Tinjauan Kesejahteraan Sosial Pengemis Penyandang Kusta di Kota Medan

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Negara bertanggung jawab atas kesejahteraan setiap rakyatnya. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi berhak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengamanatkan bahwa negara berkewajiban untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Cita-cita pembangunan nasional adalah meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat. Pemerataan pembangunan adalah salah satu trilogi pembangunan yang menjadi komitmen retorik pemerintah. Pembangunan nasional mencakup upaya peningkatan semua segi kehidupan bangsa, dapat berupa pembangunan aspek fisik, sosial, budaya,ekonomi,pertahanan kemanan, dan dapat pula berupa pembangunan ideologi.

Seiring bergantinya pemimpin, bermacam-macam pula kebijakan dan program yang dilakukan dalam mengupayakan peningkatan kesejahteraan rakyatnya. Berbagai kebijakan pemerintah untuk menurunkan angka kemiskinan diarahkan kedalam bentuk peningkatan kesejahteraan penduduk miskin. Upaya untuk mengurangi jumlah penduduk miskin didorong oleh berbagai kebijakan lintas sektor mengarah pada penciptaan kesempatan usaha bagi masyarakat miskin, pemberdayaan masyarakat miskin, peningkatan kemampuan masyarakat


(2)

miskin, serta pemberian perlindungan sosial bagi masyarakat miskin (Setiadi, 2011:821).

Indonesia merupakan salah satu negara kesejahteraan (walfare state) dimana negara menganut sistem ketatanegaraan yang mementingkan kesejahteraan masyarakatnya. Upaya pemenuhan kesejahteraan sosial telah menjadi perhatian Nasional. Diasumsikan bahwa kemajuan bangsa ataupun keberhasilan pemerintah tidak lagi dilihat dari sekedar meningkatnya angka pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dari keberhasilan dari pembangunan nasional. Tujuan dari negara kesejahteraan bukan untuk menghilangkan perbedaan dalam ekonomi masyarakat, tetapi memperkecil kesenjangan ekonomi dan semaksimal mungkin menghilangkan kemiskinan dalam masyarakat. Kesenjangan yang lebar antara masyarakat kaya dengan masyarakat miskin dalam suatu negara tidak hanya menunjukkan kegagalan negara tersebut didalam mengelola keadilan sosial, tetapi kemiskinan yang akut dengan perbedaan penguasaan ekonomi yang mencolok akan menimbulkan dampak buruk dalam segala segi kehidupan masyarakat.

Penanganan terhadap para penyandang masalah kesejahteraan sosial pun menjadi salah satu indikator keberhasilan pembangunan, seperti penanganan masalah kemiskinan, kecacatan, keterlantaran, ketunaan sosial maupun korban bencana alam dan sosial. Kemajuan pembangunan ekonomi tidak akan ada artinya jika kelompok rentan penyandang masalah sosial di atas tidak dapat terlayani dengan baik. Rendahnya kualitas kesehatan masyarakat juga erat kaitannya dengan rendahnya tingkat pendidikan dan kemiskinan. Rendahnya tingkat


(3)

kesehatan akan berimbas pada tingginya angka kematian khususnya anak-anak usia balita.

Masyarakat rentan sekali dengan berbagai penyakit seperti kolera, diare, TBC, malaria, demam berdarah, flu burung, penyakit kelamin dan juga berbagai penyakit menular lainnya seperti kusta. Masyarakat miskin tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi standar kesehatan anggota keluarganya. Hal ini dapat dilihat dari makanan sehari-hari yang kurang memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh, dan dapat dilihat dari rendahnya kesadaran akan arti pentingnya perawatan kesehatan, baik kesehatan diri dan lingkungannya.Sehat dalam pengertian atau kondisi mempunyai batasan yang berbeda-beda. Secara awam sehat dapat diartikan keadaan seseorang yang dalam kondisi tidak sakit, tidak ada keluhan, dapat menjalankan kegiatan sehari-hari, dan sebagainya. Menurut batasan ilmiah, sehat atau kesehatan telah dirumuskan dalam undang-undang kesehatan No.23 Tahun 1992 sebagai berikut: “ keadaan sempurna baik fisik, mental, dan sosial dan tidak hanya bebas dari penyakit dan cacat, serta produktif secara ekonomi dan sosial. Hal ini berarti kesehatan seseorang tidak hanya diukur dari aspek fisik, mental dan sosial saja, tetapi juga di ukur dari produktivitasnya dalam arti mempunyai pekerjaan atau menghasilkan sesuatu secara ekonomi (Notoatmodjo, 2005:2).

