KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA DALAM PENGINTEG

KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA DALAM PENGINTEGRASIAN PENYULUH PERTANIAN
DI ASIA TENGGARA
Kadhung Prayoga1
1

Program Magister Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada
1

Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya
Email: kadhungprayoga@gmail.com

ABSTRAK
Globalisasi dan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) telah mengantar suatu perubahan dalam sektor
penyuluhan, baik di Indonesia maupun diberbagai negara yang ada di Asia Tenggara. Berbagai ancaman dan
potensi dihadapi oleh para penyuluh, karena dengan kebijakan MEA sangat memungkinkan penyuluh dari
negara lain masuk ke Indonesia dan kolaborasi antar penyuluh di Asia Tenggara. Selain itu, budaya yang
beragam antar negara juga menjadi masalah tersendiri. Sehingga, penulisan paper ini bertujuan untuk
mengetahui komunikasi lintas budaya yang sesuai dalam mengintegrasikan penyuluh pertanian yang ada di Asia
Tenggara. Pendekatan yang digunakan adalah kualitatif dengan metode deskriptif dan analisis wacana. Teknik
pengumpulan datanya menggunakan metode studi pustaka untuk mendapatkan data-data sekunder. Hasilnya
adalah ditemui berbagai masalah seperti prasangka, etnosentrisme, dan stereotype yang akan menghambat

komunikasi lintas budaya. Sehingga perlu dikembangkan karakteristik seperti sensitivitas budaya, kecerdasan
budaya, menghormati perbedaan, dan kefasihan budaya untuk bisa meminimalisir masalah yang ada. Dengan
komunikasi lintas budaya, diharapkan penyuluh saling bertukar informasi, pengalaman dan perkembangan
pertanian terbaru di masing-masing negara untuk memajukan negaranya sendiri. Penyuluh yang memiliki
berbagai latar belakang budaya yang berbeda ini diharuskan memiliki rasa kebersamaan, peduli, berbagi
kepercayaan, dan perasaan menjadi satu kesatuan, yaitu masyarakat Asia Tenggara agar tercipta suatu komitmen
bersama untuk memajukan pertanian.
Key word: komunikasi lintas budaya, pertanian, penyuluhan, Asia Tenggara
PENDAHULUAN
Globalisasi dan Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA) telah mengantar suatu perubahan dalam
sektor penyuluhan, baik di Indonesia maupun
diberbagai negara yang ada di Asia Tenggara.
Penyuluh tak lagi dihadapkan pada kepentingan
nasional, lebih dari itu mereka telah menghadapi
suatu kontestasi global dengan berbagai penyuluh
yang ada di Asia Tenggara. Berbagai ancaman juga
dihadapi oleh para penyuluh, karena dengan
kebijakan MEA sangat memungkinkan penyuluh dari
negara lain masuk ke Indonesia. Butuh suatu proses

adaptasi dan peningkatan kemampuan agar penyuluh
tetap mampu bersaing dan eksisten di negerinya
sendiri.
Namun, di sisi lain keadaan ini bisa menjadi
suatu potensi yang tak terhingga karena penyuluh di
Indonesia bisa belajar tentang teknik penyuluhan,
pembaharuan materi, dan mengembangkan koneksi
dari penyuluh yang termasuk ke dalam 10 negara
Asia Tenggara. Potensi bukan berarti tanpa
hambatan. Hambatan seperti budaya, bahasa, dan
proses komunikasi bisa saja menjadi penghalang
tercapainya tujuan tersebut.

Komunikasi antar penyuluh yang tergabung
dalam komunitas ASEAN sangat mungkin akan
terjadi perbedaan persepsi atas pesan yang di
sampaikan oleh komunikan, sehingga komunikasi
juga tidak berjalan lancar. Hal ini terjadi karena
komunikasi bersifat simbolik, maka ketika seseorang
menggunakan simbol, mereka sering mengasumsikan

orang lain juga menggunakan sistem simbol yang
sama. Padahal ketika terjadi komunikasi lintas
budaya antarpenyuluh seperti ini terdapat suatu
perbedaan budaya dan sistem simbol yang dianut
(Rejeki, 2007).
Transfer informasi antara dua atau lebih
penyuluh yang berasal dari negara berbeda acapkali
gagal juga karena perbedaan kepentingan yang
dibawa. Upaya untuk meminimalisir perbedaan
tersebut adalah dengan menggunakan informasi
budaya mengenai pelaku-pelaku komunikasi yang
bersangkutan. Komunikasi seperti ini biasa disebut
sebagai komunikasi lintas budaya, yaitu proses
komunikasi yang menghubungkan dua orang atau
lebih yang berbeda budaya untuk saling bertukar
informasi. Tidak hanya terkait tentang kesamaan dan
perbedaan bahasa, komunikasi lintas budaya juga
memerlukan pemahaman terkait budaya negara lain
Maletzke (1978), mendefenisikan komunikasi
lintas budaya sebagai proses perubahan mencari dan

