KEARIFAN LOKAL YANG TERKANDUNG DALAM SAS

Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek & Sipil)
Auditorium Kampus Gunadarma, 21-22 Agustus 2007

Vol. 2
ISSN : 1858 - 2559

KEARIFAN LOKAL YANG TERKANDUNG DALAM SASTRA MISTIK JAWA
Hawasi
Fakultas Sastra Universitas Gunadarma, Jakarta
Jl.Margonda Raya No.100 Depok
E-mail: Hawasi_Jasidi@yahoo.ic.id
ABSTRACT
The aim of this research is intended as an attempt to disclose the meaning of local wisdom value and its
relevance to the context of modernity. The meaning and the relevance will be analyzed according to the
notion of Javananese Mystical Literature. This research is useful to actualize mystical transformation,
especially for Javanese ethics to face the problems of contemporary human life. The concept of
Javanese mystical literature in this research is analyzed by philosophy of religion approach. The following
methods are applied in this research, that are historical continuity, analysis and synthesis, interpretation,
and description. Results of this research show that value of local wisdom contained in Javanese mystical
literature relate to the attempt to formulate the religion meaning for Javanese as reflected in their life in the
form of ethics. The local wisdoms found in Javanese mystical literature were influenced by Sufism (Islamic

mysticism). The local wisdoms are intended to realize the unification of man with God, brotherhood among
the people, and harmony with nature.
Key words: Local wisdom, Sufism, Javanese literature

PENDAHULUAN
Kesusastraan, baik lisan maupun tulisan,
merupakan dokumen kemanusiaan. Sebagai
dokumen kemanusiaan, kesusastraan terikat
pada
masyarakatnya.
Hubungan
antara
kesuasatraan dan masyarakatnya, menurut
Swingewood ada dua macam pendekatan.
Pertama, memandang kesusastraan sebagai a
mirror, atau sebuah cermin, suatu masyarakat.
Kedua, menekankan pada kesuasastraan itu
sendiri sebagai produksi pengarang yang terikat
pada situasi sosialnya (Laurenson, 1972:13, 17).
Atas dasar itulah maka kesusastraan dianggap

sebagai suatu cara untuk menjabarkan berbagai
kondisi manusiawi.
Dalam hubungan ini kesusastraan
membuka peluang bagi representasi dunia
manusia yang memberikan peluang untuk
terjadinya percakapan. Hal ini bertalian erat
dengan kenyataan eksistensial, bahwa “adasebagai manusia’ selalu merupakan “adabersama” demikian Martin Heidegger berujar.
Dalam hal ini kesusastraan menjadi gelanggang
manifestsi berbagai kondisi manusiawi, dan oleh
karenanya mampu mementaskan representasi
aneka
ragam
penghayatan
manusia.
Demikianlah maka beralasan kiranya untuk
menilai karya kesusastraan sebagi cermin yang
memberikan
kemungkinan
dipantulkannya
subjektifitas; atau dengan kata lain, menjadi

layar tempat diproyeksikannya pengalaman
psikis manusia yang mengandung makna dan
pesan (Hassan, 1989: 64).
Karya Sastra yang tinggi,
menurut Iqbal (1966:xvi) ialah karya sastra yang
mampu membangun kekuatan rohani dan
memberi semangat untuk menjalani hidup.

D34

Dengan kata lain karya sastra yang adiluhung
adalah karya sastra yang mampu menawarkan
kearifan-kearifan hidup dan religiusitas. Melalui
karya sastralah kesadaran sejarah dan
penghayatan religius ditanamkan
secara
mendalam di lubuk kalbu, dan melalui karya
sastra pula nilai-nilai, pandangan hidup dan
gambaran dunia (weltanschaung) disebarkan ke
khalayak luas (Hadi W.M., 2000: 3-4).

Ungkapan yang senada juga dinyatakan oleh
Paul Goodman dengan sangat lugas, seperti
yang dikutip oleh budayawan sekalugus
Sejarawan Kuntowijoyo, tentang puisi, dengan
demikian termasuk sastra, “Inilah cara bagi saya
untuk mengabdi kepada Tuhan dan tanah air”
(Kuntowijoyo, 2006: 31).
Dalam khasanah sastra Jawa dapat
dilihat hadirnya sastra yang menggelorakan
perasaan cinta ketuhanan serta semangat
profetik yang bermuara pada penghayatan
intensitas transendental.hal ini bida dilihat dari
berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh
Zoetmulder (1991), Simuh (1988), MagnisSuseno (1996), Hutomo (2001), Mulder (2001),
dan Sudardi (2003). Selain itu, sastra Jawa juga
mengandung ajaran-ajaran kearifan hidup dan
moralitas seperti yang terefleksikan dan
termanifestasikan dalam bentuk tembangtembang, serat, suluk serta cerita kentrung.
Sastra di sini telah ikut berperan sebagai media
pencerahan dan dakwah seperti yang telah di

lakukan oleh Sunan Bonang, Sunan Kalijaga,
Sunan Ampel, Yosodipuro, Mangkunegara IV,
dan Ronggowarsito.
Sebagai produk sejarah dan
tradisi, Sastra Jawa telah dan sedang
mengalami pengaruh dari berbagai macam
tradisi yang berasal dari agama, terutama Hindu

