HAK POLITIK PENYANDANG DISABILITAS DALAM

1

HAK POLITIK PENYANDANG DISABILITAS DALAM PEMILU
(Penulis : Irfan Alfi, Komisioner KPU Kota Cilegon)

Publik tentu masih ingat peristiwa yang menimpa Dwi Ariyani penyandang disabilitas
asal Karanganyar, Jawa Tengah, pada bulan April 2016. Ia dipaksa turun dari kabin oleh
kru pesawat salah satu maskapai penerbangan dalam sebuah penerbangan dari Bandara
Soekarno – Hatta menuju Jenewa, Swiss. Peristiwa itu menjadi viral, petisi online
digalang untuk memberi dukungan pada Ariyani. Gugatan peradilan dilayangkan hingga
akhirnya pengadilan negeri Jakarta Selatan dalam keputusannya mengabulkan gugatan
perdata yang diajukan Dwi. Maskapai tersebut dijatuhi hukuman membayar ganti rugi
immaterial kepada Dwi Ariyani yang gagal terbang tersebut. Meskipun pada akhirnya
pihak maskapai menyampaikan permohonan maaf dan mengakui dalam peristiwa
tersebut mereka tidak mengikuti prosedur khusus untuk penumpang pengguna kursi roda,
kejadian ini menambah daftar panjang bentuk diskriminasi terhadap penyandang
disabilitas.1
Keberadaan penyandang disabilitas merupakan bagian dari keragaman kehidupan suatu
negara, hak mereka dalam kehidupan kemasyarakatan termasuk hak untuk berpolitik
sama seperti warga negara lain. Pada prinsipnya negara telah menempatkan penyandang
disabilitas dalam posisi yang sama dan sejajar dengan warga negara lainnya. Dari aspek

politik hukum negara telah memberikan jaminan dan perlakuan kesetaraan dan terhadap
penyandang disabilitas. Kerangka hukum negara kita telah mengatur tentang secara jelas
terkait hak-hak dasar warga negara terutama penyandang disabilitas baik UUD 1945
maupun pada beberapa Undang-undang tentang hak- hak disabilitas seperti UU No 8/
2016.
Namun dalam kenyataanyai masih kerap kita jumpai perlakuan diskriminatif terhadap
mereka. Kasus Ariyani diatas adalah contoh kecil saja dari daftar panjang kasus
diskriminasi terhadap penyandang disabilitas. Mereka kerap dipandang sebelah mata dan
kerap mendapat “penyangkalan” atas hak asasi dasar mereka seperti misalnya hak untuk
kesehatan ( fisik dan Psycologis) atau hak untuk mendapatkan pendidikan dan
pekerjaan.2 Pada pembukaan dari UN-CRPD (United Nation Conventiona on the Rights
Persons with Disabilities- Konvensi hak-hak Penyandang Disabilitas) disebutkan pada
bagian (e) : Mengakui bahwa disabilitas merupakan suatu konsep yang terus berkembang
dan disabilitas merupakan suatu hasil dari interaksi antar orang-orang dengan
keterbatasan kemampuan dan sikap serta lingkungan yang menghambat partisipasi penuh
mereka di dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya. Definisi ini
menekankan bahwa terhambatnya akses bagi penyandang disabilitas disebabkan oleh
berbagai jenis hambatan termasuk dari lingkungan dimana penyandang disabilitas
dibesarkan. problem ini tentunya menjadi keprihatinan kita semua. Karena faktanya
masih banyak persepsi dan anggapan serta paradigma yang salah dalam mempersepsikan

1 http://business-law.binus.ac.id/27;2017
2 KPU RI “Fondasi Tata Kelola Pemilu”, (23,2017)

2

penyandang disabilitas Kesalahan paradigma ini berimplikasi pada perlakuan yang tidak
seimbang bahkan cenderung diskriminatif. Hal ini menodai prinsip-prinsip nilai luhur
kehidupan kita sebagai sesama warga bangsa.
Bagaimana korelasinya dengan pemilu. Masih ada anggapan bahwa pemilu sebagai
proses utama dalam penyaluran aspirasi warga negara seringkali tidak ramah bagi
penyandang disabilitas. Stigma negative yang melekat pada penyandang disabilitas
sebagai ‘orang yang tidak berkemampuan’ menyebabkan terjadinya tindakan
diskriminasi saat mereka mengikuti pemilu baik dalam hal menggunakan hak untuk
memilih, hak dipilih maupun hak untuk menjadi penyelenggara pemilu. Apakah
anggapan itu benar? Oleh karena itu, penting kiranya untuk mengkaji Sejauh mana
akseptasi negara untuk melindungi hak-hak politik penyandang disabilitas dalam
Pemilu , dan bagaimana upaya-upaya yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu sebagai
representasi negara dalam bidang penyelenggaraan untuk mengedepenkan prinsip
keadilan yang seimbang terhadap hak-hak politik penyandang disabilitas. Dan sejauh
mana regulasi hukum pemilu telah mengakomodir hak-hak politik mereka. Dan

