JANUARI SORE DI BWAH HALTE SILIWANGI

JANUARI SORE DIBAWAH HALTE SILIWANGI
Oleh : Agung Mazkuriy

Bruk !!! Bruk !!! Bruk !!!
Terburu-buru,langkah kakiku membelah genangan air di trotoar yang
diguyur hujan mereda, bergegas menuju halte Trans Semarang untuk
berteduh sembari menunggu armada jurusan Penggaron setelah aku turun
dari bus yang membawaku dari Kalianda tiba di tempat aku harus turun, pintu
tol Mangkang Semarang, karena memang aku harus melanjutkan perjalanan
ke rumah budeku yang terletak di timur kota ini dengan ikut Trans Semarang,
sebuah angkutan yang terintegrasi dengan tata kota dan bagiku hal terpenting
dari sistemnya mengajari masyarakat untuk berbudaya tertib dengan
menunggu angkutan umum di halte atau aku bisa memilih naik bus kota yang
rata-rata sudah lusuh sedang tarifnya dua kali lipat lebih mahal daripada
Trans Semarang, apalagi emisi yang keluar dari knalpotnya diluar batas
normal yang menyebabkan polusi dan menjadi masalah krusial ditiap kota
besar di Indonesia, atau bahkan menjadi isu global dewasa ini, Global
Warming!
Semarang mungkin bukanlah ibu kota propinsi yang secara kriteria
pantas disebut kota metropolitan karena Semarang sendiri secara
infrastruktur masih kalah jauh dibanding kota-kota besar lain di pulau Jawa,

Angkutan umum yang terintegrasi seperti yang sudah di aplikasikan di negara
tetangga, yaitu Malaysia,Thailand di Bangkok dan negara kota Singapur.
1

Seperti kutipan yang aku ingat dalam kata sambutan Habiburrahman El
Sirozy di novel Ayat-Ayat Cinta yang booming dan menjadi buku best seller di
tahun 2003 dengan total income 1,5 milyar rupiah dan digunakan si penulis
mendirikan pesantren berorientasi kewirausahaan, sudah seharusnya
komunitas di Semarang membuat nama kota ini dikenal dengan identitas yang
ketika disebut Kata “Semarang” orang akan mengingat sesuatu hal positif.
Misal menjadikan Semarang identik dengan nama-nama penulis sastra di era
modern, sama halnya seperti Bandung yang terkenal dengan istilah Paris Van
Java-nya karena pusat mode tanah air atau Jogja yang terkenal dengan
identitas kota pelajar, Bukan Semarang yang identik gersang, lalu lintas yang
mulai semrawut karena kapasitas kendaraan yang mulai overload dari pada
volume jalan itu sendiri.meski pada dasarnya masalah komplek kota-kota
besar adalah carut marut transportasi, buruknya drainase dan tata ruang kota
terindikasi sering dilanggar.

******

Jam di handphone yang aku lihat telah menunjukan lima belas menit
semenjak aku berteduh di halte tapi bus yang aku tunggu tak jua datang,
diantara keheningan diriku ditengah raungan lalu lintas kota itu mataku
terpaku diujung atap halte mengawasi butiran air yang jatuh disetiap ujungnya
karena setelah delapan tahun aku tak mengunjungi ini, kedatanganku
disambut gerimis.
Lamunanku buyar setelah seorang anak kecil dengan mamanya dengan
baju potongan seperti baju muslimah warna hitam dengan payet border
disekitar kancing dengan motif timur tengah dengan kerudung hitam dengan
bawahan jeans skinny warna biru yang baru saja turun dari bus antar kota
berniat menuju halte dimana aku terduduk sedari tadi, kualihkan pandanganku
menyapu suasana sekitar, memperhatikan seorang ibu paruh baya, penjual
kaki lima yang menggunakan bahu trotoar menjadi warung semi permanen di
sebelah halte menunggu pembeli. Terlihat guratan beban hidup yang begitu
berat menghimpit jika setiap orang bisa membaca kerutan wajahnya yang
mulai nampak keriput dimakan usia.

