior Circulation Infarct (POCI)
V. Klasifikasi Stroke Iskemik berdasarkan kriteria kelompok peneliti Trial of
Org 10172 in Acute Stroke Treatment (TOAST) (Sjahrir H, 2003)
1. Aterosklerosis Arteri Besar
2. Kardioembolisme
3. Oklusi Arteri Kecil
4. Stroke Akibat dari Penyebab Lain yang Menentukan

a. Non-aterosklerosis Vaskulopati
• Non inflamasi
• Inflamasi non infeksi
• Infeksi
b. Kelainan Hematologi atau Koagulasi
5. Stroke Akibat dari Penyebab Lain yang Tidak Dapat Ditentukan

II.1.5 Patofisiologi Stroke Iskemik
Iskemik otak mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara
bertahap, yaitu (Sjahrir, 2003):
Tahap 1 :
a. Penurunan aliran darah otak.
b. Pengurangan O2.
c. Kegagalan energi.
d. Terminal depolarisasi dan kegagalan homeostasis ion.
Tahap 2 :
a. Eksitoksisitas dan kegagalan homeostasis ion.
b. Spreading depression.
Tahap 3 : Inflamasi
Respon inflamatorik pada stroke iskemik akut mempunyai pengaruh

buruk yang memperberat bagi perkembangan infark serebri. Berbagai
penelitian menunjukkan adanya perubahan kadar sitokin pada penderita
stroke iskemik

akut.

Sitokin adalah

mediator

peptida

molekuler,

merupakan protein atau glikoprotein yang dikeluarkan oleh suatu sel dan
mempengaruhi sel lain dalam suatu proses inflamasi, contohnya limfokin
dan interleukin (IL-1 beta, IL-6, IL-8, TNF-α) yang merupakan sitokin pro
inflamatorik. Adanya IL-8 tersebut merupakan diskriminator terkuat yang

membedakan kasus stroke dengan non stroke. Produksi sitokin yang

berlebihan mengakibatkan plugging mikrovaskuler serebral dan pelepasan
mediator vasokonstriktif endotel sehingga memperberat penurunan aliran
darah, juga mengakibatkan eksaserbasi kerusakan Blood Brain Barrier
(BBB) dan parenkim melalui pelepasan enzim hidrolitik, proteolitik dan
produksi radikal bebas yang akan menambah neuron yang mati (Sjahrir,
2003)
Tahap 4 : Apoptosis
II.2.

TROMBOSIT

II.2.1. Definisi
Trombosit adalah komponen darah dengan ukuran terkecil dari 2-4
mikron yang dianggap bukan sel yang sesungguhnya karena sel ini tidak
memiliki nukleus. Trombosit merupakan fragmen sitoplasmik pada
megakariosit dengan waktu maturasi selama 4-5 hari. Usia trombosit
adalah sekitar 10 hari pada sirkulasi (Johns CS, 2004).
Pada pemeriksaan dengan mikroskop elektron, trombosit dibagi
menjadi 3 zona anatomi yang berbeda, yaitu zona membran (membran
plasma, membran trombosit, submembran), zona sitoskeleton (membantu

mempertahankan bentuk trombosit, kemampuan kontraktilitas), dan zona
organela (bertanggung jawab dalam penyimpanan dan pelepasan
kandungan-kandungan

trombosit

trombosit) (Johns CS, 2004).

yang

berperan

dalam

aggregasi

Tabel 1. Zona Anatomi Trombosit

Dikutip dari : Johns CS.2004.Platel Function Testing. Clinical Hemostasis
Review. Esoterix.18(4):1-9


Membran

plasma

mengelilingi

permukaan

trombosit

dan

mengandung suatu mukopolisakarida yang menyerap protein prokoagulan
plasma seperti fibrinogen, faktor V, faktor VIII, faktor XI dan faktor XII.
Tujuan perlekatan ke permukaan trombosit adalah menjaga protein
koagulasi tetap berada pada lokasi injuri vaskular sehingga bisa
berpartisipasi pada proses koagulasi dalam membentuk fibrin (Johns CS,
2004).
Membran trombosit terbentuk dari suatu sistem mikrotubulus yang

berfungsi sebagai struktur pendukung trombosit tersebut. Kepadatan
sistem tubulus meluas hingga ke interior trombosit dan memperluas
permukaan trombosit tersebut. Tubulus ini akan menyediakan tempat

penyimpanan kalsium dan mengandung fosfolipid. Fosfolipid beperan
dalam

pembentukan

aggregasi

trombosit.

prostaglandin,
Sistim

yang

tubular

selanjutnya

inilah

lokasi

memediasi

pembentukan

prostaglandin (Johns CS, 2004).
Daerah

submembran

dari

membran

trombosit

mengandung

reseptor glikoprotein (GP) atau integrin seperti GPIb, GPIIb, GPIIIa, dan
GP IX. Glikoprotein menyediakan lokasi utama untukperlekatan fibrinogen,
faktor von Willebrand (vWF) dan ligan-ligan lainnya yang diperlukan untuk
adesi dan aggregasi trombosit (Johns CS, 2004).

