SASTRA ISLAM DAN RESOLUSI KONFLIK STUDI

1

SASTRA, ISLAM, DAN RESOLUSI KONFLIK: STUDI
HERMENEUTIK TERHADAP PUISI ILA@ T}A@GHA@H AL-‘A@LAM
KARYA ABU AL-QA@SIM AL-SHA@BI@

Hikmatul Luthfi
Dosen STISIP Widyapuri Mandiri Sukabumi
luthfi_smi@yahoo.com

Abstrak
Kesimpulan besar dari penelitian ini adalah bahwa sastra seperti puisi dapat
menjadi media alternatif pengupayaan perdamaian atau resolusi konflik dengan
nilai-nilai perdamaian yang ada di dalamnya. Hal ini terbukti dengan terdapatnya
konsep-konsep perdamaian dalam puisi Abu al-Qasim al-Shabi, baik itu
perdamaian berbasis tuntutan keadilan, kesucian kehidupan, humanisme, dan
keterlibatan melalui tanggung jawab dan pilihan individu.
Sumber yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai sumber primer
penulis menggunakan karya puisi Abu al-Qasim terutama puisi Ila> T{aghat al‘A@lam. Sementara, sebagai sumber sekunder penulis menggunakan buku-buku
teori sastra Islam, teori perdamaian dan konflik, dokumen-dokumen, kajian
tentang sastra, perdamaian dalam Islam. Adapun jenis penelitian ini menggunakan

penelitian kualitatif (library research) dan disajikan dengan deskriptif analitis,
sedangkan metode penelitian yang dipakai unuk membacanya adalah
hermeneutika Dilthey yang dikenal dengan hermeneutika rekonstruktif atau
reproduktif.
Keyword: Puisi, Islam, Perdamaian, dan Resolusi Konflik
I. PENDAHULUAN
A. Diskursus Hermeneutika Sastra, Islam, dan Resolusi Konflik
1. Pengertian Sastra, Perdamaian, dan Hubungannya dengan Islam
Salah satu cabang kesenian yang selalu ada dalam peradaban manusia adalah
sastra. Kelahiran sastra di tengah peradaban manusia dianggap sebagai salah satu
realitas sosial budaya. Sastra selain dinilai sebagai sebuah karya seni yang
memiliki budi, imajinasi dan emosi, juga dianggap sebagai suatu karya kreatif
yang dapat dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual di samping sebagai
konsumsi emosional.1
Keberadaan sastra tidak dapat dianggap remeh, melalui berbagai bentuk
kreatifnya, sastra mampu mendeskripsikan segala sesuatu di luar diri kita secara
koheren dan lengkap, misalnya jiwa, karakter, kehidupan, kebudayaan, dan
peradaban bangsa lain, merupakan sesuatu yang saling kait-mengait dengan
kehidupan yang kita pijaki. Unsur holistik dan universal sastra inilah yang
menjembatani perbedaan, seraya menunjukkan persamaan sifat kemanusiaan yang

fundamental.
Nabi Muhamad SAW bersabda:
1

M. Atar Semi, Metode Penelitian Sastra, (Bandung: Angkasa Bandung, 2012), 1.

2

“Sesungguhnya sebagian bayan2 adalah sihir dan sebagian puisi adalah
hikmah atau kebijaksanaan”.3
Berdasarkan hadits ini dan juga dalam al-Qur‟an,4 „Abdullah al-H}amid
berpendapat bahwa sikap Islam dari awal hingga saat ini hanya satu, tidak ada
konsep na>sikh da mansu>kh dalam hal ini, yaitu secara umum memandang sastra
sebagai suatu karya kemanusiaan yang baik. Yang ditolaknya hanyalah puisi yang
buruk secara Islam. Islam tidak menolak puisi secara keseluruhan.5
Yusuf Qardawi dalam bukunya, Al-Isla>m wa al-Fann, mengatakan bahwa
Islam sangat memberi perhatian besar kepada keindahan, bahkan Islam memberi
perhatian pada bimbingan indra perasaan, karena Dia-lah yang menjadikan
manusia dapat menikmati dan menghayati berbagai keindahan di alam ini.6
Syair atau sastra pada umumnya, atau seni secara lebih umum, memiliki

sasaran dan fungsi. Ia bukan sesuatu yang liar. Sebaliknya, ia adalah karya yang
semestinya sarat kandungan pesan dan komitmen pada kebenaran.7
Jika al-Qur‟a>n dikatakan oleh Yusuf Qardawi dalam bukunya Islam Bicara
Seni, sebagai agama dan ilmu pengetahuan, serta sastra dan seni, dan juga
pemenuh hajat ruhani, pemuas logika, pembangun jiwa, pemberi kenikmatan rasa,
dan pengasah lisan.8 Alangkah indahnya jika sastra kita akui sebagai penyambung
lidah al-Qur‟a>n, yang akan membantu menjabarkan isi dari kalam Tuhan yang
perlu diperhatikan manusia.
Sastra yang dalam ungkapan arab di sebut al-Adab, pada awalnya merupakan
undangan untuk menyantap makanan. Tradisi semacam ini merupakan perbuatan
yang terpuji dan menunjukan moralitas yang tinggi. 9 Sejalan dengan berjalannya
waktu kata adab dipakai sebagai kata yang mencakup pendidikan baik lisan atau
budi pekerti sebagaimana dalam hadis : Addabani> Rabbi> fa Ahsana Ta’di>bi>. Pada
masa umayyah kata adab berarti pengajaran selanjutnya pengertian adab diringkas
menjadi sebuah tulisan yang indah dan mempunyai makna puisi dan syair.10
Dalam mendefinisikan adab (sastra) para Udaba>’ berbeda-beda : ungkapan
puitis tentang pengalaman manusia; ungkapan puitis tentang pengalaman yang
indah dengan menggunakan media bahasa; hasil pemikiran manusia yang
diungkapkan dengan ungkapan yang mengandung seni dan keindahan atau seni


Baya>n adalah mengungkapkan suatu makna lewat berbagai ragam kalimat, tetapi maksud
yang ingin disampaikan jelas.
3
‫إن من البيان سحرا وإن من الشعر حكما‬, Ibn Kathi>r, Tafs>ir al-Qur’a>n al-‘Az{i>m (Semarang: Taha
2

Putra, t.t.), 578-580; dan Ah}mad Badawi, Min Bala>ghat al-Qur’a>n (Kairo: Da>r al-Nahd}ah, 1950),
75.
4
QS. al-Shu‘ara>‟: 224-227.
5
H}amid „Abdullah, al-Shi’r al-Isla>mi> fi S}adr al-Isla>m (Riya>d}: al-Ashha‟ al-Tija>riyyah, 1980);
„Abd al-Rah}man Ra‟fat al-Basha, Nah}w Madhha>b al-Isla>mi> fi al-Adab wa al-Naqd (Kairo: Da>r alAmi>, 1996), 15-25 dan „Abd al-Basit „Abd al-Razza>q Badr, al-Naqd al-Adabi>, 110-11.
Ayat dalam QS. Ya>si>n: 36 tidak mansu>kh oleh QS. al-Shu‘ara‟: 224-227.
6
Yu>suf al-Qard}a>wi>, Islam Bicara Seni (Solo: Era Intermedia, 1998), 51.
7
Yusuf, Qard}awi, Islam Bicara Seni, 45.
8
Yusuf, Qard}awi, Islam Bicara Seni, 42.

9
Syawqi@ Dhayf, Ta>rikh al-Adab al-‘Arabi> : al-‘Ashru al-Ja>hili> (Kairo: Da>r al-Ma‟a>rif, 2001),
7-10.
10
Lajnah, al-Muja>z di al-Adab al-Arabi wa Ta>rikhuhu (Bairu>t: Da>r al-Ma‟a>rif, 1962), 5.

