Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah

GENJER-GENJER: FUNGSI DAN PERAN
Studi Kasus: Pencekalan Dan Stigma Komunis
Pada Lagu Genjer-Genjer Oleh Orde Baru
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra
Program Studi Ilmu Sejarah

Disusun Oleh :
Ruddy Eppata Cahyono
014314019

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
JURUSAN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA

2010

PERSEMBAHAN
Skripsi ini dipersembahkan kepada:

¾ Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan Cahaya Terang Roh Kudusnya
ke dalam hati dan pikiran ku.
¾ Bapak Fx Sri Mulyono, Ibu Maria Titie Utami (almh) dan Ibu Rusmini yang
telah merawat dan membesarkan dengan penuh kesabaran dan ketabahannya
hingga skripsi ini selesai.
¾ Mbak Endah sekeluarga, Mbak Diah sekeluarga, Mbak Shinta sekeluarga dan
Mas Doddy sekeluarga yang selalu membimbing dan mendukung dengan
penuh kesabaran sehingga skripsi ini selesai.
¾ Henny Puspitasari yang selalu mendampingi dan mendukung baik dalam
susah maupun senang.

iv

MOTTO
“…..sebab perjuangan itu perlu bukti…..”

“ hasil tak kan pernah terbentuk tanpa adanya proses”

“ memahami masa lalu, bijak untuk masa depan”


“Roda-roda terus berputar, tanda masih ada hidup
karna dunia belum terhenti, berputar searah….teruslah bermimpi jangan
pernah lelah meski tak mudah meraihnya….buktikan, buatlah menjadi
nyata..hadapi dunia dengan wibawa dan bijak…”
(Andrea Hirata “Sang Pemimpi”)

“kesadaran adalah matahari…kesabaran adalah bumi…
Perbuatan adalah wujud dari kata-kata…
….aku bernyanyi menjadi saksi…atas semua luka-luka…”
(W.S.Rendra)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis adalah asli
kreasi saya sendiri tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang
telah disebutkan dalam kutipan atau daftar pustaka, sebagai karya ilmiah.

Yogyakarta, 15 Mei 2010
Penulis

Ruddy Eppata Cahyono


ABSTRACT
Eppata Cahyono, Ruddy., 2010., "GENJER-GENJER: Functions and Role.,
Case Studies, Bans and Communists Stigma in Genjer-Genjer Song by Orde
Baru", Undergraduate Thesis., Yogyakarta: Departement of History
Letter, Faculty of History Letter. Sanata Dharma University.

This research studies how the political upheaval that was happening in the life
of nation and state in Indonesia, bringing a significant impact for the progress the
Genjer-Genjer songs. The strong grip of the political ideologies, bring off the change
image on Genjer-Genjer songs from the real image, a Banyuwangi folk song, became
a political song. This case study is divided into four main issues: the history of
creation the Genjer-Genjer songs?, A further development from the years 19421966?, Function and role in the development of life in art and politics in Indonesia?
and the causes of the bans and strong of communist stigma for the Genjer-Genjer
song?
The purpose of this research is to understand and answer the "mystery" of the
travel ban and the communism stigma in this song that launched by the Orde Baru
regime, through the point of view function and its role as one of the products of
human culture. Moreover, how early-Genjer-Genjer song creation and how the
development of track Genjer-Genjer the next period is also one goal of this research.

To understand and answer the problems that occurred in these cases, this study
uses the historical research method that consists of four phases namely: the collection
of sources, source criticism, analysis, sources and historiography. In the collection of
sources in order to obtain valid sources and related to the case, this study take several
steps, such as interviews, literature and websites. Furthermore, in order to be able to
analyze the sources of this study utilize several social science theories, such as
Bronisław Malinowski functional theory, value theory Mudji Soetrisno and, the
theory of music Dieter Mack. With these theories "mystery" of the phenomenon of
the presence on the track of the Genjer-Genjer can be revealed with the presence of
this historiography.
From the overall results of this study it appears that, at the beginning of
creation, in 1942, the Genjer-Genjer song created purely as a folk song Banyuwangi
community. Together with the values contained in the functions of this song tries to
enliven the artculture in Indonesia. But the socio-political upheaval that occurred in
the era 1960-1966, succeeded in changing the image of the Genjer-Genjer song,
become like a song of political ideology. The strong grip of political ideologies
scraped the consequences for the Genjer-Genjer song and ended on a travel ban and
communist stigma.

vi


ABSTRAK
Eppata Cahyono, Ruddy., 2010., “GENJER-GENJER: FUNGSI DAN PERAN.,
Studi Kasus, Pencekalan Dan Stigma Komunis Pada Lagu Genjer-Genjer
Oleh Orde Baru”, Skripsi Strata I, Yogyakarta: Prodi Ilmus Sejarah,
Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini mengkaji tentang bagaimana pergolakan politik yang sedang
terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia membawa dampak
yang signifikan bagi perjalanan lagu Genjer-Genjer. Kuatnya cengkraman ideologiideologi politik yang sedang berkembang, berhasil mengubah-fungsikan citra lagu
Genjer-Genjer dari citra yang sesengguhnya yakni, lagu rakyat Banyuwangi, menjadi
lagu yang bernuansa politis. Penelitian kasus ini terbagi ke dalam empat
permasalahan yakni: sejarah penciptaan lagu Genjer-Genjer?, Perkembangannya dari
tahun 1942-1966?, fungsi dan peranannya bagi perkembangan kehidupan berkesenian
dan perpolitikan Indonesia? dan sebab-sebab dari pencekalan dan kuatnya stigma
komunis bagi lagu Genjer-Genjer?
Tujuan dari penelitan ini adalah untuk dapat memahami dan menjawab
“misteri” dari pencekalan dan stigma komunis pada lagu ini yang dilancarkan oleh
Rejim Orde Baru, lewat sudut pandang fungsi dan perannya sebagai salah satu
produk dari kebudayaan manusia. Selain itu, bagaimana awal terciptanya lagu
Genjer-Genjer dan bagaimana perkembangan dari lagu Genjer-Genjer pada periode

selanjutnya juga menjadi salah satu tujuan dalam penelitian ini.
Guna memahami dan menjawab permasalahan yang terjadi pada kasus
tersebut, penelitian ini mengunakan metode penelitian sejarah yang terdiri dari empat
tahap yakni: pengumpulan sumber, kritik sumber, analisis sumber dan penulisan
sejarah. Dalam pengumpulan sumber guna memperoleh sumber-sumber yang valid
dan terkait dengan kasus tersebut, penelitian ini mengambil beberapa langkah seperti
wawancara, studi pustaka dan website. Selanjutnya, untuk dapat menganalisis
sumber-sumber tersebut penelitian ini mempergunakan beberapa teori ilmu sosial
seperti, teori fungsionalnya Bronislaw Malinowski, teori nilainya Mudji Soetrisno
dan teori musiknya Dieter Mack. Lewat teori-teori tersebut “misteri” dari fenomena
kehadiran lagu Genjer-Genjer dapat terungkap bersama kehadiran historiografi ini.
Dari hasil keseluruhan penelitian ini tampak bahwa, pada awal penciptaannya,
1942, lagu Genjer-Genjer murni tercipta sebagai lagu rakyat masyarakat
Banyuwangi. Bersama dengan nilai-nilai yang terkandung dalam fungsi-fungsinya
lagu ini mencoba mewarnai perjalanan seni-budaya di Indonesia. Namun pergolakan
sosial-politik yang terjadi pada era 1960-1966, berhasil mengubah-fungsikan citra
dari lagu Genjer-Genjer sebagai lagu yang berideologi politik. Kuatnya cengkraman
ideologi politik menggoreskan konsekuensi bagi lagu Genjer-Genjer dan berakhir
pada pencekalan dan terpasungnya pada sebuah stigma ko


vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :
Nama

: RUDDY EPPATA CAHYONO

Nomor Mahasiswa

: 014314019

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
GENJER-GENJER : FUNGSI DAN PERAN., Studi Kasus : Pencekalan Dan
Stigma Komunis Pada Lagu Genjer-Genjer Oleh Orde Baru
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data,

mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media
lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 1 Mei 2010