bagaimana peningkatan upaya pelayanan bagi penyandang disabilitas dalam pemilu
sebagai semangat untuk penyelenggaraan pemilu yang jujur, adil dan berkualitas .
Pengertian, Jenis dan Stigmatisasi
Disabilitas adalah sebuah istilah yang mencakup kekurangan (kecacatan ), terbatasnya
aktifitas dan keterbatasan partisipasi yang dialami oleh seseorang. Kekurangan adalah
masalah yang terjadi karena tidak berfungsinya tubuh atau struktur tertentu dari tubuh;
keterbatasan aktifitas adalah kesulitan yang dihadapi oleh seseorang ketika
menyelesaikan pekerjaan atau melakukan suatu aktifitas; sementara keterbatasan dalam
partisipasi adalah masalah yang dihadapi oleh seseorang saat ia ingin terlibat dalam
kegiatan-kegiatan di lingkunganya3.
Dari aspek jenis disabilitas, laman Disabled World mendefinisikan jenis-jenis disabilitas
sebagai berikut 4:
Disabilitas penglihatan (Vision disability), kehilangangn penglihatan yang disebabkan
oleh berbagai masalah kesehatan atau trauma penglihatan.
Disabilitas pendengaran (Hearing disability), termasuk orang yang tuli total atau
sebagian , orang yang tuli sebagian bisa menggunakan alat bantu dengar untuk
membantu pendengaran mereka.
Disabilitas Intelektual (Intellectual disability), dicirikan oleh fungsi sosial dibawah ratarata dan memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi, merawat diri, tinggal di rumah.
Disabilitas psikososial (Psychosocial disability) istilah ini digunakan untuk
menggambarkan orang yang mengalami disabilitas akibat gangguan mental yang

3 https://id.wikipedia.org/wiki. 27;2018
4 KPU-RI “Fondasi Tata Kelola Pemilu” 24,2018

3

dialaminya. Seperti depresi, Post Troumatic Stress Disorder (PTSD), Bulimia, dan
schizophrenia.
Disabilitas tak terlihat (Invisible disability), istilah untuk disabilitas yang tidak langsung
tampak. Kebanyakan bersumber dari masalah neurobiology , jenis-jenis disabilitas
kategori ini antara lain gangguan kelelahan, sxhizroprenia. Tantangan utama yang
dihadapi orang yang menyandang disabilitas ini antara lainmereka sering dituduh
berpura-pura atau mengada-ngada apa yang mereka rasakan, namun sebaliknya apa yang
mereka rasakan itu nyata dan berpengaruh pada hidup mereka.
Dari sisi pemahaman masyarakat terhadap penyandang disabilitas ternyata dapat
dikelompokan kedalam empat model, empat model pemahaman ini ternyata berpengaruh
cukup besar pada lahirnya kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan terkait disabilitas.
Pemahaman model pertama, Model ‘Amal’ (Charity Model). Pemahaman model ini
melihat penyandang disabilitas sebagai korban dari ketidak utuhan yang dimiliki orang
tersebut. Disabilitas dilihat sebagai sebuah kekurangan. Sehingga pendekatan yang
dilakukan adalah dengan memberikan pelayanan khusus, bantuan (charity), simpati dan

