KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS CRITICAL TH

KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS
(CRITICAL THINKING SKILL) DALAM
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN
SOSIAL
Submitted by admin on Mon, 10/07/2013 - 08:45
KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS (CRITICAL THINKING SKILL)
DALAM PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
Oleh : Dra. Nursyamsinar Nursiti, M.Pd
Widyaiswara LPMP Jawa Barat
Abstrak
IPS dengan kompleksitasnya, menurut keterampilan berpikir tingkat tinggi (high order
thinking) salah satunya indikatornya adalah keterampilan berpikir kritis. Masyarakat dengan
segala dinamikanya sebagai sumber belajar utama dalam pembelajaran IPS, berperan dalam
membentuk pola pikir, sikap dan perilaku peserta didik. Salah satu keterampilan yang dipandang
sangat esensial dalam menghadapi era globalisasi saat ini, adalah keterampilan berpikir kritis
(critical thinking skills). Artikel ini mencoba menjabarkan definisi keterampilan berpikir kritis,
menjelaskan bagaimana seharusnya keterampilan berpikir kritis tersebut diajarkan, dan
diterapkan pada pembelajaran di sekolah khususnya pembelajaran IPS. Mengajarkan
keterampilan berpikir kritis secara eksplisit, dan terintegrasi dengan materi pembelajaran (sesuai
kurikulum 2013), dapat membantu peserta didik untuk menjadi pemikir yang kritis, dan kreatif
secara efektif. Melalui keterampilan berpikir kritis peserta didik akan mampu menganalisa,

mengevaluasi, mensintesis dan berkreasi dalam membangun kemajuan kehidupan baik bagi diri
sendiri, keluarga, bangsa maupun sebagai warga dunia.
Kata Kunci : Keterampilan berpikir (critical thinking skill), dan pembelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS).
A. PENDAHULUAN
Pembelajaran IPS dewasa ini, khususnya di era globalisasi memiliki peranan yang sangat
penting dalam kehidupan, sehingga melalui pembelajaran IPS, peserta didik perlu dibekali
sejumlah pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), nilai-nilai (values) dan juga keterampilan
(skills). IPS sangat penting untuk diberikan dalam dunia pendidikan, mengingat manusia sebagai
makhluk Tuhan, dan merupakan makhluk individu sekaligus sebagai makhluk sosial yang
keberadaan dirinya, tidak dapat terlepas dari individu atau kelompok yang lain. IPS diberikan
dengan maksud memperluas khasanah berpikir peserta didik, agar apa yang dilihat/dirasakan

dalam dunia kehidupan mampu diintegrasikan dengan ilmu yang mereka pelajari di
sekolah/perguruan tinggi. Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan gabungan dari unsur-unsur
disiplin ilmu sosial, seperti geografi, sejarah, ekonomi, hukum dan politik, kewarganegaraan,
sosiologi, bahkan juga bidang humaniora, pendidikan dan agama.
Berpikir kritis (critical thinking) diperlukan dalam kehidupan, sehingga hal ini perlu
ditanamkan dalam pembelajaran. Apa yang selama ini terjadi di sekolah, guru hanya
menekankan pada materi semata. Sementara itu aspek lain seringkali diabaikan, termasuk

critical thinking. Menghadapi kehidupan saat ini yang dinamis oleh perkembangan IPTEK,
sangatlah tidak mungkin membekali siswa hanya dengan aspek materi saja, tetapi siswa harus
mampu survive, dan sukses dalam menjalani hidupnya di masyrakat yang penuh dengan
tantangan. Untuk mengatasi hal ini diperlukan salah satunya kemampuan critical thinking yang
harus dimilik siswa, agar mampu menghadapi segala tantangan, dan permasalahan yang terjadi di
masyarakat. Oleh karena itu, melalui critical thinking yang dimiliki siswa, mampu menganalisis
sesuatu yang berguna atau tidak berguba bagi dirinya, keluarga, masyrakat dan bangsanya di
masa depan.
B. PEMBAHASAN
Berkembangnya keterampilan berpikir kritis, beranjak dari asumsi dasar Piaget. Piaget
memperkenalkan sejumlah ide, dan konsep untuk mendeskripsikan serta menjelaskan perubahanperubahan dalam pemikiran logis, yang diamatinya pada anak-anak dan orang dewasa seperti :
1. Anak-anak adalah pembelajar yang aktif dan termotivasi
2. Anak-anak mengkonstruksi pengetahuan mereka berdasarkan pengalaman.
3. Anak-anak belajar melalui dua proses yang saling melengkapi, yakni asimilasi dan
akomodasi.
4. Interaksi anak dengan lingkungan fisik dan sosial, adalah faktor yang sangat penting bagi
perkembangan kognitif.
5. Proses ekuilibrasi mendorong kemajuan ke arah kemampuan berpikir yang semakin
kompleks.
6. Salah satu akibat dari perubahan kematangan di otak, anak-anak berpikir dengan cara

