Membangun Kembali Partai Sosialis Indone

PIKIR_Institute
Membangun Kembali Partai Sosialis Indonesia
Adalah Kewajiban Sejarah
Tanggapan tulisan M. Dawam Rahardjo:
“MUNGKINKAH MEMBANGUN KEMBALI
PARTAI SOSIALIS INDONESIA?”

( http://ramchesmerdeka.blogspot.com/2013/01/mungkinkah-membangun-kembali-partai.html )
Oleh Adie Marzuki*
Tulisan ini dibuat dalam rangka mempertegas poin-poin yang terkandung
dalam pertanyaan retoris M. Dawam Rahardjo, dengan mengangkat sudut
pandang yang berbeda, berbasis penelitian sejarah serta kajian sosialisme
dalam perspektif umum.
Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini didirikan, yang secara
resmi dicantumkan dalam konstitusi negara sebagai kontrak sosial
institusi negara dengan seluruh entitas bangsa, adalah untuk membentuk
suatu pemerintahan yang melindungi, memajukan, mensejahterakan, dan
mencerdaskan, serta mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh
rakyatnya. Dalam mencapai tujuan ini, telah disepakati dalam konstitusi
tersebut untuk menggunakan suatu kendaraan yang terdiri dari gerbong
berisikan konsep sosial ekonomi yang ditarik oleh lokomotif politik

kerakyatan. Dalam perspektif terminologis, kerakyatan di sini antara lain
mengandung makna; tujuan mengangkat nasib, martabat dan harkat
kaum yang lemah dalam posisi sebagai bangsa yang berdaulat, sebagai
penegasan bahwa format yang paling ideal bagi karakteristik dan
psikografis populasi Indonesia yang sangat banyak, dengan kekayaan
sosio-diversifikasi dan rentang wawasan serta pendidikan yang masih
terlalu lebar, adalah bentuk yang berpegang pada asas persamaan derajat
manusia, tanpa menafikan adanya kesenjangan pemahaman dalam
masyarakat.
Umumnya orang lebih nyaman dengan suatu bentuk demokrasi, yang
definisi populistiknya adalah sebuah sistem pemerintahan ddari, oleh, dan
untuk rakyatd, walaupun dalam sejarah manusia, bisa dikatakan
pengertian demokrasi demikian tidak akan pernah ada. Namun, fakta
empiris memperlihatkan implementasi terminologi kerakyatan, yang lebih
menekankan kepada “kepentingan rakyatd ketimbang “suara rakyatd
dengan sistem perwakilan untuk permusyawaratan, lebih ideal dalam
menghindari terjadinya kombinasi dari apa yang disebut William Case
“pseudo-democracyd. Dalam konteks tersebut, dapat dipersepsikan bahwa
sosialisme kerakyatan adalah perumusan sebuah sistem pencapaian
tujuan bernegara yang disesuaikan dengan tuntutan politik rakyat,

tuntutan konstitusi, serta selaras dengan kondisi obyektif maupun situasi
subyektif di negeri ini. Dalam hal ini memperlihatkan visi jauh kedepan
dari para perumus ideologi tersebut, dan sekaligus memperlihatkan
pemahaman yang mendalam akan masyarakat Indonesia.
Dengan mencermati dan memahami substansi sosialisme kerakyatan,
mengarahkan pemahaman bahwa mengusung ideologi tersebut adalah
suatu mekanisme penjabaran nilai-nilai Pancasila, yang menurut
penggalinya adalah falsafah negara (philosophice grondag atau
weltanchaung), dimana nilai-nilai sosialisme kerakyatan itu dideskripsikan
dalam runtutan kalimat filosofis sebagai hasil kristalisasi pemikiran para
pendiri negara ini. Aksi pemberangusan ideologi dengan memanfaatkan

