KA MARKER DALAM BAHASA JEPANG

PEMARKAH KA DALAM BAHASA JEPANG DAN PADANANNYA
DALAM BAHASA INDONESIA

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh:
Komara Mulya
NPM. 180130140009

Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Padjadjaran
Bandung
2015

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penelitian
1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1

Kegunaan Teoretis

1.4.2

Kegunaan Praktis

1.5 Kerangka Teori
1.6 Metode Penelitian
1.6.1

Metode Penjaringan Data

1.6.2

Metode Analsis Data

1.6.3


Metode Penyajian Analisis

1.7 Sumber Data Penelitian

BAB II KERANGKA TEORI
2.1 Penelitian Terdahulu
2.2 Tataran Sintaksis
2.2.1 Kelas Kata
2.2.1.1 Pengertian dan Fungsi Partikel
2.2.1.2 Jenis Partikel dalam Bahasa Jepang
2.2.2 Kata
2.2.3 Klausa

2.2.4 Kalimat
2.2.5 Struktur kalimat dalam Bahasa Jepang
2.3 Fungsi Sintaksis
2.4 Peran Semantis
2.5 Tataran Sematik
2.5.1 Pengertian Makna
2.5.2 Jenis Makna

2.5.3 Faktor yang Mengakibatkan Perubahan Makna
2.5.4 Relasi Makna
2.5.5 Fokus Makna
2.6 Pengungkap Kala, Aspek, dan Modus dalam Bahasa Jepang
2.6.1 Kala dalam Bahasa Jepang
2.6.2 Aspek dalam Bahasa Jepang
2.6.3 Modalitas dalam Bahasa Jepang
2.7 Perilaku Sintaksis Pemarkah Ka
2.7.1 Pemarkah Ka yang Berposisi di Akhir kalimat
2.7.1.1 V-ikoukei + dewanai/janai + KA
2.7.1.2 V-kamus + mono/mon + KA
2.7.1.3 koto + KA
2.7.1.4 dewanai/janai + KA
2.7.1.5 darou + KA

2.7.1.6 V-te + kudasaimasu/kudasaimasen/itadakemasu/itadakemasen + KA
2.7.1.7 ~nai + mono + KA
2.7.1.8 no dewanai + KA
2.7.1.9 ~sasete itadakemasen + KA
2.7.1.10 V-te mimasen + KA

2.7.2 Pemarkah Ka yang Berposisi di Tengah Kalimat
2.7.2.1 ~KA to omou to/to omottara
2.7.2.2 V + KA + V-nai+ KA + uchi ni
2.7.2.3 KA + no you na ~/KA + no you ni ~/ ~KA + no you da
2.7.2.4 dokoro + KA
2.7.2.5 bakari + KA
2.7.2.6 ~no sei + KA/~no tame + KA
2.7.2.7 ~ga hayai + KA
2.7.2.8 ~KA+to ieba/~KA+to iu to/~KA+to miru to/~KA+to mireba/~KA+
to(omou)mamonaku/~KA+to sureba
2.7.2.9 Frase + KA + Frase + KA/Frase + KA + Kt. Tanya + KA
2.7.2.10

V-nai + KA + to omou

2.7.2.11

Shiyou + KA + Surumai + KA

2.7.2.12


Klausa/Frase + KA, Klausa/Frase

BAB III ANALISIS DATA: PEMARKAH KA DALAM BAHASA JEPANG DAN
PADANANNYA DALAM BAHASA INDONESIA
3.1 Analisis Semantis Pemarkah Ka
3.1.1 Pemarkah Ka yang Berposisi di Akhir Kalimat
3.1.1.1 V-keinginan+ dewanai/janai + KA
3.1.1.2 V-kamus + mono/mon + KA
3.1.1.3 koto + KA
3.1.1.4 dewanai/janai + KA
3.1.1.5 darou + KA
3.1.1.6 V-te + kudasaimasu/kudasaimasen/itadakemasu/itadakemasen + KA
3.1.1.7 ~nai + mono + KA
3.1.1.8 no dewanai + KA
3.1.1.9 ~sasete itadakemasen + KA
3.1.1.10 V-te mimasen + KA
3.1.1.11 no KA

3.1.2 Pemarkah KA yang Berposisi di Tengah Kalimat

3.1.2.1 ~KA to omou to/to omottara
3.1.2.2 V + KA + V-nai+ KA + uchi ni
3.1.2.3 KA + no you na ~/KA + no you ni ~/ ~KA + no you da
3.1.2.4 dokoro + KA

3.1.2.5 bakari + KA
3.1.2.6 ~no sei + KA/~no tame + KA
3.1.2.8 ~ga hayai + KA
2.7.2.13

~KA+to ieba/~KA+to iu to/~KA+to miru to/~KA+to mireba/~KA+

to(omou)mamonaku/~KA+to sureba
2.7.2.14

Frase + KA + Frase + KA/Frase + KA + Kt. Tanya + KA

2.7.2.15

V-nai + KA + to omou


2.7.2.16

Shiyou + KA + Surumai + KA

2.7.2.17

Klausa/Frase + KA, Klausa/Frase

2.7.2.18

ToKA + ToKA

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan
4.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR SUMBER DATA
LAMPIRAN DATA
BIODATA


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Setiap bahasa memiliki karakteristik masing-masing yang berbeda sehingga hal tersebut
menjadikan suatu bahasa menjadi unik. Keunikan ini, di satu sisi menjadi daya tarik tersendiri,
tapi di sisi lain keunikan ini menjadikan permasalahan tersendiri karena keunikan tersebut
menjadi hal pembeda dengan bahasa ibu yang dimiliki seseorang. Akan tetapi, permasalahan
perbedaan dalam bahasa ini dapat kita pecahkan, bila kita dapat memahami bagaimana sistem
suatu bahasa, yang salah satunya adalah sistem gramatika. Salah satu subsistem yang ada dalam
sistem gramatika adalah subsistem sintaksis. Subsistem sintaksis membahas dan mengatur
tentang kata yang kemudian akan menjadi satuan-satuan yang lebih besar lagi, yaitu mulai dari
frase, klausa, kalimat, dan akhirnya menjadi suatu satuan yang paling besar yaitu wacana.
Dengan memahami satuan-satuan di atas, kita dimungkinkan akan memahami makna sebuah
kalimat dari suatu bahasa.
Berbicara tentang keunikan, bahasa Jepang pun memiliki salah satu keunikan, yaitu dalam
kepemilikan joshi atau partikel yang tak terdapat dalam bahasa lain, khususnya bahasa Indonesia.
Oleh karena itu, pemunculan joshi dalam bahasa Jepang menjadi kendala tersendiri dalam
menguasai bahasa Jepang. Bisa dikatakan bahwa bila tidak menguasai tentang joshi ini, maka

akan menimbulkan kesalahpahaman dalam memahami makna dan maksud suatu kalimat bahasa
Jepang, misalnya dalam penggunaan partikel wacana wa dan ga dalam bahasa Jepang. Wa
merupakan partikel penanda topik, sehingga dengan partikel ini, informasi penting yang ingin

disampaikan oleh pembicara berada setelah partikel wa. Sementara itu, bila menggunakan
partikel ga, informasi yang digunakan berada di depan ga-nya. Bagi pemelajar bahasa Jepang,
hal ini menjadi kendala tersendiri. Dengan kondisi ini, pembicaraan dan pembahasan tentang
joshi masih sering menjadi topik penting bagi pemelajar, para peneliti, dan peminat linguistik
bahasa Jepang.
Hirai (1982:161 dalam Sudjianto 2004:181) mendefinisikan joshi sebagai kelas kata yang
termasuk fuzokugo (kata yang tidak bisa berdiri sendiri) yang dipakai setelah suatu kata yang
menunjukkan hubungan antar kata tersebut dengan kata lain, sehingga menambah kata tersebut
lebih jelas lagi. Di dalam bahasa Jepang, joshi ini memiliki banyak jenisnya, diantaranya:
shuujoshi (partikel akhir kalimat), fukujoshi (partikel tengah kalimat), setsuzokujoshi (partikel
sambung), heiritsujoshi (partikel untuk menderetkan kata) dan sebagainya.