menemukan makna antarmanusia yang berbeda

budaya. Komunikasi lintas budaya adalah terjadinya
pengiriman pesan dari seseorang yang berasal dari
satu budaya yang berbeda dengan pihak penerima
pesan.
Karena pentingnya pengetahuan penyuluh
terkait komunikasi lintas budaya inilah maka paper
ini ditulis dengan tujuan agar komunikasi lintas
budaya bisa menjadi acuan dan memberikan
pandangan baru dalam mengintegrasikan penyuluh
pertanian yang ada di Asia Tenggara. Harapannya
adalah penyuluh pertanian bisa bekerja sama dan
menggali informasi serta ilmu dari penyuluh
pertanian negara lain agar bisa memajukan pertanian
dalam negeri.
METODE
Pendekatan yang digunakan dalam penulisan
paper ini adalah pendekatan kualitatif. Sedangkan,
metode yang digunakan adalah metode deskriptif dan

analisis wacana. Penulisan paper ini berusaha untuk
menjelaskan komunikasi lintas budaya dalam
mengintegrasikan penyuluh pertanian yang ada di
Asia Tenggara. Teknik pengumpulan datanya sendiri
menggunakan metode studi pustaka untuk
mendapatkan data-data sekunder. Data sekunder
dalam penulisan paper ini berupa bahan-bahan
tertulis yang berasal dari penelitian terdahulu, jurnal,
buku, tesis, disertasi, dan berbagai informasi digital
yang ada di internet. Analisis menggunakan
interpretasi peneliti dengan mengacu pada berbagai
literatur atau referensi yang relevan dengan objek
kajian dalam penulisan paper ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kemajuan
di
era
globalisasi
telah
menghadirkan kompetisi antar bangsa dan membuat

dunia terintegrasi dalam satu kawasan. Salah satunya
adalah munculnya ASEAN sebagai perkumpulan
yang mewadahi 10 negara di Asia Tenggara.
Penandatanganan pakta Asean Economic Community
(AEC) antar negara yang tergabung dalam ASEAN
menyebabkan lahirnya pasar tunggal yang berbasis
produksi tunggal dengan arus barang, jasa, investasi,
dan tenaga terampil yang bebas, dan arus modal yang
lebih bebas di antara Negara ASEAN. Dengan
terbentuknya pasar tunggal yang bebas tersebut,
muncul pula suatu peluang dan ancaman di sektor
penyuluhan pertanian, yaitu tenaga penyuluh bisa
dengan bebas bekerja di Indonesia. Hal ini secara
tidak langsung akan mengancam keberadaan
penyuluh asli Indonesia. Di sisi lain penyuluh
Indonesia juga bisa banyak belajar dari penyuluh
yang ada di Thailand, Myanmar, Malaysia, dan
negara-negara lainnya.
Penyuluh yang ada di Indonesia bisa
terintegrasi dengan penyuluh yang ada di berbagai

negara yang tergabung dalam afiliasi ASEAN.
Mereka bisa saling bertukar informasi, pengalaman
dan perkembangan pertanian terbaru di masingmasing negara. Penyuluh di negara yang sedang

berkembang bisa mempelajari sistem penyuluhan dan
pertanian yang telah diterapkan oleh penyuluh di
negara maju, sehingga ke depan bisa menciptakan
sistem penyuluhan yang lebih baik bagi negaranya.
Namun, berhubung negara-negara di Asia Tenggara
memiliki kebudayaan, bahasa, dan penggunaan
simbol yang beragam, maka penyuluh pertanian
harus bisa beradaptasi dengan kemajemukan budaya
tersebut.
Budaya dinilai bertanggung jawab atas
seluruh perbendaharaan perilaku komunikatif dan
makna yang dimiliki setiap orang. Konsekuensinya,
ialah perbendaharaan-perbendaharaan yang dimiliki
dua orang yang berbeda budaya akan menimbulkan
makna yang berbeda-beda pula, yang dapat
menimbulkan segala macam kesulitan. Namun,