2

“Danangggggg !!”. Sapa perempuan dengan anak kecil yang baru saja

turun dari bus luar kota tadi, sedikit memicingkan mata dengan penuh
penasaran.
“Loh, udah lupa tho ?”. Sahutnya lagi sebelum aku mengenali wajahnya
yang sepertinya tak asing.
“Mayang ??”. Teriakku secara spontan begitu pikirku mengingat nama
pemilik sosok berdirididepanku.
“Apa kabar ?”. Timpalnya sembari menyodorkan tangan bermaksud
bersalaman.
“Baik…baik,ini anak kamu ?” Tanyaku gugup membuka pembicaraan,
sedang tangan kiriku mengusap rambut anak laki-laki kecil didepanku, yang
sedang berdiri didepan mamanya.
“Iyah,….namanya Danang”. Tukas Mayang sambil melepas pandang
kesuasana jalanan sore itu.
Lidahku kelutersekat mendengar nama anak itu mirip denganku, tiba-tiba
pikirku menyusuri ruang waktu yang pernah terjadi dimasa silam, menemui
lembar-lembar kisah dimana aku bersamanya hidup dengan kebahagiaan,
banyak orang bilang masa-masa itu adalah masa cinta monyet, tapi aku tak
yakin apa yang aku simpan jauh dalam hatiku pada Mayang hingga saat ini
adalah kategori itu.
“Udah berapa tahun berkeluarga,May ?” Tanyaku sembari menyusun

senyum dibibirku berusaha menutupi suasana yang sedang terjadi dibalik
pikirku.
“Tiga setengah tahunan”. Jawab Mayang sembari menata duduk dengan
meletakan dagu di telapak tangannya dengan siku bertumpu diantara
pahanya yang dilipat, aku perhatikan arah matanya yang mengawasi Danang
kecil menoleh kanan kiri sibuk memperhatikan lalu lalang kendaraan sore
diatas aspal basah karena gerimis.

3

“Kok nggak ngirim undangan kalau mau menikah ?”. Selorohku
memecah sejenak kebisuan yang baru saja menyergap Aku dan Mayang.
“Bagaimana cara ngirim undangan,aku kan ndak tahu kamu pindah
kemana ?”. Mayang menghela nafas panjang-panjang dan mungkin benaknya
masih terpaku pada masa lalu itu ketika berjumpa denganku di halte.
Lalu, dengan suara sedikit tersekat Mayang mengungkapkan kata yang
bisa ditafsiri sebagai penghakiman atas apa yang aku lakukan saat itu.
“Bukankah kamu saat itu tiba-tiba menghilang”. Sergahnya pada
tanyaku.


Suasana jalanan sore di depan Aku dan Mayang duduk itupun seperti
berubah bagai lautan luas yang sunyi dengan deburan-deburan ombak
mendatangai tepian pantai dimana kita terduduk, berusaha membuyarkan
kebekuan tapi tak akan bisa.
Sesekali Aku perhatikan Danang kecil yang mengantuk di pangkuan
mamanya. Terlihat bentuk matanya mirip sekali dengan bentuk mata Mayang
dengan lengkung alis tebal, mata itu juga yang tadi seolah mengatakan
padaku “aku Mayang” ketika aku tadi mengingat sosoknya dengan menyapu
kulit wajahnya. Karena memang Mayang yang dulu aku kenal saat kuliah
4

selalu memakai kacamata model Ray Ban Wayferer dengan frame
corak cheetah yang menjadi favoritnya, padahal setahuku dulu, Dia saat itu
memiliki tiga kacamata untuk menunjang belajarnya dan kegiatan sehari-hari
yang salah satu frame kacamata itu adalah hadiahku saat ulang tahun
Mayang di akhir masa-masa perkuliahan.
Kadang dulu aku komplain kenapa frame kacamata yang aku berikan tak
pernah dipakai, tapi tiap kali aku komplain pasti jawaban yang aku dapati
selalu sama, “Aku ingin menyimpannya karena itu adalah kado yang paling
special dari kamu semenjak tiga tahun jadian”. Tapi kejadian paling