Melihat begitu

beragamnya jenis joshi/partikel ini, maka bahasa Jepang menempatkan joshi sebagai salah satu
kelas kata yang penting. Hal ini pun tak terlepas dari kedudukan sintaksis dan semantis dari joshi

ini yang sangat bervariatif.
Salah satu joshi yang cukup memiliki keberagaman dalam penggunaan, baik secara sintaksis
maupun secara semantis adalah joshi ka. Sebenarnya ka merupakan salah satu joshi yang
dipelajari di awal-awal pembelajaran bahasa Jepang bagi pembelajar pemula (bahasa Jepang
sangat dasar) sebagai pemarkah tanya. Kemudian, joshi ka muncul dengan makin bervariasi dari
segi struktur dan maknanya. Penelitian tentang joshi ka memang telah dilakukan oleh beberapa
peneliti, tetapi masih menyisakan banyak hal yang masih tidak tersentuh oleh peneliti
sebelumnya. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Takiura (2007) yang membahasa tentang
fungsi makna dan fungsi komunikasi partikel akhir kalimat yaitu Ka, Yo, dan Ne. Di sini Takiura
membahas tentang perbandingan dari ketiga partikel tersebut dilihat dari sisi kesantunannya,

sedangkan secara kategori gramatikalnya tidak begitu banyak yang dibahas. Bahkan beberapa
buku referensi pun banyak yang membahas tentang joshi ka ini, tetapi hanya berfokus hanya
kepada penggunaan dan maknanya saja, sedangkan secara struktural atau perilaku sintaksis dan
perilaku semantisnya tidak begitu dimuncul.
Beberapa contoh sederhana tentang pemakaian joshi ka seperti terlihat di bawah ini.
1) シャルマさんは留学生ですか。(SFJI:9)
Sharuma san

wa


ryuugakusei

desu

ka.

Sharma sdr.

Part. topik

mhs asing

cop.

Part. Ka

‘Apakah Saudara Sharma mahasiswa asing?’
2) シャルマさんの先生はどなたですか。(SFJI:13)
Sharuma san no

sensei

Sharma sdr. Part. No guru

wa

donata

desu

ka.

cop.

Part. Ka

Part. topik siapa

‘Siapakah gurunya Saudara Sharma?’
3) 明日は新幹線で行きますか。(Joshi:14)
Ashita wa

shinkansen

besok

kereta shinkansen datif pergi

Part.topik

de

ikimasu

ka.
Part.Ka

‘Apakah besok akan pergi dengan naik kereta Shinkansen?’

Dalam kalimat 1) dan 2) di atas, joshi ka muncul dalam kalimat berpredikat kata benda,
sehingga ka dilekatkan dengan kopula desu. dalam kalimat 1) dan 2), maka kita akan memahami
bahwa fungsi joshi ka adalah sebagai pemarkah tanya. Pada nomor 1), ka berfungsi sebagai
pemarkah tanya untuk kata ryuugakusei ‘mahasiswa asing’ dan merupakan kalimat tanya yang
berfungsi untuk mengkonfirmasi sebuah pengetahuan yang dimiliki oleh pembicara. Sementara
itu, pada nomor 2), ka muncul bersama dengan kata tanya donata ‘siapa’ (bentuk hormat dari

dare). Kalimat 2) merupakan kalimat tanya untuk menanyakan suatu hal. Selain itu, joshi ka pun
dapat dilekatkan bukan hanya dengan kata benda, tapi dapat dilekatkan dengan kalimat yang
berpredikat kata kerja seperti nomor 3), sehingga tidak diperlukan lagi kopula desu di akhir
kalimatnya. Dalam kalimat 3) pun, pembicara melakukan pertanyaan untuk mengkonfirmasi
kepada mitra bicaranya tentang cara kepergiannya. Hal mendasar ini penting untuk diketahui
karena akan menentukan variasi bentuk lainnya, misalnya dalam bentuk negatifnya. Dalam
kalimat berpredikat kata benda, maka bentuk negatifnya menjadi ~dewanai/~janai, sedangkan
bila berpredikat kata kerja akan menjadi ~masen/`~nai.
Dalam percakapan sehari-hari terkadang joshi ka dapat dilesapkan diganti dengan
pemakaian intonasi akhir yang menaik. Akan tetapi, tidak semua joshi ka dapat dilesapkan dan
diganti dengan intonasi, walaupun intonasi tersebut seperti bertanya. Pelesapan joshi ka akan
menjadikan suatu kalimat menjadi aneh dan akan menimbulkan pergeseran makna. Jelasnya,
kemunculan joshi ka ini sangat mutlak diperlukan dalam sebuah kalimat tertentu dan akan sangat
berpengaruh pada perbedaan makna sebuah kalimat.
Seperti telah dinyatakan di muka bahwa joshi ka memiliki beragam fungsinya, baik
secara sintaksis maupun semantis. Misalnya seperti contoh berikut.
4) その問題を考えるなら、この本を読んでみませんか。(Joshi:14)
sono mondai
itu

o

kangaeru

nara, kono hon

masalah Part.objek memikirkan kalau, ini

mimasen

ka.

tidak mencoba

Part.Ka

o

yonde

buku Part.objek membaca

‘Kalau memikirkan masalah ini, bagaimana kalau mencoba membaca buku ini!’
5) 窓をあけてくださいませんか。(Joshi:14)

mado o

akete

kudasaimasen

jendela Part.objek membuka tidak meminta

ka.
Part.Ka

‘Maukah membukakan jendela!’

Dalam kalimat 4) dan 5), joshi ka muncul bersama verba negatif, berbentuk pertanyaan
negatif. Pada kalimat 4) joshi ka tidak lagi menunjukkan fungsi sebagai pemarkah tanya, tapi
berganti menjadi kalimat imperatif yang menunjukkan saran kepada orang lain untuk melakukan
sesuatu. Sementara itu, pada kalimat 5) joshi ka muncul bersama dengan kalimat perintah yang
ditandai dengan bentuk kudasai sebagai pemarkah perintah (imperatif) dalam bahasa Jepang,
kemudian dirubah dalam bentuk negatif. Dalam bentuk seperti ini, joshi ka dapat menunjukkan
makna permintaan yang tidak langsung. Dari kalimat 4) dan 5) ini, dapat ditarik sebuah simpulan
bahwa pemarkah ka dapat menunjukkan perilaku sintaksis dan semantik lain. Bandingkan pula
dengan kalimat berikut ini.
6) いい点を取りたいならもっと勉強したらいいじゃないですか。(NJIC:212)
Ii
ten o
toritai
nara motto benkyou shitara
bagus nilai Part. objek ingin dapat kalau banyak belajar
kalau
ii
janai
desu ka.
baik bukan
cop.
Part.Ka
‘Kalau ingin dapat nilai bagus, bukankah lebih baik banyak belajar!’
7) 息子から半年も連絡がない。一体何をしていることか。2 級:95
Musuko
kara hantoshi
mo
renraku ga
nai.
Anak lelaki dari setengah tahun sampai kontak
Part
tidak ada
Ittai
nani
o
shite iru
koto
ka.
Gerangan apa
Part.objek sedang melakukan nom. Semu Part.Ka
‘Tidak ada kontak dari anak lelaki saya sampai setengah tahun. Gerangan apa yang
sedang dia lakukan?’
Dalam kalimat 6), bila melihat terjemahan di atas tentu kita akan merasakan bahwa
kalimat tersebut merupakan kalimat untuk memberi saran kepada mitra bicara. Akan tetapi, bila