Kearifan Lokal yangTerkandung……
Hawasi

Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek & Sipil)
Auditorium Kampus Gunadarma, 21-22 Agustus 2007

dan Islam. Dalam makalah ini penulis
membatasi pembahasan tentang sastra Jawa
yang telah dipengaruhi oleh agama Islam, dalam
hal ini tasawuf.
Pengaruh Agama Islam dalam Sastra Jawa
Di Jawa, kesusastraan Jawa Kuno yang

merupakan warisan zaman Hindu, dapat dikenal
kembali pada masa kemudian disebabkan
usaha para sastrawan Muslim seperti Sunan
Bonang, Sunan Kalijaga, Jasadipura I dan II
untuk memelihara dan menyalinnya kembali
dalam bentuk baru (Asy’ari,1998:3). Tradisi
penulisan sastra sebagai wadah untuk
menyampaikan ajaran dan panutan hidup sudah
dimulai jauh-jauh sebelum Mataram Islam yang
disebut-sebut sebagai era kejayaan sastra Jawa
madya.
A.Teew, sebagaimana sarjana-sarjana
Belanda pada umumnya, condong membagi
kebudayaan Indonesia menjadi tiga kelompok
utama. Pertama, kebudayaan masyarakat yang
belum dipengaruhi agama Hindu dan Islam, dan
belum mengenal budaya tulis, seperti Nias,
Mentawai, Dayak, Toraja dan lain-lain. Kedua,
kebudayaan yang kuat dipengaruhi kebudayaan
Hindu, khususnya Bali dan Jawa, dan tipis

pengaruh
Islamnya.
Ketiga,
kebudayaan
masyarakat yang sangat dipengaruhi Islam
seperti Melayu (Hadi W.M., 1998: 13). Dari
ketiga corak kebudayaan itu yang harus
dipandang paling khas dan istimewa, menurut
Abdul hadi W.M., adalah kebudayaan Jawa
yang terpaut Hinduisme. Walaupun pengaruh
Islam
sebenarnya
cukup
besar
bagi
perkembangan kebudayaan Jawa, termasuk
pengaruh tasawufnya (Hadi W.M., 1998: 13).
Taufik Abdullah (1997) telah mengkritik
pandangan yang meletakkan Islam sebagai
outsider dalam perkembangan kebudayaan dan

masyarakat Jawa. Pandangan demikian,
menurut
Taufik
Abdullah,
sebenarnya
merupakan hasil konstruksi pengetahuan yang
dibuat oleh Belanda setelah berakhirnya Perang
Diponegoro (1825-1830). Sejak masa itu ikhtiar
untuk memisahkan Islam dari kebudayaan Jawa
dijalankan secara begitu sistematik, terutama
melalu penulisan buku sejarah, antropologi dan
hasil penelitian filologi. Sejak itu pula gagasan
Kesusastraan Jawa Tradisional sebagaimana
dipahami oleh para sarjana dan penulis Eropa
dan Indonesia mulai berkembang.
Kecenderungan
mengesampingkan
Islam dalam penelitian karya-karya mistikal
Jawa nampak pula dalam tulisan-tulisan
Drewes. Misalnya; disertasinya (1928) tentang

tiga guru tarekat di Jawa yang melakukan

Kearifan Lokal yang Terkandung……
Hawasi

Vol. 2
ISSN : 1858 - 2559

pemberontakan terhadap Belanda pada abad
ke-19. Dalam kajiannya itu Drewes merasa lebih
perlu mengkaitkan ajaran tiga guru tarekat di
atas dengan tradisi Jawa Hindu, bukan dengan
tawasuf (Abdullah, 1997).
Kendati demikian, Woodword, seorang
antropolog yang meneliti tradisi kraton
Yogyakarta dalam disertasinya (1989) melihat
bahwa pandangan hidup Jawa, sebagaimana
tercermin dalam kesusastraan tradisionalnya,
hanya
dapat

dijelaskan
dengan
cara
membandingkan dengan sejarah dan pemikiran
yang muncul dalam tradisi dunia Islam yang lain.
Lebih jauh Nancy Florida juga menyebutkan
bahwa naskah-naskah lama yang disimpan
dalam Museum Radya Pustaka, Surakarta, jauh
lebih banyak yang berciri Islam dibanding yang
berciri Hindu (Abdullah, 1997).
Pengaruh Islam terhadap sastra Jawa
mulai terasa pada masa Jawa Baru, khususnya
di masa Mataram (Sudardi, 2003: 77). Pada
masa sebelumnya pengaruh tersebut tidak
begitu nyata dan muncul secara sporadis.
Dalam kondisi sosio-kultural pada saat itu
muncuk dua gejala yang saling berkaitan
(Abdullah, 1991: 21). Pertama, renungan
tasawuf, yang mempersoalkan hubungan
manusia dengan Hakekat yang tertinggi dan