II.2.2 Fungsi Trombosit dan Aktivasi Trombosit
Telah banyak penelitian yang mendiskusikan peranan trombosit
pada

hemostasis

dan

trombosis.

Adesi

trombosit

pada

matriks

ekstraselular merupakan langkah inisisal pada terjadinya hemostasis
primer. Trombosit akan bergulung, melekat dan menyebar di dalam
matriks kolagen untuk membentuk suatu lapisan trombosit yang teraktifasi
(activated platelet monolayer). Adesi ini diperantarai oleh interaksi antara
reseptor kompleks glikoprotein (GP) Ib/V/IX pada permukaan trombosit
terhadap faktor von Willebrand (vWF) dan GPVI dan GPIa terhadap
kolagen di lokasi injuri (Jennings K, 2009).
Interaksi antara vWF dan GPIb/V/IX diperlukan sebagai adesi inisial
antara trombosit kepada subendotelium pada keadaan high shear (seperti
pada arteri, arteriol, dan arteri yang stenosis). Pada keadaan normal,

soluble

vWF

tidak

berinteraksi

dengan

GPIb/V/IX.

Namun,

saat

diimobilisasi oleh lokasi injuri yang terpapar kolagen, keduanya akan
membentuk adesi yang kuat (Jennings K, 2009).
Aktifasi dan rekrutmen trombosit distimulasi oleh ikatan antara
produk-produk sekresi trombosit dan faktor-faktor prtrombotik lokal lainnya
(tissue factor), yang akhirnya menuntun pada terbentuknya sumbat
hemostasis.

Terdapat

banyak jalur untuk mengaktivasi trombosit,

termasuk yang distimulasi oleh kolagen, adenosin diphospate (ADP),
tromboxan A2, epinefrin, serotonin dan trombin. Akumulasi aktivasi seluruh
aktifator ini

akan menarik trombosit-trombosit dari sirkulasi, yang

selanjutnya juga akan menyebabkan peristiwa aktivasi trombosit yang
berbeda-beda (Jennings K, 2009).

Tabel 2. Platelet activator dan peranannya terhadap trombosit

Dikutip dari : Jennings K.2009. Mechanism of platelet activation: Need for
new
strategies
to
protect
against
platelet-mediated
atherothrombosis.Thromb Haemost.102 : 248-257

Aktifasi trombosit dimulai setelah aktifasi phospholipase C (PLC)
yang

menghidrolisa

membran

fosfatidilinositol-4,5-bifosfat

sehingga

menghasilkan second messengers yang diperlukan untuk meningkatkan
konsentrasi Ca+ di sitosol, sehingga akan terjadi aktifasi integrin melalui
suatu jalur yang terdiri dari faktor pertukaran (yaitu CaIDAG-GEF), suatu
switch (yaitu suatu kelompok Ras), suatu adaptor ( yaitu Rap1-GTPinteracting adapator mollecule (RIAM1)), dan suatu protein yang
berinteraksi terhadap integrin sitosol (kindlin dan talin). Isoform PLC mana
yang akan teraktifasi tergantung pada agonis yang ada. Kolagen akan
mengkatfkan PLCɤ 2 meggunakan mekanisme yang tergantung paa

protein tirosin kinase dan molekul scaffold. Sedangkan trombin, ADP dan
TXA2 mengaktifasi PLCβ menggunakan Gq sebagai perantara (Brass dkk,
2010)

Gambar 1. Jalur aktifasi trombosit
Dikutip dari : Brass, L. 2010. Understanding and evaluating platelet
function.American Society of Hematology: 387-396

II.2.3 Aggregasi Trombosit dan Teknik Pemeriksaan Aggregasi
Trombosit
Pembentukan sumbat platelet seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, terbagi atas beberapa fase (inisiasi, ekstensi dan stabilisasi).
Inisiasi oleh kolagen atau trombin akan menghasilkan suatu fibrin
monolayer yang akan mendukung adesi trombosit lainnya yng juga sudah
teraktifasi. Ekstensi terjadi saat trombosit yang lainnya melekat pada fibrin

monolayer dan kemudian teraktifasi. Pada tahap ini trombin, ADP dan
TXA2 memiliki peranan yang sangat besar, yaitu mengaktifkan trombosit
melalui reseptor-reseptornya dipermukaan sel tesebut sehingga terbentuk
suatu protein heterometrik G. Adenosin difosfat (ADP) disekresikan dari
granul di dalam trombosit, sedangkan TXA2 dibentuk dari sintesa asam
arakidonat yang dilepaskan oleh membran fosfolipid trombosit bila
trombosit teraktifasi. Pembentukan TXA2 ini tergantung pada enzim COX1 yang bisa dihambat oleh ASA secara ireversibel. Pembentukan trombin
difasilitasi oleh trombosit yang sudah teraktifasi sehingga menciptakan
suatu lingkungan dimana kompleks faktor-faktor pembekuan dapat
bergabung begitu fosfatidilserin berpindah ke permukaan trombosit. Sinyal
intraseluler akan mengaktifkan integri

αIIbβ3

(GP Iib-IIIa) sehingga

memungkinkan interaksi (aggregasi) trombosit (Brass L dkk,2010;
Heemskerk JWM dkk, 2002).