kita telusuri kalimat di atas, bukan tidak mungkin pembicara pun memiliki maksud lainnya, yaitu
bagaimana fungsi kemunculan akhiran negatif ~janai desu yang ditambahkan pemarkah ka.
Kalimat ini pun dapat menunjukkan sikap menegaskan dari pembicara, sedangkan dalam kalimat
7), merupakan kalimat retorik, yaitu pembicara seolah sedang berbicara kepada dirinya sendiri,
sehingga tidak perlu ada jawaban verbal dari mitra bicaranya atau mungkin menunjukkan sikap
marah atau bingung dari pembicara.
Dari beberapa contoh kalimat di atas, kita perlu menelaah kembali tentang kalimat tanya
yang sepertinya hanya menunjukkan sebuah pertanyaan untuk sekedar mengkonfirmasi atau
kalimat yang menggunakan kata tanya seperti siapa, apa, dan bagaimana atau bahkan hanya
berupa kalimat dengan intonasi tanya. Di sini sepertinya masih tersisa adanya kesamaran tentang
kalimat tanya dalam bahasa Jepang.
Di dalam referensi buku-buku sintaksis bahasa Indonesia pun, batasan mengenai kalimat
tanya hanyalah mencakup kepada fungsi sebagai hal yang menanyakan sesuatu dengan pola
intonasi bernada akhir naik dan penggunaan kata tanya sebagai penanda kalimat tanya seperti
apa, apakah, mengapa, siapa, dll (Ramlan, 1981:33-45). Sementara itu, Chaer (2008:46)
mendefinisikan kalimat tanya sebagai kalimat yang berisi pertanyaan, yang perlu diberi jawaban.
Dalam bukunya, Chaer pun banyak memberikan keterangan tentang penggunaan kata-kata tanya
dalam kalimat tanya, tetapi hanya sedikit memberikan keterangan bahwa kalimat tanya atau
interogatif dapat digunakan untuk keperluan lainnya, seperti: menegaskan, menyuruh, mengejek,
serta menawarkan barang dagangan.
Dalam contoh-contoh kalimat bahasa Jepang di atas, khususnya yang menggunakan
pemarkah ka, selain sebagai pemarkah tanya, bukan tidak mungkin memiliki fungsi atau

keperluan yang lebih banyak lagi. Untuk itu, perlu penelaahan yang lebih dalam tentang
pemarkah ka, sehingga dapat dipahami arah maknanya.
Bahasa Jepang merupakan bahasa yang memiliki perubahan secara gramatikal dalam
pembentukan kata, sedangkan bahasa Indonesia lebih bersifat leksikal dalam pembentukan
katanya. Salah satunya dalam pembentukan kala atau keaspekan dalam bahasa Jepang
mengalami perubahan bentuk kata kerja secara gramatikal, yaitu dari kata kerja bentuk kamus
yang berakhiran ~u menjadi ~ta dalam kala lampau dan menjadi ~te iru sebagai penanda
keaspekan ‘sedang’. Bentuk ~ta dan ~te iru pun masih dapat berubah ke dalam bentuk negatif
menjadi ~nakatta dan ~te inai atau ~te inakatta dalam bentuk negatif lampau. Pemahaman
terhadap perubahan bentuk gramatikal ini sangat penting untuk dipahami karena selain secara
makna berbeda, juga akan berpengaruh kepada pembentukan jenis kalimat, sehingga apakah
sebuah kalimat dapat berterima atau tidak, termasuk juga ketika dilekatkan dengan joshi ka.
Misalnya seperti contoh berikut ini.
8) たぶん、雨 が まだ 降っていないか。(?)
tabun,
ame ga
mada futte
inai ka.
mungkin, hujan Part.nom masih turun tidak Part.Ka
‘Bukankah mungkin hujan masih turun?’
9) 雨、降ってませんか。天気予報では午後から雨だったんですけど。
ame, futtemasen ka.
tenkiyohou
dewa gogo kara ame dattan desu kedo.
hujan, tidak turun Part.Ka. ramalan cuaca menurut siang dari hujan kala lampau
‘Bukankah sedang turun hujan? Menurut ramalan cuaca akan hujan dari siang’.
10) たぶん、雨がまだ降っているんじゃないか。
tabun,
ame ga
mada
futte iru
n janai
ka
mungkin, hujan Part.nom masih
sedang turun bukan
Part.Ka
‘Bukankah mungkin hujan masih turun?’
Kalimat no 8) dianggap sebagai kalimat yang tidak berterima setelah dilekatkan dengan
joshi ka, meskipun pada awalnya kalimat tersebut berterima, baik secara gramatikal maupun
maknanya. Akan tetapi, setelah membentuk kalimat tanya negatif-ingkar dengan dilekatkan joshi

ka menjadi tak berterima. Bandingkan dengan kalimat 9), meskipun memiliki bentuk yang sama
(~te inai ka sama dengan ~te masen ka) kalimat 9) dianggap berterima. Kedua kalimat tersebut
sama-sama mempertanyakan tentang sebuah kondisi yang belum diketahui dengan jelas oleh
pembicara. Akan tetapi, pada kalimat 8) hanya memprediksi saja, sedangkan kalimat 9)
memprediksi setelah adanya pengetahuan terlebih dahulu. Kalimat 8) dapat dibandingkan dengan
kalimat 10) yang dianggap lebih berterima dengan menggunakan frase ~n janai ka. Sementara
itu, dalam kalimat yang berpredikat kata seperti pada contoh kalimat 11) dan 12) di bawah ini
dapat berterima.
11) たぶん、明日は雨じゃないか。
tabun,
ashita wa
ame janai ka
mungkin, besok Part.topik hujan tidak Part.Ka
‘Bukankah mungkin besok akan hujan?’
12) たぶん、明日は雨なんじゃないか。
tabun,
ashita wa
ame nan
janai ka
mungkin, besok Part.topik hujan nom.semu tidak Part.Ka
‘Bukankah mungkin besok akan hujan?’
Dalam kalimat 11) kata ame ‘hujan’ dapat langsung dilekatkan dengan bentuk negatif
untuk kata benda, yaitu nom + janai atau dewanai, sehingga berubah ke dalam bentuk kalimat
tanya negatif-ingkar menjadi ~janai ka. Hal ini serupa dengan kalimat 8) yang mana bentuk
keaspekan positif ~te iru dapat langsung berubah ke dalam bentuk negatif menjadi ~te inai/~te
imasen dan bila dirubah ke dalam bentuk kalimat tanya negatif-ingkar menjadi ~te inai ka atau
~te imasen ka. Akan tetapi, pemakaiannya tidak serta merta dapat diterima seperti halnya dalam
bentuk negatif berpredikat kata benda. Sementara itu, kalimat 12) memiliki pola yang sama
dengan kalimat 10), yaitu dengan melekatkan ~n atau ~nan di depan bentuk negatifnya.
Permasalahan penggunaan joshi ka tidak hanya berhenti pada masalah struktur saja, tetapi
permasalahan dalam tataran makna pun menjadi kendala tersendiri. Bahasa Jepang merupakan