pemeliharaan dari orang lain. Kadang kadang penyandang disabilitas sendiri menerima
konsep ini sehingga seringkali mereka merasa tak berdaya dan memiliki rasa
kepercayaan diri yang rendah.
Model kedua, model Medis (Medical Model),pemahaman model ini melihat penyandang
disabilitas sebagai orang dengan masalah fisik yang perlu disembuhkan. Tujuannya
adalah untuk membuat penyandang disabilitas menjadi ‘normal’, implikasinya
penyandang disabilitas dipandang sebagai tidak normal. Tindak lanjut dari pendekatan
model ini adalah bahwa penyandang disabilitas membutuhkan pelayanan khusus seperti
sistem transportasi dan pelayanan kesejahteraan social khusus.
Model yang ketiga. Model Sosial (Social Model), pemahaman model ini timbul dari
bagaimana masyarakat memandang dan bersikap terhadap penyandang disabilitas,
pandangan dan sikap kolektif ini akan membentuk karakter dan sikap yang sama dalam
perlakuan terhadap penyandang disabilitas. Masalah dalam cara masyarakat bersikap
menyebabkan penyandang disabilitas menghadapi berbagai macam diskriminasi dan
hambatan untuk berpartisipasi. Hambatan ini bisa dari aspek perilaku seperti pengabaian,
aspek lingkungan seperti terbatasnya akses fisik seperti di pasar , bangunan-bangunan
umum, tempat ibadah dan lain lain dan aspek kelembagaan seperti terjadinya
diskriminasi secara legal.
Model pemahaman yang keempat, pemahaman berbasis Hak (Right-based model), model
ini berfocus pada pemenuhan hak asasi, yaitu hak untuk mendapatkan kesempatan yang

setara untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Untuk itu masyarakat harus berubah untuk
memastikan bahwa semua orang termasuk penyandang disabilitas mendapatkan
kesempatan yang sama dalam berpartisipasi. Kenyataanya penyandang disabilitas
seringkali mengalami penyangkalan atas hak asasi dasar mereka seperti misalnya hak
untuk kesehatan (fisik dan psikologis), atau hak untuk mendapatkan pekerjaan hingga

4

hak untuk berpartisipasi dalam politik . Untuk itu Undang-undang dan kebijakan
haruslah memastikan bahwa hambatan-hambatan perilaku dan lingkungan yang
diciptakan oleh masyarakat harus dihilangkan. Pemahaman berbasis hak ini memastikan
bahwa dukungan dan perlakukan non diskriminasi yang diberikan oleh masyarakat pada
penyandang disabilitas bukan semata charity (amal) atau kemanusiaan namun juga atas
adanya kesadaran tentang nilai kesetaraan dan persamaan kedudukan dan hak asasi dasar.
empat model pemahaman masyarakat tentang disabilitas, diatas memilah secara
sederhana tentang persepsi dan stigma dari masyarakat terkait isu disabilitas. Sadar atau
tidak sadar, setiap orang menggunakan satu atau dua model atau bahkan
menggabungkanya. Empat model ini mempengaruhi cara kita berfikir, cara kita berbicara
dan sikap kta dalam memandang isu disabilitas.
Pemilu dan Hak Politik Warga Negara.

Dalam sebuah Negara yang menganut sistem demokrasi , hak politik yang dimiliki oleh
warga negara menjadi satu bagian yang penting dan utama. Dalam aspek yang lebih luas
lagi hak politik tersebut merupakan bagian dari hak untuk turut serta dalam
pemerintahan. Parameter sebuah negara dapat disebut demokratis dapat dilihat sejauh
mana pengakuan terhadap hak-hak politik warga negara dapat direalisasikan secara utuh.
Konvenan International Sipil dan Politik, ICCPR (International Convenan On Civil and
Political Right) telah membagi hak-hak dan kebabasan dasar menjadi dua jenis ,
pertama, neo-derogable yaitu hak-hak yang bersifat absolut dan tidak boleh dikurangi,
walaupun dalam keadaan darurat antara lain seperti (i) hak atas hidup; (ii) hak bebas dari
penyiksaan (iii) hak bebas dari pemidanaan yang bersifat surut, hak kebebasan berfikir,
berkeyakinan dan agama.
Jenis hak dasar yang kedua adalah derogable, yaitu hak-hak yang boleh dikurangi dan
dibatasi pemenuhanya oleh negara. Meliputi (i) hak atas kebebasan berkumpul secara
damai., hak atas kebebasan berserikat; (iii) hak kebebasan menyatakan pendapat /
berkespresi.5
Di sisis lain dalam konstitusi kita UUD 1945, hak—hak dasar warga negara tercantum
pada pasal 27 ayat 1 tentang persamaan kedudukan semua warga negara terhadap
hukum dan pemerintahan ; dan pada pasal 28 tentang kemerdekaan berserikat dan
berkumpul serta menyatakan pendapat. Ringkasnya dapat dikatakan bahwa hak-hak
politik masyarakat Indonesia yang dijamin oleh UUD, yaitu hak untuk membentuk dan

memasuki organisasi politik; hak untuk berkumpul, berserikat, hak untuk menyampaikan
pandangan atau pemikiran tentang politik, hak untuk menduduki jabatan politik dalam
pemerintahan , dan hak untuk memilih dalam pemilihan umum . dimana semuanya
direalisasikan secara murni melalui partisipasi politik.6

