DI HARI KETIKA RAHWANA MATI (1)

DI HARI KETIKA RAHWANA MATI
Rahwana tak pernah mengira, wangi bunga-bunga yang biasanya merekah ruah
bagai sihir terindah di sekujur penjuru Taman Asoka ternyata bisa menjadi siksa
yang mumpuni. Pun tak pernah terbayang oleh Rahwana, meski dalam mimpimimpinya yang paling menyedihkan, bahwa pada suatu titik dalam hidupnya, akan
tiba
saat
seperti
ini.
Dia.
Rahwana.
Sang
raja
yang
perkasa.
Saat ini, ia bukanlah Sang Dasamuka, dengan tatap garang sepuluh pasang mata
yang sanggup membakar jiwa-jiwa hingga tak sanggup lagi berdiri. Kepalanya tak
sepuluh. Tatapannya jangankan membunuh. Kepalanya hanya satu, lusuh, tunduk,
menyedihkan, terpaku menatap entah apa di bawah sana yang mengikat kedua
kakinya,
memasung
raga

sekaligus
jiwanya
di
tempat.
Di pojok semesta yang gelap ini, udara dipenuhi wangi. Persis seperti aroma
udara Taman Asoka, batin Rahwana berulang-ulang. Wangi itu. Wangi itu adalah
satu-satunya sensasi yang mampu dirasakan panca indranya yang kacau balau.
Wangi itu saja yang memenuhi pusaran benaknya, berputar-putar memilin kenangan
demi
kenangan
di
dalam
sana.
Segala kenangan yang tertuju kepada satu nama saja. Kepada Shinta.
***
Angkasa
meledak!
Rahwana terlonjak. Tubuhnya bak dialiri sejuta aliran petir yang membangunkannya
dari tidur-tidur tak jelas bersama mimpi-mimpi yang getas. Kedua bola matanya
berputar-putar panik. Mencari sumber suara yang nyaris membuatnya betul-betul tuli

pula. Dadanya gemuruh, menahan debaran jantungnya yang menggila. Zat-zat
pertahanan
dalam
aliran
darahnya
membanjiri
otaknya.
Sedikit demi sedikit, petir itu reda. Pelan-pelan, Rahwana kembali ke alam nyata.
Bagian-bagian tubuhnya mulai kembali dapat dirasakannya. Aliran darahnya mulai
menjadi
lebih
waras.
Wangi itu masih ada. Wangi Taman Asoka yang menyiksa mimpi-mimpinya. Tapi…
ada yang berbeda. Dunia tak lagi gulita. Putih. Putih di mana-mana. Sekeliling
Rahwana seperti tersusun oleh tembok cahaya yang tak menyisakan sedikit pun
ruang untuknya bersembunyi. Terang yang menusuk penglihatannya, membuat sisasisa
kegagahan
dalam
tatapnya
semakin

ciut.
Dan di hadapan Rahwana, berdiri di satu titik dari mana tampaknya semua cahaya
itu
berasal,
berdirilah
sosok
yang
tak
asing
lagi
baginya.
Rama.
***
Meski sejuta cahaya membutakannya, lebih menyakitkan daripada gulita yang dingin
membekukan, Rahwana tak kuasa melepaskan jerat-jerat ingatannya. Melihat Rama
sontak membuatnya murka. Oh, tidak, tidak… tidak…. Tidak. Ia tak boleh lagi
murka. Ia sudah bersumpah. Sudah berjanji, demi air mata Shinta yang mengalir
pada siang itu, menjadi embun sewangi bunga-bunga Asoka. Ia sudah mengangkat
sumpah…. Demi engkau, Shinta yang mulia, kupecahkan segala amarah.


Demi engkau, Shinta yang mulia, kutenggelamkan segala murka. Wajah
Rama melejit di antara garis-garis cahaya putih, tepat ke dalam sukmanya. Wajah itu
begitu tampan, tenang, bijaksana. Tak tampak satu garis pun emosi keji pada otototot wajahnya. Ah, ia justru tersenyum. Tersenyum menatap Rahwana yang tak
kuasa
bergerak
bahkan
sedikit
saja.
Tubuh Rama bergerak perlahan, menghampiri tubuh Sang Dasamuka. Lalu
diulurkannya tangannya. Jemarinya yang ramping menyentuh puncak kepala
Rahwana. Sesaat, ujung-ujung jemari itu bertengger, terasa sejuk di dahi Rahwana
yang
panas
membara.
Senyum
Rama
kembali
mengembang….
Tubuh Rahwana mengejang. Angkasa kembali meledak. Rahwana menjerit murka.
***