salah satu bahasa yang memiliki tingkat kerumitan makna yang cukup tinggi dalam penggunaan
kata atau pola kalimat. Artinya, dalam satu ungkapan dapat ditunjukkan oleh banyak kata atau
pola kalimatnya, termasuk juga dalam penggunaan kata atau pola kalimat yang menggunakan
joshi ka. Beberapa contoh pembentukan pola kalimat yang menggunakan joshi ka, yang memiliki
makna serupa, diantaranya: ~darou ka, ~no dewanai ka, ~ka mo shirenai, ~janai ka/~nan janai
ka, serta ~ka to omou. Pola kalimat ini memiliki fungsi makna yang serupa yaitu dapat
menunjukkan ketidakpastian/ketidakjelasan informasi dari pembicara. Hal ini menimbulkan
banyak pertanyaan, yaitu: bagaimana derajat kepastian/kejelasan informasi dari pola kalimat di
atas, apakah bisa saling dipertukarkan, apakah terdapat penanda-penanda kalimat lainnya yang
dapat memunculkan tingkat keberterimaan dan derajat kemungkinannya.
Secara struktur, pemunculan joshi ka tidak hanya berada di akhir suatu kalimat, tapi juga
dapat disisipkan di tengah kalimat. Kemunculan joshi ka di tengah kalimat sangat bervariatif
seperti halnya joshi ka yang berposisi di akhir kalimat. Bahkan tak jarang menimbulkan
pertanyaan apa fungsi dan makna kemunculan joshi ka di sana.

Berikut beberapa contoh

penggunaan joshi ka yang berposisi di tengah kalimat.

13) 飛行機は飛び上がるか上がらないうちに、見えなくなりました。(Joshi:15)
hikouki wa
pesawat

tobiagaru

Part. topik terbang

ka

agaranai

uchi ni, mienakunarimashita.

Part.Ka tidak terbang selagi, menjadi tidak terlihat

‘Begitu pesawat lepas landas langsung hilang’.
14) 空が暗くなったかと思ったら、大粒の雨が降ってきた。(Noken2:50)
sora

ga

langit

Part.subjek menjadi gelap

ootsubu

kurakunatta

no

ame

ka

ga

to

omottara,

Part.Ka bahwa

ketika berpikir,

futte kita.

butiran besar

Part.no

hujan

Part.subjek

turun

‘Begitu langit menjadi gelap langsung hujan besar turun’.

Dalam kalimat 13) dan 14), ka muncul di tengah kalimat. Dalam kalimat 13), ka muncul
diapit oleh dua kata kerja yang sama dalam bentuk positif dan negatif. Joshi ka seperti dalam
kalimat seperti ini, muncul bersama kata tugas ~uchi ni yang menunjukkan fungsi keaspekan
dalam bahasa Jepang. Akan tetapi, kedudukan dan fungsi ka cukup sulit untuk dipahamai
maknanya. Bila dilihat dari kalimat di atas dan diterjemahkan secara harfiah, maka akan muncul
penerjemahan yang sulit dipahami, yaitu
13)` ‘Selagi pesawat apakah terbang atau tidak terbang, menjadi tidak terlihat/hilang’.
Apakah dalam kalimat ini terdapat sikap pembicara yang masih ragu apakah pesawatnya sudah
terbang atau tidak, perlu penelaahan lebih dalam.
Demikian pula dengan kalimat 14), fungsi dan makna joshi ka-nya sulit untuk dipahami.
Bila diterjemahkan secara harfiah, yaitu.
14)`‘Ketika saya berpikir apakah langit sudah menjadi gelap, hujan besar turun’.
Dalam kalimat ini, terasa pembicara masih mengira-ngira kondisi di luar/langit. Hal ini pun perlu
telaah lebih lanjut tentang sikap pembicara di atas.
Sementara itu, Chaer (2009:214) mengatakan bahwa yang disebut fokus makna adalah
upaya untuk penonjolan, penegasan, pementingan, penekanan, atau pengkonsentrasian pada
salah satu unsur atau bagian kalimat yang salah satunya dapat diupayakan dengan bantuan
sebuah partikel. Dengan demikian, apakah kedudukan pemarkah atau joshi ka ini dapat
difungsikan untuk menunjukkan fokus makna kalimat, sehubungan dengan pemunculan contoh

kalimat pada nomor 13) dan 14) di muka atau ada peran dan makna lain yang terkandung di
dalamnya. Menurut Hirai seperti yang dinyatakan di muka bahwa dengan pemunculan joshi,
maka sebuah kata akan lebih jelas artinya, sedangkan bagaimana kedudukan joshi seperti pada
kalimat 13) dan 14) di atas.
Melihat pemakaian ka seperti pada contoh kalimat di muka, maka dapat ditarik simpulan
sementara bahwa pemakaian joshi ka dalam sebuah kalimat cukup bervariatif. Oleh karena itu,
perlu dilakukan analisis berdasarkan distribusinya. Distribusi dapat diartikan sebagai sifat
segmen atau konstituen di dalam struktur kalimat, yang dalam hal ini adalah joshi ka dan
bagaimana konstituen yang melekat dengan joshi ka itu sendiri.
Istilah distribusi pertama kali dicetuskan oleh Leobard Bloomfield. Istilah ini dapat
dipakai dalam dua arti, yaitu: (1) distribusi diartikan sebagai sifat segmen atau konstituen di
dalam struktur tertentu. Masing-masing segmen dapat dianalisis menurut distribusinya dalam
sebuah kalimat atau dalam segmen yang lebih pendek, misalnya mana subjeknya dari predikat
yang mana, dan seterusnya. Analisis seperti ini adalah analisis menurut distribusi structural, (2)
distribusi dalam artian sitemis, yaitu

menyangkut mungkin tidaknya salah satu konstituen

struktur diganti oleh unsur lain. Bila dua unsur dapat saling mengganti dalam satu struktur
tertentu, maka distrubusi kedua unsur tersebut adalah paralel. Sementara itu, bila dua unsur tidak
dapat saling mengganti dalam struktur tertentu, maka distribusi kedua unsur tersebut adalah
komplementer.
Dengan timbulnya beberapa pertanyaan penelitian di atas, maka penelitian tentang
joshi/partikel, khususnya joshi ka masih relevan untuk diteliti, sehingga akan memberikan

tingkat pemahaman yang nyata bagi pengembangan ilmu linguistik bahasa Jepang maupun
bahasa Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasar

latar belakang masalah di muka, maka dapat diambil beberapa rumusan

permasalahan dalam penelitian ini, yaitu:
-

Unsur-unsur apa saja yang dapat dimarkahi oleh ka dalam kalimat.

-

Bagaimanakah distribusi pemarkah ka dalam kalimat.

-

Bagaimana makna pemarkah ka.

1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
-

Untuk merumuskan unsur-unsur apa saja yang dapat dimarkahi oleh pemarkah ka dalam
sebuah kalimat.

-

Untuk menganalisa pemarkah ka berdasarkan distribusinya dalam kalimat.

-

Untuk menjelaskan makna pemarkah ka.

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1

Kegunaan Teoretis
Manfaat teoretis penelitian ini adalah dapat merumuskan dan menjelaskan secara
sintaksis pemarkah ka. Dengan analisis secara sintaksis ini, dapat diketahui unsur-unsur
apa saja yang dapat dimarkahi oleh ka. Selain itu, dengan menggunakan teori distribusi
diharapkan dapat mengetahui konstituen apa saja yang dapat diganti atau dilesapkan
dalam kalimat yang berpemarkah ka. Kemudian, setelah dilakukan analisis secara
semantis dapat diketahui makna-makna dari pemarkah ka, baik yang berposisi di ahkir
kalimat maupun di tengah kalimat.