Abadi. Kedua, perumusan sistem otoritas serta
landasan
kekuasaan.
Dalam
konteks
kekuasaan, Kraton atau kesultanan adalah alat
legitimasi yang otoritatif dalam penyebaran
agama Islam, termasuk pengembangan seni
dan sastra sebagai tradisi.
Setiap karya seni dan sastra yang
dicipta, dalam sastra mistik Jawa, dalam kaitan
dengan tradisi selalu bertujuan merealisasikan
Yang Satu. Di sini tradisi ditempatkan sebagai
roh kebudayaan, dan bukan sebagai fenomena
atau produk kebudayaan (lihat Rendra,
Mempertimbangkan Tradisi, Jakarta: Gramedia,
1983). Seyyed Hosein Nasr pernah berkata
bahwa tradisi tidak hanya berarti sekumpulan
adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan, namun
tradisi lebih merupakan seperangkat prinsip
yang berkaitan dengan wahyu atau ilham
darimana satu masyarakat atau individu
terdorong melahirkan berbagai bentuk ekspresi
budaya, termasuk seni dan sastra, pemikiran
filsafat dan berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Dalam tradisi terdapat asas dan sumber tunggal
yang merupakan jantung hidupnya suatu
peradaban dan kebudayaan, yaitu pengetahuan
tentang hakiIilikinya dianggap belum njawani
atau during Jawa Orang yang beradab ini telah
menjadi bijaksana, atau sudah mampu
menempatkan diri di tengah masyarakat. Orang
sudah berbudaya apabila dalam pergaulannya

D35

Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek & Sipil)
Auditorium Kampus Gunadarma, 21-22 Agustus 2007

mampu menunjukkan tata cara yang patut,
berbicara dengan kata yang tepat, dan
menghormati hierarki sosial yang ada atau
dengan kata lain orang seperti ini telah
melakukan transformasi diri dari during Jawa ke
wis Jawa (Rosmaria, 2006: 85).
Ungkapan untuk menunjukkan
pentingnya keluruhan budi dalam hidup sering
dimanifestasikan pula dalam bentuk karya
sastra sebagai media dalam mmenyampaikan
ajaran tentang pentingnya kesejatian hidup
(sejatining urip)Dalam sastra Jawa setiap karya
sastra tertulis disebut Serat yang berarti tulisan
(Sudardi, 2003: 77). Serat berdasarkan isinya
dapat
dibagi
menjadi
beberapa
jenis:
lelampahan; yang berisi kisa-kisah petualangan,
babad, berisi cerita sejarah, piwulang; berisi
ajaran etika dan mistik.
Pada masa pujangga-pujangga lama
dalam sastra Jawa Klasik, sastra diproyeksikan
sebagai sesuatu yang membawa ajaran moral
(Widijanto, 1998: 19). Sastra dianggap sebagai
seni untuk panutan hidup yang dikemas dalam
estetika bahasa. Bahkan seorang pujangga atau
pengarang pada masa itu diyakini sebagai
pembawa dan pengemban Kalam Tuhan.
Karena itulah unsur didaktis dan padagogis
sangat kental terpatri pada karya sastra Jawa
Klasik, seperti tercermin dalam bait-bait pada
Serat Wedhatama di bawah ini:
Mingkar-mingkuring angkara
Akarana karenan Mardi siwi
Sinawung resmining kidung
Sinuba sinukarta
Mrih katarta pakartining
Ngelmu luhung
Kang tumrap ing tanah Jawa
Agama ageming aji
(terdorong rasa senang mendidik putra putri
serta untuk dapat menjauhi sifata serakah, loba
dan tamak
digubahlah kidung yang indah
yang berisi ilmu luhur dan panutan hidup
bagai mereka masyarakat Jawa
dimana
agama
menjadi
pegangan
hidup).(Widiyanto, 1998: 20).

Wedhatama adalah buku atau serat karya
Mangkunegara IV yang sangat terkenal bagi
masyarakat Jawa. Kata Wedhata berasal dari
kata “wedha” artinya pengetahuan dan “tama’
artinya keutamaan atau kebaikan (Lagiman,
2000: 45). Ia berbentuk tembang atau syair yang
dilagukan (Sekar macapat) yang banyak
mengungkapkan gambaran tentang Tuhan,
manusia, dan nilai moral, sampai tujuan akhir
kehidupan
manusia
dalam
tataran
Manunggaling Kawula Gusti atau mistisisme
Jawa. Hal tersebut juga bisa kita temukan dalam

