Pengaruh Tata Ruang Dan Lingkungan Rumah Sakit Terhadap Kenyamanan Pasien Se Menerima Perawatan Di Rsu Dr. R.M. Djoelham Binjai Tahun 2012

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Keberadaan rumah sakit (RS) di Indonesia, pada awalnya merupakan suatu
organisasi milik pemerintah atau yayasan-yayasan sosial, sekte agama atau rumah
sakit instansi. Pada masa awal kemerdekaan, RS beroperasi dengan falsafah
memberikan pelayanan non-profit. Status tersebut disebut sebagai pelayanan sosial.
Hal ini selaras dengan makna UUD 1945 yang mengayomi kebutuhan masyarakat
dengan pelayanan kesehatan yang diberikan cuma-cuma oleh negara. (Trisnantoro;
2005).
Pada masa kini

setelah memasuki milenium ke tiga (mulai tahun 2000)

paradigma pelayanan sosial murni mulai berubah. Perubahan berangsur-angsur
kepada pelayanan sosio ekonomis. Era transisi dari kondisi krisis moneter tahun
1997, cukup menyadarkan pihak pengelola manajemen rumah sakit di Indonesia,
terutama sejak bergulirnya isu perdagangan bebas. Ramainya pasien yang eksodus ke
luar negeri (Malaysia dan Singapore) untuk berobat, membuat Pemerintah Indonesia
mulai tersadar. Pemerintah berusaha menghimbau semua pihak pengelola RS supaya

menyadari dan bangkit dari masalah ramainya pasien berobat ke luar negeri tersebut.
Bila kondisi pelayanan dan fasilitas di rumah sakit tidak segera dibenahi, maka
negara akan dirugikan oleh eksodusnya devisa ke luar negeri.

Universitas Sumatera Utara

Banyak warga Indonesia yang berobat ke luar negeri yang menghabiskan Rp.
100 triliun per tahun Departemen Kesehatan memperkirakan setiap tahunnya pasien
Indonesia yang berobat ke luar negeri menghabiskan biaya Rp. 100 triliun. Jumlah itu
didasarkan data dari Bank Dunia tahun 2004, bahwa devisa Indonesia yang keluar ke
luar negeri dari pasien-pasien yang berobat sekitar Rp. 70 triliun pada saat itu. “Jadi
kalau pada tahun itu saja jumlahnya sudah mencapai 70 triliun dan tidak ada
kecenderungan menurun, mungkin sekarang sudah mencapai sekitar Rp. 100 triliun,
dan ini bukan jumlah yang kecil” kata dr. Supriyantoro, Direktur Jenderal Bina
Upaya Kesehatan Kementrian Kesehatan. (www.bbc.co.uk; 2001)
Pakar manajemen pelayanan rumah sakit di Indonesia Laksono Trisnantoro
mengutarakan bahwa paradigma pelayanan sosial murni dari rumahsakit-rumah sakit
di Indonesia perlu dibenahi menjadi paradigma pelayanan sosio ekonomis. Pelayanan
sosio ekonomis tetap berorientasi pada pelayanan kesehatan bersifat sosial pada
masyarakat yang kurang mampu, tetapi juga memberikan “pelayanan nyaman”

(convenient service) pada mereka yang membutuhkan dan mampu membayar biaya.
Pada masa ini, para pemakai “pelayanan nyaman” tersebut tetap eksodus ke
rumahsakit-rumahsakit di negeri jiran. Mereka ke sana oleh karena memiliki
kemampuan membayar terhadap pilihan berobat ke luar negeri. Rumah sakit milik
pemerintah di dalam negeri ditinggalkan oleh mereka yang mampu tersebut untuk
mengurusi pasien dengan pelayanan non profit (nirlaba) di kelas standar. Akibatnya
untuk RS mengalami dampak negatif yaitu kekurangan biaya untuk pengembangan