1.4.2

Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pengayaan
dan acuan dalam pembelajaran bahasa Jepang di Indonesia serta dalam penerjemahan ,
baik dari bahasa Jepang ke bahasa Indonesia atau sebaliknya, khususnya dalam
pemakaian pemarkah ka. Selain itu, bagi peminat/pemelajar bahasa Jepang diharapkan
dapat menjadi bahan pembelajaran dalam memahami tentang pemarkah ka, sedangkan
bagi peneliti linguistik dapat menjadi bahan referensi dalam memahami ilmu linguistik
dunia.

1.5 Kerangka Teori
Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini digunakan beberapa referensi yang
dikemukan oleh beberapa ahli/pakar linguistik Indonesia maupun asing, sehingga dapat saling
melengkapi kekurangan dan kelemahan masing-masing. Kajian tentang sintaksis mengacu pada

teori yang berkembang selama ini, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa asing lainnya,
seperti: Chaer (2009 dan 2012), Kridalaksana (2002), Chomsky (1957 dan 1965), Ramlan
(1996), Suhardi (2013), Ida Bagus Putrayasa (2010). Dalam buku-buku ini dibahas tentang
beberapa teori dalam tataran sintaksis, misalnya tentang tentang frasa, klausa, serta kalimat.
Diharapkan dengan mengetahui teori-teori sintaksis di atas dapat memahami kedudukan unsurunsur/konstituen-konstituen dalm sebuah kalimat. Dalam bahasa Jepang digunakan karya
Teramura Hideo (Nihongo no Sintakusu to Imi jilid I dan II), Tsujimura (1996), Suzuki (1990),
Kokuritsu Kokugo Kenkyuujo (1951) mengenai Joshi dan Jodoushi, Keichiro (1986) tentang
Joshi, Nitta (2010). Diharapkan dengan membaca teori-teori tentang joshi dalam bahasa Jepang
dapat lebih memahai tentang peran joshi dalam sebuah kalimat.
Untuk teori semantik akan digunakan teori-teori seperti: J.D. Parera (2004), Mansoer Pateda
(2010), Chaer (2012), Djajasudarma (Semantik I dan II), Stephen Ullman (2007). Dengan
membaca referensi tentang semantik, diharapkan dapat memahami tentang makna dan jenis
makna, sehingga dapat pula mengetahui makna apa saja yang terkandung dalam pemarkah ka.
Selain itu, dalam semantik terdapat tentang teori relasi makna yang berfungsi untuk mengetahui
bagaimana hubungan makna antar satuan-satuan unsur dalam kalimat. Dengan memahami teori
ini diharapkan juga dapat memahami bagamiana hubungan makna pemarkah ka dengan
konstituen atau unsur lainnya dalam kalimat.
Sementara itu, teori modalitas diambil dari Hasan Alwi (1990) dan Modalitas dalam bahasa
Jepang karya Nitta Yoshio (1994), Nihongo Kizutsu Bunpou Kenkyuukai (2003), F.R. Palmer
(2001), Masaoka (1991). Pengambilan teori ini diharapkan dapat memberikan kejelasan tentang
makna, terutama yang berkaitan dengan sikap pembicara. Hal ini diambil karena pemarkah ka

pun tidak menutup kemungkinan memiliki kaitan dengan modalitas, misalnya salah satu
fungsinya adalah sebagai pemarkah tanya.

1.6 Metode Penelitian
1.6.1

Metode Penjaringan data
Penjaringan data yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu:

(1) mengumpulkan data yang diambil dari beberapa referensi dengan melakukan pencatatan
dalam kartu data. Data yang diambil adalah data-data kalimat baik yang berupa kalimat monolog
maupun yang berupa kalimat dialog. Data yang dikumpulkan adalah data-data yang
menggunakan joshi ka yang berposisi di akhir kalimat dan tengah kalimat. Untuk joshi yang
berposisi di akhir kalimat terbagi menjadi dua jenis yaitu sebagai pemarkah tanya atau yang
bukan sebagai pemarkah tanya, sedangkan yang berposisi di tengah kalimat pun ada yang
berfungsi sebagai pemarkah tanya dan bukan sebagai pemarkah tanya. Selain itu, kalimatkalimat yang memiliki kesamaan makna dengan kalimat yang menggunakan joshi ka
dikumpilkan sebagai bahan pembanding,
(2) data yang telah dicatat, kemudian dipilih dan dipilah berdasarkan fungsi dan kedudukannya
dalam kalimat. Pemilihan dan pemilahan data didasarkan pada konstituen/kata yang dilekatkan
dengan pemarkah ka, misalnya yang diikuti oleh bentuk positif dan bentuk negatif. Kemudian,
pemilahan dilakukan dari segi makna yang sama, misalnya ~darouka dan ~janaika yang
memiliki makna perkiraan disandingkan agar dapat diketahui perbedaan strukturnya dan nuansa
maknanya.

1.6.2

Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Teknik Ganti/sanding yaitu teknik yang digunakan untuk mengganti kalimat yang telah
didapat dari sebuah sumber, kemudian diganti atau disandingkan dengan kalimat lain
yang memiliki pola kalimat yang bermakna serupa baik yang menggunakan joshi ka atau
dengan pola kalimat lainnya. Dengan teknik ini akan diketahui perbedaan maknanya.
Misalnya, seperti contoh berikut.
15) 男女差別の問題について真剣に考えようではありませんか。
Danjo sabetsu
no mondai ni tsuite shinken ni
kangaeyou de wa arimasen
ka.
Perbedaan gender Pos. masalah mengenai dengan serius mau memikirkan tidak Part.Ka
‘Mari kita memikirkan dengan serius mengenai masalah perbedaan gender!’
16) 男女差別の問題について真剣に考えましょう。
Danjo sabetsu
no mondai ni tsuite shinken ni
kangaemashou.
Perbedaan gender Pos. masalah mengenai dengan serius memikirkan btk. Ajakan
‘Mari kita memikirkan dengan serius mengenai masalah perbedaan gender!’

b. Teknik Lesap yaitu teknik penelitian yang berupa penghilangan atau pelesapan unsur
satuan lingual dari sebuah data. Dengan teknik ini diharapkan dapat diketahui tentang
keintian sebuah kalimat. Misalnya seperti contoh berikut.
17) 彼はそのことについては、何も知らないかのような顔をしている。
Kare wa sono koto ni tsuitewa, nanimo shiranai ka no youna kao o shite iru.
dia Part.topik hal itu tentang, apapun tidak tahu Part.Ka Part. no seolah wajah melakukan
‘Dia berwajah seolah tidak tahu apapun tentang hal itu’.

Joshi ka pada kalimat di atas dicoba untuk dilesapkan menjadi seperti kalimat di bawah
ini yang tanpa joshi ka dan secara otomatis partikel no pun tidak diperlukan lagi. Dengan
pelesapan ini akan diketahui kedudukan joshi ka apakah berterima atau tidak bila
dilesapkan.
18) 彼はそのことについては、何も知らないような顔をしている。
Kare wa sono koto ni tsuite wa, nanimo shiranai you na kao o shite iru.

c. Teknik Ubah Ujud
Teknik ini digunakan untuk mengetahui bagaimana perbedaan makna joshi ka bila
dipindahposisikan letaknya. Dengan perpindahan ini apakah akan memiliki nuansa
makna yang sama atau tidak, atau bahkan kalimat tersebut menjadi tidak berterima.
Misalnya seperti contoh berikut, joshi ka pada kalimat 19) yang melekat pada kata tanya
naze ‘mengapa’ dipindahkan posisinya di akhir kalimat seperti pada kalimat 20).
19) なぜかなみだがあふれてきて、仕方がありませんでした。Joshi:15
Naze

ka

namida ga

afurete kite, shikata ga arimasen deshita.

mengapa Part.Ka air mata Part.nom meluap,

cara Part.nom tidak ada (lampau)

‘Mengapa air matanya benar-benar meluap?’
20) なぜなみだがあふれてきて、仕方がありませんでしたか。
Naze namida ga afurete kite, shikata ga arimasen deshita ka.