Gambar 2. Pembentukan Sumbat Platelet (Platelet plug)
Dikutip dari : Jennings K.2009. Mechanism of platelet activation: Need for
new
strategies
to
protect
against
platelet-mediated
atherothrombosis.Thromb Haemost.102 : 248-257
Ada banyak reagen yang bisa digunakan untuk menginduksi
aggregasi trombosit seperti ADP, epinefrin, kolagen dan trombin (Kamath
S dkk, 2001).
Pemeriksaan

aggregasi

trombosit

bertujuan

mendeteksi

abnormalitas fungsi trombosit. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan
berbagai cara seperti makroskopik, mikroskopik dan menggunakan
analyzer.

Yang

paling

sering

dikerjakan

menggunakan

analyzer

berdasarkan perubahan transmisi cahaya. Pada pemeriksaan analyzer ini
diperlukan bahan pemeriksaan berupa platelet rich plasma (PRP) dengan
menggunakan

agonis

seperti

ADP.

Hasil

pemeriksaan

aggregasi

trombositnya akan tergantung pada kadar ADP yang dipakai sebagai
agregator (Wirawan R,2007).

Pada penelitian aggregasi trombosit yang dilakukan oleh Wirawan
R (2007) di Jakarta terhadap 90 laki-laki dan 90 perempuan berumur 2050 tahun dengan menggunakan agregometer Chrono-Log model 490
menggunakan agonist ADP 1,2,5 dan 10 mM berturut-turut adalah 9,8%;
4,8%; 13,2%; dan 12,1%. Nilai rujukan aggregasi maksimal pada 90 lakilaki dan 90 perempuan berumur 20-50 tahun tidak berbeda bermakna
dengan menggunakan agonist ADP 1,2,5 dan 10 mM berturut-turut 315%%; 11-36%; 25-68% dan 49-84% (Wirawan R,2007).
Hal-hal yang meningkatkan fungsi aggregasi trombosit adalah
uremia,

paraproteinemia,

diabetes

melitus,

hiperlipoproteinemia,

pemakaian kontrasepsi hormonal, perokok dan obat. Pada uremia terjadi
perdarahan akibat gangguan fungsi trombosit yang disebabkan akumulasi
metabolik toksik. Peningkatan kadar imunoglobulin yang disebabkan oleh
paraproteinemia menyebabkan gangguan fungsi trombosit karena adanya
interaksi antara paraproten dengan membran glikoprotein dari trombosit
yang mengakibatkan gangguan ikatan trombosit dengan fibrinogen dan
faktor vWF (Wirawan dkk, 2007).
II.2.4 Peranan Trombosit Pada Kaskade Koagulasi
Aktifasi trombosit dan aktifasi kaskade koagulasi merupakan suatu
proses yang saling melengkapi (Jennings K,2009).
Terdapat banyak jalur signaling yang memediasi aktifasi trombosit
dan peristiwa-peristiwa trombotik lainnya. Sehingga strategi pengobatan

yang ditujukan terhadap satu jalur tunggal tidak bisa diharapkan untuk
mencegah terjadinya peristiwa-peristiwa ini. Karena trombosis disebabkan
jalur signaling yang multipel, kegagalan terapi dengan satu obat tidak
cukup dinyatakan sebagai resistensi obat. Definisi yang optimal untuk
menyatakan resistensi atau non-responsifnes adalah adanya bukti aktifitas
yang persisten terhadap target spesifik dari suatu agen antiplatelet
(Gurbel PA dkk, 2007).
Asam asetilsalisilat (ASA) mengasetilasi separuh serin yang
terdapat pada COX-1 sehingga menyebabkan inhibisi yang ireversibel.
Metode laboratoris untuk menilai responsifitas trombosit terhadap ASA
dapat dikategorikan menjadi COX-1 spesific dan COX-1 nonspesific.
Metode COX-1 spesific termasuk didalamnya adalah arachidonic acidinduced platelet aggregation yang diperiksa dengan menggunakan LTA,
trombelastografi dengan menggunakan Platelet Mapping Assay, dan
Verify Now and Enzyme-linked Immunoassay untuk mendeteksi adanya
metabolit TXA2 yang stabil di serum atau urin (Gurbel PA dkk, 2007).
Metode yang tidak spesifik terhadap COX-1 termasuk didalamnya
adalah ADP atau collagen induced platelet aggregation yang diukur
dengan LTA atau Platelet Function Analyzer (PFA)-100 (Gurbel PA dkk,
2007).
Meskipun kriteria diagnostik yang lebih formal untuk menyatakan
resistensi ASA masih sangat kurang, namun resistensi ASA secara umum