Upaya kesehatan dilakukan dalam bentuk kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat. Hal ini berarti, bahwa dalam rangka mewujudkan derajad kesehatan ini, baik kesehatan individu, kelompok, masyarakat harus diupayakan. Upaya mewujudkan kesehatan ini dilakukan individu, kelompok, masyarakat, baik secara melembaga


(4)

oleh pemerintah, ataupun swadaya masyarakat (LSM). Upaya mewujudkan kesehatan tersebut dapat dilihat dari dua aspek, yaitu pemeliharaan kesehatan dan peningkatan kesehatan. Pemeliharaan kesehatan mencakup dua aspek yaitu, kuratif (pengobatan penyakit) dan rehabilatif (pemulihan kesehatan setelah sembuh dari sakit atau cacat). Sedangkan peningkatan kesehatan mencakup dua

aspek yakni preventif (pencegahan penyakit) dan promotif (peningkatan

kesehatan) itu sendiri. Kesehatan itu perlu ditingkatkan karena kesehatan seseorang itu relatif dan mempunyai bentangan yang luas dan harus selalu diupayakan sampai ke tingkat kesehatan yang optimal (Notoatmodjo, 2005:4).

Tahun 2013, Kementerian Kesehatan RI mencatat 16.825 kasus kusta baru, dengan angka kecacatan 6,82 per 1.000.000 penduduk. Angka ini menempatkan Indonesia di peringkat ketiga dunia dengan kasus baru kusta terbanyak setelah India (134.752 kasus) dan Brasil (33.303 kasus). Sementara untuk tahun 2014 sejauh ini ada 8.526 kasus baru. Provinsi Jatim merupakan kantong utama penyakit Kusta. Jumlah penderita penyakit Kusta absolut sebanyak 4.807 orang menjadikan Jatim sebagai provinsi dengan penderita penyakit kusta tertinggi di Indonesi. Kantongnya berada di wilayah Madura, Pantura, dan Tapal Kuda

Sumatera Utara terdapat empat Unit Pelaksana Teknis Rumah Sakit Kusta (UPT RSK), yakni UPT RSK Sicanang, Lau Simomo, Hutasalem dan UPT RSK Belidan. Tahun 2014 Jumlah penderita kusta sudah berkurang, yang sedang diopname di UPT RSK Sicanang sebanyak 12 orang dan 696 berstatus mantan

(http://www.depkes.go.id/article/view/15012300020/hari-kusta-sedunia-2015-hilangkan-stigma-kusta-bisa-sembuh-tuntas.html diakses pada tanggal 26 Mei 2015 Pukul 23.00).


(5)

pengidap. Begitu juga di RSK Lau Simomo dan Hutasalem, terdapat sebanyak 35 orang sedang diopname dan 344 orang mantan pengidap.(http://regional.kompas.com/read/2013/04/09/21255967/Cegah.Pasien.K usta.Mengemis..Dinkes.Usulkan.Rp.4.Miliar diakses pada tanggal 27 Mei 2015 pukul 16.00 WIB). Tahun 2015 penyandang kusta di Sumatera Utara sebanyak 940 orang , yang tersebar di Sicanang Belawan 345 orang, Belidahan Sergai 265 orang, Lau Simomo Karo 165 orang, dan Hutasalem Balige 155 orang.

Kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat, bahwa penyandang cacat merupakanbagian dari masyarakat Indonesia yang mempunyai kedudukan, hak, kewajibandan peran yang sama dengan masyarakat Indonesia lainnya di segala aspek kehidupan dan penghidupan. Mewujudkan kesamaan kedudukan, hak, kewajiban dan peran penyandang cacat diperlukan sarana dan upaya yang lebih memadai, terpadu dan berkesinambungan yang pada akhirnya akan menciptakan kemandirian dankesejahteraan penyandang cacat.