PIKIR_Institute
kalimat “asas tunggal Pancasilad adalah suatu distorsi pemahaman atas
falsafah negara tersebut, yang sejatinya adalah landasan bagi sistem
operasi dalam menjalankan negara kearah tujuannya. Sistem operasi
tersebut adalah ideologi. Maka dalam mengembalikan arah negara ke
tujuan semula sesuai konstitusi, pembangunan ideologi sangat diperlukan,
terutama di tataran penyelenggara negara yang terdiri dari para politikus,
dalam wadah partai politiknya. Paradigma ini seyogyanya dapat digulirkan

ke setiap pendukung reformasi, bahwa perubahan formasi yang paling
utama untuk dilakukan, adalah mengembalikan ideologi ketempatnya
semula, sebagai “driverd menuju tujuan negara.
Gagasan sosialisme di Indonesia tidak dapat hanya dipandang sebagai
antisipasi dari bercokolnya neoliberalisme, yang merupakan wujud lanjut
kapitalisme, namun juga sebagai konsekuensi dari pembentukan negara
ini. Ketika golongan elit yang merepresentasikan kemauan mayoritas dari
73 juta rakyat nusantara pada tahun 1945 memutuskan untuk
memproklamirkan kemerdekaan dan membentuk sebuah negara, maka
format yang disepakati adalah bentuk negara yang disusun berbasiskan
nilai-nilai sosialisme. Kilas balik ke hari Sabtu bulan Ramadhan 67 tahun
yang lalu, tepatnya tanggal 18 Agustus 1945, ketika sekelompok elite
terbaik bangsa ini berusaha menyepakati pondasi yang pas bagi republik
yang baru lahir, maka terlihat aspek sosialisme sangat dominan.
Pemahaman kelompok elite tersebut akan konsep negara sangat
mendalam. Mereka paham akan pentingnya menjaga cita-cita
membangun negara ini dengan suatu sistem yang berkedaulatan rakyat,
dimana kepentingan rakyat banyak lah yang menjadi satu-satunya
prioritas utama. Namun demikian, para pemikir elite tersebut juga paham
bahwa bangsa ini berbeda dari negara-negara tempat ide-ide

pembentukkan negara berasal. Oleh sebab itu, acuan nilai-nilai sosialistis
yang dituangkan kedalam pasal demi pasal konstitusi, disesuaikan serta
ditekankan kepada sosio diversifikasi bangsa yang sangat majemuk ini.
Aspirasi sosialisme yang terkandung dalam bulir konstitusi tersebut
memerlukan sebuah kekuatan politik untuk menjaga arah perkembangan
negara. Kekuatan politik yang dengan tegas menyatakan posisinya
sebagai penjaga aspek sosialistis dalam pengelolaan negara. Program
ekonomi kerakyatan dan kebijakan publik yang pro rakyat berbasis suatu
ideologi sebagai sistem operasi, memerlukan suatu sistem kajian dan
monitor implementasi yang jelas. Dalam mendukung tujuan tersebut,
maka sistem kepartaian sebagai persyaratan suprastruktur bagi suatu
wadah ideologis, harus disepakati di tataran pengelola negara sebagai
suatu prioritas utama. Negara berkewajiban untuk mengakomodir aspirasi
sosialisme dalam struktur pengelolaan, sebagai komitmen peneguhan
cita-cita bangsa sesuai kesepakatan pendiriannya. Jika sistem kepartaian
dapat mengakomodir kebutuhan tersebut, maka wadah ideologis paling
ideal bagi suatu gerakan politik berbasis tujuan negara tersebut adalah
Partai Sosialis Indonesia. Terlepas dari kesejarahan sebagai partai politik
yang menegaskan ideologi kerakyatan sebagai acuan utama, kehadiran
Partai Sosialis Indonesia akan merepresentasikan suatu visi negara bagi

rakyatnya. Kehadiran partai politik-partai politik yang memposisikan diri
sebagai pengusung ekonomi kerakyatan serta kebijakan pro rakyat tidak
akan dapat menggantikan legitimasi ideologis yang dimiliki Partai Sosialis
Indonesia. Partai Gerindra, Partai SRI, Partai Amanat Nasional dan lain-