yang berbeda pada usia yang berbeda (Achmad, Arief, 2007).
Erat kaitannya dengan hal tersebut, Piaget pun membagi tahap-tahap perkembangan kognitif
sebagai berikut:
1. Tahap sensorimotor (kelahiran hingga usia sekitar 2 tahun). Pada tahap ini skema-skema
pada perilaku, dan presepsi anak berfokus pada apa yang terjadi disini, dan saat ini.
2. Tahap pra-operasional (2 tahun hingga sekitar 6 atau 7 tahun). Skema-skema mulai
mempresentasikan objek-objek yang berada di luar jangkauan pandangan langsung anak,
namun anak belum mampu melakukan penalaran yang logis seperti orang dewasa.
3. Tahap operasinal konkret (6 atau 7 tahun hingga 11 atau 12 tahun). Pada tahap ini
penalaran menyerupai penalaran orang dewasa mulai muncul, namun terbatas pada
penalaran mengenal realitas konkret.

4. Tahap operasional formal (11 atau 12 tahun hingga dewasa). Pada tahap ini prosesproses penalaran yang logis diterapkan pada ide-ide abstrak ataupun ke objek-objek
konkret (Ormrod,1008:43).
Salah satu kecakapan hidup (life skills) yag perlu dikembangkan melalui proses pendidikan,
adalah keterampilan berpikir (Depdiknas, 2003). Kemampuan seseorang untuk dapat berhasil
dalam kehidupannya, antara lain ditentukan oleh keterampilan berpikirnya, terutama dalam
upaya memecahkan masalah-masalah kehidupan yang dihadapinya. Ennis (1985) menjelaskan
bahwa selain pembentukan fitrah moral, dan budi pekerti, inkuiri dan berpikir kritis disarankan
sebagai tujuan utama pendidikan, dan merupakan dua hal yang bersifat sangat berkaitan satu

dengan yang lain.
Dimensi berpikir adalah suatu proses yang bersifat pribadi atau internal yang dapat berawal,
dan berakhir pada dunia luar atau lingkungan seseorang. Dimensi berpikir adalah persepsi dan
konsepsi, sebagai perantara dari pengalaman langsung, dan konsep yang abstrak dalam pikiran.
Merefleksikan siklus inkuiri bermula dari suatu kegiatan, mendefinisikan masalah, melakukan
eksplorasi, dan mengintegrasikan gagasan yang berakhir pada pengambilan keputusan, serta
mengaplikasikan gagasan.
Jhonson (2000) mengemukakan keterampilan berpikir dapat dibedakan menjadi berpikir
kritis, dan berpikir kreatif. Kedua jenis berpikir ini disebut juga sebagai keteampilan berpikir
tingkat tinggi (Liliasari,2002). Berpikir kritis merupakan suatu proses mental yang terorganisasi
dengan baik, dan berperan dalam proses mengambil keputusan untuk memecahkan masalah
dengan menganalisis, dan menginterprestasi data dalam kegiatan inkuiri ilmiah. Sedangkan
berpikir kreatif, adalah proses berpikir yang menghasilkan gagasan asli atau orisinal, konstruktif
dan menekankan pada aspek intuitif dan rasional (Jhonson, 2000). Pemahaman umum mengenai
berpikir kritis, sebenarnya adalah pencerminan dari apa yang digagas oleh Jhon Dewey sejak
tahun 1916 sebagai inkuiri ilmiah yang merupakan suatu cara untuk membangun pengetahuan.
Ennis (1985) memberikan definisi berpikir kritis, adalah berpikir reflektif yang berfokus pada
pola pengambilan keputusan tentang apa yang harus diyakini, dan harus dilakukan. Berdasarkan
definisi tersebut, maka kemampuan berpikir kritis menurut Ennis terdiri atas 12 komponen yaitu:
(1) merumuskan masalah, (2) menganalisis argumen, (3) menanyakan dan menjawab pertanyaan,