3

ungkapan yang indah.11 Dari berbagai macam definisi ini dapat disimpulkan
bahwa sastra merupakan seni ungkapan yang indah.
Ada beberapa pendapat dalam membagi periode sastra, mayoritas membagi
menjadi 5 periode, di antaranya:
1. al-As}r al-ja>hili>, dimulai 2 abad sebelum islam lahir sampai islam lahir.
2. al-S}adr al-Isla>m, dimulai sejak islam lahir sampai runtuhnya bani umayyah
132 H.
3. al-S}adr al-Abba>si>, sejak berdirinya dinasti abbasiyah samapai runtuhnnya kota
Baghdad tahun 656 H.
4. al-S}adr al-Turki> al-‘Ustma>ni>, sejak runtuhnya Baghdad samapai timbulnya
kebangkitan arab di abad modern.
5. al-S}adr al-H}adi>th (modern), sejak timbulnya nasionalisme bangsa arab.12

Sastra terbagi dua bagian, yaitu puisi dan prosa. Sedangkan puisi di dalam
bahasa Arab biasa disebut shi’ir. Puisi merupakan suatu bentuk seni ekspresi
estetik. Kekuatan puisi bisa mengobarkan semangat juang di masa perang, tetapi
sekaligus dapat menciptakan suasana teduh dalam masyarakat.
Adapun kaitan antara sastra dan perdamaian adalah sastra membantu manusia
saling mengerti. Konflik kerap muncul dari kesalahpahaman atau
ketidakmengertian. Dalam ketidakmengertian itu kadang terdapat situasi di mana
orang dari budaya atau peradaban tertentu merasa orang lain sangat berbeda dan
tidak memiliki persamaan dengan mereka.
Sastra dapat membawa dan menyebarkan perdamaian. Terutama saat sastra
menjadi jendela untuk melihat dan memahami jiwa dan kehidupan manusia yang
berbudaya dan berperadaban lain.13
Sastra dengan berbagai cara kreatif mampu mendeskripsikan kehidupan dan
jiwa manusia dari budaya, negara, atau peradaban lain. Kata menjadi jendela
untuk dapat mengerti manusia atau komunitas di luar diri seseorang. Sastra juga
bisa menunjukkan, dalam diri manusia pada dasarnya terdapat persamaan sifat
kemanusiaan yang fundamental.
karya sastra, terutama karya besar, mempengaruhi sikap orang, terutama
dalam memilih kebenaran dan perdamaian. Mahabharata, misalnya, membuat
orang berpihak pada kebenaran. Karya sastra menjadi tempat orang bercermin dan

kontemplasi. Sastra memperkaya jiwa dan membuat jiwa tergetar. Bumi Manusia
karya Pramoedya Ananta Toer membuat jiwa kita bertanya-tanya dan nurani kita
akan berpikir. Itu membuat kita peka terhadap kebenaran, cinta, dan keadilan.
Teks itu, ketika dipegang pembaca, maka pengarangnya sudah mati. Pengarang
tidak perlu memengaruhi daya tangkap dan tafsir pembaca.
Demikian pula dalam kesusasteraan arab, sastra merupakan refleksi
lingkungan budaya dan merupakan satu teks dialektis antara pengarang dan situasi
sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektik
Judhif al-Hashi>m, al-Mufi>d fi al-Adab al-Arabi> (Bairu>t : Maktabah al-Tija>ri>, tt), 14.
Ah}mad H{asan Zayya>t, Ta>rikh Adab al-Arabi> (Bairu>t : Da>r al-Ma‟rifah, 1996), 8. Lihat pula
Ah}mad al-Iskandari >dan Must}afa „Anna>ni>, al-Wasit} fi al-Adab al-Arabi> wa Ta>ri>khuh (Kairo : Da>r
al-Ma‟rifah, 1916), 10.
13
Hal itu dikemukakan Shashi Tharoor di sela acara Ubud Writers dan Readers Festival.
Shashi adalah penulis India yang lama berkarir di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tahun 2006, dia
menjadi calon dari India untuk posisi Sekretaris Jenderal PBB dan menjadi calon terkuat kedua
dari tujuh calon.
11

12


4

yang dikembangkan dalam karya sastra. Sehubungan dengan ini sering dikatakan
bahwa syair merupakan antologi kehidupan masyarakat Arab (Diwān al-`Arab).
Artinya, semua aspek kehidupan yang berkembang pada masa tertentu tercatat dan
terekam dalam sebuah karya sastra.
Penyair bukanlah satu-satunya komunitas yang amat peduli kepada
pendidikan syair. Secara umum anggota masyarakat juga memiliki kepedulian
yang sama. Untaian kata-kata dalam syair bagi masyarakat Arab bukanlah sematamata bunyi yang disuarakan lisan yang tanpa makna, melainkan sarana yang
ampuh untuk membakar semangat, menarik perhatian, dan meredam emosi yang
bergejolak di tengah kehidupan masyarakat. Bisa dipahami kalau masyarakat
meyakini bahwa para penyair memiliki pengetahuan magis14 yang terekspresikan
dalam syair dan keberadaan syair ini sangat diperhatikan dan dipatuhi
substansinya karena ia merupakan realitas kehidupan kabilah. Nampaknya inilah
alasan yang diyakini masyarakat ketika mereka menempatkan para penyair pada
posisinya yang terhormat. Mereka menjadi simbol kejayaan suatu kabilah dan
penyambung lidah yang mampu melukiskan kebaikan dan kemenangan kabilah
sebagaimana mereka mampu mendeskripsikan kejelekan dan kekalahan perang
yang diderita kabilah lain.

Dalam kajian keislaman, pengetahuan tentang sastra mempunyai posisi yang
strategis, hal itu karena sumber induk (al-Qur‟a>n) menggunakan bahasa sastrawi
yang begitu indah membuat takjub sastrawan di kawasan itu, selain itu
pemahaman terhadap sastra juga merupakan salah satu kunci dalam memahami
wahyu Allah, baik yang matluw (al-Qur‟a>n) maupun ghair al-matluw (Hadi>th).
Untuk memahami tentang sastra tentunya kita harus memahami sejarah serta
perkembangnya sehingga kita tidak ahistoris serta menghasilkan pemahaman yang
objektif.
2.

Transformasi Hermeneutika untuk Perumusan Perdamaian: Yudaisme dan
Islam Sebagai Paradigma
Konsep Alkitabiah tentang Tuhan berperang untuk Israel, lembaga Alkitab
herem, analisis halakhic para Rabi terhadap milhemet hova, milhemet mitsvah, dan
milhemet reshut.15 Disamping itu juga, konsep shalom (damai) dan pikuah nefesh
(pelestarian kehidupan) sebagai nilai-nilai tertinggi, berbagai untaian pasifisme
rabbinic, rereading teks kekerasan, semua ini harus dianggap sebagai bagian dari
warisan yang kompleks Yudaisme tentang perang.
Adapun dalam analisis pendekatan Islam, al-Qur‟an menggunakan istilah
jihad kepada perang adalah hanya pada level pertama. Ada perbedaan antara

status jihad dan religius jihad, seperti halnya pada pengendalian hawa nafsu dan
“menunggu” yang memiliki konsekuensi hukum yang dinyatakan oleh kata-kata
fitnah atau taqiyya. Selain itu, damai dan kekerasan dari versi tradisi Mahdi,
tradisi pasifis dan neopacifist Islam Ahmadi dan Islam sufi, prinsip-prinsip umum
dan etika antarpribadi. Semua hal tersebut perlu diperiksa dengan istilah masing-

14

Ah}mad Ami>n, Fajr al-Isla>m (Kairo : Maktabah Nahd}iyyah, 1975), 55.
Milhemet hova : perang wajib; milhemet mitsvah : perang sebagai pemenuhan suatu hal
positif di depan Tuhan; dan milhemet reshut: perang opsional.
15