melalui studi dan pemahaman atas komunikasi antar
budaya, kita dapat mengurangi atau hampir
menghilangkan kesulitan-kesulitan ini (Mulyana dan
Rakhmat, 1990).
Penyuluh
dituntut
untuk
melakukan
komunikasi lintas budaya dan beradaptasi dengan
budaya tersebut. Tak bisa dipungkiri komunikasi
menjadi kunci utama agar transfer informasi bisa
berjalan lancar. Masalah yang timbul lainnya
menurut Boeke (1983) adalah karakteristik yang
berbeda dari penyuluh pertanian secara sosial dan
ekonomi. Satu sisi bisa saja adalah seorang penyuluh
yang memiliki ikatan sosial tinggi, sistem kesukuan
tradisional, kebutuhan yang sifatnya terbatas dan
bersahaja, serta prinsip produksi pertanian yang
sifatnya subsisten. Namun, di sisi lainnya adalah
penyuluh pertanian yang sudah berorientasi

keuntungan,
usaha
yang
terorganisasikan,
profesional, bertumpu pada kapitalisasi dan industri
mekanis, serta memandang rendah dorongan atau
motif ekonomi yang dikaitkan dengan motif sosial,
etika, adat, tradisi, suku, agama, dan sebagainya.
Sehingga, butuh pemahaman dan persamaan persepsi
antar penyuluh yang ada di berbagai negara dalam
melakukan proses komunikasi.
Terdapat pula suatu kesulitan dalam
melakukan komunikasi lintas budaya, yaitu suatu
kesulitan di mana pesan disandi dalam suatu budaya,
dan harus disandi balik oleh budaya itu.
Konsekuansinya suatu makna yang dimiliki oleh dua
orang yang berbeda budaya akan menimbulkan
makna yang berbeda pula (Mulyana dan Rakhmat,
1990).
Sehingga dibutuhkan suatu adaptasi budaya

dari seorang penyuluh terkait dengan kebudayaan
penyuluh yang ada di negara lain dalam konteks
untuk memahami mitra kerjanya tersebut.
Ellingsworth (1988) mengemukakan, perilaku
adaptasi dalam interkultural diadik terkait antara lain
dengan unsur adaptasi dalam gaya komunikasi. Lebih
lanjut Gudykunst dan Kim (1997), memandang
adaptasi dapat terjadi dalam dimensi kognitif. Dalam
dimensi kognitif, terjadi penyesuaian bahasa verbal
dan nonverbal. Oleh karena itu dapat dikatakan

bahwa adaptasi dapat terjadi dalam dimensi
perseptual, kognitif, dan perilaku.
Persaingan ini tentu membutuhkan daya
adaptasi dan kemampuan berkomunikasi yang baik
antar penyuluh untuk memahami informasi baru yang
didapatkan dari penyuluh negara lain. Harus pula
disiapkan penyuluh pertanian dengan kompetensi
global agar bisa bersaing dengan penyuluh dari
negara lain.

Penyuluh pertanian di Indonesia juga perlu
dibekali kemampuan untuk dapat bekerja sama
dengan penyuluh dari berbagai negara dan
memahami perbedaan budaya di antara mereka.
Penanaman nilai-nilai seperti ini sangat diperlukan
karena realitas multibudaya yang ada di Asia
Tenggara. Kemajemukan budaya seperti ini bisa saja
menimbulkan konflik karena penyuluh dari berbagai
negara akan saing berinteraksi. Sehingga butuh suatu
pemahaman dan komunikasi diberikan pemahaman
tentang kepribadian masing-masing individu dengan
latar belakang budaya yang berbeda.
Dalam melakukan komunikasi lintas budaya
antar penyuluh yang berada di kawasan Asia
Tenggara dapat terjadi lewat beberapa saluran, baik
menggunakan media massa atau secara interpersonal.
Namun, terdapat beberapa perbedaan dalam
pemanfaatan keduanya, yaitu:
1. Komunikasi antar pribadi memberikan dampak
yang lebih mendalam daripada komunikasi
massa.
2. Komunikasi melalui media massa kurang dalam
hal feedback langsung antara komunikator dan
komunikan.
3. Komunikasi melalui media massa hanya bersifat
satu arah, sedangkan saluran interpersonal lebih
mudah dalam memberikan feedback.
4. Saluran pribadi hanya menjangkau sedikit orang,
tidak seperti saluran media massa yang mampu
menjangkau masyarakat dalam mendiseminasikan
informasi.
Terlepas dari semua itu, berbagai masalah
yang mungkin akan menghambat komunikasi lintas
budaya dalam pengintegrasian penyuluh pertanian di
Asia Tenggara sendiri adalah sebagai berikut:
1. Prasangka
Menurut Worchel et. al. (2000) pengertian
prasangka dibatasi sebagai sifat negatif yang tidak
dapat dibenarkan terhadap suatu kelompok dan
individu anggotanya. Prasangka atau prejudice
merupakan perilaku negatif yang mengarahkan
kelompok
pada
individualis
berdasarkan
keterbatasan atau kesalahan informasi tentang
kelompok. Disini bisa saja penyuluh akan
memberikan prasangka yang buruk terhadap
penyuluh dari negara lain. Penyuluh tergesa-gesa
menilai dan menggeneralisasikan tanpa alasan
yang mendasar. Dalam perkembangannya,
prasangka ini bisa terjadi karena persaingan antar
penyuluh dan kurangnya interaksi di antara
keduanya.

