PERDAGANGAN KACANG METE SULAWESI DI PASA

LATAR BELAKANG

Kacang mete merupakan salah satu komoditas yang diperdagangkan secara internasional
dan memiliki harga per satuan berat termahal kedua setelah vanilla di dunia. Indonesia
merupakan penghasil mete terbesar di dunia setelah Afrika Barat (25 % dari produksi dunia),
disusul oleh India (22 %), Vietnam (21 %), Brazil (16 %), Afrika Timur (9 %) dan kemudian
Indonesia (5 %). Hampir seluruh produksi mete di dunia (90 %) dihasilkan oleh petani kecil di
pedesaan. Walaupun ada sekitar 25 negara penghasil mete, namun sebagian besar (99 %) pangsa
pasar kacang mete (biji mete olahan,cashews kernels) dikuasai oleh tiga negara saja, yaitu India,
Vietnam dan Brasil.
Di Indonesia, produksi mete dalam skala nasional berada di kisaran 95.000 ton per tahun,
jumlah ini tidak mengalami peningkatan berarti selama 10 tahun terakhir. Penghasil mete utama
adalah Sultra (35 % produksi nasional), Sulsel (25 %), Lombok, Flores dan Sumbawa (30 %)
serta Jawa-Madura (10 %). Produksi mete Sultra cenderung menurun selama 10 tahun terakhir,
karena sebagian besar kebun metenya telah berumur 30 tahun dan belum pernah diremajakan
(produksi optimal umur 10-20 tahun). Sedangkan produksi mete di Flores terus meningkat,
karena ada peremajaan.
Ekspor mete juga terus meningkat selama 10 tahun terakhir, yaitu dari sekitar 3000
metrik ton per tahun pada tahun 1990-an, kemudian meningkat hingga mencapai dua kali lipat
sejak tahun 2006. Sebagian besar tujuan ekspor pada tahun 1990-an hanya India, namun sejak
1998, ekspor ke Vietnam terus meningkat dan kini proporsinya menyamai India.

Dari segi bisnis, ekspor mete sangat menggiurkan. Alasan yang pertama, kualitas mete
Indonesia lebih baik dibandingkan dari Afrika, karena itu harganya berada di kisaran tertinggi
(sekitar 775 USD per metrik ton pada tahun 2006). Kedua, musim panen mete di Indonesia tidak
bersamaan dengan musim panen negara penghasil mete utama dunia (musim panen mete
Vietnam, India dan Afrika berlangsung dari Februari ingá April), sehingga memiliki daya saing
yang tinggi. Ketiga, Indonesia secara geografis relatif dekat dengan Vietnam dan India, sehingga
proporsi biaya transportasi terhadap total harga penjualan akhir relatif rendah, yaitu hanya sekitar

7 % apabila dibandingkan dengan mete dari Afrika Barat yang biaya transportasinya bisa
mencapai 40 %.
Di Indonesia, pulau Buton dan Muna telah lama dikenal sebagai penghasil mete. Pada
tahun 1980-an, daerah ini dikenal sebagai pelopor gerakan rehabilitasi lahan (Gerakan Desa
Makmur Merata/Gersamata) dengan menanam kakao, cengkeh, kopi, rambutan, mete dan
komoditas lainnya. Gerakan tersebut sangat berarti bagi masyarakat Sultra saat ini, berawal dari
gerakan tersebut kini Kolaka dikenal sebagai penghasil kakao, demikian pula Buton dan Muna
sebagai penghasil mete. Sayangnya petani mete di Buton dan Muna hingga saat ini masih tetap
dibelit permasalahan, yaitu rendahnya kesejahteraan, karena produk mete andalan mereka selain
produksinya berfluktuasi, miskin nilai tambah, juga rendahnya tingkat harga saat panen raya.
Paper ini membahas pasar internasional mete Indonesia dan upaya yang telah dilakukan
oleh LSM Operation Wallacea Trust (OWT) dan peran Center for International Forestry

Research (CIFOR) untuk mengangkat kesejahteraan petani sekitar Hutan Lambusango (hutan
alam dataran rendah yang terletak di tengah Pulau Buton bagian selatan dan menetapkan
kebijakan konservasi hutan dan mengelola dampak investasi global dan penghidupan hutan yang
berbasis masyarakat untuk menembus pasar internasional melalui Sertifikasi Fairtrade.

