Representasi Kearifan Lokal Gotong-Royong dalam Cerita Rakyat Batak Toba

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Kepustakaan yang Relevan
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan.
Buku-buku yang digunakan dalam pengkajian ini adalah buku-buku tentang
metode tradisi lisan dan gotong-royong.
1. Robert Sibarani, 2014, mengangkat topik Kearifan lokal Gotong-Royong
Pada Upacara Adat Etnik Batak Toba, yang menjelaskan bahwa konsep
gotong-royong dalam perumpamaan Batak Toba sebagai memori kolektif,
bahkan sebagai penyimpan kegotong-royongan dalam masyarakyat Batak
Toba. Berdasarkan memori kolektif itu, konsep kegotong-royongan
mencakup nilai gotong-royong, yakni saling mendukung, mengiakan,
menyetujui, membantu, atau seia sekata, bekerja sama, sama sama bekerja,
memahami, dan mendukung. Pada setiap tradisi kelahiran, tradisi
perkawinan, dan tradisi kematian terdapat kearifan lokal gotong-royong,
yang terimplementasi dalam kebersamaan, kesepakatan, saling membantu,
dan kerja sama dalam melaksanakan tradisi kelahiran dan tradisi
perkawinan pada masyarakat Batak Toba.
2. Lister


Berutu,

2013,

mengangkat

topik

Gotong-Royong

Pada

Masyarakat Pakpak di Sumatera Utara, yang menjelaskan bahwa
berbagai potensi budaya daerah perlu dikaji lebih lanjut sehingga dapat
dijadikan sebagai alternatif pilihan dalam proses penerapan pembangunan
yang berpartisipatif dengan nilai-nilai gotong-royong, musyawarah dan
mufakat masih dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia umumnya,

Universitas Sumatera Utara


begitu halnya dengan masyarakat Pakpak. Pada masyarakat Pakpak, sistem
gotong-royong sangat jelas terlihat pada upacara adatnya, juga pada sistem
ekonomi dan mata pencaharian. Disini juga dijelaskan bagaimana gotongroyong pada saat kerja bakti seperti pembangunan bale, jalan atau
jembatan, pemandian umum, tempat ibadah, dan tempat-tempat lainnya.
3. Andika Mustaqim, dalam Jurnal Wanasastra yang berjudul GotongRoyong Dalam Dwilogi Padang Bulan dan Cinta Dalam Gelas Karya
Andera Hirata, mengusung dengan konsep kemasyarakatan yang ada di
Indonesia yakni gotong-royong dan kesetiakawanan sosial. Semua karya
yang ditulis mengandung dua konsep yang menjadi akar sosial bangsa
Indonesia, yang kini tyelah hampir saja ditinggalkan. Dwilogi ini
mengingatkan kembali tentang tradisi gotong-royong dan kesetiakawanan
sosial yang hampir diabaikan oleh semua elemen bangsa ini.
(http://www.academia.edu/5471211/JURNAL_WANASATRA.)

2.1.1 Kearifan Lokal
Menurut Balitbangsos Depsos (Sibarani, 2014:115), bahwa kearifan lokal
merupakan kematangan masyarakat di tingkat komunitas yang tercermin dalam
sikap, perilaku, dan cara pandang masyarakat yang kondusif di dalam
mengembangkan potensi dan sumber lokal (material maupun nonmaterial) yang
dapat dijadikan sebagai kekuatan di dalam mewujudkan perubahan ke arah yang
lebih baik atau positif.

Menurut Sibarani (2014:129), “Kearifan lokal merupakan milik manusia
yang bersumber dari nilai budayanya sendiri dengan menggunakan segenap akal

Universitas Sumatera Utara

budi dan pengetahuannya untuk bertindak dan bersikap terhadap lingkungan
sosialnya.”