digambarkan sebagai suatu keadaan kegagalan obat tersebut untuk
menghasilkan respons biologis yang diharapkan atau untuk mencegah
peristiwa-peristiwa aterotrombosis. Studi Aspirin-Induced Platelet Effect
(ASPECT) yang dilakukan untuk menilai respon trombosit terhadap
pemberian ASA dengan 3 dosis yang berbeda (81 mg, 162 mg dan 325
mg/hari)

pada penderita penyakit jantung koroner stabil menunjukkan

efek antiplatelet ASA bersifat dose dependent, terutama pada pasien yang
juga memiliki riwayat diabetes melitus (Gurber PA dkk,2007; DiChiara J
dkk,2007).
Pemeriksaan aggregasi trombosit cukup rumit dilakukan karena
banyak hal-hal yang bisa mempengaruhi hasil pemeriksaannya seperti
kebersihan lokasi venopunksi, darah yang sudah lisis (hemolisis), dan
puasa, serta dipengaruhi pemakaian obat-obat antiinflamasi (Johns CS
dkk, 2004).
Proses aggregasi trombosit dapat dilihat sebagai proses 2 tahap
yang dikenal sebagai gelombang aggregasi primer dan sekunder (primary
and secondary waves of aggregation). Gelombang aggregasi primer
terlihat saat trombosit berlekatan satu sama lain akibat adanya agonis
seperti ADP, epinefrin dan ristostetin. Gelombang aggregasi sekunder
terjadi saat trombosit terstimulasi untuk mengeluarkan substansi-substansi
yang terdapat di organel-organelnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa
beberapa agonis akan menstimulasi aggregasi primer dan beberapa
agonis akan menstimulasi aggregasi sekunder. Ada juga agonis yang

akan menstimulasi keduanya sehingga bisa terlihat sebagai gelombang
bifasik (Johns CS, 2004).

Gambar 3. Kurva bifasik aggregasi trombosit
Dikutip dari : Johns CS.2004.Platel Function Testing. Clinical Hemostasis
Review. Esoterix.18(4):1-9

II.3 D-Dimer
II.3.1 Definsi
D-dimer adalah suatu penanda degradasi fibrin yang dimediasi oleh
plasmin (plasmin-mediated fibrin degradation). D-dimer menggambarkan
suatu fibrin degradation products (FDP) dan mengindikasikan adanya
suatu oklusi pembuluh darah (Park YW dkk, 2011).
Konsentrasi D-dimer di dalam darah menggambarkan besarnya
degradasi fibrin di dalam darah, dan marker ini terdapat di dalam
beberapa produk degradasi pemecahan rangkaian fibirn dengan plasmin.

Peningkatan kadar D-dimer di dalam darah menggambarkan
aktivasi sistim koagulasi di dalam darah. Telah banyak dugaan
sebelumnya yang menyatakan bahwa peningkatan kadar D-dimer di
dalam darah menggambarkan peningkatan koagulasi darah, pembentukan
trombin, degradasi fibrin intravaskular (yang biasanya terjadi intraarterial)
(Danesh J dkk, 2001)
II.3.2 Patofisiologi Fibrin D-Dimer
Plasmin adalah suatu enzim fibinolisis yang berasal dari prekursornya yaitu plasminogen, yang dibentuk akibat adanya interaksi antara
trombin dan aktivativator plasminogen. Aktivator plasminogen yang utama
adalah tissue Plasminogen Activator (tPA) dan pro-urokinase, yang
diaktivasi menjadi urokinase. Plasmin dinetralisasi oleh α2 antiplasmin
selanjutnya

akan

amenghambat

aktifitas

fibrinogenolitik

dan

mengakibatkan fibrinolisis pada sumbat fibrin (Wakai A dkk, 2003).
Fibrin merupakan komponen utama dari suatu trombus. Fibrin
terbentuk dari aktifasi sistim koagulasi. Produksi fibrin diikuti dengan
aktifasi sistim fibrinolisis, menimbulkan reaksi plasmin dan selanjutnya
terjadi lisis fibrin. Pada kondisi fisiologis yang normal, terdapat
keseimbangan di antara kedua proses yang berlawanan ini. Bila terjadi
disolusi pada crosslinked fibrin (XL-Fg) akan menyebabkan terbentuknya
produk degradasi yang spesifik, termasuk D-dimer, yang bisa diukur
dalam whole blood maupun dalam plasma dengan menggunakan antibodi

monoklonal yang ditujukan kepada epitop yang terletak pada fragmen Ddimer. Aktifitas D-dimer ini mengggambarkan secara keseluruhan aktifitas
pembentukan sumbat hemostasis dan proses lisisnya. Karena D-dimer
tidak terbentuk secara in vitro, maka keberadaannya menggambarkan
secara