Yang menyatakan

( Ruddy Eppata Cahyono )

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmatNya,sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penyusunan ini tidak lepas
dari berbagai pihak. Maka dalam penelitian ini terucap terimakasih yang sebanyakbanyaknya kepada:
1. Dr. Fransisca Ninik Yudianti, M. Acc., selaku Wakil Rektor I Universitas Sanata
Dharma.
2. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas
Sanata Dharma.
3. Drs. H. Hery Santosa, M.Hum., selaku Ketua Program Studi Ilmu Sejarah dan

dosen akademik. Atas segala kesabaran, didikan dan bimbingan yang telah
diberikan
4. Drs. Silverio R. L. Aji Sampurna M.Hum., selaku dosen pembimbing atas
segala kritik, bimbingan, kesabaran dan kemudahan yang diberikan.
5. Dosen-dosen Ilmu Sejarah: Bpk. Drs. Ign. Sandiwan Suharso., Bpk. Drs. H.
Purwanta, M.A., Bpk. Dr. Anton Haryono, M.Hum., Bpk. Alm. Drs G..
Moedjanto., Bpk. Alm. Prof. Dr. P.Y. Suwarno, S.H., Ibu Dra. Lucia Juningsih,
M.Hum., Dr. F.X. Baskara T. Wardaya, SJ., atas segala bimbingan dan
tuntunannya selama kuliah.
6. Rekan-rekan sejarah: Taji, Tholo, Eka, Tato, Lazarus, Krisna besar dan kecil,
Ajeng, Riska, Erna, Lina, Bertha, Eko, Hendri, Adit, Fenny, Agus, Mbelek,

viii

Sempal, Upi, Badu, Hananto, Bondan, Bondo, Qser, dan semua kawan-kawan
ilmu sejarah Universitas Sanata Dharma atas dorongan dan motivasinya kepada
penulis, sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini.
7. Songket Band: Gembes, Yoyon, Khonteng, Catag, Pletot, Melky, dan Tejo, yang
telah memberikan pengertian, dorongan dan motivasinya kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

8. Saudaraku Febby, Novi, Melly dan Gery atas bimbingannya selama ini.
9. Komunitas Seni WAPRES Bulungan, Jakarta Selatan
10. Komunitas Seni Bambu, Jakarta Selatan
11. Komunitas Utan Kayu, Jakarta Timur
12. Komunitas Seniman Banyuwangi, Surakarta
13. Komunitas Teplok, Surakarta
14. Bapak, Ibu, kakak-kakak, keponakan dan my soul of spirit Henny, aku bahagia
menjadi bagian kehidupan kalian.
15. Dan semua pihak yang tidak bisa disebut satu per satu, penulis mengucapkan
terima kasih sebesar-besarnya atas kerjasama dan dukungannya selama ini
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
Hasil dari penelitian ini disadari masih jauh dari sempurna, karena itu masukan
dan kritik dari pembaca yang sifatnya membangun masih sangat diperlukan. Semoga
skripsi ini berguna bagi siapa saja dan dapat membantu bahan studi selanjutnya.
Yogyakarta,

ix

2010


DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………..

i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……………………………….

ii

HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iii
HALAMAN PERSEMBAHAN .......................................................................... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................................................ v
ABSTRACT ........................................................................................................... vi
ABSTRAK ……………………………………………………………………... vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... viii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ x
BAB I

PENDAHULUAN…………………………………………………...

1

A. Latar Belakang penelitian ......................................................……... 1
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah ....................................…….. 7
C. Rumusan Masalah ..................................................................……. 9
D. Tujuan Penelitian ...................................................................……. 10
E. Manfaat Penelitian .................................................................……. 11
F. Tinjauan Pustaka .....................................................................……. 12
G. Landasan Teori .......................................................................…….. 15
H. Metode Penelitian ..................................................................…….. 17
I. Sistematika Penulisan ..............................................................……. 19
BAB II

RUANG SENI DAN TRADISI LAGU GENJER-GENJER ............... .. 21
A. Sekilas Perjalanan Seni dan Lagu Banyuwangi .....................…….. 21
B. Jejak-Jejak Awal Lagu Genjer-Genjer (1942-1960) ...............…….. 30
C. Fungsi Lagu Genjer-Genjer ....................................................…….. 38

x

BAB III LAGU GENJER-GENJER DALAM CENGKRAMAN POLITIK ..... .. 41
A. Selayang Pandang Perkembangan Lagu di Indonesia Tahun 19601966 .......................................................................................…….. 41
B. Jejak Langkah Lagu Genjer-Genjer 1960-1965......................……. 48
C. Pandangan PKI dan LEKRA bagi Lagu Genjer-Genjer .........……. 53
BAB IV JEJAK AKHIR LAGU GENJER-GENJER .......................................... .. 57
A. Dari G30S Sampai Pada Pencekalan Lagu Genjer-Genjer 19651966……..…………………………………………………………...57
B. Lagu Genjer-Genjer Di Antara Banyuwangi, PKI, LEKRA
Dan Orde Baru........................................................................……...63
BAB V KESIMPULAN ....................................................................................... ..67
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN I
LAMPIRAN II
LAMPIRAN III
LAMPIRAN IV

xi

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian
Musik atau lagu, sebagai salah satu ungkapan ekspresi seni manusia,
melukiskan jejak tersendiri bagi perjalanan kehidupan kebudayaan manusia.
Musik atau lagu merupakan sebuah pernyataan seni yang paling universal dalam
bentuk dan merupakan suatu getar keindahan yang diantar langsung ketali rasa
manusia.1 Bersama dengan keindahan dan harmonisasi dari nada, irama, dan
syair-syair yang ditampilkannya, lagu berhasil hidup subur di setiap aspek
kehidupan manusia. Hampir setiap lapisan dari berbagai golongan terbius oleh
kenikmatan yang disuguhkan oleh musik atau lagu, dan kehadirannya tidak dapat
begitu saja terlepas dari kehidupan manusia.
Sebagai sebuah struktur seni, layaknya semua seni, lagu hadir dengan
beragam fungsi dan peran. Selain berfungsi sebagai media hiburan, fungsi-fungsi
lain seperti alat ritual, alat pengikat komunitas, alat perjuangan, media kritik,
sampai pada alat propaganda politis, juga turut mewarnai. Selanjutnya, bersama
dengan fungsi-fungsi tersebut nilai-nilai yang terkandung diharapkan dapat
menjadi wadah komunikasi antara si pengarang lagu dengan audience atau
penikmat lagu.