RUMUSAN MASALAH

Apakah keunggulan komparatif mete Indonesia telah dinikmati oleh petani mete di
pedesaan Sulawesi?
Dan upaya apa yang perlu dilakukan untuk membuat keunggulan komparatif mete
Indonesia bisa dinikmati oleh petani mete yang merupakan masyarakat termiskin yang berada di
sekitar hutan?

PEMBAHASAN

Sebagian besar petani mete menjual mete dalam bentuk gelondongan dan bukan dalam
bentuk olahan (kacang mete). Hal tersebut telah mengurangi nilai tambah yang bisa dinikmati
oleh petani mete. Di Pulau Buton, dari ratusan desa penghasil mete, hanya ada satu desa yang
telah memiliki budaya pengolahan mete. Sedangkan di Muna, hanya petani di sekitar Lombe
yang telah begitu kental dengan pengolahan dan bisnis mete. Akar permasalahannya adalah, yang

pertama, petani belum mengenal teknologi pengolahan mete. Kedua, keterbatasan modal dan
tenaga kerja. Saat musim panen tiba, petani selain telah terdesak berbagai kebutuhan sehari-hari,
sehingga perlu segera menjual mete hasil panennya. Masalah lainnya yang tidak kalah penting
adalah kekurangan tenaga kerja. Karena seluruh tenaga kerja terserap dalam kegiatan
pemungutan dan pengeringan mete. Implikasinya, petani terpaksa melepas mete gelondongan
dengan harga murah. Beberapa bulan kemudian, saat harga mete meningkat tajam, petani mete
hanya bisa gigit jari, karena seluruh mete telah berada di tangan pedagang besar. Idealnya petani
mete mampu menyisihkan minimal setengah dari hasil panennya untuk disimpan, sehingga
mereka bisa dapat menjual gelondongan saat harga baik atau mengolah mete selama menunggu
musim panen berikutnya.
Menghadapi masalah tersebut, OWT dalam upaya pelestarian Hutan Lambusango, telah
memfasilitasi masyarakat sekitar hutan, yaitu petani mete Desa Matanauwe, Asosiasi Petani
Mete Matanauwe (APJMM), Kecamatan Siotapina, Kabupaten Buton untuk memperoleh
Sertifikasi Fairtrade. Alhasil, karena usaha keras petani dalam memenuhi persyaratan Sertifikasi
Fairtrade, Sertifikasi tersebut telah berhasil digapai pada bulan Januari 2008. APJMM
merupakan kelompok petani mete pertama di dunia yang mendapat Sertifikasi Fairtrade
dari Fairtrade Labeling Organization (FLO), Bonn, Jerman. Sertifikasi Fairtrade merupakan
sebuat sistem yang diciptakan oleh negara maju untuk membantu petani miskin di negara
berkembang. Melalui sertifikasi, petani miskin berkesempatan masuk dan mengambil
keuntungan dalam perdagangan internasional yang berkeadilan dalam upaya pengentasan

kemiskinan. Di Indonesia, sementara ini hanya ada dua asosiasi petani yang telah mendapat
sertifikasi fairtrade, yaitu petani kopi di Tapanuli, Sumatra Utara dan APJMM di Buton.

Sertifikasi Fairtrade diberikan kepada kelompok tani yang memiliki organisasi dengan
prinsip demokrasi, partisipasi dan transparansi sesuai standar yang diberikan oleh FLO. Hal ini
dimaksudkan agar setiap rupiah keuntungan yang dihasilkan dari perdagangan internasional
dapat terdistribusi secara adil dan merata ke seluruh anggota. Selain persyaratan tersebut,
organisasi petani juga harus memenuhi standar kepekaan sosial dan lingkungan, termasuk tidak
mengunakan pestisida yang mencemari lingkungan, pengelolaan sampah yang baik dan tidak
merusak ekosistem hutan dan laut.
Dengan memperoleh sertifikasi fairtrade, maka APJMM telah mendapat tiket
masuk jaringan