D36

Vol. 2
ISSN : 1858 - 2559

Wirid
Hidayatjati
karya
Ronggowarsito
(Zoetmulder (1991), Simuh (1988).
Dalam sebuah geguritan (nyayian) yang
bermakna
luhur,
disebutkan
demikian:
’Hananing cipta rasa karsa, datan salah
wahyaning lampah, padhang jagade yen
nyumurupana, marang gambaraning bathara
ngaton’ (keberadaan manusia dilengkapi
dengan cipta, rasa, dan karsa, tidaklah
berlawanan dengan perjalanan kehidupan,
manusia
akan
menemukan
keselamatan,manakala ia mampu melihat alam
semesta sebagai manifestasi kehadiran Tuhan)
(Imam S., 2005:195-196). Nyayian atau
geguritan tersebut jelas sekali mengandung nilai
filsafat yang tinggi, yang dalam tradisi filsafat
Islam disebut hikmah; suatu perpaduan antara
cipta (akal), rasa (intuisi/kalbu), dan karsa
(amal).
Ajaran manunggaling kawula Gusti
dalam Serat Centini terdapat dalam syair yang
berbunyi:’Suksmo rimbag wutuh den tingali, sausike yo suksmo bloko. Wujude suksmo tan
pae. Wus tan kenging binastu, Woring jati
Kawulo lan Gusti, Moho Gusti akulo’ (Sukma itu
dalam perasaan tampaknya utuh. Segala gerakgeriknya adalah ciptaan sukmanya sendiri.
Kenyataannya sukma itu tak dapat dibedabedakan dari diri sendiri. Sudah tak dapat
dielakkan. Sebenarnya telah berkumpul hamba
dan Tuhan, yaitu Tuhan Maha Besar dan
hamba-Nya (Imam S., 2005: 197).
Dalam sebuah tradisi sastra lisan yang
bernama kentrung (lihat Hutomo, 2001) terdapat
bait-bait yang didendangkan oleh sang dalang
pada awal pertunjukan, misalnya:
“Ya la illallaha illollah,
Ekal benang wong mas Pangeran //
Ya la illallaha illollah,
Ya Mohammad ya Rasolollah //
Gelang alit among sing mungging driji,
Aja lali nek momong rogo.

Artinya:”Ya Allah, benang jahit benang
mas milik Allah. Ya Allah, ya Muhammad ya
Rosulullah. Cincin terpasang di jari, jangan lupa
memelihara diri” (Hutomo, 2001: 162).
Meskipun seni sastra kentrung disajikan dengan
nuansa menghibur, namun sang dalang selalu
menyelibkan pesan-pesan religius agar selalu
ingat dan waspada dalam hidup, atau dalam
ungkapan singkat yaitu eling lan waspada.
Pada pertunjukan kentrung dengan cerita
Sarahwulan disebutkan nama-nama Allah,
Pangeran, atau Gusti Allah, sebagai Pencipta
manusia di bumi. Dia itu satu, tidak dua.
Aadapun manusia hidup di dunia hanya
sebentar, atau menurut bahasa kentrung “teng
ndonya mampir sedela”. Manusia pasti pulang

Kearifan Lokal yangTerkandung……
Hawasi

Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek & Sipil)
Auditorium Kampus Gunadarma, 21-22 Agustus 2007

kembali ke asa;usulnya, yaitu ke zat Yang Maha
Mutlak, atau Tuhan. Untuk mengenal Tuhan
manusia harus kenal pada dirinya, sebab
dengan kenal pada dirinya manusia akan
mengenal Tuhannya. Di dalam bahasa kentrung
hal ini diungkapkan dengan kata-kata:”ancur
kaca wong pasemone / yan ancure mono kaca
benggala / aja ngilo kacane amba / pan ngiloa
mono ragane dhewe / dadi weruh ala beike”,
artinya secara harfiah, “cermin kaca sebagai
lambing, cermin kaca maha besar, janganlah
bercermin sebab kacanya besar, tetapi
bercerminlah pada diti sendiri, sehingga akan
tahu buruk dan baik yang ada di dalam diri’
(Hutomo, 2001: 176).
Hubungan Individu dan Masyarakat
Dalam etika Jawa berpusat pada pribadi orang
yang berpadu dengan kepekaan terhadap
kehormatan diri. Seseorang bergantung pada
pandangan
orang
lain.
Status
yang
disandangnya tergantung pada usaha pribadi
yang dilakukan oleh seseorang dalam
mewujudkan pengharapan-pengharapannya.
Sebagai contoh adalah Serat Pepali karya
Ki Ageng Selo berisi nasehat-nasehat
bagaimana seharusnya menjalani hidup dan
menempatkan diri pada lingkungan untuk
mencapai kebahagiaan hidup:
“Sapa-sapa kang agawe becik
Nora wurung mbenjang manggih arja
Tekeng sakturun-turune
Yen sira dadi agung
Amarintah marang wong cilik
Aja seaya-daya
Mundhak ora tulus
Nggonmu dadi pangauban
Aja nacah, merentaha kang patitis
Ngganggoa tepa-tepa
Poma-poma anak putu mami
Aja sira nggungake akal
Wong akal ilang baguse
Dipun idep wong bagus
Bagus dudu sendhangan
Dudu rupa iku
Bagus iku nyatanira
Yen dinulu asih semune prakarti
Pratap solah prasaja
(Barang siapa berbuat baik
Tiada urung kelak menemui bahagia
Sampai kamu menjadi penguasa
Memerintah rakyat kecil
Jangan sewenang-wenang
Nantinya takkan langgeng
Kamu menjadi penguasa
Janganlah sembarangan, memerintahlah yang
tepat
Pakailah perhitungan
Ingat-ingatlah anak cucuku
Jangan kamu menyombongkan akalmu