5

masing dan dalam konteks yang bervariasi di mana mereka muncul dan kemudian
dibandingkan dengan konsep-konsep dari sistem agama lain.16
Yudaisme dan Islam telah mengembangkan sebuah badan ekstensif literatur
sekunder menghadapi pertanyaan seputar perang dan pencegahannya, juga
promosi dan regulasinya. Di samping itu, dibahas pula isu-isu yang lebih besar

dari keadilan sosial yang memiliki dampak langsung pada konflik. Refleksi
hukum dan agama ada dalam setiap tradisi, praktek resolusi konflik, dan promosi
nilai-nilai etika yang berhubungan dengan coexistence, peacemaking, dan bahkan
pacifism. Seseorang menekankan nilai-nilai moral yang cenderung menyesalkan
konflik dan kekerasan, sementara yang lainnya aktif berusaha untuk melatih orang
melalui disiplin moral dalam rangka pencegahan konflik dan ketegangan.
Kecenderungan lainnya adalah mengenai tema suka perang dalam teks kuno.
Kecenderungan itu dikerjakan kembali kemudian oleh otoritasnya, namun
demikian pembacaan ulang juga mempunyai beberapa implikasi terhadap
subyektivitas kita yaitu implikasi yang kadang-kadang jelas bersih dan kadangkadang rancu.
Tentang Tuhan dan Perang dalam Alkitab, yaitu, Tuhan Israel digambarkan
sebagai "orang perang" dalam pertempuran besar melawan Firaun dan tentaranya
di Laut Merah. "Tuhan adalah orang perang, Tuhan Namanya ."17 "Tuhan adalah
orang perang, Tuhan adalah nama-Nya." "Tuhan adalah seorang pria perang ".bahwa Dia berjuang untuk Mesir" Tuhan adalah nama-Nya "- bahwa Dia memiliki
belas kasih pada makhluk-Nya, seperti yang menyatakan, "Tuhan, Tuhan, Tuhan,
penyayang dan baik ."18
Yang luar biasa di sini adalah para Rabi melakukan penafsiran ulang
gambaran yang kejam dalam Alkitabiah tentang Tuhan sebagai pahlawan perang.
Penekanan pada paruh kedua dari ayat ini, berfungsi untuk membatasi gambar
kekerasan. Tuhan menghukum keras siapa yang bersalah sekaligus mendengar
doa-doa dari semua makhluk, melayani kebutuhan mereka dan memiliki belas
kasihan kepada mereka. Belas kasihan Tuhan bersifat universal-bukan hanya
untuk orang Yahudi-bahkan saat ia menghukum Mesir. Jadi, dikotomi perilaku
ilahi yang ingin ditekankan oleh para Rabi dalam hal ini adalah tidak antara
Yahudi dan kafir, tetapi antara orang benar dan orang fasik.19
Menurut analisis konflik, perang tidak terjadi dalam kekosongan tanpa rantai
kausal yang mengarah ke sana. Lagipula, perang tidak terpisahkan dari interaksi
manusia lainnya. Perang yang pertama kemungkinan sesuatu yang jauh yang
kemudian menjadi kenyataan, dan lalu menghilang atau tumbuh, atu juga
dilancarkan tapi kemudian tiba-tiba berhenti karena sejumlah faktor sosial
ekonomi yang kompleks, psikodinamik, dan faktor politik. Dengan kata lain,
apakah perang terjadi, bagaimana hasil, bagaimana, dan mengapa itu berakhir
adalah fenomena manusia yang cukup kompleks yang tidak dapat dipisahkan dari
berbagai pilihan manusia dan perilaku yang mengarah ke sana atau yang
berinteraksi dengannya dengan cara yang kompleks. Tak terhitung faktor-faktor
16

Marc Gopin, Between Eden and Armageddon: The Future of World Religions, Violence
and Peacemaking (New York: Oxford University Press, 2000), 75.
17
(Exod. 15:3).
18
(Exod. 34: 6).
19
Marc Gopin, Between Eden and Armageddon: The Future of World Religions, Violence
and Peacemaking (New York: Oxford University Press, 2000), 76-78.

6

yang berkontribusi membawa orang ke keadaan perang, seperti politik, ekonomi,
psikologis.
Hal ini jelas bahwa dalam analisis konflik, perang sering ada di sepanjang
kontinum. Dari persahabatan tertanam hilangnya komunikasi untuk damai, terjadi
perselisihan paham yang serius, kemudian ke skala kecil terisolasi konflik, konflik
skala besar terisolasi berubah menjadi konflik kronis, terisolasi pertumpahan
darah, pertumpahan darah besar yang terorganisir, dan bahkan genosida.
Terlalu sedikit perhatian yang diberikan, bagaimana cara untuk menghindari
konflik yang berubah menjadi perang, nilai-nilai agama mana yang dapat
mencegah konflik dan pertumpahan darah, atau apa yang harus dilakukan ketika
perang atau tindakan kekerasan telah selesai dalam kaitannya dengan
perkabungan, kesembuhan, dan perdamaian/ rekonsiliasi. Hukum moral serta
nilai-nilai sebagai tahap penting dari hubungan manusia. Sumber para Rabi diisi
dengan saran-saran tentang hal ini, tetapi interpretasi mereka yang entah
bagaimana terputus di literatur sekunder dari diskusi perang. Ini adalah
penyimpangan-meskipun mungkin tidak sadar-dari panorama kompleks Yudaisme
rabinik.20
Yahudi berpikir bahwa hermeneutika baru penting bagi masa depan dan
merupakan analisis baru yang muncul dalam dunia kontemporer tentang sifat
konflik, pencegahan, dan resolusi, khususnya karena wawasan ini diterapkan
untuk kelompok etnis dan ekspresi budaya mereka yang unik. Kegiatan di masingmasing kebudayaan sering melibatkan ekspresi ritual yang unik, suatu konstelasi
unik dari nilai-nilai yang bekerja sama untuk mengurangi ketegangan,
memfasilitasi komunikasi, dan akhirnya mendamaikan pihak. Di beberapa tradisi,
seni ini adalah sangat berkembang, sedangkan di yang lainnya berkembang baik,
sangat tertanam dan tidak diartikulasikan pada saat ini.
Faktanya adalah bahwa semua tradisi monoteistik yang tiga, memiliki sistem
ekstensif etika antarpribadi. Sumber-sumber dalam Yudaisme, misalnya, yang
membahas masalah perang, sebenarnya hanya menempati segelintir halaman dari
Mishnah, Talmud, dan kemudian koleksi halachic. Di sisi lain ada ribuan sumber
para Rabi tentang berbagai nilai-nilai etis, yang secara khusus dirancang untuk
mencegah perselisihan ekonomi, kesalahpahaman, tidak hormat, tidak
berperasaan, konflik, kebencian, balas dendam, kekerasan, dan pertumpahan
darah.
Yang lebih penting untuk tujuan kita daripada perdamaian sebagai nilai
metafisik setidaknya tiga puluh delapan referensi ke mitsvah dari perdamaian
(redifat shalom) sebagai praktik, yang memiliki strategi pragmatis untuk
mencegah atau menyelesaikan konflik. Sebagai contoh, Bab Perdamaian dari
Talmud Babilonia, memiliki berbagai wawasan etis yang mencakup teknik
resolusi konflik, diplomasi, empati, dan gerakan unilateral untuk membangkitkan
respon dalam pihak lain untuk literatur konflik.21
Alat penting lain dari resolusi konflik adalah membangun kepercayaan.
Mungkin ini sangat baik, jauh dalam respon tradisional dan kebudayaan Yahudi
20

Lihat Marc Gopin, Between Eden and Armageddon: The Future of World Religions,
Violence and Peacemaking (New York: Oxford University Press, 2000); abu Nimer, Nonviolence
and Peace Building in Islam: Theory and Practice (Gainesville: University Press of Florida, 2003).
21
Lihat Marc Gopin, Between Eden and Armageddon: The Future of World Religions,
Violence and Peacemaking (New York: Oxford University Press, 2000).