2.1.2 Gotong-royong
Sibarani (2014:55) membagi gotong-royong menjadi dua jenis yang dikenal
oleh masyarakat Indonesia yakni:
1. Gotong-royong tolong-menolong, ini biasanya terjadi pada aktivitas
pertanian, aktivitas sekitar rumah tangga, aktivitas pesta dan pada
peristiwa bencana dan kematian.
2. Gotong royong kerja bergantian disebut juga dengan marsiadapari. Dalam
hal marsiadapari, kegiatan ini dilakukan dengan cara bergantian. Dimana
seorang individu/keluarga mendatangi masyarakat yang ingin dimintai
bantuan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Kegiatan marsiadapari
biasanya dilakukan pada saat pembukaan lahan, bercocok tanam dan
panen. Akan tetapi, masyarakat yang menolong tidaklah diberi upah

berupa uang , akan tetapi pemprakarsa akan kembali bekerja di
kebun/ladang orang yang membantunya sesuai dengan waktu dimana
masyarakat itu membantunya
3. Gotong-royong kerja bakti, biasanya bersifat untuk kepentingan umum
yang dikelompokkan dua tipe, yakni yang pertama kerja bakti atas inisiatif
warga masyarakat dan yang kedua ialah kerja bakti karena dipaksakan atau
disuruh.
Ada

beberapa macam gotong-royong menurut Koentjaraningrat skripsi

Roya Kokumo, (2011: 34), yakni :
1. Tolong-menolong dalam aktivitas pertanian;

Universitas Sumatera Utara

2. Tolong-menolong dalam aktivitas sekitar rumah tangga;
3. Tolong-menolong dalam aktivitas persiapan pesta dan upacara
4. Tolong-menolong dalam peristiwa kecelakaan, bencana, dan kematian.
Aktivitas pertanian seperti halnya yang sangat berkaitan dengan bercorak

tanam, orang bisa mengalami musim sibuk, tetapi sebaliknya juga musim lega.
Dalam aktivitas rumah tangga, misalnya ada orang yang memperbaiki atap
rumahnya. Adapun tolong-menolong dalam aktivitas persiapan pesta dan upacara,
dalam aktivitas ini merangsang bagi para pembantu bersifatlangsung, ialah ikut
merayakan pesta, ikut menikmati makanan enak dan seterusnya.
Kata gotong-royong berasal dari bahasa Jawa yaitu gotong dan royong.
Gotong atau menggotong berarti mengangkat benda yang berat yang dilakukan
oleh beberapa orang secara bersama-sama, sedangkan kata royong mencerminkan
penikmatan hasil pekerjaan secara adil, sesuai dengan besar sumbangan yang
diberikan. Dengan demikian, gotong-royong itu berarti bekerja secara bersamasama dan menikmati hasil pekerjaannya dengan adil. Namun saja tradisi gotongroyong tidak hanya dikenal di pulau Jawa saja.
Berbagai daerah di Indonesia memiliki istilah gotong-royong. Di Jawa
dipakai istilah sambatan atau gugur gunung, Ambon dipakai istilah mahosi, Bali
dipakai istilah subak, Batak dipakai istilah marsiadapari, Kalimantan Tengah
dipakai istilah lemeh, sedangkan Sulawesi Utara menggunakan istilah mapalus.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Sibarani 2014:9) disebutkan
bahwah gotong-royong diartikan sebagai bekerja bersama-sama, tolongmenolong, bantu-membantu. Mereka yang melakukan gotong-royong karena
adanya sifat senasibsepenanggungan dalam masyarakat. Mereka bersama-sama
dalam suka maupun duka. Dalam kegiatan gotong-royong tolong-menolong

Universitas Sumatera Utara


ataupun gotong-royong kerja bakti terdapat kesepakatan atau kemufakatan untuk
apa, kapan, dimana, atau di tempat siapa bergotong royong, hal tersebut harus
dimusyawarahkan terlebih dahulu.
Teori gotong-royong dalam masyarakat sebagaimana yang kita ketahui
adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama dan bersifat suka rela
agar kegiatan yang dikerjakan dapat berjalan dengan lancar, mudah, dan ringan.
Contoh kegiatan yang dapat dilakukan secara bergotong-royong antara laindalam
hal mata pencaharian seperti menanam padi, pembukaan lahan pertanian,
pembukaan perkampungan baru, pembuatan rumah, pelaksanaan upacara adat,
juga kegiatan lainnya. Sikap gotong-royong itu seharusnya dimiliki oleh seluruh
elemen atau lapisan masyarakat.
Dengan demikian, segala sesuatu yang akan dikerjakan dapat lebih mudah
dan cepat diselesaikan dan pastinya pembangunan di daerah tersebut akan
semakin lancar dan maju. Bukan itu saja, dengan adanya kesadaran setiap elemen
atau lapisan masyarakat dalam menerapkan perilaku gotong-royong maka
hubungan persaudaraan atau silaturahim akan semakin erat.
Gotong-royong

dalam


Batak

Toba

disebut

dengan

marsiadapari.