Kearifan Lokal yang Terkandung……
Hawasi

Vol. 2
ISSN : 1858 - 2559

Orang berakal hilang tampannya
Ketampanan bukanlah harta benda
Dan bukan pakaian
Bukan pula paras wajah
Tampan itu sebenarnya
Menimbulkan rasa sayang, memikat hati
Tingkah laku yang wajar (tidak dibuat-buat)
(Widijanto, 1998: 20).

Demikianlah, Serat Pepali Ki Ageng Selo
tersebut berisi suatu pesan moral yang
mendalam, bahkan mempunyai pesan profetik
kepada manusia sebagai tuntunan dalam
bermasyarakat berupa kekuatan untuk mawas
diri dari segala sifat yang bisa merendahkan
harkat dan martabat kemanusiaan. Manusia,
pada masa karya sastra kapujanggan diajak
untuk melihat dirinya secara integral sehingga
akan memancar suatu perbawa akibat dari
pandanganya
yang
menyeluruh
dalam
menangkap realitas.
Sastra kapujanggan meletakkan peran
manusia sejajar dengan peran semesta dan
suasana yang terbentuk dalam karya sastra
masa itu yang terarah pada suasana batin yang
sakral dan profetik yang bermuara pada
pertanyaan mengenai diri serta hubungannya
dengan tatanan kosmis dan Pencipta. Dalam
hal, misalnya terlihat dalam Suluk Wujil, yang
juga merupakan produk satra kapujanggan:
“Ya marma lunga ngikis ing wengi
angulati sarahsaning tunggal
sampurnaning langkah kabeh
sing pandhita sunduning
angulati sarining urip
wekasing jati wenang
suruping raditya wulan
reming netra kalawan suruping pati
wekasing ona-ora”.
(Sesungguhnya
diam-diam
hamba
pergi
menyusuri malam
berusaha mencari rahasia tunggal
untuk mencari kesempurnaan segala tata laku
para pendeta telah hamba kunjungi
mencari hakekat hidup
akhir kuasa sejati
akhir utara selatan
akhir bilamana matahari dan bulan terbenam
akhir bilamana mata terkatup dan akhir adatiada). (Widijanto, 1998: 21).

Terlihat bahwa dalam Suluk Wujil manusia
diajak untuk menyadari tentang hakikat sangkan
paraning dumadi, yaitu manusia yang telah
memiliki kesadaran transcendental atau menjadi
manusia religius, homo religiusus hinga hal
tersebut
termanifestasikan
dalam
pola
kehidupan sehari-hari serta simbol-simbol yang
merujuk kepada sesuatu yang bersifat metafisik.

D37

Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek & Sipil)
Auditorium Kampus Gunadarma, 21-22 Agustus 2007

Ajaran Tasawuf Cinta
Inti ajaran tasawuf cinta bisa ditemukan dalam
ajaran Sunan Bonang. Ajaran tasawuf Cinta
Sunan Bonang ini, menurut Abdul Hadi
W.M.(2000: 99), mirip dengan ajaran Jalaluddin
Rumi. Sebagai doktrin kerohanian ajaran ini
didasarkan pada sebuah hadis qudsi, yang
dipercaya oleh para sufi sebagai keterangan
lanjut dari ayat al-Qur’an tentang asas
penciptaan manusia dan makhluk-makhluk lain
di alam semesta. Bunyi hadis tersebut, “Aku
adalah perbendaharaan tersembunyi, Aku cinta
untuk dikenal, maka Aku mencipta…”Cinta
Tuhan kepada ciptaan-Nya itu terjelma dalam
sifat-sifat-Nya, khususnya sifat al-rahman dan
al-rahim (Maha Pengasih dan Maha Penyayang)
dalam kalimat Basmalah.
Kalau Tuhan mencipta segala sesuatu
dengan cinta, maka jalan kembali kepada-Nya
ialah dengan cinta pula. Cinta di sini sering
diartikan sebagai iman, pengetahuan intuitif
(makrifat) dan kepatuhan kepada perintah-Nya.
Untuk mencapai keadaan demikian, seseorang
mesti sanggup memfanakan ego rendahnya dan
masuk ke dalam kebakaan. Dengan hilangnya
ego rendah (diri yang hina, hawa nafsu) ini
maka segala perbuatan manusia dapat
dikendalikan oleh Cinta Ilahi (lihat Titus
Burckhardt, Mengenal Ajaran Kaum Sufi,
Jakarta: Pustaka Jaya, 1984, hlm. 38-52).
Dalam sebuah puisinya Sunan Bonang
menulis:
“Jadikan dirimu Cinta sejati
Maka kau akan mengenal hakikat dunia
Hadapkan wajahmu dalam keheningan
Ke wajah Cinta” (Hadi W.M., 2000: 99).