pasti

kondisi

hemostasis

intravaskular

(berbeda

dengan

fibrinogen). Sehingga bisa dikatakan bila D-dimer tidak terdeteksi dalam
darah berarti tidak ada pembentukan sumbat hemostasis intravaskular
(Wakai A dkk, 2003)
Aktifasi sistim koagulasi akan meyebabkan terbentuknya trombin.
Enzim ini akan memecahkan terminal amino fibrinopeptida A dan B dari
fibrinogen. Molekul fibrin monomer yang terbentuk ini kemudian akan
berpolimerase menjadi jalinan fibrin yang insoluble. Fibrin-fibrin ini
kemudian akan distabilkan melalui ikatan kovalen yang bersilangan
(crosslink) yang terbentuk akibat aktifitas faktor XIIIa. Plasmin, enzim yang
berperan dalam proses fibrinolisis, adalah enzim yang akan melisiskan
crosslink fibrin tersebut. Hasil dari proses ini adalah terbentuknya epitop
D-dimer (Wakai A dkk, 2003)

.
Gambar 4. D-dimer sebagai marker reaktif pada keseimbangan
homestasis.
Dikutip dari : Wakai A, Gleeson A, Winter D.2003.Role of fibrin D-dimer
testing in emergency medicine.Emerg Med J.20 :319-325
II.3.3 Kondisi-Kondisi yang Mengakibatkan Peningkatan Titer D-dimer
Kondisi yang mengakibatkan peningkatan kadar D-dimer dapat
dibagi menjadi dua, yaitu kondisi non patologis dan kondisi patologis.
a. Kondisi Non Patologis
1. Perokok
2. Usia (penderita usia tua yang sehat)
3. Gangguan fungsional
4. Ras (kulit hitam)
5. Kehamilan
6. Post-operasi

b. Kondisi Patologis
1. Trauma
2. Pre-eklampsi
3. Keganasan
4. Infeksi
5. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
6. Penyakit sickle cell
7. Tromboemboli arteri atau vena
8. Atrial fibrilasi
9. Sindrom koroner akut
10. Stroke
11. Perdarahan saluran cerna bagian atas akut.
II.4 ASPIRIN
II.4.1 Definisi
Asam asetilsalisilat adalah obat yang memiliki efek antagonis
terhadap kerja prostaglandin tromboksan A2 sehingga mempengaruhi
fungsi aggregasi trombosit dan memperpanjang waktu perdarahan
(Katzung BG dkk, 2011).
II.4.2 Struktur Kimia dan Metabolisme
Asam salisilat merupakan suatu asam organik sederhana dengan
pKa 3,0. Asam ini akan diserap secara cepat dari lambung dan intestinum
bagian atas dan akhirnya mencapai kadar pucak di plasma setelah 1-2
jam. Setelah diserap, ASA akan segera terhidrolisasi (waktu paruh di

serum adalah 15 menit) menjadi asam asetat dan salisilat oleh esterase di
jaringan dan darah. Salisilat akan berikatan dengan albumin secara non
linier. Alkalinisasi urin akan meningkatkan kecepatan ekskresi salisilat
bebas dan bentuk konjugasinya yang larut air (Katzung , 2011).

Gambar 5. Struktur Kimia dan Metabolisme Aspirin
Dikutip dari : Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ. 2011.Basic and Clinical
Pharmacology 12th Ed. McGraw Hill. San Fransisco

II.4.3 Farmakokinetik dan Farmakodinamik
Asam salisilat adalah asam organik sederhana dengan pKa 3,0.
Asam asetilsalisilat sendiri memiliki pKa 3,5. Salisilat akan diserap secara
cepat dari lambung dan intestinal bagian atas serta mencapai kadar

puncaknya di plasma darah dalam 1-2 jam. ASA diabsorbsi dan dihidrolisa
(waktu paruh 15 menit) menjadi asam asetat dan salisilat oleh enzim
eterase di jaringan dan darah. Salisilat berikatan secara non-linier dengan
albumin. Alkalinisasi urin meningkatkan ekskresi salisilat bebas dan
konjugatnya yang larut air (Katzung dkk, 2011).
Asam asetilsalisilat (ASA) akan memodifikasi COX-1 dan COX-2
namun afinitasnya terhadap COX-1 adalah 50 -100 kali dibanding
terhadap

COX-2.

Asam

astilsalisilat

(ASA)

akan

mengasetilasi

sekelompok hidroksil serin pada COX-1 yang hidrofobik dan akan
menghambat asam arakhidonat ke lokasi aktif pada enzim tersebut.
Trombosit memiliki sitoplasma yang tidak mengandung nukleus dan
memiliki aktifitas transkripsi yang minimal. Sehingga ASA menginduksi
defek pada sintesis tromboksan yang ireversibel, dan efek ini bertahan
sepanjang umur trombosit (8-10 hari). Efek inhibisi sintesis tromboksan ini
merupakan target utama ASA untuk mencegah trombosis dan hal ini
merupakan efek yang dose-independent berbeda dengan efek toksisitas
gastrointestinal yang dose-dependent (Maree AO, 2007; Patrono C dkk,
2011; Katzung BG dkk, 2011; Pawar D dkk, 1998).