7

ke seluruh dunia adalah persepsi atau intuisi bahwa tindakan adalah satu-satunya
hal yang bisa dipercaya dan oleh karena itu adalah satu-satunya alat nyata dari
perdamaian.
Metodologi penyelidikan perdamaian dan konflik yang diusulkan di sini juga
bisa menjadi jembatan untuk budaya Islam dan Arab, yang juga sangat nilai etis
gerakan simbolis dari satu orang atau kelompok ke kelompok lain, terutama
melibatkan gerakan kehormatan dan kemurahan hati dan nilai-nilai moral.
Resolusi konflik gaya Barat tentu memiliki lebih dari satu sumber, termasuk
hukum tradisi perdebatan dan negosiasi, yang juga memiliki akar Eropa awal.
Kasus ini telah dibuat, bagaimanapun, bahwa ada banyak gaya konflik resolusi di
seluruh dunia dan bahwa kita hanya mulai mengungkap sumber-sumber adatnya.
Tantangan utama untuk perdamaian dalam semua tradisi monoteistik adalah
kecenderungan mereka untuk membatasi nilai-nilai etika prososial kepada anggota
agama, atau ingroup. Hal ini memang benar tapi hanya sampai titik tertentu dan
tentu tidak universal. Penyelidikan lebih perlu dilakukan pada bagaimana pihak
luar dilihat dari aspek teologis dan historis, baik dalam prinsip maupun praktek.
Abad Pertengahan teori-teori etika Islam mensyaratkan sistem yang sangat
maju yaitu moral perilaku interpersonal. Banyak ekspresi awal dari etika ini
secara langsung berakar pada apa ayng disebut sebagai moralitas Alkitabiah,
moralitas langsung berasal dari pembacaan dekat kitab suci, yaitu Al-Qur'an .
Komponen kunci di sini adalah konsep kebaikan (khair) dan kebenaran (birr).
Terkait dengan ini, dan sangat penting untuk tradisi Islam adalah nilai-nilai aliqsat (ekuitas), al-'adl (keadilan), dan al-haqq (kebenaran dan kanan). Konsepkonsep ini secara alami memiliki kesamaan dalam tradisi- radisi agama lain,
meskipun masing-masing memiliki tradisi unik aplikasi etis dan hermeneutik dari
nilai-nilai ini.
Sebagai contoh, Luzzatto membuat (Ganesis 18:19), keadilan dan kebenaran
tentang, mandat klasik dari Judaism. Nilai-nilai ini memberikan sebuah jembatan
yang menarik etika interpersonal antara Islam dan Yudaisme, bahkan dengan
asumsi sejarah yang berbeda penafsiran. Namun, jika analisis Islam adalah
terbatas pada teks-teks tentang perang, kita tidak pernah melihat berbagai macam
pendekatan tradisional untuk masalah interaksi manusia.22
Yahya ibn 'Adi (w. 974) mengembangkan seperangkat nilai-nilai budaya,
yang berasal dari tradisinya, yang mencakup martabat, pengampunan, keramahan,
belas kasih, kesetiaan, menjaga kepercayaan, kerendahan hati, kemurnian niat,
keluhuran budi kemurahan hati. Termasuk juga yang mencakup kejahatan seperti
keserakahan, kekejaman, dan penghianatan.
Dalam kajian mutakhir tentang perdamaian dan nirkekerasan dalam Islam
terdapat beberapa sarjana yang focus dalam kerangka kajiannya terhadap
perdamaian, teori-teori nirkekerasan, atau pendekatan pembaharuan Islam atas
kitab suci dan tradisi.23
Pandangan mereka persisnya dinyatakan dalam hipotesis berikut: “kini tidak
ada alas an teologis apapun bahwa masyarakat Islam tidak dapat memainkan
22

Lihat Marc Gopin, Between Eden and Armageddon: The Future of World Religions,
Violence and Peacemaking (New York: Oxford University Press, 2000); abu Nimer, Nonviolence
and Peace Building in Islam: Theory and Practice (Gainesville: University Press of Florida, 2003).
23
Para penulis dan khatib Muslim yang bertujuan memasukan orang ke dalam agama Islam
atau yang hanya berbicara atas dasar pernyataan kepercayaan dikesampingkan dari kategori ini.

8

peran sebagai pelopor dalam pengembangan nirkekerasan, dan terdapat setiap
alasan bahwa beberapa di antara mereka memang harus memimpin
pengembangan nirkekerasan”.24
Kelompok ini tidak terlalu menekankan landasan teologis perang-adil atau
penggunaan kekerasan dan lebih menyerukan perumusan pendekatan nirkekerasan
dalam Islam. Sebagai contoh, Saiyidain mengatakan: “ Ada keadaan-keadaan di
mana Islam mempertimbangkan kemungkinan perang – contohnya untuk
mencegah malapetaka seperti pengingkaran atas kebebasan nurani manusia- tapi
hal paling esensial dalam hidup adalah kedamaian. Semua usaha manusia harus
benar-benar ditujukan ke arah perwujudan kedamaian‟‟.25
Dalam menganjurkan paradigm nirkekerasan Islam, para sarjana bersandar
pada beberapa justifikasi berikut:
1) Konteks historis wahyu al-Quran sudah berubah dan penggunaan kekerasan
sebagai sarana untuk merukunkan perbedaan seharusnya berubah juga. Karena
itu, menyebarkan keyakinan tak lagi diperbolehkan secara teologis. Cara
apapun yang digunakan kaum Muslim untuk membentuk, mendirikan, atau
menyebarkan keyakinannya 1400 tahun yang lalu tak lagi bias diterapkan atau
cocok dengan kenyataan sekarang. Jika budaya dan tradisi Muslim ingin
kembali Berjaya maka kaum Muslim (pemimpin dan mayarakatnya) harus
menggunakan pendekatan-pendekatan nirkekerasan dalam merukunkan
perbedaan, internal maupun eksternal.
2) Perubahan besar-besaran dalam status komunitas Muslim di dalam system
global dan komunitas lokal menghilangkan keampuhan dan ketahanan caracara penggunaan kekerasan. Alasannya, banyak komunitas Muslim yang
hidup sebagai minoritas di seluruh dunia, ada perbedaan tajam terkait keadaan
ekonomi, social, dan politik mereka dibanding enam atau tujuh abad lalu,
ketika mereka merupakan kekuatan mayoritas atau dominan di dalam dan di
luar wilayah mereka.
3) Kesalingtergantungan global – secara sosial, ekonomi, dan politik- membuat
penggunaan kekerasan tak bisa dilakukan, terutama dalam bentuk senjata
pemusnah missal, untuk menyelesaikan pertikaian.
4) Kenyataan global baru, yang mencakup system persenjataan yang maju dan
bentuk peperangan yang kian merusak, mengharuskan kaum Muslim – bahkan
semua orang- untuk meninggalkan cara-cara kekerasan karena tak ada lagi
batasan pasti tentang muatan perang tersebut.
5) Sebagai bagian kecil dari kehidupan nabi Muhammad dan kitab suci,
kekerasan mestinya tak lebih penting bagi kaum Muslim sekarang disbanding
dulu. Hadits dan tradisi keislaman merupakan sumber yang kaya untuk nilainilai bina damai dan jika diterapkan dalam kehidupan sehari-hari Muslim, ia
hanya akan mengarah pada nirkekerasan dan perdamaian.26
Kajian-kajian rintisan yang mengesankan oleh Abdul Aziz Sachedina (2000)
menjelaskan penggunaan argument di atas untuk menegaskan perlunya paradigm
24

J. Patout, War and its Discontents: Pacifism and Quietism in the Abrahamic Tradition
(Washington, D.C.: Georgetown University Press, 1996), 165.
25
Khwaga Ghulam, Islam, the Religion of Peace (New Delhi: Islam and Modern Age of
Society, 1994), 175.
26
Muhamad Abu Nimer, Nirkekerasan dan Bina-Damai dalam Islam Teori dan Praktik, terj.
Rizal Pangabean dan Ihsan Ali Fauzi ( Jakarta: Pustaka Alvabet, 2010), 47.