Sunan Bonang dianggap melebihi Wali
Songo yang lain dalam hal penulisan karya
sastra. Terdapat banyak tembang Suluk di Jawa
yang berasal dari abad-16 dipercaya sebagai
karya atau memuat ajaran Sunan Bonang.
Salah satu karya terkenal Sunan Bonang adalah
Suluk Wujil. Karya-karyanya yang lain adalah
Suluk Bentur, Suluk Regol, Gita Suluk Linglung,
Gita Suluk Latri, Suluk Jebeng, Kidung Bonang
dan lain-lain.
Salah satu hikmah yang dikemukakan
Sunan Bonang dalam Suluk Wijil dan masih
relevan hingga kini dapat dikutip di sini dalam
bentuk terjemahan bebasnya sebagai berikut:
“Aku tidak pantas disebut seorang Sufi sejati
Apabila mengharap imbalan uang semata
Dari hasil menulsi kitab sastra
Apabila aku melakukannya juga
Tidak perlu aku menjalankan ilmu suluk
Barang siapa menharap imbalan uang
Untuk pengetahuan yang ditulisnya

D38

Vol. 2
ISSN : 1858 - 2559

Ia hanya memuaskan diri sendiri
Dan berpura-pura mengerti segala perkara
Ia bagaikan bangau di tepi sungai
Duduk diam tidak bergerak seinci pun
Pandangan matanya tajam berpura-pura saleh
Di hadapan ikan-ikan calon mangsanya
Ya, bagaikan telur yang warnanya putih di luar
Namun isinya bercampur warna kuning” (Hadi
W.M., 2000: 105-106).

Dalam bait-bait syair yang lain dalam
Serat Wujil, Sunan Bonang melukiskan:
“Matahari terbenam, malam pun tiba
Wujil menumpuk potongan kayu
Membuat perapian untuk memanaskan
Tempat pesujudan sang syekh
Di tepi pantai sunyi di Bonang
Desa itu gersang
Bahan makanan tidak banyak
Hanya ombak dan gelombang laut
Memukul-mukul batu karang
Angker di sekelilingnya

“Ingat ya Wujil, waspadalah kau!
Hidup di dunia ini
Jangan sekali-kali gegabah
Insyaflah bahwa kau
Bukan Yang Haqq
Dan Yang Haqq bukan kau
Barang siapa mengenal hakikat dirinya
Dia akan mengenal Tuhan
Yang merupakan asal usul kejadiannya” (Hadi
W.M., 2000: 106).

Peranan Sunan Bonang juga terlihat
dalam seni gamelan. Tak ada nama wali yang
diabadikan dalam nama alat musik Jawa selain
Sunan Bonang. Berkat inovasinya gamelan
Jawa,
sebagaimana
dikenal
sekarang,
mengalami perubahan mendasar secara estetis
dan berbeda dari gamelan Majapahit yang
perkembangannya dilanjutkan oleh gamelan
Bali. Gamelan Jawa sangat kontemplatif dan
meditatif, sejalan dengan estetika sufi.
Etika Jawa Sebagai Kebijaksanaan Hidup
Pada prinsipnya, orang Jawa menginginkan
keselarasan di dalam kehidupan di masyarakat.
Hal ini dilakukan dengan mencegah timbulnya
konflik-konflik yang melibatkan dirinya dan
dengan menghormati kedudukan dan pangkat
orang yang terdapat di dalam masyarakat. Latar
belakang anggapan ini adalah keselarasan
dalam masyarakat berhubungan erat dengan
keselarasan kosmis (Rosmaria SW, 2006) 89).
Alam,
masyarakat
dan
individu
saling
tergantung. Untuk menjamin keselamatan
manusia tidak boleh mengganggu keselarasan
masyarakat. Namun demikian, keselarasan
tersebut dapat sempurna apabila diimbangi

Kearifan Lokal yangTerkandung……
Hawasi

Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek & Sipil)
Auditorium Kampus Gunadarma, 21-22 Agustus 2007

dengan keselarasan batin. Maka manusia harus
mengontrol
hawa
nafsunya
dengan
mengembangkan sikap sepi ing pamrih. Dengan
bersikap demikian, manusia dapat tenang dan
setia memenuhi kewajiban-kewajibannya sesuai
pangkat dan nasibnya atau rame ing gawe.
Melalui sikap demikian, manusia mencapai
suatu keadaan psikis yang disebut slamet,
maksudnya ketenangan batin dan ketentraman
hidup (Magnis-Suseno, 1985: 196).
Etika Jawa memberi tekanan utama
pada standar-standar norma tertentu yang
disebut
sebagai
keutamaan-keutamaan..
Keutamaan-keutamaan
ini
membangun
kehendak untuk selalu menjaga keselarasan
dalam masyarakat dengan menjauhi konflik dan
menunjukkan hormat (unggah-ungguh).
Salah satu buku Islam berbahasa Jawa
tertua yang ada hubungannya dengan mistik
ialah buku yang ditulis oleh Drewes, berjudul:
Een Javaanse Primbon uit de Zestiende Eeuw
(1954). Buku ini memberi petunjuk cara hidup
yang etis-religius. Ajaran ini pun rupanya
terdapat
di
dalam
pendahuluan
cerita
Sarahwulan, misalnya ajaran tentang kesediaan
menolong orang lain. Hal ini terungkap di dalam
kata-kata:
-

“duduh dalan wong kesasar”.
“paring uwot mono wonge nyebrang’,
“paring teken wonge kelunyon,”
“paring khudung mono wonge kudanan”,
“paring sandhong wong kemlaratan,”
“paring pandhang wong keluwen”.