2. Etnosentrisme
Etnosentrisme
adalah
paham
atau
kepercayaan yang menempatkan kelompok sendiri
sebagai
pusat
segala-galanya.
Mereka
menganggap bahwa kebudayaan dan kelompoknya
lebih baik dari kelompok lain. Penyuluh yang
menganggap negaranya superior dan menganggap
penyuluh dari negara lain lebih rendah darinya
akan menyebabkan proses pertukaran informasi
tidak akan pernah terjadi.
3. Stereotype
Stereotip adalah penilaian terhadap seseorang
hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di
mana orang tersebut dapat dikategorikan.
Penyuluh pertanian bisa saja melakukan
stereotype terhadap penyuluh dari negara lain
karena keterbatasan dalam mengelompokkan dan
mengklasifikasikan hal-hal yang melekat dalam
penyuluh lain.
Karena berbagai alasan di atas maka
dibutuhkan penyuluh yang memiliki karakter lintas
budaya. Karakter lintas budaya adalah karakter atau
kepribadian yang harus dimiliki oleh individu agar
dapat berkomunikasi dan bekerja sama dengan
individu lain dari berbagai negara yang berbeda.
Menurut Tirtawinata (2014), karakter lintas budaya
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Sensitivitas budaya
Penyuluh pertanian harus mengetahui
kebiasaan-kebiasaan dari penyuluh lain yang lintas
negara.
Tak
hanya
kebiasaan
dalam
berkomunikasi, namun juga tentang kebiasaan
dalam berusaha tani masyarakatnya. Sensitivitas
menurut Pittinsky, Rosenthal, dan Montoya dalam
Samovar (2010) meliputi sifat fleksibel, sabar,
empati, keingintahuan mengenai budaya lain,
terbuka terhadap perbedaan, dan merasa nyaman
dengan orang lain.
2. Kecerdasan budaya
Kecerdasan
budaya
dalah
bagaimana
penyuluh menginterpretasikan budaya asing yang
dimiliki oleh penyuluh dari negara lain. Hal ini
dimaksudkan agar penyuluh bisa memahami
makna di balik perilaku penyuluh lainnya.
Sehingga, bisa memahami karakteristik dari
negara yang menjadi tempat ia belajar sesuatu.
3. Menghormati perbedaan
Seorang
penyuluh
pertanian
harus
menghormati penyuluh lain dari beda negara yang
menjadi mitra kerjanya. Perbedaan budaya dan
bahasa tidak menjadikan seseorang untuk
membenci namun harus saling menghormati dan
menjunjung tinggi perbedaan tersebut. Rasa
percaya kepada orang lain juga harus ditingkatkan
untuk menjaga dinamika kerja yang kondusif.
Sikap seperti ini harus terus dikembangkan agar
terhindar dari sikap mencurigai dan prasangka.
4. Kefasihan budaya
Kefasihan budaya erat kaitannya dengan
pengetahuan terkait budaya negara lain dan