(4) menilai kredibilitas sumber informasi, (5) melakukan observasi dan menilai laporan hasil
observasi, (6) membuat deduksi dan menilai deduksi, (7) membuat induksi dan menilai induksi,
(8) mengevaluasi, (9) mengidentifikasi dan menilai indentifikasi, (10) mengidentifikasi asumsi,
(11) memutuskan dan melaksanakan, (12) berinteraksi dengan orang lain. Lebih lanjut Dressel &
Methew (1954) dalam Morgan (1999), mengutip kemampuan berpikir kritis yang dikembangkan
oleh Komite Berpikir Kritis Antar Universitas (Intercollege Committe on Critical Thinking)
terdiri atas: (1) kemampuan untuk mendefinisikan masalah, (2) kemampuan menyeleksi
informasi untuk pemecahan masalah, (3) kemampuan mengenai asumsi-asumsi, (4) kemampuan
untuk merumuskan hipotesis, dan (5) kemampuan untuk menarik kesimpulan.
Amyana (2004) menyatakan bahwa kemampuan yang berasosiasi dengan berpikir kritis yang
efektif, meliputi: (1) mengobservasi; (2) mengidentifikasi pola, hubungan, sebab akibat, asumsikesalahan alasan, kesalahan logika dan bias; (3) membangun kriteria dan mengklasifikasi; (4)

membandingkan dan membedakan; (5) menginterprestasikan; (6) meringkas; (7) menganalisis,
mensintesis dan menggeneralisasi; mengemukakan hipotesis; (8) membedakan data yang relevan
dengan yang tidak relevan, data yang dapat diverifikasi dan yang tidak, membedakan masalah
dengan pernyataan yang tidak relevan.
Sehubungan dengan itu, Arnyana (2004) menyatakan ciri-ciri orang yang mampu berpikir
kritis adalah: (a) memilii perangkat pikiran tertentu yang digunakan untuk mendekati
gagasannya, dan memiliki motivasi kuat untuk mencari dan memecahkan masalah, (b) bersikap
skeptis yaitu tidak mudah menerima ide, atau gagasan kecuali dia sudah dapat membuktikan

kebenarannya.
Berdasarkan uraian tersebut seperti diatas, maka kemampuan berpikir kritis yang
dimaksudkan dalam artikel ini, adalah proses mental yang mencakup kemampuan merumuskan
masalah, memberikan dan menganalisis argumen, melakukan observasi, menyusun hipotesis,
melakukan deduksi dan induksi, mengevaluasi, dan mengambil keputusan serta melaksanakan
tindakan.
Keterampilan berpikir kritis menggunakan dasar berpikir menganalisis argumen, dan
memunculkan wawasan terhadap tiap-tiap interprestasi untuk mengembangkan pola penalaran
yang kohesif dan logis, kemampuan memahami asumsi, memformulasi masalah, melakukan
deduksi dan induksi serta mengambil keputusan yang tepat. Keterampilan berpikir kritis adalah
potensi intelektual yang dapat dikembangkan melalui proses pembelajaran. Setiap manusia
memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang menjadi pemikiran yang kritis, karena
sesungguhnya kegiatan berpikir memiliki gabungan dengan pola pengelolaan diri (self
organization) yang ada pada setiap makhluk di alam termasuk manusia sendiri (Liliasari, 2001;
Jhonson, 2000).
Muhfahroyin (2009) mengemukakan beberapa alasan tentang perlunya keterampilan berpikir
kritis, yaitu: 1) Pengetahuan yang didasarkan pada hafalan telah didiskreditkan; individu tidak
akan menyimpan ilmu pengetahuan dalam ingatan mereka untuk penggunaan yang akan datang;
2) Informasi menyebar luas begitu pesat, sehingga tiap individu membutuhkan kemampuan yang
dapat disalurkan, agar mereka dapat mengenali berbagai permasalahan yang terjadi; 3)