Universitas Sumatera Utara

sarana dan prasarana. Rumah Sakit Pemerintah akan terus tergantung pada
kemampuan pemerintah menyediakan dana talangan. Kucuran dana tersebut sering
tersendat. Akhirnya, dapat diprediksi bahwa rumahsakit yang kekurangan dana
pengembangan akibat ditinggalkan oleh mereka yang mampu membayar, menjadi
lebih tak berdaya. Kondisi RS yang kurang bermutu akan berbelit dan seterusnya
mengganggu eksistensi organisasi rumah sakit. (Trisnantoro; 2005).
Menurut AF. Lubis (2009), juga mendukung ide mengelola rumah sakit
haruslah sama seperti cara mengelola bisnis industri jasa lainnya, yaitu dengan
memperhatikan nilai ekonomis dari pelaksanaan. Fungsi sosial memang tetap dijaga
memenuhi kebutuhan masyarakat kurang mampu. Lubis lebih menekankan bahwa

fungsi dari aspek ekonomi mikro dan ekonomi makro yang selalu perlu diselaraskan
dengan arah pembangunan kesehatan di Indonesia. (Lubis, AF; 2009)
Pemekaran otonomi daerah diharapkan pemerintah turut mendukung
terlaksananya prinsip rumah sakit. Mdelnya dengan pelayanan sosio ekonomis.
Prinsip otonomi tersebut dianut supaya selalu mampu mengelola kondisi pelayanan
kesehatan pada pihak masyarakat sesuai dengan kondisi yang ada di daerah masingmasing. Banyak RSU-RSU yang ada di daerah kota ataupun kabupaten merasa sudah
patut dan mampu mandiri. Rumah sakit lalu mengubah status RS menjadi semacam
Perusahaan Daerah yang disebut juga BLU (Badan Layanan Umum) contohnya
Rumah Sakit Umum Pirngadi di Medan Demikian juga Rumah Sakit Umum Dr. R.M.
Djoelham di Binjai

melakukan pembangunan sarana rawat inap, menambah

kelengkapan peralatan, serta meningkatkan mutu pelayanan. Pada

masa awal

Universitas Sumatera Utara

yaitu tahun 2000 – 2005 bangunan rumah sakit masih berupa bangunan melebar

berlantai 1, berdasarkan kebutuhan dan kondisi lahan Rumah Sakit yang minimal
maka

dilakukan

Pembangunan

dengan

bentuk

Bangunan

berlantai

4

(Profil RSU. Dr. R. M. Djoelham; 2011)
Keberadaan rumah sakit Djoelham yang


ditumbuh kembangkan di suatu

daerah perkotaan sulit melakukan penambahan luas lahan. Rumah sakit jadi
kehilangan ruang pertamanan secara drastis. Selain itu dampak penggunaan mesin mesin seperti pengolah limbah cair, dan kebisingan akibat ramainya mesin-mesin
kendaraan meningkat. Semuanya potensil menjadi pengganggu kenyamanan pada
pihak pasien yang memerlukan kesejukan dan keheningan. Sementara itu, di kawasan
kota Binjai, banyak tersedia rumah sakit-rumah sakit pesaing seperti RS Bangkatan
milik PTP II dan Rumah Sakit Umum Kesrem Binjai. Kondisi kenyamanan di
rumahsakit-rumahsakit pesaing tersebut relatif lebih baik, karena di lokasi mereka
masih ada lahan pertamanan yang lebih hijau, dan berjarak relatif jauh dari paparan
hiruk pikuk lalu lintas. Para pasien Jamkesmas juga dapat berobat ke sana, karena
RS-RS tersebut juga melayani kerjasama dengan pihak asuransi. Apakah masalah ini
turut memberi dampak negatif pada menurunnya utilisasi RSU Dr. Djoelham, sebagai
akibat lanjutan dari pasien yang kehilangan rasa nyaman?
Kondisi terakhir sesudah 2007, ketika sarana RSU Dr. Djoelham mulai
dikembangkan, ditinjau dari sudut efisiensi terkait indikator rasio utilisasi tempat
tidur (BOR – Bed Occupancy Rate), keadaannya sudah sangat lebih baik. Bila
dilihatdari sudut pandang efisiensi utilisasi ruang rawat inap, pertambahan BOR itu

Universitas Sumatera Utara


tidak diimbangi oleh keseimbangan porsi jumlah pasien sosial (Jamkesmas) dengan
jumlah pasien ekonomis yaitu yang mampu membayar fasilitas nyaman. Porsi dari
pasien kurang mampu dan ditanggung asuransi lebih besar dibandingkan dengan
porsi pasien yang mampu membayar biaya sendiri. Apakah fluktuasi nilai BOR oleh
pasien Jamkesmas semata-mata karena adanya sistem pertanggungan biaya yang
murah lalu mereka tetap menggunakan jasa pelayanan unit rawat inap karena tidak
ada pilihan lain.
Pada survey awal yang dilakukan oleh peneliti terhadap data-data di RSU Dr.
Djoelham, terkesan kuat bahwa sebenarnya ada peningkatan rasio hunian unit rawat
inap pesat sejak sarana tata ruang dan sistem pembayaran asuransi sudah efektif
berfungsi.
Tabel 1.1.