sistem komunikasinya seperti apa. Diharapkan
penyuluh pertanian bisa mengetahui bahasa
nasional dari negara lain dalam proses transfer
informasi tersebut. Setidaknya, penyuluh
mengerti secara pasif apa yang disampaikan oleh
penyuluh dari negara lain.
Selanjutnya Wilbur Schramm dalam Mulyana
dan Rakhmat (1990) mengemukakan beberapa
persyaratan untuk mengadakan komunikasi antar
budaya yang efektif adalah sebagai berikut:
1. Adanya sikap menghormati anggota budaya lain
sebagai manusia.
2. Menghormati budaya lain sebagai mana apa
adanya, dan bukan sebagaimana yang kita
hendaki.
3. Menghormati hak anggota budaya yang lain
untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak.
4. Komunikator lintas budaya yang kompeten harus
belajar menyenangi hidup bersama orang dari
budaya yang lain.
Lubis (2002), menambahkan bahwa agar
komunikasi lintas budaya dapat berjalan dengan
efektif maka pihak-pihak yang berkomunikasi harus
dapat saling memahami satu dengan yang lain.
Mereka harus memiliki sesuatu yang kurang lebih
sama dengan latar belakang dan pengalaman dari
lawan bicaranya. Kesamaan karakter, pengalaman,
dan keadaan ini biasa disebut sebagai kondisi yang
homophily. Menurut Rogers dan Kincaid (1981),
homophily adalah derajat persamaan dalam beberapa
hal tertentu seperti keyakinan, nilai, pendidikan,
status sosial dan lain-lain, antara pasangan-pasangan
individu yang berinteraksi.
Rogers (1983) lebih jauh menjelaskan bahwa
homophily terjadi sangat sering karena komunikasi
akan lebih efektif jika sumber dan penerima memiliki
karakteristik yang sama. Komunikasi akan berjalan
efektif dan bermanfaat untuk mereka yang terlibat di
dalamnya. Ketika dua orang berbagi makna,
keyakinan, dan kepercayaan yang sama, maka
komunikasi yang terjadi diantara antara mereka akan
lebih efektif. Kebanyakan individu menikmati
kenyamanan berinteraksi dengan orang lain yang
sangat mirip. Berbicara dengan orang-orang yang
sangat berbeda dari segi sifat dengan diri kita maka
akan membutuhkan lebih banyak usaha guna
menciptakan sebuah komunikasi yang efektif.
Kesamaan dalam berbagai hal ini diharapkan
bisa mendorong munculnya persepsi yang sama
terkait suatu kegiatan penyuluhan. Individu yang
berkomunikasi dengan orang yang karakteristiknya
sama akan cenderung nyaman dalam berinteraksi.
Sehingga, proses sharing informasi akan berjalan
cepat.
Namun, apabila karakteristik terlalu beragam
dan sulit untuk di seragamkan, maka konsep
komunikasi heterophily juga masih bisa dilakukan.
Granovetter (1973) pernah menjelaskan tentang teori
kekuatan dan ikatan-ikatan lemah (The strength of
weak ties).

Teori ini menjelaskan kekuatan pertukaran
informasi berkaitan erat dengan derajat heterofili
antara pihak yang berkomunikasi. Dengan kata lain,
orang akan menerima hal-hal baru, yang
informasional, justru melalui ikatan-ikatan yang
lemah. Heterofili adalah derajat perbedaan dalam
beberapa hal tertentu antara pasangan-pasangan
individu yang berinteraksi (Rogers dan Kincaid,
1981)
Ada pula anggapan bahwa jika kondisi
masyarakat terlalu homophily maka pengetahuan
keduanya tentang inovasi akan sama saja. Sehingga
keadaan ideal dalam perolehan informasi ialah
heterofili dalam hal pengetahuan tetapi cukup
homofili dalam karakteristik-karakteristik atau
variabel-variabel lain (misalnya status ekonomi
sosial).
Komunikasi yang heterophily dalam satu
waktu juga bisa sangat sesuai untuk penerapan
komunikasi lintas budaya karena pola ini memiliki
sebuah informasi khusus, meskipun mungkin jarang
terwujud.
Jaringan
heterophily
sering
menghubungkan dua sisi, yang mencakup individuindividu yang berbeda secara sosial dalam sebuah
masyarakat atau system (Rogers, 1983)
Berbagai karakter di atas dikembangkan
dalam rangka untuk menyatukan berbagai penyuluh
pertanian yang ada di Asia Tenggara. Dengan
karakter tersebut di harapkan penyuluh pertanian
akan memiliki rasa kebersamaan dan perasaan
menjadi satu kesatuan, yaitu masyarakat Asia
Tenggara. Menurut McMillan (1986), sense of
community adalah suatu perasaan di mana
anggotanya mempunyai rasa memiliki, peduli satu
sama lain dan pada kelompoknya, dan berbagi
kepercayaan bahwa kebutuhan para anggotanya
dapat dipenuhi melalui komitmen mereka untuk
menjadi bersama.
PENUTUP
Kemajuan
di
era
globalisasi
telah
menghadirkan kompetisi antar bangsa dan membuat
dunia terintegrasi dalam satu kawasan. Dengan
terbentuknya pasar tunggal yang bebas tersebut,
muncul pula suatu peluang dan ancaman di sektor
penyuluhan pertanian, yaitu tenaga penyuluh bisa
dengan bebas bekerja di Indonesia. Di sisi lain,
penyuluh bisa saling bertukar informasi, pengalaman
dan perkembangan pertanian terbaru di masingmasing negara.. Penyuluh yang ada di Indonesia bisa
terintegrasi dengan penyuluh yang ada di berbagai
negara yang tergabung dalam afiliasi ASEAN.
Namun, berhubung negara-negara di Asia Tenggara
memiliki kebudayaan, bahasa, dan penggunaan
simbol yang beragam, maka penyuluh pertanian
harus bisa beradaptasi dengan kemajemukan budaya
tersebut lewat suatu komunikasi lintas budaya.
Masalah lain yang mungkin akan menghambat
komunikasi lintas budaya adalah munculnya
prasangka, etnosentrisme, dan stereotype. Karena