1

M. Raka Santeri., 1964, Kelesuan Dalam Penciptaan Lagu–Lagu
Populer, Majalah Gelora, Jakarta, hal: 15

1

2

Eratnya hubungan yang terjalin antara lagu dengan kehidupan manusia
menyebabkan pola yang terbentuk pada lagu tidak jauh berbeda dengan pola yang
lahir dan berkembang dalam kehidupan manusia. Pergolakan-pergolakan yang
tampil dalam kehidupan kebudayaan manusia (sosial, ekonomi dan politik) secara
tidak langsung membawa pengaruh yang significant bagi kelangsungan
kehidupan lagu, begitu pula sebaliknya. Tidak jarang pergolakan tersebut
merubah fungsi nilai dan makna yang terkandung dalam lagu menjadi sebuah
nilai dan makna yang baru, dan terkadang memaksa lagu untuk berjalan jauh
terlepas dari ruang idealismenya, terkait dengan fungsi dasar terciptanya sebuah
lagu. Pada titik ini tanpa di sadari lagu berjalan pada titik ambiguitas makna dan
fungsi.
Perubahan fungsi tersebut terlihat jelas ketika kehadiran lagu harus
dibenturkan pada sebuah kepentingan dari sistem politik yang sedang berkembang
dalam kehidupan manusia, terkait dengan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kuatnya makna kuasa dan kontrol dari sebuah sistem politik yang sedang
berkembang, memposisikan lagu untuk pada titik yang lemah. Keinginan untuk
dapat berjalan netral dalam ruang idealisme seninya dirasakan sulit untuk dapat
dicapai, terlebih ketika lagu dipaksa mempunyai nilai loyalitas terhadap sebuah
sistem politik tertentu. Dampak yang lebih luas lagi dari perubahan fungsi lagu
adalah diangkatnya sesuatu yang artifisial menjadi simbol demi menyaratkan
serta menguasai manusia dan akhirnya sebuah lagu hanya menjadi perpanjangan

3

tangan dari sebuah sistem politik,2 bahkan bisa dikatakan hanya sebatas
dimanfaatkan. Pada dasarnya hakikat seni, dalam hal ini lagu, adalah ekspresi
manusia, karena itu upaya mempolitisasi bidang seni pada zaman sekarang hanya
akan mengakibatkan kematian seni itu sendiri.3
Seperti halnya yang terjadi dalam kasus pencekalan dan stigma komunis
pada lagu Genjer-Genjer oleh Orde Baru. Dalam kasus ini, lagu Genjer-Genjer
pada perjalanannya dipaksa berubah fungsi demi sebuah kepentingan dari sistem
politik yang sedang berkembang dalam tubuh rezim politik yang sedang berkuasa
pada era 1960-an (PKI dan Orde Baru). Kuatnya cengkraman dari sistem politik,
baik dari PKI maupun Orde Baru, berhasil membentuk fungsi baru dalam tubuh
lagu Genjer-Genjer yang secara tidak langsung menghantar lagu Genjer-Genjer
pada titik ambiguitas fungsi dan nilai. Berawal dari titik ambiguitas tersebutlah
pada akhirnya menyebabkan pencekalan dan melahirkan sebuah makna komunis
pada lagu Genjer-Genjer. Pada ruang ini jelas terlihat bagaimana kehadiran lagu
Genjer-Genjer coba dimanfaatkan oleh rezim politik tertentu demi perpanjangan
tangan sistem politiknya dan kelancaran dari kelangsungan kehidupan politiknya.
Ideologi politik yang terbentuk dalam tubuh partai atau kelompoknya dipaksa
melebur ke dalam tubuh lagu Genjer-Genjer dan menyebabkan lahirnya sebuah
makna dan nilai baru bagi lagu. Ironisnya makna dan nilai tersebut dijadikan

2

Teguh Karya Esha, dkk., 2005, Ismail Marjuki: Musik, Tanah Air, Dan
Cinta, Pustaka LP3ES, Jakarta, lihat kata pengantar Dieter Mack, Musik di antara
Seni dan Politik : Sebuah Dilema Abadi, hal: xvii
3

Ibid., hal: xx

4

simbol yang menyaratkan sebuah kepentingan politik dari kelompok politik
tertentu.
Ketika dikaji lebih dalam melalui kerangka awal penciptaannya, lagu
Genjer-Genjer murni tercipta sebagai lagu rakyat (folksong) yang berasal dari
daerah Banyuwangi. Lukisan kesengsaraan masyarakat Banyuwangi dalam
menjalankan kehidupannya di sela-sela bentuk kolonialisasi Jepang dijadikan
inspirasi dari sang pengarang lagu, M. Arief, untuk dapat menciptakan lagu
Genjer-Genjer. Digambarkan oleh M. Arief bagaimana akibat kolonialisasi,
masyarakat Banyuwangi hidup dalam kondisi kemiskinan yang luar biasa
sehingga harus makan daun genjer.4 Berawal dari lukisan-lukisan inilah yang
selanjutnya oleh M.Arief lagu Genjer-Genjer diharapkan dapat berfungsi sebagai
media kritik terhadap bentuk penjajahan Jepang5 dan media perjuangan bagi
masyarakat Banyuwangi dalam menjalani kehidupannya di sela-sela kehidupan
kolonialisasi bangsa Jepang.
Bersama dengan kesederhanaan dan harmonisasi dari nada, irama, dan
syair-syairnya, lagu Genjer-Genjer berhasil menjadi perwakilan suara-suara
perjuangan masyarakat Banyuwangi dalam menghadapi bentuk kolonialisasi
Jepang dan menyebabkan semakin dikenalnya lagu ini oleh kalayak ramai. Pada
periode tahun 1960 sampai pada pertengahan tahun 1965, perjalanan lagu GenjerGenjer menapaki masa kejayaannya. Lagu ini semakin populer dan hampir setiap
4

Jurnal Paring Waluyo Utomo., 2003, Genjer-Genjer Dan Stigmanisasi
Komunis, Pusat Studi Dan Pengembangan Kebudayaan (Puspek), Malang
5

Utan Parlindungan., 2007, Musik Dan Politik: Genjer-Genjer, Kuasa dan
Kontestasi Makna, Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM,
Jogjakarta, hal: 11