kompleksitas pekerjaan modern menuntut adanya pemikiran yang mampu menunjukan
pemahaman, dan membuat keputusan dalam dunia kerja; 4) Masyarakat modern membutuhkan
individu yang mampu menggabungkan informasi dari berbagai sumber, serta mampu membuat
keputusan.
Philip (2001) mengemukakan alasan lain perlunya budaya berpikir kritis, adalah bahwa dunia
mengekspresikan ketertarikan, dan kepedulian mereka pada kemampuan pembelajaran berpikir,
karena mereka menemukan ketidakmampuan lulusan universitas dalam membuat keputusan
sendiri dengan mandiri. Karena kesejahteraan suatu negara bergantung pada masyarakatnya,
maka dipandang perlu dan masuk akal, jika akal pikiran menjadi fokus dan perkembangan
pendidikan (Shukor,2001).
Kember (1997) menyatakan bahwa kurangnya pemahaman pengajar tentang berpikir kritis,
menyebabkan adanya kecenderungan untuk tidak mengajakan, atau tidak melakukan penilaian

keterampilan berpikir pada siswa. Sehingga pembelajaran untuk berpikir kritis, diartikan sebagai
problem solving, meskipun kemampuan untuk memecahkan masalah merupakan bagian dari
kemampuan berpikir kritis (Phiters RT, Seden R., 2000)
Berdasarkan versi NCSS (National Council for Social Studies), IPS (Social Studies),
merupakan studi yang terintegrasi dari ilmu-ilmu sosial, dan humaniora untuk mendukung
kompetisi seorang warga negara. Tujuan utama social studies adalah membantu generasi muda
mengembangkan kemampuan pengetahuan, dan keputusan yang rasional, sebagai warga

masyarakat yang beraneka budaya, masyarakat demokratis dalam dunia yang saling
ketergantungan (NCSS, 2008:2). Wesley (1952) menyatakan bahwa IPS berasal dari ilmu-ilmu
sosial yang telah dipilih, dan diadaptasi sesuai kebutuhan persekolahan atau pengajaran lainnya.
Sedangkan menurut Numan Soemantri (2001) menjelaskan bahwa Ilmu Pengetahuan Sosial
merupakan gabungan dari beberapa unsur-unsur geografi, sejarah, ekonomi, hukum dan politik,
kewarganegaraan, sosiologi, bahkan juga bidang humaniora, pendidikan dan agama.
Kurikulum dan proses pendidikan pada umumnya, serta IPS secara khusus “dituduh” tidak
memberi ruang yang cukup, dan kesempatan yang memadai bagi siswa untuk berpikir. Yang
dilakukan dalam pembelajaran (IPS), pada umumnya adalah menghafal berbagai fakta yang
dianggap penting tanpa memahami dengan baik apa yang dijelaskan oleh fakta-fakta itu, dan
siswa tidak mempunyai kesempatan untuk mencoba menghubungkan atau mengkonstruksikan
fakta-fakta tersebut menjadi sebuah konsep, dan menghubungkan antar konsep yang ada
menjadi generalisasi (Wahab, 2007:46-47).
Mata pelajaran IPS masih dipandang siswa sebagai pelajaran yang membosankan, dan dirasa
kurang relevan dengan kehidupan mereka seperti yang ditulis dari hasil penelitian Stahl (2008:3)
bahwa: “.... studies classes are dul, boring, and irrelevant to their lives. If curriculum in social
studies is to continue to have support from school administratiors, politicians, and the general
public, it is desirable to have positive student attitudes towards the subject matter. For it is quite
possible that negative attitudes towards social studies could ultimately result in a decline in the
allocation of resources for this subject area...”