Shinta.
Shinta.
Shinta.
Shinta, berbalut kain keemasan dan merah muda, berjalan perlahan dalam ruang
tahanannya di Taman Asoka. Shinta, jiwa cantik yang terpenjara karena cinta.
Diam-diam, Rahwana mengamatinya. Ada api yang menjilat-jilat di dalam dadanya.
Sebagai makhluk yang juga masih berjalan di dalam dunia, tak pelak Rahwana
masih memiliki hasrat. Apalagi jika dihadapkan dengan keindahan luar biasa yang
selama
ini
diburunya
hingga
ke
ujung
dunia.
Rahwana mengepalkan tangannya erat-erat. Kelelakiannya membuncah. Nafsunya
membubung
nyaris
hingga
ujung

jelajah.
Tidak!
Dengan tangannya yang perkasa, Rahwana menampar kepalanya sendiri. Tidak.
Shinta bukan wanita biasa. Ia titisan dewi, bukan betina mana-mana saja. Jika
hanya demi pemuas hasrat kejantanannya, Rahwana bisa mengambil perempuan
mana saja dari segenap penjuru Alengka. Tidak. Bukan Shinta. Tak pantas Shinta.
Perlahan, gemuruh hasrat itu padam. Digantikan oleh gemuruh lain, yang asalnya
jauh dari dalam sukmanya. Bahkan Rahwana, monster durhaka yang diburu Dewa
Wisnu ke segenap semesta pun, sanggup jatuh cinta. Dan hanya kepada Shinta.
Shinta, Shinta, tak akan aku nodai dirimu. Tak akan aku rusak
kesucianmu. Memandangmu cukup, meski penglihatan akan dirimu
bukannya
tanpa
siksa.
Shinta, Shinta…. Oh, Dewa, jika cinta ini terlarang, mengapa Kau bangun
ia begitu megah dalam sukmaku? *)
***
Sejuta ingatan itu menjadi benang-benang yang saling membelit dalam benak
Rahwana. Ditingkahi cahaya lain, keemasan kali ini, yang seperti merembes keluar
dari

tubuh
Rama,
segala
isi
benaknya
mulai
bercampur
baur.
“Tidurlah, Rahwana,” didengarnya Rama berbisik perlahan. “Tidurlah, tidurlah. Tak
usah lagi resah. Masamu sudah berakhir, Rahwana. Saatnya jiwamu reda….”
“Rama…,” entah bagaimana, suara serak menyedihkan bagai suara hewan entah
apa berhasil menyelinap keluar dari tenggorokannya. “Wahai, Rama, Rama….
Sumpahku padamu, Shinta tak kunodai…. Shinta tak kukotori…. Sedikit pun tidak….
Istrimu
masih
suci….”
Mata Rama adalah satu-satunya yang seolah bicara. Secercah binar yang ia tak
paham apa. Cahaya keemasan itu mulai menggeliat di seputar dirinya. Bayangan
wajah Rama bergoyang dalam pandangannya, mengabur dan mengabur bersama
isi

kepalanya.

“Shinta…. Shin…,” dicobanya memanggil pujaan hatinya. Namun rupanya bibirnya
telah menjadi mati gerak. Seluruh tubuhnya perlahan-lahan mengosong. Seolah
seluruh udara dalam tubuhnya tertarik keluar. Seolah raganya mengempis bersama,
entah bagaimana, keberadaannya….
***
Wangi itu masih ambang-ambang di udara. Tipis saja, nyaris tak tertangkap oleh
indra
penciuman
Rama.
Cahaya-cahaya itu masih di sana. Berpusar di sekeliling Rama, raja mereka yang
mulia. Rama sendiri berdiri tegak, di belakang bahunya seolah jubah keemasan
yang
berkibar.
Di kaki Rama, teronggok tubuh perkasa yang menyedihkan. Tubuh itu dingin.
Matanya masih terbuka, namun menatap kepada kekosongan abadi yang entah ada
di mana. Wajahnya pucat, otot-ototnya yang indah tak berdaya di balik kulit yang
pias.
Rahwana,

raja
Alengka,
telah
mati.
Mati
semati-matinya.
Di tangan Rama, sesuatu sewarna pelangi berdenyut megap-megap, seolah turut
kehabisan udara, seperti raga yang telah ditinggalkannya. Itu rindu. Rindu milik
Rahwana. Rindu warna-warni, berisi kelebatan langkah kaki Shinta di Taman Asoka.
Perlahan, Rama mengepalkan tangannya. Rindu itu berdenyut semakin sekarat.
Lalu, akhirnya, ia terburai di sela-sela jemari Rama. Pecah menjadi ribuan tetes air
mata, jatuh bertaburan di atas dada Rahwana yang tak lagi berudara.
***
*) diambil dari tagline konser Sujiwo Tejo yang bertajuk “Maha Cinta Rahwana”,
digelar di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 30-31 Agustus 2013