5

kalangan dari berbagai golongan mengenal dan menyenangi lagu ini. Akan tetapi
tanpa di sadari, cengkraman ideologi politik PKI secara perlahan mulai
mencengkram setiap jejak perjalanan lagu Genjer-Genjer pada era tersebut.
Tahap demi tahap cengkraman tersebut melahirkan sebuah fungsi baru bagi lagu
rakyat Banyuwangi ini menjadi sebuah lagu propaganda politiknya PKI. Lagu
Genjer-Genjer oleh PKI dijadikan alat perpanjangan sistem ideologinya guna
menarik simpati dari massa. Mulai saat itu lagu Genjer-Genjer di kenal bukan
lagi sebatas lagu rakyat yang berasal dari Banyuwangi namun juga di kenal
sebagai lagunya orang-orang PKI. Nilai propaganda yang digoreskan PKI ke
dalam tubuh lagu Genjer-Genjer ternyata melahirkan nilai konsekuensi, implikasi
dan indikasi tersendiri bagi perjalanan lagu Genjer-Genjer. Secara tidak langsung,
aroma ideologi komunis PKI melebur ke dalam tubuh lagu Genjer-Genjer yang
menyebabkan terikatnya lagu Genjer-Genjer pada stigma komunis atau PKI.
Sejak saat itu kehadirannya tidak penah bisa terlepas begitu saja dari PKI, dan
wajar ketika Orde Baru memilih untuk mencekal lagu Genjer-Genjer.
Kuatnya cengkraman ideologi PKI bagi lagu Genjer-Genjer memaksa
lagu Genjer-Genjer menenggak pil pahit, serupa dengan nasib yang dialami PKI.
Pasca meletusnya tragedi G30S 1965 dan menyeret PKI sebagai dalang dibalik
peristiwa tersebut. Nasib lagu Genjer-Genjer pun berubah drastis, kedekatannya
dengan PKI menuntut lagu ini turut memanggul nilai tanggung jawab atas
terjadinya peristiwa tersebut. Lagu Genjer-Genjer dipaksa terlibat dan
didisfungsikan sebagai sebuah lagu rakyat yang berakhir pada pencekalannya di
panggung kesenian Indonesia. Kedekatannya dengan PKI dijadikan salah satu

6

dasar pemikiran Orde Baru guna untuk dapat mencekal lagu Genjer-Genjer. Orde
Baru memanfaatkan lagu Genjer-Genjer dan mendesaign lagu ini sebagai senjata
ampuh guna mematikan langkah PKI. Terlebih ketika pemerintah pada era itu
memberikan kuasa penuh bagi Suharto, salah satu petinggi dari Orde Baru, lewat
Tap MPRS No IX/MPRS/1966 tentang perintah untuk dapat mengondusifkan
keadaan dan Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran PKI dan
pelarangan/pengharaman

segala

ajaran

komunis,

Marxisisme-Leninisme.

Menambah semakin gencarnya Orde Baru melakukan maneuver-manuver
pemberatasan PKI dan segala atributnya. Lagu Genjer-Genjer pun tidak luput
terlahap, lagu ini di cekal dan didisfungsikan sebagai lagu rakyat Banyuwangi.
Bangunan mitologi-mitologi komunis yang dirancang Orde Baru berhasil
mendoktrin pola pikir sebagian besar Bangsa Indonesia sampai saat ini dan
melahirkan rasa paranoid untuk dapat menyanyikan lagu Genjer-Genjer dalam
kehidupan sehari-harinya.
Kasus yang terjadi pada lagu Genjer-Genjer sekilas menggambarkan
bagaimana pergolakan yang terjadi dalam kehidupan manusia, khususnya
pergolakan politik, mempunyai pengaruh yang sangat significant bagi perjalanan
atau perkembangan sebuah produk kebudayaan, dalam hal ini lagu GenjerGenjer. Semakin besar sebuah bangsa semakin kompleks pula permasalahan yang
akan dihadapinya dan tidak jarang menuntut korban yang tidak sedikit dari segala
aspek. Benturan-benturan kepentingan politis antara PKI dan Orde Baru memaksa
lagu Genjer-Genjer untuk menelan pil pahit dan, dapat dikatakan, menjadi
‘Korban’ dari pertempuran politik mereka. Pada dasarnya hakikat seni tidak

7

pernah bisa dikaitkan dengan sebuah bangsa, kecuali bila dipaksakan oleh sistem
politik tertentu yang berwatak otoriter.6

B. Identifikasi Dan Pembatasan Masalah
Kasus pencekalan dan stigma7 komunis pada lagu Genjer-Genjer yang
dilancarkan oleh Orde Baru membawa keunikan tersendiri untuk dikaji secara
mendalam. Bermuara pada uraian di atas, lahirlah beberapa permasalahan di
dalamnya. Dibalik nuansa PKI dan pekatnya aroma komunis pada lagu GenjerGenjer, ternyata mengandung keistimewaan tersendiri dari fungsi dan perannya
bagi perkembangan kesenian masyarakat Banyuwangi, Indonesia, Lekra dan
ideologi politik PKI. Dari sebab itu keistimewaan-keistimewaan fungsi dan peran
yang terkandung dalam tubuh lagu Genjer-Genjer dirasa perlu untuk di ungkap.
Selain itu, apakah yang melatarbelakangi si pencipta lagu dalam menciptakan
lagu Genjer-Genjer juga menjadi salah satu topik permasalahan dalam pengkajian
ini untuk dapat menjadi dasar pengertian kenapa fungsi dan peran itu bisa
tertanam dalam lagu Genjer-Genjer.
Rejim Orde Baru yang pada era 1965 diberi mandat oleh pemerintah
untuk dapat mengkondusifkan kembali Indonesia dari segala kekacauan akibat
6

7

Teguh Esha, dkk., op.cit , hal: xvii

Dalam penelitian ini kata “Stigma” berujuk pada sebuah identitas negatif
yang dipaksakan melekat dalam tubuh lagu Genjer-Genjer. Stigma itu sendiri
berasal dari doktrinasi Orde Baru tentang opininya bagi lagu Genjer-Genjer
sebagai lagu yang berwarna komunis. Dan memiliki sifat terus-menerus dan
menyerupai abadi. Istilah stigma itu sendiri digunakan dalam penelitian guna
menerangkan bahwa komunis yang melekat berasal dari sebuah ideologi politik
yang dipaksakan untuk dapat melekat dan bukan sebuah identitas yang berasal
dari sebuah nilai estetika seni atau idealisme seninya.

8

peristiwa G30S, mengambil salah satu kebijakan yang cukup unik, yakni
pencekalan lagu Genjer-Genjer dari panggung hiburan Indonesia. Kebijakan
tersebut sudah barang tentu tidak berjalan begitu saja tanpa dasar-dasar penilaian
didalamnya. Oleh sebab itu, apakah yang melatarbelakangi kebijakan tersebut
dirasa tepat untuk dapat dikaji lebih dalam lagu dalam penelitian ini. Selain itu,
keistimewaan apa yang terkandung dalam lagu Genjer-Genjer dan apakah lagu
Genjer-Genjer mengandung fungsi atau hanya dimanfaatkan oleh Orde Baru guna
mematikan langkah PKI juga menjadi salah satu permasalahan yang perlu
dijawab dalam penelitian ini. Lagu Genjer-Genjer dalam perjalananya bukan saja
dicekal namun pekatnya stigma komunis dalam lagu ini juga turut mewarnai dan
permasalahan ini sampai sekarang belum terjawab dengan mendalam. Stigma
komunis itu sendiri terlahir sekilas dari sebuah konsekuensi kedekatannya dengan
PKI namun dibalik itu semua apakah ada nilai-nilai lain yang mendasari Orde
Baru dan KAMI untuk menstigma komunis lagu Genjer-Genjer, terlebih
kaitannya dengan unsur atau nilai keindahan suatu seni atau lagu.
Peristiwa sejarah, oleh kebanyakan orang dimaknai sebagai sebuah
untaian peristiwa yang pernah terjadi pada masa lalu dan tersusun oleh runtutan
periode dari tahun ke tahun. Oleh sebab itulah guna tercapainya sebuah
historiografi kebudayaan maka urutan dari tahun ke tahun secara sistematis perlu
dihadirkan disini. Pengkajian ini terangkai dari tahun 1942 sampai 1966, tersusun
dari awal terciptanya lagu Genjer-Genjer 1942 sampai pada pencekalannya pada
tahun 1966. Kurun waktu 24 tahun merupakan putaran waktu yang tepat guna
mengidentifikasi masalah yang terjadi pada lagu Genjer-Genjer. Dalam kurun

