TEMPLETE GBHN DALAM WUJUD BARU RPJPN.pd
“TEMPLETE GBHN” DALAM
WUJUD BARU RPJPN1
Oleh Erdi Abidin2
Artikel ini terilhami dari; Pertama, kegiatan diskusi kebangsaan ‘MPR
Goes to Campus’ dimana penulis menjadi nara-sumber pada kegiatan
di Universitas Panca Bhakti (UPB): Pontianak, Senin, 26.09.2016. Acara
tersebut diklaim oleh anggota bernomor A-185 MPR-RI asal pemilihan
Jateng-X dari PDI-P Bapak Prof. Dr. Hendrawan Supratikno, sebagai
kampus penyelenggara diskusi kebangsaan yang paling semangat dan
meriah di seluruh negeri. Untuk itu, saya menyampaikan selamat,
terutamanya kepada Rektor UPB atas sukses tersebut. Kedua, sebagai
kado atas pengukuhan guru besar atas nama Prof. Dr. Ir. Rahmatullah
Rizieq, M.Si, Rektor UPB pada hari Kamis, 6 Oktober 2016; teriring ucapan
selamat dan dengan harapan bangsa dan negeri ini menanti karyakarya besar Bapak sebagai Profesor pertama di UPB yang diharapkan
menjadi getok-tular bagi lahirnya professor baru di UPB dan PTS lainnya
di Kalbar pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Kembali ke topik awal bahwa GBHN (Garis-garis Besar Haluan
Negara) adalah produk MPR tempo dulu yang kini sudah tiada sebagai
konsekwensi dari diterapkannya UU Otonomi Daerah (Otda), yakni UU
No. 22 tahun 1999 yang telah dua kali revisi, dan kini menjadi UU No. 23
tahun 2014; dan sebagai konsekwensi dari UU Otda tersebut, lahirlah UU
No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
(SPPN); dimana di salah satu dasar pemikirannya menghapus GBHN
sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan Nasional.
GBHN adalah haluan negara tentang penyelenggaraan negara
yang dinyatakan secara garis-garis besar sebagai pernyataan
kehendak rakyat secara menyeluruh dan terpadu yang ditetapkan oleh
MPR untuk jangka waktu 5 tahun. Hal-hal yang tertulis dalam GBHN
adalah sebuah wacana tentang haluan pembangunan negara
Republik Indonesia yang dibuat oleh MPR untuk dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya oleh Presiden dengan memanfaatkan seluruh
kewenangan dan sumber daya di Indonesia bagi mengisi
pembangunan nasional.
Sistem politik Indonesia yang berlangung pasca-reformasi telah
mengalami banyak perubahan; satu diantaranya adalah perubahan
sistem kelembagaan Negara dari sistem MPR sebagai lembaga tertinggi
1
2
Telah dimuat pada Koran Pontianak Post di kolom Opini halaman 2 dengan judul yang sama.
Selasa, 4 Oktober 2016
Erdi adalah Dosen FISIP UNTAN, MAP UPBJJ-UT, IPDN Kampus KALBAR dan juga DLB FH-UPB
1|Page
negara yang dulu berwenang menentukan arah pembangunan negara
melalui GBHN, kini menjadi lembaga yang sejajar dengan lembaga
eksekutif, legislatif dan yudikatif. Meskipun lembaga ini dihuni oleh DPR-RI
dan DPD-RI (dulu: utusan daerah), tetapi kewenangannya diperkecil;
yakni dikurangi satu dari tiga kewenangan sebelum reformasi; sehingga
tinggal dua kewenangan; yakni wewenang mengubah dan
menetapkan UUD; dan wewenang melantik dan memberhentikan
Presiden hasil pilihan rakyat. Satu wewenang MPR yang hilang tersebut
adalah kewenangan menentukan arah pembangunan nasional yang
kini telah diserahkan kepada Presiden sebagaimana amanat UU No. 25
tahun 2004 pasal 4 ayat 2.
Sebagai ganti GBHN, kini hadir rencana pembangunan yang
dibagi menjadi dua, yakni perencanaan jangka panjang dan
perencanaan jangka mengenah lima tahunan. Yang jangka panjang
disebut Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN);
sementara yang menengah disebut Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN). Dulu, kedua jenis perencanaan itu
disatukan ke dalam GBHN dan ditetapkan dalam bentuk Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP-MPR); tetapi kini, kedua jenis
perencanaan dimaksud terpisah satu sama lain. RPJPN ditetapkan
melalui UU No. 17/2007; sementara RPJMN 2015-2019 ditetapkan dengan
Perpres No. 2 tahun 2015. Dari kisah perencanaan kini, tampaknya
RPJPN tidak tersentuh oleh pemerintah dalam menyusun RPJMN karena
presiden lebih fokus pada penyusunan, penetapan, pelaksanaan dan
evaluasi RPJMN yang telah dijanjikan ketika berstatus sebagai pasangan
calon: calon presiden dan calon wakil presiden.