Artinya, “orang tersesat harap ditunjukkan jalan”,
“membuatkan jembatan bagi orang yang akan
menyeberang”, “memberi tongkat kepada orang
yang berjalan di tempat licin”, “memberi makan
pada orang miskin”, “memberi makan pada
orang lapar” (Hutomo, 2001: 180-181).
Ajaran tentang kesabaran diungkapkan
di dalam kata-kata,”Timba badhar mono tali
wange/lamun pedhot wong pelunturi/ja sembung
mono tampare’ sawa/sembunga mono sabar
dirasa”. Artinya, “Timba rusak sebab talinya, bila
yang putus tali yang dipergunakan untuk
menimba air, maka janganlah disambunglah
dengan kesabaran”. Maksud ungkapan ini
adalah bahwa segala sesuatu itu harap dihadapi
dengan kesabaran. Dalam dimensi mistik Islam
Jawa hal ini selalu dikaitkan dengan Gusti Allah
yang
dalam
Islam
disebutkan
bahwa
sesunggunya Allah mencintai orang-orang yang
sabar.
Dalam merespon kebobrokan moral zaman
yang dialaminya, batinya memberontak dan
tidak menyukai tindak-tanduk manusia pada
zamannya. Ronggowarsito menamai zaman
yang dialaminya itu sebagai zaman edan. Hal ini
diungkapkannya dalam Serat Kalatidha:

Kearifan Lokal yang Terkandung……
Hawasi

Vol. 2
ISSN : 1858 - 2559

“Amenangi zaman edan/ewuh-aya ing
pambudi/melu edan nora tahan/yen tan melu
anglakoni/baya
kaduman
milik/kaliren
wekasanipun/Dilalah karsa Allah/begja-begjane
kang lali/luwih begja kang eling lawan waspada/.
Terjemahan bebasnya adalah:
“Mengalami zaman gila, sukar-sulit
(dalam) akal-ikhtiar. Turut gila tidak tahan, kalau
tak turut menjalaninya, tidak kebagian milik,
kelaparanlah akhirnya. Takdir kehendak Allah,
sebahagia-bahaginya yang lupa, lebih bahagia
yang sadar serta waspada” (Simuh, 1988: 45).
Ungkapan di atas mensifati segolongan
orang atau pemimpin yang mengambil
kesempatan di tengah kesempitan dalam zaman
edan, yang menjadi hamba nafsu dan hamba
harta. Di samping itu juga memberi pelajaran
kepada manusia agar berpegang teguh pada
takdir dan kemurahan Tuhan. Bahwa percaya
pada takdir dan kemurahan Tuhan, bila dihayati
secara positif, merupakan pegangan dalam
menghadapi atau kalatidha atau zaman edan
yang akan berganti dengan zaman keemasan.
Akhirul Kalam marilah kita resapi
tembang Tombo Ati, sebuah tembang yang
digubah oleh Kanjeng Sunan Kalijaga serta
liriknya diadaptasi dari Sayidinna ’Ali Bin Abi
Thalib. Sebuah tembang yang sarat makna
religius, terlebih-lebih bagi manusia modern
yang telah kehilangan dimensi spiritualnya (lihat
Hawasi, Agama dan Krisis Manusia Modern,
Epigram, 2003:137-143). Sebuah tembang yang
bisa mengajak manusia modern untuk
merenungkan tentang makna filsafat Jawa
tentang sangkan paraning dumadi (hakikat
darimana kita berasal dan akan kemana kita
kembali).
’Tombo Ati itu ono limo perkoro
Kaping pisan moco Qur’an samaknane
Kaping pindo solat wengi lakonono
Kaping telu wong kang soleh kumpulonono
Kaping papat wetengiro ingkang luwe
Kaping lima zikir wengi ingkang suwe
Sala wa wijine sopo biso ngelakoni
Insya Allah Gusti Pengeran nigijabahi’ (Emha
Ainun Nadjib, lagu album Tombo Ati, 2000).

KESIMPULAN
Kearifan yang terdapat pada sastra Jawa
banyak dipengaruhi oleh agama Islam, dalam
hal ini tasawuf yang bersinergi dengan nilai-nilai
mistik kebatinan Jawa yang bermuara pada
ajaran-ajaran tentang pengetahuan (makrifat)
dan Cinta serta Etika atau ajaran moral.
Kearifan-kearifan yang terdapat dalam
sastra mistik Jawa selalu berbicara tentang
hubungan antara manusia dan Tuhan, manusia
dan masyarakat, serta manusia dengan alam.