Marsiadapari adalah bertukar tenaga kerja. Masyarakat Batak Toba sering
menyebut kata marsiadapari ini dengan marsirumpa. Tetapi perlu diketahui bahwa
marsiadapari dan marsirumpa adalah dua kata yang berbeda arti. Perbedaan
antara kedua kata tersebut terletak pada praktik kerjanya. Pada dasarnya kedua
kata ini mempunyai makna yang sama yaitu gotong-royong. Marsiadapari adalah
saling tukar tenaga kerja sedangkan marsirumpa ataupun mangarumpa adalah
saling memberikan bantuan umum. Dua kata tersebut mempunyai makna yang
sama yaitu gotong-royong ataupun yang lebih sering disebut kerja sama.


Universitas Sumatera Utara

Gotong-royong yang dimaksud dalam budaya marsiadapari adalah seperti
adanya sebuah kelompok kerja di suatu daerah. Kelompok kerja ini membuat
suatu kesepakatan, yaitu: Pertama, kelompok kerja tersebut akan terlebih dahulu
menentukan ke lahan atau ke tempat siapa memulai pekerjaan tersebut. Kedua,
makanan (sarapan, makan siang, atau snack) untuk para kelompok kerja, apakah
disediakan pemilik lahan pekerjaan atau dibawa masing-masing.Setelah disepakati
barulah para kelompok kerja ini mulai bekerja sesuai dengan kesepakatan.
Pekerjaan yang akan dikerjakan oleh para kelompok kerja ini ditentukan oleh
orang yang bersangkutan. Kelompok kerja tersebut tidak boleh menentukan
pekerjaan yasng akan dikerjakan, baik itu pekerjaan berat maupun pekerjaan
ringan. Para kelompok kerja harus siap atas pekerjaan yang sudah ditentukan oleh
orang yang bersangkutan. Demikian seterusnya bergantian mulai dari orang
pertama sampai orang terakhir.
Sedangkan mangarumpa atau marsirumpa adalah saling memberikan
bantuan umum. Misalnya, jika desa tersebut membersihkan jalan umum ataupun
membangun balai desa, semua warga masyarakat ikut serta bekerja sama dalam
pelaksanaan pekerjaan tersebut. Warga masyarakat tidak akan mendapatkan upah.
Semua saling memberikan bantuan baik itu tenaga maupun makanan dan

minuman untuk para pekerja. Tetapi kebiasaan gotong-royong tersebut sudah
semakin memudar.

2.2 Teori yang Digunakan
2.2.1 Tradisi Lisan
Folklor berasal dari bahasa Inggris yakni folk dan lore. Folk adalah
kelompok dari orang-orang yang memiliki ciri-ciri pengenal kebudayaan yang

Universitas Sumatera Utara

membedakannya dari kelompok lain, misalnya mata pencarian, bahasa, agama,
dan lain-lain. Sedangkan lore adalah tradisi dari folk itu sendiri yang diwariskan
secara turun-temurun melalui lisan atau dengan tutur kata, atau melalui suatu
contoh yang disertai dengan perbuatan. Jadi definisi folklor adalah sebagian dari
kebudayaan yang tersebar dan diwariskan turun-temurun secara tradisional,
diantara anggota-anggota dari kelompok dalam versi yang berbeda-beda, baik
dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai perbuatan.
Tradisi lisan adalah salah satu cara masyarakat untuk menyampaikan sejarah
lisan melalui tutur/lisan dari generasi ke generasi berikutnya. Tradisi lisan
berusaha menggali, menjelaskan, dan menginterpretasi secara ilmiah warisanwarisan budaya leluhur pada masa lalu dan membentuk karakter generasi masa

kini demi mempersiapkan kehidupan yang damai dan sejahtera untuk generasi
masa mendatang (Sibarani 2014:2-3).
Menurut Sibarani (2014 :251-252), “Tradsi lisan dapat dikaji dari latar
belakang ilmu sastra. Semua struktur seperti latar, alur, gaya bahasa, penokohan
dan unsur estetika lain sejak dulu menjadi fokus penting dalam kajian sastra.
Apabila hanya mengkaji teks tradisi lisan dari segi ilmu sastra, kajian itu hanya
kajian sastra, bukan kajian tradisi lisan dari latar belakang ilmu sastra.”
Pesan atau amanat sebagai kandungan tradisi lisan dari sudut ilmu sastra
menjadi sangat penting diungkapkan, tetapi amanat atau pesan itu mesti dikaitkan
dengan konteks tradisi. Kajian ilmu sastra tidak hanya mengkaji kesastraan dari
tradisi lisan, tetapi lebih jauh mampu mengkaji keseluruhan tradisi lisan secara
holistik dengan kekhasan kajian dari sudut ilmu sastra. Penelitian tradisi lisan
harus dapat mengungkapkan kebenaran bentuk dan isi suatu tradisi lisan. Dengan
demikian, diperlukan kajian ilmu sastra yang relevan untuk mengkaji tradisi lisan