(http://karakternews.com/nusantara/nusantara/940-penderita-kusta-di-sumatera-utara-tak-terdaftar-bpjs diakses pada tanggal 27 Mei 2015 pukul 21.05).

Kecacatan yang tampak pada tubuh penderita kusta seringkali tampak menyeramkan bagi sebagian besar masyarakat sehingga menyebabkan perasaan jijik, bahkan ada yang ketakutan secara berlebihan terhadap kusta atau dinamakan

leprophobia. Penyandang disabilitas menghadapi berbagai keterbatasan akses atas pendidikan, layanan kesehatan, kesempatan kerja dan pelatihan serta partisipasi


(6)

dalam politik dan kehidupan sosial. Hambatan – hambatan pada partisipasi yang setara termasuk stigma dan diskriminasi, kurangnya layanan kesehatan dan layanan rehabilitasi yang memadai, transportasi dan bangunan serta informasi dan teknologi komunikasi yang tidak dapat diakses. Akibatnya, penyandang disabilitas mengalami kondisi kesehatan yang lebih buruk, kesempatan ekonomi yang lebih sedikit dan tingkat kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang bukan penyandang disabilitas.

Penderita kusta telah menyelesaikan rangkaian pengobatannya, dinyatakan sembuh dan tidak menular, status predikat penyandang kusta tetap dilekatkan pada dirinya seumur hidup. Inilah yang seringkali menjadi dasar permasalahan psikologis para penyandang kusta. Rasa kecewa, takut, malu, tidak percaya diri, merasa tidak berguna, hingga kekhawatiran akan dikucilkan (self stigma). Hal ini diperkuat dengan opini masyarakat (stigma) yang menyebabkan penderita kusta dan keluarganya dijauhi bahkan dikucilkan oleh masyarakat. Survei di lima Kabupaten di Indonesia (Kab. Subang, Malang, Gresik, Gowa, dan Bone) pada tahun 2007 memotret diskriminasi yang dialami penderita kusta baik di lingkungan keluarga, maupun di sarana dan pelayanan publik, seperti dipisahkan dari pasangan (diceraikan), dikeluarkan atau tidak diterima di pekerjaan, ditolak di sekolah, restoran, tempat ibadah, pelayanan kesehatan dan fasilitas umum lainnya. Pemerintah Provinsi Sumatera Utaratelah memberikan perhatian khusus kepada penderita penyakit kusta dengan menempatkan mereka di Rumah Sakit Kusta Sicanang Belawan. Namun pasca penutupan Rumah Sakit kusta tersebut, maka pelayanan terhadap pasien ataupun mantan penyandang kusta telah dialihkan kepada Dinas Sosial Sumatera Utara. Hidup berstatus penyandang kusta


(7)

membuat mereka harus hidup terisolir dari masyarakat lainnya. Meskipun telah dinyatakan sembuh secara medis, namun status penyandang kusta tetap melekat pada diri mereka, masyarakat juga tidak bisa menerima kehadiran para penyandang kusta untuk saling hidup berdampingan dan berinteraksi, sehingga para penyandang kusta kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri.

Penyandang kusta telah mendapatkan bantuan dari pemerintah, namun sejak awal tahun 2014 mereka tidak lagi mendapatkan bantuan dari pemerintah Sumatera Utara. Sebagai upaya untuk bertahan hidup, dengan ketidakberdayaannya mereka berinisiatif untuk mengemis dan memohon belas kasihan dari para pengguna jalan dipersimpangan jalan Gagak Hitam Ring Road Kecamatan Medan Sunggal. Kehadiran para pengemis penyandang kusta dipersimpangan jalan untuk meminta-minta bantuan tentunya menambah masalah baru bagi pemerintah, karena masalah pengemis-pengemis lain juga masih belum tuntas ditangani oleh pemerintah. Pengemis juga dianggap merusak keindahan kota, selain itu kehadiran pengemis penyandang kusta juga dianggap mengganggu kenyamanan para pengguna jalan.