5 http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/ 27,2017
6 Pollem “Instrumen Hukum Dan Hak Asasi Manusia” (11; 2017)

5

Masalah jaminan tentang terlaksananya hak-hak sipil adalah cerminan dari sebuah
negara demokrasi. Demokrasi kekinian adalah demokrasi yang mampu meningkatkan
partisipasi politik masyarakat, sehingga mampu menjadi jawaban terhadap setiap
masalah-masalah kebangsaan hari ini. Seperti halnya pemilihan umum baik pemilihan
anggota legislatif, kepala daerah ataupun pemilihan Presiden, seharusnya menjadi
momen penting untuk untuk menjalankan setiap sendi-sendi demokrasi, karena
demokrasi bagi bangsa Indonesia merupakan tatanan kenegaraan yang paling sesuai
dengan martabat manusia yang menghormati dan menjamin pemenuhan Hak Asasi
Manusia (HAM)
Hak Dan Partisipasi Politik Penyandang Disabilitas Dalam Pemilu.

Hak politik penyandang disabilitas secara jelas telah diatur pada pasal 5 poin h dan pasal
13 undang - undang no 8 tahun 2016, yakni hak untuk mendapatkan pendidikan politik,
mereka berhak untuk mengikuti proses kontestasi politik sebagai peserta, berhak untuk
memilih, berhak menyalurkan aspirasi politiknya secara terbuka baik lisan maupun
tulisan , berhak untuk menjadi anggota sekaligus pengurus partai politik, mereka juga
dapat berperan aktif dalam setiap tahapan pemilu sekaligus juga memperoleh
aksesibilitas pada pemilihan umum.7
Sebelumnya, pada bulan November 2011 melalui UU no 19/2011 pemerintah telah
meratifikasi Konvensi mengenai hak-hak penyandang disabilitas (Convention on the
Right Of Person with Disabilities) yang dalam penjelasannya menegaskan tentang
kesungguhan pemerintah untuk menghormati, melindungi, dan memajukan hak-hak
penyandang disabilitas.8
Dalam konteks pemilu, kerangka hukum pemilu telah pula mengakomodasi hak politik
penyandang disabilitas dalam penyelenggaraan pemilu, semangat untuk menempatkan
penyandang disabilitas sejajar dengan warga negara lainnya tercantum dalam pasal 5
UU No 7/2017 bahwa penyandang disabilitas yang memenuhi sarat mempunyai
kesempatan yang sama sebagai pemilih, sebagai anggota DPR maupun DPD, dicalonkan
sebagai Presiden dan Wakil presiden, sebagai calon anggota DPRD, dan penyelenggara
pemilu.
Beberapa kerangka hukum diatas secara yuridis telah menempatkan penyandang

disabilitas pada posisi yang sama dalam kesempatan untuk berpartisipasi dalam pemilu
baik sebagai kontestan maupun sebagai pemilih. Dengan demikian tentunya tidak ada
alasan untuk menempatkan para penyandang disabilitas sebagai warga yang tidak
memiliki kesempatan. Paradigma yang menempatkan para penyandang disabilitas
dengan stigma “Kekurangan” harus diubah baik dalam benak elite partai politik maupun
para penyelenggara pemilu maupun masyarakat pada umumnya.
Dalam pemenuhan hak untuk dipilih, Partai politik diharapkan dapat memberikan ruang
yang lebih akomodatif bagi para penyandang disabilitas. momen penyelenggaraan
7 UU no 8 tahun 2018
8 KPU-RI “Fondasi Tata Kelola Pemilu” (25,2018)