berbagai alasan tersebut maka dibutuhkan penyuluh
yang memiliki karakter lintas budaya. Karakter lintas
budaya adalah karakter atau kepribadian yang harus
dimiliki oleh individu agar dapat berkomunikasi dan
bekerja sama dengan individu lain dari berbagai
negara yang berbeda, meliputi sensitivitas budaya,
kecerdasan budaya, menghormati perbedaan, dan
kefasihan budaya. Sehingga diharapkan akan tercipta
rasa memiliki, peduli satu sama lain, kebersamaan,
berbagi kepercayaan, dan perasaan menjadi satu
kesatuan, yaitu masyarakat Asia Tenggara untuk
memajukan sektor pertanian secara bersama dan
terintegrasi.
DAFTAR PUSTAKA
Boeke, J.H. 1983. Prakapitalisme di Asia. Sinar
Harapan. Jakarta.
Ellingsworth, Huber W. 1988. A Theory of
Adaptation in Intercultural Dyads dalam Young
Yun Kim & William B. Gudykunst (eds).
Theories in Intercultural Communication. Sage
Publications. Newbury Park.
Granovetter, M.S. (1973). The strength of weak ties.
American Journal of Sociology. 78(6): 13601380.
Gudykunst, William B. & Young Yun Kim. 1997.
Communicating With Strangers: An Approach
to Intercultural Communication. 3rd Ed.
McGraw-Hill. Boston.
Lubis, Lusiana Andriani. 2002. Komunikasi Antar
Budaya. Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik.
Universitas Sumatera Utara.
Maletzke Gerhard. 1978. Intercultural and
Internation Communication dalam HeinzDietrich Fischer dab John C. Merril (eds).
Intercultural and International Communication.
New York: Hastings House Publisher.
McMillan., C. (1986). Sense of Communiity: a
Defination and Theory, Journal of community
Psycology, 14 (1)
Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat.1990.
Komunikasi Antar Budaya : Panduan
Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda
Budaya .Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Rejeki, MC Ninik Sri. 2007. Perbedaan Budaya dan
Adaptasi Antar Budaya dalam Relasi Kemitraan
Inti Plasma. Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 4 No.
2. p. 145-166.
Rogers, Everett M. 1983. Difusion of Innovation.
The Free Press. A Division of Macmillan
Publishing Co., Inc. New York.
Roger M Everret, dan Kincaid, Lawrence D. 1981.
Communication Network Toward a New
Paradigm for Research . New York: The Free
Press a Divission of Macmillan Publishing.
Samovar, L. A., Porter, R. E., McDanel, R. E.,
(2010). Communcation Between Cultures. 7th
edition. Singapore: Cengage Learning Asia Pte
Ltd.

Tirtawinata, Christofora Megawati. 2014. Karakter
yang Diperlukan Dunia Kerja dalam
Menghadapi Pasar Bebas ASEAN. Jurnal
Humaniora Vol.5 No.1. p.483-493.
Worchel, S., Cooper, R., Goethals, G.R, & Olson,
J.M. 2000. Social Psychology. USA: Thomson
Learning.