Perubahan yang akan dilakukan terhadap masyarakat sekurang-kurangnya dapat dilakukan melalui metode intervensi mikro ataupun intervensi makro. Intervensi mikro memusatkan perhatian pada upaya perubahan pada tingkat individu, keluarga dan kelompok kecil. Sedangkan intervensi makro lebih memusatkan perhatian pada perubahan masyarakat, baik yang bersifat lokal, regional maupun internasional. Perubahan yang dilakukan dalam intervensi makro maupun mikro ditujukan terutama pada manusia sebagai salah satu sumber


(8)

utama dalam pembangunan ( karena dalam pembangunan di Indonesia dikenal adanya 2 unsur utama, yaitu sumber daya alam dan sumber daya manusia). Oleh karena itu, dalam upaya mengoptimalkan pembangunan yang akan dan sedang dilaksanakan, pengenalan akan akan hakekat manusia tentunya mempunyai sumbangan tersendiri, paling tidak akan dapat menambah wawasan ketika akan menerapkan suatu program pada masyarakat (Adi, 2003:29-30).

Mengenai hakekat manusia dalam pembangunan yang diuraikan secara singkat diharapkan akan membantu para pelaku perubahan (change agent) agar dapat meningkatkan kinerjanya dalam mengembangkan masyarakat Indonesia, karena disadari bahwa intervensi yang akan diterapkan selayaknya mengarah ke arah tercapainya tujuan ideal pembangunan tersebut, meskipun dimakumi pula bahwa hampir tidak mungkin untuk mencapai sesuatu yang sangat ideal, tetapi paling tidak pembangunan yang dilakukan dapat mendekati tipe ideal yang diinginkan (Adi, 2003:38).

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka penulis tertarik untuk meneliti Bagaimana Kesejahteraan Sosial Pengemis Penyandang Kusta di Kota Medan. Maka penulis menyusun penelitian ini dalam suatu karya ilmiah dengan judul “ Tinjauan Kesejahteraan Sosial Pengemis Penyandang Kusta di Kota Medan “.


(9)

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka perumusan masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah “ Bagaimana Kesejahteraan Sosial Pengemis Penyandang Kusta Di Kota Medan ?“.

1.3. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang ada, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Kesejahteraan Sosial Pengemis Penyandang Kusta di Kota Medan. `1.3.2. Manfaat Penelitian

Adapun peneliti mengharapkan dari hasil penelitian ini adalah agar dapat diketahui Kesejahteraan Sosial Pengemis Penyandang Kusta Di Kota Medan. 1.4Sistematika Penelitian

Penulisan penelitian ini disajikan dalam enam bab dengan sistematika sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Berisi latar belakang, perumusan masalah,tujuan dan manfaat peneltian, serta sistematika penelitian.

BAB II : TINJAUAN PUSAKA

Bab Ini Berisikan Uraian Dan Konsep Yang Berkaitan DenganMasalah Dan Objek Yang Diteliti, Kerangka Pemikiran, Defenisi Konsep, Ruang Lingkup Penelitian.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab Ini Berisikan Tipe Penelitian, Lokasi Penelitian, Informan, Teknik Pengumpulan Data, Serta Teknik AnalisaData. Penyajian Data


(10)

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan sejarah singkat serta gambaran umum lokasi penelitian dan data-data lain yang turut memperkaya karya Ilmiah ini.

BAB V : ANALISIS DATA

Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian beserta dengan analisanya.

BAB VI : PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dari hasil penelitian dan saran atas penelitian yang dilakukan. Bab ini juga memberikan kritik dan saran dalam rangka proses membangun kearah yang lebih baik lagi untuk semua objek yang terkait.

BAB II


(1)

pengidap. Begitu juga di RSK Lau Simomo dan Hutasalem, terdapat sebanyak 35 orang sedang diopname dan 344 orang mantan pengidap.(http://regional.kompas.com/read/2013/04/09/21255967/Cegah.Pasien.K usta.Mengemis..Dinkes.Usulkan.Rp.4.Miliar diakses pada tanggal 27 Mei 2015 pukul 16.00 WIB). Tahun 2015 penyandang kusta di Sumatera Utara sebanyak 940 orang , yang tersebar di Sicanang Belawan 345 orang, Belidahan Sergai 265 orang, Lau Simomo Karo 165 orang, dan Hutasalem Balige 155 orang.

Kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat, bahwa penyandang cacat merupakanbagian dari masyarakat Indonesia yang mempunyai kedudukan, hak, kewajibandan peran yang sama dengan masyarakat Indonesia lainnya di segala aspek kehidupan dan penghidupan. Mewujudkan kesamaan kedudukan, hak, kewajiban dan peran penyandang cacat diperlukan sarana dan upaya yang lebih memadai, terpadu dan berkesinambungan yang pada akhirnya akan menciptakan kemandirian dankesejahteraan penyandang cacat.

(http://karakternews.com/nusantara/nusantara/940-penderita-kusta-di-sumatera-utara-tak-terdaftar-bpjs diakses pada tanggal 27 Mei 2015 pukul 21.05).

Kecacatan yang tampak pada tubuh penderita kusta seringkali tampak menyeramkan bagi sebagian besar masyarakat sehingga menyebabkan perasaan jijik, bahkan ada yang ketakutan secara berlebihan terhadap kusta atau dinamakan leprophobia. Penyandang disabilitas menghadapi berbagai keterbatasan akses atas pendidikan, layanan kesehatan, kesempatan kerja dan pelatihan serta partisipasi


(2)

dalam politik dan kehidupan sosial. Hambatan – hambatan pada partisipasi yang setara termasuk stigma dan diskriminasi, kurangnya layanan kesehatan dan layanan rehabilitasi yang memadai, transportasi dan bangunan serta informasi dan teknologi komunikasi yang tidak dapat diakses. Akibatnya, penyandang disabilitas mengalami kondisi kesehatan yang lebih buruk, kesempatan ekonomi yang lebih sedikit dan tingkat kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang bukan penyandang disabilitas.

Penderita kusta telah menyelesaikan rangkaian pengobatannya, dinyatakan sembuh dan tidak menular, status predikat penyandang kusta tetap dilekatkan pada dirinya seumur hidup. Inilah yang seringkali menjadi dasar permasalahan psikologis para penyandang kusta. Rasa kecewa, takut, malu, tidak percaya diri, merasa tidak berguna, hingga kekhawatiran akan dikucilkan (self stigma). Hal ini diperkuat dengan opini masyarakat (stigma) yang menyebabkan penderita kusta dan keluarganya dijauhi bahkan dikucilkan oleh masyarakat. Survei di lima Kabupaten di Indonesia (Kab. Subang, Malang, Gresik, Gowa, dan Bone) pada tahun 2007 memotret diskriminasi yang dialami penderita kusta baik di lingkungan keluarga, maupun di sarana dan pelayanan publik, seperti dipisahkan dari pasangan (diceraikan), dikeluarkan atau tidak diterima di pekerjaan, ditolak di sekolah, restoran, tempat ibadah, pelayanan kesehatan dan fasilitas umum lainnya. Pemerintah Provinsi Sumatera Utaratelah memberikan perhatian khusus kepada penderita penyakit kusta dengan menempatkan mereka di Rumah Sakit Kusta Sicanang Belawan. Namun pasca penutupan Rumah Sakit kusta tersebut, maka pelayanan terhadap pasien ataupun mantan penyandang kusta telah dialihkan kepada Dinas Sosial Sumatera Utara. Hidup berstatus penyandang kusta


(3)

membuat mereka harus hidup terisolir dari masyarakat lainnya. Meskipun telah dinyatakan sembuh secara medis, namun status penyandang kusta tetap melekat pada diri mereka, masyarakat juga tidak bisa menerima kehadiran para penyandang kusta untuk saling hidup berdampingan dan berinteraksi, sehingga para penyandang kusta kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri.