PIKIR_Institute
lainnya tidak akan mudah mengadopsi suatu konsep penyelenggaraan
negara tanpa basis ideologi yang matang.
Ideologi sosialisme kerakyatan adalah kearifan lokal yang dirumuskan
secara ilmiah dengan mengacu kepada metodologi sosialisme barat.
Sosialisme kerakyatan tidak dilahirkan dalam syarat-syarat kondisi
obyektif seperti yang terjadi di Eropa atau China, oleh karenanya,
sosialisme kerakyatan bukanlah sosialisme Eropa maupun China. Namun
demikian, pisau analisa serta dinamika dalam tahapan-tahapan peralihan
menuju sosialis dari Eropa maupun China tidak dapat dipungkiri masih
relevan sebagai acuan studi kasus. Sosialisme Eropa berangkat dari
perkembangan teknik sebagai tenaga pendorong kemajuan yang utama,
dan menyusun program ekonomi berdasarkan dinamika kekuatan
produktif. Sedangkan China, dalam merealisasi pembangunan negara
lebih dari satu miliar orang, mereka memperkenalkan frasa "sosialisme

dengan karakteristik China," dan menggunakan perangkat retoris yang
memungkinkan untuk meredefinisi teori sosialis ortodoks. Langkah
tersebut memungkinkan pemerintah China untuk melakukan apapun
kebijakan ekonomi yang diperlukan untuk menjadi negara industri, yang
disebut "tahap utama sosialisme". Kebijakan tersebut memungkinkan
fraksi reformasi di China untuk tetap menunjukkan kesetiaan kepada
ideologi komunis China sambil memperkenalkan langkah-langkah kapitalis
liberal dalam sebuah program ekonomi terpusat-terencana.
Dinamika serta tahapan dalam kasus sosialisme Eropa dan China tersebut
dapat menjadi acuan bagi sosialisme di Indonesia dalam melakukan
langkah antisipatif berdasarkan perkembangan konstelasi politik serta
perubahan ekonomi global yang terjadi saat ini, termasuk dalam
merespon kondisi politik dan perekonomian yang terjadi di level domestik.
Dalam konteks pemikiran tersebut maka dibutuhkan kekuatan politik yang
legitimatif serta representatif, yang dapat merumuskan langkah-langkah
kebijakan yang selaras dengan konstitusi bangsa. Langkah tersebut hanya
dapat dicapai jika negara menjamin keterwakilan aspirasi sosialistis dalam
struktur pemerintahan, dengan suatu sistem kepartaian yang kondusif
bagi ideologi sosialisme, khususnya sosialisme kerakyatan. Gagasan
sosialisme yang tanpa wadah yang melembaga akan menghasilkan

transmutasi serta distorsi, akibat interaksi pemikiran sosialistis dengan
perkembangan teknologi dan ideologi lain, dan pengaruh hegemoni
kekuatan politik global atas Indonesia. Tidak adanya wadah bagi pemikirpemikir sosialis akan mengarahkan kepada kekaburan ide sosialisme itu
sendiri, serta menghasilkan multi-interpretasi atas gagasan sosialisme
yang tepat-guna bagi kondisi Indonesia.
Para pemikir dalam Partai Sosialis Indonesia pra 1960, baik yang
dirumuskan dalam manifesto politbiro maupun pemikir bebas yang
diakomodir di media-media sosialis kesemuanya memiki keterkaitan yang
kuat. Dasar-dasar pemikiran yang dirilis secara resmi oleh Dewan Partai
dengan mudah dikembangkan mengikuti dinamika perkembangan
teknologi dan jaman. Filosofi sosialisme yang diletakkan Sjahrir dan
segenap jajaran pengurus partai akan dikembangkan sesuai tahapantahapan yang dilalui oleh negara ini dalam prosesnya menuju cita-cita
bangsa. Fase-fase pertumbuhan ekonomi seperti factor-driven, efisienc-driven sampai innovation-driven akan mendapatkan landasan kebijakan
ideologis yang menjamin konsistensi kebijakan yang pro rakyat. Dasar