Gambar 6. Mekanisme Kerja ASA Pada Trombosit dan Endotel
Vaskular
Dikutip dari : Pawar D, Maroli A, Shahani S. 1998. Aspirin-The novel
antiplatelet drug. HKMJ (4): 415-418

Sudah banyak percobaan klinis yang dilakukan untuk mengetahui
efikasi penggunaan ASA. Efikasi pemakaian ASA ternyata tidak secara
langsung berhubungan dengan dosis yang digunakan dan dosis yang
kecil menimbulkan efek samping yang lebih sedikit. Efek samping paling
banyak adalah gastric intolerance dan efek samping terberat yang paling
sering muncul adalah perdarahan gastrointestinal bagian atas. Kedua efek
ini timbul akibat inhibisi COX-1 di lambung, menyebabkan berkurangnya
produksi gastroprotektif PGE2. Tromboksan A2 (TXA2) dibentuk oleh
trombosit yang teraktivasi dan bekerja pada reseptor di trombosit (yang

selanjutnya menyebabkan aktifasi trombosit yang berkelanjutan) dan
bekerja pada otot polos vaskular (menyebabkan vasokonstriksi) (Ritter JM
dkk, 2008).
Asam asetilsalisilat (ASA) menghambat aggregasi trombosit secara
in vitro setelah diinduksi oleh asam arakidonat eksogen dan ADP dosis
rendah, namun tidak berpengaruh pada respons platelet terhadap agonis
yang lebih kuat seperti trombin. Kemampuan trombosit untuk membentuk
TXA2 dapat diperkirakan dengan mengukur metabolit stabilnya seperti
TXB2 di dalam darah yang sudah dibekukan pada suhu 370 C selama 45
menit. Asam asetilsalisilat (ASA) menghambat pembentukan serum TXB2
secara dose dependent, namun dibutuhkan inhibisi minimal sekitar 95%
untuk memperoleh efek inhibisi. Sedangkan inhibisi maksimal 99% untuk
menimbulkan efek aggregasi dan pemanjangan waktu pendarahan. Hal ini
konsisten juga dengan efek inhibisi sebanyak 99% pada TXB2 diperlukan
untuk menekan aggregasi trombosit pada populasi penderita CAD (Maree
AO, 2007).
II.4.4 Dosis, Indikasi dan Efek Samping Aspirin
Asam asetilsalisilat (ASA) memiliki peranan sebagai antipiretik,
antiinflamasi, analgetik dan juga anti-aggregasi trombosit (Seth SD, 2008).
Sebagai analgetik, ASA mampu menangani nyeri ringan hingga
sedang seperti nyeri kepala, artritis, dismenore, neuralgia dan mialgia.
Efek ini timbul akibat adanya inhibisi terhadap sintesis prostaglandin.

Dosis ASA sebagai analgetik pada orang dewasa adalah 325-650 mg
setiap 4 jam. Untuk anak-anak dosisnya adalah 50-75 mg/kgBB/hari
dalam 4-6 dosis terbagi dan tidak boleh lebih dari 3,5/hari (Seth SD,
2008).
Mekanisme kerja ASA sebagai antiinflamasi selain dengan
menginhibisi COX, ASA juga menginhibisi adesi granulosit ke dinding
vaskular, menstabilkan lisosom dan menghambat migrasi PMN dan
makrofag ke lokasi inflamasi. Untuk supresi maksimal pada inflamasi
akibat rematik pada orang dewasa diberikan dosis 5-6 g/hari (Seth SD,
2008).
Sebagai antipiretik, ASAakan menurunkan set point temperatur
pada hipotalamus dengan menghambat pembentukan PGE2 (Seth SD,
2008).
Sebagai antiaggregasi trombosit, ASA bisa diberikan dalam dosis
rendah (40 mg/hari) (Seth SD, 2008).
Food and Drug Administration (FDA) telah mengeluarkan suatu
rekomendasi pemakaian ASA dosis 50-325 mg/hari bisa membantu
mencegah terjadinya stroke setelah suatu TIA atau stroke. ACCP pun
merekomendasikan dosis yang sama sebagai terapi lini pertama setelah
TIA nonkardioembolik atau pun stroke (Sacco RL dkk, 2000).
Asam asetilsalisilat (ASA) dapat digunakan untuk menurunkan
insidensi transient ischemic attacks, angina tidak stabil, trombosis arteri

koroner dengan infark miokard, trombosis setelah coronary artery bypass
grafting (CABG) (Katzung S, 2011).
Efek samping yang bisa ditimbulkan akibat penggunaan ASA
adalah gastric intolerance dan ulkus duodenal/ulkus gaster. Selain itu ASA
juga bisa menyebabkan hepatotoksisitas, asma, kemerahan pada kulit,
perdarahan gastrointestinal dan toksisitas renal (Katzung, 2011).
Karena ASA bekerja pada trombosit maka pemakaian obat ini
dikontraindikasikan pada penderita hemofilia (Katzung, 2011).
II.4.5 Peranan ASA Dalam Penanganan Stroke Iskemik
Asam asetilsalisilat (ASA) telah lama diketahui berperan dalam
pencegahan primer terjadinya stroke. Namun masih sedikit studi yang
meneliti dampak ASA terhadap morbiditas yang ditimbulkan oleh stroke.
Terdapat banyak penelitian-penelitian yang inkonsisten mengenai dampak
pemberian ASA pada penderita stroke. Beberapa menemukan bahwa
pemberian