1.6.3

Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Penyajian hasil analisis data disajikan secara metode formal. Metode formal adalah
perumusan kaidah atau kaidah-kaidah dengan menggunakan tanda, dan lambang-lambang
(Sudaryanto, 1993:144 dalam Muhammad). Dengan metode ini diharapkan makna kaidah dan
hubungan antarkaidah dan kekhasannya kaidah dapat diketahui dan dipahami. Kemudian, data
tersebut diinterpretasikan.

1.7 Sumber Data Penelitian
Data penelitian ini berupa pemakaian pemarkah ka dalam berbagai jenis kalimat bahasa
Jepang. Agar data penelitian ini lebih bervariasi, sehingga ditemukan banyak penggunaan dalam
segala situasi, baik situasi semi formal, formal maupun nonformal. Untuk menjaga agar data
tersebut lebih mendalam secara makna, digunakan beberapa novel dari jaman lama sampai
modern. Untuk itu, data diambil dari beberapa referensi, diantaranya:
a.

Buku pelajaran yang digunakan dalam pembelajaran bahasa Jepang di Indonesia.

b.

Novel berbahasa Jepang.

c.

Koran berbahasa Jepang

d.

Komik berbahasa Jepang

e.

Majalah berbahasa Jepang

f.

Penelitian terdahulu sebagai data sekunder

BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Penelitian Terdahulu
Seperti yang telah dikemukan di muka bahwa

joshi/partikel dalam bahasa Jepang

merupakan kelas kata yang sangat penting dalam bahasa Jepang serta kedudukannya sangat
vital dalam sebuah kalimat. Oleh karena itu, pembahasan atau penelitian tentang joshi ini
menjadi sangat popular dan penting, tak terkecuali dengan pemarkah atau joshi ka. Beberapa
penelitian tentang joshi ka ini diantaranya adalah:
Yoshihashi Kenji dan Nishinaki Kuko dari Tokyo Kougyou Daigaku melakukan survei
secara kuantitatif tentang pemakaian joshi ka. Dalam penelitian ini dibahas tentang fungsi
joshi ka yang menyatakan penderetan atau penyusunan beberapa objek yang menunjukkan
arti pemilihan suatu hal atau suatu perbuatan. Dalam penelitian ini telah dihitung tentang
jumlah pemunculan kalimat yang menggunakan joshi ka dalam menyatakan makna
pemilihan.
Takiura Masako meneliti tentang fungsi makna dan fungsi komunikasi partikel akhir
kalimat Ka, Yo, dan Ne dilihat dari sisi modalitas dan kesantunan. Dalam penelitian ini
dibahas tentang perbandingan fungsi modalitas dan kesantunan dari ketiga partikel tersebut.
Karena hanya membandingkan ketiga partikel tersebut, maka contoh-contoh kalimat yang
muncul sangat sederhana dan tidak komplek, sehingga peranan joshi ka kurang dapat
dipahami secara lebih rinci lagi.

Penelitian selanjutnya ialah yang ditulis oleh Teinatsushun yang meneliti tentang
pelesapan joshi ka dalam kalimat tanya yang mengandung joshi ka. Dalam penelitian ini
dibandingkan bagaimana kalimat yang memiliki pemarkah ka dengan yang tidak
menggunakan pemarkah ka. Dalam penelitian terdapat kalimat yang dapat dilesapkan
pemarkah ka, tapi juga terdapat kalimat yang tidak bisa dilesapkan pemarkah ka-nya.
Jelasnya partikel tersebut dihilangkan digantikan dengan intonasi tanya seperti halnya fungsi
pemarkah ka. Hasilnya terdapat perbedaan makna antara yang menggunakan ka dengan yang
tidak menggunakan pemarkah ka.
Selain itu, memang masih banyak buku-buku yang membahasa tentang joshi ka ini,
hanya saja dalam buku-buku tersebut hanya beberapa contoh pemakaian joshi ka yang
muncul dan bila dilihat dari segi cara penganalisaan bahasa, buku-buku tersebut belum
menganalisa secara dalam bagaimana hubungan joshi ka dengan konstituen lainnya.
Misalnya, bagaimana hubungan joshi ka dengan bentuk kala dan keaspekan dan bagaimana
makna yang ditimbulkannya. Selain itu, beberapa pola kalimat yang menggunakan joshi ka,
terutama yang berposisi di akhir kalimat banyak memiliki kesamaan makna, sehingga hal ini
perlu untuk dianalisa lebih dalam bagaimana perbandingan makna dari pola-pola kalimat
tersebut apakah bisa saling menggantikan atau tidak. Melihat hal tersebut, penulis
memandang perlu untuk terus meneliti tentang pemakaian joshi ka ini. Terlebih lagi, dalam
penelitian ini penulis mencoba untuk mencarikan bagaimana pengungkapan joshi ka ini ke
dalam bahasa Indonesia, sehingga diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan
pembelajaran dan bahan referensi bagi pembelajar bahasa Jepang di Indonesia.

2.2 Tataran Sintaksis
2.2.1 Kelas kata
Berbicara mengenai kategori gramatikal suatu bahasa kita tidak akan terlepas dari
kategori primer yakni kelas kata, dan kategori sekunder, yakni modus, kala, aspek, diatesis,
jumlah, dan kasus. Kelas kata (jenis kata) adalah golongan kata dalam suatu bahasa berdasarkan
kategori bentuk, fungsi, dan makna dalam sistem gramatikal (Widjono, 2007 : 131)
Ada berbagai teori yang dikemukakan para ahli bahasa mengenai kelas kata dalam
tatabahasa Indonesia, tetapi yang cukup berpengaruh di kalangan pengajar adalah kelas kata
yang dikemukakan oleh C.A. Mees (1957) dalam Kridalaksana (2007 : 18) yaitu :
1. Kata benda atau nomen substantivum
2. Kata keadaan atau nomen adjectivum
3. Kata ganti atau pronominal
4. Kata kerja atau verba
5. Kata bilangan atau numeri
6. Kata sandang atau articulus
7. Kata depan atau praepositio
8. Kata keterangan atau adverbium
9. Kata sambung atau conjunction
10. Kata seru atau conjunction

Menurut Widjono (2007 : 131) kelas kata bahasa Indonesia terbagi atas 13 yaitu : Verba,
Adjektiva, Nomina, Pronominal, Numeralia, Adverbia, Interogativa, Demontrativa, Artikula,
Preposisi, Konjungsi, Fatis, serta , Interjeksi. Kelas kata menjadi penting dalam sebuah
penelitian, karena kelas kata memiliki fungsi sebagai berikut :

1. Melambangkan pikiran atau gagasan yang abstrak menjadi konkret
2. Membentuk bermacam-macam struktur kalimat
3. Memperjelas makna gagasan kalimat

Dalam bahasa Jepang kelas kata yang dikenal dengan istilah hinshi juga berbeda-beda.
Murata (2007 : 29) mengemukakan kelas kata bahasa Jepang terdiri dari 12 jenis yang salah
satunya adalah joshi atau partikel.
Sementara itu, Sekimasa (2008:241) menyatakan bahwa ada delapan jenis kelas kata dalam
bahasa Jepang. Akan tetapi, Sekimasa tidak menyebutkan adanya joshi atau partikel sebagai
salah satu kelas kata, tapi memasukkan Setsuzokushi/Konjungsi sebagai salah satu kelas kata. Di
dalam setsuzokushi sendiri, istilah joshi masuk ke salah satu bagian sestuzokushi yaitu setsuzokujoshi/partikel sambung.
Selanjutnya, Suzuki Shigeyuki (1972:504) membagi kelas kata bahasa Jepang ke dalam 4
kelas yaitu:
1. Kelas kata utama, yaitu : kata benda, kata kerja, kata sifat, dan kata keterangan
2. Kelas kata yang melengkapi arti yang bersifat menjelaskan kalimat, yaitu: kata sambung
dan kata keterangan pelengkap
3. Kelas kata yang bersifat membantu, yaitu: posposisi dan akhiran
4. Kalimat dan kata, yaitu: interjeksi