PIKIR_Institute
pemikiran seperti sistem agraria yang dirilis resmi oleh Dewan Partai
maupun gagasan-gagasan seperti sistem kepartaian yang ditulis oleh
Djohan Sjahroezah di media Suara Sosialis, program kemasyarakatan
Soedjatmoko yang mendapat akreditasi internasional, sampai gagasan

kebudayaan dari Sutan Takdir Alisyahbana, semuanya dirumuskan secara
filosofis dengan pendekatan sains, sehingga mudah dikembangkan sesuai
dinamika jaman.
Dialektika sosialisme kerakyatan ketika berinteraksi dengan gagasangagasan pemikir seperti Bernstein, Gramsci, Schumpeter, maupun dengan
studi kasus seperti Amerika Latin melahirkan pemikiran-pemikiran dinamis
yang mengarah kepada strategi pembangunan yang dituangkan oleh
Partai Sosialis Indonesia dalam 40 butir Dasar-Dasar dan Pandangan
Politik, yang dikerucutkan pada Program Nasional di bidang politik,
ekonomi, perburuhan, pertanian, pendidikan-kebudayaan, kepemudaan,
kesehatan, perumahan desa dan kota, serta politik internasional yang
kesemuanya dapat menjadi acuan pembangunan yang baku. Generasi
penerus sosialisme kerakyatan yang mencoba menggali dan mengkaji
artefak pemikiran yang terpendam oleh timbunan sejarah pada saat ini
menyadari pentingnya memiliki acuan ideologi yang legitimatif dalam
memperjuangkan masa depan bangsa. Generasi yang justru hampir tidak
memiliki kesejarahan sosialis ini mengais ideologi dan mengembangkan
strategi perjuangan dengan kesadaran penuh akan kondisi bangsa yang
hampir tanpa arah ini.
Namun keyakinan akan tujuan kebenaran absolut dalam mencapai tujuan
negara ini didirikan, membuat generasi ini mampu mempertaruhkan masa

depannya pada suatu cita-cita sosialisme kerakyatan. Tahapan awal yang
harus dilewati adalah penyebaran wawasan dan proses kristalisasi
gagasan dalam sebuah kegiatan pendidikan kader sosialisme kerakyatan
yang matang, berintegritas dan berkomitmen tinggi terhadap cita-cita
bangsa. Kader-kader tersebut akan menjadi agen-agen perubahan di
setiap entitas yang diwakilinya, dan menjadi motor penggerak masyarakat
yang memiliki keterikatan emosional yang tinggi terhadap cita-cita
bangsa. Kader-kader tersebut dipilih dari daerah-daerah tingkat II yang
nantinya akan dilatih untuk memiliki rasa Kebangsaan, Kerakyatan,
Kemandirian, Integritas, Militansi dan berkarakter Problem Solver serta
memiliki visi Negarawan.
Tahapan berikutnya adalah mendobrak sistem perindustrian dan
formalitas ekonomi yang ada dengan memberdayakan sektor informal dan
membangun bisnis-bisnis jaringan berbasis kolektivisme yang humanis
sesuai dengan ketersediaan teknologi dan perangkat sistem yang
dimanfaatkan secara optimal. Beberapa pilihan usaha yang ideal adalah
yang berkaitan dengan lingkungan, sesuai dengan kebutuhan terkini.
Gagasan-gagasan seperti desalinasi air laut untuk penyediaan air bersih
bagi masyarakat pesisir pantai atau pembangunan reactor mikro hidro
atau biomasa untuk penyediaan tenaga listrik yang berkelanjutan dan

ramah lingkungan adalah pilihan utama. Bisnis-bisnis tersebut akan
dikelola dan dimiliki oleh rakyat setempat, dengan bantuan permodalan
serta teknologi yang dikoordinir oleh pusat gerakan. Dalam
pelaksanaannya, kegiatan ini juga membawa misi-misi penyadaran akan
perlunya perhatian terhadap lingkungan, sebagai antisipasi perubahan
iklim yang semakin menggejala.