ASA

bersifat

menguntungkan

namun

ada

juga

yang

menemukan pemberian ASA tidak memberikan keuntungan apa pun. Rist
M dkk (2013) menemukan bahwa pemberinn ASA 100 mg/hari setiap harI
mencegah terjadinya TIA dan stroke, terutama stroke iskemik. Namun
penelitian ini menunjukkan adanya efek yang berbeda terhadap outcome
fungsional setelah pemberian ASA pada penderita stroke (Rist dkk, 2012).
Studi yang lain meneliti dampak ASA terhadap keparahan stroke.
Suatu studi menggunakan data dari Trial of Org 10172 in Acute Stroke

Treatment (TOAST) menilai efek pemberian ASA dalam 7 hari sesudah
stroke dan menemukan penurunan rerata skor NIHSS dalam 24 jam
setelah onset stroke dibandingkan kelompok yang tidak mendapatkan
ASA (Wilterdink JL dkk, 2001).
Data menunjukkan bahwa secara statistik terdapat penurunan
angka mortalitas dan outcome yang tidak diiunginkan setelah pemberian
ASA dalam 48 jam sesudah stroke. Efek primer ini berkaitan dengan
penurunan rekurensi stroke. American Heart Association/ American Stroke
Association menyarankan pemberian ASA dengan dosis inisial 325 mg
dalam 24 jam – 48 jam setelah onset stroke direkomendasikan (Klas I,
Level of evidence A). Namun ASA tidak direkomendasikan sebagai terapi
tambahan pada intervensi akut untuk penanganan stroke, termasuk saat
pemberian rtPA (Klas III, Level of evidence B) dan pemberian ASA (atau
antiplatelet lainnya ) sebagai terapi tambahan dalam 24 jam pemberian
fibrinolisis intravena tidak direkomendasikan (Klas III, Level of evidence C)
(Jauch EC dkk, 2013).
II.4.6 Peranan ASA Terhadap Aggregasi Trombosit dan Kadar DDimer
Skema di bawah ini menunjukkan jalur-jalur utama aktifasi
trombosit dan jalur-jalur inhibisinya akibat ASA, clopidogrel/ticlopidin dan
dipiridamol. Prostaglandin I2 dan NO akan meningkatkan kadar cAMP dan
cGMP sehinggga meningkatkan aktifasi cAMP atau cGMP-dependent

tirosin kinases dan inhibisi aktifasi trombosit. Substansi yang dilepaskan
akibat proses aktifasi ini akan meningkatkan pembentukan trombus. Asam
asetilsalisilat (ASA) akan menginaktifkan COX secara ireversibel yang
akhirnya akan menghambat aktifasi endoperoksidase dan TX-dependent
platelet activation (Smith, 1999).

Gambar 7. Peranan Asam Asetilsalisilat dalam Aktifasi Trombosit
Dikutip dari : Smith, N.M., Pathansali, R., Bath, P.M.W. 1999. Platelets
and stroke.Vascular Medicine.4:165-172

Perubahan asam arakidonat menjadi berbagai bentuk eikosanoid
diregulasi oleh enzim cyclooxigenase (COX) baik COX-1 maupun COX-2.
Enzim COX-1 terdapat pada semua jaringan, sedangkan COX-2 dijumpai
pada keadaan inflamasi sebagai respons terhadap oxygen reactive
species, endotoksin, sitokin, atau growth factors. Enzim COX-2 bisa

dijumpai pada plak aterosklerotik dan juga dijumpai pada platelet yang
baru terbentuk (Undas A dkk, 2006).
Terdapat suatu jalur aspirin-sensitive yang mengawali pelepasan
asam arakidonat dari membran fosfolipid. Aspirin menghambat aktifitas
COX dari prostaglandin (PG) G/H sintase (PGHS), sehingga enzim ini
disebut juga PGHS-1. Pada trombosit, produk dari COX-1 adalah PGH2,
yang merupakan prekursor dari PGD2, PGE2 PGF2α, prostasiklin, dan
tromboksan A2 (TXA2). Tromboksan A2 merupakan produk utama yang
dibentuk dan tromboksan A2 ini berperan sebagai agonis trombosit,
vasokonstriktor, dan juga mitogen otot polos vaskular. Penekanan aktifitas
COX-1 sebanyak 95% akan menghambat aggregasi platelet yang TXA2dependent dan efek ini didapatkan setelah pemberian ASA dosis rendah.
Asam asetilsalisilat (ASA) merupakan suatu inhibitor COX-2 yang sangat
poten, dan dibutuhkan dosis ASA yang jauh lebih besar untuk menekan
aktifitas COX-2 ini agar menghasilkan efek antiinflamasi. Inhibisi COX-2
yang selektif akan menekan prostasiklin dan PGE2.(Undas A, 2006).
Setelah pemberian ASA dosis tunggal, aktifitas COX-1 akan
berkurang 10% bila waktu paruh trombosit normal. Dosis 30-100 mg/hari
merupakan dosis yang cukup untuk menghambat sintesis TXA2. Pada
penyakit vaskular aterosklerosis, sintesis TXA2 hanya sebagian yang
ditekan oleh ASA. Hal ini dibuktikan dengan lebih banyaknya jumlah
metabolit tromboksan di urin dibanding hambatan produksi TXA2-nya.
Namun obat-obat yang menekan aktifitas TXA2 yang lebih besar pun