Stahl (2008:8) mengungkapkan bahwa (1) guru dan lingkungan pembelajaran memegang
peranan yang kuat dalam membentuk sikap siswa terhadap IPS, (2) guru dapat menciptakan
lingkungan belajar yang positif dalam kelas, (3) iklim kelas dan sikap siswa dapat diubah melalui
intervensi guru dalam membangun image terhadap IPS. Oleh karena itu, pembelajaran IPS perlu
diupayakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran IPS, yang ditulis Stahl
(2008:2) dalam sebuah penelitiannya yang berjudul A Vision of Powerful Teaching and learning
in the Social Studies, bahwa ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan, agar pembelajaran
IPS dapat memberikan hasil yang maksimal, yaitu:
1. Pembelajaran IPS yang baik jika bermakna (Social studies teaching and learning are
powerful when they are meaningful).
Siswa belajar menghubungkan pengetahuan, keyakinan dan sikap yang manfaatnya
mereka peroleh baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Pembelajaran lebih
ditekankan pada pengembangan ide-ide untuk memahami, mengapresiasikan, dan
menerapkannya dalam kehidupan. Kebermaknaan dari isi materi diarahkan pada

2.

3.

4.


5.

bagaimana menyajikannya pada siswa, dan bagaimana mengembangkannya melalui
serangkaian kegiatan. Sedangkan aktivitas pembelajaran yang bermakna, dan strategi
penilaian difokuskan pada perhatian siswa terhadap ide-ide penting dari yang mereka
pelajari.
Pembelajaran IPS yang baik, adalah pembelajaran yang terintegrasi (Social studies
teaching and learning are powerful when they are integrative) Pembelajaran IPS dalam
penyampaian topik dilakukan secara terintegrasi dalam hal: a) lintas ruang dan waktu,
b) pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap untuk dilaksanakan, c) teknologi secara
efektif, dan d) lintas kurikulum;
Pembelajaran IPS yang baik, adalah pembelajaran yang berbasis nilai (Social Studies
teaching and learning are powerful when they are value-based). Kekuatan pembelajaran
IPS tercakup dalam berbagai dimensi, atau topik-topik maupun isu-isu yang kontroversi,
pengembangan dan penerapan nilai-nilai sosial. Pembelajaran IPS dapat membentuk
siswa menjadi: a) peka terhadap implementasi kebijakan sosial yang potensial, dan
keputusan berdasarkan nilai, b) sadar akan nilai-nilai sosial yang demokratis dan
dilema isu-isu, c) mempertimbangkan biaya dan keuntungan dari berbagai tindakan, d)
mengembangkan rasional terhadap nilai-nilai sosial demokratis dan politik.

Pembelajaran IPS yang baik, adalah pembelajaran yang menantang (Social studies
teaching and learning are powerful when they are challenging).
Siswa diharapkan mencapai tujuan pembelajaran secara individu dan kelompok melalui
aktivitas berfikir siswa yang menantang.
Pembelajaran IPS yang baik, adalah pembelajaran yang aktif (Social studies teaching
and learning are powerful when they are active).
Pembelajaran yang aktif mengharapkan adanya kemampuan berpikir reflektif, dan
membuat keputusan (decision making) selama pembelajaran. Siswa mengembangkan
pemahaman baru melalui sebuah proses pembelajaran aktif dengan memberikan
bimbingan melalui modeling, penjelasan, untuk membangun pengetahuan siswa menjadi
independent dan menjadi pembelajar yang memiliki kebijakan sendiri.

Costa (1985) menjelaskan bahwa belajar kritis tidak dapat dilakukan secara langsung, seperti
halnya belajar tentang materi, tetapi dilakukan dengan cara mengkaitkan berpikir kritis secara
efektif dalam diri siswa. Keterampilan berpikir kritis dapat dilatih pada siswa melalui pendidikan
berpikir, yaitu melalui belajar menalar, dimana proses berpikir diperlukan keterlibatan aktivitas
si pemikir itu sendiri. Salah satu pendekatan dalam mengembangkan keterampilan berpikir kritis,
adalah memberi sejumlah pertanyaan, membimbing dan mengkaitkan dengan konsep yang telah
dimiliki siswa sebelumnya.
Morgan(1999) memberikan kerangka tentang pentingnya pembelajaran berpikir, yaitu: (1)
berpikir diperlukan untuk mengembangkan sikap dan presepsi yang mendukung terciptanya
kondisi kelas yang positif, (2) berpikir perlu untuk memperoleh dan mengintegrasi pengetahuan,
(3) perlu untuk memperluas wawasan pengetahuan, (4) perlu untuk mengaktualisasikan
kebermaknaan pengetahuan, dan (5) perlu untuk mengembangkan perlilaku berpikir yang
menguntungkan.
Oleh karena itu berpikir kritis merupakan suatu kompetisi yang harus dilatih pada peserta
didik, karena kemampuan tersebut sangat diperlukan dalam kehidupan sekarang. Guru perlu