Ketika telah terpilih dan ditetapkan menjadi presiden dan wakil
presiden, maka visi-misi dimaksud diadopsi menjadi RPJMN untuk masa
lima tahun ke depan; sementara RPJPN yang berlaku 20 tahun (20052025) telah ditetapkan jauh sebelum presiden terpilih. Dengan durasi
pemerintahan yang hanya 5 tahun atau maksimal 10 tahun, maka
RPJMN akan tak mampu menjangkau RPJPN. Selain itu, Presiden sebagai
eksekutif, bersama DPR-RI sebagai lembaga legislative; dapat dengan
mudah merubah RPJPN dan disesuaikan dengan RPJMN. Sebuah logika
terbalik akan terjadi dalam system ketata-negaraan di negeri ini pasca
reformasi. Oleh karena itu, tampaknya kewenangan MPR perlu
ditambah dengan menyusun RPJPN dan dikukuhkan dalam bentuk TAPMPR.
2|Page
Saat ini memang sudah ada RPJPN yang berlaku 2005 sd 2025
sesuai dengan UU No. 17 tahun 2007. Naskah setebal 78 halaman itu
terlalu mudah untuk diubah ketika rezim pemerintahan berganti baju
dari satu warna ke warna lain. Untung saja Presiden Joko Widodo masih
menggunakan UU tersebut dalam menyusun Buku I (Agenda
Pembangunan Nasional) dan Buku II (Agenda Pembangunan Bidang)
pada RPJMN 2015 – 2019. Dengan menambah wewenang MPR dalam
menetapkan RPJPN, diharapkan perubahan dimaksud dapat dilakukan
pada hal-hal yang bersifat substantive dan sifatnya tidak mengarah
pada pertimbangan politis. Perlu diingat bahwa di dalam TAP MPR
tersebut kelak mesti dicantumkan dalam salah satu pasal bahwa
pelaksanaan dari ketetapan majelis ini dilakukan oleh Presiden dengan
pengawalan oleh DPR. Jika tidak, maka TAP MPR akan hanya menjadi
TAP yang tidak bergigi.
Mari kita lihat TAP MPR No. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia
Masa Depan. Selain tidak semua orang Indonesia dapat mengenal dan
mengetahui TAP MPR ini, juga dianggap sebagai TAP yang tak bergigi.
Lihat Bab V Kaidah Pelaksanaan pada TAP tersebut, disana disebutkan
bahwa menugaskan kepada semua penyelenggara negara (pasal 1)
untuk menggunakan Visi Indonesia 2020 sebagai pedoman dalam
menyusun dan merumuskan arah kebijakan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Selain itu, TAP MPR ini juga tidak memiliki
mekanisme evaluasi pelaksanaan sehingga berkesan hanya bersifat
himbauan; bukan sebuah desakan atau keharusan yang mesti
ditunaikan. Setelah ditelusuri, ternyata RPJMN 2015-2019 tidak melihat
TAP MPR tersebut sebagai salah satu dasar pembangunan nasional.
Betul, ketika TAP MPR ditetapkan seperti GBHN, maka dapat
menempatkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Saya
juga tidak setuju dan mengembalikan hal itu adalah tidak mungkin
karena selain harus merevisi UU MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD);
pemerintah negeri ini juga perlu lebih focus menyelesaikan persoalan
bangsa, mulai dari kemiskinan, ketertinggalan dan ketidak-adilan di
dalam negeri hingga bargaining position bangsa diantara bangsabangsa lain yang masih sangat terasa. Selain itu, DPR-RI juga tampaknya
belum/tidak siap untuk kehilangan kewenangan dalam mengontrol
jalannya pemerintahan oleh eksekutif (Presiden/Wakil Presiden), sebab
kewenangan mengontrol dimaksud sekaligus menentukan bargaining
position dewan di mata pemerintah. Oleh karena itu, dalam kontek ini,
3|Page
MPR cukup menetapkan RPJPN dan menugaskan Presiden untuk
melaksanakannya dengan dikawal oleh DPR-RI.