9

waktu ini dapat terlihat jelas bagaimana sebuah proses perjalanan lagu GenjerGenjer dalam menapaki kehidupannya sampai pada nasib pahitnya yakni
pencekalannya dan perubahan nilai dan maknanya menjadi sebuah lagu yang
mengandung stigma komunis.
Batasan waktu dalam pengkajian ini terhenti pada tahun 1966, pada tahun
ini dapat dengan jelas terlihat dasar-dasar penilaian apa saja yang diambil oleh
Orde Baru guna mencekal lagu Genjer-Genjer. Selain itu, bagaimanakah proses
sebuah stigma komunis bisa dengan mudah melekat dalam tubuh lagu GenjerGenjer. Bagaimanakah pandangan kalayak ramai pada umumnya dan juga
masyarakat Banyuwangi pada khusus tentang pencekalan lagu Genjer-Genjer
oleh Orde Baru juga dapat terkaji dengan jelas.

C. Rumusan Masalah
Bermuara dari uraian diatas, lahir beberapa permasalahan untuk dapat
dikaji lebih dalam. Adapun rumusan masalah tersebut terbagi dalam beberapa
butir yakni :
1. Bagaimanakah sejarah terciptanya lagu Genjer-Genjer dan apakah
yang melatarbelakangi terciptanya lagu Genjer-Genjer?
2. Bagaimanakah perkembangan lagu Genjer-Genjer pada tahun
1960-1966?
3. Bagaimanakah fungsi dan peran lagu Genjer-Genjer bagi
perkembangan kehidupan masyarakat Banyuwangi, masyarakat
Indonesia, dan PKI ?

10

4. Apakah yang mendasari Orde Baru mencekal dan menstigma
komunis lagu Genjer-Genjer?
Pengkajian berdasarkan pendekatan historis dari latar belakang terciptanya
lagu Genjer-Genjer, diharapkan dapat menjelaskan sejarah terciptanya lagu
Genjer-Genjer. Selanjutnya, bersama dengan pendekatan secara mendalam lewat
pendekatan antropologis, sosiologis, seni musik, hukum dan politik diharapkan
dapat menguak keistimewaan fungsi dan peran yang terkandung dalam lagu
Genjer-Genjer dan juga dapat mengungkap nilai-nilai dasar dari perubahan fungsi
lagu Genjer-Genjer sampai pada pencekalan dan stigma komunisnya.
Bersama dengan pendekatan displin-displin ilmu ini diharapkan dapat
menjawab segala permasalahan yang ada dalam penelitian ini dari segala ruang
dan juga sekat-sekat terkecilnya.

D. Tujuan Penelitian
a. Akademis
Kehadiran lagu Genjer-Genjer sebagai lagu rakyat Banyuwangi menarik
keunikan tersendiri dalam kehidupan bangsa Indonesia. Keunikan dari ekspresi
seni musik yang ditampilkannya semakin mewarnai kehidupan berkesenian di
Indonesia. Dengan mengkaji kasus lagu Genjer-Genjer secara mendalam,
diharapkan “misteri” dari fenomena kehadirannya dapat terungkap. Dan
akhirnya, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah referensi bagi peneliti
yang menaruh titik fokusnya pada penulisan sejarah kebudayaan khususnya seni
musik.

11

b. Praktis
Bersama dengan hadirnya tulisan mengenai kasus pencekalan dan stigma
Komunis pada lagu Genjer-Genjer ini. Diharapkan masyarakat di luar lingkup
akademis bisa dengan jelas memahami latarbelakang dari kasus pencekalan dan
proses melekatnya stigma komunis pada lagu Genjer-Genjer. Pada akhirnya
sebuah upaya untuk dapat merehabilitasi sebuah kultur dapat secara bijak dipilih.

E. Manfaat Penelitian
a Teoretis
Pengkajian kasus pencekalan lagu Genjer-Genjer oleh Ordebaru, belum
sepenuhnya dijadikan minat khusus dalam penelitian oleh beberapa khalayak.
Terbatasnya sumber bahkan tulisan-tulisan yang mencoba mengkaji kasus
tersebut

menyebabkan

minimnya

pemahaman

kalayak

umum

terhadap

permasalahan yang terjadi. Dari sebab itulah maka diharapkan dengan lahirnya
tulisan ini dapat menambah pembendaharaan kasanah tulisan sejarah kebudayaan,
khususnya seni musik. Sehingga pada nantinya dapat bermanfaat bagi mereka
yang mencoba menaruh titik fokus pengkajiannya pada kasus ini.
b. Praktis
Keberhasilan dari sebuah penelitian adalah ketika hasil akhir dari
penelitian itu (tulisan) berhasil mengungkap dan mengkomunikasikan sebuah
peristiwa yang dikajinya kepermukaan. Sehingga masyarakat pada umumnya
dapat memahaminya sebagai sebuah pembelajaran mereka dalam menyikapi
segala peristiwa yang terjadi dalam masa lalu secara bijak. Begitu pula dengan
penelitian ini, diharapkan dapat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat pada

12

umumnya guna memahami dan mempelajari segala bentuk permasalahan yang
sebenarnya terjadi dalam pergolakan kehidupan seni dan politik dalam ruang
kebudayaan.

F. Tinjauan Pustaka
Kehadiran sumber-sumber pustaka disamping sumber-sumber lainnya
dalam sebuah penelitian, yang telah ada atau telah beredar sebelumnya
dilapangan, merupakan salah satu alat penting guna tercapainya keberhasilan dari
sebuah penelitian. Hal tersebut semata-mata bukan saja digunakan sebagai
panduan atau acuan bagi kelangsungan sebuah penelitian namun juga dijadikan
sebagai sebuah tolak ukur dasar dari keaslian sebuah penelitian. Sehingga
keaslian dari hasil penelitian yang dikaji dapat teruji valid secara akademis
maupun secara praktis.
Banyak upaya yang dilakukan oleh para ilmuwan, baik yang ada dalam
bidangnya maupun tidak, untuk dapat menempatkan seni musik sebagai titik
fokus pengkajian dan penulisannya dan dapat menjadi acuan dan data-data.
Namun pengkajian yang bermuara pada kasus pencekalan dan stigmatisasi
komunis pada lagu Genjer-Genjer oleh Orde Baru masihlah minim untuk dapat
ditemukan di lapangan sampai saat ini.
Bentuk-bentuk pustaka yang mencoba mengkaji musik atau lagu sebagai
fokus pengkajiannya dan cukup memiliki relevansi dengan kasus pencekalan
Genjer-Genjer antara lain: buku yang berjudul Catatan Musik Indonesia:
Fragmentasi Seni Modern Yang Terasing, karya Suka Hardjana. Dalam buku ini,