membuatku tertawa adalah ketika aku menanyakan pertanyaan yang sama
dengan enteng dia berseloroh tanpa dosa jika dia akan lebih cantik dengan
frame kacamata kesayangannnya itu, seketika juga perutku kaku gara-gara
tertawa dengar jawabanya dengan reflek aku kocok rambutnya hingga
amburadul di bawah pohon dekat mushola kampus. Tapi sore ini, Aku
perhatikan memakai lensa kontak hingga membuatku pangling dan hampir
saja tak mengenalinya.

Andai saja waktu bisa diputar kembali, aku tak akan melakukan
kesalahan itu lagi dan -mungkin- akulah yang berhak menjadi ayah anak
yang mengisi keseharian Mayang saat ini. Tapi ah, sudahlah, taksepantasnya
aku berpikir seperti itu, bukankah dia telah berkeluarga ?, Memiliki anak yang
tampan dan lucu atau bahkan mungkin sosok suami yang menemani hariharinya saat ini jauh lebih baik daripada aku yang menjadi suaminya ? Karena
aku yakin apa yang telah ditakdirkan Tuhan adalah hal terbaik bagi setiap
mahluk ciptaanNya ? Meski hati kecilku tak bisa dibohongi bahwa hati ini
masih berdetak untuk nama yang sama ?

“Maaf”. Bisik lirihku seperti terbenam diantara raung suara kendaraan
sore itu meski berat sekali diucapkan.
Lalu kami tenggelam dalam kebisuan kembali, sepatah-dua patah kata

antara Aku dan Mayang seperti ketika seorang penyelam mengamnbil nafas
untuk menyelam lagi.Sebenarnya banyak yang ingin aku katakana padanya,
termasuk alasanku pergi setelah rampung tanpa pamit Mayang sebelumnya.

5

“Masih sukamenulis,Dan..?” Tanya Mayang yang sepertinya mengingat
betul apa yang menjadi hobiku.
“Masih”. sembari kutangkupkan dua telapak tanganku agar terasa agak
hangat atau aku memang diselimuti gusar, aku sendiri tak begitu tahu pasti.
“Lha terus sekarang kerja dimana ?” Sahutnya.
“Cuma penulis freelance di kolom e-news dan penulis tetap naskah
cerber di salah satu majalah keluarga, kadang juga menerjemah buku-buku
bahasa asing”. Sesekali aku mencuri pandang menatapnya.
“Hmm, ternyata tetap keras kepala juga soal karir dalam pekerjaan”.
Tukas Mayang sembari menatapku dan menurunkan kerudungnya melingkar
di leher hingga melingkar seperti scarf,tampak begitu anggun.
“Hehe, bukan keras kepala tapi ideologis, May”. Aku dekatkan wajahku
ke tempat Mayang duduk yang dipisah satu kursi plastik halte sambil menata
senyum karena aku bukan orang keras kepala seperti yang dulu Dia katakan

ketika terjadi miskomunikasi sewaktu kita masih bersama.
“Beda, May”. Sedikit ku tekankan suaraku.
“Iyah, beda……percaya aku, Dan” Ledeknya padaku
“Kamu kan juga penggemar tulisan-tulisan fiksi dan puisi-puisi tulisan tho,
May?”. Candaku menyelidik.
“Halah, itu kan dulu tho yo,Dannn…Dan”. Bela Mayang seperti tak ingin
mengungkapkan itu.
Aku tahu yang dikatakan May baru saja bohong, itu terlihat dari air
mukanya saat beralasan,tapi aku tak berani untuk mengaku yang bisa
mengingatkan masa lalu antara Aku dan Mayang dan aku tak mau itu terjadi,
Lagian dia juga sudah berkeluarga.