D39

Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek & Sipil)
Auditorium Kampus Gunadarma, 21-22 Agustus 2007

Hubungan-hubungan tersebut didasarkan atas
landasan harmoni dan keseimbangan.
Manusia harus mengadakan hubungan
yang selaras, untuk menghindari konflik terbuka.
Oleh karena itu diperlukan pengetahuan
(hikmah) dan penguasaan diri dan emosi. Untuk
pengendalian diri, maka seseorang dituntut
untuk memperkuat dimensi batin
atau
spiritualnya.
Namun
semakin
dengan
menggeliatnya modernisasi dan urbanisasi yang
menimpa Pulau Jawa, masyarakat Jawa
dihadapkan pada tantangan, berupa masturbasi
budaya dan bergesernya tatanan moral dan
keagamaan. Maka, seperti yang diuangkapkan
oleh Franz Magnis-Suseno (1996) diperlukan
suatu etika yang dapat membantu individu
secara eksplisit dalam perkembangan ekonomi
moral, adalam kesanggupannya untuk atas
nama tanggung jawab sendiri mengambil
keputusan-keputusan sesuai dengan suara
hatinya sendiri yang berpedoman pada prinsipprinsip universal dan personal.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik.”Museum dan Dialog Ilmu
Pengetahuan”.
Pidato
Kebudayaan
menyambut pembukaan Bayt al-Qur’an
dan Mesum Istiqlal,Jakarta 20 April 1997.
______________.
’Pemikiran
Islam
di
Nusantara dalam Perspektif Sejarah’,
dalam Prisma No.3 Maret 1991 hlm. 1627.
Asy’ari, Abuhasan. “Asia Tenggara, Islam dan
Kesusastraan”, dalam Ulumul Qur’an,
No.1/VIII/1998, hlm. 3.
Burckhardt, Titus. Mengenal Ajaran Kaum Sufi.
Terj. Azyumardi Azra dan Bachtiar Effendi
dari An Introduction to Sufi Doctrine.
Jakarta: Pustaka Jaya, 1984.
Hadi W.M.,Abdul. Islam: Cakrawala
Estetik dan Budaya. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2000
_______________. Sastra Sufi. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1985.
_______________. “Kembali ke Akar Tradisi:
Sastra Transendental dan Kecenderungan
Sufistik Kepengarangan di Indonesia”,

D40

Vol. 2
ISSN : 1858 - 2559

dalam Ulumul Qur’an, Vol.III No.3, 1992,
hlm. 12-29.
Hardjowirogo, Marbangun. Manusia Jawa.
Jakarta: CV Haji Masagung, 1989.
Hassan, Fuad. Renungan Budaya.
Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Hawasi. “Agama dan Krisis Manusia Modern”,
dalam Epigram Politeknik Negeri Jakarta,
Vol. 3 No.2 Oktober 2005, hlm.137-143.
Hutomo, Suripan Sadi. Sinkretisme Jawa-Islam.
Yogyakarta: Bentang, 2001.
Imam S., Suwarno. Konsep Tiuhan, Manusia,
Mistik Dalam Berbagai Kebatinan Jawa.
Jakarta: 2005.
Kuntowijoyo. Maklumat Sastra Profetik.
Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2006.
Lagiman. Filsafat Jawa. Diktat Kuliah
Jurusan Filsafat FIB UI 2000.
Magnis-Suseno, Franz. Etika Jawa: Sebuah
Analisa Falsafi Kebijaksanaan Hidup
Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1996.
Mulder, Niels. Ruang Batin Masyarakat
Indonesia.Transl. Wisnu Hardana dari
inside
Indonesian
Society:
An
Interpretation
of Cultural Change in
Java.Yogyakarta: LKiS, 2001.
Nadjib, Emha Ainun. Lagu album Tombo Ati.
2000.
Rendra.
Mempertimbangkan
Tradisi.
Jakarta: Gramedia, 1983.
Rosmaria S.W. “Kesatuan dan Harmoni
dalam Masyarakat Jawa”, dalam Refleksi
Jurnal Kajian Agama dan Filsafat, Vol.
VIII. No. 1, 2006, hlm. 8294.
Simuh. Mistik Islam Kejawen raden Ngabehi
Ranggawarsita: Suatu Studi Terhadap
Serat Wirid Hidayat Jati. Jakarta: UI
Press, 1988.
Sudardi, Bani. Sastra Sufistik.Solo: Tiga
Serangkai, 2003.
Teew, A. Khazanah Sastra Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, 1982.
Widijanto, Tjahjono. “Sastra Kita Zaman
Kapujanggan hingga Kapitalisme: dari
Sifistik ke Kapitalistik”, dalam Ulumul
Qur’an, No.1/VIII/1998, hlm. 19-26.

Kearifan Lokal yangTerkandung……
Hawasi