Universitas Sumatera Utara

dengan tetap mempertimbangkan bentuk (teks, ko-teks, dan konteks), isi (makna,
atau fungsi, nilai atau norma, dan kearifan lokal), dan model revitalisasi atau
pelestarian seperti pengelolaan, proses pewarisan, perlindungan, pengembangan,

dan pemanfaatan sebuah tradisi lisan.
Nilai dan norma budaya tradisi lisan sebagai warisan masa lalu yang harus
dipahami maknanya pada komunitas masa lalu, bagaimana nilai dan norma
budaya itu dapat dilestarikan, direvitalisasi, dan direalisasikan pada generasi masa
kini, untuk mempersiapkan generasi masa depan yang damai dan sejahtera. Di sini
dapat kita ketahui bahwa tradisi lisan memiliki bentuk dan isi, di mana bentuk
yang dimaksudkan dapat dibagi atas:
a) Teks, merupakan unsur verbal baik berupa bahasa yang tersusun ketat
seperti bahasa sastra maupun bahasa naratif yang mengantarkan tradisi
lisan nonverbal seperti teks pengantar sebuah performansi.
b) Ko-teks, merupakan keseluruhan unsur yang mendampingi teks seperti
unsur paralinguistik, proksemik, kinesik, dan unsur material lainnya, yang
terdapat dalam tradisi lisan.
c) Konteks, merupakan kondisi yang berkenaan dengan budaya, sosial,
situasi, dan idiologi tradisi lisan.
Isi yang terdapat dalam tradisi lisan yakni, isi tradisi yang berupa nilai atau
norma yang pada umumnya menjelaskan tentang makna, maksud, peran, dan
fungsi. Nilai atau norma tradisi lisan yang dapat digunakan untuk membentuk
kehidupan sosial itu disebut dengan kearifan lokal. Dalam hal ini isi dapat dipilah
jadi beberapa pembentukannya, pertama, isi adalah makna atau maksud dan
fungsi atau peran. Kedua, ialah nilai atau norma, yang dapat diinferensikan dari
makna atau maksud dan fungsi atau peran dengan adanya kenyakinan terhadap

Universitas Sumatera Utara

nilai atau norma itu. Ketiga, adalah kearifan lokal yang merupakan penggunaan
nilai dan norma budaya dalam menata kehidupan sosial secara arif.
Wujud dari tradisi lisan itu sendiri berupa: (1) tradisi berbahasa dan
beraksara lokal (2) tradisi kesusastraan lisan (3) tradisi pertunjukan dan permainan
rakyat (4) tradisi upara adat dan ritual (5) tradisi teknologi (6) tradisi pelambangan
atau simbolisme (7) tradisi kesenian musik rakyat (8) tradisi pertanian tradisional
(9) tradisi kerajinan tangan (10) tradisi kuliner atau masakan tradisional (11)
tradisi pengobatan tradisional (12) tradisi panorama dan kondisi lokal (Sibarani
2014:49).
Jenis pengetahuan yang dapat digali dari tradisi lisan adalah (1) usage (caracara penggunaan) (2) folkways (kebiasaan rakyat) (3) mores atau ethics (moral
atau etika) (4) norms (norma) (5) custom ( adat-istiadat) (6) skill (keterampilan)
(7) competence (kompetensi atau pengetahuan) (8) aesthetics (keindahan)
(Sibarani 2014:50-51).