“Eh, tapi aku masih ingat satu tulisanmu yang paling aku suka loh”
6

“Oh, ya ?” Aku begitu penasaran.
“Jika asmara tak pernah mengajakmu ke dunia nyata, ingatlah kedua
kakimu menjejak bumi….”.
“….. Tapi aku memiliki dua tangan yang akan bercerita padamu tentang
kebahagiaan ditiap harinya serta lengan itu adalah tempatmu merebah

dibawah malam”. Selaku menyambung kutipan kata-kata yang sering aku
ucapkan pada Mayang saat kita bersama. Entah apa yang mengembirakan
dari Aku dan Mayang hingga tersenyum sendiri setelah mengucap kata itu,
Aku tak menyangka kata-kata itu masih dia ingat dengan baik. Sungguh, aku
begitu tak menyangka.

Cahaya keperakan lampu merkuri memendar syahdu sore itu, gerimis
pun telah reda. Bus Trans Semarang yang menuju terminal Penggaron pun
telah transit dua kali di halte dimana Aku dan Mayang terpaku sejak dua
puluhan menit yang lalu, dan bahkan telah lebih dari 4 kali atau 5 kali bis kota
jurusan terminal Penggaron lewat, sementara ibu pedagang kaki lima terlihat
mulai mengemasi barang dagangannya.
Tak tahu kenapa sedari Aku, Mayang dan anaknya duduk berdua di halte
tak ada pengguna trotoar yang lewat padahal trotoar seberang jalan begitu
ramai lalu lalang orang dan kebanyakan dari yang terlihat adalah kaum urban
yang datang dari daerah Kota Semarang untuk mengadu nasib di kota karena
disekitar sini banyak dijumpai pabrik-pabrik yang kebanyakan milik pengusaha
keturunan atau perusahaan asing, dari wajah-wajah mereka, terlihat mereka
adalah kelompok tak beruntung dari sistem kapitalis oleh bangsa ini.
Sementara suara Qiro’at dari toa Masjid terdengar diantara riuh kendaraan

tonase besar yang akan keluar atau masuk pintu tol Mangkang sama
banyaknya bertemu dengan kendaraan dari arah timur Pantura di pertigaan
dimana kami terpaku.

“Kamu udah udah nikah, Dan ?". Tanya Mayang
“Belum”.
7

“Kenapa ?”. Timpalnya menginterogasi.
“Belum dapat panggilan ?” Jawabku enteng.
“Panggilan darimana ?!” Sahutnya penasaran sambil mengernyitkan dahi
menatapku.
“Dari Kementrian Pemberdayaan Peranan Wanita”. Jawabku sembari
pura-pura membuang pandang.
“Maksudnya dan hubungannnya apa sih nikah ama Kementrian
Pemberdasyaan Peranan Wanita,Dan ?” Mayang garuk-garuk kepala bingung
mencoba mencari penjelasan maksudku.
Tanpa menunggu Mayang menimpali pertanyaannnya, aku nyelethuk….
“Aku kesulitan menemukan calon istri,Mey…. jadi aku minta tolong
kepada

Kementrian
Pemberdayaan
Peranan
Wanita
buat ngecomblangin,yah siapa tahu dari kaum yang dia tangani ada juga yang
nyari jodoh, kan siapa tahu,hehe ?”.
“Ah, garing ah, bercandanya”. Mayang pun tertawa mendengar selorohku
dan suasana sore di halte menjadi lebih hangat, air mukanya sedikit berubah
sedikit bercahaya dibanding pertama aku melihatnya turun dari bus tadi.
“Terus suami kamu sekarang dimana, May, Kok sendirian ?” Tanyaku
sambil memperhatikannya.
Tiba-tiba sebelum pertanyaanku dijawabnya, Bus Trans Semarang
transit untuk jurusan tempat kediaman Mayang dan biasanya jam 6 petang
adalah jam terakhir untuk bus Trans Semarang beroperasi dan jika sudah
lewat jam itu maka alternatifnya adalah angkota yang tentunya tarifnya lebih
mahal dibanding Trans Semarang atau bus kota.
Mayang melangkah pamit setelah mengucapkan salam,Sementara azan
maghrib berkumandang menyejukan hati bagi muslim yang terpanggil
medengar seruan menghadap sejenak Robb-nya.
8