membantu siswa untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis melalui strategi, dan
metode pembelajaran yang mendukung siswa untuk belajar secara aktif. Inkuiri yang dipadukan
dengan strategi kooperatif, merupakan salah satu cara untuk itu, dengan demikian kegiatan
inkuiri, siswa dapat belajar secara aktif untuk merumuskan masalah, melakukan penyelidikan,
menganalisis dan menginterprestasikan data, serta mengambil keputusan untuk memecahkan
masalah yang dihadapinya. Perpaduan kegiatan inkuiri dengan strategi kooperatif dapat melatih
siswa untuk bekerja sama dengan teman sebayanya (Schafersman, 1999).
Jhonson (2002) mengemukakam bahwa keterampilan berpikir adalah suatu representasi dari
proses kognitif tertentu yang dipecahkan kedalam langkah-langkah spesifik, dan digunakan
untuk mendukung proses berpikir. Kerangka berpikir tersebut digunakan sebagai petunjuk
berpikir bagi siswa, ketika mereka mempelajari sesuatu keterampilan berpikir. Dalam
praktiknya, kerangka berpikir tersebut dapat dibuat dalam bentuk poster yang ditempatkan di
dalam ruang kelas untuk membantu proses belajar mengajar.
Pada dasarnya pembelajaran keterampian berpikir, dapat dengan mudah dilakukan.
Sayangnya, kondisi pembelajaran di sekolah pada umunmnya belum mendukung
terlaksanakannya pembelajaran keterampilan berpikir yang efektif. Beberapa kendala yang
dihadapi, antara lain pembelajaran di sekolah masih terfokus pada guru, belum student centered;
dan fokus pendidikan di sekolah lebih bersifat menghafal/pengetahuan faktual. Oleh karena itu,
keterampilan berpikir sebenarnya merupakan suatu keterampilan yang dapat dipelajari, dan
diajarkan baik di sekolah maupun belajar mandiri.
Pembelajaran keterampilan berpikir kritis, dapat dilakukan melalui latihan, yang sesuai
dengan tahap perkembangan kognitif anak. Tahapan tersebut di antaranya adalah: 1) identifikasi
komponen-komponen prosedural; 2) instruksi dan pemodelan langsung; 3) latihan terbimbing;
dan 4) latihan bebas. Sedangkan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam pembelajaran
keterampilan berpikir kritis di sekolah, adalah: 1) keterampilan berpikir tidak otomatis dimiliki
siswa, 2) keterampilan berpikir bukan merupakan hasil langsung dari pembelajaran bidang studi,
3) siswa jarang melakukan transfer sendiri keterampilan berpikir ini, sehingga perlu adanya
latihan terbimbing, pengajaran keterampilan berpikir memerlukan model pembelajaran yang
berpusat kepada siswa (Student Centered).
Selain beberapa prinsip di atas, satu hal yang tidak kalah penting dalam pembelajaran
keterampilan berpikir, adalah perlunya latihan-latihan yang intensif. Seperti keterampilan
berpikir siswa perlu dilatih secara berulang-ulang, walaupun sebenarnya keterampilan ini sudah
menjadi bagian dari cara berpikirnya. Latihan rutin yang dilakukan siswa akan berdampak pada
efisiensi, dan otomatisasi keterampilan berpikr yang telah dimiliki siswa. Dalam proses
pembelajaran IPS di kelas, guru harus menambahkan keterampilan berpikir yang baru, dan
mengaplikasikannya dalam pelajaran lain, sehingga jumlah atau macam keterampilan berpikir
siswa semakin hari semakin bertambah banyak.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa pembelajaran IPS harus
selalu menekankan pada pemahaman, dan berpikir kritis, serta belajar bagaimana mendekati
belajar, bukan menghindarinya. Keterampilan berpikir kritis dapat dilatihkan melalui proses
belajar dan pembelajaran di kelas.