Penentuan kriteria kelas kata seperti yang terlihat di muka sangat berbeda-beda. Hal ini
bergantung kepada kriteria apa yang digunakan untuk mementukan kriteria kelas katanya. Dalam
hal ini, ada yang menggunakan kriteria semantis, kriteria sintaksis atau kriteria morfologis

(Suhardi, 2013:119). Akan tetapi, persoalan terpenting adalah bukan hanya tentang kriteria
tersebut, tetapi bagaimana perilaku sintaksis dari kelas kata tersebut dalam kontruksi sintaksis
yang lebih besar, misalnya dalam frasa, klausa atau kalimat.
Dengan masuknya joshi/partikel ke dalam salah kelas kata, maka kedudukan partikel ini
akan sangat berpengaruh dan penting dalam sebuah kalimat, karena akan menentukan bagaimana
struktur dan makna sebuah kalimat, tak terkecuali dengan joshi ka.

2.2.1.1 Joshi dan Fungsinya
Partikel atau dalam bahasa Jepang disebut Joshi dapat didefinisikan sebagai salah satu
jenis kata yang tidak dapat berdiri sendiri dan menempel di belakang sebuah kata. Pada
dasarnya fungsi dari joshi adalah untuk membuat hubungan antara suatu bagian sebagai hal
atau peristiwa dan satuan bagian lain sebagai penjelas atau deskripsi. Tanpa memasukkan
partikel, maka akan menimbulkan interpretasi atau pemahaman yang salah. Uraian di atas
dapat menjelaskan bahwa peran dari partikel sangatlah penting.
Sementara itu, Hirai (1982:161 dalam Sudjianto, 2004:181) menyatakan bahwa joshi
adalah kelas kata yang termasuk Fuzokugo yang dipakai setelah suatu kata untuk
menunjukkan hubungan antara kata tersebut dengan kata lain serta untuk menambahkan arti
kata tersebut lebih jelas lagi. Selanjutnya, kelas kata joshi tidak mengalami perubahan
bentuknya. Joshi sama dengan jodoushi (kata kerja bantu) kedua-duanya termasuk fuzokugo,
namun kelas kata jodoushi dapat mengalami perubahan bentuk. Kelas kata lain yang dapat
disisipi oleh joshi adalah meishi (kata benda), doushi (kata kerja), i-keiyoushi (kata sifat i),
na-keiyoushi (kata sifat na), joshi (partikel), dan lain-lain.

2.2.1.2 Jenis Joshi
Pengelompokkan joshi oleh beberapa pakar berbeda-beda. Hirai (1982:161 dalam
Sudjianto, 2004:181) membagi joshi ke dalam empat jenis, yaitu
a. Kakujoshi 格助詞
Kakujoshi pada umumnya dipakai setelah nomina untuk menunjukkan hubungan antara
nomina tersebut dengan kata lain. Yang termasuk ke dalam kakujoshi adalah Ga, No, O,
Ni, E, To, Yori, Kara, De, dan Ya.
b. Setsuzokujoshi 接続助詞
Setsuzokujoshi dipakai setelah yoogen (doushi/kata kerja, i-keiyoushi/kata sifat i, dan nakeiyoushi/kata sifat na) atau setelah jodoushi untuk melanjutkan kata-kata yang ada
sebelumnya terhadap kata-kata yang ada pada bagian berikutnya, diantaranya: -ba, to,
keredo, -temo, -nagara, -tari, dan lain-lain.
c. Fukujoshi 副助詞
Fukujoshi dipakai setelah berbagai macam kata. Seperti adverbia, fukujoshi berkaitan erat
dengan bagian kata berikutnya. Joshi yang termasuk jenis ini adalah wa, mo, ka, koso,
sae, demo, shika, dan lain-lain.
d. Shuujoshi 終助詞
Shuujoshi pada umumnya dipakai setelah berbagai macam kata pada bagian akhir kalimat
untuk menyatakan suatu pertanyaan, larangan, seruan, rasa haru, dan sebagainya. Joshi
yang termasuk pada jenis ini adalah Ka, Kashira, Na, Naa, Zo, Ne, Yo, dan sebagainya.

Sementara itu, Tanaka (1990:27) membagi joshi/partikel ke dalam enam
kelompok, yaitu menambahkan dua kelompok dari pembagian joshi menurut Hirai di
atas, yakni:
e. Kakarijoshi 係助詞
Partikel ini berfungsi untuk menerangkan kata tertentu sebagai penekanan dalam kalimat.
Partikel yang termasuk golongan ini adalah Wa, Mo, Koso, dan Shika.
f. Kantoujoshi 冠等助詞
Partikel ini berfungsi untuk memberikan penekanan pada suatu kata dan memisahkan
kata tersebut dengan kata lain dalam kalimat. Partikel yang termasuk golongan ini, yaitu:
Ne, Sa, Yo
Sedangkan, dalam buku referensi yang diterbitkan The National Research Institute, joshi
terbagi ke dalam 8 jenis, diantaranya: kakujoshi 格助詞, fukujoshi 副助詞, kakarijoshi
係助詞, setsuzokujoshi 接続助詞, heiritsujoshi 並立助詞, juntaijoshi 準体助詞,
shuujoshi 終助詞, toitoujoshi 問投助詞.

2.2.2 Frase
Frase adalah satuan linguistik yang secara potensial merupakan gabungan dua kata atau lebih
yang tidak mempunyai ciri-ciri klausa (Cook, 1971:91; Elson dan Pickett, 1969:73 dalam
Putrayasa, 2010:2). Sementara itu, Ramlan (1981:151) menyatakan bahwa frase ialah satuan
gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi unsur

klausa. Yang dimaksud dengan batas fungsi di sini adalah fungsi subjek (S) dan fungsi
predikat (P). oleh sebab itu, frase tidak bersifat predikatif.
Berdasarkan kategorinya frase terbagi atas:
a.

Frase nominal yaitu frase yang memiliki distribusi yang sama dengan kata nominal,
misalnya: baju baru, mahasiswa lama, yang akan pergi, dll. Frase nominal bisa terdiri
atas:

b.

Frase Verbal ialah frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan kata verbal,
misalnya: dua orang mahasiswa sedang membaca

c.

Frase Bilangan yaitu frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan kata bilangan,
misalnya: dua buah, tiga ekor

d.

Frase Keterangan yaitu frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan kata
keterangan, misalnya: tadi malam, kemarin pagi

e.

Frase Depan yaitu frase yang terdiri dari kata depan sebagai penanda, diikuti frase atau
kata sebagai aksinya, misalnya: di sebuah rumah, dengan sangat tenang, sejak tadi pagi.

Dilihat dari hubungan kedua unsurnya, frase terbagi atas:
-

Frase endosentrik yaitu frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan unsurnya,
baik semuanya maupun salah satu unsurnya. Frase endosentrik dapat dibagi atas:
a.

Frase endosentrik yang koordinatif yaitu frase yang unsur-unsurnya setara dan
dapat dihubungkan dengan kata penghubung seperti dan, atau, misalnya: suami
istri = suami dan istri, belajat atau bekerja

b.