Pada masa Orde Baru, GBHN merupakan pedoman bagi
Presiden dalam menjalankan roda pemerintahan. Jika Presiden tidak
melaksanakan atau tidak mengikuti atau melanggar ketentuan
sebagaimana
termaktub
dalam
GBHN,
maka
MPR
dapat
memberhentikan Presiden di tengah jalan setelah membeberkan daftar
kesalahan presiden berdasarkan kacamata GBHN. Oleh karena itu,
GBHN versi kini adalah RPJPN yang dibuat bukan untuk menekan
Presiden tetapi lebih pada upaya mengarahkan dan menegaskan arah
pembangunan secara umum yang evaluasinya diserahkan kepada
DPR-RI sebagai badan legislator negara.
Sebagai penutup, ingin saya tegaskan bahwa merujuk pendapat
Taufiq (2016)3 dimana wacana menghidupkan kembali GBHN masih
memerlukan kajian mendalam, tetapi tidak dalam konteks
menghidupkan kembali kekuasaan seperti Orde Baru saya setuju. Bagi
saya, Pertama; lebih baik menambahkan muatan substantive dalam
perencanaan pembangunan nasional dengan menumpahkan RPJPN
dan RPJMN ke dalam satu dokumen agar sinkron, sinergis dan tidak
berderai. Kedua, penyusunan naskah RPJPN itu sebaiknya dilakukan
oleh MPR-RI dan dituangkan dalam TAP-MPR. Berdasarkan UU No.
12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; TAP
MPR masih ditempatkan pada urutan kedua dalam Hirarki Tata Urutan
Peraturan Perundang-undangan. Ketiga, dengan menetapkan RPJPN
dalam wujud TAP-MPR, maka selain RPJPN sulit dirubah ketika rezim
berganti warna (partai); juga landasan penyusunan RPJMN menjadi
jelas dan terarah. Dengan demikian, tamplete GBHN yang sudah
dilaksanakan selama 30 tahun lebih dan telah dinilai sebagai wujud
perencanaan terbaik itu, tidak terbuang percuma oleh orde reformasi.
3
Taufiq, M. AR. 2016. Menakar Gagasan Reformulasi Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional dengan Model GBHN. Makalah disampaikan pada FGD
dengan MPR-RI “Reformulasi Sistem Perencanaan Pembangunan dengan Model
GBHN”, Yogyakarta, 15 April 2016.
4|Page
WUJUD BARU RPJPN1
Oleh Erdi Abidin2
Artikel ini terilhami dari; Pertama, kegiatan diskusi kebangsaan ‘MPR
Goes to Campus’ dimana penulis menjadi nara-sumber pada kegiatan
di Universitas Panca Bhakti (UPB): Pontianak, Senin, 26.09.2016. Acara
tersebut diklaim oleh anggota bernomor A-185 MPR-RI asal pemilihan
Jateng-X dari PDI-P Bapak Prof. Dr. Hendrawan Supratikno, sebagai
kampus penyelenggara diskusi kebangsaan yang paling semangat dan
meriah di seluruh negeri. Untuk itu, saya menyampaikan selamat,
terutamanya kepada Rektor UPB atas sukses tersebut. Kedua, sebagai
kado atas pengukuhan guru besar atas nama Prof. Dr. Ir. Rahmatullah
Rizieq, M.Si, Rektor UPB pada hari Kamis, 6 Oktober 2016; teriring ucapan
selamat dan dengan harapan bangsa dan negeri ini menanti karyakarya besar Bapak sebagai Profesor pertama di UPB yang diharapkan
menjadi getok-tular bagi lahirnya professor baru di UPB dan PTS lainnya
di Kalbar pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Kembali ke topik awal bahwa GBHN (Garis-garis Besar Haluan
Negara) adalah produk MPR tempo dulu yang kini sudah tiada sebagai
konsekwensi dari diterapkannya UU Otonomi Daerah (Otda), yakni UU
No. 22 tahun 1999 yang telah dua kali revisi, dan kini menjadi UU No. 23
tahun 2014; dan sebagai konsekwensi dari UU Otda tersebut, lahirlah UU
No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
(SPPN); dimana di salah satu dasar pemikirannya menghapus GBHN
sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan Nasional.
GBHN adalah haluan negara tentang penyelenggaraan negara
yang dinyatakan secara garis-garis besar sebagai pernyataan
kehendak rakyat secara menyeluruh dan terpadu yang ditetapkan oleh
MPR untuk jangka waktu 5 tahun. Hal-hal yang tertulis dalam GBHN
adalah sebuah wacana tentang haluan pembangunan negara
Republik Indonesia yang dibuat oleh MPR untuk dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya oleh Presiden dengan memanfaatkan seluruh
kewenangan dan sumber daya di Indonesia bagi mengisi
pembangunan nasional.