13

Hardjana mencoba menjelaskan tentang semua persoalan yang akan dan terus
dihadapi oleh seni musik dalam kehidupan sehari-harinya. Kompleksnya
permasalahan yang dihadapi akan terus berkembang dan terkadang dapat
melempar seni musik kedalam lorong keterasingan. Meski dalam buku ini kasus
Genjer-Genjer tidak masuk dalam pemahasan namun setidaknya lewat buku ini
sekilas tampak bagaimana perkembangan seni musik dalam menjawab segala
tantangan yang digoreskan oleh jaman.
Selanjutnya, penelusuran pun terhenti pada sebuah buku yang berjudul
Kembang-Kembang Genjer, karya Fransisca Ria Susanti. Dalam buku ini
dijelaskan bagaimana trauma dan penderitaan orang-orang yang dianggap
mempunyai kedekatan dengan PKI dan ideologi komunis harus dihadapkan pada
nasib yang ironis dan kenangan tersebut sulit untuk dapat terhapus oleh waktu.
Keunikan dalam buku ini adalah ketika bahasan bermuara pada korban 65, tidak
tertutup pada permasalahan kedekatannya dengan PKI dan juga kedekatannya
dengan lagu Genjer-Genjer. Akan tetapi bahasan tentang lagu Genjer-Genjer
tidak menjadi titik fokus pembicaraan, hanya sebatas nilai konsekuensi dan
indikasi dari kegemarannya menyanyi lagu Genjer-Genjer.
Sebuah pembahasan tentang kasus yang dihadapi lagu Genjer-Genjer
coba diuraikan secara cerdas dan kritis dalam buku Musik Dan Politik: GenjerGenjer, Kuasa dan Kontestasi Makna, karya Utan Parlindungan S. Dalam buku
ini, coba dijabarkan secara gamblang bagaimana makna kuasa politik yang
berkembang dalam tubuh PKI dan Orde Baru, telah berhasil memperkosa
idealisme seni yang ada dalam tubuh lagu Genjer-Genjer dan merubah fungsikan

14

lagu Genjer-Genjer jauh terlepas dari fungsi awal terciptanya lagu GenjerGenjer. Meskipun dalam buku ini kasus lagu Genjer-Genjer secara gamblang
diulas namun dasar pendekatan penulisan buku lebih terfokus pada kacamata
politik. Kajian historis dari sudut pandang fungsi dan peran belumlah secara
fokus menjadi dasar penelitian.
Selain buku-buku tersebut diatas, jurnal-jurnal seperti jurnal Srinthil dan
jurnal Paring Waluyo mencoba menjelaskan tentang sejarah dan perkembangan
lagu Genjer-Genjer. Akan tetapi penjelasan hanya sebatas rangkuman dan dirasa
kurang jelas menjawab latar belakang pencekalan dan stigmatisasi komunis pada
lagu Genjer-Genjer oleh Orde Baru. Penyampain masih terlihat sekilas dan belum
secara mendalam.
Sumber-sumber pustaka tersebut hadir dengan keunikannya tersendiri,
walaupun kehadirannya mencoba memposisikan musik atau lagu sebagai
kajiannya. Namun belum dapat ditemukan pengkajian historis yang bermuara
pada pencekalan dan stigmatisasi komunis pada lagu Genjer-Genjer lewat sudut
pandang fungsi dan peran. Dari sebab itulah penelitian ini diyakini perlu untuk
dilakukan guna terciptanya tulisan historis tentang kasus pencekalan dan
stigmatisasi komunis pada lagu Genjer-Genjer oleh Orde Baru lewat sudut
pandang fungsi dan peranannya.

15

G. Landasan Teori
Dalam menganalisis pergerakan seni musik dalam ruang lingkup
kehidupan manusia yang dinamis, kehadiran sebuah metode yang tepat di rasa
perlu guna tercapainya pengkajian secara mendalam. Kerangka teori menurut
Koenjtaraningrat berfungsi sebagai pendorong proses berfikir deduktif yang
bergerak dari bentuk abstrak ke dalam bentuk yang nyata. Dalam penelitian suatu
kebudayaan masyarakat diperlukan satu atau lebih teori pendekatan yang sesuai
dengan objek dan tujuan dari penelitian ini. Dalam hal ini, teori pendekatan yang
dirasa tepat guna mengkaji kasus tersbut adalah pendekatan Fungsional.
Bronislaw Malinoswski dalam bukunya The Dinamics Of Culture Change,
menjelaskan bahwa metodologi yang tepat guna meneliti, menganalisis, dan
melukiskan proses perubahan yang sedang terjadi dalam pergerakan ini adalah
lewat pedekatan fungsional terhadap gejala berkesenian yang sedang terjadi.8
Teori Fungsional yang diajukan oleh Malinowski dalam Koentjaraningrat, antara
lain menyinggung tentang fungsi kebudayaan yang merupakan segala aktifitas
kebudayaan yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan naluri manusia yang
berkaitan dengan kehidupannya.9 Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan
sosial didukung oleh fungsi institusi-institusi seperti: negara, agama, keluarga,
aliran dan pasar dapat terwujud.

8

Bronislaw Malinowski., 1983, Dinamik Bagi Perubahan Budaya (
Pengenalan Baru Phyllis M. Kaberry ), Kuala Lumpur : Dewan Bahasa Dan Pusat
Kementerian Pelajaran, hal: 95
9

Koentjaraningrat., 1985, Persepsi tentang Kebudayaan Nasional, Jakarta,
Gramedia, hal: 102

16

Lagu Genjer-Genjer sebagai sebuah karya seni, sudah barang tentu
membutuhkan Audience atau penikmat seni guna menilai dan menikmati lagu
tersebut. Dengan demikian penilaian yang berkaitan dengan makna atau nilai
estetis yang lahir dari tiap individu atau kelompok dari penikmat seni dan penilai
berdasarkan kualitas dan tujuan karya seni sangatlah penting digunakan di dalam
tulisan ini.10 Selain itu, guna lebih mendalamnya penulisan ini dalam mengkaji
pergerak seni musik, maka pengertian tentang gejala yang sedang terjadi dan
mencerminkan suatu periode juga sangat menentukan dalam tulisan ini.11
Musik tradisional sendiri mempunyai sifat fungsional, baik untuk
kepentingan ritual dan hiburan maupun kepentingan lain yang menjadi bagian
integral dari kehidupan kelompok etnis tertentu, dia dapat memenuhi kebutuhan
kreatif, apresiatif, dan rohani. Jenis seni melalui tradisi oral semacam itu
berkembang dan selalu berubah tanpa disadari.12
Musik sendiri terlalu abstrak untuk dijadikan alat politis yang konkret.
Bila dampak politis dalam arti luas ingin diwujudkan secara massal, seorang
komponis harus melakukan sejumlah kompromi dalam mencipta yakni, (a) musik
program, atau (b) secara nyata membuat parodi musik fungsional yang terlanjur
diklaim oleh sebuah sistem politik.13