9

Islam pluralis yang baru dalam menghadapi yang lain. Terkait realitas korupsi
dan manipulasi agama, dalam mewujudkan tujuan perubahan politik di Negaranegara Muslim, Sachedina menyerukan untuk “menemukan kembali keprihatinan
moral umum Islam pada kedamaian dan keadilan”.27
Jenis wacana hermeneutika yang baru ini, berdasarkan pluralism,
nirkekerasan, dan perdamaian, lebih dibutuhkan untuk mebina hubungan antaragama. Sachedina menegaskan bahwa “Teologi Islam abad-21 harus
berkomunikasi melampaui bahasa tradisi tertentu”.28 Ini adalah seruan ke arah
penemuan pendekatan dan narasi teologis baru, berdasarkan pluralisme, bukan
ekslusivitas. Pendekatan tersebut didasarkan pada dua kondisi: pertimbangan
sejarah, serta interaksi antara tradisi dan sumber normative dengan realitas social
dan politik kaum Muslim. Hanya dengan itulah penafsiran Islam bisa berguna
dalam menghadapi masa depan, dan juga bermanfaat untuk memahami masa kini
dan masa lalu.29
II. Biografi Abu> al-Qa>sim al-Sha>bi@
1. Sejarah Kehidupan dan Karya-karyanya
Abu> al-Qa>sim al-Sha>bi @dijuluki penyair hijau adalah seorang penyair
kontemporer Tunisia lahir pada hari Rabu dua puluh empat Februari, 1909,
bertepatan dengan bulan Safar 1327 H di kota Tozeur yang terletak disebelah
barat Tunisia.30 Ayahnya bernama Muh}ammad al-Qa>sim al-Sha>bi@.
Pada tahun 1328 H/1910 M, ayahnya ditunjuk menjadi hakim di Siliana
kemudian di Gafsa pada tahun berikutnya dan kemudian di Qabis tahun 1332
H/1914 M, kemudian di pegunungan Thala tahun 1335 H/1917 M, di Majaz alBab tahun 1337 H/1918 M, kemudian di ra‟s al-Jabal Tahun 1343 H/1924 M, dan
kemudian ia pindah ke kota Zaghouan 1345 H/1927 M.
Abu> al-Qa>sim al-Sha>bi lulus dari Universitas Zaitunah pada tahun 1928 M.
Lalu ia melanjutkan kuliahnya ke Fakultas Hukum setelah dinasihati oleh
Ayahnya. Ayahnya meninggal pada tahun 1929 pada usia 50 Tahun.
Abu> al-Qa>sim al-Sha>bi masuk ke salah satu rumah sakit di ibukota Tunisia
pada hari ketiga bulan Oktober enam hari sebelum ia meninggal dan catatan
rumah sakit menunjukkan bahwa Abu al-Qasim al-Sabi menderita penyakit
jantung.
Abu> al-Qa>sim al-Sha>bi meninggal di rumah sakit pada tanggal sembilan
Oktober, 1934 pagi pukul empat pagi pada hari Senin hari pertama bulan Rajab
1353 H.
Menurutnya puisi adalah gambaran kehidupan dengan bentuknya yang
berbeda-beda, baginya puisi merupakan sesuatu yang lahir dari jiwa. Dan di antara

Abd al-Aziz Sachedina, “The Justification for Violence in Islam.” Dalam War and Its
Discontents: Pacifism and Quietism in the Abrahamic traditions, ed. J. Patout Burns (Washington,
D.C.: Georgetown University Press, 2000), 6.
28
Abd al-Aziz Sachedina, “The Justification for Violence in Islam.” Dalam War and Its
Discontents: Pacifism and Quietism in the Abrahamic traditions, ed. J. Patout Burn, 43.
29
Abd al-Aziz Sachedina, “The Justification for Violence in Islam.” Dalam War and Its
Discontents: Pacifism and Quietism in the Abrahamic traditions, ed. J. Patout Burns, 47.
30
Ala Dawud Muhammad Naji, “Syi‟r abi al-Qasim fi Dhaw‟i Nazariyyat al-Talaqqi,”
(Yordania: Risalah al-Majistir fi Jami‟ah al-Syarq al-Awsat, 2012), 10.
27

10

tujuan puisi-puisinya yang paling penting adalah al-Ritsa, al-Ghazal, al-Tabi‟ah,
dan puisi tanah air.
Dalam karya-karyanya beliau mendapatkan pengaruh dari berbagai sekolahsekolah atau aliran-aliran sastra seperti terpengaruh oleh sastra arab klasik, sastra
asing dan madrasah diwan, dan terpengaruh oleh para penyair mahjar (imigran).
Beliau termasuk tokoh yang beraliran pembaharu dalam sastra arab (manhaj
tajdidi). Sebagian kritikus sastra berpendapat bahwa al-Syabi untuk Tunisia
seperti al-Mutanabbi untuk Irak, al-Ma‟ari untuk Suriah, Jibran untuk Libanon,
dan Sauqi untuk Mesir. Sebagian yang lain berpendapat bahwa al-Sabi adalah
seorang penyair yang sempurna, yang mencintai keindahan, mencintai kehidupan,
mencintai tanah air, mencintai alam, cintanya istimewa, penyair dan jiwanya
istimewa pula.31
Karya-karyanya banyak sekali terutama yang berbentuk puisi, seperti diwan
again al-hayah yang berisi beberapa puisi seperti nashi>d al-jabba>r, saimt al-h}aya>h
wa ma> fi al-h}aya>h, ala> Inna ah}la>m al-shaba>b d}oi> lah, last abki@ li@ as flail ta’wi@l, dan
al-Khaya>l al-Sha’ri ‘ind al-‘Arab, dan lain sebagainya. Di samping itu, banyak
karya puisinya yang dinyanyikan seperti: sebagian dari qasi@dah ira>dah al-h}aya>h
dalam lagu tanah air Tunisia, ira>dah al-h}aya>h yang dinyanyikan para penyanyi
arab, ila thaghat al-alam yang dinyanyikan oleh Latifah, Uskuni ya> jarra>h yang
dinyanyikan oleh Aminah Fakht, dan ‘adbah ant yang dinyanyikan oleh
Muhammad Abduh.
2.

Deskripsi Puisi Ila> T{aghat al-„A@lam dan Pengaruhnya terhadap Kehidupan
Sosial

‫إلى طغاة العالم‬
‫ عــدو احليــاه‬،‫أالّ أيّهـ ــا الظ ــامل املس ــتبد حــبيب الظــالم‬
ٍ ‫ـعب ضعي‬
ٍ ‫ـخرت بأنـّـات ش‬
‫ـف وكـ ُّـفك خمضوب ـةٌ مــن دمــاه‬
َ ‫سـ‬
ِ
ِ
‫ـوك األسـى فـي ُرب ْـاه‬
َ ‫ـذر شـ‬
َ ‫وسـ‬
ْ ‫ـرت تُشـ ِّـوه سـ‬
ُ ‫ـحَر الوجـود وتبـ‬
‫ـاح‬
ْ ‫ وضـوءُ الصب‬،‫بيع وصح ُـو الفضـاء‬
ُ ‫ُرَوي ـ َـدك! ال خيــدعْنك ال ـر‬
ِ
ِ ‫ففـي األفُ ِـق الرح‬
‫ـاح‬
ُ ‫ـب ى‬
ُ ‫ وعص‬،‫ـف الرعـود‬
ُ ‫ـول الظـالم وقص‬
ْ ‫ـف الري‬
ِ
ِ
‫اح‬
ْ ‫ـب ومـن يبـذ ِر الشـوك جيـ ِن اجلـر‬
ُ ‫حــذار! فتحــت الرمــاد اللهي‬
‫ـور األم ْـل‬
َ ‫ أنـّـى ح‬..‫تــأمل! ىنــالك‬
َ ‫ وزىـ‬،‫رؤوس الـ َـوَرى‬
َ ‫ـصدت‬
ِ
ِ
‫ حــىت مثِـ ْـل‬،‫ـدمع‬
َ ‫ـب ال ـرتاب وأ ْش ـربتَو الـ‬
َ ‫ورويـَّـت بــالدم قلـ‬
ِ
‫ـاصف املشــتعِ ْل‬
َ ُ‫ســيجرف‬
ُ ‫ـيل الدمـاء وي ــأكلُك الع ـ‬
ُ ‫ س‬،‫ـيل‬
ُ ‫ك السـ‬
31

Ibrahim Naji, Inna Nabhats An Al-Sair Al-Kamil Kama Nabhats An Al-Mukjizah, 212.