6

pemilu 2019 kiranya dapat dijadikan sebagai momentum untuk merekonstruksi semangat
kesetaraan dalam membuka kesempatan bagi mereka yang dipandang memenuhi syarat
sebagai kandidat wakil rakyat, tentu dengan melalui proses penjaringan yang transparan
dan demokratis sebagaimana diatur dalam pasal 241 ayat 1&2 UU No 7/2017.
Dari sisi pemenuhan hak untuk memilih, pasal 29 UN-CRPD, dijelaskan bahwa bagi
penyelenggara pemilu harus memastikan bahwa prosedur , fasilitas, dan bahan-bahan
pemilihan bersifat layak, dapat diakses , mudah dipahami dan digunakan. Melindungi

mereka untuk menggunakan hak pilihnya secara rahasia sekaligus memberikan jaminan
keamanan atas kemungkinan terjadinya intimidasi oleh pihak yang tidak bertanggung
jawab.
Dalam pelaksanaanya, Penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU sebenarnya sudah
mengimplementasikan ketentuan tersebut dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang
bersifat teknis pada setiap tahapan pemilu. Prinsi-prinsip non diskriminasi yang sudah
dilakukan selama ini antara lain dalam proses pendaftaran pemilih dilakukan dengan
memperhatikan penyandang disabilitas dan jenis disabilitas di TPS tertentu, pendataan
ini bertujuan agar pada saat pelaksanaan pemungutan suara mereka dapat dilayani
dengan baik. Bentuk pelayanan fisik lainnya yang dilakukan antara lain pemberian
template braile atau alat bantu baca bagi penyandang disabilitas penglihatan (Vision
disability), penempatan lokasi TPS yang tidak berumput tebal, tidak ada got pemisah,
tidak becek, tidak berlumpur, tidak berada dalam gedung yang bertangga-tangga juga
penempatan kotak suara yang mudah dijangkau . Penyediaan akses ini untuk
memudahkan mobilisasi penyandang disabilitas. Sedangkan Pelayanan non fisik
misalnya pada penyelenggaraan sosialisasi pemilu memuat konten-konten dan materi
yang berkaitan dengan pemilih penyandang disabilitas serta melibatkan organisasi atau
pemilih pada kegiatan tersebut. Adanya running text di TV akan membantu bagi
penyandang tuna rungu (hearing disability). Pemutaran lagu (Jingle) yang disiarkan
melalui radio akan memudahkan informasi pada penyandang tuna netra, iklan pemilu
melalui media cetak seperti poster , leaflet dan gambar-gambar akan membantu pemilih
tuna grahita . Selain itu pelaksanaan program pendidikan pemilih yang bertujuan agar
penyandang disabilitas dapat memahami pentingnya pemilu dan menjadi pemilih yang
cerdas karena memahami informasi dengan benar dan tepat.
Dalam pelaksanaan di lapangan memang sekali dua terjadi penyandang disabilitas
tertinggal dalam pemenuhan hak partisipasi politik ini, ketidak pahaman dan minimnya
pelatihan pada petugas pemilu di lapangan kerap menimbulkan problem tersendiri pada
saat mereka berinteraksi. Solusinya adalah dengan meningkatkan upaya pelatihan dan
pemahaman yang terus menerus agar terbangun kesadaran kolektif tentang pentingnya
mengedepankan prinsip-prinsip non diskriminasi dan membangun paradigma
penyelenggara dalam memandang isu disabilitas.

7

Penutup..
Kerangka hukum pemilu telah mengatur sedemikian rupa tentang hak-hak politik
penyandang disabilitas hal ini sebagai pengejawantahan dari paradigma bahwa isu
disabilitas adalah bagian yang integral dari HAM yang menempatkan jaminan atas
kesetaraan, kesamaan hak serta partisipasi penuh juga melekat pada setiap individu
Penyandang disabilitas
Demokrasi kekinian adalah demokrasi yang mampu meningkatkan partisipasi politik
masyarakat dalam semua aspeknya, mampu memperlakukan warga negara secara
seimbang dengan mengedepankan prinsip-prinsip keadilan. Negara telah memberikan
jaminan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak politik yang sama dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara termasuk dalam kontestasi politik seperti pemilu (Hak memilih,
hak dipilih dan hak menjadi penyelenggara) oleh karena itu maka paradigma dan
stigmatisasi bahwa pengakuan terhadap penyandang disabilitas hanya dari sisi
kemanusiaan dan charity (amal/belas kasihan) harus direkonstruksi menjadi pengakuan
berdasarkan pada persamaan hak yang sejajar dan non diskriminasi. Dengan demikian
proses konsolidasi demokrasi dapat berjalan menuju kearah yang lebih berkualitas dalam
rangka mewujudkan suatu tatanan negara yang demokratis yang berorientasi pada
kesejahteraan masyarakat.