perdagangan

mete

internasional

serta


berhak

mendapatkan

fasilitasi

perdagangan dari FLO untuk melakukan ekspor mete baik dalam bentuk gelondongan maupun
olahan dengan harga premium (istimewa). Harga premium dimaksudkan untuk memberikan
kesempatan bagi petani untuk dapat mensejahterakan dirinya, masyarakat dan lingkungan
hidupnya. Harga premium FOB (freight on board, di pelabuhan eksport domestik) untuk kacang
mete adalah USD 7.27 per kg, atau sekitar Rp. 70.000, sedangkan harga lokal tertinggi untuk
kacang mete kualitas satu adalah sekitar Rp. 45.000. Dengan sistem faitrade petani juga akan
mendapat pembayaran awal sebesar 50 % dari nilai transaksi, sisa pembayaran 50 % diberikan
setelah barang sampai di pelabuhan tujuan. Hal ini memungkinkan petani miskin, dengan modal
pas-pasan, mampu memenuhi order pasar ekspor.
Peran OWT didukung oleh Guru besar Fakultas Kehutanan UGM, Prof. Dr. Chafid
Fandeli, menyatakan bahwa konservasi tidak selalu identik dengan biaya. Pasalnya tujuan
konservasi diarahkan pada perlindungan dan pemanfaatan. Semakin banyak sumber daya alam
dan lingkungan hidup yang dikonversi maka semakin besar peluang untuk mendapatkan nilainialai dari fungsi ekologi, fungsi ekonomi dan fungsi sosial. Oleh karenanya, produk ekosistem

seperti rawa, hutan, sungai, danau dan pesisir yang pemanfaatannya secara menyeluruh yang
beranekaragam. Semua fungsi harus dimanfaatkan secara optimal. Sehingga dalam upaya
konservasi hutan di daerah Buton dan Muna, Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan CIFOR
untuk mengidentifikasi wilayah-wilayah yang potensial untuk kerja sama dalam bidang
penelitian dan outreach yang memberikan landasan dan arahan penelitian inovatif yang memberi
dampak signifikan terhadap pemahaman dan praktik pengelolaan hutan di seluruh kawasan
tropis.

Sebagai respons terhadap terhadap masalah ini dan tantangan lainnya, CIFOR membuat
strategi baru untuk menghadapi era baru yaitu dengan Meningkatkan penghidupan melalui
kehutanan skala kecil dan kehutanan berbasis masyarakat. Kegiatan-kegiatan berbasis hutan
menyediakan sekitar 30 juta lapangan pekerjaan informal di negara-negara berkembang,
sekaligus 13% - 35% lapangan pekerjaan non-pertanian dan peternakan di pedesaan. Yang kedua,
Mengelola perimbangan antara konservasi dan pembangunan pada skala bentang wilayah
dengan upaya-upaya yang konservatif terutama berkonsentrasi untuk mengoptimalkan
pengelolaan wilayah-wilayah yang dilindungi. CIFOR bertujuan untuk mengarahkan kebijakan
dan praktik-praktik menuju pendekatan konservasi dan pembangunan yang lebih efektif, efisien
dan berkeadilan. Yang ketiga, Mengelola dampak dari perdagangan dan investasi global terhadap
hutan dan masyarakat hutan yang berdasarkan kepada peningkatan perdagangan produk-produk
hutan dan investasi pada industri berbasis hutan yang memiliki potensi untuk menstimulasi

pertumbuhan ekonomi. CIFOR bertujuan untuk mengkatalisasi pergeseran yang penting dalam
standar investasi global di beberapa bidang seperti kajian risiko, pemantauan dan penyampaian
informasi. Dan yang terakhir, Mengelola hutan produksi tropis secara lestari yang berdasarkan
kepada estimasi jangka panjang yang menyatakan bahwa 80% hutan perkebunan permanen di
banyak wilayah tropis akan terdiri dari hutan produksi, maka sejumlah besar masyarakat yang
tinggal di dalam atau di dekat hutan akan cenderung terkena dampak dari cara pengelolaan hutan
produksi tersebut.