11

„Kepada Tirani Dunia‟
“Hey kamu, tirani culas/Kamu pecinta kegelapan dan musuh kehidupan”
“Luka orang tak bersalah kamu tertawakan/Darah mereka kamu genggam”
“Lalu kamu berjalan pamerkan pesona/Tumbuhkan bibit derita di tanah
mereka”
“Tunggu, jangan biarkan musim semi, langit cerah dan fajar pagi
mengelabuimu”
“Karena kegelapan, gelegar guntur, dan hembusan angin menghampirimu dari
cakrawala”
“Waspadalah ada bara api di balik debu Siapa tumbuhkan duri akan menuai
luka”
“Kamu telah mencopot kepala orang dan bunga-bunga harapan”
“Dan menuangkan luka di pasir dengan darah dan air mata hinga kepayang”
“Sungai darah akan menyapu kamu dan kamu akan dipanggang api
bergelombang.”
Gemar bersyair-ria sejak jaman batu orang Arab merasa tak lengkap bila tak
mengiringi jerit revolusi 2011 dengan sebuah puisi. Puisi patriotik karya penyair
Tunisia bernama Abu> al-Qa>sim al-Sha>bi yang berjudul Ila> T{aghat al-‘A@lam..
Sebuah puisi bertenaga layaknya karya-karya penyair legendaris Indonesia Chairil
Anwar dan WS Rendra. Puisi Ila> T{aghat al-‘A@lam. (Kepada Tirani Dunia)
dikumandangkan di jalan-jalan oleh demonstran bersama kobaran api Revolusi
Arab 2011 di Tunisia dan Mesir. Berisi sindiran kepada penguasa lalim dan
ancaman untuk menenggelamkan mereka.
Puisi karya Abu> al-Qa>sim al-Sha>bi juga diabadikan oleh bangsa Palestina
menyertai perjuangan panjang melawan pendudukan Israel. Diselipkan dalam
sebuah video clip produksi tahun 2002 guna mengenang bocah 6 tahun
bernama Eman Hijjo yang tewas di tangan serdadu Israel. Berisi lantunan suara
merdu artis Latifa dari Tunisia yang ditujukan kepada PM Israel Ariel Sharon dan
Presiden Amerika George Bush.
II. PEMBAHASAN
A. Etika Agama dalam Puisi Ila> T{aghat al-‘A@lam karya Abu> al-Qa>sim alSha>bi
1. Keadilan

‫حــبيب الظــالم عــدو احليــاه‬

#

‫أالّ أيّهـ ــا الظ ــامل املس ــتبد‬

Penyebab konflik tidak hanya karena motif agama, namun dapat terjadi
karena ketidakadilan dan penghilangan hak ekonomi. Pihak ketiga harus memiliki
pengetahuan yang luas mengenai keadaan yang dibutuhkan dalam menyelesaikan
konflik.32 Dengan mengkaji bait puisi di atas maka kita akan mengetahui bahwa
konflik yang terjadi banyak disebabkan karena ketidakadilan.
Bait puisi di atas berarti: “Ingatlah Hai kamu, tirani culas/Kamu pecinta
kegelapan dan musuh kehidupan.”

32

Lihat Marc Gopin, Between Eden and Armageddon: The Future of World Religions,
Violence and Peacemaking (New York: Oxford University Press, 2000), 13-34.

12

Walaupun puisi itu lahir berpuluh-puluh tahun yang lalu namun sejatinya
pesannya universal tak lekang oleh waktu. Bahwa keadilan baik itu keadilan
sosial, ekonomi dan lain sebagainya dijunjung tinggi dan didambakan oleh setiap
orang tanpa memandang ras, suku, golongan dan agama.
Keadilan sosial adalah salah satu dari sekian nilai yang mengaitkan Islam
dengan kedamian. Seruan utama agama Islam adalah untuk mewujudkan realitas
sosial yang adil. Karena itu, tindakan atau pernyataan Muslikm apa pun harus
dinilai dari kontribusi potensialnya terhadap pencapaian tujuan tersebut.dalam
islam, bertindak karena Tuhan sama dengan mengupayakan keadilan. Islam
menyerukan hal tersebut kepada yang kuat maupun yang lemah. Adalah
kewajiban Muslim utnuk mengupayakan keadilan dan melawan penindasan di
tingkat interpersonal maupun struktural.
Dalam Islam keadilan ilahiyah diabadikan dalam wahyu dan kebijaksanaan
Tuhan disampaikan oleh Nabi Muhammad. Keadilan yang bersumber dari
kebijaksanaan Tuhan bisa diterapkan sepanjang masa dan untuk seluruh manusia.
Tetapi peraturan public, hokum, dan pendapat sarjana yang diperoleh lewat
penalaran manusia (ijtihad) meniscayakan penyesuaian dan perbaikan seiring
dengan perubahan yang terus terjadi di dunia.33
Kaum Muslim karena itu mempertahankan keyakinan utama bahwa suatu
ukuran keadilan yang lebih tinggi harus ditetapkan, terdiri dari seperangkat nilai,
norma, dan kebaikan yang harus diwijudkan di dunia. Keyakinan ini mendorong
para sarjana untuk mancari ukuran dan ungkapan keadilan bagi kehidupan
manusia.
Dalam menegaskan kedudukan penting keadilan dalam tradisi Islam, Khadduri
menyatakan, “Dalam al-Quran ada lebih dari 200 teguran terhadap ketidakadilan
yang diungkapkan dalam kata-kata seperti Zulm, ithm, dhalal, dan lainnya, serta
tak kurang dari hampir 100 ungkapan yang memuat gagasan keadilan, baik secara
langsung dalam kata-kata seperti „adl, qist, mizan, dan lain-lain”. Selain
keberadaan Tuhan yang esa, tak ada prinsip moral keagamaan yang lebih
ditekankan dalam al-Quran dan Sunnah selain prinsip keadilan, kejujuran,
kesetaraan, dan kesederhanaan.34
Al-Quran berulang kali mengingatkan kaum Muslim akan nilai keadilan, yang
digambarkan bukan semata sebagai suatu pilihan melainkan sebagai suatu
perintah Tuhan.35 Keadilan merupakan suatu nilai absolut, bukan relatif, suatu
kewajiban yang harus diupayakan kepada sesame orang-orang yang beriman dan
kepada musuh.
Tradisi keislaman menyerukan perlawanan terhadap ketidakadilan melalui
aktivisme, campur-tangan pihak ketiga, dan campur-tangan Tuhan. Perintah untuk
berjuang demi kedamaian lewat keadilan ditujukan secara sama kepada para
penguasa maupun warganegara dan merupakan kewajiban alamiah bagi seluruh
manusia.
Prinsip keadilan ini secara alami memiliki kesamaan dalam tradisi-tradisi
agama lain, meskipun masing-masing memiliki tradisi unik aplikasi etis dan

33

Majid Khadduri, The Islamic Conception of Justice (New York: Jhon Hopkins University
Press, 1984), 3.
34
Majid Khadduri, The Islamic Conception of Justice, 10.
35
QS. 4:58; 5:8; 16:90; 42:15; dan 57: 25.