10

Mudji Soestrisno, Christ Verhaak., 1984, Estetika Filsafat Keindahan,
Yogyakarta, Kanisius, hal: 81-83
11

Doris Van De Bogart., 1977, Introduction To The Humanities ( Painting,
Sculputure, music, And Literature), New York, Bames & Noble Inc, hal: 24
12

Karya Teguh Esha, dkk., op.cit, hal: xx

13

Ibid, hal: xxi

17

Sebuah bangsa modern adalah produk artificial yang sangat ditentukan
oleh pertimbangan ekonomi, politik, dan sosial, bukan berdasarkan kesamaan
alamiah. Masalah yang kemudian muncul adalah argumen tentang pembentukan
bangsa nasional yang niscaya tak berlaku sama sekali di bidang kesenian. Hakikat
kesenian adalah ekspresi manusia, karena itu upaya mempolitisasi bidang seni
pada zaman sekarang hanya akan mengakibatkan kematian seni itu sendiri.14
Demikian juga, sejarah adalah bentuk kejiwaan dengan apa sebuah
kebudayaan menilai masa lalunya. Sejarah adalah ilmu, bukan mitologi atau
roman, sejarah adalah cara mengenal dunia. Sejarah harus kritis, dalam arti
mempunyai komitmen kepada kejujuran dan ketekunan dalam mengenal
objeknya. Namun, dengan metodenya sendiri, sejarah adalah sumbangan penting
bagi kebudayaan.

H. Metode Penelitian
Metode adalah alat untuk mencapai tujuan dari suatu kegiatan. Dalam
melakukan penelitian, sangat diperlukan metode-metode untuk menunjang
keberhasilan sebuah bentuk tulisan. Dalam memahami kasus pencekalan yang
terjadi dalam lagu Genjer-Genjer dan merangkumnya kedalam sebuah tulisan
sejarah

maka

diperlukan

langkah-langkah

yang

tepat.

Koentjaraningrat

menjelaskan bahwa metode penelitian sejarah adalah metode atau cara yang
digunakan sebagai pedoman dalam melakukan penelitian peristiwa sejarah dan
permasalahannya. Dengan kata lain, metode penelitian sejarah adalah instrumen
14

Karya Teguh Esha, dkk., loc.cit hal: xx

18

untuk merekonstruksi peristiwa sejarah (history as past actuality) menjadi sejarah
sebagai kisah (history as written).15 Dalam ruang lingkup Ilmu Sejarah, metode
penelitian itu disebut metode sejarah.
Langkah awal yang diyakini tepat adalah dengan pengumpulan data dan
sumber. Karena minimnya sumber tertulis yang mencoba mengkaji kasus ini
maka pencarian data lebih bersifat kualitatif yakni, pengumpulan data yang lebih
menekankan wawancara dengan informan. Guna mempelancar metode ini maka
susunan dari wawancara yang terarah, yang dalam hal ini kaitannya dengan kasus
pencekalan lagu Genjer-Genjer, coba disusun terlebih dahulu. Sehingga
pengakajian lebih dalam dapat dilancarkan dalam penelitian ini.
Langkah

selanjutnya

adalah

lewat

penelusuran

sumber

tertulis.

Penelusuran ini digunakan untuk menganalisis kasus yang terjadi. Adapun
sumber-sumber tersebut berkisaran pada: buku, Koran atau majalah, jurnal, dan
internet. Setelah pengumpulan data telah berhasil dilakukan maka tahap kedua
yang dilakukan adalah kritik sumber. Dengan kritik sumber inilah kredibilitas
sumber diuji dan kevalidan dari sumber..
Setelah kedua langkah tersebut dirasa maka langkah selanjutnya yang
dilakukan adalah analisis sumber. Langkah ini merupakan langkah terpenting
dalam penelitian karena lewat analisis sumber keberhasilan dari penelitian diuji.
Adapun analisis dari kasus pencekalan lagu Genjer-Genjer

difokuskan pada

fungsi dan nilai yang terkandung dalam lagu Genjer-Genjer bagi kelangsungan
hidup kesenian dan kelangsungan kehidupan politik.
15

Sartono Kartodirdjo., 1993, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam
Metodologi Sejarah, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, hal : 55

19

Pada akhirnya langkah terakhir yang diambil adalah peleburan semua
langkah kedalam sebuah penulisan sejarah. Penulisan sejarah bermuara pada
sebuah kronologis dari peristiwa sejarah yang terjadi. Sedangkan kerangka
penulisan tersusun secara sistematis dalam ruang sistematika penulisan sejarah.
Setelah semua tahap tersebut telah dilalui tugas akhir adalah penyampaian hasil
penelitian secara tertulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah menurut
kaidah-kaidah yang telah diterapkan16

I. Sistematika Penulisan
Bermuara pada uraian yang telah dijabarkan di atas maka penulisan
tentang kasus pencekalan lagu Genjer-Genjer oleh Orde Baru dan lekatnya
stigmanisasi PKI dan komunis dalam lagu ini. Tersusun secara sistematis dengan
didasari oleh sistematika penulisan sejarah yang berlaku. Adapun penulisan ini
tersusun dalam lima bab pokok yakni:
Bab I. Merupakan pendahuluan yang berisi latarbelakang alasan dari
penulisan ini. Meliputi permasalahannya, tujuan dan manfaat penelitian, tinjuan
pustaka, kerangka teori dan pendekatan, metode penelitian, serta sistematika
penulisan.
Bab II. Pembahasan tentang latarbelakang penciptaan lagu Genjer-Genjer
lewat ruang lokalitasnya sampai pada perkembangannya. Perkembangan kesenian
Banyuwangi yang ada pada masa itu coba di jadikan sebagai dasar untuk dapat

16

Nugroho, Notosusanto, 1971, Norma-Norma Pemikiran Dan Penulisan
Sejarah, Idayu, Jakarta, hal:17

20

memahami fungsi awal dari terciptanya lagu Genjer-Genjer. Kurun waktu yang
dikaji sekitar tahun 1942-1960.
Bab III. Pada bab ini pembahasan berkisar pada perkembangan lebih
lanjut pada lagu Genjer-Genjer dan bagaimana kedekatannya dengan PKI. Dalam
bab ini bagaimana pergolakan yang terjadi secara tidak langsung merubah
fungsikan lagu Genjer-Genjer. Sekilas tentang pergolakan peristiwa yang terjadi
pada masa itu coba diulas guna meninjau proses perubahan fungsi dan nilai dari
kehadiran lagu Genjer-Genjer. Adapun kurun waktu yang terpapar meliputi tahun
1960-1965.
Bab IV. Bab ini mencoba mengangkat bagaimana kentalnya makna kuasa
yang dilancarkan oleh rezim politik yang berkuasa pada era itu (Ordebaru) telah
berhasil menjadikan lagu Genjer-Genjer sebagai alat kelangsungan sistemnya.
Kehadiran payung-payung legitimasi kekuasaan yang dipakai oleh Orde Baru
dalam memberangus segala hal yang bernuansa PKI dan komunis, yang dalam hal
ini lagu Genjer-Genjer juga turut jadi korban, coba diulas secara gamblang.
Selain itu pada bab ini pandangan-pandangan masyarakat terhadap lagu GenjerGenjer juga coba dipaparkan. Kurun waktu yang dipilih seputaran tahun 19651966.
Bab V. Bab ini merupakan bab penutup atau kesimpulan yang merupakan
sebuah jawaban dari segala uraian yang telah dipaparkan pada bab-bab
sebelumnya.