C. KESIMPULAN
Pembelajaran IPS dengan segala kompleksitasnya, harus dipandang sebagai sebuah kesatuan
yang komprehensif. Kompleksitas pembelajaran IPS tidak hanya dipandang sebagai sebuah
problem, melainkan justru sebaliknya dapat dijadikan sebagai bahan dalam pencarian solusi, dan
inovasi ke arah pembelajaran IPS yang berkualitas, menarik, dan menyenangkan bagi peserta
didik.
Upaya menumbuhkan pembelajaran menarik, efektif, dan menyenangkan dalam IPS, masih
terbuka melalui penanaman keterampilan berpikir kritis. Di sinilah peran sentral pendidik selaku
fasilitator pembelajaran. Kesan terlalu membosankan dalam pembelajaran IPS harus dikikis,
hingga bergeser menjadi pembelajaran yang menarik, dan menyenangkan serta memperluas
wawasan dan jati diri peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Ennis, Robert. H. (1996). Critical Thinking. USA :Prentice Hall, Inc
Facione, N.C, & Facione,P.A (1996)). Externalizing, The Critical Thinking in Knowledge
Development and Clinical Judgment. Nursing Outlook
Hasan, Hamid, S (1996) Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Jakarta : Depdikbud Ditjen
Dikti Proyek Pendidikan Tenaga Akademik.
Jhonson, E.B. (2000). Contextual Teaching and Learning. California : Corwin Press,Inc.
Morgan,B.M. (1999). Research-Based Instructional Strategies : Preservice Teacher
Observation of Inservice Teacher Use. National Forum Journal. July 2/2004.
Achmad, Arief. (2007). Memahami Berpikir Kritis. (Online) Tersedia:
http://researchengines.com /1007arief3.html), diakses 24 Mei 2011
Fisher, Alec. (2001). Critical Thinking An Introduction. Cambridge University Press.
Liliasari. (2002). Model Pembelajaran untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir
Konseptual Tingkat Tinggi Calon Guru IPA. Malang: JICA-IMSTEP FMIPA UM.
Schafersman, Steven, D. (1991). An Introduction to Critical Thinking. (Online). Tersedia:
http//www.criticalthinking.org/about.ct/defining.ct.cfm

Dokumen yang terkait

PENGARUH METODE THINKING ALOUD PAIR PROBLEM SOLVING (TAPPS) DAN GENDER TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIKA SISWA

34 139 204

STUDI PERBANDINGAN HASIL BELAJAR DAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DITINJAU DARI PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI

6 77 70

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING PADA MATERI POKOK ASAM-BASA ARRHENIUS DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBAHASA SIMBOLIK DAN PEMODELAN MATEMATIK SISWA SMA

0 26 56

UPAYA PENINGKATAN KETERAMPILAN GERAK DASAR HAND STAND ROLL DENGAN MODEL PEMBELAJARAN PADA SISWA KELAS V SD NEGERI 3 KARANGANYAR PESAWARAN TAHUN PELAJARAN 2011/2012

2 25 37

PENGARUH PERSEPSI SISWA TENTANG KETERAMPILAN GURU DALAM MENGELOLA KELAS DAN PEMANFAATAN MEDIA PEMBELAJARAN TERHADAP HASIL BELAJAR SEJARAH SISWA KELAS XI IPS SEMESTER GANJIL SMA NEGERI 4 BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2011/2012

0 32 102

PENINGKATAN KETERAMPILAN GERAK DASAR MENENDANG BOLA MENGGUNAKAN KURA-KURA KAKI ATAU KAKI BAGIAN PUNGGUNG DENGAN MENGGUNAKAN ALAT BANTU MODIFIKASI PADA SISWA KELAS V SDN 1 PADANGRATU KABUPATEN PESAWARAN TAHUN PELAJARAN 2011/2012

0 30 41

PENINGKATAN BERPIKIR KRITIS SISWA MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN PORTOFOLIO PADA PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

0 15 118

EFEKTIVITAS MODEL LEARNING CYCLE 6E PADA MATERI KOLOID DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGELOMPOKKAN DAN MENGKOMUNIKASIKAN

2 37 45

PENGARUH PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF EXAMPLE NON EXAMPLE TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR RASIONAL SISWA PADA MATERI POKOK PENCEMARAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Eksperimen pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 2 Waway Karya Lampung Timur Tahun Pela

7 98 60

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING PADA MATERI LAJU REAKSI DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIKIR ORISINIL

3 23 53