13

hermeneutic dari nilai ini. Sebagai contoh, Luzatto membuat keadilan dan
kebenaran tentang mandat klasik Judaisme.
2. Kesucian Kehidupan

‫وكـ ُّـفك خمضوب ـةٌ مــن دمــاه‬

#

ٍ ‫ـعب ضعي‬
ٍ ‫ـخرت بأنـّـات ش‬
‫ـف‬
َ ‫سـ‬

Nilai sentral lain di dalam agama, sering menjadi sumber kontroversi, juga
bisa menjadi sumber rekonsiliasi atau komitmen bersama. Kesucian hidup adalah
nilai inti masyarakat religius. Nilai ini telah ditafsirkan oleh banyak budaya dan
dapat menjadi dasar untuk resolusi konflik antar agama.
Kesucian kehidupan merupakan salah-satu nilai agama yang ada di dunia
untuk teori resolusi konflik. Seorang mediator, peacemaker, akan lebih mudah
mengadakan mediasi, negosiasi setelah mengetahui dan mempelajari nilai agama
dan budaya masyarakat setempat. Di samping itu, nilai ini dapat digunakan dalam
bina-damai atau peacebuilding dalam rangka menjembatani perdamaian dan
resolusi konflik.
Pendekatan bina-damai mengandaikan bahwa hidup manusia berharga dan
harus dilindungi, dan bahwa sumber daya harus digunakan untuk memelihara
hidup dan mencegah kekerasan. Al-Quran dengan jelas menegaskan kesakralan
hidup manusia.36
Islam juga melarang perusakan atau penghamburan sumber daya yang
dimaksudkan untuk melayani hidup manusia. Bahkan ketika kaum Muslim
melancarkan konflik bersenjata di masa awal, para penguasa memerintahkan
mereka untuk menghindari perusakan membabi-buta.
Di bawah tekanan dari pengikutnya untuk berperang, Khalifah Ali
mengucapkan kata-kata berikut: “jika aku memerintahkanmu untuk berbaris kea
rah mereka (musuh) di hari-hari hangat, kamu berkata, „inilah api musim panas.
Berikan kami waktu sampai panasnya usai.‟ Jika aku memintamu berbaris menuju
mereka di musim dingin, kamu berkata, „inilah sengatan cuaca dingin. Berikan
kami waktu sampai dinginnya usai.‟ Kamu melarikan diri dari panas dan dingin,
tapi, demi Tuhan, kamu lebih melarikan diri dari pedang”.37
Prakarsa bina-damai dalam Islam meningkatkan perlindungan terhadap hak
dan kemuliaan manusia serta memajukan kesetaraan di antara semua manusia,
terlepas dari pertalian ras, etnis, atau agama mereka.

3. Universalitas dan Kemuliaan Manusia

‫ـوك األسـى فـي ُرب ْـاه‬
َ ‫ـذر شـ‬
ُ ‫وتبـ‬

ِ ‫وســرت تُشـ ِّـوه ِســحر الوج‬
# ‫ـود‬
َ
َْ

“Lalu kamu berjalan pamerkan pesona/Tumbuhkan bibit derita di tanah
mereka”

36

QS. 5:32; 44:38;
Khalid Kishtainy, “Violence and Nonviolent Struggle in Arab History.” Dalam Arab
Nonviolent Political Struggle in the Middle East, ed. Ralph Crow, Philip Grant, dan Saad Ibrahim,
(Boulder: Lynne Rienner, 1990), 12.
37

14

Universalitas kemanusiaan adalah ajaran pokok dalam islam, yang ditegaskan
berkali-kali dalam al-Quran dan Hadits serta disampaikan lewat keyakinan pada
kesamaan asal dan hak serta solidaritas seluruh manusia.
Ikut campur dalam rangka atau bertindak melindungi kemuliaan dan
kehormatan asasi seseorang, sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang berhak atas
penghormatan dan perlindungan, dianggap sebagai perbuatan mulia. Dalam
kaitannya dengan kemuliaan manusia, Islam menyuruh melindungi musuh-musuh,
sama seperti anak-anak dan orang-orang usia lanjut. Tuhan memberkati manusia
dengan kemuliaan tersebut, sebagai pijakan bagi semua hubungan manusia.
Karena itu, ketika membicarakan konflik berdasarkan nilai-nilai Islam,
mengagungkan dan menjaga kemuliaan pihak-pihak yang terlibat menjadi
dorongan penting dalam menyelesaikan pertikaian.
Gagasan dasar dalam al-Quran bahwa orang-orang merupakan satu himpunan.
Ia mencerminkan universalitas dan inklusivitas Islam dalam berurusan dengan
semua umat manusia. Mengingat keberagaman budaya dan kepercayaan di dunia,
al-Quran menyebutkan bahwa perbedaan manusia juga ditujukan sebagai
kehendak Tuhan agar kamu saling mengenal satu sama lain.38 Karena itu kaum
Muslim selalu berucap: Tuhan adalah pencipta seluruh manusia.
4. Keterlibatan Melalui Tanggung Jawab dan Pilihan Individu

‫ـاح‬
ْ ‫ وضـوءُ الصب‬,‫وصح ُـو الفضـاء‬
ِ
‫ـاح‬
ُ ‫ وعص‬,‫ـف الرعـود‬
ُ ‫وقص‬
ْ ‫ـف الري‬
‫اح‬
ْ ‫ومـن يبـذ ِر الشـوك جيـ ِن اجلـر‬
‫ـور األم ْـل‬
َ ‫ وزىـ‬,‫رؤوس الـ َـوَرى‬
َ

#
#
#
#

‫بيع‬
ُ ‫ُرَوي ـ َـدك! ال خيــدعْنك ال ـر‬
ِ ‫ففـي األفُ ِـق الرح‬
‫ـول الظـالم‬
ُ ‫ـب ى‬
ِ ‫حــذا ِر! فتحــت الرمـ‬
‫ـب‬
‫ي‬
‫الله‬
‫ـاد‬
ُ
‫ـصدت‬
َ ‫ أنـّـى ح‬..‫تــأمل! ىنــالك‬

Pilihan moral dan ajakan moral merupakan prinsip Islam penting yang
menekankan tanggung jawab atas perbuatan diri sendiri. Bahkan Nabi sendiri
tidak bertanggung jawab atas keputusan orang lain. Jika orang lain tidak
menerima pesan Tuhan, itu adalah pilihan mereka, tanggung jawab mereka. Allah
adalah satu-satunya pengadil pilihan manusia.39
Makna pilihan individu dan panggilan pada keterlibatan meluas hingga ke
system politik, di mana pemimpin mengharapkan para pengikutnya untuk
mengambil tanggung jawab penuh dalam memerangi ketidakadilan.
Ajakan, persuasi, adalah strategi utama al-Quran, menunjukan pentingnya
kedudukan istimewa akal dan nalar dalam Islam. Hal itu juga tercermin dalam
banyak ayat yang memberikan bantahan kepada mereka yang menentang Nabi,
juga sangkalan sistematis terhadap argument mereka dengan bukti dan keterangan
rasio.40

38

QS. 49:13.
Tanggung jawab individu, pilihan dan pengadilan Tuhan di hari Pembalasan juga tercermin
dalam ayat 18:29, 34:28, 88:21-22, dan 109:6.
40
Lihat Fahmi Howeidy, al-Islam wa al-Demugratiah (Islam and Democracy) (Kairo: Cairo
Center for Translation and Publication, 1993).
39