2.2.2 Konsep Kearifan Lokal Gotong-Royong

Istilah gotong-royong dalam masyarakat Batak Toba yaitu marsirimpa
atau marsirumpa yang berarti mengerjakan suatu kegiatan secara bersama-sama
secara tanpa mengharapkan sebuah upah. Hampir semua aspek kehidupan orang
Batak Toba pada zaman dahulu diselesaikan dengan gotong-royong. Gotongroyong dilakukan karena seorang individu tidak bisa menyelesaikan pekerjaan di
ladangnya dengan cepat, suatu pekerjaan itu dapat diselesaikan dengan cepat
kalau dilakukan secara bersama-sama. Di samping praktik dalam mengerjakan
kegiatan yang berhubungan dengan mata pencaharian mulai menanam, mengelola,
dan memanen diselesaikan dengan gotong-royong. Selain itu juga, pelaksanaan

Universitas Sumatera Utara

upacara adat dalam siklus kehidupan mulai dari upacara perkawinan sampai
upacara kematian, gotong-royong juga dilakukan.Pekerjaan umum seperti
pembukaan kampung, perbaikan jalan, perbaikan irigasi, pendirian rumah,
maupun ritual-ritual religi juga dilakukan dengan gotong-royong.
Sibarani 2014:39) berdasarkan memori kolektif masyarakat Batak Toba,
terdapat tujuh konsep gotong-royong. Konsep gotong-royong itu adalah (1) saling
memahami, (2) saling menyepakati, (3) saling mendukung, (4) saling membantu,
(5) sama-sama merencanakan, (6) saling bekerja sama,dan (7) sama-sama bekerja.
Cerita rakyat masyarakat Batak Toba pada umumnya berkembang dari
generasi kegenerasi dari nenek moyang sampai generasi zaman sekarang ini
disampaikan melalui tulisan buku maupun lisan. Pada cerita rakyat masyarakat
Toba memiliki nilai-nilai tradisi yang dapat juga dijadikan sebagai tolak ukur atau
landasan untuk mengambil suatu tindakan atau kebijakan yang akan dilakukan di
dalam kehidupan. Salah satu nilai yang dapat dilihat dari suatu cerita rakyat
masyarakat Batak Toba adalah gotong-royong. Gotong-royong atau saling
membantu dalam cerita rakyat tercipta karena adanya kebutuhan atau
permasalahan yang sedang dihadapi oleh suatu komunitas masyarakat untuk
mepercepat terselesaikan suatu pekerjaan maupun suatu pemasalahan.

2.2.3 Jenis Kearifan Lokal Gotong-Royong
Terdapat 14 (empat belas) jenis gotong-royong pada masyarakyat Batak
Toba, yang direpresentasikan dalam terminologi yang berbeda dan digunakan
dalam ranah yang berbeda pula. Jenis-jenis gotong-royong itu adalah:
1. Marsiadapari atau marsialapari, yakni gotong-royong yang digunakan
dalam pertanianuntuk mengerjakan sawah atau ladang secara bergantian;

Universitas Sumatera Utara

2. Marhobas, yakni gotong-royong yang dilakukan di bidang upacara
adatuntuk mempersiapkan makanan pada pesta adat;
3. Marjule-jule, yakni gotong-royong yang dilakukan oleh sekelompok orang
dalam suatu kampung atau persekutuan dengan cara memberi sejumlah
uang atau beras jika ada anggota kampung atau persekutuan mengadakan
acara adat seperti mengawinkan anak atau acara saurmatua/sarimatua
“acara kematian orang tua”;
4. Mangindahani, yakni gotong-royong dengan memberikan sejumlah nasi
yang telah dimasak dirumahnya dibawa ke anggota warga kampung yang
melaksanakan acara adat;
5. Manuppahi, yakni gotong-royong dengan memberikan sejumlah uang
secara sukarela kepada orang yang mengundang pada acara adat.
6. Mangulosi, yakni gotong-royong dengan memberikan ulos ‘kain tradisi
Batak’ pada waktu ada upacara adat;
7.

Mamboan sipirni tondi, yakni gotong-royong dengan memberikan beras
pada waktu ada acara adat;

8. Marria raja, yakni gotong-royong yang berupa rapat para orang tua dalam
merencanakan pelaksanaan dalam suatu acara adat.
9. Maranggap, yakni gotong-royong dengan menjaga perempuan yang baru
melahirkan. Kadang-kadang, tradisi ini disebut melek-melehan, yang
berarti berjaga-jaga atau menjagai perempuan yang baru melahirkan;
10. Margugu, yakni gotong-royong dilakukan bersama-sama mendanai suatu
keperluan umum
11. Mangalelang, yakni gotong-royong yang dilakukan dengan cara
mengumpulkan sejumlah uang secara sukarela dari masyarakat dalam