Sistem politik Indonesia yang berlangung pasca-reformasi telah
mengalami banyak perubahan; satu diantaranya adalah perubahan
sistem kelembagaan Negara dari sistem MPR sebagai lembaga tertinggi
1
2
Telah dimuat pada Koran Pontianak Post di kolom Opini halaman 2 dengan judul yang sama.
Selasa, 4 Oktober 2016
Erdi adalah Dosen FISIP UNTAN, MAP UPBJJ-UT, IPDN Kampus KALBAR dan juga DLB FH-UPB
1|Page
negara yang dulu berwenang menentukan arah pembangunan negara
melalui GBHN, kini menjadi lembaga yang sejajar dengan lembaga
eksekutif, legislatif dan yudikatif. Meskipun lembaga ini dihuni oleh DPR-RI
dan DPD-RI (dulu: utusan daerah), tetapi kewenangannya diperkecil;
yakni dikurangi satu dari tiga kewenangan sebelum reformasi; sehingga
tinggal dua kewenangan; yakni wewenang mengubah dan
menetapkan UUD; dan wewenang melantik dan memberhentikan
Presiden hasil pilihan rakyat. Satu wewenang MPR yang hilang tersebut
adalah kewenangan menentukan arah pembangunan nasional yang
kini telah diserahkan kepada Presiden sebagaimana amanat UU No. 25
tahun 2004 pasal 4 ayat 2.
Sebagai ganti GBHN, kini hadir rencana pembangunan yang
dibagi menjadi dua, yakni perencanaan jangka panjang dan
perencanaan jangka mengenah lima tahunan. Yang jangka panjang
disebut Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN);
sementara yang menengah disebut Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN). Dulu, kedua jenis perencanaan itu
disatukan ke dalam GBHN dan ditetapkan dalam bentuk Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP-MPR); tetapi kini, kedua jenis
perencanaan dimaksud terpisah satu sama lain. RPJPN ditetapkan
melalui UU No. 17/2007; sementara RPJMN 2015-2019 ditetapkan dengan
Perpres No. 2 tahun 2015. Dari kisah perencanaan kini, tampaknya
RPJPN tidak tersentuh oleh pemerintah dalam menyusun RPJMN karena
presiden lebih fokus pada penyusunan, penetapan, pelaksanaan dan
evaluasi RPJMN yang telah dijanjikan ketika berstatus sebagai pasangan
calon: calon presiden dan calon wakil presiden.
Ketika telah terpilih dan ditetapkan menjadi presiden dan wakil
presiden, maka visi-misi dimaksud diadopsi menjadi RPJMN untuk masa
lima tahun ke depan; sementara RPJPN yang berlaku 20 tahun (20052025) telah ditetapkan jauh sebelum presiden terpilih. Dengan durasi
pemerintahan yang hanya 5 tahun atau maksimal 10 tahun, maka
RPJMN akan tak mampu menjangkau RPJPN. Selain itu, Presiden sebagai
eksekutif, bersama DPR-RI sebagai lembaga legislative; dapat dengan
mudah merubah RPJPN dan disesuaikan dengan RPJMN. Sebuah logika
terbalik akan terjadi dalam system ketata-negaraan di negeri ini pasca
reformasi. Oleh karena itu, tampaknya kewenangan MPR perlu
ditambah dengan menyusun RPJPN dan dikukuhkan dalam bentuk TAPMPR.
2|Page
Saat ini memang sudah ada RPJPN yang berlaku 2005 sd 2025
sesuai dengan UU No. 17 tahun 2007. Naskah setebal 78 halaman itu
terlalu mudah untuk diubah ketika rezim pemerintahan berganti baju
dari satu warna ke warna lain. Untung saja Presiden Joko Widodo masih
menggunakan UU tersebut dalam menyusun Buku I (Agenda
Pembangunan Nasional) dan Buku II (Agenda Pembangunan Bidang)
pada RPJMN 2015 – 2019. Dengan menambah wewenang MPR dalam
menetapkan RPJPN, diharapkan perubahan dimaksud dapat dilakukan
pada hal-hal yang bersifat substantive dan sifatnya tidak mengarah
pada pertimbangan politis. Perlu diingat bahwa di dalam TAP MPR
tersebut kelak mesti dicantumkan dalam salah satu pasal bahwa
pelaksanaan dari ketetapan majelis ini dilakukan oleh Presiden dengan
pengawalan oleh DPR. Jika tidak, maka TAP MPR akan hanya menjadi
TAP yang tidak bergigi.