Frase endosentrik yang atributif yaitu terdiri dari unsur-unsur yang tidak setara,
sehingga tidak bisa dihubungkan dengan konjungsi seprti dan, atau, misalnya:
mala mini, sekolah Inpres

c.

Frase endosentrik yang apositif yaitu frase yang berbeda dengan frase-frase
sebelumnya. Dalam frase ini sebuah kata merupakan penjelas dari kata
sebelumya, sehingga secara makna sama dan dapat saling menggantikan,
misalnya: Yogya, kota pelajar

-

Indonesia, tanah airku.

Frase Eksosentrik adalah frase yang tidak memiliki distrubusi yang sama dengan semua
unsurnya.

2.2.3 Klausa
Klausa merupakan frase yang mengandung satu unsur predikat (Cook, 1971 dalam
Suhardi, 2013:41). Ramlan (1981:89) mendefinisikan frase sebagai satuan gramatik yang terdiri
dari predikat (P), baik disertai unsur lain yang berfungsi sebagai subjek (S), objek (O), pelengkap
(O), keterangan (Ket) atau tidak. Klausa dapat dibedakan berdasarkan kategori dan tipe kategori
yang menjadi predikatnya, yaitu:
a.

Klausa Nominal yaitu klausa yang predikatnya berkategori nomina, misalnya: kakeknya
orang batak.

b.

Klausa Verbal yaitu klausa yang predikatnya berkategori verba, dan dapat dibagi
berdasarkan beberapa tipe verbanya, yaitu: Klausa verbal transitif, Klausa verbal
intransitif. Misalnya, Polisi menangkap pencuri

c.

Klausa Ajektifal yaitu klausa yang predikatnya berkategori ajektifa, misalnya: Nenekku
masih cantik.

d.

Klausa Preposisional yaitu klausa yang predikatnya berkategori preposisi, misalnya:
Nenek ke Jakarta.

e.

Klausa Numeral yaitu klausa yang predikatnya berkategori numeralia, misalnya:
Simpanannya lima juta.
Sementara itu, tipe klausa dapat dibedakan berdasarkan ada tidaknya unsur negatif pada
predikatnya yang terbagi atas klausa positif dan klausa negatif (Suhardi, 2013:44). Klausa
positif adalah klausa yang tidak memiliki kata negasi atau pengingkaran pada predikatnya,
sedangkan klausa negatif adalah klausa yang mengandung kata negasi atau pengingkaran pad
predikatnya. Dalam bahasa Indonesia contoh kata negasi, diantaranya: tidak, bukan, tak,
tiada, jangan, serta non. Sedangkan berdasarkan distribusinya, klausa dapat dikelompokkan
ke dalam dua golongan, yaitu:
-

Klausa bebas adalah klausa yang telah mampu berdiri sendiri sebagai kalimat sempurna.
Artinya, klausa tersebut tidak bergantung atau tidak menjadi bagian yang terikat dari
kontruksi yang lebih besar.

-

Klausa terikat adalah klausa yang tidak dapat berdiri sendiri sebagai kalimat sempurna.
Klausa ini biasanya bergantung atau merupakan bagian yang terikat dengan kontruksi
yang lebih besar.

2.2.4 Kalimat

Kalimat adalah suatu kumpulan atau rangkaian kata yang mengandung pengertian dan
menyatakan pikiran lengkap (Alijasbana, 1949). Sebuah kontruksi disebut kalimat jika kontruksi
tersebut memiliki intonasi final. Bila belum diberi intonasi final, maka susunan kata itu masih
berupa klausa.
Berdasarkan kategori klausanya, kalimat dibedakan atas:
a.

Kalimat verbal yaitu kalimat yang predikatnya berupa verba/frase verbal.

b.

Kalimat ajektifal yaitu kalimat yang predikatnya ajektifa/frase ajektifal.

c.

Kalimat nominal yaitu kalimat yang predikatnya nomina/frase nominal.

d.

Kalimat preposisional yaitu kalimat yang predikatnya berupa frase preposisional.

e.

Kalimat numeral yaitu kalimat yang predikatnya berupa numeralia/frase numeral.

f.

Kalimat adverbial yaitu kalimat yang predikatnya berupa adverbial/frase adverbial

Sementara itu, berdasarkan jumlah klausanya dibedakan atas:
a.

Kalimat sederhana yaitu kalimat yang dibangun oleh sebuah klausa.

b.

Kalimat bersisipan yaitu kalimat yang pada salah satu fungsinya disisipkan sebuah klausa
sebagai penjelasnya.

c.

Kalimat majemuk rapatan yaitu kalimat majemuk yang terdiri dari dua klausa atau lebih
dimana ada fungsi-fungsi klausa yang dirapatkan karena merupakan substansi yang sama.

d.

Kalimat majemuk setara yaitu kalimat yang terdiri dari dua klausa atau lebih dan
memiliki kedudukan yang setara.

e.

Kalimat majemuk beertingkat yaitu kalimat yang terididari dua klausa atau lebih yang
kedudukannya tidak setara.

f.

Kalimat majemuk kompleks yaitu kalimat yang tersiri dari dua atau lebi klausa yang
didalamnya terdapat hubungan setara dan bertingkat.
Selain itu, berdasarkan modusnya, kalimat terbagi atas:

a.

Kalimat Berita (deklaratif)
Kalimat berita tidak bermarkah khusus bila dibandingkan dengan kalimat yang lain.
Bentuk ini digunakan pembicara untuk atau penulis untuk membuat pernyataan, sehingga
isinya merupakan berita bagi pendengar atau pembacanya. Dalam bentuk tulisan, jenis
kalimat ini diakhiri dengan titik dan intonasi datar/turun.

b.

Kalimat Tanya (interogatif)
Alwi et al. (2000:357-362) menyatakan bahwa kalimat interogatif dihadiri oleh
pronominal penanya, seperti apa, siapa, kapan, dan bagaimana dengan atau tanpa partikel
–kah sebagai penegas. Dalam bentuk tulis, kalimat ini ditandai oleh tanda Tanya (?),
sedangkan dalam bentuk lisan digunakan intonasi naik. Bentuk ini berfungsi untuk
meminta jawaban ya atau tidak, serta meminta informasi mengenai sesuatu hal pada
lawan bicara.

c.

Kalimat Perintah (imperatif)

Ramlan (2001:39-43) menyatakan bahwa kalimat suruh mengharapkan tanggapan yang
berupa tindakan dari orang yang diajak bicara. Sementara, Alwi et al. (2000:353-357)
menyatakan bahwa kalimat imperatif ditandai dengan intonasi nada rendah di akhir
kalimat, adanya pemakaian partikel penegas, penghalus, atau partikel yang mengandung
ajakan, harapan, atau permohonan, umumnya bersususnan inversi, serta pelaku tidak
selalu terungkap.
d.

Kalimat Seruan (interjektif)
Kalimat interjektif atau ada juga yang menyatakan sebagai kalimat ekslamatif merupakan
kalimat yang digunakan untuk menyatakan perasaan kagum dan heran. Secara formal
kalimat ini ditandai dengan kata alangkah, betapa, atau bukan main pada kalimat
berpredikat ajektival.

2.2.5 Struktur Kalimat dalam Bahasa Jepang
Kalimat dalam bahasa Jepang dapat terbentuk dari sebuah bunsetsu (klausa), dua buah bunsetsu,
atau terdiri atas beberapa bunsetsu. Dalam penyusunan kalimat yang terdiri atas beberapa
bunsetsu, kalimat tersebut harus disusun secara benar berdasarkan pola struktur. Berbeda dengan
kalimat bahasa Indonesia yang bersifat pleksibel, bahasa Jepang lebih banyak memiliki aturanaturan gramatikalnya dalam pen