Universitas Sumatera Utara

suatu acara yang telah ditentukan untuk membangun fasilitas umum
seperti rumah ibadah atau pelaksanaan upacara;
12. Marsiurupan, yakni gotong-royong yang dilakukan saling membantu
kepada keluarga atau warga yang berkekurangan atau membutuhkan;
13. Marsipature hutana be, yakni gotong-royong yang dilakukan secara
bersama-sama antara masyarakyat desa dan masyarakyat perantau untuk
bersama-sama memperhatikan dan membantu kampung halaman masingmasing. Sekelompok orang dari desa tentu bekerja sama dengan
masyarakat perantau dari desa itu memperhatikan dan memperbaiki
kampungnya; dan
14. Pauli dalan, pauli mual, pauli bondar, yakni usaha bersama untuk
memperbaiki sarana-prasarana umum. Sarana prasarana umum yang
digotong-royongkan itu bermacam macam seperti jalan, sumur, tali air,
rumah, dan kampung.

2.2.4 Fungsi Kearifan Lokal Gotong-Royong
Nilai kearifan lokal Budaya Batak telah berakar dan sangat dekat dengan
masyarakatnya. Nilai daripada kearifan lokal budaya Batak tersebut meliputi;
kreativitas budaya, pola kesantunan, kerja keras, gotong-royong, kecerdasan, rasa
syukur, rasa percaya diri, rasa persatuan dan norma-norma budaya yang ada.
Etnis Batak sebagai masyarakat Indonesia yang berbudaya jelas sangat
mencintai adat istiadat (Paradaton). Hal ini hadir dan telah mendarah daging
dalam kehidupan sebagai orang Batak. Makanya, ada istilah bagi orang Batak
“Parsadaan di paradaton” artinya; bersatu dalam adat. Wujud Kearifan Lokal
sebagai pembentukan karakter yang masih murni dalam peradatan orang Batak

Universitas Sumatera Utara

seperti; Tarombo, Paradaton (Upacara adat), konsep falsafah “Dalihan Natolu”,
dan Tradisi Lisan serta dukungan situs budaya, merupakan kebiasaan yang masih
melekat dalam masyarakat Batak. Oleh Karena itu, sangat kaya sebenarnya
kearifan lokal masyarakat Batak dalam basis Cagar Budayanya.
Dari suatu nilai budaya terutama dalam masyarakat desa, adalah konsepsi
bahwa hal yang bernilai tinggi adalah apabila manusia itu suka bekerja sama
dengan sesamanya berdasarkan rasa solidaritas yang besar. Contoh dari konsepsi
ini ialah nilai gotong-royong, sebab nilai gotong-royong ini mempunyai ruang
lingkup yang amat luas karena hampir semua karya manusia itu biasanya
dilakukannnya dalam rangka kerja sama dengan orang lain.
Nilai gotong royong merupakan latar belakang dari segi aktifitas tolongmenolong antara warga sedesa dan berdasarkan pada hakikat hubungan antara
manusia dengan sesamanya. Orientasi hubungan antara manusia dengan
sesamanya ini ialah rasa ketergantungan kepada sesamanya (berjiwa gotongroyong).
Demikianlah keadaanya pada masyarakat bahwa nilai-nilai budaya adalah
berfungsi tertinggi bagi kelakuan setiap individu dalam masyarakat. Adat istiadat
dalam masyarakat desa berfungsi sebagai pengatur kelakuan setiap anggota
masyarakatnya.
Oleh sebab itu, gotong-royong tolong-menolong dan gotong-royong kerja
bakti yang didasarkan pada hakikat hubungan antara masyarakat dengan anggota
masyarakat lainnya adalah sesuai dengan nilai- nilai budaya yang terdapat dalam
masyarakat di daerah tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Fungsi kearifan lokal ada dua yaitu :
1.

Kearifan lokal inti kesejahteraan
yang

meliputi

budaya

kerja

atau

etos

kerja,

disiplin,

pendidikan,kesehatan, gotong-royong, pengelolaan gender, pelestarian
dan kreativitas budaya, peduli lingkungan.
2.

Kearifan lokal inti kedamaian
yang meliputi kesopansantunan, kejujuran, kesetiakawanan social,
kerukunan dan penyelesaian konflik, komitmen, pikiran positif, dan
rasa bersyukur.

Universitas Sumatera Utara