*******
“May…..May…May,maaf apa saya bisa minta nomer handphone-nya ?”
Aku bangkit dari tempat duduk dan mengejar Mayang yang melangkah masuk
pintu bus Trans Semarang sembari menyodorkan kartu namaku.
“Nanti aku sms kamu,Dan…Assalamualaikum!”. Perlahan pintu hydrolic
bus Trans Semarang tertutup,perlahan bus yang membawa Mayang
meninggalkan halte.
Aku lihat jam di handphone-ku menunjuk angka enam tiga belas menit
petang,tak lama berselang armada yang aku tunggu ke halte.

*************
Suasana dalam bus begitu penuh meski tak bisa dikatakan begitu sesak,
aku berdiri tepat dibelakang sopir, aku pandangi setiap wajah dalam Trans
Semarang, tapi yang paling menyita pandanganku adalah sepasang kakek
nenek yang duduk tepat disamping pintu depan, sayup-sayup terdengar
mereka begitu asik bercengkrama dan membicarakan tentang cucunya yang
sudah masuk bangku kuliah, aku membayangkan pasti usia cucu kakek
nenek itu sebaya dengan usia Zaher, adik laki-laki Mayang.

Andai saja aku ditakdirkan yang menjadi kakek nenek itu dengan
Mayang, saling mencintai hingga usia senja, hingga hampir ke titian hidup.
Mungkin adalah sempalan nikmat Surgawi.Aku teringat ceramah ustad Yusuf
Mansur yang sering aku saksikan di salah satu stasiun TV swasta setiap pagi
tentang penjelasan kata mawaddah wa rohmah dalam Alquran. Yang aku
ingat mawaddah adalah bentuk saling mencintai antara sepasang anak
manusia dalam ikatan sah tapi disitu ada unsur keduniawian yang mana jika
diniatkan karena ibadah akan mendapat pahala, sedang rohmah adalah
bentuk saling mencintai antara sepasang anak manusia dalam ikatan sah tapi
antara keduanya tak ada lagi motif yang bersifat keduniawian,missal
kebutuhan anak manusia akan patner untuk hubungan biologis, Tapi ketika
kita
sudah
tak
bisa
dikatakan
usia
produktif
menghasilkan
9

keturunan,pasangankita menopouse dan hasrat kita telah menurun dalam hal
biologis, maka pasangan itu telah mencapai fase rohmah bukan mawaddah lagi.
Sekali lagi,memang tak seharusnya aku berpikir seperti ini karena kurang
etis, bukankah dia sudah bersuami ? tapi sekali lagi, siapa yang bisa
membohongi perasaan kita sendiri ?

Tiiitt !!! Tiiitt !!! Tiiitt !!!
Smartphone dalam saku celanaku
mengenali dering yang aku sett.

berdering, ada sms masuk jika

Ohya,aku tadi belum belum jawab pertanyaanmu,Dan…Aku tadi dengan
Danang habis pulang nyekar ke makam Ayah Danang di Cirebon , karena hari
ini adalah hari ke-100 Ayah Danang wafat..
Dia meninggal karena kecelakaan Helikopter di Singkawang ketika akan
melakukan latihan militer di perbatasan #Mayang.

Seketika hatiku diselimuti keharuan melumpuhkan tiap sendi-sendi dalam
tubuhku ketika mengingat Danang tertidur dipangkuan mamanya di halte tadi,
diusia yang sangat butuh kasih sayang lengkap orang tua harus menyandang
status Yatim ! .
- Wassalam -

23.30– 05.46, Kediri, 30-31 April 2014
komisariat GMNI UNIK

10