KESIMPULAN

Memang keunggulan komparatif mete Indonesia selama ini lebih banyak dinikmati oleh
para pedagang dan eksportir mete, bahkan sebagian adalah warga negara India yang langsung
terjun dalam perdagangan mete di Indonesia. Namun banyak upaya yang dapat dilakukan
Pemerintah Indonesia guna membuat keunggulan komparatif mete Indonesia bisa dinikmati oleh
petani mete setempat seperti :
1. Memanfaatkan fasilitas yang diberikan oleh sertifikat fair-trade semaksimal
mungkin. Contohnya seperti menjamin dan meningkatkan kualitas kacang mete yang
telah di olah, sehingga harga premium yang ditetapkan pasar juga akan lebih tinggi
dibandingkan kacang mete gelondongan.
2. Meningkatkan kesadaran pelestarian lingkungan hutan dan perkebunan di daerah

Buton, Muna, dan sekitarnya yang memiliki persebaran kacang mete yang potensial
di masa depan.
3. Membuka peluang investasi padat modal untuk pembangunan daerah dan juga
kelayakan industri, guna meningkatkan kualitas dan daya saing di pasar global.
Selain itu, upaya-upaya tersebut juga dapat meningkatkan daya saing produk itu sendiri
di pasar internasional. Dan juga dampak jangka panjangnya, selain untuk kemerataan
keuntungan di antara para petani, faktor yang sangat penting adalah melestarikan hutan dan
perkebunan setempat. Karena dalam prinsip bisnis konservasi, konservasi sumber daya alam
dapat menjadi aset yang paling berharga di masa depan. Hal tersebut didasarkan pada sector
perhutanan dan perkebunan di Sulawesi, khususnya untuk industri kacang mete ini merupakan
penghasilang yang paling signifikan. Sehingga kelestarian hutan dan perkebunan harus
dilestarikan.

SARAN

Dengan sinergi dari beberapa pihak seperti OWT yang mendukung kesejahteraan para
petani, FLO sebagai badan pengawas sertifikasi fair-trade, CIFOR yang konsisten dalam
penelitian mengenai pelestarian sumber daya hutan Lambusango dan daerah perkebunan
sekitarnya, dan tentunya dukungan penuh dari Pemerintah Indonesia dalam bentuk seperti
membuka investasi padat modal untuk bisnis kacang mete yang berwawasan lingkungan,

pembangunan infrastruktur yang memadai, dan pembekalan pelatihan pengolahan kacang mete
yang terstandarisasi dengan baik, sangat mungkin dalam jangka waktu 5-10 tahun ke depan,
industri kacang mete nusantara dapat bersaing dengan pasar dunia. Terutama dalam hal
mempertahankan kualitas kacang mete Sulawesi yang sudah terkenal di mancanegara. Selain
keuntungan yang diperoleh meningkat, keuntungan tersebut dapat terdistribusi secara adil dan
merata kepada setiap petani. Sehingga masalah kesejahteraan petani tidak lagi jadi masalah yang
serius. Selain itu, upaya pelestarian hutan dan perkebunan harus berkelanjutan dan konsisten
dalam rangka penerapan bisnis konservasi agar dalam jangka waktu beberapa tahun ke depan,
manfaat yang diraih dapat menjadi aset terbesar yang dimiliki masyarakat Buton dan Muna
khususnya, dan umumnya menjadi kebanggaan Indonesia sebagai daerah penghasil kacang mete
terbesar di Indonesia maupun mancanegara.

DAFTAR PUSTAKA

Bisnis Konservasi Mulai Dilirik, website UGM. http://ugm.ac.id/id/berita/8219bisnis.konservasi.mulai.dilirik. Diakses pada : Selasa, 5 November pukul 16:28
Center

for

International


Forestry

Research

(CIFOR),

Wikipedia.id.

http://id.wikipedia.org/wiki/Center_for_International_Forestry_Research. Diakses pada : Selasa,
5 November 2013 pukul 17:20
Edi Purwanto, Perdagangan Mete, Kesejahteraan Petani, dan Pelestarian Lingkungan.
http://epurwanto.wordpress.com/perdagangan-mete-kesejahteraan-petani-dan-pelestarianlingkungan-2/. Diakses pada : Selasa, 5 November 2013 pukul 16:04

PERDAGANGAN KACANG METE SULAWESI DI PASAR GLOBAL YANG BERBASIS
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DAN BISNIS KONSERVASI
Paper ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Bisnis Internasional
Dosen Pengampu Mata Kuliah :
Drs. Sutanto


Disusun oleh :
RIDHO DHARUL FADLI
(F0312102)
BISNIS INTERNASIONAL / A

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013