Data Pasien Rawat Inap (BOR – Bed Occupancy Rate) RSU
Dr. R.M. Djoelham Binjai Periode 2001 – 2005 dan 2007 - 2011

Total BOR 2001 s/d
Total BOR 2007 s/d 2011
Tahun

2005 Total BOR
Total BOR
2001
50 %
2007
92 %
82,1 %
2002
55 %
2008
52,8 %
2003
70,2 %
2009
52 %
2004
60,5 %
2010
53,4 %
2005

81,6 %
2011
Sumber : (Rekam Medis RSUD Dr. RM. Djoelham Binjai)
Tahun

Kemungkinan besar bahwa peningkatan atau penurunan (fluktuasi) efektifitas
utilisasi rumah sakit dengan indikator BOR (Bed Occupancy Rate) tidak akan terjadi
hanya karena aspek tertariknya

pasien pada tata ruang. Diperkirakan fluktuasi

tersebut relatif karena semakin banyaknya pasien yang masuk kesana, karena ada

Universitas Sumatera Utara

biaya pelayanan ditalangi oleh asuransi Jamkesmas. Dengan membandingkan rasio
hunian pasien unit rawat inap yang pada masa lalu, dengan rasio hunian pasien yang
sekarang perbandingan tersebut dapat dicermati pada data-data di tabel 1.1. Kesan
dari data data tersebut, bahwa ada keserupaan antara fluktuasi nilai rasio hunian rawat
inap periode 2001 s/d 2005 dengan 2007 s/d 2011, padahal sebenarnya pada periode

terakhir dilakukan perbaikan dan pembangunan tata ruang dan fasilitas unit rawat
inap. Apakah perubahan aspek tata ruang dan aspek lingkungan tersebut tidak
berpengaruh terhadap persepsi rasa nyaman pada pasien, sehingga mereka lebih
menyenangi dan selalu mau menggunakan fasilitas RS.
Merujuk pada teori-teori yang dituliskan oleh para ahli pemasaran jasa
menyatakan bahwa ada 5 macam faktor penting yang bertaut dapat mempengaruhi
persepsi pengguna jasa tentang mutu pelayanan. Parasuraman dkk (1996) menuliskan
bahwa salah satu dari aspek penentu mutu pelayanan jasa adalah nilai tangibilitas
(tangibility) yaitu penampilan fisik dari bangunan. Tetapi nilai tangibilitas (tata
ruang) itu hanyalah 1 di antara 4 aspek lainnya yaitu: (1) nilai ketanggapan pelayanan
(responsiveness); (2) nilai kehandalan petugas (reliability); (3) nilai kepastian adanya
pelayanan (assurance) dan (4) nilai empati dari petugas (empathy). (Kotler; 2000)
Keberadaan RSU Dr. Djoelham Binjai pada periode sesudah 2007 secara fisik
dan juga manajemen pelayanan bagaimanapun telah mengalami bayak peningkatan
kualitas. Bersamaan dengan pesatnya pembangunan fisik, mereka juga melaksanakan
peningkatan mutu pelayanan melalui pelatihan petugas. Petugas dilatih untuk menjadi

Universitas Sumatera Utara

professional, tanggap, terampil, pasti dan empati. Pelatihan tersebut berlangsung

bersamaan dengan adanya persiapan RS untuk menyambut uji akreditasi tahun 2009.
Berbagai pelatihan, reorganisasi dinyatakan telah dilaksanakan secara baik
dengan bukti bahwa mereka sudah lulus uji akreditasi 5 kelompok kerja secara penuh.
Jadi bila dilihat dari gerakan perbaikan mutu pelayanan, yang sudah diuji melalui
parameter standar versi KARS, sepatutnya bahwa para pencari “pelayanan nyaman”
akan lebih banyak memakai jasa pelayanan yang ditawarkan rumah sakit. Efeknya
akan meningkatkan utilisasi unit rawat inap dengan indikator BOR.
Industri pelayanan rumah sakit di mana saja, sama dengan industri pelayanan
jasa.