Mari kita lihat TAP MPR No. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia
Masa Depan. Selain tidak semua orang Indonesia dapat mengenal dan
mengetahui TAP MPR ini, juga dianggap sebagai TAP yang tak bergigi.
Lihat Bab V Kaidah Pelaksanaan pada TAP tersebut, disana disebutkan
bahwa menugaskan kepada semua penyelenggara negara (pasal 1)
untuk menggunakan Visi Indonesia 2020 sebagai pedoman dalam
menyusun dan merumuskan arah kebijakan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Selain itu, TAP MPR ini juga tidak memiliki
mekanisme evaluasi pelaksanaan sehingga berkesan hanya bersifat
himbauan; bukan sebuah desakan atau keharusan yang mesti
ditunaikan. Setelah ditelusuri, ternyata RPJMN 2015-2019 tidak melihat
TAP MPR tersebut sebagai salah satu dasar pembangunan nasional.
Betul, ketika TAP MPR ditetapkan seperti GBHN, maka dapat
menempatkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Saya
juga tidak setuju dan mengembalikan hal itu adalah tidak mungkin
karena selain harus merevisi UU MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD);
pemerintah negeri ini juga perlu lebih focus menyelesaikan persoalan
bangsa, mulai dari kemiskinan, ketertinggalan dan ketidak-adilan di
dalam negeri hingga bargaining position bangsa diantara bangsabangsa lain yang masih sangat terasa. Selain itu, DPR-RI juga tampaknya
belum/tidak siap untuk kehilangan kewenangan dalam mengontrol
jalannya pemerintahan oleh eksekutif (Presiden/Wakil Presiden), sebab
kewenangan mengontrol dimaksud sekaligus menentukan bargaining
position dewan di mata pemerintah. Oleh karena itu, dalam kontek ini,
3|Page
MPR cukup menetapkan RPJPN dan menugaskan Presiden untuk
melaksanakannya dengan dikawal oleh DPR-RI.
Pada masa Orde Baru, GBHN merupakan pedoman bagi
Presiden dalam menjalankan roda pemerintahan. Jika Presiden tidak
melaksanakan atau tidak mengikuti atau melanggar ketentuan
sebagaimana
termaktub
dalam
GBHN,
maka
MPR
dapat
memberhentikan Presiden di tengah jalan setelah membeberkan daftar
kesalahan presiden berdasarkan kacamata GBHN. Oleh karena itu,
GBHN versi kini adalah RPJPN yang dibuat bukan untuk menekan
Presiden tetapi lebih pada upaya mengarahkan dan menegaskan arah
pembangunan secara umum yang evaluasinya diserahkan kepada
DPR-RI sebagai badan legislator negara.
Sebagai penutup, ingin saya tegaskan bahwa merujuk pendapat
Taufiq (2016)3 dimana wacana menghidupkan kembali GBHN masih
memerlukan kajian mendalam, tetapi tidak dalam konteks
menghidupkan kembali kekuasaan seperti Orde Baru saya setuju. Bagi
saya, Pertama; lebih baik menambahkan muatan substantive dalam
perencanaan pembangunan nasional dengan menumpahkan RPJPN
dan RPJMN ke dalam satu dokumen agar sinkron, sinergis dan tidak
berderai. Kedua, penyusunan naskah RPJPN itu sebaiknya dilakukan
oleh MPR-RI dan dituangkan dalam TAP-MPR. Berdasarkan UU No.
12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; TAP
MPR masih ditempatkan pada urutan kedua dalam Hirarki Tata Urutan
Peraturan Perundang-undangan. Ketiga, dengan menetapkan RPJPN
dalam wujud TAP-MPR, maka selain RPJPN sulit dirubah ketika rezim
berganti warna (partai); juga landasan penyusunan RPJMN menjadi
jelas dan terarah. Dengan demikian, tamplete GBHN yang sudah
dilaksanakan selama 30 tahun lebih dan telah dinilai sebagai wujud
perencanaan terbaik itu, tidak terbuang percuma oleh orde reformasi.
3
Taufiq, M. AR. 2016. Menakar Gagasan Reformulasi Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional dengan Model GBHN. Makalah disampaikan pada FGD
dengan MPR-RI “Reformulasi Sistem Perencanaan Pembangunan dengan Model
GBHN”, Yogyakarta, 15 April 2016.
4|Page