PIKIR_Institute

Sementara itu, permasalahan-permasalahan dalam masyarakat yang
timbul akibat aspek hegemoni kepentingan modal harus diselesaikan
dengan solusi-solusi yang berdasarkan kerakyatan. Pengupayaan hal
tersebut selain memperluas sebaran pemahaman sosialistis dalam
masyarakat, juga menjadi langkah taktis dalam mengkondisikan
masyarakat agar siap dengan antisipasi-antisipasi permasalahan yang
bersumber dari gagasan neoliberalisme. Untuk itu perlu dibangun sebuah
lembaga pengkajian ilmiah yang membahas permasalahan sosial dangan
pendekatan sosialisme kerakyatan. Lembaga ini akan terdiri dari
sekelompok pemikir intelektual yang bertugas menggali serta
mengidentifikasi permasalahan kemasyarakatan yang timbul akibat

gesekan kepentingan dengan kaum neoliberalis. Hasil kajian tersebut
selain mengarah ke implementasi, juga diterbitkan dalam bentuk tabloid,
yang disirkulasikan ke pusat-pusat masyarakat di seluruh negeri. PIKIR
Institute mencoba menginisiasi munculnya lembaga-lembaga kajian
sejenis di seluruh pelosok negeri.
Langkah taktis berikutnya adalah mengaktifkan para Kader yang telah
siap dengan tugas-tugas kemasyarakatan, untuk segera terjun ke
organisasi-organisasi
masyarakat
di
daerahnya.
Mereka
akan
mensosialisasikan gagasan sosialisme kerakyatan dan membuat wacanawacana solusi yang diperlukan oleh setiap daerahnya masing-masing.
Kegiatan ini bertujuan memperluas jejaring dan peningkatan kualitas
masyarakat daerah agar siap menghadapi perubahan sosial yang mungkin
terjadi akibat perubahan system yang sedang diperjuangkan. Dari
perputaran bisnis-bisnis yang terjadi di setiap daerah, harus dialokasikan
beberapa bagian keuntungan untuk pembentukkan suatu komunitas bisnis
yang baru, melalui komunitas masyarakat yang di pilih oleh kader-kader
yang diterjunkan di organisasi kemasyarakatan tersebut. Skema yang
paling ideal adalah sebuah lembaga keuangan mikro, yang mampu
mendorong pertumbuhan ekonomi daerah tempat organisasi masyarakat
itu berada. Model yang saat ini berjalan di Sumatera Barat adalah pilihan
yang ideal.
Perputaran dana di setiap daerah tersebut kemudian dapat dimanfaatkan
untuk membangun bisnis-bisnis berikutnya, yang fokus kepada
penyediaan kebutuhan dasar masyarakat. Alokasi tahapan berikutnya
adalah membangun sekolah-sekolah lanjutan atau lembaga pendidikan
khusus, yang memberi solusi pendidikan bagi rakyat informal di setiap
daerah. Pada tahapan ini, setiap kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan
harus mendapatkan akses pemberitaan di media masa lokal di setiap
daerahnya. Kegiatan-kegiatan tersebut akan membutuhkan sebuah
wadah-wadah atau badan-badan hukum tersendiri, yang dikhususkan
untuk mengurusi setiap jenis kegiatan tersebut. Maka pembentukan
organisasi berbadan hukum seperti yayasan atau koperasi akan
diperlukan sebagai penanggung jawab hukum dari setiap kegiatan
tersebut.
Ketika kegiatan yang berlangsung telah mencapai taraf kemandirian dan
kematangan masyarakat luas secara ekonomi, social dan politik, maka
tunailah revolusi kesadaran di masyarakat. Pada saat itu, kondisi politik
dan ekonomi dunia sangat menentukan langkah berikutnya. Pada suatu
kondisi tertentu, pencapaian gerakan masyarakat sudah cukup untuk