Industri

tersebut

bertumbuh

pesat.

Bersamaan


dengan

membaiknya

perekonomian di Indonesia paska krisis moneter akhir tahun 1997, ditambah dengan
pertambahan angka penduduk yang membutuhkan pelayanan kesehatan, pertambahan
rumah sakit di daerah juga meningkat. Perkembangan kemudahan sarana transport
dari kota kecil ke kota besar juga semakin tinggi. Pengelolaan pemasaran jasa rumah
sakit, apabila mau dikembangkan lebih jauh perlu mencermati teori Parasuraman dkk
yang berfokus pada aspek-aspek penentu kualitas pelayanan jasa. Tetapi hal-hal
tersebut ternyata tidak cukup, karena keberhasilan peningkatan pemasaran jasa rumah
sakit tidak cukup hanya melihat pada objek rumah sakitnya sebagai yang dinilai.
Penelitian perlu juga melihat begitu besarnya peran masyarakat yang bebas
menentukan ke pelayanan rumah sakit mana yang mereka sukai. Nilai-nilai sikap dan
perilaku pihak konsumen harus juga dipertimbangkan.

Universitas Sumatera Utara

Pada teori strategi dagang Hearing the Voice of the Market tulisan Barabba
dan Zaltman (1997), para penjual (provider jasa) harus juga memperhatikan apa yang
diinginkan oleh pihak pemakai jasa (consument). Artinya bahwa pihak penjual jasa
harus selalu meneliti karakteristik dari konsumen yang sebenarnya memiliki
kebebasan memilih jasa yang mereka akan pakai. Ciri-ciri dari kelompok pemakai
jasa yang potensil memberikan nilai ekonomis pada rumah sakit haruslah dicermati.
(Barabba dan Zaltman; 1997)
Ahli kesehatan masyarakat lain juga mengutip suatu teori Lawrence Green
tentang bagaimana perilaku seseorang di dalam membuat keputusan penting
dipengaruhi oleh faktor individu mendasar (Predisposing), faktor pendukung
(enabling) dan faktor penguat (reinforcing). (Notoatmodjo; 2010) Pihak pebisnis
rumah sakit dan pihak asuransi serta masyarakat sudah melihat manfaat bahwa
pengelolaan RS sebagai suatu badan usaha dengan menjalankan prinsip sosio
ekonomis berimbang. Bila rumah sakit ingin mendapat lebih banyak nilai profit dari
masyarakat yang mampu membayar, seharusnya pihak rumah sakit perlu lebih
memahami apa selera dari masyarakat mampu tersebut yang tidak lain adalah
pelayanan rumah sakit yang lebih nyaman.

1.2. Permasalahan
Adakah pengaruh tata ruang dan lingkungan rumah sakit terhadap
kenyamanan pasien rawat inap di RSU Dr. RM. Djoelham Binjai.

Universitas Sumatera Utara

1.3. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana tingkat pengaruh dari faktor tata ruang rumah
sakit saja atau seutuhnya bersama 4 faktor penentu kualitas mutu pelayanan
jasa terhadap keputusan pasien mampu membayar pelayanan nyaman.
2. Mengetahui pengaruh kesertaan faktor berpengaruh lainnya seperti aspek
lingkungan di RSU Dr. Djoelham turut berpengaruh memberi kenyamanan
pada pasien selama berobat di sana
3. Apa efek dari kedua aspek disebut di atas terhadap indikator utilisasi ruang
pelayanan rawat inap?

1.4. Hipotesis
Ada pengaruh yang bermakna dari kinerja faktor peningkatan kualitas tata
ruang dan lingkungan rumah sakit rumah sakit terhadap kenyamanan pasien.

1.5. Manfaat Penelitian
1. Menjadi masukan pada pihak manajemen pelayanan kesehatan rawat inap di
RSUD Dr. Djoelham Binjai informasi mengenai tanggapan pasien terhadap
tataruang RS.
2. Memberi masukan pada pihak manajemen rumah sakit tentang pengaruh
lingkungan rumah sakit terhadap kenyaman yang mereka tanggapi selama
berobat di sana.

Universitas Sumatera Utara

3. Membenahi dalam skala prioritas terhadap kekurangan yang ditemukan dalam
penelitian terkait dengan aspek efektifitas utilisasi sarana rawat inap supaya
berimbang secara ekonomis.

Universitas Sumatera Utara