15

Karena perbuatan dan tanggung jawab individu begitu penting dalam Islam,
keikutsertaan dalam kehidupan masyarakat menjadi saluran yang penting kentara
untuk perbuatan yang bermakna. Karena itu, kaum Muslim didorong untuk
meningkatkan kehidupan bermasyarakat mereka, untuk mendukung satu sama
lain, dan untuik memerangi kemiskinan. Tujuan tersebut dapat dicapai hanya
dengan tindakan, melaksanakan atau melalaikan ukuran yang dengannya Tuhan
mengadili manusia. Bina-damai dan resolusi konflik dalam Islam karena itu
berdasar pada kerangka keyakinan agama yang kuat terkait tanggung jawab
individu atas tindakannya dan keterlibatan aktif mereka dalam konteks sosial yang
lebih luas.
III. Simpulan
Sastra seperti puisi dapat menjadi media alternatif pengupayaan perdamaian
atau resolusi konflik dengan nilai-nilai perdamaian yang ada di dalamnya. Nilainilai tersebut dapat digali di antaranya dengan penggunaan teori hermeneutik.
Transformasi hermeneutika untuk perumusan perdamaian menjadi penting
dilakukan seperti menggunakan agama-agama samawi sebagai paradigma. Hal
tersebut berguna untuk pembangunan perdamaian atau juga resolusi konflik
khususnya konflik dengan berlatar belakang agama.
Adapun nilai-nilai atau konsep-konsep perdamaian yang ada dalam puisi Abu>
al-Qa>sim al-Sha>bi khususnya puisi Ila Tagat al ’Alam yang dapat dijadikan
pengupayaan perdamaian adalah perdamaian berbasis tuntutan keadilan, kesucian
kehidupan, universalitas dan kemuliaan manusia dan keterlibatan melalui
tanggung jawab dan pilihan individu. Konsep-konsep tersebut merupakan konsep
perdamaian positif, yaitu perdamaian jangka panjang.

16

DAFTAR PUSTAKA

Arnold, Matthew. Beginning Theory: An Introduction to Literary and Cultural
Theory. New York: Manchester University Press, 2002.
Abdullah, Amin. Falsafah kalam di Era Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1995.
Badawi>, Ah}mad. Min Bala>ghat al-Qur’a>n. Kairo: Dar al-Nahdah, 1950.
Badawi>, M. Must}afa>. A Short History of Modern Arabic Literature. Oxford:
Clarendon Press, 1993.
al-Badri>, Muh}ammad „Abd al-Mu‟t}i>. Jari>dat al-Lughat al-‘Ara>biyyah. Kairo: alMaktabah al-Mis}riyyah, t.t.
Burrowes, Robert J. The Strategy of Nonviolent Defense: a Gandhian Approach.
Albany: State University of New York Press, 1996.
Darwi>sh, Mah}mu>d. Ka Zahr al-Lawzi aw Ab‘ad. Bairu>t: Riya>d} al-Rayyis li alKutub wa al-Nashr, 2005.
___________. La> Ta’tadhiru> ‘Amma> Fa’alt. Bairu>t: Riya>d} al-Rayyis li al-Kutub
wa al-Nashr, 2004.
___________. al-’A‘ma>l al-Jadi>dah. Bairu>t: Riya>d} al-Rayyis li al-Kutub wa alNashr, 2004.
___________. Lima>dza Tarakta al-His}a>na wahi>dan. Bairu>t: Riya>d} al-Rayyis li alKutub wa al-Nashr, 2004.
D}ayf, Shawqi>. al-Adab wa al-Nus}u>s}. Kairo: Nahd}ah al-Mis}riyyah, 1977.
Djamhari. Agama dalam Perspektif Sosiologi. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti,
1988.
Engineer, Asghar. “Source of Nonviolence in Islam,” Nonviolence: Contemporary
Issues and Challenges. ed. Mahendra Kumar. New Delhi: Gandhi Peace
Foundation, 1994.
Fisher, Ronald. Interactive Conflict Resolution. Syracuse: Syracuse University
Press, 1997.
Gopin, Marc. Between Eden and Armageddon: The Future of World Religions,
Violence and Peacemaking. New York: Oxford University Press, 2000.
H}usayn, T}aha>. Fi al-Adab al-Ja>hili>. Kairo: Da>r al-Ma‘a>rif, 1969.
Ibn Fa>ris, Abu al-H}usayn Ah}mad. al-Sa>hibi> Fi Fiqh al-Lughat al-‘Arabiyyah, Ed :
Sayyid Ah}mad Shaqr. Mesir: Maktabah „Isa al-Ba>bi al-H}alabi>, t.t.
Ibn Muh}ammad al-Fais}al, „Abd al-„Aziz. al-Adab al-‘Arabi> wa Ta>ri>khuh. Riya>d}:
Wiza>rat al-Ta‘li>m al-„A>li> Ja>mi„ah al-Ima>m Muh}ammad Ibn Su„u>d alIsla>miyyah, 1982.
Ibn Muh}ammad al-Sakaki>, Abu> Ya‟qu>b Yu>suf. Mifta>h} al-„Ulu>m. Bairu>t : Da>r alKutub al-„Ilmiyyah, 1983.
Kathi>r, Ibn. Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az}i>m. Semarang: Taha Putra, t.t.
Khaldu>n, Ibn. Muqaddimah. Bairu>t: Da>r al-Ihya‟ at-Tura>th al-Arabi>, t.t.
Khan, Abdul Ghaffa>r. My Life and Struggle. Delhi: Hind Pocket Books, 1969.

17

Lakey, George. The Sociological Mechanisms of Non-violent Action. Oakville:
Peace Research Institute, 1968.
Lexy J, Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda Karya, 2000.
Mans}ur, Sa‟i>d Husayn. al-Tajdi>d fi al-Shi„ri Khali>l Mut}ra>n. Kairo: al-Hai‟ah alMis}riyyah al-„Ammah, 1977.
Merton, Thomas. Ghandi on Nonviolence. New York: New Directions, 1965.
Muzakki, Ahmad. Kesusastraan Arab. Jogjakarta, Arruz Media, 2006.
Nardin, Terry, Ed. The Ethics of War and Peace: Religious and Secular
Perspective. Princeton: Princeton University Press, 1996.
Nazir, Muhamad. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003.
Nimer, Abu. Nonviolence and Peace Building in Islam: Theory and Practice.
Gainesville: University Press of Florida, 2003.
Parker, Dewitt H. The Principles of Aesthetics. New York: Appleton Century
Crofts Inc, 1964.
Randle, Michael. Challenge to Nonviolence. Bradford: University of Bradford,
2002.
Read, Herbert. The Meaning of Art. New York: Praeger, 1972.
Roberts, Keith A. Religion in Sociological Perspective. Homewood Illionis: The
Dorsey Press, 1984.
al-S}ahifi>, Isma„il. Khali>l Mut}ra>n. Bairu>t: Mansyu>ra>t Da>r al-Adab, 1979.
Semi, M. Atar. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya, 1988.
________. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa, 1993.
Sharp, Gene. The Politics of Nonviolent Action: Power and struggle. Boston: P.
Sargent, 1973.
Saiyidain, Khwaga Ghulam. Islam, the Religion of Peace. New Delhi: Islam and
Modern Age of Society, 1976.
Al-Fāhid, Abd. Iqbal: His Art and Though. London: Murray, 1959.
Wahid, Abdurrahman dan Daisaku, Ikeda. Dialog Peradaban untuk Toleransi dan
Perdamaian. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011.
Wellek, Rene dan Warren, Austin. Theory of Literature. London: Penguin Books,
1973.
al-Zayya>t, Ah}mad H}asan. Ta>ri>kh al-Adab al-Arabi>. Kairo: Dar Al-Nah}d}ah, t.t.