BAB II
RUANG SENI DAN TRADISI
LAGU GENJER-GENJER

A.

Sekilas Perjalanan Seni dan Lagu Banyuwangi
Kesenian merupakan salah satu karya yang dihasilkan oleh manusia guna

mengembangkan pola kebudayaan yang berkembang dalam daerahnya. Kehadiran
kesenian dalam setiap jengkal kehidupan kebudayaan manusia secara tidak
langsung melukiskan sebuah identitas tersendiri bagi daerah tertentu. Identitas
inilah yang menjadikan semakin beragamnya bentuk kesenian yang tercipta
dalam ruang kebudayaan manusia. Begitu pula dengan Banyuwangi, salah satu
daerah agraris paling timur dari pulau Jawa, memiliki identitas tersendri dari
bentuk-bentuk kesenian yang tercipta. Beragamnya bentuk kesenian yang tercipta
di Banyuwangi menjadi salah satu bukti nyata. Kesenian menurut masyarakat
Banyuwangi adalah nafas bahkan urat nadi mereka dalam menjalani setiap
jengkal kehidupannya. Maka tak heran ketika hampir semua bentuk kebudayaan
yang ada adalah kesenian.
Kesenian Banyuwangi tersendiri terlahir dari beragam tradisi etnis yang
mendiami setiap wilayah Banyuwangi. Sebuah proses percampuran budaya dari
beberapa budaya yang ada dan pergolakan yang pernah terjadi dalam kehidupan
masyarakat Banyuwangi. Menurut letak geografisnya, Banyuwangi posisinya
tepat pada jalur perlintasan dan pertemuan dari beberapa suku seperti, suku Jawa,

21

22

suku Madura, suku Bali dan suku Bugis. Dari posisi tersebut budaya lokal yang
ada coba dilebur menjadi satu dan akhirnya menjadi sebuah corak tersendiri yang
tidak ditemui di wilayah manapun di Nusantara.17
Namun dari beberapa suku yang ada, suku yang paling berpengaruh
adalah suku Bali. 18 Kuatnya pengaruh suku Bali, tampil lewat corak dan bentuk
seni dan tradisi masyarakat Banyuwangi yang hampir sama dengan corak seni dan
tradisi yang lahir di Bali. 19 Selain itu gaya bahasa Osing 20.layaknya gaya bahasa
yang ada di Bali menjadi semakin jelasnya pengaruh budaya Bali bagi
perkembangan budaya Banyuwangi. Pada mayoritasnya, penduduk asli yang

17

Http://www.wikipedia bahasa Indonesia.com/ensiklopedia bebas/seni
dan budaya Banyuwangi
18

Http://www.banyuwangikab.go.id

19

Hal ini tercermin dalam seni tari Gandrung yang mirip dengan tari-tari
tradisional Bali, termasuk juga dengan busana tari dan musiknya. Selain itu,
arsitektur masyarakat Osing pun memiliki kesamaan dengan yang ada di Bali,
terutama pada hiasan di bagian atas. Dalam tradisinya pun masyarakat Osing
mempunyai tradisi puputan layaknya tradisi puputan di Bali. Walaupun demikian
suku stratifikasi masyarakat Osing berbeda dengan stratifikasi masyarakat Bali.
Masyarakat Osing tidak mengenal kasta-walupun ada yang menyebutkan dalam
kehidupan masyarakat Osing terdapat bentuk-bentuk kasta seperti kaum drakula,
kaum sudrakula, kaum hydrakula, dan kaum coliba (mereka juga masyarakat
pribumi Banyuwangi)- dan lebih dipengaruhi oleh ajaran-ajaran agama Islam
yang
sebagian
besar
dipeluk
oleh
masyarakat
Banyuwangi.
(http://id.wikipedia.org/wiki/bahasa osing)
20

Bahasa Osing sendiri merupakan salah satu varian bahasa tertua di pulau
Jawa karena dikatakan turunan langsung dari bahasa Jawa kuno seperti halnya
bahasa Bali. Namun bahasa Osing berbeda dengan bahasa Jawa pada umumnya
oleh sebab itulah menurut pandangan beberapa kalangan bahasa ini bukanlah
sebuah dialek dari bahasa Jawa. (Utan Parlindungan, 2007, Musik Dan Politik:
Genjer-Genjer, Kuasa Dan Kontestasi Makna, Laboratorium Jurusan Ilmu
Pemerintahan FISIPOL UGM, Jogyakarta, hal: 49)

23

mendiami wilayah Banyuwangi dikenal dengan Suku Osing21. Salah satu subsuku yang dimiliki suku Jawa. Dalam kehidupan sehari-harinya, masyarakat
Osing sangat bersandar pada kekayaan dan kesuburan alam yang dimilikinya.
Hampir 66,54% dari penduduknya hidup bercocok tanam sebagai petani.22 Maka
tak heran ketika seni dan tradisi yang terlahir hampir kesemuannya bermuara
pada nilai-nilai ritual permohonan dan rasa syukur bagi Dewa-dewi yang mereka
percayai.
Seperti yang tercermin pada upacara ritus bagi Dewi Padi,23 sebuah
upacara kesuburan yang dikemas dalam bentuk tarian disebut-sebut sebagai
seblang.24 Menurut pandangan masyarakat Osing tarian ini adalah tarian keramat
dan hanya dapat di pentaskan oleh orang-orang yang terpilih dan pada acara-acara

21

Salah satu sub-suku yang dimiliki suku Jawa. Dalam sub-suku Jawa
suku Osing juga di sebut-sebut dengan nama Lare Osing. Kata Osing sendiri
berasal dari bahasa Bali, tusing, yang berarti tidak Suku Osing sendiri dipercayai
merupakan suku atau penduduk asli Banyuwangi yang diyakini sebagai bangsa
keturunan dari Kerajaan Blambangan pada jaman Kerajaan Majapahit.
(Http://www.banyuwangikab.go.id)
22

Menurut letak geografisnya memang daerah Banyuwangi adalah daerah
subur dan layak untuk dijadikan lahan pertanian. Dari sebab itulah kebanyakan
penduduk Osing memilih menjadi petani sebagai mata pencahariannya. (Siti
Munawaroh, Gandrung Seni Pertunjukan Di Banyuwangi, JANTRA, Jurnal
Sejarah dan Budaya, Vol. II No 4, Desember, 2007, hal: 255)
23

Menurut mitosnya Dewi Sri yang dipercaya sebagai Dewi Kesuburan
atau penjelmaan dari padi selalu menjaga kesuburan hasil panennya dan juga
menjaga desa dari segala ancaman mara bahaya. Oleh sebab itulah masyarakat
Osing merasa perlu untuk dapat menghormati dan mengucapkan syukur dan
terima kasih kepada Dewi Padi. ( Ibid., hal: 257)
24

Tarian seblang pada masa lampau dipentaskan untuk upacara sela