ternyata tidak menunjukkan keuntungan yang lebih baik dari ASA (Undas
A, 2006).
Efek lain dari ASA adalah kemampuannya untuk mengurangi
produksi trombin dan perubahan pada struktur fibrin seperti meningkatkan
permeabilitas trombus. Hal ini diinduksi oleh asetilasi fibrinogen yang
dapat mempercepat lisis bekuan fibrin. Efek profibrinolisis ASA yang lain
kemungkinan dengan meningkatkan pelepasan tissue plasminogen
activator (t-PA) dari sel-sel endotel yang selanjutnya akan meningkatkan
aktifitas plasmin (Gambar 6.) Peningkatan aktifitas plasmin ini selanjutnya
meningkatkan fibrinolisis sehingga cross link fibrin terdegradasi menjadi
produk degradasinya yaitu D-dimer (Gambar 3) (Wakai A dkk, 2003
;Undas A dkk, 2006).

Gambar 8. Efek antitrombotik asam asetilsalisilat
Dikutip dari :Undas, A., Brummel-Ziedins, K.E., Mann, K.G. 2006.
Antithrombotic properties of aspirin and resistence to aspirin: beyond
strictly antiplatelet actions. Blood.109(6):2285-2292

II.5 KERANGKA TEORI

II.6 KERANGKA KONSEP

FUNGSI AGGREGASI
TROMBOSIT,KADAR DDIMER, SKOR NIHSS/mRS

FUNGSI AGGREGASI
TROMBOSIT,KADAR DDIMER, SKOR NIHSS/mRS

Dokumen yang terkait

Kadar D-dimer Plasma Sebagai Parameter Diagnostik Pada Stroke Iskemik Akut di RSUP.H.Adam Malik Medan.

3 79 87

Beda Efek Parasetamol (Asetaminofen) Dan Asam Asetil Salisilat Terhadap Suhu Tubuh Dan Pengaruhnya Terhadap Outcome Penderita Stroke Iskemik Akut

0 71 13

Efek Pemberian Asam Asetil Salisilat (Aspirin) Dosis 80 mg terhadap Hiperagregasi Trombosit pada Pasien Stroke Iskemik Kasus Baru

0 110 76

Beda Efek Parasetamol (Asetaminofen) Dengan Asam Asetil Salisilat Pada Suhu Tubuh Dan Pengaruhnya Terhadap Outcome Penderita Stroke Iskemik Akut

1 45 101

Perbedaan Efek Pemberian Asam Asetilsalisilat Dosis100 mg Dan 300 mg Terhadap Fungsi Aggregasi Trombosit, Kadar D-dimer Dan Outcome Fungsional Pada Penderita Stroke Iskemik Akut

0 0 20

Perbedaan Efek Pemberian Asam Asetilsalisilat Dosis100 mg Dan 300 mg Terhadap Fungsi Aggregasi Trombosit, Kadar D-dimer Dan Outcome Fungsional Pada Penderita Stroke Iskemik Akut

0 0 2

Perbedaan Efek Pemberian Asam Asetilsalisilat Dosis100 mg Dan 300 mg Terhadap Fungsi Aggregasi Trombosit, Kadar D-dimer Dan Outcome Fungsional Pada Penderita Stroke Iskemik Akut

0 0 10

Perbedaan Efek Pemberian Asam Asetilsalisilat Dosis100 mg Dan 300 mg Terhadap Fungsi Aggregasi Trombosit, Kadar D-dimer Dan Outcome Fungsional Pada Penderita Stroke Iskemik Akut

0 0 6

Perbedaan Efek Pemberian Asam Asetilsalisilat Dosis100 mg Dan 300 mg Terhadap Fungsi Aggregasi Trombosit, Kadar D-dimer Dan Outcome Fungsional Pada Penderita Stroke Iskemik Akut

0 0 13

Kadar D-dimer Plasma Sebagai Parameter Diagnostik Pada Stroke Iskemik Akut di RSUP.H.Adam Malik Medan.

0 0 17