Penyandang kusta telah mendapatkan bantuan dari pemerintah, namun sejak awal tahun 2014 mereka tidak lagi mendapatkan bantuan dari pemerintah Sumatera Utara. Sebagai upaya untuk bertahan hidup, dengan ketidakberdayaannya mereka berinisiatif untuk mengemis dan memohon belas kasihan dari para pengguna jalan dipersimpangan jalan Gagak Hitam Ring Road Kecamatan Medan Sunggal. Kehadiran para pengemis penyandang kusta dipersimpangan jalan untuk meminta-minta bantuan tentunya menambah masalah baru bagi pemerintah, karena masalah pengemis-pengemis lain juga masih belum tuntas ditangani oleh pemerintah. Pengemis juga dianggap merusak keindahan kota, selain itu kehadiran pengemis penyandang kusta juga dianggap mengganggu kenyamanan para pengguna jalan.

Perubahan yang akan dilakukan terhadap masyarakat sekurang-kurangnya dapat dilakukan melalui metode intervensi mikro ataupun intervensi makro. Intervensi mikro memusatkan perhatian pada upaya perubahan pada tingkat individu, keluarga dan kelompok kecil. Sedangkan intervensi makro lebih memusatkan perhatian pada perubahan masyarakat, baik yang bersifat lokal, regional maupun internasional. Perubahan yang dilakukan dalam intervensi makro maupun mikro ditujukan terutama pada manusia sebagai salah satu sumber


(4)

utama dalam pembangunan ( karena dalam pembangunan di Indonesia dikenal adanya 2 unsur utama, yaitu sumber daya alam dan sumber daya manusia). Oleh karena itu, dalam upaya mengoptimalkan pembangunan yang akan dan sedang dilaksanakan, pengenalan akan akan hakekat manusia tentunya mempunyai sumbangan tersendiri, paling tidak akan dapat menambah wawasan ketika akan menerapkan suatu program pada masyarakat (Adi, 2003:29-30).

Mengenai hakekat manusia dalam pembangunan yang diuraikan secara singkat diharapkan akan membantu para pelaku perubahan (change agent) agar dapat meningkatkan kinerjanya dalam mengembangkan masyarakat Indonesia, karena disadari bahwa intervensi yang akan diterapkan selayaknya mengarah ke arah tercapainya tujuan ideal pembangunan tersebut, meskipun dimakumi pula bahwa hampir tidak mungkin untuk mencapai sesuatu yang sangat ideal, tetapi paling tidak pembangunan yang dilakukan dapat mendekati tipe ideal yang diinginkan (Adi, 2003:38).

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka penulis tertarik untuk meneliti Bagaimana Kesejahteraan Sosial Pengemis Penyandang Kusta di Kota Medan. Maka penulis menyusun penelitian ini dalam suatu karya ilmiah dengan judul “ Tinjauan Kesejahteraan Sosial Pengemis Penyandang Kusta di Kota Medan “.


(5)

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka perumusan masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah “ Bagaimana Kesejahteraan Sosial Pengemis Penyandang Kusta Di Kota Medan ?“.

1.3. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang ada, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Kesejahteraan Sosial Pengemis Penyandang Kusta di Kota Medan.

`1.3.2. Manfaat Penelitian

Adapun peneliti mengharapkan dari hasil penelitian ini adalah agar dapat diketahui Kesejahteraan Sosial Pengemis Penyandang Kusta Di Kota Medan.

1.4Sistematika Penelitian

Penulisan penelitian ini disajikan dalam enam bab dengan sistematika sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Berisi latar belakang, perumusan masalah,tujuan dan manfaat peneltian, serta sistematika penelitian.

BAB II : TINJAUAN PUSAKA

Bab Ini Berisikan Uraian Dan Konsep Yang Berkaitan DenganMasalah Dan Objek Yang Diteliti, Kerangka Pemikiran, Defenisi Konsep, Ruang Lingkup Penelitian.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab Ini Berisikan Tipe Penelitian, Lokasi Penelitian, Informan, Teknik Pengumpulan Data, Serta Teknik AnalisaData. Penyajian Data


(6)

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan sejarah singkat serta gambaran umum lokasi penelitian dan data-data lain yang turut memperkaya karya Ilmiah ini.

BAB V : ANALISIS DATA

Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian beserta dengan analisanya.

BAB VI : PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dari hasil penelitian dan saran atas penelitian yang dilakukan. Bab ini juga memberikan kritik dan saran dalam rangka proses membangun kearah yang lebih baik lagi untuk semua objek yang terkait.

BAB II