PIKIR_Institute
mengambil alih jalannya roda pemerintahan secara sistemik. Kondisi yang
dimaksud adalah melemahnya negara-negara pemain utama dunia, dan
berkurangnya ketergantungan Indonesia atas bantuan atau dukungan
produksi dari luar. Dalam kondisi tersebut, rakyat yang telah memiliki
kesadaran serta wawasan yang cukup, akan memiliki juga kekuatan politik
yang signifikan. Rakyat tersebut akan sanggup mengembalikan cita-cita
berdirinya bangsa ini ke tempatnya semula, yaitu membentuk suatu
pemerintahan
yang
melindungi
segenap
rakyat,
memajukan
kesejahteraannya, mencerdaskannya, serta mewujudkan suatu keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Langkah awal yang dilaksanakan PIKIR di sektor-sektor tersebut diatas
belumlah cukup untuk mengawal keseluruhan proses tersebut. Diperlukan
suatu kekuatan politik yang mampu menjadi koordinator dari munculnya
gerakan serentak di seluruh negeri, berupa partai politik. Ketika embrio
partai yang saat ini sudah siap dalam mematangkan strukturnya
dimunculkan ke publik, maka pada saat itu medan-medan pertempuran
dalam peperangan melawan hegemoni neo kapitalisme liberal sudah jelas
terindetifikasi. Beberapa bagian dari teori Schumpeterian yang telah
terbukti saat ini seharusnya dapat diakselerasi dalam skala domestik.
Iklim intelektual dan sosial yang dibutuhkan untuk memungkinkan
kewirausahaan berkembang tidak mendapat porsi yang cukup dalam neo
kapitalisme, maka akan digantikan oleh aspek-aspek sosialisme dalam
beberapa bentuk. Tren di tataran legislatif yang mendorong keruntuhan
kaki-kaki kapitalisme dari dalam, akan muncul sebagai fenomena alamiah
akibat sistem pseudo-demokratis. Perkembangan non-politik sebagai
proses evolusi dalam masyarakat dimana kapitalisme liberal dituntut oleh
pertumbuhan manajemen buruh, industri dan lembaga regulasi untuk
semakin menerapkan pendekatan sosialisme, harus bisa dimanfaatkan
sebagai momen transformasi. Ini adalah medan pertempuran yang
pertama.
Medan pertempuran berikutnya adalah sektor informal. Pelaku utama
dalam perekonomian ini semakin vital perannya, karena jumlah pekerja
formal atau buruh terus merosot, khususnya pekerja di sektor industri
modern. Saat ini, jumlah pekerja informal mencapai 70-80% dari
keseluruhan pekerja. Sedangkan pekerja di sektor manufaktur tidak
melebihi 15 juta orang, dimana sekitar 55,21 juta orang atau 52,65 persen
dari total angkatan kerja hanya mengantongi ijazah Sekolah Dasar.
Industrialisasi pendidikan telah menutup jalan rakyat mayoritas untuk
meraih kedaulatannya melalui pendidikan yang layak. Sementara Negara
mendorong de-industrialisasi dengan mendorong sebagian besar usaha
ekonomi untuk bergerak pada sektor informal dan Usaha Kecil Menengah
yang terfragmentasi, yang lebih mirip dengan ekonomi keluarga
ketimbang ekonomi kapitalistis yang bertumpu pada industri modern.
Kondisi tersebut diperburuk dengan tertutupnya akses permodalan bagi
masyarakat informal. Rakyat kelas informal yang bercirikan kepemilikan
kecil, terfragmentasi, dan kurang politis ini terdiri antara lain mulai dari
para pedagang kaki lima, perdagangan kecil, pengrajin kecil, pertanian
dalam skala kecil, nelayan kecil, dan lain-lain sampai wiraswasta kelas
menengah. Golongan rakyat informal inilah yang paling menderita akibat
penyelewengan cita-cita negara oleh sekelompok elit pembawa
kepentingan pemodal serta aparat politikusnya.

PIKIR_Institute
Medan pertempuran lainnya adalah yang disebut sebagai digital
kolonialisme, yang semakin lama semakin memiliki dampak yang
signifikan terhadap pertumbuhan akumulasi modal di masyarakat lokal
dan global, stratifikasi sosial, destabilisasi politik dan bahkan kemiskinan.
Produk digital tersebut dapat dilembagakan secara parsial dan dipicu oleh
efek dari imperialisme elektronik yang terlihat jelas di belahan dunia
bagian selatan. Medan pertempuran berikutnya adalah sistem pendidikan,
perburuhan, agraria dan seterusnya, sesuai acuan sosialisme kerakyatan
yang disesuaikan dengan kondisi riil di masyarakat, yang selama
beberapa tahun belakangan ini berada dalam pergolakan transformasi
yang cepat. Selama satu dekade terakhir, ekonomi Indonesia terlihat
sekilas seperti tumbuh lebih kuat, lebih stabil, dan lebih beragam,
terutama jika tampak dari luar. Posisi Indonesia yang masih di tahap
“efficienc- driven i tertinggal dari Malaysia yang sudah beranjak ke tahap
peralihan menuju “innovation drivend, memperlihatkan kualitas
pertumbuhan yang belum mampu memperkuat fondasi ekonomi
domestik. Sektor yang berbasis padat modal masih menjadi kontributor
utama PDB, sementara pertumbuhan sektor manufaktur, industri
pengolahan dan sektor primer yang berkaitan langsung dengan rakyat
serta berdampak pada kesejahteraan masyarakat secara merata, justru
melambat. Aspek lain dari pertumbuhan ekonomi yang semu ini nampak
dari indikator gini ratio (rasio ketimpangan pendapatan) yang
memperlihatkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya
dinikmati segelintir masyarakat, dan bukan diperoleh dari pembangunan
nasional. Pada 2002 gini ratio Indonesia adalah 0,32, sementara pada
2011- 2012 adalah 0,41, dimana 0 (nol) merupakan angka sempurna atau
tidak ada ketimpangan sama sekali, sementara 1 (satu) merupakan yang
terburuk.
Embrio Partai Sosialis Indonesia yang akan menjawab tantangantantangan seperti yang dijabarkan diatas akan menjalani proses, dimana
calon pemimpin yang ideal serta tangguh akan terseleksi atau dilahirkan
dari seleksi alam yang ketat selama tahapan berlangsung. Calon
pemimpin sosialisme kerakyatan tersebut dapat saja terlahir dari
organisasi-organisasi lain yang senafas dengan visi-misi sosialisme
kerakyatan, menjawab tantangan–tuntutan yang terjadi di tataran
domestik maupun global, dan mampu menjalani proses yang berlangsung
secara konsisten serta keikhlasan yang nyata. Dalam hal ini Struktur yang
terdapat dalam embrio Partai Sosialis Indonesia akan menjadi pengawas
sekaligus pengkader dan mentor bagi calon-calon pemimpin tersebut,
selain mempersiapkan suprastruktur dan infrastruktur partai bagi Partai
Sosialis Indonesia di masa datang, yang diharapkan hadir dalam waktu
yang tidak terlalu lama lagi.
*Penulis adalah salah satu pendiri Pusat Inovasi dan Kemandirian Indonesia Ra-a
(PIKIR) dan pengurus Dewan Partai PSI